Anda di halaman 1dari 3

Asbabun Nuzul Ketakutan yang dialami Rasulullah adalah sesuatu yang alamiah, tidak

merusak kemuliaan beliau sebagai manusia pilihan Allah. Ini adalah


Dalam ash-Shahihain dan sirah nabawiyah diceritakan bahwa dalam masa ketakutan seorang manusia biasa yang untuk kedua kalinya menyaksikan
fatrah wahyu, Rasulullah berada dalam kebimbangan dan bertanya-tanya makhluk yang sangat luar biasa (malaikat Jibril). Peristiwa dan reaksi
tentang peristiwa dahsyat yang dialaminya di Gua Hira'. Beliau sendiri serupa juga ditunjukkan oleh Musa 'alaihis salam, ketika untuk pertama
masih sering mendatangi gua tersebut dan melanjutkan kebiasaan kalinya diperintahkan oleh Allah melemparkan tongkatnya. Saat tongkat
tahannuts-nya. kayu yang telah bertahun-tahun beliau pakai itu berubah menjadi ular yang
gesit, spontan beliau lari dengan tanpa menoleh (QS al-Qashash [28] : 31).
Hingga, suatu saat, beliau berjalan di suatu tanah kosong di depan gua
tersebut, dan sebuah suara memanggilnya. Beliau menengok ke kiri, Kata qum berakar dari qawama atau qaama, yang artinya melaksanakan
mencari-cari siapa pemilik suara itu, namun tidak ada siapa pun. Beliau sesuatu secara sempurna. Perintah shalat di dalam al-Qur'an selalu
menengok ke kanan, dan kembali tidak ada siapapun yang terlihat disana. dinyatakan dengan derivasi (bentuk turunan) dari kata dasar ini. Dalam al-
Suara yang memanggil nama beliau bergema kembali, dan kali ini beliau Qur'an, seorang laki-laki (suami) disebut sebagai qawwam bagi para wanita
menengadahkan wajahnya ke langit. Seketika itu juga beliau jatuh berlutut, (istri), yang maknanya adalah kewajiban untuk menegakkan urusan rumah
sangat terkejut, sehingga tubuhnya sampai ambruk ke tanah. Di lihatnya tangganya secara sempurna, dalam segala aspeknya (QS an-Nisa' [03] : 34).
malaikat yang pernah mendatanginya di Gua Hira' tengah duduk di kursi, di Dalam ayat 2 surah al-Muddatsir ini, Rasulullah diperintahkan untuk
antara langit dan bumi. bangkit memberi peringatan (indzar) secara sempurna, sebaik-baiknya.
Makna dasar kata qum tersebut sudah cukup menjelaskan apa isi kandungan
Dalam ketakutan yang sangat beliau bergegas kembali ke rumah. Badan perintahnya.
beliau menggigil, panas dingin, seperti lazimnya seseorang yang
menyaksikan sebuah peristiwa dahsyat yang mengguncang jiwa. Beliau Memberi peringatan (indzar), dalam penggunaan ayat-ayat al-Qur'an,
meminta diselimuti dan disiram dengan air dingin. Saat itulah Allah biasanya dikaitkan dengan kedahsyatan peristiwa akhirat, khususnya
mewahyukan, "ya ayyuhal muddatstsir …", dst. masalah siksa yang pedih bagi mereka yang lalai. Hal ini didukung oleh
riwayat sirah nabawiyah, bahwa berita pertama yang beliau ungkapkan
  kepada kaumnya, sesaat setelah turunnya perintah dakwah jahriyah, adalah
peringatan tentang akhirat dan segala yang harus dipertanggungjawabkan
Uraian al-Muddatsir 1-5 oleh manusia di dalamnya.

Menilik riwayat asbabun nuzul diatas, yang dimaksud dengan "berselimut" Maka, secara pribadi, adalah penting bagi kita untuk senantiasa
dalam ayat 1 adalah makna hakikinya, yakni menutupi badan dengan mempertebal keyakinan tentang akhirat. Dan, pintu pertama untuk
mantel atau selimut untuk menghangatkan diri. Dalam bahasa Arab, salah memasukinya adalah kematian. Rasulullah sering menasihati kita untuk
satu cara memanggil yang mengekspresikan kelembutan dan rasa sayang tidak melupakan kematian; agar tidak lalai dan lemah dalam beramal shalih;
adalah memanggil seseorang menurut kondisi riil yang ada pada orang yang agar tidak berlarut-larut dalam dosa dan kemungkaran. Umat juga harus
dipanggil tersebut. Disini, Rasulullah dipanggil dengan lembut, sesuai diberi keyakinan yang benar dan lurus tentang akhirat ini. Generasi salaf
keadaan beliau yang sedang berselimut dan menggigil ketakutan. dari umat ini meraih ridha Allah dengan meyakini kebenaran akhirat,
mewaspadai kematian, menyiapkan bekal lewat amal shalih, bertaubat,
menjauhi dosa, dst. Tidak mungkin ada keikhlasan dan jihad jika umat tidak
meyakini akhirat. Mendustakan akhirat, atau kelemahan akidah terhadap anjuran ayat ini sangat jelas, bahwa penting untuk menjaga tsiyab kita, baik
rukun iman ke-5 ini, akan membelokkan manusia ke jalan iblis, berupa dalam pengertian hakiki maupun majaz.
dunia dan segala pesta-poranya. Na'udzu billah.
Jika dalam ayat 3 ditekankan pembenahan sikap batin (wa rabbaka fa
Ayat ini memberikan suatu pengarahan yang jelas, bahwa hanya Allah yang kabbir), maka dalam ayat 4 ini ada perhatian khusus dari aspek lahiriah (wa
layak dibesarkan. Dengan kata lain, semua selain Allah tidak layak untuk tsiyabaka fa thahhir). Penampilan yang baik adalah bagian dari dakwah.
diagung-agungkan. Kata rabb, sebagai maf'ul bih (obyek) dalam ayat ini Rasulullah memang sangat tidak menyukai kemewahan, apalagi gaya
didahulukan daripada fi'il (verba), yang mengandung pengertian bahwa berdandan yang mencerminkan kesombongan dan riya'. Namun, beliau
hanya Dia saja yang berhak mendapatkan apa yang disebutkan dalam fi'il membenci orang yang tidak mengurus dirinya, sehingga berbau dan
setelahnya. Bentuk serupa dapat ditemukan dalam surah al-Fatihah, iyyaka rambutnya kusut-masai. Menurut 'Aisyah, hal pertama yang dilakukan
na'budu wa iyyaka nasta'in (hanya kepada-Mu kami mengabdi, hanya Rasulullah saat memasuki rumah adalah bersiwak (membersihkan gigi).
kepada-Mu kami mohon pertolongan). Jika kita ikuti pola Beliau juga melarang siapa saja memasuki masjid jika ia baru makan
penerjemahannya, maka ayat 3 surah al-Muddatsir ini akan berbunyi, "dan bawang. Beliau juga memerintahkan para Sahabat untuk mandi keramas,
hanya Rabb-mu yang harus engkau agungkan." bercukur, mengenakan wewangian, memilih pakaian terbaik, pada saat
hendak menunaikan shalat Jum'at atau dua hari raya.
Membesarkan dan mengagungkan Allah tidak hanya menjadi sikap lahir,
dalam bentuk ucapan dan perbuatan, namun juga merupakan sikap batin. Sebagian qira'at membaca ar-rujza dengan ra' di-kasrah, yaitu ar-rijza.
Dalam praktik, misalnya jika harus ada perbenturan antara kehendak Allah Kata pertama berarti berhala, sedang yang kedua artinya dosa. Lebih jauh,
(baca : syari'at) dengan kehendak selain-Nya, maka pasti kehendak-Nya jua ada yang mengganti za' dalam kata ini dengan sin, sehingga berbunyi ar-
yang harus dimenangkan dan didahulukan. rijsa. Kata-kata ini juga memiliki makna siksa. Dengan demikian,
lengkaplah pengertian kata ini : dosa, berhala, siksa.
Secara lughawi, tsiyab adalah jama' dari tsaub, yang mempunai 7 makna
majaz (kiasan) : hati, jiwa, usaha, badan, akhlaq, keluarga, dan istri. Sedang Sebagian kata dalam bahasa Arab yang memakai sin memang bisa diganti
arti hakikinya adalah pakaian. Dalam al-Qur'an, kata ini tidak dipergunakan za', bahkan shad. Misalnya, kata shiraath (dengan shad) dalam surah al-
kecuali dalam makna hakiki, yakni pakaian yang menutupi badan secara Fatihah bisa dibaca ziraath (dengan za') atau siraath (dengan sin).
fisik. Untuk pakaian dalam arti majaz, al-Qur'an memakai kata lain, yakni Maknanya tidak berbeda.
libas, yang berkenaan dengan ikatan suami-istri.
Sebelum memahami makna ayat ini, kita harus meneliti apa arti fahjur.
Dari sisi ini, membiarkan tsiyab dalam makna hakikinya justru memberikan Akar kata ini adalah hajara, yang berarti berpaling, menjauh, tidak
keleluasaan untuk mencakup makna-makna majazi-nya. Pakaian, dalam mengajak bicara, dan menyingkir. Ada indikasi kebencian dan
banyak budaya di dunia, adalah simbol jiwa dan kehormatan. Para ketidaksukaan di dalamnya. Hijrah yang dilakukan Rasulullah dan para
bangsawan menampakkan diri dengan memakai pakaian yang mencirikan Sahabat adalah tindakan yang dilandasi perasaan benci dan tidak suka
kedudukan mereka di tengah-tengah kaumnya. Imam Abu Hanifah kepada kezhaliman maupun kemusyrikan yang mereka dapati di Makkah.
menganjurkan para ulama' memperhatikan pakaian yang dikenakannya
sedemikian rupa, agar ilmu dan ulama' tidak diremehkan. Rasulullah sendiri Jadi, ayat ini memberikan sebuah pesan yang tegas kepada kita : tinggalkan,
sangat gemar mengenakan pakaian yang putih bersih. Dan, bagi kita, jauhi, berpalinglah, menyingkirlah dari segala bentuk dosa, berhala dan
perbuatan yang mendatangkan siksa Allah, karena kebencian dan kesadaran
akan hakikatnya. Ini terkait erat dengan akidah al-wala' wal bara' (loyalitas
dan anti-loyalitas). Mencintai atau membenci sesuatu hanya karena Allah,
yakni karena kita mengetahui bahwa Allah tidak menyukai dan melarang
kita mendekatinya.

Wallahu 'alam bish-shawab.

Anda mungkin juga menyukai