Anda di halaman 1dari 82

LAPORAN KASUS

DM TIPE II DENGAN CKD

Pembimbing

: dr.Elhamida Gusti Sp.PD

Disusun oleh: Nanda Anessa Minanti


030.09.168

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD BUDHI ASIH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2013

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus diambil dari bahasa Yunani, diabainein yang bearti pancuran air dan dari
melitus bahasa latin yang mengandung arti manis atau yang sering dikenal di Indonesia dengan
sebutan kencing manis. Merupakan suatu kelainan metabolik yang ditandai dengan kadar gula
darah yang tinggi, baik yang disebabkan oleh ketidakmampuan tubuh dalam memproduksi
insulin dalam jumlah yang adekuat ataupun adanya resistensi sel-sel tubuh untuk menggunakan
insulin.
Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan komplikasi jangka panjang
maupun jangka pendek. Kerusakan jangka panjang dapat meliputi diisfungsi atau kegagalan pada
beberapa organ tubuh terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Untuk
komplikasi jangka pendek diantaranya ialah ketoasidosis diabetikum, koma hiperosmolar non
ketotok dan hipoglikemia.1
Dalam pembahasan kali ini menyajikan informasi mengenai komplikasi diabetes dengan
ginjal, kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang diabetes mellitus dimulai dengan adanya
mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi proeinuria dan berlanjut dengan
penurunan fungsi laju filtrasi glomerulus dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal. Gagal ginjal
merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang reversible
pada suatu derajat yang memerlukan terapi ginjal yang tetap berupa dialysis dan transplantasi
ginjal.
Peningkatan insidens diabetes mellitus akan diikuti oleh meningkatnya kemungkinan
terjadinya komplikasi kronik diabetes mellitus, walaupun demikian dengan pemantauan
kesehatan (kadar gula darah) yang rutin, penyuluhan dan pendidikan terhadap penyakit diabetes
mellitus dapat mencegah kemungkinan terjadinya komplikasi kronik ini.2

BAB II
1

LAPORAN KASUS

STATUS ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH JAKARTA

Nama

: Nanda Anessa Minanti

NIM

: 030.09.168

Pembimbing : dr.Elhamida Gusti Sp.PD

Nama

: Ny. R

Umur

: 54 tahun

Jenis kelamin

: Perempuan

Alamat

: Jl.Rasamala Jakarta Selatan

Status pernikahan : Menikah

I.

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Pendidikan

:-

Agama

: Islam

Tanggal masuk

: 24 Desember 2013

No. RM

: 90.33.70

ANAMNESIS
Telah dilakukan autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 25 desember 2013 di ruang 607
Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 20 hari SMRS
2

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan sesak sejak kurang lebih 20 hari SMRS . Sesak dirasakan
makin lama makin berat terutama saat malam hari. Batuk (+). Sejak 1 minggu yang lalu.
Sebelumnya, os sudah berobat ke RS lain di IGD karena merasakan sesak yang teramat berat.
Pagi hari sebelum masuk RS os melakukan control ke poli penyakit dalam, saat itu os
disarankan untuk dirawat. Kurang lebih 2 minggu SMRS, os merasakan mual namun tak
sampai muntah. Perut terasa begah sehingga os merasa lebih sesak kalau tidur terlentang.
Selain itu pasien juga mengeluh nyeri pinggang (+). BAB-BAK lancer seperti biasa.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Asma (-). Riwayat TB paru (-). Riwayat Hipertensi (-). Riwayat DM(+). Pasien
mengaku sudah menderita DM sejak 13 tahun yang lalu, yakni sejak pasien berusia 40 tahunan. Pasien rutin mengkonsumsi metformin awalnya. Menurut pasien , pasien awalnya datang
ke dokter ketika itu hanya untuk control biasa, namun ketika diperiksa kadar gula darah
pasien mencapai 500. Pasien dinyatakan menderita Diabetes Mellitus. Saat itu pasien
memang mengakui sering BAK saat malam hari (poliuria), nafsu makan meningkat
(polifagia) namun tak berkorelasi dengan berat badan, sering haus (polidipsi), dan ketika
habis makan pasien selalu mengantuk. Seiring dengan perjalanan penyakitnya, pasien juga
mengaku sering gatal-gatal di punggung dan terasa sering kesemutan dan baal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga OS tidak ada yang pernah mengalami hal yang serupa dengan OS sekarang.
Riwayat DM-HTN dalam keluarga disangkal. Riwayat TB paru dalam keluarga dan tetangga
sekitar Os disangkal.
Riwayat Kebiasaan
Os mengaku jarang berolahraga. Dan tidak begitu mengatur pola makan.
Riwayat Pengobatan
Os mengaku hanya rutin mengkonsumsi obat untuk mengontro gula darahnya saja.
Riwayat Obstetri ginekologi
OS memiliki 4 orang anak. Anak bungsu os lahir dengan bb lahir >4000 gram. Selama
kehamilan anaknya tersebut OS mengaku tidak ada masalah dan anak lahir melalui proses
normal. Riwayat penyakit obstetric ginekolgi seperti myom, kista disangkal.

II.

PEMERIKSAAN FISIK
3

Keadaan Umum
Kesan sakit

: Tampak sakit berat

Kesadaran

: Compos mentis

TTV : TD 130 /80 mmHg


36,6oC

N 96x/menit

RR 36x/menit

Pasien lebih nyaman tidur dalam posisi setengah duduk


Status Generalis
Kepala
Tampak benjolan di dahi kiri
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
Visus ODS ; 5/60 5/60 bed side (keterbatasan ruangan)
Telinga : Normotia, nyeri tarik atau nyeri lepas (-/-), liang telinga lapang (+/+), serumen
(-/-)
Hidung : Deformitas (-), krepitasi (-), nyeri tekan (-), kavum nasal tampak lapang (+/+)
Mulut : Bibir tidak kering, mukosa mulut kering, tidak ada efloresensi yang bermakna,
oral hygine baik, uvula letak di tengah tidak hiperemis, arkus faring tidak hiperemis tidak
nampak detritus, tonsil T1/T1.
Leher
Inspeksi : Deviasi trakea (-) tak tampak benjolan KGB dan kelenjar tiroid
Palpasi : Kelenjar getah bening tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak teraba
membesar.
Toraks
Inspeksi : pasien tampak sesak. Nafas cepat dan dalam. Simetris. Tak ada nafas yang
tertinggal
Palpasi : vocal fremitus simetris kanan dan kiri
Perkusi : redup pada kedua paru, batas paru jantung sulit dinilai
Auskultasi : Bunyi jantung I & II regular murmur (-) gallop (-)

Napas pendek, Suara napas vesikuler (+/+) cepat dan dalam, ronkhi (+/+)
pada basal paru. Wheezing (-/-)
Abdomen
Inspeksi : Tidak tampak efloresensi yang bermakna, tiak tampak massa, pembuluh darah
tak terlihat, perut datar, smiling umbilicus (-), hernia umbilikalis (-), pulsasi abnormal (-).
Palpasi : Teraba supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan (-), defence muscular (-)
Hati

: tidak teraba.

Limpa : tidak teraba.


Ginjal

: ballotement (-).

Lain-lain : Perkusi : Didapatkan timpani pada seluruh lapangan abdomen.


Auskultasi : BU (+) normal.

Ekstremitas
Inspeksi : Simetris, tidak tampak efloresensi yang bermakna, ekstremitas superior oedem
(-/-) pitting oedem ringan ekstremitas inferior (+/+), palmar eritema (-/-). Akral hangat.
Palpasi : Akral teraba dingin berkeringat, CRT < 2 detik.

III.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Telah dilakukan pemeriksaan penunjang berupa:

Laboratorium darah (24-12-13)


Leukosit

9.400/uL

Eritrosit
Hb
Ht
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
RDW

3,6 juta/uL
8,9 g/dL
31%
325000/uL
86 fL
24,8 pg
28,8 g/dL
12,8%

GDS

208 mg/dL

Ureum
Kreatinin
Kalium

185 mg/dL
10,49 mg/dL
6,6 mmol/L

Natrium
Cl

125 mmol/L
100 mmol/L

Foto polos toraks


Tanggal 23-12-2013

CTR >50%
Pulmo : Tampak infiltrate di parahiler dan paracardial kanan kiri
Hilus normal
Sinus costophrenicus kanan kiri dan diafragma suram
Tulang normal
Kesan : Cardiomegali
Pleuro pneumonia bilateral

IV.

DIAGNOSIS KERJA
1. DM tipe II tidak terkontrol.
6

Anamnesis :
Usia > 45 tahun
Badan terasa lemas, nafsu makan meningkat tetapi berat badan menurun, kesemutan,
baal, sering buang air kecil pada malam hari.
Pasien di diagnosis mengidap kencing manis sejak 13 tahun yang lalu oleh dokter.
Riwayat melahirkan anak dengan BB lahir >4000gram
Pemeriksaa Fisik
:Laboratorium
: Hasil gula darah sewaktu : 208 mg/dl
2. Chronic Kidney Disease stage 5
Pada anamnesis terdapat keluhan mual, muntah, dan bengkak.
Berdasarkan penghitungan CCT pasien menggunakan rumus Kockcroft-Gault :
LFG (ml/mnt/1,73 m2) = (140 - umur) x berat badan (kg) x 0,85
72 kreatinin plasma (mg/dl)
= (140-54) x 50 kg x 0,85= 4,83 ml/mnt/1,73 m2.
72 x 10,49mg/dl
Pada pasien juga ditemukan sindrom uremia yaitu mual, muntah dan sesak napas.
3. Anemia
Anamnesis
: Badan terasa lemas, kulit pucat
Pemeriksaan fisik
: Conjungtiva anemis (+/+)
Laboratorium
: Hb : 8,9 g/dl
4. Pleuropneumonia dd/ susp TB paru
Anamnesis

V.

: Pasien sesak (+) pasien DM, riw batuk (+) sudah 1 minggu ini

Pemeriksaan fisik

: Rhonchi (+/+) di basal paru

Laboratorium

: Foto thoraks kesan : Pleuropneumoniae

RINGKASAN
Seorang wanita berusia 54 tahun datang ke poliklinik penyakit dalam RSUD Budhi
Asih dengan keluhan sesak napas sejak kurang lebih 20 hari. Dan sudah 1 minggu ini juga
disertai dengan batuk. Os juga mengaku mual-mual sudah 2 minggu ini namun tidak sampai
muntah. OS tidak mengeluhkan adanya masalah saat BAB maupun BAK. Riwayat DM (+).
Riwayat HTN (+) menurut os awalnya os tidak darah tinggi, namun belakangan diketahui, os
juga memiliki darah tinggi.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan OS tampak sakit sedang, tanda vital dalam batas
normal kecuali napas OS yang sedikit lebih cepat dari normal serta tekanan darah yang agak
meningkat. Pasien tampak pucat. Konjungtiva anemis, serta rhonci yang lebih jelas di basal
paru, serta oedem tungkai (+/+). Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan ureum
7

creatinin yang tinggi, GDS yang tinggi, Hb yang rendah serta gambaran pleuropneuonia pada
foto thorax.

VI.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

PENATALAKSANAAN
Pro rawat
Infus NaCl 0,9 %
IVFD Renxamin /12 jam
Furosemid 1 x 2 ampul
Inj cefobactam 2x1
Prorenal 3x2
Hemodialisa

ANJURAN
Cek GDS per hari
Cek Darah rutin pasca transfusi
Cek Urin lengkap
USG abdomen

VII.

PROGNOSIS
Ad Vitam
: ad bonam
Ad Fungsionam : ad bonam
Ad Sanationam : ad bonam

BAB III
ANALISIS KASUS

Pada pasien ini ditegakan diagnosis diabetes mellitus tipe II tidak terkontrol
berdasarkan :
Anamnesis
Usia > 45 tahun
Badan terasa lemas,
Nafsu makan meningkat tetapi berat badan menurun, kesemutan, baal, sering

buang air kecil pada malam hari awalnya keluhan ini tidak disadari pasien.

Pasien di diagnosis mengidap kencing manis sejak 13 tahun yang lalu oleh
dokter.

Kesemutan dan baal pada tungkai, dan sering terasa gatal di punggung
Pasien mengaku sering mengkonsumsi makanan manis dan berlemak serta
santan, jarang berolahraga.
Mengantuk. Apalagi setelah makan

Hal ini sesuai dengan gejala diabetes mellitus :

Keluhan klasik DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa llemah badan, kesemutan,
gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita 1.

Jika hiperglikemianya melebihi ambang ginjal (< 160 mg/100 ml sampai 180 mg/100 ml)
maka timbul glukosuria (glukosa keluar bersama kemih). Glukosuria ini mengakibatkan
9

diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran kemih (poliuria) dan timbul rasa haus
(polidipsia). Karena glukosa hilang bersama kemih, maka pasien mengalami keseimbangan
kalori negatif dan berat badan berkurang. Berat badan berkurang (menurun dengan
cepat) karena glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga tubuh berusaha
mensintesis glukosa dari protein dan lemak melalui glukogenesis. Rasa lapar yang semakin
besar (polifagia) akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Kemudian akibat dari
kehilangan kalori pasien akan mengeluh lelah (cepat capek) dan mengantuk apalagi
setelah makan.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan GDS pasien 208 mg/dl. Hal tersebut sesuai
salah satu dari 3 kriteria untuk mendiagnosis pasien sebagai diabetes mellitus yaitu:
1. Gejala klasik DM ditambah Gula Darah Sewaktu 200 mg/dl. Gula darah sewaktu
merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memerhatikan waktu makan
terakhir, atau
2. Kadar Gula Darah Puasa 126 mg/dl. Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori
tambahan sedikit nya 8 jam, atau
3. Kadar gula darah 2 jam pada TTGO 200 mg/dl. TTGO dilakukan dengan standard WHO,
menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang
dilarutkan dalam air.
Pasien pernah mengidap Hipertensi . dan pasien pernah mengkonsumsi obat-obatan anti
hipertensi. Pada awalnya , menurut pasien, pasien bukan pengidap hipertensi. Belakangan
diketahui tekanan darah pasien agak tinggi. berdasarkan JNC VII, tahun 2003 :
Sistolik

Diastolik

mmHg
< 120
120 139

dan
ata

mmHg
< 80
80-89

Hipertensi tingkat 1
140 139
Hipertensi tingkat 2
160
Hipertensi
sistolik 140

u
atau
atau
dan

90-99
100
<90

Normal
Prehipertensi

terisolasi
Indikasi pengbatan bila TD 130 mmHg dan/atau TD diastolic 80 mmHg sedangkan
sasarannya ialah tekanan darah < 130/80 atau bila disertai proteinuria 1g/24 jam: < 125/75
mmHg.
10

Pasien juga telah mengalami sindrom uremia yaitu Pada anamnesis didapatkan keluhan
badan lemas. Lemas dapat pula disebabkan oleh anemia yang diderita pasien, begitu pula
dengan mata berkunang-kunang. Anemia normositik dan normokromik yang khas selalu
terjadi pada sindrom uremik. Hal ini diakibatkan defisiensi produksi eritropoietin pada
nefron yang mengalami kerusakan.
Sedangkan anoreksia ,mual serta sesak napas bisa pula disebabkan oleh keracunan ureum
yang tingi dalam tubuh. Hipokalemia akan muncul pada gagal ginjal kronik dini yang
menyertai poliuria, sedangkan pada gagal ginjal kronik tahap akhir, oligouria menyebabkan
hiperkalemia. ini merupakan sebagian dari kumpulan gejala pada sindrom uremia, dimana
terjadi pada pasien yang mengalami peningkatan ureum kreatinin yang akan mempengaruhi
setiap system tubuh yang biasanya ditemukan pada tahap penyakit ginjal stadium akhir
(ESRD). Pada pemeriksaan laboratorium : Ureum: 185 mg/dl, Creatinin : 10,49 mg/dl.
Dan kalium : 6,6. Hal ini merujuk pada adanya penyakit ginjal stadium akhir pada
pasien ini.
Hal ini sesuai dengan gejala sindrom uremia :

Sistem urinarius : Poliuria yang berlanjut menjadi oliguria akhirnya anuria, nokturia, BJ
urin 1,010, proteinuria, silinder

Biokimia : Asidosis metabolik, azotemia, hiperkalemia, retensi atau pembuangan natrium,


hipermagnesia, hiperurisemia

Sistem kardiovaskuler : Hipertensi akibat penimbunan cairan dan garam atau


peningkatan aktivitas sistem RAA, edema akibat penimbunan cairan, gagal jantung
akibat penimbunan cairan dan hipertensi, ganggunan irama jantung, penyakit jantung
koroner akibat aterosklerosis, dan nyeri dada dan sesak nafas akibat pericarditis, efusi
perikardial

Sistem pernafasan : Paru-paru rentan terhadap infeksi karena akumulasi cairan, edema
paru, pneumonitis, dispnea karena gagal jantung kongestif , pernafasan kussmaul

Sistem hematologi :
a. Anemia normokrom normositik, karena :

kurang asupan zat besi, asam folat, dll akibat anoreksia


11

gangguan absorpsi zat besi di usus

kurangnya produksi eritropoetin,hingga rangsangan eritropoesis pda sumsum


tulang

pedarahan dan hemolisis menyebabakan kehilangan banyak darah


fibrosis sumsum tulang akibat hiperparatiroidisme sekunder

b.

Gangguan fungsi trombosit dan trombositopenia : Perdarahan spontan dan memar

c.

Gangguan fungsi lekosit : Rentan terhadap infeksi

d.

Hemolisis karena defek ektrakorpuskuler (masa hidup eritrosit lebih pendek)

Kulit : Pucat (anemia), coklat kebiruan (pigmentasi), kering bersisik dan turgor jelek
(dehidrasi), pruritus (endapan kalsium), ekimosis (hemostatis kurang baik), urea frost
(konsentrasi ureum di keringat), kuku tipis rapuh, rambut kering mudah patah dan
rontok.

Sistem gastrointestinal : Anoreksia, nausea, vomitus, foetor uremik, mulut kering dan
rasa logam , hiccup, stomatitis, gastroenteritis, ulkus peptik, dan kolitis uremik,
perdarahan, diare

Sistem neuromuskuler :Neuropati perifer (Restless leg syndrome pegal pada kakinya,
burning feet syndrome rasa kesemutan dan seperti terbakar, perubahan sensorik
parastesi, perubahan motorik foot drop), SSP (gangguan konsentrasi, apatis, letargik,
tremor, insomnia, kekacauan mental, asteriksis, mioklonus, kejang, koma), miopati (otot
lemah,kecil)

Sistem endokrin-metabolik : gangguan fungsi paratiroid, toleransi glukosa, dan


metabolisme insulin, metabolisme lemak, protein, karbohidrat, vitamin D, produksi
hormon berkurang pada anak pertubuhan lambat, pada perempuan amenorea dan tidak
dapat mempertahankan kehamilan, sedangkan pada laki-laki impotensi, libido menurun
oligosperma, peningkatan kadar gula darah

Gangguan kalsium dan rangka : hiperfosfatemia, hiperkalemia, hipokalsemia,


hiperparatiroidisme sekunder, osteodistrofi ginjal, fraktur patologik, deposit garam
kalsium di otak, persendian, jantung dan pembuluh darah, paru, konjungtivitis

12

DM yang tidak terkontrol merupakan salah satu faktor terjadinya nefropati diabetikum.
Telah diperkirakan bahwa 35-40% pasien DM tipe 1 akan berkembang menjadi gagal ginjal
kronik dalam waktu 15-25 tahun setelah awitan diabetes. Sedang DM tipe 2 lebih sedikit.
DM menyerang struktur dan fungsi ginjal dalam berbagai bentuk dan dapat dibagi menjadi 5
stadium. : Stadium 1, bila kadar gula tidak terkontrol, maka glukosa akan dikeluarkan lewat
ginjal secara berlebihan. Keadaan ini membuat ginjal hipertrofi dan hiperfiltrasi. Pasien akan
mengalami poliuria. Perubahan ini diyakini dapat menyebabkan glomerulusklerosis fokal,
terdiri dari penebalan difus matriks mesangeal dengan bahan eosinofilik disertai penebalan
membran basalin kapiler. Bila penebalan semaklin meningkat dan GFR juga semakin
meningkat, maka masuk ke stadium 2. Pada stadium 3, glomerulus dan tubulus sudah
mengalami beberapa kerusakan. Tanda khas stadium ini adalah mikroalbuminuria yang
menetap, dan terjadi hipertensi. Stadium 4, ditandai dengan proteinuria dan penurunan GFR.
Retinopati dan hipertensi hampir selalu ditemui. Stadium 5, adalah stadium akhir, ditandai
dengan peningkatan BUN dan kreatinin plasma disebabkan oleh penurunan GFR yang
cepat.11
Pada penilaian keadaan ginjal pasien dengan menggunakan perhitungan kreatinin clearance
menggunakan rumus Cockcroft-Gault,didapatkan pasien sudah masuk pada tahap CKD
stadium 5 dengan Laju Filtrasi Glomerulus 6,3 ml/mnt/1,73 m2.
LFG (ml/mnt/1,73 m2) = (140 - umur) x berat badan (kg) x 0,85
72 kreatinin plasma (mg/dl)
= (140-54) x 50 kg x 0,85= 4,83 ml/mnt/1,73 m2.
72 x 10,49mg/dl

Deraja
t

Penjelasan

LFG
(mL/menit/1,73m2)

Kerusakan ginjal dengan LFG normal


atau

90

Kerusakan ginjal dengan LFG ringan

60-89

Kerusakan ginjal dengan LFG sedang

30-59

Kerusakan ginjal dengan LFG berat

15-29
13

Gagal ginjal

<15 atau dialisis

Pasien datang dengan fungsi ginjal yang menurun ditandai dengan peningkatan kadar
ureum mencapai 185 mg/dL dan kreatinin serum 10,49 mg/dL. Sesuai dengan definisi CKD yaitu
adanya penurunan LFG dengan atau tanpa kerusakan ginjal,kerusakan ginjal yang dimaksud
dapat berupa struktural atau fungsional selama lebih dari 3 bulan. Pada pasien ini dilakukan
hemodialisa. Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif.
Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati
azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi
refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan kreatinin > 10
mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan
astenia berat (Sukandar, 2006).
Pada penatalaksanaan berikutnya pasien diberikan IVFD Renxamin /12 jam untuk
mengatasi keluhan lemas dan ranitidin 2x1 ampul dan Ondancetron 3x4 mg untuk
menghilangkan rasa mual dan muntah pasien,

Fusrosemid 1x2 ampul untuk mengatasi

terjadinya edema . untuk mengurangi sesaknya diberikan oksigen 3 l/menit.


Pada pasien ini juga didapatkan pleuropneumonia
Adanya infeksi pada pasien sangat berpengaruh terhadap pengendalian glukosa darah. Infeksi
dapat memperburuk kendali glukosa darah, dan kadar glukosa darah yang tinggi meningkatkan
kemudahan atau memperburuk infeksi. Salah satunya adalah infeksi saluran nafas seperti
pneumonia dan TB paru. Pneumonia pada diabetes biasanya disebabkan oleh streptokokus,
stafilokokus, dan bakteri batang gram negative. Infeksi jamur pada pernafasan oleh
aspergillosis, mucormycosis juga sering terjadi.
Pun penyandang diabetes lebih rentan untuk terjangkit TB paru. Pemeriksaan rontgen daa,
memperlihatkan pada 70 % penyandang diabetes terdapat lesi paru-paru bawah dan kavitasi.
Pada penyandang diabetes juga sering disertai dengan adanya resistensi obat-obat tuberculosis.
Diet DM tipe 2 bertujuan mengendalikan kadar gula darah pasien sehingga pasien tetap
mendapat asupan seimbang dan tidak berlebihan kalori perhari nya. Hemodialisia dilakukan
untuk membuang ureum dan kreatinin serta zat-zat yang seharusnya dapat di filtrasi secara baik
oleh ginjal, namun terjadinya chronic kidney disease pada pasien ini membuat kadar zat-zat
toksik melambung dan pasien jatuh dalam keadaan delirium.

14

Pada kasus ini sebaiknya dilakukan penilaian diet sesuai dengan daftar penentuan
kebutuhan kalori yang pada pasien ini 25-30 kalori/kg BB ideal, ditambah atau dikurangi
bergantung pada beberapa factor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan dan lain-lain.
Bertujuan agar diet bermanfaat selain mengendalikan kadar gula darah juga sesuai dengan
kecukupan gizi pasien agar penyembuhan maksimal.
Perencanaan makan
Pada American Diabetes Association (ADA) menganjurkan pasien diabetik untuk diet seimbang
dan rendah lemak. Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur dan stress
akut disertai kegiatan jasmani untuk mencapai berat badan ideal.
Berat badan ideal = (Tinggi Badan dalam cm 100) 10 % kg.
Kemudian hitung jumlah kalori yang dibutuhkan.
Laki-laki

= BB ideal x 30

Perempuan

= BB ideal x 25

Dan ditambah lagi sesuai dengan kegiatan sehari-hari.


-

Kerja ringan

: + 10 % dari kalori basal

Kerja sedang

: + 20 % dari kalori basal

Kerja berat

: + 30 % dari kalori basal

Kurus, tumbuh kembang, terdapat infeksi, sedang hamil/menyusui

+ 20 30 % dari kalori

basal.
Pada pasien ini
BB ideal

= (160 cm 100) 10 % kg.


= 50 (10% x 50) kg
= (60 5) kg
= 55 kg

Jumlah kalori yang ideal untuk perempuan

= 55 x 25
= 1375 kal

Jadi pasien ini membutuhkan 1375 kalori


Pada pasien ini diet yang mengandung protein jangan terlalu tinggi karena adanya nefropati
diabetik mellitus. Jika terjadi penurunan fungsi gunjal yang bertambah berat, diet protein
diberikan 0,6-0,8 gram/kgBB per hari.

15

16

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
DIABETES MELLITUS
ETIOLOGI
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit kronik metabolik yang dikarakterisasi
oleh hiperglikemia kronik dengan adanya gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein
sebagai akibat adanya kerusakan dalam sekresi insulin, sensitivitas reseptor insulin, ataupun
keduanya.
Pada keadaan normal terjadi metabolisme seimbang dari glukosa, asam lemak bebas, dan
asam amino untuk menjaga kadar glukosa dalam darah dalam batas yang normal. Sedangkan
pada penderita diabetes, glukosa dalam darah tidak dapat diatur dengan baik karena gangguan
pada hormon insulin sehingga mengakibatkan kadar glukosa dalam darah meningkat.
Diabetes Melitus dapat diakibatkan oleh:
1. Pengrusakan (destruksi) sel-sel beta pankreas yang dimediasi oleh imun akibat defisiensi
absolut insulin.
2. Terjadinya resistensi pada reseptor insulin bersamaan dengan defisiensi relatif insulin.
3. Penyebab-penyebab lain tak umum:
a.

Penyakit-penyakit endokrin (akromegali, sindrom cushing)

b.

Penyakit pankreas eksokrin (pankreatitis)

c.

Pengobatan (golongan glukokortikoid, pentamidin, niasin, dan -interferon)

Mekanisme Pelepasan Insulin


Insulin diproduksi oleh sel pulau langerhans pada pankreas. Pelepasan insulin dari sel
terutama dirangsang oleh adanya glukosa. Sel memiliki saluran K+ yang diatur oleh ATP
intraselular (Kanal/saluran KATP ). Ketika kadar glukosa darah meningkat, semakin banyak
17

glukosa yang masuk ke dalam sel . Glukosa masuk ke dalam sel melalui GLUT 2 transporter
(lokasi jaringan hati, sel langerhans, usus halus, ginjal). Glukosa yang masuk kemudian
difosforilasi oleh glukokinase dan menghasilkan ATP. Semakin banyak glukosa yang masuk ke
dalam sel maka jumlah ATP intraselular meningkat. Peningkatan jumlah ATP intraselular ini
menutup kanal KATP . Akibat penutupan kanal KATP terjadi depolarisasi sel yang memprakarsai
masuknya ion Ca2+ melalui kanal Ca2+ yang sensitif terhadap voltase dan merangsang pelepasan
insulin.

Gambar 1. mekanisme pelepasan insulin di sel pulau langerhans

Reseptor insulin merupakan glikoprotein yang terbagi atas sub unit dan sub unit .
18

Setelah insulin terikat pada sub unit , kompleks insulin-reseptor masuk ke dalam sel di mana
insulin dipecah oleh enzim lisosomal. Pengikatan insulin kepada reseptor mengaktifkan tirosin
kinase dari sub unit dan merangsang kompleks reaksi rantai yang menimbulkan kerja dari
insulin.
GEJALA
Gejala-gejala diabetes melitus antara lain:
1. Glukosuria, yaitu terdapat glukosa dalam urin (yang dalam keadaan normal tidak ada).
2. Poliuria, yaitu peningkatan pengeluaran urin. Hal ini terjadi karena kadar gula yang tinggi
dalam darah sehingga glukosa akan sampai ke air kemih. Glukosa yang bersifat diuretik
osmosis akan menarik air di sekitarnya sehingga ginjal akan membuang air tambahan untuk
mengencerkan sejumlah besar glukosa tersebut. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam
jumlah yang berlebihan, maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak. Hal
tersebut menyebabkan dehidrasi dan hilangnya elektrolit pada penderita.
3. Polidipsi, yaitu peningkatan rasa haus yang disebabkan karena dehidrasi.
4. Polifagia, yaitu peningkatan rasa lapar. Hal ini terjadi karena viskositas darah yang tinggi
menyebabkan aliran darah lambat mencapai otak sehingga otak kekurangan oksigen dan
nutrisi. Hal ini akan merangsang respon lapar di hipotalamus.
5. Badan lemas dan lesu akibat insulin tidak dapat bekerja untuk memasukkan glukosa ke
dalam sel sebagai sumber energi.
6. Berat badan menurun karena lemak dipecah untuk memenuhi kebutuhan energi dalam sel.

KLASIFIKASI
Penyakit Diabetes Melitus dapat digolongkan menjadi 4 tipe, yaitu:
1.

DM Tipe 1 : IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus)


Diabetes melitus tipe 1 merupakan penyakit karena gangguan autoimun yang
berkembang pada masa anak-anak, remaja maupun masa awal dewasa. Diabetes melitus tipe 1
merupakan penyakit hiperglikemia akibat ketiadaan absolut insulin. Kasus DM tipe 1 terjadi
sekitar 10 % dari seluruh kasus DM. Pada umumnya DM tipe 1 diawali dengan pemaparan
genetis terhadap individu yang rentan terhadap DM, pun karena agen lingkungan pencetus serta
autoimunitas dari sel pulau langerhans.

19

Pasien DM tipe 1 harus mendapat insulin pengganti. DM tipe I biasanya dijumpai pada
orang yang tidak gemuk berusia kurang dari 30 tahun, dengan perbandingan laki-laki lebih
banyak daripada wanita. Insiden DM tipe I memuncak pada usia remaja dini, maka dahulu
bentuk ini disebut sebagai diabetes juvenilis. Namun, DM tipe I dapat timbul pada segala usia.

Penyebab DM Tipe 1
DM tipe 1 diperkirakan timbul akibat destruksi autoimun sel-sel pulau langerhans yang
dicetuskan oleh lingkungan. Serangan autoimun dapat timbul setelah infeksi virus misalnya
gondongan, rubella, sitomegalovirus kronik atau setelah pajanan obat atau toksin (misalnya
golongan nitrosamin yang terdapat pada daging yang diawetkan). Pada saat dilakukan diagnosis
DM tipe 1, ditemukan antibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans pada sebagian besar pasien.
Penyebab seseorang dapat membentuk antibodi terhadap sel-sel pulau langerhans belum
diketahui secara pasti. Salah satu kemungkinannya adalah bahwa terdapat suatu agen lingkungan
yang secara antigenis mengubah sel-sel pankreas untuk merangsang pembentukan autoantibodi.
Kemungkinan juga para individu yang mengidap DM tipe 1 memiliki kesamaan antigen antara
sel-sel beta pulau langerhans mereka dengan virus atau obat tertentu. Sewaktu merespon
terhadap virus atau obat tersebut, sistem imun gagal mengenali bahwa sel-sel pulau langerhans
adalah bukan antigen. Selain itu, terdapat pula kecendrungan genetik untuk DM tipe 1. Sebagian
orang mungkin memiliki gen diabetogenik, yaitu suatu profil genetik yang menyebabkan mereka
rentan mengidap DM tipe 1 (atau mungkin penyakit autoimun lainnya).

Karakteristik DM tipe 1
Pengidap DM tipe 1 memperlihatkan penanganan glukosa yang normal sebelum penyakit
muncul. Namun, ketika penyakitnya muncul, pankreas sedikit atau tidak mengeluarkan insulin.
Kadar glukosa darah meningkat karena tanpa insulin glukosa tidak dapat masuk ke sel. Pada saat
yang sama, hati mulai melakukan glukoneogenesis (sintesis glukosa baru) menggunakan substrat
yang tersedia berupa asam amino, asam lemak, dan glikogen. Substrat-substrat ini mempunyai
konsentrasi yang tinggi dalam sirkulasi karena efek katabolik glukagon tidak dilawan oleh
20

insulin. Hal ini menyebabkan sel-sel mengalami kelaparan walaupun kadar glukosa darah sangat
tinggi. Hanya sel otak dan sel darah merah yang tidak kekurangan glukosa karena keduanya
tidaka memerlukan insulin untuk memasukkan glukosa.
Semua sel lain kemudian menggunakan asam lemak bebas untuk menghasilkan energi.
Metabolisme asam lemak bebas di siklus Krebs menghasilkan adenosine trifosfat (ATP) yang
diperlukan untuk menjalankan fungsi sel. Pembentukan energi yang hanya mengandalkan asamasam lemak menyebabkan produksi badan keton oleh hati meningkat. Keton bersifat asam
sehingga pH plasma turun.
2. DM Tipe 2 : NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus)
Pada DM tipe 2, pankreas tetap menghasilkan insulin namun tubuh mengalami resistensi
terhadap insulin sehingga tubuh menganggap kebutuhan insulin kurang. Resistensi insulin terjadi
karena penurunan kemampuan insulin merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer
dan untuk menghambat glukosa oleh hati.
DM tipe 2 biasanya dimulai pada orang berusia lebih 30 tahun dan akan lebih progresif
terjadi pada usia lebih lanjut. Sekitar 15% dari pasien berusia lebih dari 70 tahun mengalami DM
tipe 2. Pasien dari latar belakang ras dan etnis tertentu memiliki resiko lebih tinggi mengalami
DM tipe 2. Kulit hitam, penduduk asli Amerika, dan Hispanik yang tinggal di Amerika Serikat
memiliki resiko dua sampai tiga kali lipat terhadap DM tipe 2. Type 2 diabetes also tends to run
in families. DM tipe 2 juga cenderung terjadi dalam satu keluarga.
Obesitas (kelebihan berat badan) merupakan faktor utama terjadinya DM tipe 2. Sekitar
8090% pasien yang mengalami DM tipe 2 adalah pasien dengan obesitas. Obesitas
menyebabkan resistensi terhadap insulin sehingga tubuh memerlukan jumlah insulin yang lebih
besar untuk mencapai kadar gula normal darah. Pankreas pada pasien ini masih memproduksi
insulin, namun memerlukan pengendalian diri, latihan fisik dan penggunaan obat-obatan untuk
meningkatkan produksi insulin dan memperbaiki penggunaan glukosa.
Certain disorders and drugs can affect the way the body uses insulin and can lead to type
2 diabetes.Kelainan dan penggunaan obat-obatan tertentu dapat mempengaruhi tubuh dalam
penggunaan insulin dan dapat menyebabkan DM tipe 2. High levels of corticosteroids (from
Cushing's disease or from taking corticosteroid drugs) and pregnancy (gestational diabetessee
21

Pregnancy Complicated by Disease: Gestational Diabetes ) are the most common causes of
altered insulin use. Kortikosteroid dosis tinggi (dari penyakit Cushing atau mengkonsumsi obat
kortikosteroid) dan kehamilan adalah penyebab paling umum terjadinya perubahan penggunaan
insulin oleh tubuh. Diabetes also may occur in people with excess production of growth hormone
(acromegaly) and in people with certain hormone-secreting tumors. DM tipe 2 juga dapat terjadi
pada pasien dengan kelebihan produksi hormon pertumbuhan (acromegali) dan pada orang yang
mensekresi hormon tertentu penyebab tumor. Severe or recurring pancreatitis and other disorders
that directly damage the pancreas can lead to diabetes. Pankreatitis kronis atau berulang dan
penyakit lainnya yang secara langsung merusak pankreas dapat menyebabkan DM tipe 2.

Karakteristik DM Tipe 2
Orang-orang dengan DM tipe 2 mungkin tidak mengalami gejala apapun selama
bertahun-tahun atau puluhan tahun sebelum mereka didiagnosis.Increased urination and thirst are
mild at first and gradually worsen over weeks or months. Pada awalnya terjadi peningkatan
urinasi dan rasa haus yang ringan dan secara bertahap akan semakin memburuk selama beberapa
minggu atau bulan. Akhirnya, orang merasa sangat lelah, penglihatan kabur, dan mengalami
dehidrasi. Sometimes during the early stages of diabetes, the blood sugar level is abnormally
low, a condition called hypoglycemia (see Hypoglycemia ).Kadang-kadang selama tahap awal
diabetes, kadar gula darah rendah, atau mengalami kondisi yang disebut hipoglikemia.
Lazimnya penyakit ini dimulai pada usia di atas 40 tahun dengan insidensi lebih besar
pada orang gemuk (overweigh) dengan Q.I >27 dan pada usia lanjut. Oleh karena proses menua
banyak pasien jenis ini mengalami penyusutan sel-sel beta yang progresif serta penumpukan
amiloid di sekitar sel-sel beta. Sel beta yang tersisa umumnya masih aktif, tapi sekresi insulinnya
semakin berkurang. Selain itu kepekaan reseptornya menurun. Mungkin juga berkaitan dengan
suatu infeksi virus pada masa muda. Antara 70-80% dari semua kasus diabetes termasuk jenis
ini, dimana faktor keturunan memegang peranan besar dengan kemungkinan penurunan penyakit
adalah 1:20. Orang yang malas dan kurang gerak lebih besar lagi risiko terkena DM tipe 2.
Tabel 1. Perbandingan DM tipe 1 dan tipe 2
Karakteristik

DM tipe 1

DM tipe 2
22

1. Tingkat sekresi insulin

2. Usia awitan yang

Tidak ada atau hampir

Mungkin normal

tidak ada

atau melebihi normal

Anak-anak

Masa dewasa

10-20%

80-90%

Tidak

Umumnya ya

Ya

Ya

Cepat

Lambat

Sering jika tidak diobati

Jarang

Destruksi sel beta

Penurunan kepekaan

pankreas

sel sasaran terhadap

lazim
3. Persentase pasien
4. Keterkaitan dengan
kegemukan
5. Faktor genetik dan
lingkungan penting
untuk mencetuskan
penyakit
6. Kecepatan
perkembangan gejala
7. Timbulnya ketosis
8. Defek dasar

insulin

3.

DM Dalam Kehamilan / DM Gestasional


DM Gestational adalah kehamilan normal yang disertai dengan peningkatan resistensi
insulin. DM Gestasional terjadi pada wanita hamil yang sebelumnya tidak mengidap diabetes.
Sekitar 50% wanita pengidap kelainan ini akan kembali ke status nondiabetes setelah kehamilan

23

berakhir. Namun, resiko mengalami DM tipe 2 pada waktu mendatang lebih besar daripada
orang normal.
Penyebab DM Gestasional dianggap berkaitan dengan peningkatan kebutuhan energi dan
kadar estrogen dan hormon pertumbuhan yang terus menerus tinggi selama kehamilan. Hormon
pertumbuhan dan estrogen merangsang pengeluaran insulin dan dapat menyebabkan gambaran
sekresi berlebihan insulin seperti DM tipe 2 yang akhirnya menyebabkan penurunan
responsivitas sel. Hormon pertumbuhan memiliki beberapa efek anti insulin, misalnya
perangsangan glikogenolisis (penguraian glikogen) dan penguraian jaringan lemak. Semua faktor
ini mungkin berperan menimbulkan hiperglikemia pada DM Gestasional. Wanita yang mengidap
DM Gestasional mungkin sudah memiliki gangguan subklinis pengontrolan glukosa bahkan
sebelum diabetes muncul.
DM Gestasional dapat menimbulkan efek negatif pada kehamilan dengan meningkatkan
resiko malformasi konginetal, lahir mati, dan bayi bertubuh besar, yang dapat menimbulkan
masalah saat persalinan. DM Gestasional secara rutin diperiksa pada pemeriksaan medis
pranatal.
DM Gestasional terjadi bila dua atau lebih nilai berikut ditemukan atau dilampaui setelah
pemberian 75 gram glukosa oral:
Puasa : 105 mg/dl
1 Jam : 190 mg/dl
2 jam : 165 mg/dl
3 jam : 145 mg/dl

24

4.

DM Tipe Lain
Termasuk dalam golongan ini adalah diabetes melitus yang disebabkan oleh berbagai hal,
antara lain:

a.

Cacat genetik fungsi sel beta:


1). Maturity-Onset Diabetes of the Young (MODY)
2). Defek/cacat genetik fungsi sel beta akibat mutasi DNA mitokondria (DNA adalah
molekul pembawa sifat genetik yang terdapat dalam inti sel; mitokondria adalah organel
sel yang berfungsi untuk pernafasan sel dan pembuatan energi sel)
b. Cacat genetik kerja insulin
c. Penyakit eksokrin (suatu kelenjar yang mengeluarkan hasil produksinya melalui pembuluh)
pankreas:
1). Pankreatitis (radang/inflamasi pada pankreas)
2). Tumor/pankreatektomi (pankreas telah diangkat)
3). Pankreatopati fibrokalkulus (adanya jaringan ikat dan batu pada pankreas)

d. Endokrinopati
1). Akromegali (terlampau banyak hormon pertumbuhan)
2). Sindrom Cushing (terlampau banyak produksi kortikosteroid dalam tubuh)
3). Feokromositoma (tumor kelenjar anak ginjal, yang antara lain berfungsi menghasilkan
hormon steroid [kortikosteroid])
4). Hipertiroidisme
e. Karena obat/zat kimia:
1).

Vacor, pentamidin, asam nikotinat

2).

Glukokortikoid, hormon tiroid

3).

Tiazid, dilantin, interferon alfa dan lain-lain

f. Infeksi: Rubela (campak Jerman) kongenital (dialami sejak dalam kandungan),


cytomegalovirus (CMV)
g. Sebab imunologi yang jarang

Antibodi anti insulin (tubuh menghasilkan zat anti terhadap insulin, sehingga insulin tidak
dapat bekerja memasukkan glukosa ke dalam sel).
h. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan diabetes melitus: Sindrom Down, sindrom
Klinefelter, sindrom Turner dan lain-lain.
DIAGNOSIS
A. PEMERIKSAAN DM
1. Glukosa Plasma Sewaktu
Tes ini cenderung dilakukan bersamaan telah adanya keluhan klinik yang mengacu pada
diabetes melitus, seperti polidipsi, polifagi, poliuria, berat badan yang menurun, glukosuria, dan
sebagainya. Jika kadar glukosa plasma >200mg/dl, maka sudah dikatakan positif DM dan
penderita tidak perlu lagi pemeriksaan tes toleransi glukosa.
2. Glukosa Plasma Puasa (FBS)
Sebelum dilakukan pemeriksaan glukosa plasma puasa, pasien sebaiknya puasa terlebih
dahulu minimal 10 jam . Kadar normal <110 mg/dl, tetapi jika >126 mg/dl maka sudah dapat
dikatakan DM. Namun, jika glukosa plasma puasa terganggu, yaitu 110 - <126 mg/dl, maka
perlu diakukan tes toleransi glukosa oral untuk meyakinkan apakah DM atau bukan.
Kriteria diagnosa:
a. Dewasa

Serum puasa 70 110 mg/dl atau 3,89-6,11 mmol/L

Darah puasa

60 110 mg/dl atau 3,33-5,53 mmol/L

Tidak puasa

85-125 mg/dl untuk > 50 tahun


70115 mg/dl untuk < 50 tahun

b. Anak-anak :

60-110 mg/dl atau 3,33-5,53 mmol/L

3. Glukosa Darah 2 jam Postprandial (2-hr PBBS)


Tes dilakukan setelah makan dan merupakan tes yang baik untuk mendiagnosis ada
tidaknya diabetes. Spesimen darah 2 jam setelah makan pada individu puasa menunjukkan
peningkatan yang langka pada individu normal tetapi meningkat secara signifikan pada individu

diabetes. Tes ini juga digunakan untuk memonitor terapi insulin. Nilai normal : <120 mg/dl atau
< 6,7 mmol/L

4. Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)


Jika hasil pemeriksaan glukosa darah meragukan, pemeriksaan TTGO diperlukan untuk
konfirmasi diagnosis DM. Tes ini dilakukan untuk meyakinkan pasien apakah pasien benar-benar
menderita DM.
Prosedur pemeriksaan:
a. Pasien puasa selama 10-12 jam, diambil sampel plasma darah vena, lalu diukur kadar
glukosa darahnya.
b. Diberikan glukosa 75 gram, dilarutkan dalam air 250 ml, dan diminum selama dalam waktu 5
menit
c. Plasma darah pasien diambil setelah jam, 1 jam, 1 jam, 2 jam, dan 2 jam. Kemudian
diukur kadar glukosa darah tiap waktu pengambilan.
d. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

Tabel 6. Hasil tes toleransi glukosa


Kadar Glukosa
Normal

Belum pasti DM

DM

Puasa

<115

116-139

>140

0-120 menit

<200

<200

>200

Setelah 2 jam

<140

140-200

>200

(mg/dl)

5. Pemeriksaan benda keton

Nilai kadar glukosa pada tes TTGO bisa tinggi setelah 2 jam mendekati normal sehinggan
meragukan. Jadi, perlu dipastikan dengan tes benda keton. Pada pasien DM sering kali
didapatkan kadaan ketoasidosis. Dalam keadaan normal sebenarnya benda keton juga berfungsi
sebagai energi dalam metabolisme lemak, akan tetapi bila kadarnya tinggi dalam darah maka
akan menyebabkan pH darah meningkat, sehingga darah menjadi asam dan teradilah
ketoasidosis.

6. Hemoglobin Terglikosilasi ( HbA1c) ; Glychohemoglobin (G-Hb) ; Diabetic Control


Index
Tes ini merupakan indeks dari kontrol glukosa jangka panjang. Pengamatan terhadap
hemoglobin terglikosilasi merefleksikan rata-rata level gula darah selama periode 2-3 bulan
sebelum tes. Hasil tes tidak dipengaruhi oleh waktu, input makanan, olahraga, obat-obat
diabetes, maupun stres emosional. Hasil dilihat sebagai persentase total hemoglobin:

Normal (nondiabetic) :

4-7%

Diabetic

> 7%

Implikasi klinis
a. nilai meningkat pada kasus diabetes yang baru terdiagnosis atau yang tidak dikontrol dengan
baik
b. dengan kontrol insulin yang optimal, level HbA1c akan kembali pada rentang normal.
c. pasien diabetes yang terkontrol dengan baik mungkin saja masih memiliki kadar hemoglobin
terglikosilasi yang tinggi. Kadarnya kan menurun secara bertahap seiring dengan
digantikannya eritrosit lama yang kadar HB A1c-nya tinggi dengan sel-sel eritrosit baru.
d. Kontrol yang baik : < 9,0 %
Kontrol sedang

: 9,0 12,0 %

Kontrol buruk

: > 12,0 %

Faktor yang mempengaruhi


a. Hasil palsu mungkin saja terjadi pada kasus hemoglobinopati.
b. Nilai rendah pada kehamilan dan anemia sel sabit. Sementara nilai meningkat pada kondisi
thalasemia.

Tujuan pemeriksaan
a. Mengetahui sudah berapa lama pasien menderita DM
b. Mengetahui tingkat kepatuhan pasien dalam menjalankan pengobatan
c. Melihat efektifitas terapi.

B.

PEMERIKSAAN KOMPLIKASI DM
1. EKG (Elektrokardiogram)
Elektokardogram adalah rekaman tekanan potensial (voltase) listrik yang timbul sebagai
aktivitas jantung yang dicatat oleh elektrokardiogram dari permukaan tubuh. Yang direkam
adalah potensial-potensial listrik yang dapat timbul pada waktu otot-otot jantung berkontraksi.
Rekaman EKG biasanya dibuat pada kertas yang berjalan dengan kecepatan standar 25 mm/detik
dan refleksi 10 mm sesuai potensi 1 mV. EKG normal terdiri dari gelombang P, Kompleks QRS
dan gelombang T.

2. SGPT dan SGOT


Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui apakah terjadi pelemakan dalam hati dan
kematian sel hati, jug untuk mengetahui gangguan atau kelainan pada jantung. Jika sgot dan sgpt
meningkat akan beresiko pada infark miokard dan penyakit hati. SGOT terdapat hampir di semua
jaringan tubuh antara lain jantung dan hepar (tinggi), otot skelet, ginjal, pankreas, limfa, paruparu. SGPT banyak terdapat di hati dan otot jantung, otot skelet pankreas, limfa dan paru-paru.
Pada infark miokard, SGOT dan SGPT tinggi, tapi SGOT > SGPT. Sedangkan pada penyakit
hati, SGOT dan SGPT tinggi, tapi SGPT > SGOT.
Nilai normal SGOT dan SGPT tergantung cara dan umur:

Cara Karmen : SGOT > 35 IU/ml, SGPT 6-32 IU/ml

Cara Reitman dan Frankel : SGOT 8 -40 IU/ml, SGPT 7-35 IU/ml

Umur bayi : SGOT 0-120 IU/ml, SGPT 0-90 IU/ml.

3. LDH (Laktat Dehidrogenase)


LDH (Laktat Dehidrogenase)diperiksa untuk mengetahui apakah terjadinya keelainan
pada jantung karena enzim ini terdapat dalam sel otot jantung, otot skelet, hati, ginjal, eritrost
dan jaringan tumor. Yang ditetapkan yaitu isozim LDH yaitu LDH 1, LDH2, LDH3, LDH4,
LDH5.
LDH yang tinggi dalam darah menunjukkan bahwa proses glikolisis anaerob berlangsung
dominan di jantung dan mengindikasikan jantung mengalami iskemia. Kadar normal 85 300
IU/L (Wrobleski), 70-240 IU/L (King)

4. Serum Kreatinin
Tes ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada gangguan pd nefron ginjal akibat TD
tinggi dan dapat merusak nefron ginjal sehg terjadi gangguan sekresi & absorbsi pd ginjal. Kadar
kreatinin tinggi atau melebihi batas normal menunjukkan kreatinin tidak diekskresi sempurna
oleh ginjal.
Kadar kreatinin serum:
ringan

250-300 mol/L

sedang :

300-700 mol/L

tinggi

> 700 mol/L

5. CPK (Kreatinin fosfokinase)


CPK banyak terdapat di otot skelet, jantung, dan otak. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui kelainan pada otot jantung. Dikenal 3 macam isozim CPK yang tersusun dari dua
sub unit dan M, yaitu :
-

CPK 1 subunit B3 : CpK1 meningkat pada kelainan otak.

CPK 2 subunit M3 : CPK2 meningkat pada kelainan jantung

CPK3 subunit M : CPK3 meningkat pada kelainan otot

6. Asam Urat
Di dalam darh, asam urat akan diberikan dengan natrium membentuk garam (Natrium
Uric) untuk diekskresikan melalui urin. Pada pasien diabetes melitus dan kolesterol, karena
adanya gula dan lemak dalam darah maka darah akan menjadi kental dan terjadi retensi Na. Oleh
karena itu asam urat yang harusnya diekskrsikan menjadi tertahan menyebabkan garam urat
terakumulasi didalam darah dan terjadi hipertensi. Selain itu terakumulasi dipersendiaan
sehingga menyebabkan rasa nyeri dipesendiaan.Kadar asam urat yang normal adalah 3-6 mg/dl.

7. Tekanan Darah
Tekanan darah diperiksa untuk mengetahui normal tidaknya tekanan darah pada pasien.
Peningkatan tekanan darah dapt mengindikaasikan penurunan elastisitas pembuluh darah.
Tekanan darah tinggi (hipertensi) lebih banyak ditemukan pada diabetes dibanding non
diabetes. Pasien DM mempertahnkan tekanan darah agar tidak lebih dari 140/90 mmHg karena
tekanan darah yang tinggi dapat merusak atau memberi lesi pada endotel yang sebelumnya sudah
abnormal.

Tabel 7. Klasifikasi Tekanan Darah untuk yang berumur 18 tahun atau lebih.

Kategori

Sistolik (mmHg)

Diastolik (mmHg)

Optimal

<120

<80

Normal

<130

<85

Normal-tinggi

130-139

85-89

Tabel 8. Klasifikasi hipertensi

Kategori Hipertensi

Sistolik (mmHg)

Diastolik (mmHg)

Derajat 1

140-159

90-99

Derajat 2

160-179

100-109

Derajat 3

>180

>110

Dikatakan hipertensi jika pada dua kali atau lebih pemeriksaan yang berbeda waktu
didapatkan tekanan darah rata-rata dari dua atau lebih pengukuran, diastolik 90 mmHG atau
lebih atau sistolik 140 mmHg atau lebih.

8. Kolesterol Total
Kadar kolesterol yang abnormal dalam sirkulasi darah bisa menyebabkan masalah jangka
panjang. Resiko terjadinya aterosklerosis dan penyakit arteri koroner meningkat pada seseorang
yang memiliki kadar kolesterol total yang tinggi. Kadar kolesterol rendah biasanya lebih baik
dibandingkan dengan kadar kolesterol yang tinggi, tetapi kadar yang terlalu rendah juga tidak
baik. Kadar kolesterol total yang ideal adalah 140-200 mg/dl atau kurang. Jika kadar kolesterol
total mendekati 300 mg/dl, maka resiko terjadinya serangan jantung adalah lebih dari 2 kali.

9. Trigliserida

Kadar normal dari triglserida dalam darah adalah 10-160 mg/dl. Kadar trigliserida darah
diatas 250 mg/dl dianggap abnormal, tetapi kadar yang tinggi ini tidak selalu menandakan resiko
terjadinya aterosklerosis maupun penyakit arteri koroner. Kadar trigliserida yang sangat tinggi
(sampai 800 mg/dl) bisa menyebabkan pembesaran hati dan limpa dan timbulnya gejala-gejala
pancreatitis (misalnya nyeri perut yang hebat).
10. HDL (High Density Lipoproteins)
Kolesterol yang dibawa HDL menyebabkan menurunkan resiko gangguan jantung dan
dirasa menguntungkan. HDL bertugas membuang kelebihan kolesterol dari dalam tubuh.
Idealnya, kadar kolesterol HDL tidak boleh kurang dari 40 mg/dl. Kadar HDL harus meliputi
lebih dari 25% dari kadar kolesterol total. Sebagai faktor resiko dari penyakit jantung atau sroke,
kadar kolesterol total tidak terlalu penting dibandingkan perbandingan kolesterol total dengan
kolesterol HDL atau perbandingan kolesterol LDL dengan kolesterol HDL.
11. LDL (Low Density Lipoproteins)
Kadar LDL dalam darah sangat penting untuk menilai terjadinya aterosklerosis. Idealnya
kadar kolesterol LDL tidak boleh lebih dari 130 mg/dl. Kadar LDL dapat digunakan untuk
menilai adanya resiko terjadinya aterosklerosis dengan melihat perbandingan antara kadar LDLHDL dalam darah. Nilai LDL dapat dihitung secara matematis sebagai berikut:
LDL = kolesterol total HDL (trigliserida:5)
12. Rontgen
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat orghan-organ tubuh seperti ginjal, jantung, dan
organ lannya. Diabetes tidak dapat secara langsung menyebabkan kardiomegali tetapi komplikasi
diabetes pada sistem kardiovaskular yang dapat menyebabkan kardiomegali.

13. Pemeriksaan Mata


Jenis pemeriksaan proliferase untuk mengetahui gejala komplikasi mata pada penderita
DM dapat dilakukan pemeriksaan menggunakan metoda fotokoagulasi laser. Tujuannya adalah
untuk mempertahankan dan memperbaikii ketajaman penglihatan dan mencegah timbulnya
Retinopati Diabetik Proliferatif. Dengan mekanismemenghentikan progresivitas neovaskularisasi

sehingga tidak menyebabkan kompliksai retinopati yang lebih berat dimana pada penderita DM
resiko kebutaan mencapai 50-60%. Metode ini dapat mengurangi resiko komplikasi retinopati
sebesar 50% dan merupakan tindakan yang cukup efektif.
Rekomendasi pemeriksaan mata pada DM
a. Pemeriksaan pertama:
usia diatas 30 tahun
: 5 tahun setelah diagnose
Usia dibawah 30 tahun : pada saat diagnose
Pada kehamilan
: trimester pertama
b. Pemeriksaan berkala:
Tidak ada retinopati :

setiap

tahun
RD non proliferative ringan tanpa
edema macula

6-12

bulan
RD non proliferative ringan
dengan edema macula

4-6 bulan
RD non proliferative sedang-berat
:

3 bulan

Selama kehamilan :

tiap

trisemester
RD non proliferative sangat berat
:

terapi dan contro < 3

bulan
RD proliferatif

dan control < 3 bulan

14. Pemeriksaan Jamur di Mulut

terapi

Untuk menentukan diagnosis kandidiasis harus dilakukan pemeriksaan mikroskopis,


disamping pemeriksaan klinis dan mengetahui riwayat penyakit. Bahan pemeriksaan dapat
diambil dengan beberapa cara yaitu usapan (swab) atau kerokan (scraping) lesi pada mukosa atau
kulit. Juga dapat digunakan darah, sputum dan urine.(Nolte, 1982). Selanjutnya bahan
pemeriksaan tersebut diletakkan pada gelas objek dalam larutan potassium hydroksida (KOH),
hasilnya akan terlihat pseudohyphae yang tidak beraturan atau blastospora. Selain pemeriksaan
mikroskopis.dapat dilakukan kultur dengan menggunakan agar sabouraud`s atau eosinmethylene
blue pada suhu 37 % C, hasilnya akan terbentuk koloni dalam waktu 24 48 jam.(Nolte ,
1982,Mc Farlen,2002). Pada kasus hyperplastik kandidiasis kronis pada umumnya dilakukan
biopsi, bahan pemeriksaan dapat diwarnai dengan periodic acid schiff (P.A.S),hasilnya akan
terlihat pseudomyselia dan hifa. (Silverman 2001, Mc Farlen, 2002). Disamping itu akan terlihat
parakeratosis dan leukosit polimorfonuklear. (Mc C ullough, 2005). Untuk lebih jelasnya, dapat
dilihat pada skema di bawah ini.

Gambar 13. Skema pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis kandidiasis


PENATALAKSANAAN

A.

PENGOBATAN DIABETES MELITUS


Terapi farmakologi dilakukan pada penderita diabetes mellitus jika terapi nonfarmakologi seperti olahraga, diet dan modifikasi gaya hidup tidak dapat mencapai tujuan terapi.
Terapi farmakologi diabetes mellitus terdiri dari 2 yaitu dengan insulin dan obat diabetik oral
(ADO).
1.

Insulin
Secara kimia, insulin adalah protein yang terdiri dari 51 asam amino, 30 di antaranya
membentuk satu rantai polipeptida (rantai A) dan 21 asam amino lainnya membentuk rantai
kedua (rantai B). Kedua rantai tersebut dihubungkan dengan ikatan disulfida. Insulin dapat

a.

diklasifikasi berdasarkan:
Sumber
1. Insulin Babi
Insulin babi memiliki perbedaan 1 asam amino dengan insulin manusia yaitu treonin, asam
amino ke-30 pada rantai A disubstitusi dengan alanin.
2. Insulin Sapi
Insulin sapi memiliki perbedaan 3 asam amino dengan insulin manusia, yaitu pada rantai A
treonin asam amino ke-30 dan ke-8 disubstitusi dengan alanin, dan isoleusin asam amino 10
disubstitusi dengan valin.
3. Insulin Manusia

b.

Masa Kerja
Ultra Short Acting Insulin (Insulin Lispro, Aspart, Glulisin)
Insulin Lispro merupakan insulin analog yang dihasilkan melalui teknolgi rekombinan,
dimana 2 asam amino pada rantai B dimodifikasi yaitu proline pada B28 dipindah ke B29 dan
lisin pada B29 dipindah ke B28. Insulin Aspart adalah insulin dimana terdapat asam aspartat
pada rantai B28. Insulin glulisin adalah insulin dimana 2 asam amino pada rantai B dimodifikasi
yaitu lisin B29 dipindah ke B3 dan glutamat pada B3 dipindah ke B29. Ketika disuntikkan secara
subkutan, insulin Lispro dan Aspart diabsorpsi dengan cepat dan mencapai kadar maksimum
dalam darah setelah 1-2 jam. Insulin Lispro dan Aspart diadministrasi 20-60 menit sebelum
makan, memiliki onset 15-30 menit dan durasi kerja sekitar 3-4 jam.
Insulin Lispro dan Aspart merupakan sediaan insulin yang jernih. Insulin jenis ini dapat
diberikan secara intravena pada keadaan hiperglikemia yang sangat parah untuk mendapatkan
efek hipoglikemia yang cepat. Namun durasi kerja insulin yang diberikan secara intravena hanya
berlangsung selama 30 menit.

2. Short Acting Insulin (Insulin Regular)


Insulin regular adalah kristal insulin yang tidak dimodifikasi yang biasanya disebut
sebagai insulin alami. Insulin Regular merupakan insulin zinc kristal yang berbentuk larutan.
Insulin regular memiliki onset 30 menit 1 jam setelah pemberian secara subkutan. Kadar
maksimum diperoleh setelah 2-3 jam. Durasi insulin regular adalah 3-6 jam. Pada injeksi
subkutan, regular insulin membentuk gumpalan kecil yang disebut dengan hexamer yang
kemudian mengalami konversi menjadi dimer yang diikuti menjadi monomer sebelum absorbsi
sistemik terjadi. Oleh karena itu, pasien harus diberitahukan untuk menyuntikan regular insulin
secara subkutan 30 menit sebelum makan. Insulin regular dapat diberikan secara intravena pada
keadaan hiperglikemia yang

parah dan diabetes ketoasidosis. Regular insulin adalah satu-

satunya insulin yang dapat diberikan secara intravena.


3. Intermediate Acting Insulin (Insulin Semilente, Lente dan Isophane)
Insulin Semilente adalah insulin zinc amorf. Insulin Lente adalah campuran 30% insulin
zinc amorf dan 70% kristal zinc insulin. Isophane atau Neutral Protamine Hagedorn (NPH)
merupakan kompleks insulin zinc kristalin dan insulin zinc protamin. Ketiganya terdapat dalam
bentuk suspensi. Insulin Lente memiliki onset 3-4 jam. Kadar maksimum dicapai setelah 6-12
jam setelah pemberian. Durasi kerja insulin Lente adalah 12-18 jam. NPH memiliki onset 2-4
jam. Kadar maksimum dicapai setelah 4-6 jam setelah pemberian. Durasi kerja insulin Lente
adalah 8-12 jam

4. Long Acting Insulin (Insulin Ultralente)


Insulin Ultralente adalah suspensi kristal zinc insulin yang sukar larut. Insulin Ultralente
memiliki onset 6-10 jam. Kadar maksimum dicapai setelah 10-16 jam. Durasi kerja insulin
Ultralente adalah 18-20 jam. Kerja insulin Ultralente yang terlalu lama dapat menyebabkan
akumulasi insulin dan hipoglikemia yang berbahaya pada pasien. Ada 2 macam insulin dengan
kerja panjang yang disetujui digunakan di US. Glargine dan detemir didesain sebagai dosis
tunggal insulin. Insulin glargine beda 3 asam amino dengan regular insulin, menyebabkan
kelarutannya rendah pada pH 4, yang akan mengendap pada pemberian subkutan. Glargine tidak
dapat diberikan secara intravena atau dicampur dengan produk insulin lainnya. Baik glargine
maupun detemir tidak memberikan konsentrasi puncak pada serum dan dapat diberikan tanpa

menghiraukan waktu atau adanya makanan. Selain itu jenis insulin yang mempunyai kerja
panjang adalah ultralente, yaitu suspense dari insulin zinc Kristal yang kelarutannya buruk
dengan durasi sampai dengan 35 jam.

Kombinasi produk insulin


Beberapa kombinasi insulin telah tersedia secara komersial. NPH tersedia dalam
kombinasi 70/30 dan 50/30 dengan insulin regular. Campuran dua macam insulin dengan masa
kerja pendek juga telah tersedia. Campuran dua macam insulin dengan masa kerja pendek juga
telah tersedia. Campuran Humalog 75/25 yang terdiri dari 75% suspense insulin lispro protamine
dan 25% insulin lispro. Camouran Novolog 70/30 yang terdiri dari 70% insulin aspart protamine
dan 30% insulin aspart. Suspensi insulin lispro dan aspart dikembangkan secara khusus pada
produk campuran dan tidak tersedia secara komersial dalam keadaan terpisah (sediaan tunggal).
Oral inhalation insulin
Insulin inhalasi pertama kali disetujui pada awal tahun 2006. Exubera, rekombinasi
insulin manusia, adalah alternatif insulin injeksi yang tersedia di US. Mempunyai waktu onset
antara 10-20 menit, yang sama dengan rapid-acting insulin, dan mempunyai durasi kerja sekitar
6 jam, yang sama dengan regular insulin. Inhalasi insulin tidak sepenuhnya menggantikan injeksi
insulin karena injeksi insulin dengan kerja panjang sangat penting dalam kontrol basal. Produk
ini tersedia dalam 3-8 unit injeksi insulin.
Beberapa pasien membutuhkan inhalasi multipel untuk mencapai dosis waktu makan.
Exubera tidak direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit paru-paru kronik seperti asma
atau penyakit pernapasan obstruksi kronik, pasien yang merokok, atau pasien yang telah berhenti
merokok 6 bulan yang lalu. Monitor fungsi paru-paru harus dilakukan pada awal dan 6 bulan
setelah permulaan terapi.

Tabel 6. Klasifikasi Insulin

Nama Generik

Pilihan Cara

Pabrik

Pemberian

Suhu
ruang,
Kadaluarsa

Insulin Durasi Cepat


Insulin pen, vial, atau
Humalog (insulin Lispro)

Novolog (insulin Aspart)


Apidra (insulin Glulisin)
Insulin Durasi Pendek
Humulin R (Reguler)
Tersedia U-100 dan U-500

Novolin R (Reguler)

Lilly

1,5 dan 3 ml pen

Novo-

cartridge
Insulin pen, vial, atau

Nordisk
Aventis

3 ml pen cartridge
Vial

Lilly

U-100, 10 ml vial
U-500, 20 ml vial

NovoNordisk

Insulin pen, vial, atau


3 ml pen cartridge,
dan InnoLet

28 hari

28 hari
28 hari
28 hari
Vial: 30
hari,
lainnya: 28
hari

Insulin Durasi Sedang


NPH
Vial: 28
Humulin N

Lilly

Vial, prefilled pen

hari, pen: 14
hari
Vial: 30

Novo-

Vial, prefilled pen,

Nordisk

dan InnoLet

Lente
Humulin L

Lilly

Vial

28 hari

Insulin Durasi Panjang


Humulin U (ultralente)
Lantus (insulin glargine)

Lilly
Aventis

Vial
Vial

28 hari
28 hari

Novolin N

Pre-mixed Insulin
Analog Pre-mixed insulin
Humalog Mix 75/25 (75%
netral protamine lispro,
25% lispro)

hari, lainnya
14 hari

Vial: 28
Lilly

Vial, prefilled pen

hari, Pen:
10 hari

Nama Generik

Novolog Mix 70/30 (70%


suspensi aspart protamine,
30% aspart)

Pilihan Cara

Pabrik

Pemberian

Suhu
ruang,
Kadaluarsa
Vial: 28

Novo-

Vial, prefilled pen, 3

hari,

Nordisk

ml pen cartridge

lainnya: 14
hari

Kombinasi NPH-regular
Vial: 28
Humulin 70/30

Novolin 70/30
Humulin 50/50
Mekanisme Kerja

Lilly

Vial, prefilled pen

Novo-

Vial, pen cartridge,

Nordisk

InnoLet

Lilly

Vial

hari, pen: 10
hari
Vial: 30
hari, lain:
10 hari

Insulin dapat menurunkan kadar glukosa darah melalui penghambatan proses


glikogenolisis dan glukoneogenesis. Selain itu insulin juga meningkatkan ambilan glukosa di
hati, otot dan jaringan adipose.

Indikasi
Penderita diabetes mellitus tipe I, penderita diabetes mellitus tipe II yang tidak bisa
ditangani oleh terapi non-farmakologik dan obat diabetes oral, penderita diabetes mellitus
dengan kadar glukosa darah yang sangat tinggi, misal pada penderita diabetik hiperosmolar yang
kadar glukosa darahnya bisa mencapai 600 mg/dL, wanita hamil dan menyusui.

Dosis
Pasien DM tipe 1 dimulai sekitar 0,6 units/kg/hari, dan dosis ditingkatkan perlahan-lahan
sampai glycemic goals tercapai. Rata-rata pasien DM tipe 1 menggunakan dosis 0,6-1
unit/kg/hari

Efek Samping
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan efek samping yang paling umum dari penggunaan insulin. Cara
penanganannya adalah:
-

Glukosa (10-15 g) yang diberikan secara oral direkomendasikan untuk diberikan pada
pasien yang sadar.

Dekstrosa secara intravena mungkin dibutuhkan oleh pasien yang hilang kesadaran.

Glukagon sebanyak 1 g secara intramuskular merupakan cara penanganan pilihan saat


pemberian IV tidak berhasil pada pasien yang hilang kesadaran

2. Alergi
Setidaknya terdapat 5 jenis antibodi insulin ketika melakukan terapi insulin, yaitu IgA, IgD,
IgE, IgG, IgM. Alergi insulin atau hipersensitivitas adalah kondisi yang jarang ditemukan
dimana terjadi urtikaria lokal atau sistemik akibat pelepasan histamin dari jaringan sel mast
yang diinduksi oleh antibodi anti insulin IgE. Pada beberapa kasus, risiko anafilaksis juga
terjadi.
3. Lipodistrofi pada tempat penyuntikan
Terdapat 2 bentuk lipodistrofi, yaitu lipohipertrofi dan lipoatrofi. Lipohipertrofi disebabkan
injeksi yang dilakukan pada satu area injeksi secara berulang-ulang. Aksi anabolik insulin
akan meningkatkan massa lemak yang dapat terlihat pada area injeksi. Lipoatrofi, disebabkan
reaksi imun antibodi insulin, ditandai oleh destruksi lemak yang terdapat di area injeksi.
Injeksi yang jauh dari area sebelumya dengan insulin yang dimurnikan direkomendasikan.
Oleh karena itu, rotasi tempat penyuntikan dapat dilakukan untuk mencegah lipodistrofi.
Rute Pemberian
1. Subkutan.
Absorpsi setelah pemberian insulin subkutan bervariasi dan bergantung pada lokasi
penyuntikan dan variasi individu. Pemberian insulin subkutan terus menerus memberikan
hasil yang memuaskan untuk pengendalian keadaan diabetes.
2. Intravena

Insulin yang diberikan secara intravena akan bekerja cepat, 2-5 menit setelah penyuntikan
akan tampak efek penurunan glukosa darah. Insulin yang diberikan secara intravena
merupakan sediaan insulin yang berupa larutan, yairu insulin kerja cepat.

Tempat Injeksi
1.
2.
3.
4.

Bagian belakang lengan atas


Daerah perut, namun area 2 cm di sekeliling pusar tidak boleh terkena injeksi insulin
Bokong
Bagian depan paha atas

Gambar 12. Area injeksi insulin


Hal-hal yang harus dperhatikan saat penyuntikan insulin:
1. Rotasi penyuntikan
2. Penyuntikan tidak boleh terkena pembuluh darah karena insulin yang diharapkan bekerja
lambat akan masuk dengan cepat ke sirkulasi sistemik sehingga menimbukan efek
hipoglikemia yang cepat
3. Jangan melakukan kerja berat setelah menyuntikkan insulin namun belum mendapatkan
asupan makanan
4. Jangan menyuntikkan insulin di malam hari
Alat Penyuntik Insulin:
1. Syringe
2. Insulin Pen
Insulin pen menggunakan jarum suntik sekali pakai untuk menyuntikkan insulin
3. Insulin Jet Injektor
Insulin jet injektor menggunakan tekanan untuk memasukkan insulin ke dalam epidermis,
4. Insulin Pump

Insulin pump merupakan alat yang menyuntikkan insulin melalui tube dan jarum yang
dimasukkan ke bawah kulit dekat abdomen. Insulin pump dapat dipakai seperti ikat
pinggang. Pompa akan melepaskan sejumlah insulin setelah makan dan saat kadar glukosa
darah tinggi berdasarkan pengaturan yang telah dilakukan oleh pasien.

Gambar 13. Wilayah injeksi alat insulin pada kulit


Kestabilan
Insulin yang belum dibuka direkomendasikan untuk disimpan di lemari es (2-8 F)
sebelum digunakan. Tanggal kadaluarsa dari pabrik yang tertera pada kemasan insulin berlaku
untuk insulin yang belum dibuka dan disimpan dalam lemari es. Sekali insulin digunakan,
tanggal kadaluarsa tersebut bervariasi tergantung insulin dan alat pemberiannya. Tabel 1
memberikan data tanggal kadaluarsa untuk insulin yang disimpan pada suhu kamar (15-30 F).
Untuk alasan finansial, pasien dapat menggunakan insulin lebih lama dari tanggal kadaluarsanya,
tetapi harus hati-hati terhadap kontrol gula darah dan gejala dari kerusakan insulin (menggumpal,
mengendap, berubah warna, dll).

2.
a.

Anti Diabetik Oral (ADO)


Sulfonilurea
Contoh obat sulfonylurea:
Generasi I: tolbutamid, klorpropamid, tolazamid
Generasi II: glibenkalamid, glipizide, gliquidon, glikazid, glimepirid

Mekanisme kerja:

Merangsang pelepasan insulin dari sel pulau Langerhans, sehingga terjadi peningkatan
sekresi insulin. Di dalam tubuh, sulfonilurea akan terikat pada reseptor spesifik sulfonilurea pada
sel pankreas. Ikatan tersebut menyebabkan berkurangnya asupan kalsium dan terjadi
depolarisasi membran, kemudian kanal Ca terbuka dan memungkinkan ion-ion Ca2+ masuk,
sehingga terjadi peningkatan kadar Ca2+ dalam sel. Peningkatan tersebut menyebabkan sekresi
insulin ke permukaan sel. Insulin yang telah terbentuk akan diangkut dari pankreas melalui
pembuluh vena untuk beredar ke seluruh tubuh. Obat ini hanya efektif untuk penderita diabetes
tipe II yang tidak begitu berat, yang sel-sel -nya masih bekerja dengan baik.

Indikasi:
DM tipe II, dimana kadar gula darah tidak dapat dikendalikan secara adekuat dengan diet,
latihan fisik dan penurunan berat badan saja.

Kontra indikasi:
DM tipe I, koma diabetikum, dekompensasi metabolik diabetik, kerusakan hati yang
parah, dan disfungsi hati.

Tabel 7. Profil beberapa obat [ulfonylurea

Dosis (mg)
Nama Obat

Klorpropami
d

Tolbutamid

Glibenklamid

Glikazid
Glipizid

Gliquidon

Glimepirid

Awal

100; 250

250; 500

2,5

40
2,5 ; 5 ;
10 ;20
15

1;2;4

Haria

Lama kerja
(jam)

n
500

3000

2,5-20

72

12

12-24

24

30-120 10-20

Pemberian

Efek samping
Efek

80-240 10-20
20

Frek

24

2-3

1-2

1-2
1-2

1-3

Dengan

samping utama

makanan

yang diketahui

Dengan makan

dari

atau segera

sulfonilurea

sesudah makan

adalah

Dengan makan

hipoglikemia

atau segera

dan

sesudah makan

berat

Dengan makan

Kadar

gula

darah

puasa

Sebelum makan
Sebelum makan
dan pagi

kenaikan
badan.

merupakan
indikator akan
potensi
terjadinya

Dengan makan

hipoglikemia.

atau segera

FPG

sebelum makan

tinggi

yang

menandakan peluang hipoglikemia besar. Hiponatremia (serum natrium <129 mEq/L) pernah
dilaporkan terjadi pada pengguna tolbutamid, tetapi umumnya menyerang penderita dengan
terapi klorpropamid yaitu sekitar 5%. Hiponatremia terjadi akibat diuresis yang terlalu kuat oleh
diuretik lengkungan, akibatnya kadar natrium plasma menurun drastis. Faktor pemicu terjadinya
hiponatremia adalah usia lanjut (> 60 tahun), wanita, penggunaan bersama dengan diuretik
tiazid. Efek samping lain dari penggunaan sulfonilurea antara lain ruam kulit, anemia hemolitik,
gangguan gastrointestinal, dan kolestasis. Reaksi tipe disulfiram pernah dilampirkan terjadi pada
pengguna tolbutamid dan klorpropamid yang dikombinasi dengan alkohol.

Interaksi obat
Tabel 8. Obat-obatan yang berinteraksi dengan sulfonilurea
Interaksi
Mengubah posisi ikatan protein

Warfarin,

Obat
salisilat,

fenilbutazon,

sulfonamid.
Mengubah metabolisme dalam hati Kloramfenikol, penghambat MAO,
(sitokrom P-450)
Perubahan ekskresi ginjal

simetidin, rifampisin.
Allopurinol dan Probenesid.

Interaksi obat yang terjadi pada Golongan sulfonilurea :


1. Klorpropamid dengan Probenesid
Bersihan/klirens dari klorpropamid dari tubuh diperpanjang dengan adanya probenesid, tetapi
secara klinik belum diketahui secara pasti.
2. Klorpropamid/Tolbutamid/Glikazid dengan Allopurinol
Peningkatan waktu paruh dari klopropamid dan penurunan waktu paruh dari tolbutamid
dengan pemakaian bersama dengan Allopurinol telah dijelaskan, tetapi efek dari perubahan
respon hipoglikemia dari pasien tidak dapat dipastikan. Hipoglikemia dan koma terjadi pada
pasien dengan penggunaan glikazid dan allopurinol.
3. Klorpropamid/Tolbutamid/Glibenklamid dengan Antikoagulan
Dicoumarol dan tolbutamid saling berinteraksi. Hal ini dapat meningkatkan hipoglikemia
(kemungkinan dapat koma) dan meningkatkan efek antikoagulan (memungkinkan terjadi
perdarahan)

Dicoumarol dapat meningkatkan efek hipoglikemia dari klorpropamida.

Warfarin-glibenklamid/tolbutamid dapat meningkatkan efek dari warfarin.


4. Tolbutamid-Azapropazone
Dua kasus dilaporkan bahwa penggunaan azapropazone-tolbutamid dapat meningkatkan efek
dari tolbutamid dan menyebabkan hipoglikemia.
5. Glibenklamid-Bosentan

Penggunaan glibenklamid-bosentan akan meningkatkan resiko kerusakan hati dan kombinasi


ini seharusnya dicegah. Glibanklamid mengurangi kadar plasma dari bosentan, dan bosentan
menurunkan kadar plasma dari glibenklamid.
6. Klorpropamid/Tolbutamid dengan Kloramfenikol
Efek hipoglikemia dari tolbutamid dan klorpropamid dapat meningkat dengan penggunaan
kloramfenikol. Hipoglikemia akut dapat terjadi.
7. Gliklazid/Glibenklamid dengan Simetidin/Ranitidin
Kasus hipoglikemia terjadi pada penggunaan gliklazid/simetidin dan glibenklamid
(glyburide)/ranitidin, tetapi perubahan pada pasien diabetes yang menggunakan sulfonilurea
yang juga diberikan simetidin atau ranitidin jarang terjadi. Pengecualiannya terjadi pada
glipizid dengan simetidin.
8. Glipizid/Glibenklamid dengan Flukonazol
Glipizid/Glibenklamid-Fluconazole dapat menyebabkan koma hipoglikemia disebabkan
adanya kenaikan efek hipoglikemia yang tinggi.
9. Tolbutamid dengan Ketonazol
Ketoconazole meningkatkan efek hipoglikemia dari tolbutamid.
10. Tolbutamid/Glibenklamid/Glikazid dengam Mikonazol
Efek hipoglikemia terjadi pada penggunaan tolbutamid, glibenklamid (gliburid) atau
gliklazid ketika digunakan bersama mikonazol.
11. Sulfonilurea dengan Rimfampisin
Rifampicin menurunkan kadar serum dari tolbutamid, glimidin, klorpropamid dan
glibenklamid (gliburid). Peningkatan dosis perlu dilakukan untuk mengontrol DM secara
efektif.
12. Sulfonilurea dengan fibrat
Sulfonilurea-Klorfibrate akan meningkatkan efek hipoglikemia pada beberapa pasien dan
penggurangan dosis perlu untuk dilakukan. Efek anti diuretik dari klorfibrat pada pengobatan
diabetes insipidus berlawanan dengan glibenklamid.

13. Sulfonilurea-bile acid sequestrants


Efek hiperkolesterolemia dari kolestipol tidak mempengaruhi insulin tetapi akan
menginaktifkan terapi dari phenformin dan sulfonilurea. Fakta menunjukan bahwa absorpsi
dari glipizid akan berkurang sekitar 1/3 jika digunakan secara bersama-sama dengan
kolestiramin.Tolbutamid tidak berinteraksi dengan obat ini.
14. Sulfonilurea-Beta bloker
Efek hipoglikemia sufonilurea akan berkurang dengan adanya beta-blockers. Saat pemberian
insulin

dan

sulfonilurea

harus

hati-hati

dengan

tanda-tanda

dari

hipoglikemia

(takikardi,tremor) tidak akan terjadi meskipun produksi keringat meningkat.

Tabel 9. Sediaan obat-obat golongan sulfonilurea


b.

Klorpropamid

Glibenklamid
Daonil 5mg/
Diabenese 100,
tablet, Semi250mg/ tablet
Daonil 2,5mg/
(Pfizer)
tablet (Aventis)
Tesmel 100 mg/ Glukonic 5 mg/
tablet (Phytho
tablet
kemo agung)
(Nicholas)
Glimel 5 mg/
tablet (Merck)
Prodiabetik 5
mg/ tablet
(Bernofarm)
Renabetik 5
mg/ tablet
(Fahrenheit)
(Metformin)

Glipizid

Glimepirid

Glikazid

Bi

Aldiab 5 mg/
tablet (Merck)

Amaryl 1, 2, 3
mg/ tablet
(Aventis)

Diamicron 80
mg/ tablet
(Darya Varia)

Glucotrol 5,
10 mg/ tablet
(Pfizer)
Minidiab 5, 10
mg/ tablet
(Kalbe farma)

Glibet 80 mg/
tablet
(Dankos)
Glicab 80 mg/
tablet (Tempo
Scan Pasific)
Glidabet 80
mg/ tablet
(Kalbe farma)
Gored 80 mg/
tablet
(Bernofarm)

u
a
ni
d

Mekanisme kerja
Golongan Biguanid mempunyai efek menurunkan kadar gula darah yang meningkat pada
penderita diabetes, tetapi tidak meningkatkan sekresi insulin. Penurunan kadar gula darah ini
disebabkan oleh peningkatan asupan glukosa ke dalam otot, penurunan glukoneogenesis yang
meningkat dan penghambatan absorpsi glukosa intestinal. Metformin meningkatkan sensitivitas

insulin di hati dan jaringan periferal (otot). Mekanisme pasti bagaimana metformin dapat
meningkatkan sensitivitas insulin masih diteliti, tetapi mungkin berhubungan dengan adanya
adenosin-5-monofosfat yang mengaktifkan aktivitas protein kinase, tirosin kinase, dan glukosa
transporter.
Efeknya ialah turunnya kadar insulin yang terlau kuat dan penurunan berat badan,
bersifat menekan nafsu makan atau anoreksia.
Pada orang normal, mekanisme anti regulasi akan menutupi efek obat sehingga kadar
gula tidak berubah. Metformin tampaknya memperkuat efek insulin, dengan meningkatkan
ikatan insulin pada reseptornya.

Indikasi
Pengobatan awal untuk diabetes tipe 2 dengan berat badan lebih atau normal dan diet
gagal. Terapi tunggal pada kegagalan sulfonilurea primer dan sekunder. Terapi tambahan pada
diabetes tipe 1 untuk menurunkan dosis insulin yang dibutuhkan.
Kontra indikasi
DM dengan koma, ketoasidosis, kerusakan fungsi ginjal yang serius, penyakit hati yang
kronik, gagal jantung, infark miokard, alkoholisme, penyakit kronik dan akut yang berhubungan
dengan hipoksia jarinagn, riwayat penyakit yang berhubungan dengan asidosis laktat, syok,
hipersensitivitas.
Perhatian: Fungsi ginjal yang kurang sempurna. Monitor fungsi ginjal secara teratur.
Hamil dan menyusui hentikan pemberian 2-3 hari sebelum operasi. Kondisi yang dapat
menyebabkan dehidrasi, penderita dengan infeksi serius atau trauma.
Dosis
Metformin biasanya diberikan dengan dosis 500 mg dua kali sehari dengan makanan
untuk mengurangi efek samping gastrointestinal. Metformin dapat ditingkatkan dosisnya dari
500 mg tiap minggu hingga tercapai glikemik atau 2000 mg/ hari. Dosis metformin sehari
dimungkinkan 850 mg kemudian ditingkatkan setiap satu atau dua minggu hingga mencapai

dosis maksimal 850 mg sehari 3x (2550 mg/hari), sekitar 80% efek penurunan glikemik terlihat
pada dosis efektif 1500 mg dan 2000 mg/hari.
Efek samping
Metformin mempunyai efek gastrointestinal seperti mual, kembung, diare pada sekitar
30% pasien, anoreksia dan perasaan kenyang dan menyebabkan terjadinya penurunan berat
badan. Efek samping ini dapat diatasi dengan pemberian obat titrasi lambat. Efek samping ini
dapat terjadi beberapa minggu. Jika terjadi efek samping pastikan pasien minum metformin
dengan makanan atau setelah makan dan kurangi dosis hingga efek samping ini tidak terjadi.
Peningkatan dosis dapat dilakukan dalam beberapa minggu. Terapi metformin jarang terjadi
asidosis laktat. Metformin digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal jika diketahui
kadar serum kreatinin yaitu 1,4 mg/dL pada wanita dan 1,5mg/dL pada pria. Maka metformin
dikontraindikasikan. Metformin tidak boleh diberikan pada pasien usia lanjut yang telah
mengalami penurunan massa otot, dimana jumlah rata-rata filtrasi glomerular kreatinin urin
selma 24 jam kurang dari 70-30 ml/menit.

Interaksi obat
Interaksi yang merugikan :
a) Metformin-fenprokumon: menyebabkan peningkatan eliminasi fenprokumon. Hal ini
dihubungkan dengan adanya peningkatan aliran darah ke hati
b) Metformin-alkohol: alkohol meningkatkan efek anti hiperglikemia dan hiperlaktatemia dari
metformin. Pasien yang diobati dengan Metformin sebaiknya menghindari alkohol.
c) Simetidin dapat menurunkan bersihan dari metformin, sehingga kadar metformin dalam
darah tinggi dan menyebabkan hipoglikemia.
Interaksi yang menguntungkan :
a) Metformin-sulfonilurea: merupakan kombinasi yang rasional, karena mekanisme yang
berbeda yang saling aditif. Kombinasi tersebut dapat menurunkan kadar glukosa darah lebih
banyak dari pada pengobatan tunggal masing-masing obat tersebut.
b) Metformin-insulin: kombinasi ini dianjurkan pada pasien obesitas yang kadar glukosa
darahnya sulit dikendalikan.

Sediaan
Glucophage (500 mg), Glumin (500 dan 850 mg), Benofomin (500 dan 850 mg), Diabex(
500 dan 850 mg), Eraphage ( 500mg).

c.
1).

Non-sulfonilurea secretagogeus
Repaglinid
Mekanisme kerja
Menstimulasi sekresi insulin dari sel -pankreas

Indikasi
Diabetes militus tipe 2 yang tidak terkontrol dengan diet dan olah raga

Kontra indikasi
Hipersensitif, ibu hamil dan menyusui, diabetes militus tipe 1, diabetes ketoasidosis,
ganguan fungsi hati dan ginjal parah

Dosis
Dosis awal: 0,5 mg setiap sebelum makan. Pasien pindahan dari obat antidiabetes lain,
dosis awal 1 mg setiap sebelum makan. Dosis maksium sekali pemberian 4 mg setiap sebelum
makan. Total dosis maksimum sehari tidak boleh melebihi 16 mg.

Efek samping

Hipoglikemia, kejadian efek tak diinginkan tidak berbeda dari yang teramati pada insulin
secretagogeus oral lain.

Interaksi obat
Kontrol glikemik dan hipoglikemik harus dimonitor ketika obat-obat yang menghambat
& menginduksi CYP3A4 diberikan bersama repaglinid. Gemfibrozil merupakan obat yang
umum digunakan untuk mengobati hipertrigliseridemia pada DM, memiliki waktu paruh 2x lipat
dari repaglinid dan dihasilkan pada reaksi hipoglikemik diperpanjang.

Sediaan
Novonorm (0,5 mg ; 1 mg ; 2 mg)
2).

Neteglinid
Mekanisme kerja
Menstimulasi sekresi insulin dari sel -pankreas

Indikasi
DM tipe 2 (non insulin) atau kombinasi dengan metformin

Kontra indikasi
DM tipe 1, diabetik ketoasidosis, hamil dan laktasi
Dosis
120 mg 3x/hari
Efek samping

Hipoglikemik, ganguan saluran cerna (mual, muntah), infeksi saluran nafas atas, nyeri
punggung, gejala flu, pusing, artropati, bronkhitis, batuk, peningkatan kadar enzim hati
Interaksi obat
Potensiasi efek hipoglikemik oleh AINS, salisilat, penghambat MAO, dan penghambat
adregonik non selektif, penurunan efek hipoglikemik jika diberikan bersama tiazid,
kostikosteroid, produk dari tiroid dan simpatotimetik, alkohol dan diabetik oral. Inhibitor
CYP2C9 pada metabolisme tolbutamid.
Sediaan
Starlix (125 mg)
d.
1).

Thiazolidindione
Pioglitazon
Mekanisme kerja
Berikatan pada peroksisom proliferator aktivator reseptor- (PPAR-), yang paling
banyak terdapat di sel lemak dan sel vaskular. Thiazolidinediones meningkatkan sensitifitas
insulin di otot, hati, jaringan lemak secara tidak langsung.
Indikasi
Diabetes tipe 2. Kombinasi monoterapi dengan sulfonilurea atau metformin saat makan,
olahraga dan monoterapi yang cukup.
Kontra indikasi
Untuk pasien yang pernah mengalami kerusakan jantung, hati, pasien dialisa, dan
kombinasi terapi dengan insulin, anak2 dibawah 18 tahun.
Dosis
Untuk monoterapi 15 atau 30 mg sekali sehari, data ditingkatkan hingga 45 mg sekali
sehari. Untuk terapi kombinasi 15 atau 30 mg sekali sehari.

Efek samping
Idiosinkrasi hepatotoksisitas,

peningkatan kadar ALT (Alanin aminotransferase),

resistensi cairan, peningkatan berat badan, menurunkan kadar leptin yang berperan dalam
mengatur nafsu makan dan pemasukan makanan.
Interaksi obat
tidak ada interaksi obat dengan digoxin, warfarin, phenprocoumon, metformin dan
sulfonilurea
Sediaan
Actos 15 dan 30 mg
2).

Rosiglitazon
Mekanisme kerja
Berikatan pada peroksisom proliferator aktivator reseptor- (PPAR-), yang paling
banyak terdapat di sel lemak dan sel vaskular. Thiazolidinediones meningkatkan sensitifitas
insulin di otot, hati, jaringan lemak secara tidak langsung.
Indikasi
Untuk monoterapi sebagai tambahan diet dan olahraga untuk meningkatkan kontrol gula
darah pada pasien DM tipe 2.
Kontra indikasi
DM tipe 1 dan ketoasidosis diabetik
Efek samping
Idiosinkrasi hepatotoksisitas,

peningkatan kadar ALT (Alanin aminotransferase),

resistensi cairan, peningkatan berat badan, menurunkan kadar leptin yang berperan dalam
mengatur nafsu makan dan pemasukan makanan.
Interaksi obat

Tidak ada interaksi dengan acarbose, alcohol, digoxin, food, glibenklamid, metformin,
nifedipin, oral contrasepsi, ranitidine ataupun warfarin.
Sediaan
Avandia 4 mg
e.

-glukosidase Inhibitor (Akarbose dan miglitol)


Mekanisme kerja
Menghambat kerja enzim (maltase, isomaltase, sukrase, dan glukoamilase) secara
kompetitif dalam usus halus sehingga menunda pemecahan sukrosa dan kompleks karbohidrat
Indikasi
Sebagai tambahan terhadap sulfonilurea atau biguanid pada DM yang tidak dapat
dikendalikan, terapi penambah diet untuk penderita diabetes mellitus.
Kontra indikasi
Hipersensitif, ganguan intestinal kronis berkaitan dengan absorpsi dan pencernaan,
ganguan ginjal berat, kehamilan dan laktasi
Dosis
Awali dengan 50 mg kemudian ditingkatkan hingga 100-200 mg, 3xsehari, dosis dapat
ditingkatkan hingga 4-8 minggu.
Efek samping
Efek samping yang sering terjadi adalah flatulensi, kembung, diare.
Interaksi obat
Meningkatkan efek antikoagulan dari warfarin. Dapat menurunkan efek digoksin.
Sediaan: Glukobay (50 mg, 100 mg)

Interaksi Obat ADO atau insulin

Tabel 10. Interaksi ADO secara umum


Obat

Efek terhadap

Mekanisme

glukosa
Angiotensin

Mereduksi

(enzim

Meningkatkan

sensitivitas

insulin

inhibitor)
Alcohol

Mereduksi

Mengurangi produksi glukosa


dihati

-interferon

meningkatkan

Belum jelas

Diazoxide

meningkatkan

Mengurangi sekresi insulin,


mengurangi

penggunaan

glukosa pripheral
Diuretic

meningkatkan

Memungkinkan peningkatan
resisitensi insulin

Glukocorticoid

meningkatkan

Melemahkan aksi insulin

Asam nikotinat

meningkatkan

Melemahkan

aksi

insulin,

meningkatkan

resistensi

insulin
Kontrasepsi oral meningkatkan

Belum jelas

Pentamidine

Menginhibisi

Menurunkan

kinase-beta

I-kappa-b
(IKK-beta)

(hanya dosis tinggi 4-6/hari)


Simpatomimeti

Sedikit

Meningkatkan glikogenolisis

meningkatkan

dan glukoneogenesis

Clozapin
olanzapin

dan meningkatkan

Belum jelas, meningkatkan


berat badan

1. Insulin/ADO dengan steroid anabolik


Nandrolon

(norandrostenolon),

metandienon

(methandrostenolone),

testosteron

dan

stanozolol dapat meningkatkan efek pengurangan kadar gula darah, sehingga dosis dari obat
diabetes baik insulin maupun ADO harus diturunkan.
2. ADO dengan antasida
Kecepatan dari absorpsi beberapa ADO meningkat dengan penggunaan bersama antasida,
tetapi tidak terlihat adanya laporan dari respon yang tidak diinginkan pada penderita DM
sebagai hasil dari interaksi ini.
3. Insulin/ADO dengan klorpromazin
Klorpromazine dapat meningkatkan kadar gula darah, khususnya pada dosis harian 100 mg
atau lebih dan mengganggu kontrol untuk penderita DM. Perlu dilakukan peningkatan dosis
dari insulin maupun ADO.
4. Sulfonilurea/biguanid dengan NSAID
Pada pemberian fenklofenak dengan klorpropamid dan metformin, glibenklamid dengan
diflunisal dan glibenklamid dan metformin dapat terjadi hipoglikemia. Indobufen
meningkatkan efek dari glipizid, dan piroksikam meningkatkan efek dari glibenklamid.
5. Insulin dengan Penghambat kanal Calsium
Penghambat kanal Calsium diketahui mempunyai efek pada sekresi insulin dan pengaturan
glukosa tetapi tidak terjadi gangguan yang signifikan. Terdapat sebuah laporan dimana pasien
diabetes semakin parah dan membutuhkankan insulin lebih saat menerima terapi diltiazem.
Pasien lain membutuhkan insulin yang dosisnya ditingkatkan 30% saat menerima terapi
nifedipin, hipoglikemia terjadi pada pasien yang menggunakan gliklazid dan nikardipin.
6. ADO dengan hormon sex
Beberapa obat diabetes membutuhkan penyesuaian dosis, peningkatan atau pengurangan
dosis ADO saat mendapatkan terapi hormon sex seperti kontrasepsi oral, namun itu tidak
umum terjadi sebagai gangguan yang serius.

Antidiabetika Oral Kombinasi Metformin dan Glibenklamid


Kombinasi ini sangat cocok digunakan untuk penderita DM tipe 2 pada pasien yang
hiperglikemianya tidak bisa dikontrol dengan single terapi (metformin atau glibenklamid saja),
diet, dan olahraga. Di samping itu, kombinasi ini saling memperkuat kerja masing-masing obat,
sehingga regulasi gula darah dapat terkontrol dengan lebih baik. Kombinasi ini memiliki efek
samping yang lebih sedikit, apabila dibandingkan dengan efek samping apabila menggunakan
monoterapi (metformin atau glibenklamid saja). Metformin dapat menekan potensi glibenklamid
dalam menaikkan berat badan pada pasien DM tipe 2, sehingga cocok untuk pasien diabetes
melitus tipe 2 yang mengalami kelebihan berat badan.

Hiperglikemia

Diet dan Olahraga Target tercapai

Target tidak tercapai setelah 1 bulan

Kurus
BMI < 25 kg/m2
kg/m2

Sulfonilurea

Hiperglikemia

Gemuk

Postprandial

BMI > 25

Repaglinid

Metformin

(atau Acarbosa)

-------------------------------Kontrol Inadekuat-------------------------------------

Gambar 14. Algoritma terapi obat Diabetes Melitus Tipe 2

KOMPLIKASI
Pada tipe I, sekitar 40% penderita mengalami kegagalan ginjal. Tetapi pada tipe II, hanya
sekitar 20% penderita yang mengalami kegagalan ginjal.

Hal tersebut dikarenakan onset

penyakit diabetes pada tipe I lebih cepat, sehingga gagal ginjal akan lebih cepat terjadi dibanding
pada tipe II. Demikian pula halnya dengan retinopati, resiko terjadinya retinopati pada tipe I dan
tipe II sama, namun pada tipe I prevalensinya lebih tinggi. Penyebab utama kematian pada
penderita DM tipe 1 adalah gagal ginjal, sedangkan pada penderita tipe II penyebab utama
kematian adalah penyakit-penyakit makrovaskuler yang mengawali infark miokard dan stroke.
Penyakit makrovaskuler menjadi penyebab utama kematian pada tipe II disebabkan diabetes
tidak tertata laksana dengan baik karena kurangnya kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat.

KOMPLIKASI AKUT
A. HIPOGLIKEMIA
Hipoglikemia adalah keadaan di mana kadar glukosa darah < 60 mg/dL. Pada umumnya
gejala-gejala hipoglikemia baru timbul bila kadar glukosa darah < 45 mg/dL.
Hipoglikemia dapat terjadi karena:
Pemakaian insulin, atau obat hipoglikemia oral yang terlalu banyak pada pengobatan
diabetes.
Asupan makan tidak adekuat ; jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat.
Gejala-gejala hipoglikemia adalah:
1. Fase 1

Pada awalnya tubuh memberikan respon terhadap rendahnya kadar gula darah dengan
melepasakan epinefrin (adrenalin) dari kelenjar adrenal dan beberapa ujung saraf. Epinefrin
merangsang pelepasan gula dari cadangan tubuh tetapi juga menyebabkan gejala yang
menyerupai serangan kecemasan seperti berkeringat, gelisah, gemetar, palpitasi, jantung
berdebar-debar dan kadang rasa lapar serta mual. Gejala ini merupakan gejala awal karena pasein
masih sadar dan dapat cepat dilakukan tindakan.
2

Fase 2
Hipoglikemia yang lebih berat yaitu terjadinya gangguan fungsi otak yang dinamakan

juga gejala neurologi. Hal ini menyebabkan berkurangnya glukosa ke otak dan menyebabkan
timbul gejalagejala seperti pusing, bingung, lelah, lemah, sakit kepala, perilaku yang tidak
biasa, tidak mampu berkonsentrasi, gangguan penglihatan, kejang dan koma. Gejala yang
menyerupai kecemasan maupun gangguan fungsi otak bisa terjadi secara perlahan maupun
secara tiba-tiba. Hal ini paling sering terjadi pada orang yang memakai insulin atau obat
hipoglikemik peroral, yaitu terjadinya penurunan respon hormonal (adrenergik) terhadap
hipoglikemia.
B. EFEK SOMOGYI
Terjadinya hiperglikemia pada pagi hari dapat disebabkan oleh durasi yang lebih pendek
dari waktu yang sudah diantisipasi dari insulin dengan efek awal yang ditetapkan untuk
meningkatkan glukosa, atau oleh obat hipoglikemia yang diberikan pada malam hari yang dapat
menyebabkan terjadinya lonjakan hiperglikemia (efek somogyi) pada pagi hari. Penetapan
ukuran kadar glukosa darah pada dini hari (sekitar pukul 3 pagi) akan diturunkan karena dapat
menyebabkan hiperglikemia pada pagi hari. Tidak jarang penetapan ukuran kadar juga tetap
dibutuhkan lebih dari jam 3 dini hari. Menanyakan kepada pasien tentang gejala hipoglikemia
pada malam hari ( mimpi buruk, berkeringat yang berlebih di malam hari ) dapat membantu
membedakan penyebabnya. Jika terjadi reaksi Somogyi ini, dosis insulin harus dirubah.
C. KETOASIDOSIS
Ketoasidosis adalah salah satu komplikasi akut diabetes melitus yang terjadi disebabkan
karena kadar glukosa pada darah sangat tinggi. Keadaan tersebut merupakan keadaan serius yang
dapat mengancam jiwa, kondisi ketoasidosis dapat terjadi kapan saja terutama pada penderita

Diabetes Melitus tipe 1. Acapkali terjadinya ketoasidosis diawali dari tidak patuhnya pasien pada
pola diet yang telah ditetapkan.
Gejala-gejala yang pertama kali timbul sama seperti gejala-gejala Diabetes Melitus yang
tidak diobati, yakni, mulut kering, rasa haus, intensitas buang air kecil jadi lebih sering
(poliuria). Gejala lainnya seperti mual, muntah, dan nyeri perut bisa juga terjadi. Gejala-gejala
selanjutnya dapat berupa seperti kesulitan bernafas, rasa dehidrasi, rasa mengantuk dan yang
paling berat keadaan koma.
Penyebab terjadinya ketoasidosis dikaitkan dengan kadar hormon insulin pada darah yang
rendah. Keadaaan kadar insulin pada darah yang rendah menyebabkan kadar glukosa pada darah
menjadi tinggi. Hormon insulin diperlukan pada proses penyerapan nutrisi agar gula dapat masuk
ke dalam sel guna didistribusikan ke seluruh tubuh untuk dijadikan sumber energi. Hormon
insulin juga membantu menyimpan cadangan lemak di sel lemak dari hasil pencernaan makanan.
Ketika kadar hormon insulin dalam darah ditingkat rendah, maka gula tidak dapat masuk
kedalam

sel

untuk

diproses

menjadi

sumber

energi.

Jika

demikian,

tubuh

akan

mengkompensasikannya dengan cara menggunakan lemak sebagai sumber energi alternatif.


Namun karena penggunaan lemak tidak dapat sempurna dibakar, maka akan dihasilkan suatu zat
yang disebut badan keton. Badan keton akan terakumulasi di dalam darah dan akan dikeluarkan
dari tubuh melalui urin.
Terdapatnya badan keton didalam urin disebut ketonuria. Kadar glukosa darah yang
tinggi akan menyebabkan kadarnya di urin meningkat. Meningkatnya kadar glukosa urin akan
menyebabkan volume urin bertambah sehingga cairan didalam tubuh akan berkurang. Ketika
kondisi tubuh mengalami kondisi dehidrasi, maka akan menimbulkan gejala-gejala antara lain
rasa haus dan mulut kering yang merupakan tanda khas dari kadar glukosa darah yang tinggi.
Terjadinya dehidrasi dan terbentuknya badan keton membuat darah menjadi lebih asam.
Keadaan darah yang menjadi lebih asam disebut ketoasidosis. Proses terjadinya koma pada
ketoasidosis lebih bertahap dibandingkan terjadinya koma hipoglikemia. Keadaan ketoasidosis
memerlukan penanganan medis segera, sehingga penderita harus cepat dibawa ke rumah sakit.

Pengobatan yang harus segera diberikan adalah penyuntikan hormon insulin dan
mengganti cairan tubuh yang hilang dan kadar ion kalium pada darah yang turut berkurang
akibat peningkatan frekuensi buang air kecil (poliuria).

D. KOMA NON KETOTIK HIPERGLIKEMIA HIPEROSMOLAR


Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala-gejala selama beberapa tahun.
Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala yang berupa sering berkemih dan
sering merasa haus. Jarang terjadi ketoasidosis. Biasanya terjadi dehidrasi yang berat jika kadar
gula darah meningkat (sampai lebih dari 1.000 mg/dL, biasanya terjadi akibat stres-misalnya
infeksi atau obat-obatan), yang bisa menyebabkan kebingungan mental, pusing, kejang, suatu
keadaan yang disebut koma hiperglikemik-hiperosmolar non- ketotik. Kadar glukosa darah harus
diturunkan dengan berangsur-angsur dengan cairan hipotonik dan diberi infus insulin dosis
rendah (1-2 unit/h). Kecepatan perbaikan kadar glukosa darah tidak dianjurkan, karena dapat
menyababkab pembengkakan serebral. Hal ini dapat terjadi terutama pada anak-anak dengan
diabetes ketoasidosis. Pada kasus ini banyak terjadi kematin.

A.

KOMPLIKASI KRONIS
KOMPLIKASI PADA SISTEM KARDIOVASKULAR
1. Hiperlipidemia
Pada penderita diabetes terjadinya defisiensi insulin menyebabkan hormon glukagon
bekerja merangsang aktivitas lipase sensitif hormon di jaringan adiposa menyebabkan
peningkatan lipolisis dan bertambahnya pasokan asam lemak bebas ke hati. Sehingga sintesis
VLDL-trigliserida oleh hati juga meningkat. Salah satu fungsi insulin meningkatkan aktivitas
lipoprotein lipase sehingga jumlah asam lemak yang berasal dari lipoprotein digunakan untuk
sel. Akan tetapi pada penderita diabetes terjadi peningkatan lipolisis VLDL-trigliserida yang
menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas dalam plasma darah. Hiperlipidemia yang terjadi
pada penderita diabetes dapat menyebabkan terjadinya arterosklerosis.

2. Aterosklerosis
Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab arteria koronaria yang paling
sering ditemukan. Ateroklerosis menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam
arteri koronaria, sehingga secara progresif mempersempit lumen pembuluh darah. Bila lumen
menyempit maka resistensi terhadap aliran darah yang meningkat, dan membahayakan aliran
darah miokardium. Bila penyakit ini semakin lanjut, maka penyempitan lumen akan diikuti
perubahan vaskular yang mengurangi kemampuan pembuluh untuk melebar. Jadi, keseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen menjadi penting dan membahayakan miokardium distal dari
daerah lesi.

Mekanisme terjadinya arterosklerosis:


Peningkatan lipolisis dapat menyebabkan peningkatan asam lemak bebas dalam plasma
darah. Asam lemak bebas dihasilkan sebagai hasil dari lipolisis di jaringan adiposa dan akan
dibawa ke dalam hati dan diesterifikasi menjadi triasilgliserol (TAG). TAG dan kolesterol
dibawa oleh VLDL keluar dari hati. Kemudian TAG dalam VLDL dihidrolisis oleh enzim
lipoprotein lipase menjadi asam lemak bebas dalam jaringan ekstrahepatik, sedangkan VLDL
berubah menjadi IDL. Selanjutnya IDL akan diubah menjadi LDL dan VLDL dalam darah
meningkat. Keadaan hiperglikemia akan mempercepat proses oksidasi LDL, pada pasien DM
ukuran partikel LDLnya kecil (small dense LDL). Small dense LDL akan meningkatkan
sentivitas LDL menjadi teroksidasi. Oksidasi dari LDL menstimulasi monosit masuk ke dalam
intima pembuluh darah dan terjadi proses fagositosis kolesterol yang dianggap benda asing oleh
makrofag menjadi sel busa (foam cell). Lama kelamaan sel busa yang terbentuk menyebabkan
terjadinya ateroma (plak) yang terdegenerasi dan menebal atau sumbatan fibrous atau jaringan
ikat tipis yang kaya sekali dengan kandungan lipid. Adanya ateroma akan menyebabkan
pembuluh darah menebal dan elastisitasnya berkurang menyebabkan lumen pembuluh darah
menyempit dan terjadi kerusakan endotel menyebabkan aterosklerosis.
3. Hipertensi
Salah satu penyebab utama hipertensi sekunder adalah stenosis (penyempitan) arteri renal
sebagai hasil dari aterosklerosis pada arteri renal. Sebagai hasil dari penurunan aliran darah

ginjal yang menyertai penyempitan pembuluh darah, ginjal merespon dengan mengaktifkan
sistem renin-angiotesin yang menyebabkan vasokonstriksi dan retensi air.

4. Angina Pektoris
Angina pektoris adalah sindrom klinis dimana pasien mendapat serangan nyeri di dada
yang seringkali menjalar ke lengan kiri. Serangan biasanya terjadi selama 30 detik sampai 30
menit.
Tipe angina :
a. Angina klasik, disebabkan karena aktivitas fisik atau tekanan emosional, terjadi hanya
beberapa menit, dapat diatasi dengan pemberin Nitrogliserin atau istirahat
b. Angina prinzmetal, yaitu sindrom dimana pasien mengalami serangan pada saat istirahat.
Pada angina jenis ini terjadi ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen tanpa
terjadinya aterosklerosis. Biasanya serangan terjadi terjadi pada pagi hari.
c. Angina Tidak Stabil (Crescendo angina atau Preinfarction angina), disebabkan oleh
aterosklerosis stenosis, thrombosis koroner atau vasospasme.
5. Iskemia
Kebutuhan akan oksigen yang melebihi kapasitas oleh pembuluh yang terserang penyakit
menyebabkan iskemia miokardium lokal. Iskemia yang bersifat sementara akan menyebabkan
perubahan reversible pada tingkat sel dan jaringan dan menekan fungsi miokardium.
6. Aritmia atau gangguan irama jantung
Aritmia timbul akibat perubahan elekrofisiologi sel-sel miokardium. Perubahan ini
bermanifestasi sebagai bentuk potensial aksi, yaitu rekaman grafik aksi sisa sel.
7. Gagal Jantung Kongestif
Gagal jantung kongestif merupakan kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium.
Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan kongesti pada vena pulmonalis,
sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan mengakibatkan kongesti vena
sistemik. Kegagalan pada kedua ventrikel dinamakan gagal biventrikular. Manifestasi klinis
gagal jantung mencerminkan derajat kerusakan miokardium dan kemampuan serta besarnya
respon kompensasi.
8. Stroke

Stroke adalah cedera otak yang berkaitan dengan aliran darah otak, stroke dapat terjadi
akibat pembentukan thrombus pada arteri serebrum, akibat embolus yang mengalir dari bagian
tubuh lain, atau adanya perdarahan otak. Pada stroke terjadi hipoksia serebrum yang
menyebabkan cedera dan kematian sel-sel neuron. Kerusakan otak karena stroke terjadi akibat
pembengkakan dan edema yang timbul dalam 24-72 jam pertama setelah kematian sel-sel
neuron.

B.

KOMPLIKASI PADA SISTEM SARAF PERIFER


Pada penderita diabetes jangka panjang dapat menyebabkan gangguan pada sistem saraf
perifer, penyakit ini dinamakan neuropati. Saraf yang dipengaruhi oleh diabetes adalah saraf
somatik dan saraf otonom, baik sensorik maupun motorik. Neuropati disebabkan keadaan kronik
hipoksia dari jaringan saraf. Sel-sel penunjang saraf, sel Schwann, mulai menggunakan metodemetode alternatif untuk menangani beban peningkatan glukosa kronik, yang akhirnya
menyebabkan demielinisasi segmental sel-sel saraf. Demielinisasi menyebabkan perlambatan
hantaran saraf dan berkurangnya sensitifitas. Hilangnya sensasi suhu dan nyeri meningkatkan
kemungkinan pasien mengalami cidera yang parah dan tidak disadari.
Neuropati diabetik mengacu pada sekelompok penyakit yang menyerang semua tipe
saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spinal. Kelainan tersebut tampak
beragam secara klinis dan bergantung pada lokasi sel saraf yang terkena. Terdapat 2 tipe
neuropati yang sering dijumpai adalah polineuropati sensorik dan neuropati otonom.

1.

Polineuropati sensorik
Tipe neuropati ini sering disebut neuropati perifer, yang sering mengenai distal serabut saraf,
khususnya saraf ekstremitas bawah, gejala permulaan adalah :
a. parestesia (rasa tertusuk-tusuk, kesemutan atau peningkatan kepekaan)
b. rasa terbakar (khususnya pada malam hari)
c. penurunan fungsi proprioseptif dan penurunansensibilitas terhadap sentuhan ringan

d. penurunan sensibilitas nyeri dan suhu membuat penderita neuropati beresiko untuk
mengalami cedera dan infeksi pada kaki tanpa diketahui.

2.

Neuropati otonom
Neuropati pada system saraf otonom mengakibatkan berbagai disfungsi yang mengenai
hamper seluruh system organ tubuh. Ada beberapa akibat utama dari neuropati otonom :

kardiovaskular, seperti frekuensi jantung yang meningkat tetapi menetap, hipotensi


ortostatik, dan infrak miokard tanpa nyeri

gastrointestinal, kelambanan pengosongan lambung dapat terjadi dengan gejala khas


seperti perasaan cepat kenyang, kembung, mual, muntah, selain itu dapat terjadi
hiperfluktuasi kada glukosa darah.

urinarius, retensi urin, penurunan kemampuan untuk merasakan kandung kemih yang
penuh.

disfungsi seksual, khususnya impotensi seksual merupakan salah satu komplikasi


diabetes yang paling ditakuti.

Kaki Diabetik
Neuropati diabetik menyebabkan penderita diabetes tidak dapat merasakan apa-apa
ketika kaki mendapatkan tekanan sehingga terbentuk kalus. Karena tekanan terus-menerus, kalus
menjadi lembek dan mencair lalu lepas dari luka. Selanjutnya luka akan terinfeksi dan jika tidak
ditangani secara memadai akan meluas dan mungkin harus diambil tindakan amputasi. Secara
umum, tingginya kadar gula darah dapat menyebabkan dua hal pada kaki penderita diabetes,
yakni:

1. Kerusakan saraf
Masalah pertama yang timbul adalah kerusakan saraf di tangan dan kaki. Dengan saraf
yang telah rusak, penderita diabetes tidak akan dapat merasakan sakit, panas, atau dingin pada

tangan dan kaki mereka. Luka pada kaki dapat menjadi buruk karena penderita diabetes tidak
menyadari adanya luka tersebut. Kehilangan rasa ini disebabkan kerusakan saraf, disebut juga
neuropati diabetik. Kerusakan saraf dapat juga menyebabkan infeksi.
Kelainan saraf terbagi menjadi kelainan saraf otonom, motorik, dan sensorik. Manifestasi
klinis kelainan saraf otonom adalah gangguan produksi keringat sehingga kaki menjadi tidak
berkeringat, sedangkan di bagian tubuh lain berkeringat. Kelainan saraf motorik meliputi atrofi
dan melemahnya otot-otot kaki. Jika perubahan tersebut tidak disadari oleh pasien, mereka akan
tetap menggunakan sepatu yang dapat menyebabkan trauma pada kaki. Oleh karena kelainan
saraf motorik biasanya diikuti hilangnya sensorik, maka dapat pula menimbulkan ulserasi,
terutama di daerah telapak kaki.
Selain kelainan saraf otonom dan motorik, terdapat pula kelainan saraf sensorik. Kelainan
saraf sensorik sering menjadi komponen utama terjadinya ulserasi dan amputasi pada kaki
penyandang diabetes. Akibat menurun atau hilangnya kemampuan merasakan sakit, penyandang
diabetes dengan kelainan saraf sensorik sering tidak menyadari adanya luka di kaki hingga luka
tersebut bertambah parah. Luka tersebut dapat menjadi awal terjadinya infeksi dan berkembang
sampai ke jaringan yang lebih dalam sehingga membutuhkan amputasi sebagai tata laksana.
Salah satu faktor risiko kaki diabetes adalah penyakit arteri perifer. Awalnya, pengidap
akan mengalami proses kehilangan rasa. Kalau tahap paraesthesia (kesemutan) sudah terlampaui,
tahap selanjutnya meningkat pada hypaesthesia (baal), sampai akhirnya anaesthesia (hilang rasa
sama sekali). Keluhannya adalah kesemutan saat tidur dan berlanjut pada kelemahan organ
gerak. Bahkan, kaki kram dan sakit hebat jika digerakkan. Tingginya kadar gula darah
mengakibatkan gangguan antaran listrik pada serabut saraf perifer (tepi) dan merusak pembuluh
darah kapiler. Inilah yang mengakibatkan kesemutan dan bila serabut saraf tepi dan pembuluh
darah kapiler sudah rusak, regenerasi akan sangat sulit.

2. Aliran darah yang terganggu

Masalah kedua adalah ketika tidak cukupnya aliran darah ke tangan dan kaki. Aliran
darah yang buruk akan menyebabkan luka atau infeksi sukar sembuh. Masalah ini disebut
penyakit vaskular perifer. Penderita diabetes yang merokok akan makin memperburuk aliran
darahnya. Gejala yang sering dirasakan yaitu kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, serta lebih
terasa sakit pada malam hari. Penderita diabetes yang mengalami neuropati harus melakukan
perawatan kaki yang memadai.
Kedua masalah di atas dapat menyebabkan terjadinya kaki diabetik. Ditambah lagi
dengan rentannya penyandang diabetes terhadap risiko infeksi karena daya tahan tubuh yang
menurun, akan semakin memperbesar risiko mengalami komplikasi kaki diabetik.
Sebagai gambaran, misalnya kaki anda terluka karena penggunaan sepatu yang sempit. Anda
tidak menyadari dan tidak merasakan sakit karena adanya kerusakan saraf pada kaki anda.
Selanjutnya, luka yang awalnya kecil itu akan terinfeksi. Pada penyandang diabetes, kadar gula
dalam darah yang tinggi merupakan makanan bagi kuman. Kuman kemudian berkembang biak
dan menyebabkan infeksi bertambah buruk. Hal ini diperparah dengan aliran darah kaki yang
buruk sehingga memperlambat proses penyembuhan luka.
Infeksi yang tidak ditangani dengan segera dapat menyebabkan gangren. Pada gangren,
kulit dan jaringan di sekitar luka tersebut akan mati (nekrotik), sehingga daerah di sekitar luka
tersebut akan berwarna kehitaman dan menimbulkan bau. Untuk mencegah gangren meluas,
dokter dapat mengambil tindakan operasi untuk memotong jari kaki atau bagian dari kaki yang
terinfeksi. Pemotongan bagian tubuh ini dikenal dengan istilah amputasi. Diabetes merupakan
penyebab umum non-traumatik kasus amputasi kaki.

D.

KOMPLIKASI PADA PENGLIHATAN


1. Retinopati
Retinopati terjadi pada penderita yang telah menderita diabetes selama bertahun-tahun.
Terjadi bila pembuluh darah kecil yang terdapat di belakang mata rusak sehingga terjadi
kebocoran protein dan darah ke retina. Kurang lebih 50% penderita diabetes akan mengalami

retinopati setelah 10 tahun, dan 80% akan mengalami retinopati setelah 15 tahun. Pengontrolan
kadar gula darah yang tidak baik akan memperparah retinopati.
Terdapat tiga kategori retinopati diabetic:
a. Retinopati sederhana (background/ simple retinopathy), terdiri dari mikroaneurisme,
pendarahan, eksudat, dan udem pada retina.
b. Retinopati preproliferatif, ditandai dengan iskemi arteri, terbentuk cotton wool spot, yakni
daerah lesi yang kecil pada mata.
c. Retinopati proliferatif (malignant retinopathy), terdiri dari pembuluh darah yang baru namun
rapuh terbentuk (neovaskularisasi). Kebocoran pembuluh darah yang rapuh ini memperparah
kerusakan retina, sehingga merusak kemampuan penglihatan.
2. Katarak
Katarak adalah penurunan progresif kejernihan lensa mata yang ditandai dengan lensa
mata menjadi keruh atau berwarna putih abu-abu, sehingga ketajaman penglihatan berkurang.
Kadar glukosa yang tinggi pada pasien diabetes menyebabkan glukosa menumpuk di lensa mata,
namun glukosa tersebut tidak dapat keluar sehingga lama-kelamaan akan tereduksi menjadi
sorbitol. Penumpukan inilah yang menyebabkan pengaburan pada lensa mata. Katarak yang
terjadi pada penderita diabetes mirip dengan senile cataract, yakni katarak yang sering terjadi
pada orang usia lanjut. Namun pada penderita diabetes, perkembangan penyakit lebih cepat.
3. Glaukoma
Glaukoma adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya peningkatan tekanan
intraokuler (melebihi 20 mmHg). Tekanan yang sangat tinggi menyebabkan penekanan saraf
optikus sehingga terjadi kematian serat-serat saraf. Glaukoma merupakan penyebab utama
kebutaan (berdasarkan data di Amerika Serikat). Glaukoma disebabkan oleh obstruksi atau
hambatan aliran aqueous humor. Peningkatan tekanan dalam jangka waktu yang lama dapat
mengakibatkan kerusakan saraf sehingga terjadi gangguan penglihatan.
Ada 2 tipe glaukoma, yaitu glaukoma sudut terbuka dan glaukoma sudut tertutup (openangle glaucoma and close-angle glaucoma). Glaukoma sudut tertutup terjadi karena adanya
obstruksi aliran aqueous humor melalui jaringan trabekuler oleh peripheral iris. Adanya
sumbatan pada saluran ini menyebabkan aqueous humor tidak dapat mengalir sehingga aqueous
humor yang terjerap tersebut menyebabkan peningkatan tekanan intraokular. Pada glaukoma

sudut terbuka juga terjadi obstruksi aliran aqueous humor, tetapi saluran tidak sepenuhnya
tertutup. Pada pasien diabetes melitus, terjadinya hipertensi (hilangnya elastisitas pada
pembuluh) pada saluran yang berperan dalam mengalirkan aqueous humor di dalam bola mata
juga berperan menyebabkan glaukoma.

E.

KOMPLIKASI PADA MULUT


Seperti halnya komplikasi diabetes lainnya, komplikasi pada mulut berkaitan dengan
buruknya kontrol kadar gula darah. Diabetes yang tidak terkontrol mengganggu sel darah putih
dan sel-sel imun seperti neutrofil, monosit dan makrofag yang berfungsi untuk pertahanan tubuh.
Hal ini menyebabkan kemampuan tubuh untuk melawan bakteri menjadi menurun, dan penderita
menjadi lebih rentan terhadap infeksi. Di tambah lagi dengan adanya peningkatan kadar sel
radang dalam cairan saku gusi, menyebabkan jaringan periodontal lebih mudah terinfeksi dan
menyebabkan kerusakan tulang
Penderita diabetes dengan kontrol gula darah yang buruk mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terkena penyakit mulut, dan manifestasinya lebih parah. Diabetes dapat menyebabkan
pembuluh darah menebal dan kurang elastis, sehingga aliran oksigen dan nutrisi ke mulut
berkurang dan memperlambat pengeluaran limbah yang berbahaya dari mulut. Selain itu, kadar
gula yang tinggi pada saliva menyuburkan pertumbuhan bakteri pada mulut sehingga
menyebabkan penyakit mulut. Manifestasi penyakit mulut tersebut antara lain: gigi tercabut,
infeksi bakteri dan jamur, karang gigi, rasa sakit pada lidah, mulut kering, mulut serasa terbakar,
serta disfungsi indra pengecap dan lidah. Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit mulut.
Penderita DM rentan terhadap masalah-masalah dalam rongga mulut seperti:

1.

Mulut kering (xerostomia)


DM yang tidak terkontrol menyebabkan penurunan aliran saliva, sehingga mulut terasa
kering. Saliva memiliki efek self-cleansing, di mana alirannya dapat berfungsi sebagai pembilas
sisa-sisa makanan dan kotoran dari dalam mulut. Jadi bila aliran saliva menurun maka akan
menyebabkan timbulnya rasa tak nyaman, lebih rentan untuk terjadinya ulserasi (luka), infeksi,
dan lubang gigi.

2.

Radang gusi (gingivitis) dan radang jaringan periodontal (periodontitis)


Komplikasi lain dari DM adalah menebalnya pembuluh darah sehingga memperlambat
aliran nutrisi dan produk sisa dari tubuh. Lambatnya aliran darah ini menurunkan kemampuan
tubuh untuk memerangi infeksi, sedangkan periodontitis adalah penyakit yang disebabkan oleh
infeksi bakteri. Jadi infeksi bakteri pada penderita diabetes lebih berat. Ada banyak faktor yang
menjadi pencetus atau yang memperberat periodontitis, di antaranya akumulasi plak, kalkulus
(karang gigi), dan faktor sistemik atau kondisi tubuh secara umum. Rusaknya jaringan
periodontal membuat gusi tidak lagi melekat ke gigi, tulang menjadi rusak, dan lama kelamaan
gigi menjadi goyang. Angka kasus penyakit periodontal di masyarakat cukup tinggi meski
banyak yang tidak menyadarinya, dan penyakit ini merupakan penyebab utama hilangnya gigi
pada orang dewasa.

3.

Oral thrush
Penderita diabetes yang sering mengkonsumsi antibiotik untuk memerangi infeksi sangat
rentan mengalami infeksi jamur pada mulut dan lidah. Apalagi penderita diabetes yang merokok,
resiko terjadinya infeksi jamur jauh lebih besar.

F.

KOMPLIKASI PADA GINJAL


Ginjal adalah organ yang berperan penting untuk pembuangan produk sisa metabolisme
dari tubuh. Ginjal juga berperan pada pengaturan tekanan darah, volume darah, dan eritropoeisis.
Untuk menjaga fungsi normal ginjal aliran darah yang melewati kapiler glomerular harus
adekuat.
Peningkatan tekanan darah yang kronik pada ginjal dapat merusak pembuluh darah ginjal
sehingga mempengaruhi aliran darah ke ginjal, penghantaran oksigen, dan proses filtasi. Hal ini
dapat menyebabkan insufisiensi ginjal yang selanjutnya dapat berkembang menjadi gagal ginjal.
Berkurangnya aliran darah ke ginjal dapat mengaktivasi sistem renin-angiotensin yang
menyebabkan bertambahnya peningkatan tekanan darah. Kerusakan ginjal yang disebabkan
hipertensi diperparah pada pasien diabetes.

Pengaturan aliran darah oleh ginjal:


Sel khusus yang terdapat pada dinding aferen arteri glomerulus yang disebut sel juxtaglomerular
mampu memonitor aliran darah yang melalui arteriol renal. Sebagai respon dari penurunan aliran
darah ginjal, sel tersebut melepaskan enzim renin ke sirkulasi darah. Dalam sirkulasi darah, renin
berinteraksi dengan protein (angiotensinogen) dan membentuk peptide baru yang bernama
angiotensin I. Angiotensin I dengan adanya angiotensin-converting enzyme (ACE) diubah
menjadi angiotensin II. ACE ditemukan pada sel endotelial pembuluh darah paru-paru.
Angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah, peningkatan retensi air dan garam
oleh ginjal, pelepasan aldosteron oleh kelenjar adrenal sehingga meningkatkan reabsorpsi air dan
garam oleh tubulus ginjal.

Gagal ginjal kronik


Gagal ginjal kronik merupakan hasil dari kerusakan ginjal progresif dan berkurangnya
fungsi ginjal. Gagal ginjal kronik dapat disebabkan oleh obstruksi ginjal, diabetes, hipertensi,
dan nefronsklerosis (aterosklerosis pada arteri ginjal). Ada beberapa adaptasi fisiologis yang
terjadi di ginjal untuk merespon gagal ginjal kronik, antara lain meningkatkan aliran darah ginjal
dan GFR serta hipertrofi nefron. Untu jangka waktu singkat, adaptasi ini dapat membantu.
Namun, dalam jangka waktu panjang, peningkatan tekanan pada ginjal dan peningkatan
kebutuhan oksigen dapat menyebabkan kerusakan nefron lebih lanjut dan kegagalan ginjal yang
lebih parah.
G.

KOMPLIKASI PADA GENITALIA


Pria yang menderita DM dapat mengalami impotensi. Impotensi adalah ketidakmampuan
pria untuk mencapai atau mempertahankan ereksi. Impotensi dapat timbul sekali-kali, sering atau
setiap kali pria berusaha untuk berhubungan kelamin. Impotensi dapat diakibatkan oleh oleh
faktor fisik atau fisiologi. Salah satu penyebab fisik utama impotensi adalah aterosklerosis arteriarteri penis. Pada aterosklerosis, aliran darah ke penis berkurang dan terjadi penurunan
kemampuan arteri tersebut untuk berdilatasi sewaktu perangsangan seksual.

PENYAKIT GINJAL KRONIK


A. DEFINISI
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan umumnya berakhir dengan gagal
ginjal. Selanjutnya gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai penurunan fungsi
ginjal yang irevesible, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengagnti ginjal yang tetap,
berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinis dan laboratorik
yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.4
ETIOLOGI
Penyebab gagal ginjal kronik yang tersering dapat dibagi menjadi 8 kelas, yaitu:Diabetes dan
hipertensi bertanggung jawab terhadap proporsi ESRD yang paling besar, terhitung secara
berturut-turut sebesar 34% dan 21% dari total kasus. Glomerulonefritis 17%, infeksi nefritis,
tubulointerstisialis dan penyakit ginjal polikistik 3,4%. Dua puluh satu persen penyebab
ESRD sisanya relatif tidak sering terjadi.
Penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisa di Indonesia th 2000
Penyebab
Glomerulonefritis

Insiden
46,39%

Diabetes Melitus

18,65%

Obstruksi dan infeksi

12,85%

Hipertensi

8,46%

Sebab lain (nefritis lupus, nefropati


urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal
bawaan, tumor ginjal, dan penyebab
yang tidak diketahui)

13,65%

C . PATOFISIOLOGI

Menurut hipotesis Bricker atau hipotesis nefron yang utuh, bila nefron terserang
penyakit, maka seluruh unnitnya akan hancur, namun sisa nefron yang masih utuh tetap bekerja
normal. Meskipun penyakit ginjal kronik terus berlanjut, namun jumlah zat terlarut yang harus
dieksresikan ginjal, tidaklah berubah, walaupun jumlah nefron yang bertugas melakukan fungsi
tersebut sudah menurun secara progresif.
Dua adaptasi penting yang dilakukan oleh ginjal sebagai respon terhadap ancaman ketidak
seimbangan cairan dan elektrolit. Sisa nefron yang ada mengalami hipertrofi dalam usahanya
untuk melaksanakan seluruh beban kerja ginjal. Terjadi peningkatan laju filtrasi, beban zat
terlarut dan reabsorsi tubulus dalam setiap nefron, meskipun LFG untuk seluruh masa nefron
yang terdapat di dalam ginjal turun di bawah normal. Jika sekitar 75% massa nefron sudah
hancur, maka kecepatan filtrasi dan beban zat terlarut bagi setiap nefron sedemikian tinggi,
sehingga keseimbangan glomerulus dan tubulus tidak dapat lagi dipertahankan. Semakin rendah
LFG, semakin besar perubahan kecepatan ekskresi per nefron. Hilangnya kemampuan
memekatkan dan mengencerkan urin memyebabkan Bj urin tetap pada nilai 1,010, dan
merupakan penyebab gejala poliuri dan nokturi.
Menurut hipotesis hiperfiltrasi, nefron yang utuh akhirnya akan cedera karena kenaikan
aliran plasma dan LFG serta kenaikan tekanan hidrostatik intra kapiler glomerulus. Penyesuaian
fungsi terhadap penurunan masa nefron menyebabkan hipertensi sistemik dan SNGFR / Single
Nephron Glomerulus Filtration Rate (hiperfiltrasi) pada sisa nefron yang utuh. Peningkatan
SNGFR sebagian besar dicapai melalui dilatasi arteriol aferen dan kontriksi arteriol eferen
karena pelepasan angiotensin lokal. Sebagai akibatnya aliran plasma ginjal dan Pgc menigkat,
karena sebagian besar tekanan sistemik di pindahkan ke glomerulus. Kompensasi fungsional ini
berkaitan dengan perubahan struktural yang bermakna. Volume rumbai glomerulus menigkat
tanpa diikuti peningkatan jumlah sel epitel visera, dan menyebabkan penurunan densitas dalam
rumbai glomerulus yang membesar. Kombinasi hipertensi glomerulus dan hipertrofi merupakan
penyebab cedera sekunder dari rumbai glomerulus dan merusak nefron dengan progesif.
Penurunan densitas epitel visera menyebabkan penyatuan pedikulus dan hilangnya sawar selektif
terukur sehingga akan menigkatkan protein yang hilang melalui urin. Peningkatan permeabilitas
dan hipertensi intraglomerulus juga membantu akumulasi dari protein besar dalam ruangan
subendotelial. Akumulasi ini menyebabkan penumpukan bersama proliferasi matriks mesangial,

yang menyebabkan penyempitan lumen kapiler. Akibat keseluruhan adalah kolapsnya kapiler
glomerulus, dan glomerulosklerosis, yang ditunjukkan dengan proteinuria dan gagal ginjal
kronik.

C. GEJALA KLINIS
Gambaran klinis gagal ginjal kronik meliputi:

Sesuai penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu
traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, lupus eritomatosus sistemik (LES), dan lain
sebagainya.

Sindrom uremia: lemah, letargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan cairan
(volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang
sampai koma.

Gejala komplikasi: hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis


metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).

Kriteria penyakit ginjal kronik:

1.

kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural dan fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG),
dengan manifestasi:

kelainan patologis

terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah


atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)

2.

laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60ml/menit/1,73m selama 3 bulan,


dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih
dari 60ml/menit/1,73m tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal, yaitu: derajat penyakit dan
diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit dibuat atas dasar LFG yang
dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault, yaitu:
(140-umur)xberat badan(kg)
LFG(ml/menit/1,73m) = -------------------------------------

(Umur dalam tahun)

72xkreatinin plasma(mg/dl)
Pada perempuan dikalikan 0,85
Klasifikasi penyakit ginjal kronik atas dasar derajat penyakit
deraja

Penjelasan

t
1

Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau

Kerusakan ginjal dengan LFG ringan

60 - 89

Kerusakan ginjal dengan LFG sedang

30 - 59

Kerusakan ginjal dengan LFG berat

15 - 59

Gagal ginjal

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Gambaran laboratoris pada penyakit ginjal kronik meliputi:
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya

LFG(ml/menit/1,73m)
90

< 15 atau dialisis

b. Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum dan
penurunan LFG yang dihitung dengan menggunakan rumus kockcrof-gault.
c. Kelainan biokimia darah meliputi : penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam
urat, hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfospatemia, hipokalsemia,
asidosis metabolik.
d. Kelainan urinalisis meliputi: proteinuria, hematuria, leukosuria.
Gambaran radiologis penyakit ginjal kronik meliputi:
a. foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b. Pielografi intravena tidak pernah dilakukan, karena kontras sering tidak bisa melewati
filter glomerulus, dan juga pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah
mengalami kerusakan.
c. Pielografi antegrad atau retrograd
d. Ultrasonografi bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang mengecil,
hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
e. Pemeriksaan pemindai ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang
masih mendekati normal, dimana diagnosis secara non invasif tidak bisa ditegakkan.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi kontra dilakukan pada
keadaan ukuran ginjal sudah mengecil (contrcted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak
terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal nafas, dan obesitas.
E. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan gagal ginjal kronik meliputi:
-

terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya

pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)

memperlambat perburukan fungsi ginjal

pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular

pencegahan dan terhadap komplikasi

terapi pengganti ginjal berupa dialysis atau transplantasi

Rencana tatalaksana penyakit ginjal kronik sesuai dengan derajatnya


Deraja

LFG(ml/mnt/1,73m)

Rencana tatalaksana

t
1

90

Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi


pemburukan

fungsi

ginjal,

memperkecil

resiko

kardiovaskular.
2

60 - 89

Menghambat pemburukan fungsi ginjal.

30 - 59

Evaluasi dan terapi komplikasi

15 - 29

Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

< 15

Terapi pengganti ginjal (hemodilisis, peritoneal


dialisis, tranplantasi ginjal )

Asupan protein yang berlebihan akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal


berupa peningkatan aliran darah, dan tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hiperfiltration),
yang akan meningkatkan progresifitas perburukan ginjal. Oleh karena itu perlu dilakukan
pembatasan asupan protein.
Pembatasan asupan protein
LFG(ml/mnt/1,73m)
>60

Asupan protein g/kg/hari


Tidak dianjurkan

25 -60

0,6-0,8g/kg/hari, termasuk 0,35 g/kg/hari nilai biologi tertinggi

5-25

0,6-0,8g/kg/hari, termasuk 0,35 g/kg/hari nilai biologi tertinggi


Atau tambahan 0,3 g asam amino essensial atau asam keton

<60

0,8g/kg/hari + 1g protein /g proteinuria atau 0,3 g asam amino

essensial atau asam keton


Pengendalian terhadap tekanan darah mempunyai peranan yang sama pentingnya dengan
pembatasan asupan protein. Pemakaian obat antihipertensi dapat memperlambat perburukan
kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofiglomerulus.

Figure 2. Staged
dietary
management of
chronic renal
failure

F.
KOMPLIKASI
Penyakit
gagal

ginjal

kronik menyebabkan berbagai komplikasi yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan
fungsi ginjal yang terjadi.
Derajat

Penjelasan

Kerusakan ginjal dengan

LFGml/mnt/

Komplikasi

1,73m
90

LFG normal
2

Kerusakan ginjal dengan

60 - 89

Tekanan darah mulai meningkat

30 - 59

Hiperfosfatemia

penurunan LFG ringan


3

Penurunan LFG sedang

Hipercalsemia
Anemia
Hiperparatiroid
Hipertensi
Hiperhomosistinemia
4

Penurunan LFG berat

15 - 29

Malnutrisi
Asidosis metabolik
Hiperkalemia
Dislipidemia

Gagal ginjal

< 15

Gagal jantung
Uremia

DAFTAR PUSTAKA
1. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.
2006. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta. 2006; hal. 4
2. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanise Terjadinya, Diagnosis, dan Strategi
Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam
FKUI; 2006; hal. 1920
3. Gustavani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1873
4. Price, Sylvia Aderson. Pankreas: Metabolisme glukosa dan diabetes mellitus.
Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses/ Sylvia Anderson price, Lorraine Mc Carty
Wilson; alih bahasa, Brahm U. Pendit[et.al.]editor bahasa Indonesia. Jakarta;2005;
hal.1259
5. Hendromartono. Nefropati Diabetik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III.
Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1920
6. Suwitra, Ketut. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Jakarta.
2006. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Hal: 570-572.
7. Powers, Alvin C. Diabetes Melitus. Harrisons principle of internal medicine. 16

th

edition.

United States of America. 2005. Mc Graw Hill. Page : 2152-2162.


8. Khatib, oussama MN et al. Guidelines for the prevention Management and Care of
Diabetes Mellitus. 2006. WHO Regional Office for the eastern Mediteranean. Mesir.
9. Stumvoll , Michael, Barry J goldtain, Timon W, van haeften Tipe 2 Diabetes : Principles
patogenesis and Therapy . Lancet. Pdf.
10. http://www.mep.undip.ac.id/tesis/59-diabetes-melitus-sebagai-faktor-risikokejadian-gagal-ginjal-terminal written by Administrator

Sunday, 23 August 2009

12:49
11. http://ackogtg.wordpress.com/2009/05/27/hubungan-hipertensi-dan-diabetesmelitus-terhadap-gagal-ginjal-kronik/ written by Carko Budiyanto, Mei 27 2009

Anda mungkin juga menyukai