TUTORIAL BLOK 17
SKENARIO B
DISUSUN OLEH
Kelompok Tutorial VI
Tutor : dr. Shalita Dastamur, SpB, SpBA
Dea Fisrtianty Hendarman
Nilam Siti Rahmah
Moulya Halisyah Cempaka
M. Tafta Zani
Jason Liando
Dedi Yanto Husada
Rismitha Andini
Risti Maulani Sindih
Rahma Putri Utami
Bella Bonita
Nina Vella Rizky
Ajeng Mutia Oktrinalida
(04011181320081)
(04011181320083)
(04011381320053)
(04011381320061)
(04011381320013)
(04011181320017)
(04011181320055)
(04011181320097)
(04011181320103)
(04011181320043)
(04011181320051)
(04011181320007)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Illahi Robbi, karena berkat limpahan rahmat dan hidayahnya jua-lah
Penyusun bisa menyelesaikan tugas Laporan Tutorial ini dengan baik tanpa aral yang memberatkan.
Laporan ini disusun sebagai bentuk dari pemenuhan tugas Laporan Tutorial Skenario B yang
merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) di Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya, khususnya pada Blok 17 yaitu Blok Digestive Gastroenterohepatology.
Terima kasih tak lupa pula Kami haturkan kepada dr. Shalita Dastamur, SpB, SpBA, yang telah
membimbing dalam proses tutorial ini, beserta pihak-pihak lain yang terlibat, baik dalam memberikan
saran, arahan, dan dukungan materil maupun inmateril dalam penyusunan tugas laporan ini.
Penyusun menyadari bahwa laporan ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik yang
membangun sangat Kami harapkan sebagai bahan pembelajaran yang baru bagi Penyusun dan
perbaikan di masa yang akan datang.
Kelompok Tutorial VI
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
SKENARIO B
I.
Klarifikasi Istilah
II.
Identifikasi Masalah
III.
Analisis Masalah
IV.
Hipotesis Masalah
V.
Analisa Klinis
VI.
VII.
Kerangka Konsep
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
SKENARIO B
Ny.W , 42 tahun, dIbawa ke UGD RSMH karena mengalami nyeri perut kanan atas yang hebat,
disertai demam dan menggiigil. Sejak 2 bulan yang lalu, Ny.W mengeluh nyeri di perut kanan atas
yang menjalar sampai ke bahu sebelah kanan dan disertai mual. Nyeri hilang timbul dan bertambah
hebat bila makan makanan berlemak. Biasanya Ny.W minum obat penghilang nyeri . Sejak 1 minggu
sebelum masuk RS Ia juga mengeluh demam ringan yang hilang timbul, mata dan badan kuning, BAK
seperti teh tua, BAB seperti dempul, dan gatal-gatal.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis,
Tanda vital ; TD : 110/70 mmHg, Nadi : 106x/menit, RR : 24x/menit, Suhu:390C
BB: 80 kg, TB : 158cm
Pemeriksaan Spesifik:
Kepala: Sklera Ikterik
Leher dan thoraks dalam batas normal
Abdomen :
Inspeksi : Datar
Palpasi : Lemas, nyeri tekan kanan atas (+) -> Murphys sign
(+), hepar dan lien tidak teraba, kandung empedu : sulit dinilai
Perkusi : Shifting dullness (-)
Ekstremitas : Palmar eritema (-), akrat pucat, edema perifer (-)
Pemeriksaan Laboratorium
Darah Rutin = Hb: 12,4g/dl: Ht: 36 vol%, Leukosit : 15.400/mm 3, Trombosit: 329.000mm3, LED :
77mm/jam
Liver Function Test = Bil.total :20,49 mg/dl, Bil.direk: 19.94, Bil. Indirek :0,55 mg/dl, SGOT : 29 u/l,
SGPT : 37u/l, fosfatase alkali :864 u/l.
Amilase : 40unit/L dan Lipase : 50 Unit/L
I. Klarifikasi Istilah
No
.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
II.
Istilah
Definisi
Menggigil
Nyeri
Identifikasi Masalah
Tabel Identifikasi Masalah
No.
Pernyataan
Problem
1.
Ny.W , 42 tahun, dubawa ke UGD RSMH karena mengalami
p
nyeri perut kanan atas yang hebat, disertai demam dan
menggiigil.
2.
Sejak 2 bulan yang lalu, Ny.w mengeluh nyeri di perut kanan
p
atas yang menjalar sampai ke bahu sebelah kanan dan disertai
mual. Nyeri hilang timbul dan bertambah hebat bila makan
makanan berlemak. Biasanya Ny.W minum obat penghilang
Concern
***
3.
4.
5.
nyeri .
Sejak 1 minggu sebelum masuk RS Ia juga mengeluh demam
ringan yang hilang timbul, mata dan badan kuning, BAK
seperti teh tua, BAB seperti dempul, dan gatal-gatal.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang, kesadaran kompos
mentis,
Tanda vital ; TD : 110/70 mmHg, Nadi : 106x/menit, RR :
24x/menit, Suhu:390C
BB: 80 kg, TB : 158cm
Pemeriksaan Spesifik:
Kepala: Sklera Ikterik
Leher dan thoraks dalam batas normal
Abdomen :
Inspeksi : Datar
Palpasi : Lemas, nyeri tekan kanan atas (+) -> Murphys sign
(+), hepar dan lien tidak teraba, kandung empedu : sulit dinilai
Perkusi : Shifting dullness (-)
Ekstremitas : Palmar eritema (-), akrat pucat, edema perifer (-)
Pemeriksaan Laboratorium
Darah Rutin = Hb: 12,4g/dl: Ht: 36 vol%, Leukosit :
15.400/mm3, Trombosit: 329.000mm3, LED : 77mm/jam
Liver Function Test = Bil.total :20,49 mg/dl, Bil.direk: 19.94,
Bil. Indirek :0,55 mg/dl, SGOT : 29 u/l, SGPT : 37u/l, fosfatase
alkali :864 u/l.
Amilase : 40unit/L dan Lipase : 50 Unit/L
**
tidak terlalu tinggi, mual dan muntah. Nah, inflamasi yang disebabkan oleh batu
empedu ini disebut dengan kolesistitis atau radang empedu. Faktor resiko
terjadinya batu empedu itu adalah wanita, subur, berumur 40 tahun ke atas, dan
4F (Female, Fertile, Forty, Fat).
Penyakit Hati. Mengingat hati terletak di perut kanan atas. Beberapa penyakit
hati dapat menyebabkan nyeri perut kanan atas. penyakit- penyakit itu antara
lain, fatty liver (perlemakan hati), kanker hati, abses hati, atau hepatitis akut.
Budd-Chiari syndrome, bekuan darah yang menghambat aliran vena yang
membawa darah dari hati ke vena cava inferior juga dapat menyebabkan nyeri
perut kanan atas.
Penyakit yang berasal dari lambung. Penyakit pada lambung (yang
seyogianya terletak di tengah dan agak ke kiri perut) dapat menimbulkan nyeri
yang menjalar ke perut kanan atas. Salah satunya adalah gastritis. Rasa nyeri
dapat disertai dengan mual, muntah, dan kurang nafsu makan. Ulkus peptikum
juga dapat menyebabkan nyeri yang menjalar ke kanan atas. nyeri biasanya
terjadi setelah makan atau pada malam hari. Kanker lambung juga dapat
menyebabkan nyeri perut kanan atas.
Penyakit pankreas. Pankreas terletak di bawah hati dan di belakang
lambung. Pankreas mengeluarkan enzim untuk membantu pencernaan, dan juga
mengeluarkan insulin yang diperlukan untuk penyerapan glukosa ke dalam sel
dan jaringan. Penyakit pada pankreas dapat menyebabkan nyeri perut kanan atas.
Penyakit pada pankreas antara lain, kanker pankreas, pankreatitis akut atau
kronis. Pankreatitis akut dapat menyebabkan nyeri yang hebat.
Penyakit pada paru-paru. Terutama apabila terjadi yang namanya efusi
pleura, atau disebut dengan nyeru pleuritik. Misalnya, terjadi pneumonia maka
akan adanya inflamasi lapisan paru-paru, yakni lapisan pleura, yang
kemudian dapat menjalar ke diafragma (otot yang memisahkan perut bagian atas
dan paru-paru). Inilah yang dapat menyebabkan nyeri pada perut bagian atas.
Penyakit ginjal. Penyakit-penyakit pada ginjal, baik itu batu ginjal atau
infeksi pada ginjal juga dapat menyebabkan nyeri perut kanan atas. Namun,
kalau disebabkan oleh penyakit ginjal, nyerinya lebih cenderung di bagian
belakang,
f. Bagaimana penyebab dan mekanisme demam dan mengigil ?
Mekanisme demam kurang lebih sama seperti pada kasus demam lainnya
dimana pada Ny.W diduga memiliki cholesistitis / peradangan pada kantung
empedu karena infeksi. Bila terinfeksi oleh bakteri maka sel imun akan beraksi
sehingga tersekresilah zat pirogen seperti IL-1 . BIla IL-1 tersekresi maka akan
merangsang di sekeresikannya asam arakhidonat oleh sel hipotalamus yang
dimana akan membentuk prostalglandin. Bila prostalglandin terbentuk maka
dapat merubah set point suhu normal di hipotalamus sehingga lebih tinggi dari
normal dan hal itu dapat menyebabkan demam. Reaksi fisiologis dari tubuh
untuk mencapai suhu yang baru itu adalh dengan shivering dimana melakukan
aktivitas otot secara tidak sadar untuk mendapatkan suhu interna lebih.
g. Bagaimana hubungan antar keluhan pada kasus ?
Korelasi antar-keluhan timbul sebagai akibat dari obstruksi oleh batu
empedu. Obstruksi ini dapat menimbulkan bakterimia dan menginduksi
terjadinya reaksi infeksi inflamasi sehingga menimbulkan gejala seperti yang ada
pada kasus. Selain itu, gejala yang timbul juga sebagai salah satu mekanisme
kompensasi tubuh.
2. Sejak 1 minggu sebelum masuk RS Ia juga mengeluh demam ringan yang hilang
timbul, mata dan badan kuning, BAK seperti teh tua, BAB seperti dempul, dan gatalgatal.
a. Bagaimana penyebab dan mekanisme dari demam ringan yang hilang timbul ?
Infeksi
Infeksi oleh bakteri, virus, jamur, maupun parasit dapat menyebabkan
terjadinya demam.
Non infeksi
Penyakit autoimun dan adanya keganasan juga bisa menyebabkan terjadinya
demam.
Fisiologis
Seperti adanya dehidrasi, suhu yang terlalu tinggi, dan pasca imunisasi juga
bisa menyebabkan demam.
Mekanisme:
Pasase batu empedu berulang melalui duktus sistikus yang sempit dapat
menimbulkan iritasi dan perlukaan sehingga dapat menimbulkan peradangan
dinding duktus sistikus dan striktur. Inflamasi yang terjadi akan memicu
neutrofil dan sel-sel radang secara kemotaksis. Neutrofil dan sel-sel radang
akan memicu messenger untuk mengaktifkan sel-sel lain pada system imun
kita. Messenger yang bereaksi adalah Interleukin (IL), dan interferon. Yang
paling banyak adalah IL-1. IL-1 memicu hipotalamus untuk meningkatkan
suhu dan memicu keluarnya fosfolipase yang akan mengubah fosfolipid
menjadi asam arakidonat yang akan memicu keluarnya Prostaglandin (PG).
Efek keluarnya prostaglandin akan mempengaruhi kerja thermostat di
hipotalamus. Hal ini akan menyebabkan kerja thermostat naik yang
menyebabkan kenaikan suhu. Disinilah terjadinya demam. Demam ringan
hilang timbul karena proses inflamasi masih ringan dan belum terjadi sepsis.
dan reaksi peradangannya menjadi lebih parah dan telah terjadi perangsangan
saraf pada peritoneum parietal (nyeri perut yang hebat).
3. Sejak 2 bulan yang lalu, Ny.w mengeluh nyeri di perut kanan atas yang menjalar
sampai ke bahu sebelah kanan dan disertai mual. Nyeri hilang timbul dan bertambah
hebat bila makan makanan berlemak. Biasanya Ny.W minum obat penghilang nyeri .
a. Bagaimana mekanisme obat penghilang nyeri ?
Mekanisme kerja obat analgetik merupakan sebuah mekanisme
fisiologis tubuh terhadap zat-zat tertentu. Obat analgetik bekerja di dua tempat
utama, yaitu di perifer dan sentral. Golongan obat AINS bekerja diperifer
dengan cara menghambat pelepasan mediator sehingga aktifitas enzim
siklooksigenase terhambat dan sintesa prostaglandin tidak terjadi. Sedangkan
analgetik opioid bekerja di sentral dengan cara menempati reseptor di kornu
dorsalis medulla spinalis sehingga terjadi penghambatan pelepasan transmitter
dan perangsangan ke saraf spinal tidak terjadi.
Prostaglandin merupakan hasil bentukan dari asam arakhidonat yang
mengalami metabolisme melalui siklooksigenase. Prostaglandin yang lepas ini
akan menimbulkan gangguan dan berperan dalam proses inflamasi, edema,
rasa nyeri lokal dan kemerahan (eritema lokal). Selain itu juga prostaglandin .
meningkatkan kepekaan ujung-ujung saraf terhadap suatu rangsangan nyeri
(nosiseptif).
Enzim siklooksigenase (COX) adalah suatu enzim yang mengkatalisis
sintesis prostaglandin dari asam arakhidonat. Obat AINS memblok aksi dari
enzim COX yang menurunkan produksi mediator prostaglandin, dimana hal ini
menghasilkan kedua efek yakni baik yang positif (analgesia, antiinflamasi)
maupun yang negatif (ulkus lambung, penurunan perfusi renal dan
perdarahan). Aktifitas COX dihubungkan dengan dua isoenzim, yaitu
ubiquitously dan constitutive yang diekspresikan sebagai COX-1 dan yang
diinduksikan inflamasi COX-2. COX-1 terutama terdapat pada mukosa
lambung, parenkim ginjal dan platelet. Enzim ini penting dalam proses
homeostatik seperti agregasi platelet, keutuhan mukosa gastrointestinal dan
fungsi ginjal. Sebaliknya, COX-2 bersifat inducible dan diekspresikan
terutama pada tempat trauma (otak dan ginjal) dan menimbulkan inflamasi,
demam, nyeri dan kardiogenesis. Regulasi COX-2 yang transien di medulla
spinallis dalam merespon inflamasi pemebdahan munkin penting dalam
sentisasi sentral.
b. Bagaimana mekanisme nyeri yang menjalar sampai ke bahu kanan atas ?
Rasa nyeri akan menyebar berdasarkan distribusi saraf dari segmen medula
spinalis yang mempersyarafi bagian organ yang terkena. Pada kasus ini, rasa
nyeri merupakan gejala kolik biliaris yang mendapat persyarafan dari segmen
dorsalis kedepan medulla spinalis sehingga akan turut dirasakan pada daerah
tepat dibawah angulus inferior scapulae kanan.
c. Bagaimana metabolisme makanan berlemak ?
Tahap pertama dalam pencernaan lemak adalah secara fisik memecahkan
gumpalan lemak menjadi ukurang yang sangat kecil, sehingga enzim perncernaa
yang larut air dapat bekerja pada permukaan gumpalan lemak. Proses ini disebut
emulsifikasi lemak, dan dimulai melalui pergolakan di dalam lambung untuk
mencampur lemak dengan produk pencernaan lambung.
Lalu, kebanyakan proses emulsifikasi tersebut terjadi di dalam duodenum di
bawah pengaruh empedu, sekresi dari hati yang tidak mengandung enzim
pencernaan apapun. Akan tetapi, empedu mengandung sejumlah besar garam
empedu juga fosfolipid lesitin. Keduanya, tetapi terutama lesitin, sannga penting
untuk emulsifikasi lemak. Gugus-gugus polar dari garam empedu dan molekumolekul lesitin sangat larut air, sedangkan sebagian besar sisa gugus-gugus
molekul keduanya sangat larut-lemak. Oleh karena itu, gugus yang laurt lemak
dari secret hati ini terlarut dalam lapisan permukaan gumpalan lemak, sedangkan
gugus polarnya menonjol. Penonjolan gugus polar selanjutnya terlarut dalam
cairan berair di sekitarnya, sehingga sangat menurunkan tegangan antar
permukaan lemak dan membuat lemak tersebut ikut terlarut. Bila tegangan antar
permukaan gumpalan cairan yang tidak bercampur ini rendah, cairan yang tidak
bercampur ini, melalui pengadukan, dapat dipecah menjadi banyak partikel yang
sangat halus secara jauh lebih mudah daripada bila tegangan antar permukaannya
tinggi. Akibatnya, fungsi utama garam empedu dan lesitin, terutama lesitin,
dalam empedu dalah untuk membuat gelembung lemak siap untuk dipecah oleh
pengadukan dengan air di dalam usus halus. Kerja ini sama seperti yang terjadi
pada banyak deterjen yang dipakai pada kebanyakan pembersih rumah tangga
untuk membersihkan noda kotoran.
Empedu + pengadukan
Lemak
Lemak teremulsi
Lipase pankreas
Lemak teremulsi
monogliserida
Setiap kali diameter gumpalan lemak secara signifikan diturunkan sebagai akibat
pengadukan pada usus halus, daerah permukaan lemak total meningkat berlipatlipat. Enzim lipase merupakan senyawa yang larut air dan dapat menyerang
gumpalan lemak hanya pada permukaanya. Akibatnya dapat dimengerti betapa
pentingnya fungsi deterjen garam empedu dan lesitin untuk pencernaan lemak.
d. Mengapa pada kasus ini Ny.W merasa nyeri yang hilang-timbul apabila makan
makanan yang berlemak ?
Rasa nyeri hilang-timbul dan menjalar kebahu kanan yang semakin hebat bila
makan makanan berlemak yang dialami Nyonya W pada rentang waktu 2 bulan
sebelum beliau pergi berobat ke RSMH merupakan gejala kolik biliaris.
Makanan berlemak yang masuk kedalam usus halus akan merangsang
pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum. Hormon ini akan
menghasilkan kontraksi kantung empedu yang sangat kuat, menurunkan
relaksasi sphincter Oddi, meningkatkan sekresi empedu hati yang pada akhirnya
berujung pada peningkatan aliran kantung empedu keduodenum. Terdapatnya
sumbatan / obstruksi pada duktus koledokus akan menyebabkan usaha yang
berlebihan yang dilakukan oleh tubuh sehingga nyeri akan terasa.
e. Bagaimana penyebab dan mekanisme mual pada kasus ?
Batu empedu yang beralih ke duktus sistikus menyebabkan obstruksi duktus
sistikus. Obstruksi ini akan menyebabkan inflamasi dan edema dari kandung
empedu sehingga terjadi penekanan dan menyebabkan pasien mual.
f. Mengapa nyeri yang dialami Ny.W disertai dengan mual ?
Nyeri yang dialami oleh Ny.W akan mengirimkan impuls iritatif (traktus
gastrointestinal) dan akan diterusakan menuju pusat muntah. Di pusat muntah
sendiri tepatnya di daerah medulla oblongata akan terjadi pengenalan secara
sadar terhadap eksitasi bawah sadar rangsangan (hanya pemaparan impuls).
Karena saling berkaitan, bisanya muntah sering diawali oleh mual.
4. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang, kesadaran kompos mentis,
Tanda vital ;
Inspeksi : Datar
Palpasi
(+), hepar dan lien tidak teraba, kandung empedu : sulit dinilai
Perkusi : Shifting dullness (-)
Ekstremitas : Palmar eritema (-), akrat pucat, edema perifer (-)
Setelah mencapai usus dua belas jari, pipa kecil (kanula) dimasukkan menuju
duktus koledokus setelah sebelumnya, zat kontras iodium disemprotkan ketika
pipa berada di pintu masuk duktus koledokus.
Bila keberadaan batu ditemukan dalam duktus koledokus, batu akan langsung
dikeluarkan saat itu juga. Karena itu, selain bersifat diagnostik, ERCP juga
bersifat terapi. Inilah keunggulan utamanya.
Meski begitu, dengan kemajuan yang pesat di bidang radiologi diagnostik,
pemeriksaan Magnetic Resonance Cholangio-Pancreatography (MRCP) lebih
sering digunakan untuk menggantikan metode ERCP sehingga kini, ERCP sering
dilakukan guna terapi saja.
c. Magnetic Resonance Cholangio-Pancreatography/MRCP
Magnetic Resonance Cholangio-Pancreatography (MRCP) merupakan
pemeriksaan pencitraan yang menggunakan resonansi gelombang
elektromagnetik. Pemeriksaan ini bisa mendeteksi batu di kandung empedu dan
saluran empedu dengan sangat baik, bahkan apabila ada kanker pada saluran
empedu.
Tingkat keakuratan metode pemeriksaan ini mencapai 90% dan relatif aman.
Sayangnya, biaya pemeriksaan ini terbilang cukup mahal.
d. Pemeriksaan CT Scan
Pemeriksaan CT Scan yang dilakukan akan memperlihatkan lebih detail lagi
mengenai keberadaan batu, ada atau tidaknya sumbatan, dan pelebaran saluran
empedu serta berbagai komplikasi yang terjadi seperti peradangan maupun
kandung empedu yang pecah (ruptur). Sayangnya, metode pemeriksaan ini lebih
mahal dibandingkan metode pemeriksaan dengan USG.
e. Hepatobilliary Scan/HIDA
HIDA scan sebenarnya tidak secara spesifik diperuntukkan untuk mendeteksi
keberadaan batu empedu, namun hanya digunakan untuk memastikan apakah
terjadi penyumbatan di duktus sistikus atau tidak, baik itu karena adanya batu
maupun peradangan.
Selain itu, dengan metode ini, dokter dapat memastikan bagaimana fungsi
ekskresi hati Anda, misalnya untuk mengetahui apakah ada gangguan dalam
proses pengeluaran garam empedu atau tidak.
Sebagai tambahan, selain berbagai metode pemeriksaan baru empedu di atas,
pemeriksaan laboratorium juga dapat dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang
guna mendeteksi kondisi lain akibat adanya batu seperti radang, gangguan fungsi
hati, gangguan fungsi pankreas dan lainnya.
Panjang ductus ini sekitar 8 cm. Pada bagian pertama perjalannya, ductus ini
terletak di pinggir bebas kanan omentum minus, di depan foramen epiploicum.
Disini ductus choledochus terletak di pinggir kanan vena portae hepatis dan pada
sisi kanan arteria hepatica. Pada bagian kedua perjalanannya, duktus terletak di
belakang pars superior duodenum di sebelah kanan arteria gastroduodenalis.
Pada bagian ketiga perjalanannya, ductus terlteak di dalam sulcus yang terdapat
pada fascia posterior caput pancreatic. Di sini ductus choledochus bersatu
dengan ductus pancreaticus.
Ductus ini berakhir dibawah dengan menembus dinding medial pars descenden
duodenum kira-kira di pertengahan panjangnya. Biasanya ducts choledochus
bergabung dengan ductus pancreaticus, dan bersama-sama bermuara ke dalam
ampulla kecil di dinding duodenum, yaitu ampulla hepatopancreatica. Ampulla
ini bermuara ke dalam lumen duodenum melalui sebuah papilla kecil, yaitu
papilla duodeni mayor. Bagian terminal kedua ductus beserta ampulla dikelilingi
oleh seraut otot sirkuler yang diebut musculus sphincter ampullae. Kadangkadang, ductus choledochus dan ductus pancreaticus bermuara ke dalam
duodenium pada tempat yang berbeda.
c. Vesica Biliaris.
Adalah sebuah kantong berbentuk buah pir yang terletak pada permukaan bawah
hepar. Vesica biliaris mmpunyai kemampuan menampung empedu sebanyak 3050 ml dan menyimpannya, serta memekatkan empedu dengan cara mengabsorbsi
air. Kantong ini terbagi menjadi 3 bagian yaitu fundus, corpus, dan collum.
Fundus vesica biliaris berbentuk bulat dan biasanya menonjol di bawah
margoinferior hepar. Corpus vesica biliaris terletak dan berhubungan dengan
fascia visceralis hepar dan arahnya ke atas, belakang dan kiri. Collum vesica
biliaris melanjutkan diri menjadi ductus cysticus, yang berbelok ke dalam
omentum minus dan bergabung dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis
untuk membentuk ductus choledochus.
d. Ductus Cysticus.
Panjang ductus ini sekitar 8 cm dan menghubungkan collum vesica biliaris
dengan ductus hepaticus communis untuk membentuk ductus choledochus.
Biasanya ductus ini berbentuk seperti huruf S dan berjalan turun dengan jarak
yang
bervariasi
pada
pinggir
bebas
kanan
omentum
minus.
5. Pemeriksaan Lab
Darah Rutin = Hb: 12,4g/dl: Ht: 36 vol%, Leukosit : 15.400/mm3, Trombosit:
329.000mm3, LED : 77mm/jam
Liver Function Test = Bil.total :20,49 mg/dl, Bil.direk: 19.94, Bil. Indirek :0,55
mg/dl, SGOT : 29 u/l, SGPT : 37u/l, fosfatase alkali :864 u/l.
Amilase : 40unit/L dan Lipase : 50 Unit/L
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari pemeriksaan lab ?
- Leukosit
- Leukositosis (Nilai normal : 5.000-10.000). Peningkatan leukositosis pada
kasus ini dianggap sebagai tanda adanya infeksi.
-
LED
LED (Laju Endap Darah) pada kasus Ny.W meningkat (Nilai Normal 0
20 mm/jam). Peningkatan LED ini diakibatkan karena peningkatan jumlah
sel khususnya sel darah putih (leukosit) akibat reaksi inflamasi yang dialami
oleh Ny.W
Bil total
Adanya obstruksi pada ductus choledokus bilirubin terkonjugasi tidak
dapat masuk ke duodenum menumpuk di hati regurgitasi cairan-cairan
empedu ke sistemik, dalam hal ini termasuk bilirubin terkonjugasi
peningkatan bilirubin konjugasi dan bilirubin total di dalam plasma
Bil direk
Bilirubin direk yang meningkat disebabkan oleh terdapatnya obstruksi posthepatic akibat adanya suatu sumbatan berupa batu pada duktus koledokus.
Sumbatan ini akan menyebabkan regurgitasi balik bilirubin direk kedalam
darah sistemik sehingga terjadilah kongesti.
b. Mengapa bilirubin indirek tidak meningkat padahal bilirubin direk dan total
meningkat ?
Bilirubin indirek tidak meningkat dikarenakan tidak terdapat gangguan baik
dalam hal perombakan heme dan ambilan oleh hati terhadapnya.
manifestasinya serupa dengan kolesistitis yaitu nyeri perut kanan atas, mual
muntah, disertai dengan jaundice. Pada koledokolitiasis, obstruksi lebih hebat
sehingga jaundice lebih kuat (kadar bilirubin direk meningkat tinggi).
Koledokolitiasis juga adalah kegawatdaruratan sehingga manajemennya sering
kali adalah dengan operasi.
Lab
WBC
Transaminases
(AST/ALT)
Bilirubin
(conjugated)
Alkaline
phosphatase
Amylase/lipase
IV.
Normal or
slightly
Normal or
Normal or
slightly
slightly
Normal
Normal
Normal
Cholangiti
s
Normal
or (if
septic)
Normal or
slightly
Hipotesis Masalah
Ny.W mengalami obstruksi di duktus koledokus.
V.
Analisa Klinis
1. Bagaimana cara menegakkan diagnosis Ny. W?
Anamnesis: mual, muntah, demam, nyeri di abdomen kuadran kanan atas dan midepigastrium yang berat, menetap, dan menyebar sampai ke bahu kanan atas.
Pemeriksaan fisik: nyeri tekan di abdomen kuadrah kanan atas, tanda Murphy positif,
palpasi vesika felea bisa positif, pemeriksaan sklera dan dinding atas cavum oris.
ANALISIS KLINIS
4. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus ini ?
Pencitraan
- Foto polos abdomen
- Pemeriksaan ultrasonografi
- Kolesistografi
- Penataan hati dengan HIDA
- Computed Tomografi (CT)
- Percutaneous Transhepatic Cholangiographi (PTC)
- Endoscopic Retrograde Cholangio-pancreatography (ERCP)
dari batu empedu adalah kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan
empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan
membentuk endapan di luar empedu.
Batu pada koledokolitiasis dapat berasal dari kandung empedu yang bermigrasi dan
menyumbat di duktus koledukus, atau dapat jugaberasal dari pembentukan batudi duktus
koledukus sendiri.
6. Bagaimana epidemiologi kasus?
Kolesistitis lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria, dan banyak terjadi
setelah usia 40 tahun. Prevalensi meningkat seiring bertambah usia, prevalensi pada
perempuan berkulit putih dua kali lebih besar dibandingkan laki laki. Pengaruh
esterogen (kontrasepsi dan kehamilan ) meningkatkan penyerapan dan sintesis
kolesterol dalam empedu sehingga meningkatkan angka terjadinya batu kandung
empedu.
Epidemiologi batu empedu di Amerika Serikat cukup tinggi sekitar 10-20% orang
dewasa ( 20 juta orang). Setiap tahunnya bertambah sekitar 13 % kasus baru dan
sekitar 13% nya dari penderita kandung empedu menimbulkan komplikasi . Kira
kira 500.000 orang yang menderita simptom batu empedu atau batu empedu dengan
komplikasi dilakukan kolesistektomi. Batu empedu bertanggung jawab pada 10.000
kematian per tahun. Di Amerika Serikat, ditemukan pula sekitar 20003000 kematian
disebabkan oleh kanker kandung empedu dan sekitar 80% dari kejadian penyakit batu
empedu disertai dengan kolesistitis kronik. Sedangkan, epidemiologi di Indonesia
belum dapat diketahui.
7. Bagaimana faktor resiko kasus?
Obesitas
Sindrom metabolik pada obesitas trunkal, resistensi insulin, diabetes melitus tipe 2,
hipertensi, dan hiperlipidemia dapat meningkatkan sekresi kolesterol hepatik yang
kemudian mengakibatkan kadar kolesterol dalam kandung empedu tinggi. Kadar
kolesterol dalam kandung empedu yang tinggi dapat mengurangi garam empedu
serta mengurangi kontraksi atau pengosongan kandung empedu sehingga
meningkatkan resiko terjadinya kolelitiasis.
Obat-obatan
Penggunaan estrogen dapat meningkatkan sekresi kolesterol di dalam empedu.Obatobat clofibrat dan fibrat dapat meningkatkan eliminasi kolesterol melalui sekresi
empedu dan tampaknya meningkatkan resiko terjadinya batu kolesterol
empedu.Sedangkan obat-obat dari analog somatostatin dapat dapat mengurangi
pengosongan kandung empedu.
Kehamilan
Faktor resiko meningkat pada wanita yang telah beberapa kali hamil. Kadar
progesteron tinggi dapat mengurangi kontraktilitas kandung empedu yang
mengakibatkan retensi memanjang dan konsentrasi tinggi bile dalam kandung
empedu.
Kandung empedu statis
Kandung empedu yang statis diakibatkan dari konsumsi obat-obatan dan terlalu lama
puasa setelah pasca operasi dengan total nutrisi parenteral dan penurunan berat
badan yang berlebihan.
Keturunan
Faktor genetik memegang peranan sekitar 25%.Batu empedu terjadi 1 sampai 2
kali lebih umum diantara orang-orang Skandinavia dan orang-orang Amerika
keturunan Meksiko.Diantara orang-orang Amerika keturunan Indian, kelaziman batu
empedu mencapai lebih dari 80%.Perbedaan-perbedaan ini mungkin
dipertanggungjawabkan oleh faktor-faktor genetik (yang diturunkan).
Umur
Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50 tahun. Sangat sedikit
penderita batu empedu yang dijumpai pada usia remaja, setelah itu dengan semakin
bertambahnya usia semakin besar kemungkinan untuk mendapatkanbatuempedu,
sehinggapadausia 90 tahunkemungkinannyaadalah satu dari tiga orang.
Jenis Kelamin
Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan
perbandingan 4 : 1. Di USA 10- 20 % laki-laki dewasa menderita batu kandung
empedu, sementara di Italia 20 % wanitadan 14 % laki-laki. Sementara di Indonesia
jumlahpenderitawanitalebihbanyak dari pada laki-laki.
Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gatrointestinal)mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan
dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
Penyakit usus halus.
1. Supersaturasi kolesterol
Secara normal, komposisi empedu terdiri atas 70 % garam empedu, 22% fosfolipid
(terutama lesitin), 4% kolesterol, 3% protein, dan 0,3% bilirubin.18 Terbentuknya batu
empedu tergantung darimkeseimbangan kadar garam empedu, kolesterol dan lesitin.
Semakin tinggi kadar kolesterol atau semakin rendah kandungan garam empedu, akan
membuat kondisi di dalam kandung empedu jenuh akan kolesterol (supersaturasi
kolesterol). Kolesterol disintesis dihati dan diekskresikan dalam bentuk garam empedu.
Dengan meningkatnya sintesis dan sekresi kolesterol, resiko terbentuknya empedu juga
meningkat. Penurunan berat badan yang terlalu cepat (karena hati mensintesis kolesterol
lebih banyak), maka esterogen dan kontrasepsi (menurunkan sintesis garam empedu)
menyebabkan supersaturasi kolesterol.
2. Pembentukan inti kolesterol
Nampaknya faktor pembentukan inti kolesterol mempunyai peran lebih besar dalam
proses pembentukan dibandingkan faktor supersaturasi. Kolesterol baru dapat
dimetabolisme didalam usus dalam bentuk terlarut air. Dan empedu memainkan peran
tersebut. Kolesterol diangkut dalam bentukmisel dan vesikel. Misel merupakan agregat
yang berisi fosfolipid (terutama lesitin), garam empedu dan kolesterol. Apabila saturasi
kolesterol lebih tinggi, maka akan diangkut dalam bentuk vesikel. Vesikel ibarat sebuah
lingkaran dua lapis. Apabila kosentrasi kolesterol sangat banyak, dan supaya kolesterol
dapat terangkut, maka vesikel akan memperbanyak lapisan lingkarannya, sehingga
disebut sebagai vesikel berlapis-lapis (vesicles multilamellar). Pada akhirnya, di dalam
kandung empedu, pengangkut kolesterol, baik misel dan vesikel, akan bergabung
menjadi vesikel multilapis. Vesikel ini dengan adanya protein musin akan membentuk
Kristal kolesterol. Kristal kolesterol yang terfragmentasi pada akhirnya akan di lem
(disatukan) oleh protein empedu membentuk batu kolesterol.
3. Penurunan fungsi kandung empedu
Menurunnya kemampuan kontraksi dan kerusakan dinding kandung empedu,
memudahkan seseorang menderita batu empedu. Kontraksi kandung empedu yang
melemah akan menyebabkan stasis empedu. Stasis empedu akan membuat musin yang
di produksi di kandung empedu terakumulasi seiring dengan lamanya cairan empedu
tertampung dalam kandung empedu. Musin tersebut akan semakin kental dan semakin
pekat sehingga semakin menyulitkan proses pengosongancairan empedu. Bila daya
kontraksi kandung empedu menurun dan di dalam kandung empedu tersebut sudah ada
Kristal, maka Kristal tersebut tidak akan dapat dibuang keluar ke duodenum. Beberapa
kondisi yang dapat menganggu daya kontraksi kandung empedu, yaitu hipomotilitas,
parenteral total (menyebabkan aliran empedu menjadi lambat), kehamilan, cedera
medulla spinalis dan diabetes melitus.
10. Bagaimana patofisiologi kasus?
Sumbatan pada CBD menyebabkan gagalnya sekresi empedu ke dalam duodenum.
Tanpa ekskresi empedu, bilirubin tidak dapat disalurkan ke tubuh dan menimbulkan
gangguan emulsi lemak, pewarnaan urin, dan pewarnaan feses. Warna urin menjadi
gelap seperti teh tua akibat bilirubin direk yang diekskresikan langsung ke dalam urin,
dan feses berwarna dempul karena tidak terbentuknya sterkobilin sebagai pewarna.
Adapun kegagalan ekskresi empedu ke duodenum bisa menyebabkan penumpukan
bakteri di dalam kantung dan saluran empedu. Bakteri yang lewat biasanya bisa
langsung diekskresikan ke duodenum dan tidak bersarang di kantung empedu, namun
bila menumpuk bisa menjadi sumber infeksi terutama di daerah sekitar obstruksi.
Obstruksi juga mengganggu kerja sistem imun hepatobilier dan menurunkan kadar IgE
(yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh) akibat tekanan yang tinggi di
dalam saluran empedu.
11. Bagaimana penatalaksanaan farmako dan non farmako pada kasus?
Farmakologi:
Terapi cairan dengan cairan kristaloid dan nutrisi
Antibiotika sistemik
Analgetik (NSAID)
Non Farmakologi:
Pembedahan
Bed rest
Diet rendah lemak
Terapi Non Bedah
Terapi pengobatan untuk batu empedu, digunakan sendiri atau dikombinasikan,
sebagai berikut :
- Terapi garam empedu oral (Ursodeoxycholic acid)
Ursodeoxycholic acid diindikasikan untuk batu empedu nonkalsifikasi radio
lucent dengan diameter lebih kecil dari 5 mm ketika kolesistektomi tidak dapat
dilakukan. Ursodeoxycholic acid bekerja sebagai penekan sintesis dan sekresi
kolesterol hepatik serta penghambat absorpsi intestinal. Efek penghambat
sintesis dan sekresi asam endogenous bile kedalam bile tidak mengganggu
sekresi fosfolipid kedalam bile. Ursodeoxycholic acid juga bekerja dengan
mendispersi kolesterol menjadi cairan kristal di aquous media. Secara
keseluruhan efek dari UDCA adalah untuk meningkatkan level konsentrasi
pada saat saturasi kolesterol terjadi.
- Litolisis dengan asam empedu peroral
Asam ursodeoksikolat (AUDK) telah digunakan untuk pelarutan batu empedu.
Asam empedu ini menekan sintesis kolesterol di hati dengan menghambat
hidroksimetil glutaril CoA (HMG-CoA) reduktase dan meningkatkan aktivitas
dari 7a-hidroksilase sehingga meningkatkan sintesis empedu. AUDK juga
menurunkan absorpsi/reabsorpsi kolesterol di usus dan memperpanjang waktu
nukleasi dari empedu.
Efek samping: Diare, bersifat hepatotoksik pada fetus sehingga kontra
indikasi pada ibu hamil.
-
b.
Terapi bedah
Terdapat beberapa tindakan bedah yang dapat dilakukan untuk terapi batu empedu,
yaitu:
- Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatgraphy (ERCP)
ERCP merupakan suatu prosedur yang dilakukan dengan cara kolangiografi
dan pankreatografi langsung secara retrograde. Melalui kanulasi dari papila
vateri disuntikan kontras kedalam saluran bilier atau pankreas.
- Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan
kolelitiasis simptomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi
adalah cedera duktus biliaris. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi
adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
- Kolesistektomi laparaskopi
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya
kolesistitis akut. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur
konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan pasien
dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah
yang belum terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan
dengan insiden komplikasi seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat
terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi.
c. Nutrisi
- Rendah lemak dan lemak diberikan dalam bentuk yang mudah dicerna.
Cukup kalori, protein dan hidrat arang. Bila terlalu gemuk jumlah kalori
dikurangi.
Cukup mineral dan vitamin, terutama vitamin yang larut dalam lemak.
Intake banyak cairan untuk mencegah dehidrasi.
Lulusan Dokter mampu membuat diagnosis klinis dan memberikan terapi pendahuluan
pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan
atau kecacatan pada pasien. Lulusan Dokter mampu menentukan rujukan yang paling
tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan Dokter juga mampu menindaklanjuti
sesudah kembali dari rujukan.
What I know
Anatomi &
Fisiologi Saluran
Empedu
Definisi
Penyakit Empedu
dan Saluran
Empedu
Drfinisi
What I have to
prove
Posisi anatomi
organ dan fungsi
organ
Etiologi dan
manifestasi klinis
How I will
learn
Kamus
kedokteran
KBBI
Jurnal
Internet
Textbook
B. Sintesis Masalah
I. Anatomi dan Fisiologi dari Saluran Empedu
Anatomi Apparatus Billiaris
Apparatus billiaris merupakan suatu system yg terdiri atas vesica fellea, ductus hepaticus,
ductus cysticus, dan ductus choledocus.
Vesica fellea
Merupakan suatu kantung berbentuk spt pear yg
terletak di fossa visceralis di facies visceralis
hepatis. Vesica fellea memiliki ukuran panjang
sekitar 8cm dan memiliki volum 40-50cm.
Vesica fellea terletak di cavum abdomen pada
regio hipokondrium/ hipokondriaka dextra.
Vesica fellea memiliki syntopi pd impressio
biliaris pd facies visceralis lobus hepatis dexter.
Morfologi Vesica Fellea
Vesica fellea memiliki bagian fundus, corpus, dan collum.
Fundus vesica fellea menonjol di margo inferior hepar. Proyeksi nya terletak pd
perpotongan tepi lateral dr m. rectus abdominis (MRA) dan pertengahan dr arcus costa
dextra. Corpus dari vesica fellea bersentuhan dg facies visceralis hepar kearah
superoposterior sinistra. Sedangkan collum dr vesica fellea melanjut sbg ductus cysticus
yg berjalan dalam omentum minus dan akan bersatu dg ductus hepaticus communis dan
membentuk ductus choledocus/ ductis billiaris.
Vesica fellea berfungsi utk menyimpan cairan billiaris yg diproduksi oleh sel hepatosit,
utk kemudian nantinya akan diregulasi ke dalam lumen duodenum utk mengemulsikan
lemak.
Vaskularisasi Vesica Fellea
Ductus hepaticus dextra et sinistra keluar dr hepar mll porta hepatis, lalu akan bersatu
membentuk ductus hepaticus communis. Ductus hepaticus communis berukuran sekitar 4
cm, dan berjalan di tepi bebas omentum minus. Ductus hepaticus communis akan bersatu
dg ductus cysticus utk membentuk ductus choledocus (billiaris).
Ductus cysticus
Ductus cysticus berukuran sekitar 4cm, berbentuk spt huruf S dan berjalan pd tepi bebas
di kanan dr omentum minus. Ductus cysticus ini menghubungkan antara collum vesica
fellea dg ductus hepaticus communis utk nantinya bersatu membentuk ductus choledocus
(biliaris). Mukosa dr ductus cysticus menonjol berbentuk lipatan spiral yg disebut dg
plica spiralis/ valvulla heister/ valvulla spiralis. Fungsi dr valvulla ini yaitu utk
memperkuat dinding dr ductus cysticus dan jg utk membantu agar lumen dr ductus
cysticus ttp terbuka.
Ductus Choledocus (Billiaris)
Ductus choledocus berukuran sekitar 8cm dan merupakan penyatuan dr ductus cysticus
dan ductus hepaticus communis.
Ductus choledocus pertama terletak pada tepi bebas kanan dr omentum minus di depan
dari foramen epiploica winslow, di depan tepi kanan dr v. portae hepatis dan di sebelah
kanan dari a. hepatica communis. Selanjutnya ductus choledocus terletak di belakang dr
duodenum pars superior, di kanan dari a. gastro duodenalis. Lalu melanjut shg terletak
pada permukaan posterior dari caput
pancreas. Selanjutnya ductus choledocus akan
bersatu dengan ductus pancreaticus major
(ductus wirsungi) dan akan bermuara pada
dinding posteromedial dari pertengahan
duodenum pars descendens, pada suatu lumen
kecil mll papilla duodeni major. Bagian
terminal dari ampulla vater dikelilingi oleh
serabut sirkular yg dikenal sebagai sphincter
oddi.
Mekanisme pengaliran cairan empedu
Hepatosit -> canaliculi billiaris -> ductus
hepaticus dextra et sinistra -> ductus
hepaticus communis -> ductus cysticus -> vesica fellea (empedu dipekatkan dan
disimpan) -> jika ada makanan (lemak) dlm duodenum -> hormon CCK
(CholeCitoKinin) -> kontraksi vesica fellea dan relaksasi sphincter oddi -> ductus
cysticus -> ductus choledocus -> ampulla vater -> papilla duodeni major -> duodenum
pars descendens
Fisiologi
Fungsi kandung empedu, yaitu:
a. Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang ada di
dalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan empedu ini adalah cairan
elektrolit yang dihasilkan oleh sel hati.
b. Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin
yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari usus. Hemoglobin yang
berasal dari penghancuran sel darah merah diubah menjadi bilirubin (pigmen utama dalam
empedu) dan dibuang ke dalam empedu.2,7
Kandung empedu mampu menyimpan 40-60 ml empedu. Diluar waktu makan, empedu
disimpan sementara di dalam kandung empedu. Empedu hati tidak dapat segera masuk ke
duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus
dan ke kandung empedu. Dalam kandung empedu, pembuluh limfe dan pembuluh darah
mengabsorpsi air dari garam-garam anorganik, sehingga empedu dalam kandung empedu
kira-kira lima kali lebih pekat dibandingkan empedu hati.20,21
Empedu disimpan dalam kandung empedu selama periode interdigestif dan diantarkan ke
duodenum setelah rangsangan makanan.2 Pengaliran cairan empedu diatur oleh 3 faktor,
yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus.
Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialih-alirkan ke dalam kandung
empedu. Setelah makan, kandung empedu berkontraksi, sfingter relaksasi, dan empedu
mengalir ke duodenum.3
Memakan makanan akan menimbulkan pelepasan hormon duodenum, yaitu kolesistokinin
(CCK), yang merupakan stimulus utama bagi pengosongan kandung empedu, lemak
merupakan stimulus yang lebih kuat. Reseptor CCK telah dikenal terletak dalam otot polos
dari dinding kandung empedu. Pengosongan maksimum terjadi dalam waktu 90-120 menit
setelah konsumsi makanan. Empedu secara primer terdiri dari air, lemak, organik, dan
elektrolit, yang normalnya disekresi oleh hepatosit. Zat terlarut organik adalah garam
empedu, kolesterol, dan fosfolipid.7
Sebelum makan, garam-garam empedu menumpuk di dalam kandung empedu dan hanya
sedikit empedu yang mengalir dari hati. Makanan di dalam duodenum memicu serangkaian
sinyal hormonal dan sinyal saraf sehingga kandung empedu berkontraksi. Sebagai
akibatnya, empedu mengalir ke dalam duodenum dan bercampur dengan makanan.
Empedu memiliki fungsi, yaitu membantu pencernaan dan penyerapan lemak, berperan
dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama hemoglobin yang berasal dari
penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol, garam empedu meningkatkan
kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin yang larut dalam lemak untuk membantu proses
penyerapan, garam empedu merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk membantu
menggerakkan isinya, bilirubin (pigmen utama dari empedu) dibuang ke dalam empedu
sebagai limbah dari sel darah merah yang dihancurkan, serta obat dan limbah lainnya
dibuang dalam empedu dan selanjutnya dibuang dari tubuh.22
Garam empedu kembali diserap ke dalam usus halus, disuling oleh hati dan dialirkan
kembali ke dalam empedu. Sirkulasi ini dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik.22 Seluruh
garam empedu di dalam tubuh mengalami sirkulasi sebanyak 10-12 kali/hari. Dalam setiap
sirkulasi, sejumlah kecil garam empedu masuk ke dalam usus besar (kolon). Di dalam kolon,
bakteri memecah garam empedu menjadi berbagai unsur pokok. Beberapa dari unsur pokok
ini diserap kembali dan sisanya dibuang bersama tinja.22 Hanya sekitar 5% dari asam
empedu yang disekresikan dalam feses.
Anatomi
Kandung empedu bentuknya seperti kantong, organ berongga yang panjangnya
sekitar 10 cm, terletak dalam suatu fosa yang menegaskan batas anatomi antara lobus hati
kanan dan kiri.7 Kandung empedu merupakan kantong berongga berbentuk bulat lonjong
seperti buah advokat tepat di bawah lobus kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus,
korpus, dan kolum. Fundus bentuknya bulat, ujung buntu dari kandung empedu yang sedikit
memanjang di atas tepi hati. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu.
Kolum adalah bagian yang sempit dari kandung empedu yang terletak antara korpus dan
daerah duktus sistika.
Empedu yang disekresi secara terus-menerus oleh hati masuk ke saluran empedu
yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran lebih
besar yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri yang
segera bersatu membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan
duktus sistikus membentuk duktus koledokus.
Fisiologi
Fungsi kandung empedu, yaitu:
a. Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang ada di
dalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan empedu ini adalah cairan
elektrolit yang dihasilkan oleh sel hati.
b. Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak danvitamin yang
larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari usus. Hemoglobin yang
berasal dari penghancuran sel darah merah diubah menjadi bilirubin (pigmen utama
dalam empedu) dan dibuang ke dalam empedu.
Kandung empedu mampu menyimpan 40-60 ml empedu. Diluar waktU makan,
empedu disimpan sementara di dalam kandung empedu. Empedu hati tida dapat segera
masuk ke duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus empedu masuk ke
duktus sistikus dan ke kandung empedu. Dalam kandung empedu, pembuluh limfe dan
pembuluh darah mengabsorpsi air dari garam-garam anorganik, sehingga empedu dalam
kandung empedu kira-kira lima kali lebih pekat
dibandingkan empedu hati.
Empedu disimpan dalam kandung empedu selama periode interdigestif dan
diantarkan ke duodenum setelah rangsangan makanan.2 Pengaliran cairan empedu diatur
oleh 3 faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan
sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialih-alirkan ke
dalam kandung empedu. Setelah makan, kandung empedu berkontraksi, sfingter relaksasi,
dan empedu mengalir ke duodenum. Memakan makanan akan menimbulkan pelepasan
hormon duodenum, yaitu kolesistokinin (CCK), yang merupakan stimulus utama bagi
pengosongan kandung empedu, lemak merupakan stimulus yang lebih kuat. Reseptor CCK
telah dikenal terletak dalam otot polos dari dinding kandung empedu. Pengosongan
maksimum terjadi dalam waktu 90-120 menit setelah konsumsi makanan. Empedu secara
primer terdiri dari air, lemak, organik, dan elektrolit, yang normalnya disekresi oleh
hepatosit. Zat terlarut organik adalah garam empedu, kolesterol, dan fosfolipid.
Sebelum makan, garam-garam empedu menumpuk di dalam kandung empedu dan
hanya sedikit empedu yang mengalir dari hati. Makanan di dalam duodenum memicu
serangkaian sinyal hormonal dan sinyal saraf sehingga kandung empedu berkontraksi.
Sebagai akibatnya, empedu mengalir ke dalam duodenum dan bercampur dengan makanan.
Empedu memiliki fungsi, yaitu membantu pencernaan dan penyerapan lemak,
berperan dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama hemoglobin yang berasal
dari penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol, garam empedu meningkatkan
kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin yang larut dalam lemak untuk membantu proses
penyerapan, garam empedu merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk membantu
menggerakkan isinya, bilirubin (pigmen utama dari empedu) dibuang ke dalam empedu
sebagai limbah dari sel darah merah yang dihancurkan, serta obat dan limbah lainnya
dibuang dalam empedu dan selanjutnya dibuang dari
tubuh.
Garam empedu kembali diserap ke dalam usus halus, disuling oleh hati dan dialirkan
kembali ke dalam empedu. Sirkulasi ini dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik. Seluruh
garam empedu di dalam tubuh mengalami sirkulasi sebanyak 10-12 kali/hari. Dalam setiap
sirkulasi, sejumlah kecil garam empedu masuk ke dalam usus besar (kolon). Di dalam
kolon, bakteri memecah garam empedu menjadi berbagai unsur pokok. Beberapa dari unsur
pokok ini diserap kembali dan sisanya dibuang bersama tinja. Hanya sekitar 5% dari asam
empedu yang disekresikan dalam feses.
Gambaran Klinis
Batu empedu tidak menyebabkan keluhan penderita selama batu tidak masuk ke
dalam duktus sistikus atau duktus koledokus. Bilamana batu itu masuk ke dalam ujung
duktus sistikus barulah dapat menyebabkan keluhan penderita. Apabila batu itu kecil, ada
kemungkinan batu dengan mudah dapat melewati duktus koledokus dan masuk ke
duodenum.
Batu empedu mungkin tidak menimbulkan gejala selama berpuluh tahun. Gejalanya
mencolok: nyeri saluran empedu cenderung hebat, baik menetap maupun seperti kolik bilier
(nyeri kolik yang berat pada perut atas bagian kanan) jika ductus sistikus tersumbat oleh
batu, sehingga timbul rasa sakit perut yang berat dan menjalar ke punggung atau bahu. Mual
dan muntah sering kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris. Sekali serangan kolik
biliaris dimulai, serangan ini cenderung makin meningkat frekuensi dan intensitasnya.
Gejala yang lain seperti demam, nyeri seluruh permukaan perut, perut terasa melilit, perut
terasa kembung, dan lain-lain.
Komplikasi
a. Kolesistisis
Kolesistisis adalah Peradangan kandung empedu, saluran kandung empedu tersumbat
oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan peradangan kandung empedu.
b. Kolangitis
Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi yang menyebar
melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah saluran-saluran menjadi terhalang oleh
sebuah batu empedu.
c. Hidrops
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops kandung empedu.
Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan sindrom yang berkaitan dengannya.
Hidrops biasanya disebabkan oleh obstruksi duktus sistikus sehingga tidak dapat diisi
lagi empedu pada kandung empedu yang normal. Kolesistektomi bersifat kuratif.
d. Empiema
Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat membahayakan jiwa
dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera.
pada perut atas sebelah kanan dan dapat menjalar ke tulang punggung atau bahu. Penderita
seringkali merasakan mual dan muntah. Peradangan pada saluran empedu atau yang disebut
dengan kolangitis dapat terjadi karena saluran empedu tersumbat oleh batu empedu. Jika
terjadi infeksi bersamaan dengan penyumbatan saluran, maka akan timbul demam.
Patogenesis
Empedu adalah satu-satunya jalur yang signifikan untuk mengeluarkan kelebihan
kolesterol dari tubuh, baik sebagai kolesterol bebas maupun sebagai garam empedu.1 Hati
berperan sebagai metabolisme lemak. Kira-kira 80 persen kolesterol yang disintesis dalam
hati diubah menjadi garam empedu, yang sebaliknya kemudian disekresikan kembali ke
dalam empedu; sisanya diangkut dalam lipoprotein, dibawa oleh darah ke semua sel
jaringan tubuh.
Kolesterol bersifat tidak larut air dan dibuat menjadi larut air melalui agregasi garam
empedu dan lesitin yang dikeluarkan bersama-sama ke dalam empedu. Jika konsentrasi
Epidemiologi
Distribusi dan Frekuensi Kolelitiasis Berdasarkan Orang
Di negara barat, batu empedu mengenai 10% orang dewasa. Angka prevalensi orang
dewasa lebih tinggi. Angka prevalensi orang dewasa lebih tinggi di Negara Amerika Latin
(20% hingga 40%) dan rendah di negara Asia (3% hingga 4%). Batu empedu menimbulkan
masalah kesehatan yang cukup besar, seperti ditunjukkan oleh statistik AS ini:
a. Lebih dari 20 juta pasien diperkirakan mengidap batu empedu, yang total beratnya
beberapa ton.
b. Sekitar 1 juta pasien baru terdiagnosis mengidap batu empedu per tahun, dengan dua
pertiganya menjalani pembedahan1
Kolelitiasis termasuk penyakit yang jarang pada anak. Menurut Ganesh et al dalam
pengamatannya dari tahun januari 1999 sampai desember 2003 di Kanchikamakoti Child
trust hospital, mendapatkan dari 13.675 anak yang mendapatkan pemeriksaan USG, 43
(0,3%) terdeteksi memiliki batu kandung empedu. Semua ukuran batu sekitar kurang dari 5
mm, dan 56% batu merupakan batu soliter. Empat puluh satu anak (95,3%) dengan gejala
asimptomatik dan hanya 2 anak dengan gejala (Gustawan, 2007).
Distribusi Dan Frekuensi Kolelitiasis Berdasarkan Tempat
Tiap tahun 500.000 kasus baru dari batu empedu ditemukan di Amerika Serikat.
Kasus tersebut sebagian besar didapatkan di atas usia pubertas, sedangkan pada anak-anak
jarang. Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat diperkirakan 20
juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan autopsy di Amerika, batu
kandung empedu ditemukan pada 20% wanita dan 8% pria. Pada pemeriksaan autopsy di
Chicago, ditemukan 6,3% yang menderita kolelitiasis. Sekitar 20% dari penduduk negeri
Belanda mengidap penyakit batu empedu yang bergejala atau yang tidak. Persentase
penduduk yang mengidap penyakit batu empedu pada penduduk Negro Masai ialah 15-50
%. Pada orang-orang Indian Pima di Amerika Utara, frekuensi batu empedu adalah 80%. Di
Indonesia, kolelitiasis baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi penelitian
batu empedu masih terbatas. Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak mempunyai
keluhan.
Faktor risiko
a. Usia
Risiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 40 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
orang degan usia yang lebih muda.1,38 Di Amerika Serikat, 20 % wanita lebih dari 40
tahun mengidap batu empedu.39 Semakin meningkat usia, prevalensi batu empedu
semakin tinggi. Hal ini disebabkan:
- Batu empedu sangat jarang mengalami disolusi spontan.
- Meningkatnya sekresi kolesterol ke dalam empedu sesuai dengan bertambahnya usia.
- Empedu menjadi semakin litogenik bila usia semakin bertambah.40
b. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai risiko dua kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi
kolesterol oleh kandung empedu.41,42 Hingga dekade ke-6, 20 % wanita dan 10 % pria
menderita batu empedu dan prevalensinya meningkat dengan bertambahnya usia,
walaupun umumnya selalu pada wanita.
c. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam
kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
d. Makanan
Konsumsi makanan yang mengandung lemak terutama lemak hewani berisiko untuk
menderita kolelitiasis. Kolesterol merupakan komponen dari lemak. Jika kadar kolesterol
yang terdapat dalam cairan empedu melebihi batas normal, cairan empedu dapat
mengendap dan lama kelamaan menjadi batu. Intake rendah klorida, kehilangan berat
badan yang cepat mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis.
Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
Pencegahan Kolelitiasis
Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah usaha mencegah timbulnya kolelitiasis pada orang sehat yang
memiliki risiko untuk terkena kolelitiasis. Pencegahan primer yang dilakukan terhadap
individu yang memiliki risiko untuk terkena kolelitiasi adalah dengan menjaga kebersihan
makanan untuk mencegah infeksi, misalnya S.Thyposa, menurunkan kadar kolesterol
dengan mengurangi asupan lemak jenuh, meningkatkan asupan sayuran, buah-buahan, dan
serat makanan lain yang akan mengikat sebagian kecil empedu di usus sehingga
menurunkan risiko stagnasi cairan empedu di kandung empedu , minum sekitar 8 gelas air
setiap hari untuk menjaga kadar air yang tepat dari cairan empedu.
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder dilakukan dengan melakukan diagnosis dini terhadap penderita
kolelitiasis dan biasanya diarahkan pada individu yang telah positif menderita kolelitiasis
agar dapat dilakukan pengobatan dan penanganan yang tepat. Pencegahan sekunder dapat
dilakukan dengan non bedah ataupun bedah. Penanggulangan non bedah yaitu disolusi
medis, ERCP, dan ESWL. Penanggulangan dengan bedah disebut kolesistektomi.
Penanggulangan Non Bedah
a. Disolusi Medis
Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya
batu kolesterol diameternya <20mm dan batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung
empedu baik, dan duktus sistik paten.
b. Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography (ERCP)
Untuk mengangkat batu saluran empedu dapat dilakukan ERCP terapeutik dengan
melakukan sfingterektomi endoskopik. Teknik ini mulai berkembang sejak tahun 1974
hingga sekarang sebagai standar baku terapi non-operatif untuk batu saluran empedu.
Selanjutnya batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau
balon ekstraksi melalui muara yang sudah besar tersebut menuju lumen duodenum
sehingga batu dapat keluar bersama tinja. Untuk batu saluran empedu sulit (batu besar,
batu yang terjepit di saluran empedu atau batu yang terletak di atas saluran empedu
yang sempit) diperlukan beberapa prosedur endoskopik tambahan sesudah
sfingterotomi seperti pemecahan batu dengan litotripsi mekanik dan litotripsi laser.
c. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) adalah Pemecahan batu dengan
gelombang suara. ESWL Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis
biaya manfaat pada saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada
pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
Penanggulangan Bedah
a. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien dengan kolelitiasis
simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris
rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
b. Kolesistektomi laparoskopik
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini
sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopik. Delapan puluh sampai
sembilan puluh persen batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini. Kandung
empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding
perut. Indikasi pembedahan batu kandung empedu adalah bila simptomatik, adanya
keluhan bilier yang mengganggu atau semakin sering atau berat. Indikasi lain adalah
yang menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu dengan batu besar,
berdiameter lebih dari 2 cm, sebab lebih sering menimbulkan kolesistitis akut
dibanding dengan batu yang lebih kecil. Kolesistektomi laparoskopik telah menjadi
prosedur baku untuk pengangkatan batu kandung empedu simtomatik. Kelebihan yang
diperoleh pasien dengan teknik ini meliputi luka operasi kecil (2-10 mm) sehingga
nyeri pasca bedah minimal. hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar
dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
Diagnosis Kolelitiasis
a. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang
mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan
berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium,
kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang
mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam
kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul
tiba-tiba. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang
setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan
bertambah pada waktu menarik nafas dalam.
b. USG atau Pemeriksaan Ultrasonografi
USG ini merupakan pemeriksaan standard, yang sangat baik untuk menegakkan
diagnosa Batu Kantong Empedu. Kebenaran dari USG ini dapat mencapai 95% di
tangan Ahli Radiologi.
c. CT Scanning.
Pemeriksaan dengan CT Scanning dilakukan bila batu berada di dalam saluran
empedu.
d. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
B. Kolesistitis
1. Kolesistitis Akut
Radang akut empedu (kolesistitis akut) adalah reaksi inflamasi akut dinding
kandung empedu yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan, dan
demam.
Etiologi
Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis akut adalah stasis
cairan empedu, infeksi kuman, dan inskemia dinding kandung empedu. Penyebab
utama kolesistitis akut adalah batu kandung empedu yang terletak di duktus sistikus
yang menyebabkan stasis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus timbul tanpa
adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus) (Pridady dalam Sudoyo, 2009: 718).
Gejala Klinis
Keluhan yang agak khas untuk serangan kolesistitis akut adalah kolik perut
sebelah kanan atas, epigastrium, dan nyeri tekan, serta kenaikan suhu tubuh. Kadangkadang rasa sakit menjalar ke pundak atau skalpula kanan dan dapat berlangsung
sampai 60 menit tanpa reda. Pada pemeriksaan fisik teraba masa kandung empedu,
nyeri tekan disertai tanda-tanda peritonitis lokal (Murphys sign). Pada 20% kasus
dijumpai ikterus, umummnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila
konsentrasi bilirubin tinggi, perlu dipikirkan kemungkinan adanya batu saluran
empedu ekstra hepatik (Pridady dalam Sudoyo, 2009: 718).
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya leukositosis serta kemungkinan
peninggian serum transaminase dan fosfatase alkali. Apabila keluhan nyeri bertambah
hebat disertai suhu tinggi dan menggigil serta leukositosis berat, kemungkinan terjadi
empiema dan perforasi kandung empedu perlu dipertimbangkan (Pridady dalam
Sudoyo, 2009: 718).
Diagnosis
Sebaiknya dikerjakan pemeriksaan USG secara rutin untuk memperlihatkan
besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran ekstra hepatik.
Penatalaksanaan
2. Kolesistitis Kronik
Kolesistitis Kronis adalah peradangan menahun dari dinding kandung empedu,
yang ditandai dengan serangan berulang dari nyeri perut yang tajam dan hebat.
Etiologi
Kolesistitis kronis terjadi akibat serangan berulang dari kolesistitis akut, yang
menyebabkan terjadinya penebalan dinding kandung empedu dan penciutan kandung
empedu. Pada akhirnya kandung empedu tidak mampu menampung empedu. Penyakit
ini lebih sering terjadi pada wanita dan angka kejadiannya meningkat pada usia diatas
40 tahun.
Faktor resiko terjadinya kolesistitis kronis adalah adanya riwayat kolesistitis
akut sebelumnya.
Gejala Kinis
Pridady (dalam Sudoyo, 2009: 719) mengatakan bahwa diagnosis kolesistitis
kronis sering sulit ditegakkan oleh karena gejalanya sangat minimal dan tidak
menonjol seperti dispepsia, rasa penuh di epigastrium dan nausea khususnya setelah
makan makanan berlemak tinggi, yang kadang-kadang hilang setelah bersendawa.
Riwayat penyakit batu empedu di keluarga, ikterus dan kolik berulang, nyeri lokal di
daerah kandung empedu disertai tanda Murphy positif, dapat menyokong penegakkan
diagnosis.
Diagnosis banding seperti intoleransi lemak, ulkus peptik, kolon spastik,
pankreatitis kronik dan kelainan duktus koledokus.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejala dan hasil dari pemeriksaan berikut:
CT scan perut
Kolesistogram oral
USG perut.
Pengobatan
Pada sebagian besar pasien kolesistitis kronik dengan atau tanpa batu empedu yan
simtomatik, dianjurkan untuk kolesistektomi. Keputusan untuk kolesistektomi agak
sulit untuk pasien dengan keluhan minimal atau disertai penyakit lain yang
mempertinggi resiko operasi (Pridady dalam Sudoyo, 2009: 719-720).
C. Kolangitis
Kolangitis adalah inflamasi pada sistem bilier akibat adanya infeksi dan hambatan
aliran empedu.
Epidemiologi
Secara epidemiologis, penyakit ini menunjukkan insidensi yang berbeda-beda di
seluruh dunia. Di Amerika Serikat kolangitis relatif jarang, dan kejadiannya sering
berhubungan dengan penyebab obstruksi dan baktibilia yaitu pada prosedur ERCP (13%) yang sering terjadi akibat injeksi zat kontras secara retrograd. Sedangkan di negaranegara lainnya, oriental cholangio-hepatitis sangat endemik di Asia Tenggara, Cina, dan
Taiwan. Dalam bentuk ini sering timbul "recurrent pyogenic cholangitis" dengan batu
intra & extrahepatal pada 70-80% pasien dan kolelitiasis pada 50-70% pasien.
Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin di dalam insidensi penyakit ini. Mayoritas
pasien berusia antara dekade ke-empat dan lima, serta pada usia yang lebih tua akan lebih
banyak disertai penyakit penyerta lainnya dan tingkat mortalitasnya pun lebih tinggi.
Secara ras terdapat perbedaan insidensi kolangitis. Namun hal ini ternyata lebih
disebabkan oleh pola makanan yang berbeda. Pada bangsa-bangsa di Eropa Utara,
Hispanik, Amerika, dan Pima Indian yang mempunyai kebiasaan untuk mengkonsumsi
diit tinggi lemak, maka kolangitis terjadi berhubungan dengan kolelitiasis yang
disebabkan oleh batu kolesterol. Sebaliknya pada bangsa-bangsa yang banyak
mengkonsumsi makanan tinggi serat seperti di Asia, maka penyebab kolangitis tersering
adalah batu primer pada ductus choledochus yang disebabkan oleh infeksi, stasis
empedu, striktur dan parasit ("recurrent pyogenic cholangitis").
Etiologi
Kolangitis dapat disebabkan oleh berbagai keadaan patologis yang semuanya akan
berakhir dengan stasis aliran cairan empedu dan akhirnya terjadi infeksi oleh bakteri
akibat adanya multiplikasi yang meningkat pada sistem bilier. Berbagai jenis etiologi
kolangitis yaitu sebagai berikut:
Choledocholithiasis
Striktur sistem bilier
Neoplasma pada sistem bilier
Komplikasi iatrogenik akibat manipulasi "CBD" (Common Bile Duct)
Parasit : cacing Ascaris, Clonorchis sinensis
Pankreatitis kronis
Pseudokista atau tumor pankreas
Stenosis ampulla Kista Choledochus kongenital atau penyakit Caroli
Sindroma Mirizzi atau Varian Sindroma Mirizzi
Diverticulum Duodenum
Patofisiologi
Dalam keadaan normal sistem bilier steril dan aliran cairan empedu tidak
mengalami hambatan sehingga tidak terdapat aliran balik ke sistem bilier. Kolangitis
terjadi akibat adanya stasis atau obstruksi di sistem bilier yang disertai oleh bakteria yang
mengalami multiplikasi. Obstruksi terutama disebabkan oleh batu "CBD" , striktur,
stenosis, atau tumor , serta manipulasi endoskopik "CBD". Dengan demikian pasase
empedu menjadi lambat sehingga bakteri dapat berkembang biak setelah mengalami
migrasi ke sistem bilier melalui vena porta, sistem limfatik porta ataupun langsung dari
duodenum. Oleh karena itu akan terjadi infeksi secara asenderen menuju duktus
hepatikus, yang pada akhirnya akan menyebabkan tekanan intrabilier yang tinggi dan
melampaui batas 250 mmH20. Oleh karena itu akan terdapat aliran balik empedu yang
berakibat terjadinya infeksi pada kanalikuli biliaris, vena hepatika dan limfatik
perihepatik, sehingga pada gilirannya akan terjadi bakteriemia yang bisa berlanjut
menjadi sepsis (25-40%). Apa bila pada keadaan tersebut disertai dengan pembentukan
pus maka terjadilah Kolangitis supurativa.
Terdapat berbagai bentuk patologis dan klinis kolangitis yaitu :
1) Kolangitis dengan kolesistitis
Pada keadaan ini tidak ditemukan obstruksi pada sistem bilier, maupun
pelebaran dari duktus intra maupun ekstra hepatal. Keadaan ini sering disebabkan oleh
batu "CBD" yang kecil, kompresi oleh vesica felea/ kelenjar getah bening/ inflamasi
pankreas, edema/ spasme sphincter Oddi, edema mukosa "CBD", atau hepatitis.
2) Acute Non Suppurative Cholangitis
Terdapat baktibilia tanpa pus pada sistem bilier yang biasanya disebabkan oleh
obstruksi parsial.
3) cute suppurative cholangitis
"CBD" berisi pus dan terdapat bakteria, namun tidak terdapat obstruksi total
sehingga pasien tidak dalam keadaan sepsis.
4) Obstructive Acute Suppurative Cholangitis
Di sini terjadi obstruksi total sistem bilier sehingga melampaui tekanan normal
pada sistem bilier yaitu melebihi 250 mmH20 sehingga terjadi bakterimia akibat
reflluk cairan empedu yang disertai dengan influks bakteri ke dalam sistem limfatik
dan vena hepatika.
Apabila bakteriemia berlanjut maka akan timbul berbagai komplikasi yaitu sepsis
berlarut, syok septik, gagal organ ganda yang biasanya didahului oleh gagal ginjal yang
disebabkan oleh sindroma hepatorenal, abses hati piogenik (sering multipel) dan bahkan
peritonitis. Jika sudah terdapat komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk.
Beberapa kondisi yang memperburuk prognosis adalah sebagai berikut :
Faktor yang meningkatkan mortalitas :
Umur
Febris
Lekositosis
Syok Septik
lebih berat yaitu disertai oleh sepsis atau syok maka akan ditemukan "Reynolds Pentad"
yang ditandai oleh Charcots triad ditambah dengan "Mental confusion/ Lethargy" dan
syok. Keadaan ini terjadi pada 10 - 23 % pasien. Perubahan tersebut disebabkan oleh
obstruksi total saluran empedu sehingga tekanan yang meningkat menyebabkan refluks
aliran empedu sehingga bakteri dapat mencapai sistem pebuluh darah sistemik dan terjadi
sepsis. Oleh karena itu pada keadaan ini perlu segera dilakukan drainase untuk
mengadakan dekompresi dan pengendalian terhadap sumber infeksi.
Pemeriksaan alat bantu terutama berguna untuk mencari kemungkinan etiologi
Kolangitis yang sangat menentukan jenis terapi yang harus dilakukan sebagai terapi
pembedahan definitif maupun untuk tujuan dekompresi sementara. Pemeriksaan yang
dilakukan adalah :
USG hepatobilier dan pankreas :
Dapat ditemukan "CBD" yang berdilatasi.
Kemungkinan disertai dengan batu "CBD".
CT Scan lebih sensitif dan spesifik dari pada USG dan memberikan gambaran :
Batu "CBD".
Tumor sistem bilier atau pankreas
Batu pada sistem bilier intrahepatal
Adanya atrofi pada hepar
Abscess pada hepar (biasanya multipel bila penyebab batu)
MRI Cholangiografi : Pemeriksaan ini sangat sensitif dan spesifik, serta akurat, yaitu
masing-masing 91.6 %,: 100 %, dan 96.8 %. Kelebihan alat ini adalah non invasif,
dapat dilakukan hampir semua usia dan dapat membedakan jenis batu cholesterol
dari jenis lainnya secara jelas.
Cholangiography : Menimbulkan morbiditas 1-7 % dan mortalitas 0,25%, oleh
karena itu sebaiknya dihindari, kecuali disertai oleh tindakan dekompresi yang
dilakukan bersama-sama. Dapat dilakukan secara ERCP (Endoscopic Retrograde
Choalngio Pancreatography) ataupun PTC (Percutanues Transhepatic
Cholangiography).
Cholescintigraphy dengan HIDA :
Menunjukkan "Liver uptake"
Tidak terdapat visualisasi kandung empedu, CBD, maupun usus halus oleh karena
adanya obstruksi total.
Laboratorium, menunjukkan perubahan-perubahan sebagai berikut :
Leukositosis > 10.000 / mm3 : 33-80%
Serum bilirubin 2-10 mg / dl : 68-76 %
Alkali phosphatase 2-3x normal pada 90%
C-reactive protein : Biasanya ditemukan peningkatan.
KOLEDOKOLITIASIS
Koledokolitiasis adalah adanya batu dalam saluran empedu dan merupakan suatu
kondisi umum dan bisa menimbulkan berbagai komplikasi. Pada umumnya komposisi
utama batu adalah kolesterol.
Sebagian besar batu yang terletak di duktus koledokus berasal dari kandung empedu,
tetapi batu tersebut dapat bermigrasi melalui duktus sistikus ke dalam saluran empedu
menjadi batu saluran empedu dan disebut sebagai batu saluran empedu sekunder.
Koledokolitiasis biasanya disertai dengan kalkulus kolesistitis. Batu yang ada dapat tunggal
atau ganda, berbentuk bulat atau oval. Batu dapat terletak di ampula vateri.
Etiologi
Batu Empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang dibentuk
pada bagian saluran empedu lain. Etiologi batu empedu masih belum diketahui. Satu teori
menyatakan bahwa kolesterol dapat menyebabkan supersaturasi empedu di kandung
empedu. Setelah beberapa lama, empedu yang telah mengalami supersaturasi menjadi
mengkristal dan mulai membentuk batu. Akan tetapi, tampaknya faktor predisposisi
terpenting adalah gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya perubahan
komposisi empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu.
Insiden dan Epidemiologi
Kasus batu empedu sering ditemukan di Amerika Serikat yang mengenai 20%
penduduk dewasa. Setiap tahunnya, beberapa ratus ribu orang yang menderita penyakit ini
menjalani pembedahan saluran empedu. Batu empedu relatif jarang terjadi pada usia dua
dekade pertama. Namun, ada sumber menyatakan bahwa jumlah wanita usia 20 - 50 tahun
yang menderita batu empedu kira-kira 3 kali lebih banyak dari pada laki-laki. Setelah usia
50 tahun, rasio penderita batu empedu hampir sama antara pria dan wanita. Insidensi batu
empedu meningkat sering bertambahnya usia. Faktor ras dan familial tampaknya berkaitan
dengan semakin tinggi pada orang Amerika asli.
Patogenesis
Ada tiga faktor penting yang berperan dalam patogenesis batu kolesterol : 1)
hipersaturasi kolesterol dalam kandung empedu, 2) percepatan terjadinya kristalisasi
kolesterol dan 3) gangguan motilitas kandung empedu dan usus.
Patogenesis batu pigmen melibatkan infeksi saluran empedu, stasis empedu,
malnutrisi, dan faktor diet. Kelebihan aktifitas enzim -glucuronidase bakteri dan manusia
(endogen) memegang peran kunci dalam patogenesis batu pigmen pada pasien di negara
timur. Hidrolisis bilirubin oleh enzim tersebut akan membentuk bilirubin tak terkonjugasi
yang akan mengendap sebagai calcium bilirubinate. Enzim -glucuronidase bakteri berasal
dari kuman E. coli dan kuman lainnya di saluran empedu. Enzim ini dapat dihambat oleh
glucarolactone yang konsentrasinya meningkat pada pasien dengan diet rendah protein dan
rendah lemak.
Tatalaksana
1. Penatalaksanaanbedah
Penangananbedahpadapenyakitkandungempedudanbatuempedudilaksanakan
untukmengurangigejalayangsudahberlangsunglama,untukmenghilangkanpenyebab
kolikbilierdanuntukmengatasikolesistitisakut.Pembedahandapatefektifjikagejala
yangdirasakanpasiensudahmeredaataubisadikerjakansebagaisuatuprosedurdarurat
bilamanakondisipasienmengharuskannya.
Tindakanoperatifmeliputi:
Sfingerotomyendosokopik
PTBD(perkutaneustranshepatikbiliriandrainage)
PemasanganTTubesaluranempedukoledoskop
LaparatomikolesistektomipemasanganTTube
Penatalaksanaanpraoperatif:
PemeriksaansinarXpadakandungempedu
Fotothoraks
Elektrokardiogram
Pemeriksaanfaalhati
VitaminK(diberikanbilakadarprotrombinpasienrendah)
Terapikomponendarah
Penuhi kebutuhan nutrisi, pemberian larutan glukosa scara intravena bersama
suplemenhidrolisatproteinmungkindiperlikanuntukmembantukesembuhanluka
danmencegahkerusakanhati
Pengobatan paliatif untuk pasien ini adalah dengan menghindari makanan yang
kandungan lemak tinggi. Manajemen terapi :
Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein.
Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut
Observasi keadaan umum dan pemeriksaan tanda vital
Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok.
Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)
Nyonya W, 42
tahun, obesitas
Faktor
infeksi
bakteri
Kolelitiasis
Faktor
inflamasi
lokal
Batu bermigrasi
ke duktus
koledokus
Koledokolitia
tis
Kolesistitis
akut
Murphy
Sign (+)
Nyeri
Kolik
Bilier
Mual
Mekanisme
kompensasi tubuh
Demam
ringan
Nyeri
Kolik
Bilier
Regurgitasi
aliran
bilirubin
direk
kesistemik
Komplikasi
kolangitis
Triad
Charcot
Bilirubinur
ia
Ikterus
Demam tinggi
dan menggigil
KESIMPULAN
Ny.W mengalami icterus obstruktif suspek koledokolitiasis dengan komplikasi
kolangitis dan kolesistitis
Gatalgatal
Feses
akholik
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A. Newman. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 28. Jakarta: EGC, 2011
Paulsen, F., & J. Waschke. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Jilid 2 Organ-Organ Dalam
Edisi 23. Jakarta: EGC, 2012
Snell, Richard S. Anatomi Klinis berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC, 2011
Price, Sylvia Anderson & Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Volume 1 Edisi 6. Jakarta: EGC, 2005
Robbins, Sta: nley L. & Vinay Kumar. Buku Ajar Patologi Volume 2 Edisi 7. Jakarta: EGC,
2007
Isselbacher, Kurt. J., dkk. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 4 Edisi
13. Jakarta: EGC, 2000
Pridady, F.X., dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi VI. Jakarta: Internal
Publishing, 2014
Soeparman, Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Balai Penerbit FKUI 1990, Jakarta, P: 586-588.
Sudoyo, A.W. dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Ed. IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Interpretasi Data Klinik.