Akan tetapi berbeda dari Hobbes, dalam bukunya Two Treaties of Gobernment,
Lock menyatakan bahwa ciri-ciri manusia tidaklah ingin memenuhi hasrat
dengan power tanpa mengindahkan manusia lainnya. Menurut Locke, manusia
di dalam dirinya mempunyai akal yang mengajar prinsip bahwa karena menjadi
sama dan independen manusia tidak perlu melanggar dan merusak kehidupan
manusia lainnya. Oleh karena itu, kondisi alamiah menurut Locke sangat
berbeda dari kondisi alamiah menurut Hobbes.
Menurut Locke, dalam kondisi alamiah sudah terdapat pola-pola pengaturan
dan hukum alamiah yang teratur karena manusia mempunyai akal yang dapat
menentukan apa yang benar apa yang salah dalam pergaulan antara sesama.
Masalah ketidaktentraman dan ketidakamanan kemudian muncul, menurut
Locke, karena beberapa hal.
Pertama, apabila semua orang dipandu oleh akal murninya, maka tidak akan
terjadi masalah. Akan tetapi, yang terjadi, beberapa orang dipandu oleh akal
yang telah dibiarkan (terbias) oleh dorongan-dorongan kepentingan pribadi,
sehingga pola-pola pengaturan dan hukum alamiah menjadi kacau.
Kedua, pihak yang dirugikan tidak selalu dapat memberi sanksi kepada
pelanggar aturan dan hukum yang ada, karena pihak yang dirugikan itu tidak
mempunyai kekuatan cukup untuk memaksakan sanksi. Oleh karena kondisi
alamiah, karena ulah beberapa orang yang biasanya punya power, tidaklah
menjamin keamanan penuh, maka seperti halnya Hobbes, Locke juga
menjelaskan tentang upaya untuk lepas dari kondisi yang tidak aman penuh
menuju kondisi aman secara penuh.
Manusia menciptakan kondisi artifisial (buatan) dengan cara mengadakan
kontrak sosial. Masing-masing anggota masyarakat tidak menyerahkan
sepenuhnya semua hak-haknya, akan tetapi hanya sebagian saja. Antara pihak
(calon) pemegang pemerintahan dan masyarakat tidak hanya hubungan
kontraktual, akan tetapi juga hubungan saling kepercayaan (fiduciary trust).
Locke menegaskan bahwa ada tiga pihak dalam hubungan saling percaya itu,
yaitu yang menciptakan kepercayaan itu (the trustor), yang diberi kepercayaan
(the trustee), dan yang menarik manfaat dari pemberian kepercayaan itu (the
beneficiary). Antara trustor dan trustee terjadi kontrak yang menyebutkan
bahwa trustee harus patuh pada beneficiary, sedangkan antara trustee dan
beneficiary tidak terjadi kontrak samasekali. Trustee hanya menerima obligasi
dari beneficiary secara sepihak.
Dari pemahaman tentang hubungan saling percaya dan kontraktual itu tampak
bahwa pemegang pemerintahan atau yang diberi kepercayaan mempunyai hakhak dan kewenangan yang sangat terbatas, karena menurut Locke
masyarakatlah yang dapat bertindak sebagai trustor sekaligus beneficiary.
Dari uraian Locke, tampak nyata bahwa sumber kewenangan dan pemegang
kewenangan dalam teori Locke tetaplah masyarakat. Oleh karena itu kewajiban
dan kepatuhan politik masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung
selama pemerintah masih dipercaya. Apabila hubungan kepercayaan (fiduciary
trust) putus, pemerintah tidak mempunyai dasar untuk memaksakan
kewenangannya, karena hubungan kepercayaan maupun kontraktual sifatnya
adalah sepihak. Kesimpulan demikian ini tentu amat bertolak belakang dari
kesimpulan yang dihasilkan oleh Hobbes.
Titik balik dalam kehidupan Locke adalah perkenalannya dengan Pangeran
Shaftesbury. Dia jadi sekretarisnya dan menjadi dokter keluarga. Shaftesbury
seorang jurubicara penting bagi pikiran liberal sehingga walau sebentar pernah
dia dipenjara oleh Raja Charles II akibat kegiatan politiknya. Tahun 1682
Shaftesbury lari ke Negeri Belanda dan mati disana tahun berikutnya. Locke,
berkat hubungannya yang begitu akrab dengan mendiang, senantiasa diawasi
dan dibayang-bayangi, karena itu memaksanya juga lari ke Negeri Belanda
tahun 1683. Dia menetap di negeri itu sampai pengganti Raja Charles, Raja
James II digulingkan oleh sebuah revolusi yang berhasil Locke pulang ke
kampungnya tahun 1689 dan seterusnya menetap di Inggris. Tak pernah
sekalipun kawin, dan mati di tahun 1704.
Buku pertama yang membikin Locke masyhur adalah An Essay Concerning
Human Understanding (Esai tentang saling pengertian manusia), terbit tahun
1690. Di situ dipersoalkan asal-usul, hakikat, dan keterbatasan pengetahuan
Locke menyatakan bahwa pikiran bayi yang baru lahir seperti kertas
kosong yang di sebut tabula rasa, yang akan menerima tulisan pengetahuan
selama perjalanan hidup melalui pengalamannya.
2.
Filsafat ini secara epistimologis mengukuhkan aliran empirisme yang
melawan aliran pemikiran rasionalisme.
3.
Pandanganya mengarah pada esensialisme ilmiah, yaitu bahwa tanpa
pikiran yang mampu mempersepsikan sebuah kualitas subjektif, kualitas itu
tidak ada
Locke menyatakan bahwa pikiran bayi yang baru lahir seperti kertas kosong
yang disebut tabula rasa, yang akan menerima tulisan pengetahuan selama
perjalanan hidupnya melalui pengalamannya. Semua pengetahuan manusia
diturunkan dari ide yang disajikan pikirannya setelah melalui pengalaman yang
dialaminya. Ide dalam pikirannya itu memiliki dua tingkatan, yaitu tingkatan
yang sederhana dan tingkatan yang kompleks.
Tingkaan yang sederhana adalah pengetahuan yang langsung di dapatakan
dengan indra, seperti warna kuning, binatang, bintang, dan lain-lain. Dan
pengetahuan kompleks yaitu yang riil, misalnya konsep pengetahuan tentang
unicorn yang erupakan gabungan konsep kuda, konsep tanduk, dan konsep
angka satu.
Dia juga mengategorikan kualitas objek sebagai kualitas primer dan sekunder.
Kualitas primer merupakan sifat yang mendasar dan dapat melekat pada
semua objek, seperti padat, panjang, gerak, diam, dan lain-lain. Kualitas
sekunder merupakan hasil yang dapat dengan indra, seperti warna, bau, atau
rasa. Disebut sekunder karena kualitas itu tidak melekat pada benda, tetapi
muncul dari persepsi pikiran saat indra kita berinteraksi dengan suatu benda.
Cara lain untuk mengkategorikan kualitas primer dan kualitas sekunder adalah
dengan menyebut kualitas objektif pada kategori kualitas primer dan kualitas
subjektif pada kategorinkualitas sekunder. Kualitas objektif adalah kualitas
yang melekat pada objek sedangkan kualitas sekunder adalah kualitas hasil
persepsi pikiran kita.
Tabula Rasa
Tabula Rasa berasal dari bahasa Latin yang berarti dalam bahasa Inggris di
terjemahkan menjadi blank slate yang dalam bahasa Iindonesia artinya kertas
kosong dan sering jugaditerjemahkan menjadi kertas putih dengan konotasi
bahwa putih bukanlah jenis warna, tetapi kosong. Ide tabula rasa sudah ada
pada karya Aristoteles, De Anima atau tentang Jiwa. Aktualisasi intelektualitas
itulah sebagai bentuk ilmu pengetahuan yang diperoleh dari pengenalan
pembiasaan empiris dengan dengan objek di dunia ini, yang kemudian di olah
menjadi konsep melalui metode silogistik pemikiran. Tahapan ini oleh Ibnu Sina
juga dijelaskan dengan konsep perkembangan diri intelektual potensial menjadi
intelektual aktif
Filsafat tabula rasa tidak memberikan ruang bagi paham yang berpendapat
bahwa seseorang, dilahirkan dengan darah seniman, darah pengusaha, atau
darah pekerja, atau darah darah lain, dan menggambarkan bahwa manusia
sudah di takdirkan untuk menjalani profesi tertentu sejak lahir.
Filsafat ini memberi motivasi pada kita bahwa kita dapat menjadi apapun sesuai
dengan pilihan kita jika kita mau belajar. Lingkaungan memang memengaruhi
jenis pengetahuan yang kita peroleh, tetapi ketika kita sadar bahwa kita
memiliki kemampuan untuk memilih, kita juga memiliki kemampuan untuk
memilih, kita juga memiliki kemampuan untuk belajar merealisasikan pilihan
kita.
PENUTUP
Aristoteles mengatakan bahwa setiap awalan memang merupakan
pembatasan. Dengan menuntut transformasi tertentu dalam cara kita
memandang kenyataan. Filsafat Hermeneutika, merupakan salah satu aliran
dalam Post-modern, yang menghidupkan kembali (awal baru) terhadap klaim
berakhirnya filsafat. Melalui bahasa secara implisit-eksplisit, interlinguisticekstralinguistic yang menunjuk pada kondisi dasar antropologi manusia yang
bersifat tensive terhadap filsafat, rasionalitas dan kebenaran melaui metaforis,
retorika dan imajinasi.
Dengan analogi ulat dan kupu-kupu. Kupu-kupu memang berasal dari ulat
namun kupu-kupu bisa terbang sementara ulat tidak. Filsafat betapapun juga
memiliki kemampuan untuk menjelaskan kenyataan lebih daripada metafor.
Tetapi metafor dengan imaji-imaji bebasnya dapat menjadi sumber inspirasi tak
habis untuk berpikir lebih jauh lagi. Kenyataan bahwa bahkan dalam bahasanya
pun filsafat nyatanya sulit melepaskan diri dari metafor, hanyalah menunjukkan
bahwa dalam kenyataannya pencarian kejernihan konsep memang senantiasa
bersitegang dengan upaya untuk memelihara dinamika makna. Bahasa
memang bersifat tensive dalam tegangan antara pembatasan perspektif dan
keterbukaan, antara penggambaran dan penjelasan, antara ketepatan logis dan
resonansi efektif psikologis.
Filsafat dengan bahasanya yang tensive itu lalu memang jadi sulit untuk
diverifikasi maupun ditumbangkan secara tegas. Status ilmiahnya mau tak mau
adalah hipotesis saja yang juga berguna untuk memperluas dan
mengorganisasikan pemahaman kita tentang manusia, dunia dan kehidupan itu
sendiri.