Anda di halaman 1dari 8

BAHAN AJAR

A. Kompetensi Dasar :
3.5 Mengevaluasi kehidupan politik dan ekonomi bangsa Indoensia pada masa orde
baru.
B. Indikator :
3.5.1
3.5.2
3.5.3

Mengidentifikasi kedudukan ABRI pada masa Orde Baru.


Mendeskripsikan pelaksanaan pemilihan umum pada masa Orde Baru.
Membandingkan pemilihan umum pada masa Orde Baru dan Reformasi.

4.1.1

Menyajikan makalah tentang partai politik yang ikut serta pada pemilu masa
reformasi.

C. Tujuan Pembelajaran
Melalui diskusi, membaca buku dan melihat gambar-gambar siswa mampu menjelaskan :
3.5.1
3.5.2
3.5.3
4.1.1

Kedudukan ABRI pada masa Orde Baru.


Pelaksanaan pemilihan umum pada masa Orde Baru.
Pemilihan umum pada masa Orde Baru dan Reformasi.
Membuat makalah tentang partai politik yang ikut serta pada pemilu masa

Reformasi.
1. Kedudukan peran ABRI pada masa Orde Baru
Pertengahan tahun 1995 pemerintah Orde Baru memberikan kejutan kebijaksanaan lain.
Kejutan ini berkait langsung dengan politik ABRI terhadap masa depan Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia. Melalui mensesneg Murdiono, pemerintah melontarkan gagasan
tentang rencana penyusutan jatah kursi ABRI di DPR. Lontaran gagasan ini cukup berhasil
menciptakan kejutan di kalangan pengamat. Para petinggi ABRI menyataan bahwa usulan
Rancangan Undang-Undang pengurangan personil ABRI adalah bagian dari kebijaksanaan
ABRI untuk beralih dari pemegang pucuk pimpinan bangsa yang selalu berdiri di depan (ing
ngarso sung tulodho) ke posisi sebagai pembimbing yang berdiri di belakang (tut wuri
handayani)
Secara langsung, RUU pengurangan kursi ABRI di DPR ini meningkatkan citra ABRI
dan pemerintah di mata masyarakat baik domestik maupun Internasional. RUU dengan cepat
mengundang reaksi pendapat umum yang cenderung menyambut gembira RUU tersebut.
Paling tidak, sekarang pemerintah benar-benar berniat mengurangi wakil-wakil ABRI di
dalam tubuh pemerintah setelah pengurangan personil militer dalam tubuh kabinet 1992.
Citra ini sangat penting, baik bagi konsumen domestik maupun Internasional.
Lebih jauh dapat dikatakan RUU pengurangan personil ABRI juga dapat diartikan
sebagai upaya perumusan kembali peranan militer dalam politik. Jika selama ini personil
militer tersebar di berbagai posisi politik itu dikarenakan keadaan politik yang belum stabil

dan potensi ancaman keamanan internal masoh sangat besar. Sepanjang kondisi objektif ini
masih meliputi kehidupan bangsa, selama itu pula ABRI menggunakan pendekatan keamanan
dalam mengantisipasi dan menyelesaikan persoalan-persoalan dangsa yang berkembang.
Semakin kuat ruang lingkup ancaman yang ditimbulkan terhadap proses internasional dan
pembangunan bangsa, semakin kuat juga pendekatan keamanan yang dipergunakan militer.
Akan tetapi, sebagaimana dikatakan bekas Menteri Dalam Negeri Rudini, akhir-akhir ini
pembangunan di Indonesia telah mencapai tahapan lain sedemikian rupa sehingga pendekatan
kemanan sudah perlu diganti dalam pendekatan kemakmuran (Rudini dalam Cipto : 10)
Dalam kondisi baru ini, ABRI akan lebih banyak mendorong dari belakang (tut wuri
handayan) segenap proses pembangunan di Indonesia. Namun demikian, Rudini juga
mengingatkan bahwa ABRI kapan saja akan kembali ke posisi pemimpin di depan (ing
ngarso sung tulodo) bila keadaan menuntutnya. Oleh karena itu, ia menekankan bahwa
bangsa Indonesia tidak perlu memikirkan kemungkinan penghapusan sama sekali ABRI dari
DPR atau posisi strategi lain karena terlalu riskan bagi negara yang sedang berkembang
seperti Indonesia. Bahkan kata-kata bijak yang diambil dari Ki Hajar Dewantoro itu pun bila
disimak lebih jauh mengandung makna yang jelas tentang posisi ABRI dalam politik. Katakata bijak seperti tut wuri handayani dalam konteks aslinya dimaksudnkan untuk
menjelaskan seorang guru. Sebagai guru maka ia akan selamanya aktif tengah-tengah
muridnya. Artinya, peranan guru secara emplisit mustahil dilepas dari muridnya. Bila
diumpamakan ABRI adalah guru dam masyarakat adalah murid maka ABRI akan tetap ada di
tengah-tengah masyarakat sampai kapanpun. Dengan demikian, dalam jangka panjang ABRI
tampaknya akan tetap bertahan dalam kehidupan politik. Akhirnya, RUU pengurangan kursi
ABRI di DPR tidak lebih dari salah satu paket ikhtiar untuk menyegarkan kembali citra
legitimasi Orde Baru. (11)
Sepanjang Orde Baru berkuasa orang sudah terbiasa dengan logika berpikir bahwa
dimana ada politik maka disitu pasti ada ABRI atau sebaliknya. Istilah ABRI masuk desa atau
masuk kampus dalam keadaan damai bukan lagi hal yang aneh. Apalagi jika disuatu wilayah
berkembang kerusuhan yang menganggu kehidupan umum maka bisa dipastikan ABRI akan
tampil mengalihkan alih komando. Sebaliknya kondisi ini seringkali justru merangsang sipil
untuk mengundang masuk ABRI karena ketidakmampuan sipil menemukan penyelesaian.
Rektor perguruan tinggi, misalnya, tidak merasa sungkan mengundang masuk ABRI utuk
mengamankan kampus dari demonstran. (61)

Sumber Bacaan
Cipto, Bambang, 1997. Duel Segitiga PPP Golkar PDI Dalam Pemilu 1997. Yogyakarta :
BIGRAF Publishing.
Haris, Sanit, Hikam, Salamm, Cahyono, 1998. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru
Sebuah Bungai Rampai. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia dan PPW-LIPI
Evaluasi
1. Jelaskan kedudukan ABRI masa Orde Baru?
2. Mendeskripsikan pelaksanaan pemilihan umum pada masa Orde Baru
Sejarah merupakan alat yang paling penting bagi ilmu politik, oleh karena
menyumbang bahan, yaitu data dan fakta dari masa yang lampau, utnuk diolah lebih lanjut.
Perbedaan pandangan antara ahli sejarah dan sarjana ilmu politik ialah bahwa ilmu sejarah
selalu meneropong masa yang lampau dan inilah yang menjadi tujuannya, sedangkan sarjana
ilmu politik biasanya lebih melihat ke depan (future oriented); bahan mentah yang disajikan
oleh ahli sejarah, teristimewa sejarah kontemporer, oleh sarjana ilmu politik hanya dipakai
untuk menemukan pola-pola ulangan (recurrent patterns) yang dapat membantunya untuk
menentukan suatu proyeksi untuk masa depan. Sarjana ilmu politik tidak puas hanya
mencatat sejarah, tetapi ia akan selalu mencoba menemukan dalam sejarah pola-pola tingkah
laku politik (patterns of political, behavior) yang memungkinkannya untuk dalam batas-batas
tertentu, menyusun suatu pola perkembangan untuk masa depan dan memberi gambaran
bagaimana sesuatu keadaan diharapkan akan berkembang dalam keadaan tertentu (Budiardjo
1992 : 17)
Ada teori yang mencoba menjelaskan asal usul partai politik yaitu situasi historis yang
melihat timbulnya partai politik sebagai upaya suatu sistem politik untuk mengatasi krisis
uang ditimbulkan dengan perubahan masyarakat secara luas. (Surbakti 1992 : 113)
Dalam masa Orde Baru partai politik diberi kesempatan untuk bergerak lebih leluasa.
Akan tetapi, sesudah diadakan pemilihan umum tahun 1971, di mana Golkar menjadi
pemenang pertama dengan disusul oleh tiga partai besar NU, Parmusi dan PNI, agaknya
partai-partai harus menerima kenyataan bahwa peranan mereka dalam decision-making
process untuk sementara akan tetap terbatas. Pada tahun 1973 terjadi penyederhanaan partai.
Empat partai Islam, yaitu Nahdatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia, Partai Syarikat
Indonesia, dan Perti bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan. Selain dari itu lima
partai, yaitu Partai Nasional Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba

dan Partai Ikatan pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) bergabung menjadi Partai
Demokrasi Pembangunan. Dengan demikian dalam pemilihan umum yang akan diadakan
pada tahun 1977 akan diikutsertakan dua partai politik dan Golkar (Budiardjo 1992 : 172).
Secara umum dapat dikatakan bahwa Partai politik adalah suatu kelompok yang
terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang
sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut
kedudukan politik (biasanya) dengan cara konstitutionil-untuk melaksanakan kebijaksanaankebijaksanaan mereka.
Pada kampanye Pemilu 1977, kalangan tokoh-tokoh partai politik sudah melirik dan
mengerling pesantren-pesantren sejalan dengan dikondisikannya pendidikan politik dan
proses demokratisasi politik serta keterbukaan pesantren terhadap partai politik manapun.
Itulah sebabnya, sangat dipahami jika kalangan tokoh-tokoh partai politik sering melakukan
manuver politik ke berbagai pesantren dengan tujuan utama untuk menambang suara pemilih
di dalam Pemilu 1977.
Pada saat-saat kampanye Pemilu, pesantren tampak sebagai gadis berparas ayu dan
wajah cantik yang sering dikerling, didekati dan dikunjungi oleh tokoh-tokoh partai politik
tertentu. Keberhasilan suatu partai politik untuk mengeduk dan menambang suatu pemilih
secara signifikan di pesantren-pesantren di seluruh tanah air banyak tergantun kepada aspek
kemampuan teknis, ketepatan strategi dan pola pendekatan (dalam pengertiannya yang luas)
dari parpol atau partai politik itu kepada para kiai pengasuh pesantren-pesantren tersebut.
Berhubung Golkar jauh lebih banyak memiliki dana dari fasilitas yang ditopang dengan
gaya dan tekhnik pendekatan yang intensif maka dapat dipastikan bahwa dia lebih suskses
dalam menambang suara di pesantren-pesantren pada penyelenggaraan Pemilu 1997. Dengan
demikian, Golkar tidak saja lebih mengukukan sayapnya di jajaran birokrasi pemerintahan,
tetapi juga semakin melebarkan sayapnnya di kalangan pesantren-pesantren. (Ismail 2004)
Sumber Bacaan
Budiardjo, miriam. 1992. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Ismail, Faisal. 2004. Dilema Nahdlatul Ulama : Ditengah Badai Pragmatisme Politik. Jakarta
: PT. Mitra Cendikia.
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Evaluasi
2. Jelaskan pelakasanaan Pemilu pada masa Orde Baru?
3. Membandingkan pemilihan umum pada masa Orde Baru dan Reformasi

a. Pemilu Orde Baru


Jakarta (ANTARA News) - Pemilu era orde baru diselenggarakan antara lain pada
tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilu pada era ini diawali dengan masamasa transisi kepemimpinan Presiden Soekarno. Diangkatnya Jenderal Soeharto menjadi
pejabat Presiden menggantikan Bung Karno dalam Sidang Istimewa MPRS 1967, tidak
membuatnya melegitimasi kekuasaannya pada masa transisi.
Bahkan ketetapan MPRS XI Tahun 1966 mengamanatkan agar pemilu baru
diselenggarakan dalam tahun 1968, dan kemudian diubah lagi pada SI MPR 1967 oleh
Jenderal Soeharto bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971. Sebagai pejabat
presiden, Pak Harto tetap menggunakan MPRS dan DPR-Gotong Royong (DPR-GR)
bentukan Bung Karno, hanya saja dia melakukan pembersihan lembaga tertinggi dan tinggi
negara tersebut dari sejumlah anggota yang dianggap berbau orde lama. Pada praktiknya
pemilu kedua baru bisa diselenggarakan 5 Juli 1971, yang berarti setelah empat tahun
Soeharto berada di kursi kepresidenan.
Pada masa tersebut ketentuan tentang kepartaian (tanpa UU) kurang lebih sama dengan
yang diterapkan era Soekarno, di mana UU yang diadakan adalah UU tentang pemilu dan
susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
Menjelang pemilu 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan UU No. 15
Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan
DPRD. Penyelesaian UU itu sendiri memakan waktu hampir tiga tahun. Dalam UU itu
pejabat negara pada Pemilu 1971 diharuskan bersikap netral, tidak seperti Pemilu 1955 yang
memperbolehkan pejabat negara, termasuk perdana menteri dari partai untuk ikut menjadi
calon partai secara formal. Tetapi pada praktiknya Pemilu 1971 para pejabat pemerintah
berpihak kepada salah satu peserta Pemilu, yaitu Golkar. Jadi sesungguhnya pemerintah pun
merekayasa ketentuan-ketentuan yang menguntungkan Golkar seperti menetapkan seluruh
pegawai negeri sipil harus menyalurkan aspirasinya kepada salah satu peserta pemilu itu.
Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam
Pemilu 1971 berbeda juga dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU
No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan. Cara
ampuh untuk mengurangi jumlah partai peraih kursi, dibandingkan penggunaan sistem
kombinasi. Tetapi kelemahannya sistem demikian lebih banyak menyebabkan suara partai
terbuang percuma.
Setelah tahun 1971, pelaksanaan Pemilu yang periodik dan teratur mulai terlaksana.
Enam tahun berikutnya yakni tahun 1977, pemilu ketiga dilaksanakan. Setelahnya pemilu
selalu berlangsung setiap lima tahun sekali. Berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya,

sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, hanya terdiri atas dua parpol dan satu
Golkar. Hal tersebut imbas penyederhanaan jumlah partai yang dilakukan pemerintah
bersama DPR, dengan membuat UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar.
Kedua partai adalah Partai Persatuan Pembangunan atau PPP dan Partai Demokrasi
Indonesia atau PDI dan satu Golongan Karya atau Golkar. UU No. 3 itu diimplementasikan
hingga pemilu tahun 1997. Hasilnya pun sama, Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan
PPP dan PDI hanya sekedar pelengkap atau ornamen belaka. Ibarat Golkar sudah ditetapkan
menjadi pemenang sejak Pemilu 1971. Keadaan ini secara langsung dan tidak langsung
membuat kekuasaan eksekutif dan legislatif berada di bawah kontrol Golkar mendapat
dukungan birokrasi sipil dan militer. Puncaknya Soeharto dilengserkan rakyat pada 21 Mei
1998 karena ketidakadilan sistem pemerintahan yang diterapkan Soeharto selama masa orde
baru.
b. Pemilu Reformasi
Jakarta (ANTARA News) - Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya
pada tanggal 21 Mei 1998, jabatannya digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf
Habibie. Namun publik tetap mendesak agar pemilu baru dipercepat dan segera dilaksanakan,
agar sisa-sisa Pemilu 1997 dibersihkan dari pemerintahan. Akhirnya pada 7 Juni 1999, atau
13 bulan masa kekuasaan Habibie, pemilu kembali dilaksanakan. Pada saat itu kepentingan
utama dilakukannya pemilu agar mendapat pengakuan publik termasuk dunia internasional
yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap pemerintahan dan lembaga-lembaga produk
Pemilu 1997.
Hal itu kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk
memilih presiden dan wakil presiden yang baru, dan sekaligus memangkas masa jabatan
Habibie yang harusnya sampai 2003. Sebelum menyelenggarakan Pemilu percepatan itu
pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang
Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft UU disiapkan oleh sebuah tim
Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP
Depdagri, Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden membentuk Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya adalah wakil dari partai politik dan wakil
dari pemerintah. Satu hal menonjol yang membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu
sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 diikuti banyak sekali peserta. Ini dimungkinkan
karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. Peserta Pemilu pada masa itu

berjumlah 48 partai. Jumlahnya sudah jauh lebih sedikit dari yang terdaftar di Departemen
Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Dalam sejarah Indonesia tercatat bahwa setelah pemerintahan Perdana Menteri
Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang mampu menyelenggarakan
pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan. Burhanuddin Harahap berhasil
menyelenggarakan pemilu hanya sebulan setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali
Sastroamidjojo, meski persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan
sebelumnya. Sedangkan Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke
kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis politik, tetapi yang
lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan hukum serta tekanan internasional.
Adapun dalam Pemilu 1999 nama tokoh reformasi yang juga pemimpin Partai
Kebangkitan Bangsa Abdurahhman Wahid (Gus Dur), terpilih menjadi Presiden RI kala itu.
Meskipun PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri meraih suara terbanyak dalam
pemilu, namun Megawati tidak langsung menjadi Presiden. Karena presiden tetap dipilih oleh
MPR, maka Gus Dur selaku pimpinan PKB yang meraih suara terbanyak nomor pada Pemilu
1999, justru yang menjabat menjadi Presiden RI ketika itu.
Masa pemerintahan Gus Dur diwarnai dengan aksi-aksi gerakan separatisme serta
konflik-konflik menyangkut suku, agama dan ras. Puncaknya pada Januari 2001, Gus Dur
yang didesak mengundurkan diri oleh mahasiswa memutuskan melepaskan jabatannya
sebagai Presiden RI dan menyerahkannya kepada Megawati Soekarnoputri. Kepemimpinan
Megawati Soekarnoputri sebagai penerus pemerintahan Gus Dur, hanya bertahan hingga
Pemilu 2004. Pada Pemilu 2004, partai baru bernama Demokrat dengan pemimpinnya Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi rival berat Megawati.
Partai pimpinan SBY yang menjanjikan beragam perubahan ketika itu lantas unggul
dalam pemilu 2004 dan 2009. SBY menjadi presiden selama dua periode berturut-turut.
Menyongsong Pemilu 2014. Saat ini Indonesia tengah bersiap diri menyongsong pesta
demokrasi Pemilu 2014. KPU telah menetapkan 12 Partai Politik sah untuk menjadi peserta
pemilu 2014. Ditengah situasi nasional yang dibelenggu oleh isu korupsi, sebenarnya belum
jelas betul bagaimana Pemilu 2014 akan terlaksana. Sebab UU Pilpres sendiri tengah digugat
di Mahkamah Konstitusi.
Gugatan yang diajukan adalah menyerentakan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden. Selain itu gugatan juga terkait ketentuan ambang batas dalam UU Pilpres
yang menyatakan bahwa parpol yang berhak mengusung capres adalah parpol yang

mendapatkan 25 persen suara nasional dan 20 persen kursi di DPR.


Sumber Bacaan
(2014, Februari 27) Sejarah pemilu, pemilu era Orde Baru (1966-1998). Tersedia pada
http://www.antaranews.com/pemilu/berita/421353/sejarah-pemilu-pemilu-era-orde-baru1966-1998. Diakses pada tanggal 17 Mei 2015, pukul 10.10 Wib
(2014, Februari 27) Sejarah pemilu, pemilu era Reformasi (1998 sampai sekarang) tersedia
pada

http://www.antaranews.com/pemilu/berita/421351/sejarah-pemilu-pemilu-era-

reformasi-1998-sekarang. Diakses pada tanggal 17 Mei 2015, pukul 10.10 Wib


http://politik.kompasiana.com/2014/04/14/potret-pemilu-era-reformasi-tak-ada-parpol-juarabertahan-dan-meningkatnya-golput-648902.html
Evaluasi
1. Bandingkanlah pemilu masa Orde Baru dengan Reformasi?

Anda mungkin juga menyukai