Gambaran apus darah penderita anemia hemolitik ditandai dengan mikrosferosit (hiperkrom
mikrositer) dan bentuk eritrosit abnormal.
Pemeriksaan Lab
1. Gambaran penghancuran eritrosit yang meningkat:
- bilirubin serum meningkat
- urobilinogen urin meningkat, urin kuning pekat
- strekobilinogen feses meningkat, pigmen feses menghitam
2. Gambaran peningkatan produksi eritrosit
- retikulositosis, mikroskopis pewarnaan supravital
- hiperplasia eritropoesis sum-sum tulang
3. Gambaran rusaknya eritrosit:
- morfologi : mikrosferosit, anisopoikilositosis, burr cell, hipokrom mikrositer, target cell, sickle
cell, sferosit.
- fragilitas osmosis, otohemolisis
- umur eritrosit memendek. pemeriksaan terbaik dengan labeling crom. persentasi aktifikas crom
dapat dilihat dan sebanding dengan umur eritrosit. semakin cepat penurunan aktifikas Cr maka
semakin pendek umur eritrosit.
Klasifikasi anemia hemolitik.
Kategori anemia hemolitik :
A. Anemia hemolitik herediter / kelainan intrinsik.
B. Anemia hemolitik akuisita / kelainan ekstrinsik.
1. Defek membran :
a. Sferositosis herediter
Merupakan anemia hemolitik herediter diturunkan secara autosom dominan, paling
umum di Eropa Utara disebabkan cacat protein struktural dari membran sel darah merah /
defek membran. Sumsum tulang membuat sel darah merah normal yang bikonkaf tetapi
sel darah kehilangan membrannya saat beredar melalui limpa dan sistem RES. Ratio
permukaan sel terhadap volume berkurang dan sel menjadi lebih sferis sehingga kurang
elastic melalui mikrosirkulasi dimana sferosit pecah lebih dini.
Tes Khusus:
Fragilitas osmotik meningkat.
Autohemolitik meningkat.
Coombs direct test negatif.
Cr51 destruksi oleh limpa terbanyak.
Gambar:
1. Anemia hemolitik autoimun (AIHA) terjadi ketika terdapat autoantibodi yang berikatan
dengan eritrosit, sehingga menghancurkan sel darah merah dan berujung pada
manifestasi anemia. Anemia hemolitik autoimun menandakan adanya kegagalan dalam
mekanisme pengenalan antigen diri. Mekanisme spesifik dari AIHA sendiri belum jelas
sampai saat ini.1 Sindrom AIHA secara umum dibagi berdasarkan hubungan antara
aktivitas antibodi dan suhu. Antibodi tipe hangat yaitu molekul IgG mempunyai afinitas
maksimal pada eritrosit di suhu tubuh. Sedangkan antibodi tipe dingin yaitu molekul
IgM, mempunyai afinitas maksimal pada eritrosit di suhu rendah.
Insidens dari AIHA tipe hangat sekitar satu dari total 75-80.000 populasi di USA.
Anemia hemolitik autoimun tipe hangat dapat muncul pada usia berapapun, tidak seperti
AIHA tipe dingin yang seringkali menyerang usia pertengahan dan lanjut, atau
Paroxysmal Cold Hemoglobinuria (PCH) yang melibatkan usia kanak.2 Namun, di
Indonesia tidak ada data yang khusus membahas tentang prevalensi dan insiden kasus
AIHA secara nasional.
Anemia hemolitik autoimun (autoimmune hemolytic anemia/ AIHA) merupakan suatu
kelainan di mana terdapat antibodi terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit
memendek.
Epidemiologi
Insidens dari AIHA tipe hangat sekitar 1 dari total 75-80.000 populasi di USA. AIHA
tipe hangat dapat muncul pada usia berapapun, tidak seperti AIHA tipe dingin yang
seringkali menyerang usia pertengahan dan lanjut, atau Paroxysmal Cold
Hemoglobinuria (PCH) yang melibatkan usia kanak.2
Etiologi
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi karena
gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif
residual. Adapun klasifikasi dari penyebab anemia hemolitik autoimun sebagai berikut:
Patofisiologi
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivasi sistem
komplemen, aktivasi mekanisme selular, atau kombinasi keduanya
Aktivasi Sistem Komplemen
Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya membran
sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskular yang ditandai dengan hemoglobinemia
dan hemoglobinuria.
Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodiantibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2,
IgG3 disebut sebagai agglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini berikatan dengan antigen
polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di bawah suhu tubuh. Antibodi
IgG disebut agglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel eritrosit
pada suhu tubuh.
Klasifikasi
A. Anemia hemolitik tipe hangat
B. Anemia hemolitik tipe dingin
Splenektomi. Bila terapi steroid tidak adekuat atau tidak bisa dilakukan tapering dosis
selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan splenektomi. Splenektomi akan
menghilangkan tempat utama penghancuran sel darah merah. Hemolisis masih bisa terus
berlangsung setelah splenektomi, namun akan dibutuhkan jumlah sel eritrosit terikat
antibodi dalam jumlah yang jauh lebih besar untuk menimbulkan kerusakan eritrosit yang
sama. Remisi komplit pasca splenektomi mencapai 50-75%, namun tidak bersifat
permanen. Glukokortikoid dosis rendah masih sering digunakan setelah splenektomi.
Terapi transfusi. Terapi transfusi bukan merupakan kontraindikasi mutlak. Pada kondisi
yang mengancam jiwa (misal Hb < 3 g/dl) transfusi dapat diberikan, sambil menunggu
steroid dan immunoglobulin untuk berefek.
Gambaran klinis: Pasien mungkin menderita anemia hemolitik kronik yang diperburuk oleh
dingin dan seringkali disertai dengan hemolisis intravascular. Dapat terjadi ikterus ringan dan
splenomegali. Pasien dapat menderita akrosianosis di ujung hidung, telinga, jari-jari tangan dan
kaki yang disebabkan oleh aglutinasi eritrosit dalam pembuluh darah kecil. Hemolisis berjalan
kronik. Anemia biasanya ringan dengan Hb 9-12 g/dl.
Laboratorium: Anemia ringan, sferositosis, polikromatosia, tes Coombs langsung
memperlihatkan komplemen (C3d) saja pada permukaan eritrosit, eritrosit beraglutinasi dalam
suhu dingin.
Prognosis dan Survival: Pasien dengan sindrom kronik akan memiliki survival yang baik dan
cukup stabil.
Terapi: Menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolisis, prednisone dan splenektomi
tidak banyak membantu, klorambusil 2-4 mg/hari, plasmaferesis untuk mengurangi antibodi IgM
secara teoritis bisa mengurangi hemolisis, namun secara praktik hal ini sukar dilakukan.
2. Anemia Hemolitik Imun Diinduksi Obat
Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan hemolisis karena obat yaitu: hapten/penyerapan
obat yang melibatkan antibodi tergantung obat, pembentukan kompleks ternary (mekanisme
kompleks imun tipe innocent bystander), induksi autoantibodi yang bereaksi terhadap eritrosit
tanpa ada lagi obat pemicu, serta oksidasi hemoglobin. Penyerapan/absorbsi protein nonimunologis terkait obat akan menyebabkan tes coombs positif tanpa kerusakan eritrosit.
-
Pada mekanisme hapten/absorbsi obat, obat akan melapisi eritrosit dengan kuat. Antibodi
terhadap obat akan dibentuk dan bereaksi dengan obat pada permukaan eritrosit. Eritrosit
yang teropsonisasi oleh obat tersebut akan dirusak di limpa. Antibodi ini bila dipisahkan
dari eritrosit hanya bereaksi dengan reagen yang mengandung eritrosit berlapis obat yang
sama (misal penisilin).
Mekanisme pembentukan kompleks ternary melibatkan obat atau metabolit obat, tempat
ikatan obat permukaan sel target, antibodi, dan aktivasi komplemen. Antibodi melekat
pada neoantigen yang terdiri dari ikatan obat dan eritrosit. Ikatan obat dan sel target
tersebut lemah, dan antibodi akan membuat stabil dengan melekat pada obat ataupun
membrane eritrosit. Beberapa antibodi itu memiliki spesifisitas terhadap antigen
golongan darah tertentu. Pemeriksaan coombs biasanya positif. Setelah aktivasi
komplemen terjadi hemolisis intravaskular, hemoglobinemia, dan hemoglobinuria.
Mekanisme ini terjadi pada hemolisis akibat obat kinin, kuinidin, sulfonamide,
sulfonylurea, dan tiazid.
Sel darah merah bisa mengalami trauma oksidatif. Oleh karena hemoglobin mengikat
oksigen maka bisa mengalami oksidasi dan mengalami kerusakan akibat zat oksidatif.
Eritrosit yang tua makin mudah mengalami trauma oksidatif. Tanda hemolisis karena
proses oksidasi adalah dengan ditemukannya methemoglobin, sulfhemoglobin, dan Heinz
bodies, blister cell, bites cell dan eccentrocytes. Contoh obat yang menyebabkan
hemolisis oksidatif ini adalah nitrofurantoin, phenazopyridin, aminosalicylic acid. Pasien
yang mendapat terapi sefalosporin biasanya tes coombs positif karena absorbsi nonimunologis, immunoglobulin, komplemen, albumin, fibrinogen, dan plasma protein lain
pada membran eritrosit.
Gambaran klinis: Adanya riwayat pemakaian obat tertentu. Pasien yang timbul hemolisis
melalui mekanisme hapten atau autoantibodi biasanya bermanifestasi sebagai hemolisis ringan
sampai sedang. Bila kompleks ternary yang berperan maka hemolisis akan terjadi secara berat,
mendadak, dan disertai gagal ginjal. Bila pasien sudah pernah terpapar obat tersebut, maka
hemolisis sudah dapat terjadi pada pemajanan dengan dosis tunggal.
Laboratorium: Anemia, retikulositosis, MCV tinggi, tes coombs positif, leukopenia,
trombositopenia, hemoglobinemia, hemoglobinuria sering terjadi pada hemolisis yang
diperantarai kompleks ternary.
Terapi: dengan menghentikan pemakaian obat yang menjadi pemicu, hemolisis dapat dikurangi.
Kortikosteroid dan tranfusi darah dapat diberikan pada kondisi berat.
3. Anemia Hemolitik Aloimun karena Transfusi
Hemolisis aloimun yang paling berat adalah reaksi transfusi akut yang disebabkan karena
ketidaksesuaian ABO eritrosit (sebagai contoh transfusi PRC golongan A pada pasien golongan
darah O yang memiliki antibodi IgM anti-A pada serum) yang akan memicu aktivasi komplemen
dan terjadi hemolisis intravaskular yang akan menimbulkan DIC dan infark ginjal. Dalam
beberapa menit pasien akan sesak nafas, demam, nyeri pinggang, menggigil, mual, muntah, dan
syok. Reaksi transfusi tipe lambat terjadi 3-10 hari setelah transfusi, biasanya disebabkan karena
adanya antibodi dalam kadar rendah terhadap antigen minor eritrosit. Setelah terpapar dengan
sel-sel antigenik, antibodi tersebut meningkat pesat kadarnya dan menyebabkan hemolisis
ekstravaskular.