Anda di halaman 1dari 41

BAB I

LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS PASIEN

Nama

: Tn. JL

Nomor CM

: 01 01 48 75

Usia

: 40 tahun

Alamat

: Jl. Warga Gg. T. No 6C, Jakarta Selatan

Pekerjaan

: Tukang Ojek

Pendidikan

: SMA

Agama

: Islam

Status Pernikahan

: Menikah

Masuk Rumah Sakit : Selasa, 5 Januari 2016

II.

ANAMNESIS

Dilakukan secara autoanamnesis dengan Pasien pada hari Kamis 7 Januari 2016 pada pukul
11.00 WIB.
1. Keluhan utama
2. Keluhan tambahan
3. RPS

: Bengkak pada tangan kiri sejak 2 minggu SMRS.


: Lemas (+)
: OS mengeluhkan bengkak pada tangan kiri sejak 2 minggu

SMRS. Pada awalnya lengan dirasakan memerah, lalu timbul benjolan seperti bisul yang
kemudian pecah membentuk luka. Darah (+), nanah (+). Nyeri (+). OS mengeluhkan
lemas selama 1 minggu terakhir, OS mengeluhkan cepat haus (+) dan sering BAK (+)
terutama pada malam hari 3x tetapi pasien tidak cepat lapar (-). Luka dirasakan tidak
kunjung membaik dalam 2 minggu ini. Berat badan tidak dirasakan menurun (-). Mual
(+) muntah (+) demam (-). OS menyangkal riwayat trauma pada tangan kiri.
1

4. RPD

: OS menyangkal pernah mengalami keluhan dan penyakit yang

sama sebelumnya. Riwayat DM dan Hipertensi tidak diketahui. Riw penyakit Jantung (-),
penyakit ginjal (-), penyakit hati (-).
5. RPK
: riwayat DM (-) Hipertensi (-) peny. Jantung (-) peny. Ginjal (-)
peny. Hati (-)
6. Riwayat pengobatan : OS pernah berobat ke klinik 24 jam sebelum masuk Rumah Sakit,
diberi antibiotic dan pereda nyeri, nyeri berkurang tetapi luka tidak kunjung sembuh.
7. Riwayat kebiasaan : OS menyukai makanan manis, merokok (+) 5 batang/hari, alcohol
(+) 1x/minggu.
8. Anamnesis menurut sistem
a. Kepala
: pusing (+), nyeri (-), trauma (-), rambut rontok (-)
b. Mata
: nyeri (-), secret (-), gangguan visus (-)
c. Hidung
: trauma (-), nyeri (-), secret (-) epistaksis (-), sumbatan (-)
d. Telinga
: nyeri (-), secret (-), perdarahan (-), tinnitus (-), gangguan
e.
f.
g.
h.

pendengaran (-)
Mulut
Tenggorokan
Leher
Thoraks

: gusi berdarah (-) lidah kotor (-), sariawan (+), gangguan kecap (-)
: dysphagia (-) serak (-)
: benjolan (-) nyeri (-)
: Jantung: berdebar (-), nyeri dada (-), orthopnoe (-). Paru: sesak

(-), hemaptoe (-)


i. Abdomen
: kembung (+), mual (+), muntah (+), muntah darah (-), nyeri perut
(-), Nyeri kolik (-), perut membesar (-), mencret (-), tinja berdarah (-), tinja hitam (-)
j. Sal. Kemih
: nyeri BAK (-), poliutia (-), polakisuria (-), hematuria (-)
k. Ekstremitas
: bengkak (+) tangan kiri, nyeri sendi (-), deformitas (-), sianosis
III.

(-)
PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum
o Kesadaran : Compos Mentis
o Kesan sakit : sakit sedang
o Status gizi : BB 50 kg TB 165 cm BMI: 18,5 (normal)
o Cara bicara : normal, koheren
o Cara berbaring

: normal

o Cara duduk

: normal

o Penampilan

: rapi

o Keadaan khusus: sesak (-) sianosis (-) oedem (-)


2

Tanda Vital
o TD

: 130/70 mmHg

o Nadi

: 82x/menit

o RR

: 20x/menit

o Suhu

: 36,5C

Status Generalis
o Kepala

: Normocephali

o Mata

Conjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-, pupil isokor, Reflex cahaya langsung
+/+
o Telinga

: Normotia, sekret (-), nyeri (-)

o Hidung

: tidak ada devormitas, deviasi septum (-), discharge (-)

o Mulut

: OH baik, Tonsil T1/T1, faring hiperemis (-)

o Thoraks

Inspeksi : bentuk simetris, pergerakan napas simetris,


pernapasan thorakoabdominal, sela iga normal, sternum datar,
retraksi sela iga (-)

Palpasi

pernapasan

simetris,

vocal

fremitus

simetris, tidak teraba thrill

Perkusi

: hemithoraks kanan dan kiri sonor, batas paru dan

hepar setinggi ICS 5 midclavicula kanan suara redup, batas


paru dan jantung kanan setinggi ICS 3-5 garis sternalis kanan
suara redup, batas paru dan atas jantung setinggi ICS 3 garis
parasternal kiri suara redup, batas paru dan jantung kiri
setinggi ICS 5, 1 jari medial garis midclavicula kiri suara
redup, batas paru dan lambung setinggi ICS 8 garis axillaris
anterior suara timpani.

Auskultasi

: vesikuler +/+, Rhonki -/-, wheezing -/-, BJ

I&II regular, gallop (-), murmur (-)


o Abdomen
3

Inspeksi : rata, ikterik (-), efloresensi bermakna (-), spider


navy (-), pernapasan abdominothorakal

Auskultasi

: BU 3x/menit, venous hump (-), Arterial

Bruit (-)

Perkusi

Palpasi

: Timpani 4 kuadran, shifting dullness (-)


: supel, Nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepar

dan lien, tidak teraba membesar, ballottement ginjal (-),


undulasi (-)
o Ekstremitas atas

: simetris, proporsional, deformitas (-), oedem (-) selulitis

(+) pada manus sinistra (merah, oedem, NT (+)]


o Ekstremitas bawah : simetris, proporsional, deformitas (-), oedem (-)
IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium
5 Januari 2016
Jenis Pemeriksaan
Hematologi
Darah Rutin
Leukosit
Eritrosit
Hb
Ht
Trombosit
Kimia Klinik
GDS
Keton Darah
6 Januari 2016
GDS CITO
GDS 00.00

Hasil

Satuan

Nilai Rujukan

17.400
4,5
15,6
43
325.000

/L
Juta/L
g/dl
%
Ribu/L

3800-10600
4.4-5.9
13,2-17,3
40-52
150000-450000

293
0,7

mg/dl

70-110
<0,6

302
227

mg/dl
mg/dl

<110
<110

B. EKG

7 Januari 2016
Jenis Pemeriksaan
Hasil
Hematologi
Darah Rutin
Leukosit
15.100
Eritrosit
5,1
Hb
14,9
Ht
44
Trombosit
402.000
Kimia Klinik
Fungsi Hati
SGOT
16
SGPT
16
Albumin
3,1
Metabolisme Karbohidrat
GDS 06.00
164
GDS 12.00
254
GDS 17.00
270
Elektrolit
Na
134
K
3,1
Cl
99

Satuan

Nilai Rujukan

/L
Juta/L
g/dl
%
Ribu/L

3800-10600
4.4-5.9
13,2-17,3
40-52
150000-450000

mU/dl
mU/dl
g/dl

<33
<50
3,5-5,2

mg/dl
mg/dl
mg/dl

<110
<110
<110

mmol/L
mmol/L
mmol/L

135-155
3,6-5,5
98-109

8 Januari 2016
Metabolisme Karbohidrat
GDS 06.00
177
GDS 11.00
250
GDS 16.00
271
9 Januari 2016
Jenis Pemeriksaan
Hasil
Hematologi
Darah Rutin
Leukosit
3.700
Eritrosit
4,5
Hb
15,7
Ht
39
Trombosit
693.000
LED
89
Hitung Jenis
Basofil
1
Eosinofil
3
N. Batang
0
N. Segmen
55
Limfosit
32
Monosit
9
Faal Hemostasis
BT
2
CT
1130
PT
14/15,7
APTT
33,1/20,4
Elektrolit
Na
141
Cl
102
K
3,4
Albumin
3,2
Metabolisme Karbohidrat
GDS 06.00
180
GDS 11.00
GDS 16.00
207
10 Januari 2016
Metabolisme Karbohidrat
GDS 06.00
142
GDS 11.00
146
GDS 16.00
301

mg/dl
mg/dl
mg/dl

<110
<110
<110

Satuan

Nilai Rujukan

/L
Juta/L
g/dl
%
Ribu/L
mm/jam

3800-10600
4.4-5.9
13,2-17,3
40-52
150000-450000
0-30

%
%
%
%
%
%

0-1
2-4
3-5
50-70
25-40
2-8

menit
menit
detik
detik

1-6
5-15
12-17
20-40

mmol/L
mmol/L
mmol/L
g/dl

135-155
98-109
3,6-5,5
3,5-5,2

mg/dl
mg/dl
mg/dl

<110
<110
<110

mg/dl
mg/dl
mg/dl

<110
<110
<110

11 Januari 2016
Metabolisme Karbohidrat

GDS 06.00
GDS 11.00
GDS 16.00

129
110
141

12 Januari 2016
Jenis Pemeriksaan
Hasil
Hematologi
Darah Rutin
Leukosit
9.100
Eritrosit
4,3
Hb
13,1
Ht
38
Trombosit
487.000
LED
57
Hitung Jenis
Basofil
0
Eosinofil
3
N. Batang
4
N. Segmen
48
Limfosit
38
Monosit
7
Faal Hemostasis
BT
1 30
CT
10
PT
14,5/14,5
APTT
33,5/25,7
Fibrinogen
506
D-Dimer
0,1
Elektrolit
Na
135
Cl
103
K
3,8
Albumin
3,2
Metabolisme Karbohidrat
GDS 06.00
121
GDS 11.00
179
GDS 16.00
13 Januari 2016
Metabolisme Karbohidrat
GDS 06.00
119
14 Januari 2016
Jenis Pemeriksaan
Hematologi
Darah Rutin

Hasil

mg/dl
mg/dl
mg/dl

<110
<110
<110

Satuan

Nilai Rujukan

/L
Juta/L
g/dl
%
Ribu/L
mm/jam

3800-10600
4.4-5.9
13,2-17,3
40-52
150000-450000
0-30

%
%
%
%
%
%

0-1
2-4
3-5
50-70
25-40
2-8

menit
menit
detik
detik
mg/dl
mg/L

1-6
5-15
12-17
20-40
200-400
<0,3

mmol/L
mmol/L
mmol/L
g/dl

135-155
98-109
3,6-5,5
3,5-5,2

mg/dl
mg/dl
mg/dl

<110
<110
<110

mg/dl

<110

Satuan

Nilai Rujukan

Leukosit
Eritrosit
Hb
Ht
Trombosit
Kimia Klinik
Albumin
GDS 06.00
Elektrolit
Na
K
Cl

7.200
4,8
14,6
43
449.000

/L
Juta/L
g/dl
%
Ribu/L

3800-10600
4.4-5.9
13,2-17,3
40-52
150000-450000

3,7
118

mg/dl

3,5-5,2
70-110

139
4,0
104

mmol/L
mmol/L
mmol/L

135-155
3,6-5,5
98-109

mg/dl

<110

15 Januari 2016
Metabolisme Karbohidrat
GDS 06.00
113

V.

RINGKASAN
Tn J 47 tahun datang mengeluhkan bengkak pada tangan kiri sejak 2 minggu SMRS.

Pada awalnya lengan dirasakan memerah, lalu timbul benjolan seperti bisul yang kemudian
pecah membentuk luka. Darah (+), nanah (+). Nyeri (+). OS mengeluhkan lemas selama 1
minggu terakhir, OS mengeluhkan cepat haus (+) dan sering BAK (+) terutama pada malam hari
3x. Luka dirasakan tidak kunjung membaik dalam 2 minggu ini. Berat badan tidak dirasakan
menurun (-). Mual (+) muntah (+). OS menyangkal riwayat trauma pada tangan kiri. GDS 293,
keton darah 0,7, leukosit 17,4 ribu.
VI.

DAFTAR MASALAH
1. Selulitis DM
2. Ketosis Diabetes Mellitus
3. Diabetes Mellitus tipe II
4. Hipokalemia ringan

VII.
1.

ANALISIS MASALAH
Selulitis DM
Pasien mengeluhkan adanya luka yang tidak kunjung sembuh pada telapak tangan
kanan. Hal tersebut dikarenakan adanya komplikasi kronis dari diabetes mellitus yaitu
8

angiopati. Dimana akibat dari komplikasi tersebut vaskularisasi pada tubuh terutama luka
mengalami kerusakan, sehingga proses penyembuhan luka yang membutuhkan
vaskularisasi yang baik untuk proses inflamasi dan proliferasi menjadi terganggu. Pasien
mengeluhkan luka yang awalnya merupakan gelembung besar yang kemudian pecah dan
membentuk luka dan kulit sekelilingnya merah berbatang tegas. Hal tersebut merupakan
efloresensi dari selulitis. Sedangkan selulitis DM didiagnosis berdasarkan riwayat
Diabetes Melitus yang diderita pasien yang dibuktikan juga dengan adanya hiperglikemia
pada lebih dari 2 waktu pemeriksaan.

Rencana diagnostic yang dilakukan pada pasien ini adalah pemeriksaan


rontgen manus untuk melihat keterlibatan tulang dan sendi dalam infeksi
selain selulitis.

Rencana terapi yang dilakukan secara non medikamentosa berupa


debridement, perawatan luka dan edukasi pasien terhadap tatacara dan waktu
perawatan luka.

Terapi medikamentosa adalah pemberian antibiotic yang sensitif terhadap


kuman gram positif dan negatif mengingat luasnya spectrum infeksi yang
biasa terjadi pada luka diabetes. Dalam kasus ini diberikan metronidazole dan
cefoperazone.

2.

Ketosis Diabetes Mellitus


Pasien datang dengan keluhan luka yang tidak kunjung sembuh pada tangan yang
dicurigai sebagai luka akibat DM, selain itu pasien juga datang dengan lemas pada tubuh
beberapa hari SMRS. Dari hasil laboratorium didapatkan hiperglikemia, ketonemia
(keton darah: 0,7). Adapun rencana tatalaksana yang akan dilakukan adalah:
1. Rencana diagnostic:
a. Pemantuan glukosa darah yang dilakukan setiap 1-2 jam untuk
mengetahui kebutuhan insulin dalam 24 jam dan perencanaan fixed dose
insulin yang akan diberikan.
b. Pemeriksaan analisa gas dasarh (AGD) untuk mengetahui ada tidaknya
keadaan ketoasidosis diabetic
c. Pemantauan keton darah yang dilakukan setiap 3 hari.
d. Pemantauan elektrolit terutama kalium karena pemberian insulin dapat
memeberikan dampak hypokalemia pada pasien.
2. Rencana Terapi:
9

a. Non-medika mentosa: pengaturan diet DM, edukasi pasien mengenai cara


pengendalian glukosa darah seperti pengaturan makan dan berolahraga.
b. Medikamentosa:
i. Drip insulin dengan dosis pemberian
Jam

RI Unit/
Jam
0,5 IU
1 IU
1,5 IU
2 IU
3 IU

GDS
150
150-200
201-300
301-400
400-450
>400

Jam

RI

06.00
12.00
18.00
Extra

RI (Corection

GDS

Dose)
5 IU
10 IU
15 IU
20 IU

200
201-250
251-300
301- 350
>351

24.0

0
ii. Pemberian KCl untuk menghindari terjadinya hypokalemia karena
pemberian insulin. Pemberian dilakukan dengan dosis 20-30
mEq/L.
3. Diabetes Mellitus Tipe II
Pasien mengeluh lemas seluruh tubuh sejak beberapa hari SMRS. Lemas pada pasien
dikarenakan gangguan pembentukan energi sebagai akibat dari adanya gangguan
metabolisme glukosa pada penderita Diabetes Melitus. Pasien mengeluhkan adanya luka
yang tidak kunjung sembuh pada telapak tangan kanan. Hal tersebut dikarenakan adanya
komplikasi kronis dari diabetes mellitus yaitu angiopati. Dimana akibat dari komplikasi
tersebut vaskularisasi pada tubuh terutama luka mengalami kerusakan, sehingga proses
penyembuhan luka yang membutuhkan vaskularisasi yang baik untuk proses inflamasi
dan proliferasi menjadi terganggu.
Pasien mengeluh mual terus menerus, namun tidak muntah. Hal ini kemungkinan
dikarenakan pada diabetes, kadar glukosa yang meningkat akan mengganggu sistem saraf
yaitu nervus vagus yang mengatur sistem pencernaan, sehingga otot-otot dari lambung
menjadi berkurang motilitasnya sehingga pengosongan lambung berkurang. Pasien
mengeluh sering BAK. Hal ini dikarenakan meningkatnya kadar glukosa dalam darah
menyebabkan penarikan cairan dari sel-sel sekitar pembuluh darah, hal ini
mengakibatkan cairan meningkat di pembuluh darah serta darah yang difiltrasi di ginjal
juga meningkat sehingga terjadi poliuria.
Pasien juga merasa cepat haus, karena penarikan cairan dari sel-sel akibat
meningkatnya kadar glukosa dalam darah yang menyebabkan adanya perbedaan tekanan
10

osmotik intra dan ekstra seluler, sehingga sel-sel menjadi dehidrasi akibatnya pasien
merasa cepat haus.
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan:
5 Januari 2016
GDS UGD
6 Januari 2016
GDS CITO
GDS 00.00

293

mg/dl

<110

302
227

mg/dl
mg/dl

<110
<110

1. Rencana diagnostic:
a. Pemantuan glukosa darah perhari (KGDH) dilakukan pukul 06.00, 11.00
dan 16.00. untuk mengetahui kesuksesan terapi yang diberikan.
b. HbA1c untuk mengetahui apakah penatalaksanaan yang dilakukan sudah
dapat mengontrol kadar gula darah, disamping dengan kontrol terhadap
gaya hidup yang dijalani pasien.
2. Rencana Terapi:
a. Non-medika mentosa: pengaturan diet DM, edukasi pasien mengenai cara
pengendalian glukosa darah seperti pengaturan makan dan berolahraga.
b. Medikamentosa: pemberian insulin, pemberian insulin dilakukan dengan
penghitungan fixed dose dengan cara:
i. Penjumlahan kebutuhan insulin 24 jam. Dihitung dari kebutuhan
perjam dan dosis koreksi.
ii. Jumlah tersebut dibagi kedalam 2 bagian yaitu, 20% untuk
kebutuhan insulin basal dan 80% untuk kebutuhan insulin prandial.
iii. Kebutuhan insulin prandial dibagi kedalam 3 pemberian yaitu
pemberian sebelum sarapan, makan siang dan makan malam.
iv. Sedangkan pemberian insulin basal diberikan pada pukul 22.00
3. Hipokalemia ringan
Pasien datang dengan lemas pada seluruh tubuh. Diagnosis didasarkan pada hasil
pemeriksaan elektrolit yang menunjukan keadaan hypokalemia (3,1 mmol/dl).

Rencana diagnostic yang akan dilakukan adalah pemantauan elektrolit darah


dilakukan setiap 3 hari.

Rencana terapi non-medikamentosa dilakukan edukasi makanan yang bisa


menaikan kalium darah seperti memakan pisang dan apel.

11

Rencana terapi yang dilakukan secara medikamentosa adalah koreksi


elektrolit yang bisa dilakukan dengan pemberian KSR 3x1 tab mengingat
kekurangan kalium yang masih tergolong ringan yaitu 3,0-3,5 mmol/dl

VIII. FOLLOW UP
7 Januari 2016
S
Nyeri dan bengkak pada tangan kiri, pusing (+)
O
TD: 120/80
Mata: CA -/- SI -/N : 80x

Jantung: SI/II reg m- g-

RR: 20x

Pulmo: SNV +/+ Rh-/- Wh-/-

S :36,5

Abd: Supel, BU 4x, NTEks: oedem dan merah pada manus kiri,
verband rembes darah dan nanah

A
P

Ketosis DM, selulitis manus sinistra


Cefoperazone/sulbactam 2x1

KSR 3x1

Metronidazole 3x500

Curcuma 3x1

Apidra 3x5ui

Nutriflam 3x1

Thoradosix 2x1

Simvastatin 1x10 mg

8 Januari 2016
S
Nyeri dan bengkak pada tangan kiri, pusing (+)
O
TD: 130/80
Mata: CA -/- SI -/N : 84x

Jantung: SI/II reg m- g-

RR: 20x

Pulmo: SNV +/+ Rh-/- Wh-/-

S :36,7

Abd: Supel, BU 3x, NTEks: oedem dan merah pada manus kiri,
verband rembes darah dan nanah

A
P

Ketosis DM, selulitis manus sinistra


Metronidazole 3x500

KSR 3x1

Apidra 3x5ui

Curcuma 3x1

Thoradosix 2x1

Nutriflam 3x1

Ceftrilop

Simvastatin 1x10 mg
12

Cefoperazone/sulbactam 2x1
9 Januari 2016
S
Nyeri dan bengkak pada tangan kiri, terasa berdenyut
O
TD: 120/80
Mata: CA -/- SI -/N : 76x

Jantung: SI/II reg m- g-

RR: 20x

Pulmo: SNV +/+ Rh-/- Wh-/-

S :36,5

Abd: Supel, BU 4x, NTEks: 5manus kiri, verband rembes darah


dan nanah

A
P

Ketosis DM, selulitis manus sinistra


Cefoperazone/sulbactam 2x1

KSR 3x1

Metronidazole 3x500

Curcuma 3x1

Apidra 3x5ui

Nutriflam 3x1

Thoradosix 2x1

Simvastatin 1x10 mg

Metilcobalamin 2x1
11 Januari 2016
S
Nyeri dan bengkak pada tangan kiri,
O
TD: 110/70

Mata: CA -/- SI -/-

N : 96x

Jantung: SI/II reg m- g-

RR: 18x

Pulmo: SNV +/+ Rh-/- Wh-/-

S :36,6

Abd: Supel, BU 3x, NTEks: 5manus kiri, verband rembes darah


dan nanah

A
P

Ketosis DM, selulitis manus sinistra


Cefoperazone/sulbactam 2x1

KSR 3x1

Metronidazole 3x500

Curcuma 3x1

Apidra 3x5ui

Nutriflam 3x1

Thoradosix 2x1

Simvastatin 1x10 mg

Pro Debridement
12 Januari 2016
S
Nyeri dan bengkak pada tangan dan siku kiri, mual +, muntah + 2x isi makanan,
demam 13

TD: 130/90

Mata: CA -/- SI -/-

N : 80x

Jantung: SI/II reg m- g-

RR: 18x

Pulmo: SNV +/+ Rh-/- Wh-/-

S :36,8

Abd: Supel, BU 3x, NTEks: 5 manus kiri, verband rembes darah


dan nanah

A
P

Ketosis DM, selulitis manus sinistra


Cefoperazone/sulbactam 2x1

KSR 3x1

Metronidazole 3x500

Curcuma 3x1

Apidra 3x5ui

Nutriflam 3x1

Thoradosix 2x1

Simvastatin 1x10 mg

Pro Debridement
13 Januari 2016
S
Nyeri dan bengkak pada tangan dan siku kiri , mual +, muntah + 2x isi makanan,
O

demam TD: 120/80

Mata: CA -/- SI -/-

N : 80x

Jantung: SI/II reg m- g-

RR: 18x

Pulmo: SNV +/+ Rh-/- Wh-/-

S :36,8

Abd: Supel, BU 4x, NTEks: 5manus kiri, verband rembes darah


dan nanah

A
P

Ketosis DM, selulitis manus sinistra


Cefoperazone/sulbactam 2x1

KSR 3x1

Metronidazole 3x500

Curcuma 3x1

Apidra 3x5ui

Nutriflam 3x1

Thoradosix 2x1

Simvastatin 1x10 mg

Transamin 2x1
Mecobalamin 2x1
Pro Debridement

14 Januari 2016
S
Nyeri dan bengkak pada tangan kiri , mual -, muntah -, demam 14

TD: 120/80

Mata: CA -/- SI -/-

N : 80x

Jantung: SI/II reg m- g-

RR: 20x

Pulmo: SNV +/+ Rh-/- Wh-/-

S :36,8

Abd: Supel, BU 3x, NTEks: 5 manus kiri, verband rembes darah


dan nanah

A
P

Ketosis DM, selulitis manus sinistra


Cefoperazone/sulbactam 2x1

KSR 3x1

Metronidazole 3x500

Curcuma 3x1

Apidra 3x5ui

Nutriflam 3x1

Thoradosix 2x1

Simvastatin 1x10 mg

Transamin 2x1
Mecobalamin 2x1
Pro Debridement
15 Januari 2016
S
Nyeri dan bengkak pada tangan kiri , mual -, muntah -, demam O
TD: 130/80
Mata: CA -/- SI -/N : 76x

Jantung: SI/II reg m- g-

RR: 18x

Pulmo: SNV +/+ Rh-/- Wh-/-

S :36,8

Abd: Supel, BU 3x, NTEks: oedem dan merah pada manus kiri,
verband rembes darah - dan nanah -

A
P

Ketosis DM, selulitis manus sinistra


Cefoperazone/sulbactam 2x1

KSR 3x1

Metronidazole 3x500

Curcuma 3x1

Apidra 3x5ui

Nutriflam 3x1

Thoradosix 2x1

Simvastatin 1x10 mg

Transamin 2x1
Mecobalamin 2x1
Post Debridement hari ke-1

3.

PROGNOSIS
15

AD VITAM
AD SANATIONAM
AD FUNGSIONAM

: ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DIABETES MELLITUS
A. DEFINISI
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, Diabetes melitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi
karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.
B. EPIDEMIOLOGI
World Health Organization (WHO) memperkirakan, prevalensi global diabetes melitus tipe
2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. WHO
memperkirakan Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah penderita
diabetes setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2000, jumlah penderita diabetes
mencapai 8,4 juta dan diperkirakan pada tahun 2030 jumlah penderita diabetes di Indonesia
akan berjumlah 21,3 juta. Tetapi, hanya 50% dari penderita diabetes di Indonesia menyadari
16

bahwa mereka menderita diabetes, dan hanya 30% dari penderita melakukan pemeriksaan
secara teratur.
Laporan dari hasil penilitian di berbagai daerah di Indonesia yang dilakukan pada dekade
1980-an menunjukkan sebaran prevalensi DM tipe 2 antara 0,8% di Tanah Toraja, sampai 6,1%
yang didapatkan di Manado. Hasil penelitian pada rentang tahun 1980-2000 menunjukkan
peningkatan prevalensi yang sangat tajam. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia
tahun 2003, diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133
juta jiwa. Dengan prevalensi DM sebesar 14,7% pada daerah urban dan 7,2%, pada daerah
rural, maka diperkirakan pada tahun 2003 terdapat sejumlah 8,2 juta penyandang diabetes di
daerah urban dan 5,5 juta di daerah rural. Selanjutnya, berdasarkan pola pertambahan
penduduk, diperkirakan pada tahun 2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia
di atas 20 tahun dan dengan asumsi prevalensi DM pada urban (14,7%) dan rural (7,2%)
maka diperkirakan terdapat 12 juta penyandang diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah
rural.
KLASIFIKASI
Klasifikasi untuk penyakit diabetes mellitus berdasarkan etiologi adalah:

C. PATOFISIOLOGI

17

Diabetes melitus tipe 2 atau Non-insuline Dependent Diabetic Mellitus (NIDDM)


merupakan suatu kelainan yang heterogenik dengan karakter utama hiperglikemik kronik.
Meskipun pola pewarisannya belum jelas, faktor genetik dikatakan memiliki peranan yang
penting dalam munculnya DM tipe 2 ini. Faktor genetik ini akan berinteraksi dengan faktorfaktor lingkungan seperti gaya hidup, diet, rendahnya aktifitas fisik, obesitas dan tingginya kadar
asam lemak bebas. Patofisiologi DM tipe 2 terdiri atas 3 mekanisme, yaitu:
1. Resistensi insulin pada jaringan perifer.
2. Defek sekresi insulin.
3. Gangguan regulasi produksi glukosa oleh hepar.
1. Resistensi terhadap insulin
Resistensi terhadap insulin terjadi disebabkan oleh penurunan kemampuan hormon
insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan-jaringan target perifer (terutama pada otot dan
hati), ini sangat menyolok pada DM tipe 2. Resistensi terhadap insulin ini merupakan hal yang
relatif. Untuk mencapai kadar glukosa darah yang normal dibutuhkan kadar insulin plasma yang
lebih tinggi. Pada orang dengan DM tipe 2, terjadi penurunan pada penggunaan maksimum
insulin, yaitu lebih rendah 30 60 % daripada orang normal. Resistensi terhadap kerja insulin
menyebabkan terjadinya gangguan penggunaan insulin oleh jaringan-jaringan yang sensitif dan
meningkatkan pengeluaran glukosa hati. Kedua efek ini memberikan kontribusi terjadinya
hiperglikemi pada diabetes. Peningkatan pengeluaran glukosa hati digambarkan dengan
peningkatan FPG (Fasting Plasma Glukose) atau kadar gula puasa (BSN). Pada otot terjadi
gangguan pada penggunaan glukosa secara non oksidatif (pembentukan glikogen) daripada
metabolisme glukosa secara oksidatif melalui glikolisis. Penggunaan glukosa pada jaringan yang
independen terhadap insulin tidak menurun pada DM tipe 2.
Mekanisme molekular terjadinya resistensi insulin telah diketahui. Level kadar reseptor
insulin dan aktifitas tirosin kinase pada jaringan otot menurun, hal ini merupakan defek sekunder
pada hiperinsulinemia bukan defek primer. Oleh karena itu, defek pada post reseptor diduga
mempunyai peranan yang dominan terhadap terjadinya resistensi insulin. Polimorfik dari IRS-1
(Insulin Receptor Substrat) mungkin berhubungan dengan intoleransi glukosa. Polimorfik dari
bermacam-macam molekul post reseptor diduga berkombinasi dalam menyebabkan keadaan
resistensi insulin.
18

Sekarang ini, patogenesis terjadinya resistensi insulin terfokus pada defek PI-3 kinase
(Phosphatidyl Inocytol) yang menyebabkan terjadinya reduktasi translokasi dari GLUT-4
(Glukose Transporter) ke membran plasma untuk mengangkut insulin. Hal ini menyebabkan
insulin tidak dapat diangkut masuk ke dalam sel dan tidak dapat digunakan untuk metabolisme
sel, sehingga kadar insulin di dalam darah terus meningkat dan akhirnya menyebabkan terjadinya
hiperglikemi.

Ada teori lain mengenai terjadinya resistesi insulin pada penderita DM tipe 2. Teori ini
mengatakan bahwa obesitas dapat mengakibatkan terjadinya resistensi insulin melalui beberapa
cara, yaitu; peningkatan asam lemak bebas yg mengganggu penggunaan glukosa pada jaringan
otot, merangsang produksi dan gangguan fungsi sel pankreas.
2. Defek sekresi insulin
Defek sekresi insulin berperan penting bagi munculnya DM tipe 2. Pada hewan
percobaan, jika sel-sel beta pankreas normal, resistensi insulin tidak akan menimbulkan
hiperglikemik karena sel ini mempunyai kemampuan meningkatkan sekresi insulin sampai 10
kali lipat. Hiperglikemi akan terjadi sesuai dengan derajat kerusakan sel beta yang menyebabkan
turunnya sekresi insulin. Pelepasan insulin dari sel beta pankreas sangat tergantung pada transpor
glukosa melewati membran sel dan interaksinya dengan sensor glukosa yang akan menghambat
peningkatan glukokinase. Induksi glukokinase akan menjadi langkah pertama serangkaian proses
19

metabolik untuk melepaskan granul-granul berisi insulin. Kemampuan transpor glukosa pada
DM tipe II sangat menurun, sehingga kontrol sekresi insulin bergeser dari glukokinase ke sistem
transpor glukosa. Defek ini dapat diperbaiki oleh sulfonilurea.
Kelainan yang khas pada DM tipe 2 adalah ketidakmampuan sel beta meningkatkan
sekresi insulin dalam waktu 10 menit setelah pemberian glukosa oral dan lambatnya pelepasan
insulin fase akut. Hal ini akan dikompensasi pada fase lambat, dimana sekresi insulin pada DM
tipe 2 terlihat lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal. Meskipun telah terjadi
kompensasi, tetapi kadar insulin tetap tidak mampu mengatasi hiperglikemi yang ada atau terjadi
defisiensi relatif yang menyebabkan keadaan hiperglikemi sepanjang hari. Hilangnya fase akut
juga berimplikasi pada terganggunya supresi glukosa endogen setelah makan dan meningkatnya
glukoneogenesis melalui stimulasi glukagon. Selain itu, defek yang juga terjadi pada DM tipe 2
adalah gangguan sekresi insulin basal. Normalnya sejumlah insulin basal disekresikan secara
kontinyu dengan kecepatan 0,5 U/jam, pola berdenyut dengan periodisitas 12-15 menit (pulsasi)
dan 120 menit (osilasi). Insulin basal ini dibutuhkan untuk meregulasi kadar glukosa darah puasa
dan menekan produksi hati. Puncak-puncak sekresi yang berpola ini tidak ditemukan pada
penderita DM tipe 2 yang menunjukan hilangnya sifat sekresi insulin yang berdenyut.
3. Produksi Glukosa Hati
Hati merupakan salah satu jaringan yang sensitif terhadap insulin. Pada keadaan normal,
insulin dan gukosa akan menghambat pemecahan glikogen dan menurunkan glukosa produk hati.
Pada penderita DM tipe 2 terjadi peningkatan glukosa produk hati yang tampak pada tingginya
kadar glukosa darah puasa (BSN). Mekanisme gangguan produksi glukosa hati belum
sepenuhnya jelas.
Pada penelitian yang dilakukan pada orang sehat, terjadi peningkatan kadar insulin portal
sebesar 5 U/ml di atas nilai dasar akan menyebabkan lebih dari 50% penekanan produksi
glukosa hati. Untuk mencapai hasil yang demikian, penderita DM tipe 2 ini membutuhkan kadar
insulin portal yang lebih tinggi. Hal tersebut menunjukkan terjadinya resistensi insulin pada hati.
Peningkatan produksi glukosa hati juga berkaitan dengan meningkatnya gluconeogenesis akibat
peningkatan asam lemak bebas dan hormon anti insulin seperti glukagon.
D. DIAGNOSIS

20

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Diagnosis


tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan

diagnosis DM,

pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik
dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood), vena,
ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan

memperhatikan angka- angka kriteria

diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan
hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler dengan glukometer.
Diagnosis Diabetes Mellitus
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM
perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti di bawah ini:
-

Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

Keluhan

lain dapat berupa:

lemah

badan,

kesemutan,

gatal, mata kabur, dan

disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:


1. Jika keluhan klasik ditemukan,

maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200

mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM


2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya keluhan klasik.
3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g glukosa lebih
sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun
pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan
berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan karena membutuhkan
persiapan khusus.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung pada hasil
yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi glukosa terganggu
(TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
21

1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa
plasma 2 jam setelah beban antara 140 199 mg/dL (7,8-11,0 mmol/L).
2. GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa
didapatkan antara 100 125 mg/dL (5,6 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan TTGO gula
darah 2 jam < 140 mg/dL.
Kriteria Diagnosis DM
Gejala klasik DM
+
Glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L)
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa
memperhatikan waktu makan terakhir
Atau
Gejala klasik DM
+
Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0 mmol/L)
Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam
Atau
Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L) TTGO yang
dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75
g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.
* Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah satu
kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah
terstandardisasi dengan baik.
Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan
karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air
putih tanpa gula tetap diperbolehkan
3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa
4. Diberikan

glukosa

75 gram

(orang

dewasa),

atau

1,75 gram/kgBB (anak-anak),

dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit


5. Berpuasa

kembali sampai pengambilan

sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam

setelah minum larutan glukosa selesai


6. Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
22

7. Selama

proses

pemeriksaan,

subjek

yang

diperiksa

tetap istirahat dan tidak

merokok
Pemeriksaan penyaring
Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko

DM

namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk
menemukan

pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga dapat ditangani lebih

dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa,
merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut juga merupakan faktor
risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular dikemudian hari.
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan
masal (mass screening) tidak dianjurkan mengingat biaya yang mahal, yang pada umumnya
tidak diikuti dengan rencana tindak lanjut bagi mereka yang diketemukan adanya
kelainan. Pemeriksaan penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk
penyakit lain atau general check-up.
Kadar glukosa darah sewaktu dan glukosa darah

puasa sebagai patokan penyaring dapat

dilihat pada tabel 3.

Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan
ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

23

Bagan 1. Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa


E. PENATALAKSANAAN
Pilar penatalaksanaan DM
1) Edukasi
2) Terapi gizi medis
3) Latihan jasmani
4) Intervensi farmakologis
Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa
waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan
intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada
keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai
indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat,
berat badan yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera
diberikan.
1) Edukasi
24

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk
dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan
perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang
komprehensi dan upaya peningkatan motivasi.
2) Terapi Nutrisi Medis
-

Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara
total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota
tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya).

Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umumyaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan
kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes
perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan

dalam hal jadwal makan, jenis, dan

jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa
darah atau insulin.
a. Komposisi makanan yang dianjurkan
Karbohidrat
-

Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.

Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan

Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.

Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.

Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi
batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)

Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari.
Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

Lemak
-

Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan


melebihi 30% total asupan energi.

Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori


25

Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.

Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh
dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk).

Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.

Protein
-

Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.

Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan
tempe.

Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/Kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai
biologik tinggi.

Natrium
-

Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram
(1 sendok teh) garam dapur.

Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur.

Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet
seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.

Serat
-

Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi


cukup serat

dari

kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta sumber karbohidrat

yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat, dan bahan lain
yang baik untuk kesehatan.
-

Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari.

Pemanis alternative
-

Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.


Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.

Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol.

Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek


26

samping pada lemak darah.


-

Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain aspartam,
acesulfame

potassium,

sukralose,

sakarin,

dan neotame.

Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted


Daily Intake / ADI)

b. Kebutuhan kalori
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang
diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang
besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa
faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan

rumus Brocca yang dimodifikasi

adalah sbb:
-

Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg. BB Normal : BB ideal
10 %
Kurus

: < BBI - 10 %

Gemuk

: > BBI + 10 %

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks massa
tubuh dapat dihitung dengan rumus:
IMT = BB(kg)/ TB(m2)
Klasifikasi IMT*
BB Kurang

< 18,5

BB Normal

18,5-22,9

BB Lebih

23,0

Dengan risiko

23,0-24,9

Obes I

25,0-29,9

Obes II

> 30

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :


27

Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita
sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.

Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade antara
40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69 tahun dan dikurangi
20%, di atas usia 70 tahun.

Aktivitas Fisik atau Pekerjaan


o Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
o Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan
istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas
sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.

Berat Badan
o Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada

tingkat

kegemukan
o Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan

untuk

meningkatkan BB.
o Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang diberikan paling
sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal perhari untuk
pria.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi
dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta
2-3

porsi

makanan

ringan

(10-15%)

di

antaranya. Untuk meningkatkan

kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan.


Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan
disesuaikan dengan penyakit penyertanya.
3) Latihan jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama
kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM

tipe

2.

Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus
tetap dilakukan (lihat tabel 4). Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat
28

menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas


memperbaiki kendali

insulin, sehingga akan

glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan

jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.
Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk
mereka yang relative sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang
sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang
gerak atau bermalas-malasan.
4) Terapi farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani
(gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
a. Obat hipoglikemik oral
Berdasarkan
1. Pemicu

cara

kerjanya, OHO

sekresi

insulin

dibagi

(insulin

menjadi

5 golongan:

secretagogue): sulfonilurea dan glinid

2. Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion


3. Penghambat glukoneogenesis (metformin)
4. Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.
5. DPP-IV inhibitor
1. Pemicu Sekresi Insulin
Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta
pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan
kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk
menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua,
gangguan faal ginjal dan

hati, kurang

nutrisi

serta

penyakit

kardiovaskular, tidak

dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.


Glinid
Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan

penekanan

pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu
Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi
29

dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat
ini dapat mengatasi hiperglikemia post prandial.
2. Peningkat Sensitivitas Terhadap Insulin
Tiazolidindion
Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor
Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan
efek

menurunkan

glukosa,

sehingga

ini mempunyai

resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut


meningkatkan

ambilan

glukosa

di

perifer.

Tiazolidindion

dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat
edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan
tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.
3. Penghambat glukoneogenesis
Metformin
Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di
samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang
diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
(serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien- pasien dengan kecenderungan hipoksemia
(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat
memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada
saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian metformin secara
titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan dokter untuk memantau efek samping obat
tersebut.
4. Penghambat Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai
efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek
samping

hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan

flatulens.
5. DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang dihasilkan oleh sel
L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus bila ada makanan yang masuk
ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang

kuat penglepasan

insulin
30

dan sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1
diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4

(DPP-4),

menjadi metabolit

GLP-1-(9,36)-

amide yang tidak aktif.


Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk meningkatkan
GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM tipe 2. Peningkatan
konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim
DPP-4 (penghambat

DPP-4), atau memberikan

hormon

asli atau analognya (analog

incretin=GLP-1 agonis).
Berbagai obat yang masuk golongan

DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4

sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu
merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan glukagon.
Cara Pemberian OHO, terdiri dari:
-

OHO

dimulai

dengan

dosis

kecil

dan

ditingkatkan secara bertahap sesuai

respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal


-

Sulfonilurea: 15 30 menit sebelum makan

Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan

Metformin : sebelum / pada saat / sesudah makan

Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama

Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.

DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

b. Suntikan
a) Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
-

Penurunan berat badan yang cepat

Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

Ketoasidosis diabetic

Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

Hiperglikemia dengan asidosis laktat

Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal


31

Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan


perencanaan makan

Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin


Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni:
-

Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

Insulin kerja pendek (short acting insulin)

Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)

Insulin kerja panjang (long acting insulin)

Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).

Efek samping terapi insulin


-

Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia.

Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat
menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

c. Terapi Kombinasi
Pemberian OHO

maupun

insulin

selalu

dimulai dengan

dosis rendah,

untuk

kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Bersamaan
dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan

pemberian

OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara
terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat
dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah
belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda
atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis
di mana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO
dapat menjadi pilihan. (lihat bagan 2 tentang algoritma pengelolaan DM tipe 2). Untuk
kombinasi

OHO

dan

insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan

insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam
hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh
32

kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal
insulin kerja menengah adalah

6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian

dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa

keesokan

harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak
terkendali, maka OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasi insulin.
Penilaian hasil terapi
Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara
terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:
1. Pemeriksaan kadar glukosa darah
Tujuan pemeriksaan glukosa darah:
-

Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai

Untuk

melakukan

penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi.

Guna mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa


darah puasa, glukosa 2 jam post prandial, atau glukosa darah pada waktu yang
lain secara berkala sesuai dengan kebutuhan.
2. Pemeriksaan A1C
Tes hemoglobin

terglikosilasi, yang disebut

juga sebagai glikohemoglobin, atau

hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang digunakan untuk
menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes

ini

tidak

dapat

digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan
dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun.

33

Bagan 2.

Algoritma
pengelolaan DM tipe 2 tanpa disertai dekompensasi

Bagan 3. Algoritma
pengelolaan DM tipe 2 tanpa disertai dekompensasi

3. Pemantauan Benda Keton


Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting terutama pada
penyandang DM tipe 2 yang terkendali buruk (kadar glukosa darah >300 mg/dL).
Pemeriksaan benda keton juga diperlukan pada penyandang

diabetes

yang sedang

hamil. Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat, sementara benda keton yang
penting adalah asam beta hidroksibutirat. Saat ini telah dapat dilakukan pemeriksaan
kadar asam beta hidroksibutirat dalam darah secara langsung dengan menggunakan strip
34

khusus. Kadar asam beta hidroksibutirat darah <0,6 mmol/L dianggap normal, di atas
1,0 mmol/L disebut ketosis dan melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD. Pengukuran
kadar glukosa darah dan benda keton secara

mandiri,

dapat

mencegah terjadinya

penyulit akut diabetes, khususnya KAD.


F. KOMPLIKASI
Secara garis besar, komplikasi DM tipe 2 dapat dibedakan menjadi komplikasi akut dan
kronik.

Akut

Keto Asidosis Diabetic


Hiper Osmolar Non Ketotik
Hipoglikemia

Makro

Komplikasi
DM

Vaskular

Kronik
Mikro

Non vaskular

PJK
Stoke
Penyakit pmbuluh
darah tepi
Retinopati
Nefropati
Neuropati

Gang. Ereksi
Gastroparesis
Kelainan kulit

Ketoasidosis Diabetik (KAD)


KAD merupakan suatu sindroma yang terdiri dari trias: hiperglikemia, ketosis, dan acidemia.
Ada beberapa faktor pencetus terjadinya KAD, antara lain:
1. DM tipe 1 yang tak terdiagnosa
2. Pemakaian insulin yang tidak adekuat, karena anoreksia, muntah, atau ketakutan akan
hipoglikemia.
3. Infeksi
4. Penyakit akut, seperti; trauma, pankreatitis, CVA, miokard infark.
5. Pengobatan, seperti; steroid, peritamidin, dan peritonial dialisis.
35

6. Gangguan endokrin, seperti; hipertiroid, feocromositoma.

Patofisiologi KAD
Pada dasarnya patofisiologi KAD adalah gangguan keseimbangan hormonal. KAD biasanya
terjadi pada DM tipe I.
Ada 3 faktor yang berperan sehingga timbul KAD, yaitu:
1.

Defisiensi insulin.
Pemakaian insulin dalam jumlah yang kurang adekuat atau defisiensi insulin
menimbulkan diuresis osmotik, yang selanjutnya akan terjadi dehidrasi dan gangguan
keseimbangan

elektrolit.

Defisiensi

insulin

menimbulkan

glukoneogenesis

dan

glikogeolisis, disamping itu juga terjadi lipolisis dan pembentuka asam lemak bebas
(FFA).
Defisiensi insulin menyebabkan penurunan pemakaian glukosa perifer, sehingga
menambah hiperglikemia, dehidrasi serta penurunan aliran darah. Asam lemak bebas
akan menyebabkan ketogenesis ketonemia, selanjutnya ketouria dan gangguan elektrolit.
Dekompensasi metabolik ini akan menyebabkan asidosis.7
2. Peningkatan hormon kontra insulin.
Telah terbukti bahwa pada KAD didapatkan peningkatan jumlah hormon kontra insulin
(counter regulatory hormones) seperti, glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon
pertumbuhan. Pemakaian steroid pada kasus-kasus tertentu, termasuk pada perawatan
DM gestasi dapat memicu terjadinya KAD. Efek hormon-hormon ini adalah menambah
produksi gula, serta menambah katabolisme tubuh (keseimbangan nitrogen negatif).
Selain menghambat pengambilan glukosa oleh otot, juga merangsang glukoneogenesis,
glikogenolisis dan lipolisis.
3. Dehidrasi.
Diuresis osmotik akibat hiperglikemia akan menimbulkan dehidrasi, kadang-kadang oleh
karena gangguan gastrointestinal. Rehidrasi yang adekuat sangat penting pada KAD,
selain mengurangi hiperglikemi, juga memperbaiki ketosis.

36

Penatalaksanaan KAD

37

KETOSIS DIABETES MELLITUS

Dalam kondisi metabolik dengan laju oksidasi asam lemak yang tinggi, hati
menghasilkan banyak aseto asetat dan b-hidroksibutirat. Kemudian asetoasetat mengalami
38

dekarboksilasi spontan untuk menghasilkan aseton. Ketiga zat ini disebut sebagai benda keton.
Badan keton berfungsi sebagai bahan bakar bagi jaringan ekstrahepatik seperti otot.
Pada keadaan puasa atau kelaparan juga pada keadaan dimana terjadi peningkatan kadar
asam lemak dalam darah, misalnya pada diit tinggi lemak, kegiatan jasmani yang berat tanpa di
sertai intake KH yang cukup, produksi keton-keton akan meningkat, hal yang sama terjadi pada
keadaan diabetes mellitus. Bila benda-benda keton dalam darah kadarnya meningkat melebihi 1
mg% disebut ketonemia. Peningkatan kadar benda-benda keton dalam darah ini pada keadaan
normal akan diimbangi dengan bertambahnya proses oksidasi senyawa-senyawa tersebut oleh
jaringan ekstrahepatik.
Bila produksi semakin bertambah sampai kadar didalam darah mencapai 70mg%, maka
kapasitas oksidasi pada jaringan ekstrahepatik tidak dapat ditingkatkan lagi, sehingga
peningkatan lebih lanjut produksi senyawa tersebut akan sangat meningkatkan kadar di dalam
darah. Pada keadaan normal keton-keton selain di oksidasi oleh otot, otak, serta otot jantung,
sebagian kecil yang jumlahnya tidak melebihi 1 mg% diekskresikan melalui urin per 24 jam.
Ambang ginjal untuk ekskresi benda-benda keton bila kadar dalam darah dibawah 70mg% tidak
mempengaruhi jumlah ekskresinya, tetapi bila lebih dari 70mg%, maka ekskresi lewat ginjal
akan sangat meningkat, karena ambang ginjal dilampaui.
Peningkatan ekskresi benda-benda keton lewat ginjal bersama urine ini di sebut
ketonuria. Keadaan dimana ketonemia dibarengi dengan terjadinya ketonuri disebut KETOSIS.
Oleh karena senyawa-senyawa tersebut bersifat asam maka akan berakibat terjadinya asidosis
metabolik, oleh karena cadangan alkali diturunkan, keadaan ini disebut ketoasidosis, yang dapat
berakibat fatal.
Pada DM yang tak terkendalikan, ketosis dapat terjadi sangat berat, karena pada DM
disamping produksi benda-benda keton meningkat dengan cepat, kapasitas jaringan ekstra
hepatic untuk mengoksidasi benda-benda tersebut malah berkurang, oleh sebab pengaruh dari
hormone insulin. Pada kasus-kasus demikian sering kali dapat tercium bau aseton karena
kadarnya yang tinggi dalam darah.
Ketosis secara umum dapat terjadi pada 2 keadaan klinis yakni DM dan kelaparan.
Faktor-faktor yang meningkatkan terjadinya ketosis :
1. Kekurangan KH dengan akibat mobilisasi FFA sehingga FFA meningkat dalam sirkulasi,
dengan sendirinya asetil KoA akan meningkat juga.
39

2. Pada keadaan kelaparan persedian glikogen terpakai habis, hingga oksidasi glukosa akan
menurun, untuk Ulucon yang akan digunakan adalah lemak, sehingga sintesis asam
lemak menurun.
3. Pengaruh insulin yang menekan proses ketogenesis, dan memacu proses oksidasi benda
keton pada jaringan ekstrahepatik. Pada keadaan kelaparan atau DM kadar insulin dalam
tubuh menurun, hingga proses ketogenesis meningkat, oksidasi benda-benda keton
menurun.
4. Semua factor yang menghambat siklus TCC akan meningkatkan ketogenesis, karena
kapasitas untuk mengoksidasi secara menyeluruh asetil KoA menurun.
Ketosis pada kelaparan sama dengan keadaan DM. Pada DM terjadi glukosuria yang terus
menerus, hingga glukosa hilang terhambur. Pada kelaparan timbulnya ketosis semata-mata oleh
sebab produksi benda-benda keton yang berlebihan, terjadinya ketosis memerlukan waktu lama
dan tidak akan menyebabkan ketoasidosis yang serius, hal ini berbeda dengan DM, ketosis pada
DM terjadi secara progresif yang akhirnya terjadi ketoasidosis yang hebat. Perbedaan ini
mungkin disebabkan 2 hal :
1. Pengaruh insulin terhadap oksidasi benda keton ekstrahepatik yang pada kelaparan hal ini
tidak mengurangi gangguan yang berarti.
2. Pada DM biasanya glukoneogenesis prosesnya lebih hebat daripada kelaparan dengan
demikian akan mengganggu proses TCC.

DAFTAR PUSTAKA

40

1. Dyanne P. Westerberg, DO. Diabetic Ketoacidosis. Evaluation and Treatment. American


Family Physician. Volume 87, Number 5: 337-46.
2. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.
2006. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Jakarta. 2006
3. Waspadji S. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanise Terjadinya, Diagnosis, dan Strategi
Pengelolaan. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam
FKUI; 2006; hal. 1920
4. Gustavani R. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi III. Departemen Ilmu Panyakit Dalam FKUI; 2006; hal. 1873
5. Lin MV, Bishop G, Benito-Herrero M. Diabetic Ketoacidosis in Type 2 Diabetics: A Novel
Presentation of Pancreatic Adenocarcinoma. J Gen Intern Med 25(4):36973.
6. Abdulfatai B. Olokoba, Olusegun A. Obateru, Lateefat B. Olokoba. Type 2 Diabetes
Mellitus: A Review of Current Trends.Oman Medical Journal (2012) Vol. 27, No. 4: 269-273.
7. A. Hussain A, Hydrie MZI, Claussen B, Asghar S. Type 2 Diabetes and obesity: A review.
Journal of Diabetology, June 2010; 2:1.
8. Colloby M. Ketosis-prone diabetes: Identification and management. Journal of Diabetes
Nursing 18: 35260.
9. Diabetes mellitus

history-

from

ancient

to

modern

times.

Available

at

http://science.jrank.org/pages/2044/Diabetes-Mellitus.html. (accessed on 20th January, 2016)


10. Global burden of diabetes. International Diabetes federation. Diabetic atlas fifth edition 2011,
Brussels. Available at http://www.idf.org/diabetesatlas. (Accessed 20th January 2016).

41

Anda mungkin juga menyukai