Anda di halaman 1dari 21

18

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Tidak dapat diabaikan bahwa pertumbuhan industri kimia berkembang dengan


sangat pesat pada era global. Pada era ini, industri kimia menjadi industri penting dalam
perkembangan ekonomi, akan tetapi perkembangan industri kimia yang pesat mendorong
bertambahnya hasil sampingan berupa limbah. Salah satu contoh adalah limbah logam
berat. Li
Limbah logam berat merupakan limbah yang bersifat berbahaya dan termasuk
kedalam limbah B3. Salah satu contoh limbah B3 yang banyak dihasilkan adalah Cr 6+.
Limbah Cr6+ sangat berbahaya karena bersifat karsinogenik. Pengolahan limbah Cr 6+
dilakukan dengan cara mereduksi Cr6+ menjadi Cr3+.
Limbah Cr6+ jika tidak direduksi dapat menyebabkan kerugian dan bahaya akan
lingkungan. Seiring dengan perkembangan industri kimia, sangatlah penting untuk
memikirkan pengolahan limbah yang tepat dan efisien. Pengolahan limbah yang tepat
dapat dilakukan dengan mengetahui sifat fisik dan kimia dari limbah tersebut, sehingga
pengembangan kondisi optimum pengolahan limbah dapat dilakukan. Salah satu metode
pengolahan limbah Cr6+ yang terus dikembangkan adalah dengan menggunakan proses
UV/TiO2.
2.1 Limbah Cr(VI)
Limbah Cr6+ merupakan hasil dari proses industri metalurgi, industri penyamakan
kulit, industri pigmen, industri pengawetan kayu, industri penyempurnaan logam, dan
proses pembuatan baja tahan karat Stainless Steel. {, #10@@hidden}{Faisal, 2000 #10}
Pada dasarnya, limbah Chromium (Cr) dalam air dapat ditemukan dalam bentuk
Cr3+ dan Cr6+. Limbah Cr6+ dapat menyebabkan iritasi serta korosi pada kulit. Hal ini
berbanding terbalik dengan sifat Cr3+ yang bersifat tidak membahayakan. Ion Cr6+ dapat
membahayakan karena dalam bentuk ion-nya, dapat menembus mebran sel darah merah
dengan cepat dan berikatan dengan hemoglobin (Slamet, Syakur et al. 2003). Ion Cr6+
dapat dikatekorikan dalam senyawa mutagenic, karsinogenik, dan teratogenic(Faisal and
Hasnain 2000). Oleh karena itu, limbah Cr6+ perlu direduksi menjadi Cr3+

19

Proses reduksi Cr6+ dapat dilakukan, diantaranya, dengan cara ion-exchange,


adsorpsi dengan karbon aktif, dan reduksi dengan bantuan bakteri. (Slamet, Syakur et al.
2003) Selain melalui proses pengolahan limbah, Cr6+ dialam dapat terdegradasi secara
alamiah dengan cahaya matahari. Akan tetapi, proses degradasi alamiah ini berjalan
dengan lambat.{Hasnain, 2004 #25}{Hasnain, 2004 #25}
Untuk mempercepat proses degradasi, dalam industri pengolahan limbah digunakan
bantuan berupa fotokatalis. Reaksi degradasi dengan fotokatalis menjadi pilihan yang
paling sering diterapkan. Hal ini didasarkan proses degradasi dengan fotokatalis dinilai
lebih ekonomis dibandingkan cara pengolahan lainnya. Reaksi fotokatalis sendiri
didasarkan pada prinsip Advance Oxidation Process.
2.2 Advance Oxidation Process
Advance Oxidation Process dapat diartikan sebagai proses pengolahan yang
melibatkan pembentukan OH* radikal dalam konsentrasi terentu untuk pemurnian.
[Glaze,1987]
Molekul OH* radikal dapat berfungsi sebagai super-oksidan yang mampu
mengoksidasi berbagai zat. Akan tetapi, molekul OH* radikal bersifat tidak stabil dan
memiliki massa aktif yang singkat. Sehingga, diperlukan pembentukan molekul OH*
radikal secara berkelanjutan. (MUNTER 2001)
Advance Oxidation Process atau yang disebut juga AOP (selanjutnya akan disebut
sebagai AOP) dapat dibagi menjadi AOP berbasis UV, AOP berbasis H2O2 dan AOP dengan
fotokatalisis. AOP Fotokatalisis merupakan AOP berbasi UV dengan menggunakan
semikonduktor. Berikut akan dibahas beberapa jenis AOP berbasiskan sinar UV
2.2.1. UV / H2O2
Pembentukan molekul OH* radikal dengan menggunakan hidrogen peroxida
(H2O2) memiliki kelebihan dibandingkan dengan menggunakan ozone (O3). Hal ini
didasarkan molekul OH* radikal dapat dibuat dengan cara yang lebih murah.(Kamboj
2009)
Mekanisme dalam sistem UV/H2O2 adalah:

H 2 O2 hv 2 OH

Sistem UV/H2O2 memiliki kekurangan jika digunakan pada larutan dengan


absorbansi yang tinggi, dimana pembentukan molekul OH* akan melambat. Hal ini
dikarenakan terjadinya persaingan antara larutan dengan hidrogen peroxida dalam
mendapatkan sinar radiasi.
2.2.2. UV/O3

20

Salah satu cara pembentukan molekul OH* radikal adalah dengan menggunakan
ozone (O3). Sistem UV/O3 digunakan dalam proses oksidasi senyawa organik dalam air.
Pelaksanaan sistem ini dilakukan dengan cara menembakkan sinar UV dengan panjang
gelombang 253.7 nm kedalam larutan berisis campuran O3. (Kamboj 2009)
Reaksi yang terjadi dalam sistem fotokatalis UV/O3 adalah sebagai berikut:
H 2 O2 +O3 hv 2 OH +O2

2OH H 2 O2
2.2.3. UV / Semikonduktor
AOP berbasiskan UV dengan semikonduktor dikenal juga sebagai fotokatalisis.
Fotokatalitik dalam bahasa inggris berasal dari dua kata, yaitu photo dan catalyst. Photo
dapat diartikan sebagai energi cahaya dan catalyst diartikan sebagai katalis. Oleh karena
itu, secara sederhana fotokatalisis dapat diartikan sebagai reaksi yang memanfaatkan energi
cahaya sebagai katalis. (Kondarides 2000)
Penggunaan semikonduktor sebagai fotokatalis telah banyak digunakan dalam
industri saat ini. Penggunaan semikonduktor didasarkan akan efisiensi dan biaya yang
diperlukan dalam penggunaan, serta memiliki band gap yang kecil dibaandingkan katalis
lain. Band gap adalah perbedaan energi antara valence band dan conduction band.
Fotokatalisis dapat terjadi jika semikonduktor mengabsorb energi sama dengan atau lebih
dari energi band gap.
Proses degradasi dengan fotokatalis memiliki mekanisme yang sama dengan
mekanisme pada proses katalis heterogen biasa. Secara sederhana, mekanisme katalis
heterogen dapat dituliskan sebgai berikut:
a. Pergerakan reaktan menuju katalis
b. Adsorpsi reaktan kedalam katalis
c. Reaksi di fotokatalis
d. Desorpsi produk
e. Pelepasan produk dari permukaan katalis(Hill 1977)
Selain proses yang telah disebutkan diatas, perlu diperhatikan pula adanya proses
absorpsi cahaya oleh katalis. Setiap fotokatalis memiliki kemampuan yang berbeda-beda
dalam mengabsorb energi cahaya.
Skema proses fotoakatalisis ditampilkan dalam gambar 2.1 sebagai berikut

21

Gambar 2.1 Proses fotokatalisis(Herrmann 1999)

Reaksi di dalam fotokatalis dimulai dengan pelepasan elektron pada valence band.
Elektron terlepas / tereksitasi diakibatkan oleh energi yang didapatkan dari sinar photon
(seringkali digunakan sinar UV). Energi yang dibutuhkan untuk melepaskan elektron
setidaknya senilai dengan energi band-gap. Elektron dari valence band akan berpindah
menuju conduction band, sehingga pada valence band tercipta sebuah lubang. (Tarr 2003)
Pada lubang valence band terjadi adsorpsi reaktan dan reaksi oksidasi. Sedangkan
pada conduction band terjadi adsorpsi reaktan dan reaksi reduksi. Hasil reaksi redoks akan
memberikan donor elektron kepada valence band dan mengambil elektron dari conduction
band, sehingga katalis kembali pada keadaan awal. Proses ini terus berlangsung dalam
katalis, sehingga tidak ada elektron yang menghilang selama proses fotokatalitik
berlangsung. (Tarr 2003)
Proses reduksi dan oksidasi yang dapat terjadi pada sistem UV/semikonduktor
adalah :
1. Oksidasi molekul air dan ion hidroksil yang teradsorb oleh valence band untuk
menghasilkan hidroksil radikal:
OH
++OH
h
+
++ H 2 O OH + H
h

22

2. Reduksi oksigen yang akan menghasilkan H2O2 melalui serangkaian reaksi redoks
oleh valnce band :

O 2

O 2 +e
+ HO 2
+ H
O 2
HO2 + HO 2 H 2 O2+O2
+O2
+ HO2 HO 2
O 2
+ H 2 O2
+ H
HO2
3. Pemecahan kembali hidrogen peroxida untuk menghasilkan hidroksil radikal:
2OH +O2
H 2 O2+O2

2OH

H 2 O 2 +e
4. Partisipasi langsung lubang-lubang dalam reaksi oksidasi ataupun reduksi
Contoh:
3+

Cr
6++ 3 e
Cr
(Kamboj 2009)
Pada proses fotokatalis reduksi Cr6+ terjadi secara langsung pada lubang-lubang
conduction band sedangkan reaksi oksidasi terjadi dengan bantuan OH* radikal hasil
valence band.. Seluruh mekanisme ini tidak dapat terlepas dari energy cahaya yang
menjadi sumber energi reaksi.
2.3 Sinar UV
Foitokalais tidak dapat terlepas dengan penggunaan sinar UV sebagai sumber
energi. Sinar UV merupakan sinar elektromagnetik yang berada pada panjang gelombang
100nm-400nm. Berdasarkan panjang gelombangnya, sinar UV dapat dibagi menjadi
beberapa macam, yaitu sinar UV-A, sinar UV-B, dan sinar UV-C.

UV A : 400-315 nm, 3.10-3.94 eV energi per foton

UV B : 315-280 nm, 3.94-4.43 eV energi per foton

23

UV C : 280-100 nm, 4.43-12.4 eV energi per foton


Katalis TiO2 membutuhkan setidaknya panjang gelombang sebesar 384 nm untuk

melakukan fotokatalitik. (Kamboj 2009)


2.4 Pemilihan Semikonduktor
Setiap semikonduktor memiliki karakteristik masing-masing, dimana pada
masing-masing katalis semikonduktor memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam
mengabsorop energi cahaya dan energy band gap.
Oleh karena itu, semikonduktor yang dipakai sebagai katalis dalam fotokatalitik
dipilih berdasarkan elektron penerima dan pendonor yang akan terlibat dalam reaksi.
Potensial redoks donor harus lebih negatif dari valence band semikonduktor, sementara
penerima elektron harus lebih positif dari conduction band semikonduktor (Wiratama
2011). Nilai band edge energy untuk beberapa semikonduktor dapat dilihat pada Gambar
2.2

Gambar 2.2 Energi band gap dari berbagai semikonduktor (Dozzi 2011)
TiO2 merupakan semikonduktor yang paling sering digunakan. Hal ini didasarkan
pada sifat TiO2 yang memiliki stabilitas thermal, inert, tidak beracun, mudah didapat, dan
relatif murah.

2.5 Katalis TiO2

24

Sebelum penggunaanya sebagai katalis, Titanium dioxide atau TiO2 merupakan


senyawa yang banyak digunakan dalam pigmen industri cat, kertas, karet, plastik, serta
kosmetik. Barulah pada tahun 1938, TiO2 diketahui mampu berperan dalam mendegradsi
senyawa, sehingga diteliti lebih lanjut. (Hashimoto, Irie et al. 2005)Katalis TiO 2 pada
dasarnya dipisahkan menjadi beberapa jenis berdasarkan struktur kristalinya.
Secara stukutur kristalin, TiO2 dapat dipisahkan menjadi anatase, rutile, dan
brookite. Ketiga struktur molekul ini memiliki energi band gap diatas 3eV, yaitu rutile
sekitar 3eV, anatase sekitar 3.4eV, dan brookite sekitar 3.3eV. Berbeda dengan anatase dan
rutile yang telah dimanfaatkan luas dalam industri, brookite tidak banyak digunakan. Hal
ini dikarenakan, struktur brookite sulit diperoleh dan tahap persiapannya yang lebih
kompleks dibanding struktur anatase dan rutile.(Landmann, Rauls et al. 2012)

Gambar 2.3 Struktur Kristal Anatase dan Rutile TiO2(Dozzi 2011)


2.6 Doping TiO2
Doping dan modifikasi TiO2 dilakukan dengan tujuan menghilangkan / mengurangi
permasalahan yang terjadi dalam pengaplikasiannya. Masalah yang terjadi adalah sebagai
berikut:
TiO2 beroperasi pada sinar UV sehingga sinar matahari yang dapat digunakan dalam
proses fotokatalitik sangat kecil (5%)

25

Rekombinasi photogenerated electron-hole yang cepat.


Penggunaa slurries dapat membatasi aplikasi industri fotokatalis. Hal ini dikarenakan
pemisahan semikonduktor setelah reaksi menjadi sulit dan mahal(Dozzi 2011)
Metode doping maupun modifikasi dari TiO2 yang telah dikembangkan hingga saat

ini dapat mengatasi permasalahan pada poin pertama dan kedua. Hal ini akan sangat
membantu aplikasi dari semikonduktor TiO2.
Doping dan modifikasi TiO2 dapat dilakukan dengan 3 metode doping yaitu:
Doping dengan menggunakan logam, seperti Cr, V, W, Mo, Ru, Cu
Doping dengan menggunakan ion non-logam, seperti N, S, C, P
Doping dengan menggunakan molekul photosensinitizer, seperti Poly(florene-cothiphene) , ertyhrosin B, thionine. (Zaleska 2008)
2.6.1.
Doping TiO2 dengan ion logam
Pada doping TiO2 dengan ion logam, rekombinasi elektron dan kecepatan transfer
elektron secara signifikan dapat dikendalikan. Pengaruh terhadap laju rekasi fotokatalisis
berbeda-beda pada setiap kasus. Hal ini disebabkan rekasi fotokatalisis pada TiO 2 dengan
doping ion logam dipengaruhi oleh:
Konsentrasi doping
Karaktersistik energi level doping terhadap TiO2
Intensitas cahaya(Zaleska 2008)
Pada doping TiO2 dengan ion logam, rekombinasi elektron dapat dikendalikan
dengan mengendalikan elektron yang telah tereksitasi di conduction band. Elektron pada
conduction band ditangkap oleh ion logam, sehingga mencegah rekombinasi elektron.
Elektron yang terdapat pada ion logam kemudian ditangkap oleh aseptor. (Dozzi 2011)
Mekanisme rekasi TiO2 dengan doping ion logam ditunjukkan pada gambar 2.5

Gambar 2.4 Mekanisme doping menggunakan ion-logam (Dozzi 2011)


2.6.2.

Doping TiO2 dengan ion non logam

26

Doping TiO2 dengan ion non-logam memberikan kelebihan dalam penggunaan


rentang panjang gelombang foton yang dapat digunakan dalam fotokatalisis. Dalam hal ini,
reaksi fotokatalisis menjadi dimungkinkan berlangsung pada rentang panjang gelombang
cahaya tampak.
Doping TiO2 dengan ion non-logam yang banyak digunakan adalah N-TiO 2. Katalis
N-TiO2 dapat berlangsung pada cahaya tampak. Hal ini didasarkan bahwa band gap NTiO2 lebih kecil dibandingkan pada band gap TiO2. Sehingga N-TiO2 dapat mengabsorpsi
cahaya tampak. Akan tetapi, N-TiO2 dapat membentuk isolated impurity energy levels pada
valence band. Elektron pada impurity energy levels hanya dapat tereksitasi pada sinar UV.
(Zaleska 2008)
2.6.3.
Doping TiO2 dengan photosensinitizer
Photosensinitizer adalah molekul yang mengubah bentuk kimia molekul lain pada
proses photochemical. Pada umumnya photosensinitizer yang digunakan adalah berupa
organic dyes, dimana organic dyes memiliki absorpsi yang tinggi pada rentang cahaya
tampak dan dapat memberikan elekron kepada conduction band TiO2. Hal in akan
mempercepat reaksi oleh TiO2 dan memberikan peluang untuk TiO2 bekerja pada rentang
cahaya tampak.(Qiu, Zhanga et al. 2012)

Gambar 2.5 Mekanisme doping menggunakan photosensinitizer (Dozzi 2011)


Perlu diperhatikan bahwa berbeda dengan reaksi fotokatalis dengan sinar UV,
reaksi pada doping TiO2 dengan photosensinitizer tidak membentuk hole pada valence
band. Sedangkan pada conduction band semikonduktor, terdapat elektron yang berasal dari
photosensinitizer.(Dozzi 2011)
Selain dye sensitization, polymer sensisitization sering kali dipilih dalam doping
TiO2. Polimer yang digunakan biasanya berupa conjugated polimer Poly(florene-cothiphene).

27

Terlepas dari kekurangan yang dimiliki TiO 2 dan cara-cara menangani


kelemahannya, dalam penerapan reaksi degradasi dengan katalis TiO2 perlu diperhatikan
variabel-variabel yang dapat mempengaruhi kerja katalis. Variabel yang dimaksudkan
diantaranya adalah pH, catalyst loading, waktu irradiasi, dan temperatur reaski
2.7 Variabel yang mempengaruhi laju reaksi dengan katalis TiO2
2.7.1 pH
Pengaruh pH pada laju reaksi dengan katalis TiO2 berkaitan erat dengan perubahan
muatan pada permukaan katalis. Pada suasana asam, pH dibawah 6, katalis TiO 2 akan
bermuatan positif. Sedangkan pada suasana basa, pH tinggi, katalis TiO2 akan bermuatan
positif. Hal ini didasarkan atas point of zero charge katalis TiO2 yang berada antara rentang
pH 6.0 sampai dengan 6.4. (Akpan and Hameed 2009)
Perubahan muatan yang terjadi pada permukaan katalis akan menyebabkan adanya
gaya antar muatan antara permukaan katalis dengan senyawa. Dengan demikian pengaruh
perubahan pH terhadap laju reaksi ditentukan oleh senyawa yang akan didegradasikan.
2.7.2 Catalyst loading
Catalyst loading atau penggunaan konsentrasi katalis dapat mempengaruhi laju
reaksi degradasi. Pada dasarnya perubahaan laju reaksi degradasi berbading lurus dengan
kenaikan catalyst loading. Pada catalyst loading yang tinggi sisi aktif katalis berjumlah
besar, sehingga senyawa yang teradsorpsi dan bereaksi akan lebih banyak. Akan tetapi
pada catalyst loading yang terlampau tinggi akan menyebabkan adsorpsi senyawa dan
absorpsi cahaya menjadi terganggu. Pada catalyst loading yang tinggi dapat menyebabkan
terjadinya dispersi cahaya serta penggumpalan yang akan menutupi pusat aktif katalis.
(Akpan and Hameed 2009)
2.8 Fotoreaktor
Dalam pemanfaatan dan aplikasi pengolahan limbah Cr 6+ dengan fotokatalis, perlu
dipertimbangkan jenis reaktor yang digunakan. Secara umum, reaktor untuk katalis
heterogen dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
1. reaktor dengan katalis tidak bergerak relatif terhadap satu sama lain (fixed-bed
reactor, trickle-bed reactor, dan moving-bed reactor) dan
2. reaktor dengan katalis tersuspensi pada fluida dan secara konstan bergerak dengan
fluida (fluidizied-bed reactor dan sllury reactor).
(Hill 1977)

28

Tabel 2.1 Perbandingan Reaktor Tersuspensi dan Reaktor Unggun Tetap(de Lasa,
Serrano et al. 2005)
Keuntungan :
Reaktor Tersuspensi

Distribusi katalis yang seragam

Luas permukaan fotokatalisis

yang lebih besar


Efek fouling yang minimum

Kerugian :

Memerlukan pemisahan

katalis sesudah reaksi


Dapat terjadi light
scattering

karena dapat dilakukan

penggantian katalis
Pencamputan yang lebih

sempurna
Pressure drop yang kecil

Reaktor Unggun

Operasi berlangsung kontinu

Tetap

rendah
Tidak diperlukan proses pemisahan Keterbatasan pengolahan
katalis lagi

Efisiensi pencahayaan

karena keterbatasan
perpindahan massa
Terdapat kemungkinan
deaktivasi katalis dan
katalis yang terbuang

Pada reaktor dengan katalis tidak bergerak, dibuat unggun katalis. Unggun katalis
dapat memberikan hilang tekan yang tinggi, akan tetapi jenis reaktor ini dapat memberikan
residence time yang baik. Secara sederhana, terdapat kelebihan dan kekurangan pada
masing-masing jenis reaktor. Pada sluury reaktor, efisisensi katalis berjalan dengan baik
dan terjadi secara batch.
Reaktor yang termasuk kedalam sllury reactor diantaranya adalah bubble column
reactor, sllury batch reactor, dan fischer tropsch reactor. Pada proses redusi Cr6+ dengan
fotokatalis TiO2 dapat digunakan bubble column reactor.
Bubble column reactor memberikan beberapa kelebihan, seperti laju perpindahan
massa dan panas yang tinggi, serta biaya perawatan dan operasi yang murah (Kantarcia,
Borakb et al. 2004). Selain itu adanya bubble dapat membantu agar kontak terjadi secara
dinamis sehingga meminimalkan hambatan pada permukaan katalis (Paramita and Marsha
2011)

29

Gambar 2.7 Bubble column Reactor(Shaikh 2007)


2.9 Model Kinetika
Kinetika reaksi merupakan salah satu hal penting dalam perancangan desain reaktor
dalam industri. Pembuatan model kinetika menjadi penting dalam menentukan parameter
kinetika yang terjadi dalam reaksi. Melalui parameter kinetika dapat diperoleh:
a. Pengetahuan akan orde reaksi sehingga diketahui mekanisme yang tepat dalam
mengoptimalkan reaksi dengan katalis
b. Desain reaktor, mencakup bentuk dan ukuran katalis yang digunakan
Pada penurunan model kinetika berikut, akan dilakukan penurunan terhadap reaksi
yang terjadi sebagai berikut:

Laju adsropsi
kA

TiO2 +Cr O42 TiO2Cr O 42

kA

Laju reaksi degradasi


ki

3+ +4 H 2 O

Cr O42 +7 H

Laju reaksi degradasi dapat disederhanakan lebih lanjut dengan memasukkan


konsentrasi H+ dan H2O berturut-turut kedalam konstanta ki dan k-i, sehingga dapat
diperoleh konstanta baru berupa k1 dan k2. Rumus reaksi dapat ditulis ulang menjadi

30

3+
k1
2

TiO 2Cr O 4

k2

Ti O 2Cr

Laju desorpsi
kP

3+
TiO2Cr O2+Cr

k P

2.9.1. Model Langmuir-Hinshelwood


Model Langmuir-Hinshelswood didasarkan atas penggabungan persamaan laju
reaksi dengan persamaan adsorpsi Langmuir. Pada mekanisme Langmuir-Hinshelwood
kedua senyawa yang bereaksi diasumsikan teradsopsi pada pusat aktif permukaan katalis
yang berbeda. Hal ini diikuti dengan reaksi yang terjadi antara kedua senyawa yang
berdekatan. Reaksi yang digunakan dapat dituliskan ulang menjekanisme reaksi LangmuirHinshelwood unimolecular dapat dituliskan sebagai berikut :
A+S

kA

k A

AS

k1

AS PS

k2

PS
A dan B
AS
P
PS

kP

k P

P+S

: Reaktan
: Reaktan A yang terikat pada katalis
: Produk
: Produk yang terikat pada katalis

Proses yang terjadi pada mekanisme Langmuir-Hinshelwood digambarkan pada gambar


2.8

Gambar 2.8 Proses Mekanisme Langmuir-Hinshelwood(Hagen 2006)

31

Laju rekasi mekanisme Langmuir-Hinshelwood secara keseluruhan dapat dituliskan secara


sederhana sebagai:
a. Jika reaksi permukaan berjalan lambat dibandingkan laju adsorpsi dan laju desorpsi
r=k 1 Ak 2 P
(2.1)
1=A +P +V
(2.2)
k
A = A C A V =K A C A V
(2.3)
k A
k
(2.4)
P= P C P V =K P C P V
P
Dengan mensubtitusi persamaan 2.3 dan 2.4 kedalam persamaan 2.2 dapat diperoleh
persamaan baru

1
(2.5)
1+ K A C A + K P C P
Selanjutnya persamaan 2.5 dapat dimasukkan kedalam persamaan 2.3 sehingga diperoleh
K A C A
A =
(2.6)
1+ K A C A + K P C P
Dengan mensubtitusi persamaan (2.6) ke dalam persamaan (2.1) diperoleh
k K A C A k 2 K P C P
r= 1
(2.7)
1+ K A C A + K P C P
r
: laju reaksi [mol/(L s)]
A
: fraksi permukaan aktif yang diikat oleh A
P
: fraksi permukaan aktif yang diikat oleh P
V
: fraksi permukaan aktif yang tidak terikat
CA
: konsentrasi molar A [mol/L]
CP
: konsentrasi molar P [mol/L]
k1
: konstanta reaksi permukaan kearah produk
k2
: konstanta reaksi permukaan kearah reaktan
KA
: konstanta kesetimbangan adsorpsi
KP
: konstanta kesetimbangan desorpsi
V =

b. Laju adsorpsi A berjalan lambat (Adsorpsi A sebagai determining step) dibandingkan


laju reaksi permukaan dan laju desropsi P:
r=k A C A V
(2.8)
1=A +P +V
(2.9)
A 0
(2.10)
P=K P C P V
(2.11)
Dengan mensubtitusi persamaan 2.10 dan 2.11 kedalam persamaan 2.8 dapat diperoleh
persamaan baru
V =

1+ K P C P
Dengan mensubtitusi persamaan (2.12) ke dalam persamaan (2.8) diperoleh
k CA
r= A
1+ K P C P

(2.12)

(2.13)

32

c. Laju desorpsi P berjalan lambat (Desorpsi P sebagai determining step) dibandingkan


laju reaksi permukaan dan laju adsropsi:
r=k des P
P 1
Dengan mensubtitusi persamaan (2.15) ke dalam persamaan (2.14) diperoleh
r=k P

(2.14)
(2.15)
(2.16)

Mekanisme Langmuir-Hinslewood telah teruji berlaku pada: (Hagen 2006)


1. Oksidasi CO dengan bantuan katalis Pt
2. Sintesis Methanol dengan bantuan katalis ZnO
3. Hidrogenasi etilen dengan bantuan katalis Cu
Pada umumnya, jika reaksi dapat mengikuti model Langmuir-Hinshelwood dan
model Elley-Rideal, model Langmuir-Hinshelwood lebih dipilih dikarenakan jangka waktu
yang pendek pada kolisi permukaan gas (Davis and Davis 2003).
2.9.2 Mekanisme Langmuir-Hinshelwood-Hougen-Watson
Mekanisme Langmuir-Hinshelwood-Hougen-Watson atau yang dikenal juga
sebagai mekanisme LHHW merupakan penggabungan teori mekanisme LangmuirHinshelswood dan mekanisme Hougen-Watson. (Froment and Bischoff 1979)
Mekanisme LHHW adalah sebgai berikut:
A + S AS
AS PS
PS P
A
: Reaktan
AS
: Reaktan A yang terikat pada katalis
P
: Produk
PS
: Produk yang terikat pada katalis
Laju reaksi pada mekanisme LHHW secara sederhana dapat dinyatakan
C A C P
K
r=
1+ K sp
1+ K sp
1
1
1
1
1
+ +
+
+
K A C A +
+
K P C P
K A k sp k A K k P
K A k sp K k P
K A k sp K sp k A

)(

(2.17)
K=
CA
CP
Ksp
ksp
KA
KP
kP

K A K sp
KP
: konsentrasi molar A [mol/L]
: konsentrasi molar P [mol/L]
: konstanta kesetimbangan reaksi
: konstanta laju reaki
: konstanta kesetimbangan adsorpsi
: konstanta kesetimbangan desorpsi
: konstanta laju desorpsi

33

2.9.4. Mekanisme Pseudo-homogen


Pseudo dalam bahasa indonesia diartikan sebagai semu. Karena itu mekanisme
pseudo-homogen dapat dipahami sebagai mekanisme yang mengasumsikan mengikuti
reaksi homogen. (Froment and Bischoff 1979)
Persamaan pseudo-homogen dapat dituliskan sebagai berikut:
Cj
+ ( C j u ) + J j=r j
t
Cj

: Konsentrasi molar senyawa j (kmol/m3)

rj

: laju reaksi total

: kecepatan molekul

Jj

: molar flux dari senyawa j terhadap kecepatan rata-rata massa larutan

(2.18)

Model mekanisme pseudo homogen dapat dibedakan menjadi one-dimensional


pseudo homogen dan two-dimensional pseudo homogen. One-dimensional model hanya
memperhitungkan axial mixing, sedangkan two-dimensional model memperhitungkan
axial mixing dan radial mixing.
Pada one-dimensional model dinyatakan bahwa gradien konsentrasi dan temperatur
hanya berada pada arah axial. Mekanisme perpindahan yang terjadi pada arah ini hanya
aliran over-all (Froment and Bischoff 1979). Dengan demikian nilai J j dan ( Cj u)
diabaikan pada one-dimensional model, sehingga pada one-dimensional model persamaan
(2.55) dapat dituliskan menjadi:
Cj
=r j
t

(2.19)

Nilai rj dapat diperoleh dengan mengguanakan model pseudo orde-n, atau dapat
dituliskan sebagai berikut
r j =k C j

2.10. Persamaan model kinetik reaktor heterogen

(2.20)

34

Persamaan model kinetik reaktor mengikuti jenis reaktor yang digunakan. Pada
reaksi fotokatalisis digunakan reaktor terfluidakan, sehingga dalam hal ini akan dibahas
mengenai persamaan model kinetik reaktor terfluidakan. Model reaktor terfluidakan dapat
dianalogikan dalam model dua fasa, yaitu fasa bubble dan fasa emulsi.
Fasa bubble
f bub

CA
k I ( C AbC Ae ) +r A e f b=0
z

(2.21)

Fasa emulsi
2

f e ue

CA
C Ae
k I ( C AbC Ae ) f e De
+r A e ( 1f b ) =0
2
z
z

fe

: fraksi volume yang ditempati oleh fasa emulsi

fb

: fraksi volume yang ditempati oleh fasa bubble

ue

: kecepatan pada fasa emulsi

De

: difusi efektif pada fasa emulsi

kI

: koefisien interchange [m3/(m3 total volume) hr]

CAb

: konsentrasi senyawa A pada fasa bubble [mol A pada fasa bubble / L]

CAe

: konsentrasi senyawa A pada fasa emulsi [mol A pada fasa emulsi / L]

: densitas pada fasa emulsi [kg/m3]

: jarak [m]

(2.22)

Pada model kinetika yang akan diujikan digunakan beberapa asumsi yang akan
digunakan. Asumsi pertama adalah bahwa tidak terdapat konsentrasi katalis maupun
senyawa yang ikut dalam fasa bubble. Dengan demikian persamaan 2.21 dapat diabaikan.
Selain itu, jika terdapat konsentrasi pada fasa bubble, maka C Ab, dan fraksi volume yang
ditempati fasa bubble bernilai sama dengan nol. Maka rumus setelah asusmsi pertama
digunakan menjadi:

35

CA
C Ae
ue
D e
=0
2
z
z

(2.23)

Asumsi kedua adalah bahwa tidak ada halangan pada difusifitas senyawa menuju
permukaan aktif katalis, atau dengan kata lain De bernilai sama dengan satu. Asumsi ketiga
adalah katalis terdispersi secara sempurna, sehingga tidak ada gradient konsentrasi pada
reaktor, dan perubahan konsentrasi hanya terjadi terhadap waktu. Dengan demikian
persamaan 2.23 dapat dituliskan menjadi
r=

CA
=0
t

(2.24)

2.11. Analisa perhitungan


Perhitungan pencarian parameter model kinetika reaksi dapat dilakukan dengan
metode sebagai berikut
2.11.1. Runge Kutta
Metode Runge Kutta memiliki tingkat ketelitian sebanding dengan pendekatan seri
Taylor tanpa perlu menghitung derivative tinggi (Steven C. Chapra 2010). Persamaan
Runge Kutta Euler orde-n ditunjukkan dalam persamaan dibawah ini
y i+1= yi + a1 k 1 +a2 k 2++ an k n
k 1=f ( x i , y i )
k 2=f ( x i+ p 1 h , y i +q11 k 1 h )
k 3 =f ( x i+ p 2 h , y i +q 21 k 1 h+q 22 k 2 h )

k n =f ( x i + p n1 h , y i +q n1, 1 k 1 h+ qn1 ,2 k 2 h++q n1 ,n1 k n1 h )


Perhitungan Runge Kutta dapat dilakukan dalam berbagai orde. Pada Runge Kutta
orde-2 konstanta k berakhir pada k2, pada Runge Kutta orde-3 konstanta k berakhir pada k3
dan seterusnya.
2.11.2. Neldear-Mead simplex algoritma
Neldear-Mead simplex merupakan salah metode yang digunakan dalam
perhitungan unconstrained optimization. Metode ini banyak digunakan dalam applikasi
perangkat lunak komputasi. Unconstrained optimization sendiri bersifat tidak memiliki
batasan atau limitasi yang harus dipenuhi dalam perhitungan nilai minimum atau
maksimum dari suatu fungsi. Metode Neldear-Mead simplex mampu mencari nilai

36

minimum fungsi dengan menggunakan nilai fungsi tanpa menggunakan informasi


derivative.(LAGARIAS, REEDS et al. 1998)
Algoritma Neldear-Mead dapat dituliskan sebagai berikut
1. Asusmsikan terdapat nilai x1, , xn+1 untuk setiap kth iterasi
2. Urutkan nilai fungsi dari terendah f(x1) hingga tertinggi f(xn+1). Pada setiap iterasi,
buang nilai terburuk xn+1
3. Hitung reflected point dan f(r)
x
r=2 i x n +1
n

( )

4. Jika f(x1) f(r) < f(xn) terima r danhentikan iterasi


5. Jika f(r) < f(x1), hitung expansion point s dan f(s)
x
s=m+2( i xn +1)
n
a. Jika f(s) < f(r), terima s dan hentikan iterasi
b. Jika f(s) > f(r), terima r dan hentikan iterasi
6. Jika f(r) f(xn), lakukan kontraksi antara xi/n dengan xn+1 dan r
a.

Jika f(r) < f(xn+1) , hitung c dan f(c)


c=

xi
x
+(r i )/2
n
n

Jika f(c) < f(r) , terima c dan hentikan iterasi


b.

Jika f(r) f(xn+1) , hitung cc dan f(cc)


cc=

xi
x
+( xn +1 i )/2
n
n

Jika f(cc) < f(xn+1) , terima cc dan hentikan iterasi


7. Jika Jika f(c) f(r) atau f(cc) f(xn+1) , hitung n

v i=x 1 + ( x ix 1 ) /2
Hitung f(vi), i= 2,,n+1 sebagai simplex iterasi berikutnya

37

DAFTAR PUSTAKA

Akpan, U. G. and B. H. Hameed (2009). "Parameters affecting the


photocatalytic degradation of dyes using TiO2-based photocatalysts: A review."
Journal of Hazardous Materials 170(2009): 520-529.
Davis, M. E. and R. J. Davis (2003). Fundamentals of Chemical Reaction
Engineering. United State of America, Corier Corporation.
de Lasa, H., B. Serrano and M. Salaices (2005). Photocatalytic Reaction
Engineering, Springer US: 187.
Dozzi, M. V. (2011). Improving The Photocatalytic Activity of TiO2 for
Environmental Applications: Effect of Doping and of Surface. PhD in
CHEMISTRY, DEGLI STUDI DI MILANO.
Faisal, M. and S. Hasnain (2000). "Microbial conversion of Cr (VI) in to Cr (III) in
industrial effluent." African Journal of Biotechnology 3(11).
Froment , G. F. and K. B. Bischoff (1979). Chemical Reactor. Analysis and
Design. United States of America, John Wlley & Sons. Inc.
Hagen, J. (2006). Industrial Catalysis. A Practical Approach. German, WileyVCH.
Hashimoto, K., H. Irie and A. Fujushima (2005). "TiO2 Photocatalysis: A
Historical Overview and Future Pro." JAPANESE JOURNAL OF APPLIED PHYSICS
44(12).
Herrmann, J.-M. (1999). "Heterogeneous photocatalysis: fundamentals and
applications to the removal of various types of aqueous pollutants." Catalysis
Today 53: 115-129.
Hill, C. G. J. (1977). AN INTRODUCTION TO CHEMICAL ENGINEERING KINETICS &
REACTOR DESIGN. Canada, John Wiley & Sons, Inc.
Kamboj, M. l. (2009). Studies on The Degradation of industrial Waste Water
Using Heterogeneous Photocatalyisis. Master of Technology in Environmental
Science and Technology, Thapar University.
Kantarcia, N., F. Borakb and K. O. Ulgena (2004). "Review Bubble column
reactors." Process Biochemistry 40.
Kondarides, D. I. (2000). Photocatalysis, Departement of Chemical Engineering,
University of Patras, Grece.
LAGARIAS, J. C., J. A. REEDS, M. H. WRIGHT and P. E. WRIGHT (1998).
"CONVERGENCE PROPERTIES OF THE NELDERMEAD SIMPLEX METHOD IN LOW
DIMENSIONS." SIAM J. OPTIM 9(1): 112-147.
Landmann, M., E. Rauls and W. G. Schmidt (2012). "The electronic structure
and optical response of rutile, anatase and brookite TiO2." JOURNAL OF
PHYSICS: CONDENSEDMATTER 2012(24).
MUNTER, R. (2001). ADVANCED OXIDATION PROCESSES CURRENT STATUS
AND PROSPECTS. Proc. Estonian Acad. Sci. Chem. Estonia, Tallinn Technical
University. 2001: 59-80.
Paramita, E. and A. Marsha (2011). Kajian Pengolahan Limbah Logam Berat
Cr(VI) Industri Elektroplating Dengan Fotokatalisis UV/TiO 2. Sarjana Teknik,
Universitas Katolik Parhyangan Bandung.
Qiu, R., D. Zhanga, Zenghui Diao , Xiongfei Huanga, b. Chun Hea, Jean-Louis
Morel and Y. Xiong (2012). "Visible light induced photocatalytic reduction of
Cr(VI) over polymer-sensitized TiO2 and its synergism with phenol oxidation."
water research 46: 2299-2306.
Shaikh, A. (2007). Bubble and Slurry Bubble Column Reactors: Mixing, Flow
Regime Transition and

38

Scaleup. DOCTOR OF SCIENCE WASHINGTON UNIVERSITY


Slamet, R. Syakur and W. Danumulyo (2003). "Pengolahan Limbah Logam
Berat Chromium (VI) dengan Fotokatalis TiO2." MAKARA, TEKNOLOGI, 7(1).
Steven C. Chapra, R. P. C. (2010). Numerical Method for Engineering. United
State of America, McGraw-Hill Inc.
Tarr, M. A. (2003). Chemical Degradation Methods for Wastes and Pollutants.
Environmental and Industrial Applications. New Orleans, Louisiana, U.S.A.,
Marcel Dekker, Inc.
Wiratama, I. G. P. (2011). UJI DEAKTIVASI DAN PERANCANGAN SEPARATOR
KATALIS TiO2 DALAM SISTEM FOTOKATALISIS UV/TiO2 UNTUK MENGOLAH
LIMBAH CN- DAN Cd2+ INDUSTRI ELEKTROPLATING. Magister Teknik Kimia,
Universitas Katolik Parhyangan.
Zaleska, A. (2008). "Doped-TiO2: A Review." Recent Patents on Engineering 2:
57-164.

Anda mungkin juga menyukai