Oleh :
Kelompok II/2012 A
Abdul Wahid
(125130100111008)
Fransiska Ike
(125130100111009)
Nisa Tazkiyah
(125130100111010)
(125130100111011)
(125130100111012)
(125130100111013)
(125130100111014)
(125130100111016)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
Makalah Studi Kasus yang berjudul Analisis Jurnal Imunoblotting: Uji
Imunogenitas Protein Rekombinan VP 2 Virus Infeksius Bursa pada Ayam dalam
rangka memenuhi tugas terstruktur mata kuliah Immunoblotting, dengan dosen
pengampu Drh. Wawid Purwatiningsih, M.Vet,
Page ii of 22
DAFTAR ISI
HAL
HALAMAN JUDUL....................................................................................
DAFTAR ISI.................................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang................................................................................
1.2.
Tujuan ............................................................................................
1.3.
Manfaat...........................................................................................
15
16
Kesimpulan ....................................................................................
20
4.2.
Saran ..............................................................................................
20
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
21
Page iii of 22
BAB I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Saat ini banyak sekali vaksin yang dikembangkan untuk mencegah berbagai
macam penyakit yang spesifik. Kini vaksin banyak macamnya, antara lain adalah
vaksin live attenued yaitu
Tujuan
1.2.1 Menjelaskan bagaimana penerapan teknik immunoblotting dalam
penelitian yang sudah ada.
1.2.2 Menjelaskan bagaimana penggunaan teknik immunoblotting khususnya
western blot dalam menguji keberhasilan vaksin.
1.2.3 Menjelaskan prinsip immunoblotting yang digunakan dalam menguji
vaksin.
1.2.4 Menjelaskan apakah immunoblotting adalah metode yang tepat untuk
mendeteksi keberhasilan vaksin.
Page 4 of 22
1.3
Manfaat Penulisan
1.3.1 Untuk mengetahui bagaimana penerapan teknik immunoblotting dalam
penelitian yang sudah ada.
1.3.2 Untuk mengetahui bagaimana penggunaan teknik immunoblotting
khususnya western blot dalam menguji keberhasilan vaksin.
1.3.3 Untuk mengetahui prinsip immunoblotting yang digunakan dalam
menguji vaksin.
1.3.4 Untuk mengetahui apakah immunoblotting adalah metode yang tepat
untuk mendeteksi keberhasilan vaksin.
Page 5 of 22
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA
Vaksin telah lama dikenal sebagai suatu substansi yang digunakan untuk
memperoleh respon imun terhadap mikroorganisme patogen. Vaksin pertama kali
ditemukan pada tahun 1796 oleh Edward Jenner yaitu vaksin virus cacar. Sejak saat
itu teknologi pembuatan vaksin telah berkembang dengan pesat dan berbagai jenis
vaksin untuk mencegah penyakit infeksi telah banyak digunakan. Vaksin generasi
pertama seringkali dapat bermutasi kembali menjadi virulen sehingga menimbulkan
efek yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu biasanya jenis vaksin yang dilemahkan ini
tidak dianjurkan diberikan kepada penderita yang mengalami imunokompromais.
Sedangkan vaksin generasi kedua adalah vaksin mengandung mikroorganisme yang
dimatikan menggunakan zat kimia tertentu, biasanya dengan mengguna kan formalin
atau fenol, dalam penggunaannya sering mengalami kegagalan atau tidak
menimbulkan respon imun tubuh. Untuk mengatasi berbagai kelemahan yang terjadi
pada penggunaan vaksin generasi pertama dan kedua mulailah dikembangkan vaksin
generasi yang ketiga yaitu vaksin rekombinan yang juga dikenal dengan vaksin sub
unit. Vaksin subunit dibuat melalui teknik rekayasa genetika untuk memperoleh
fragmen
antigenik
dari
mikroorganisme,sehingga
disebut
dengan
vaksin
Page 7 of 22
BAB III.
PEMBAHASAN
3.1
ayam dengan ciri khas menyerang bagian bursa fabricius pusat kekebalan pada ayam
umur muda. Hasil survei menunjukkan 80% kasus IBD terjadi pada ayam umur 3-5
minggu, 17 % terjadi pada ayam umur antara 6-10 minggu dan bisa terjadi sepanjang
bursa fabricius masih berfungsi, yaitu antara umur 1-16 minggu. Penyakit ini sudah
meluas di seluruh negara-negara industri ayam. Sebagai akibat kerusakan bursa
fabricius
maka
ayam
penderita
akan
mengalami
penurunan
kemampuan
Page 8 of 22
simetri ikosahedral tanpa amplop, merupakan virus dsRNA dan pada genomnya
terbagi menjadi 2 segmen. Genom A memiliki panjang 3129-3260 bp dan genom B
dengan panjang 2795-2827 bp. Virion mengandung 5 macam protein, yang dikenal
dengan VP2, VP3, VP4, dan VP5 (Segmen A) dan VP1 (Segmen B). Protein VP2
merupakan antigen tipe spesifik dan mengandung epitop yang dapat memicu
pembentukan antibodi netralisasi. Protein VP2 dengan berat molekul 41 kDa
merupakan protein yang paling berperan dalam menginduksi pembentukan antibodi
netralisasi. Protein ini menentukan tingkat virulensi virus dan pada genom penyandi
Page 9 of 22
protein VP2 terdapat daerah hipervariabel yang peka terhadap perubahan sehingga
mudah timbul varian baru (Rahardjo, 2005).
Tahap tahap yang dilakukan untuk isolasi protein rekombinan dari virus IBD
adalah:
a. Isolasi Virus
Virus diisolasi pada telur ayam berembrio (TAB) dan sel fibroblas embrio
ayam (FEA). Bursa Fabrisius ayam penderita IBD digerus dan dibuat suspensi 10%
dengan penambahan antibiotik (Rahardjo, 2005).
Pada TAB perubahan spesifik akibat infeksi virus IBD ditandai dengan adanya
kekerdilan dan perdarahan pada embrio, sedangkan pada selaput korioalantois
terdapat bintil -bintil pock. Virus IBD menyebabkan timbulnya CPE, yaitu berupa
kerusakan sel yang makin meluas dan terjadi secara bersamaan. Virus IBD tipe ganas
(wild type) mudah replikasi di dalam sel B pada bursa Fabricius. Virus IBD tipe
ganas juga dapat berataptasi pada sel-sel selain sel limfoid, seperti sel fibroblast
embrio ayam, namun berakibat terjadinya atenuasi (Siregar, 2009).
b. Identifikasi Virus IBD dengan Indirect FAT
Sel fibroblas embrio ayam yang telah diinokulasi isolat Virus IBD atau gerusan
bursa normal atau terinfeksi dipreparasi pada gelas obyek dan diinkubasi pada suhu
37oC selama 2 jam dalam inkubator. Sel kemudian dicuci dengan PBS sebanyak 3
kali dan difiksasi dengan aseton selama 10 menit pada suhu kamar. Setelah difiksasi,
slide dikeringkan selama 10 menit pada suhu 37oC dalam inkubator, kemudian
ditambahkan antibodi kelinci anti -virus IBD sebanyak 50 l. Slide diinkubasi
kembali selama 30 menit dalam inkubator 37 oC dalam suasana lembab. Pasca
inkubasi dilakukan pencucicn dengan PBS dan ditambahkan konjugat Ig G goat
anti-rabit yang berlabel FITC sebanyak 50 l dan inkubasi 30 menit dalam inkubator
37oC. Berikutnya slide dicuci dengan bufer FA rinse PH 9,0, direndam selama 10
menit dan dikeringkan. Sebelum slide kering, dilakukan mounting dengan
penambahan FA mounting fluid (gliserol/FA rinse bufer, PH 9,0 {50/50}) dan dibaca
dengan mikroskop fluoresen. Pada uji indirect-FAT, sel bursa Fabricius maupun sel
fibroblas yang terinfeksi virus IBD menunjukkan warna fluoresensi, sedangkan sel
normal tidak (Rahardjo, 2005).
Page 10 of 22
dimasukkan
ke
plate
dibuka
dipisahkan
dicuci
dan
selanjutnya
dengan
buffer
(Rahardjo, 2005).
Hasil menunjukkan
bahwa dari hasil preparasi
protein didapatkan pita -pita
spesifik
yang
menggambarkan
protein
menghasilkan protein pVP2 (45 kDa), VP4 (29 kDa) dan VP3 (32 kDa). Selama
pematangan pVP2 diproses menjadi VP2 (43-48 kDa) (Rahardjo, 2005).
d. Identifikasi Protein dengan Western Blot
Protein
dari
gel
kemudian
Page 12 of 22
antara
kDa, di samping itu terdapat pita protein dengan berat molekul 28 kDa telah
dideteksi dengan Western blot yang merupakan protein VP2 (Ernawati, 2006).
3.3
ayam ras umur 21 hari yang dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok I disuntik
dengan PBS sebagai kontrol. Kelompok II disuntik protein rekombinan dengan dosis
40 g per ekor. Kelompok III disuntik dengan vaksin IBD komersial sebagai
pembanding dengan dosis 103,5 TCID50 per ekor. Penyuntikan dilakukan sebanyak
dua kali secara subkutan den gan jarak penyuntikan 2 minggu. Satu minggu pasca
penyuntikkan yang terakhir dilakukan uji tantang pada semua kelompok ayam
dengan virus lapangan sebanyak 104 TCID50 per ekor secara suntikan. Parameter
yang diamati adalah titer antibodi dan mortalitas (Wang, et al., 2002).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa vaksinasi dengan vaksin
aktif attenuated memerlukan booster yang berulang-kali untuk mencapai titer
antibodi yang tinggi, sedan gkan vaksinasi dengan protein rekombinan yang
dicampur dengan adjuvan hanya memerlukan booster satu kali dengan interval satu
minggu (Ernawati, 2006). Hasil ini sesuai dengan hasil beberapa peneliti terdahulu
antara lain yang dilaku - kan oleh (Wang, et al., 2002), dalam penelitiannya
mengaplikasikan vaksin DNA VP2 ditambah dengan adjuvan sintetik oligo
deoksinukleotide atau vaksin DNA VP2 yang diikuti dengan pemberian vaksin aktif
komersial, hasilnya dapat memproteksi 70 80% ayam terhadap gejala klinis IBD
dan kematian.
3.4
dianalisis dengan uji Anava pola faktorial 4 x 3 yang dilanjutkan dengan uji jarak
berganda Duncan (5%) (Steel and To rrie, 1989) dilakukan untuk membandingkan
pengaruh waktu pengambilan sampel dan jenis antigen yang digunakan (kontrol,
protein dan vaksin) terhadap nilai OD titer antibodi pada uji imunogenitas,
sedangkan untuk membandingkan persentase ayam hidup atau mati pada uji tantang
dianalisis dengan uji Chi square (Ernawati, 2006).
Page 15 of 22
Page 16 of 22
Hasil analisis statistik dengan uji Duncan (5%) terhadap pengaruh pemberian
antigen menunjukkan, bahwa titer antibodi (nilai OD) tertinggi didapatkan pada
pemberian protein yang menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) dengan kontrol
maupun pemberian vaksin. Titer antibodi (nilai OD) terendah didapatkan pada
kontrol yang juga menunjukkan perbedaan bermakna (p<0,05) dengan pemberian
protein maupun vaksin (Tabel 2).
Hasil analisis statistik dengan uji Duncan (5%) terhadap pengaruh kombinasi
antara waktu penga matan dan pemberian antigen menunjukkan, bahwa titer antibodi
(nilai OD) tertinggi didapatkan pada perlakuan kombinasi minggu II~Protein. Hasil
yang sama juga didapatkan pada perlakuan kombinasi minggu IV~Protein dan
minggu III~Protein. Ketiganya menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) dengan
perlakuan kombinasi lainnya. Titer antibodi (nilai OD) terendah didapatkan pada
Page 17 of 22
Penurunan titer antibodi (nilai OD) pada Kontrol mulai minggu I hingga
mencapai perbedaan bermakna (p<0,05) pada minggu IV. P erlakuan pemberian
Vaksin titer tertinggi dicapai pada minggu III dan sudah menurun kembali pada
minggu keempat, hal ini berbeda dengan pola titer antibodi (nilai OD) pada
pemberian Protein pada Minggu I sudah meningkat, mencapai puncak pada Minggu
II dan bertahan pada Minggu III hingga Minggu IV (Gambar 2).
Page 18 of 22
Perlakuan dengan antigen yang berbeda juga menimbulkan hasil titer antibodi
yang berbeda sangat nyata (p < 0,01) titer antibodi tertinggi terlihat pada perlakuan
dengan pemberian protein, diikuti pada pemberian vaksin dan terendah pada
kelompok kontrol. Ketiganya menunjukkan perbedaan yang bermakna. Protein
merupakan imunogen yang murni dan mempunyai spesifitas yang tinggi sehingga
dapat menghasilkan titer antibodi yang tinggi pula. Sedangkan vaksin selain
mengandung imunogen juga mengandung bahan-bahan lain misalnya pepton dan
skim milk yang akan mengurangi sifat imunogenitas (Ernawati, 2006).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa vaksinasi dengan vaksin
aktif attenuated memerlukan booster yang berulang-kali untuk mencapai titer
antibodi yang tinggi, sedan gkan vaksinasi dengan protein rekombinan yang
dicampur dengan adjuvan hanya memerlukan booster satu kali dengan interval satu
minggu. Hasil ini sesuai dengan hasil beberapa peneliti terdahulu antara lain yang
dilakukan oleh Wang, et al., (2002), dalam penelitiannya mengaplikasikan vaksin
DNA VP 2 ditambah dengan adjuvan sintetik oligo deoksinukleotide atau vaksin
DNA VP2 yang diikuti dengan pemberian vaksin aktif komersial, hasilnya dapat
memproteksi 70 80% ayam terhadap gejala klinis IBD dan kematian. Sedangkan
pemberian vaksin DNA VP 2 saja tanpa adjuvan dan pemberian vaksin aktif saja
menyebabkan gejala klinis IBD dan kematian 25 - 45% (Ernawati, 2006).
BAB IV.
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Vaksin rekombinan merupakan vaksin subunit yang dibuat melalui teknik
analisis
protein
dengan
Polyacrylamid
Gel
Electrophoresis
(SDS-PAGE),
identifikasi protein dengan Western Blot, identifikasi protein VP2 dengan Dot Blot,
kloning protein rekombinan, dan isolasi protein rekombinan. Dari semua tahapan
tersebut dilakukan uji imunogenitas dan uji tantang. Berdasarkan hasil penelitian
diatas dapat disimpulkan bahwa protein rekombinan VP2 bersifat imunogenik dalam
menimbulkan antibodi. Respon imun yang ditimbulkan protein VP 2 virus IBD
bersifat protektif pada uji tantang. Ditemukan lesi-lesi bursa pada kelompok vaksin.
3.2
Saran
Semoga makalah ini dapat dimanfaatkan bagi para pembaca untuk menambah
wawasan serta membantu menjadi salah satu referensi dalam penulisan ataupun
penelitian selanjutnya. Penulis menerima saran dan kritik demi perbaikan
selanjutnta.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson W., et al. 2000. Epidemiology and Prevention of Vaccine Preventable
Disease. University Veterinary Medicine, USA.
Attwood, T.K., P.N. Campbell, J.H. Parish, A.D. Smith, J.L. Stirling dan F. Vella
(Ed), 2006. Oxford Dictionary of Biochemistry and Molecular Biology,
Revised Edition. Oxford University Press.
Becht, H., H. Muller And H.K. Muller 1998. Comparative Studies On The Structural
And Antigenic Properties Of Two Serotypes Of Infectious Bursal Disease
Virus. J. Gen. Virol.Pp. 631 640.
Ernawati, R. 2006. Uji Imunogenitas Protein Rekombinan VP2 Virus Infeksius Bursa
pada Ayam. Media Kedokteran Hewan Vol. 22, No. 2.
Page 20 of 22
Page 22 of 22