Anda di halaman 1dari 7

Antara masa 5 (lima) abad sebelum dan sesudah Masehi muncul aliran-aliran filsafat

agama Brahma/Hindu dengan system tinjauan (dharsanas) yang kesemuanya berjumlah 6


(enam) sistem. Keenam sistem ini tidaklah saling bertentangan, melainkan saling
melengkapi: Pertama, Purva Mimansa, dibangun oleh Jaimini. Percaya bahwa Veda
adalah wahyu langsung dari Brahma, bukan karya susunan manusia. Meninjau pokok-
pokok ajaran dalam Veda secara rasional dengan aspek praktisnya lekat pada pengertian-
pengertian harafiah (literal meanings). Menurut mereka, alam semesta ini abadi (eternal),
tidak akan musnah dan lalu terciptakan kembali; Kedua, Yogachara, dibangun Patanyali.
Ajarannya berisi tatacara mencapai moksha sebagaimana terurai dimuka; Ketiga,
Nyanya, dibangun oleh Gautama. Bahasannya seputar epistemologi yang merumuskan
metode berfikir yang efektif untuk mencapai kesimpulan. Menurutnya, “tahu” dalam diri
manusia berpangkal pada empat sumber: tangkapan indria (pracaksa), kesanggupan akal
menarik simpulan (anumana), kias-bandingan (upamana), dan pernyataan-pernyataan
otoritatif yang dapat diterima akal (sabda). Sedangkan metode berfikir yang efektif
menurut aliran ini mestilah terdiri dari lima bagian: (1) sebuah keterangan berisi tahu, (2)
sebuah keterangan berisi sebab, (3) sebuah keterangan berisi prinsip umum, (4) sebuah
keterangan berisi tangkapan indria, dan (5) simpulan yang mengukuhkan tanggapan
pertama. Sebagai contoh dapat dibaca rumusan berikut ini:
• Gunung itu tengah terbakar.
• Sebab gunung itu mengepulkan asap.
• Dimana ada asap disitu ada api.
• Gunung itu diliputi kepulan asap.
• Jadi: gunung itu tengah terbakar.
Bandingkan nalar epistemik ini dengan logika-silogistik yang dibangun Aristoteles
dengan 3 (tiga) premisnya. Salah satu contohnya:
• Setiap manusia pasti mati (premis mayor).
• Plato seorang manusia (premis minor).
• Maka, Plato pasti akan mati (konklusi).
Nyanya juga mengajarkan tentang faktor-faktor menentukan dalam hukum kausalitas.
Menurutnya, sebab-akibat itu dipengaruhi 3 (tiga) hal: (1) sebab kebendaan (material
cause); (2) sebab resmi (formal cause); dan (3) sebab pelaku (effective cause). Semisal
selembar permadani, maka sebab pertamanya adalah berbagai jenis benang wol dengan
beragam warnanya. Sebab kedua adalah anyaman antar benang-benang tersebut. Dan
sebab ketiga adalah kegiatan sang penenun sehingga benang-benang itu teranyam
menjadi sebuah permadani.
Aliran keempat adalah Vaisesika yang dibangun oleh Kanada. Menurutnya, alam semesta
ini tersusun dari unsur-unsur halus yang tak dapat terbagi lagi (atom), yang disebut anu,
paramanu, atau kana. Beragam bentuk yang ada di alam semesta ini disebabkan karena
perbedaan (visesa) pada susunan atomnya.
Aliran kelima dikenal sebagai Samkya (artinya: akal) yang dibangun oleh Kapila dengan
pembahasan seputar jiwa dan materi serta hubungan keduanya dalam konstruksi tabiat
segala sesuatu. Menurut aliran ini, ada 25 kesatuan hubungan (tattvas) yang menentukan
dalam pembentukan tabiat atau kepribadian. Dua tattvas yang paling asasi dan saling
bertentangan adalah:
• purusha (jiwa) dan
• prakriti (materi, benda).
Jiwa tak terbatas jumlahnya dan berisi akal murni. Jiwa ini masing-masing berdiri sendiri,
tak terbagi, tak bersyarat, tak berobah, dan abadi. Jiwa berkaitan dengan materi: prakriti,
pradana atau avyakta. Mula-mula prakriti dalam keadaan diam dengan tiga sifatnya
(gunas): sattvas (kebajikan), rajas (hasrat), dan tamas (kegelapan). Ketika diam ketiganya
berada dalam perimbangan. Tetapi, ketika prakriti bergetar karena digerakkan oleh
purusha, ketiga gunas kehilangan perimbangannya sehingga lahirlah 23 tattvas lainnya.
Pertama-tama lahirlah:
• buddhi (akal), yang darinya kemudian terjadi proses kepribadian, yaitu:
• ahamkara, artinya “aku adalah pelaku”. Proses ini bersifat kontinum, alamiah (kosmis),
dan dalam individualitasnya menunjukkan diferensiasi (ragam-beda) dengan lainnya.
Selanjutnya, ahamkara secara kosmis melahirkan 5 (lima) unsur terhalus (tanmatras)
berupa:
• tanah,
• air,
• api,
• udara, dan
• ether.
Dari kelimanya muncul 5 (lima) unsur tanggapan (mahabhuta), yaitu:
• keras,
• basah,
• hangat,
• hembusan, dan
• cairan.
Kesemuanya itu adalah sasaran dari indria.
Ahamkara dalam individualitasnya melahirkan 5 (lima) indria yang menjadi alat dari akal
(buddhindrya), yaitu:
• penglihatan,
• pendengaran,
• penciuman,
• rabaan, dan
• citarasa.
Dari kelimanya lahir 5 (lima) indria untuk bertindak (karmendrya), yaitu:
• mata,
• telinga,
• hidung,
• kulit, dan
• lidah.
Tanmatras dan buddhindrya berhubungan dengan:
• ingatan (mind).
Hubungan itulah yang menentukan kepribadian sesuatu diri, yakni pergumulan antara
hasrat dengan akal. Maka, satu-satunya jalan untuk moksha adalah dengan yogha, karena
jasmani akan terikat selamanya dengan karma dan samsara sebelum tercapai mokhsa.
Aliran yang keenam dikenal dengan nama Vedanta atau disebut juga Uttara Mimamsa
yang dibangun pertama kali oleh Badarayana sekitar abad pertama Masehi. Filsafat
spekulatif ini mendasarkan ajarannya kepada kitab suci Rig-veda dan Uphanisads.
Belakangan, sekitar tahun 800 M, muncul komentator besar atas karya-karya Badarayana,
yaitu Shankara yang ajarannya kemudian dikenal dengan sebutan Advaitavada yaitu
ajaran tentang keesaan yang murni (unqualified monism). Ajaran ini bermula dari konsep
Vidya, yakni “tahu” dalam diri manusia yang macamnya ada dua: (1) Nirguna,
pengetahuan mutlak (ilmu tertinggi) yang terbebas dari pengalaman indria; dan (2)
Saguna, pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman indria. Shankara, melakukan
pendekatan ajaran Veda melalui sorotan Nirguna ini. Menurutnya, karena Kodrat Maha
Esa itu tidak ada yang mengimbanginya, tidak tertangkap oleh indria, tidak terbayangkan
oleh ingatan, maka Dia hanya bisa didekati dan dirasakan dengan pemusatan pikiran dan
renungan rohani sampai tercapai anubhana (ekstasi) dimana seseorang dapat berkata:
Aham Brahmasmi (Aku adalah Brahma). Bandingkan dengan Ana al-Haq atau Ana Allah
dari sufi besar Islam, al-Hallaj.
Bagi aliran keenam ini, alam yang beroleh perwujudannya melalui sifat-sifat (qualified
being) adalah suatu Maya, khayal yang tidak memiliki hakikat atau realitas. Satu-satunya
hakikat yang mutlak adalah Brahma, yang dipanggilkannya dengan sebutan cat (ada), chit
(sadar) dan ananda (asih). Menariknya, dalam ajaran Shankara ini, ajaran reinkarnasi
(samsara) telah tergantikan dengan konsep Avatamsaka (neraka). Dijelaskannya bahwa
manusia yang dalam kehidupannya hanya mengikuti ilmu terbawah (saguna) dan
menjalani godaan syahwati akan terjerumus kedalam neraka sesudah matinya. Tetapi
mereka yang selama hidupnya senantiasa mendekatkan diri kepada Brahma dengan
mengikuti ilmu tertinggi (nirguna), maka dia akan mencapai kemenangan abadi di dalam
Nirvana.
Gerakan pembaharuan agama Brahma/Hindu telah bermula sejak abad ke-6 SM hingga
berkelanjutan sampai abad ke-20 M. Tiga pembaharu di antaranya melahirkan agama
tersendiri, yaitu: dari Siddharta Gautama (560-480 SM) lahir agama Buddha; dari
Mahavira (599-527 SM) lahir agama Jaina; dan dari Guru Nanak (1469-1538 M) lahir
agama Sikh. Beberapa gerakan pembaharuan yang terkenal di abad-abad terakhir, salah
satunya adalah gerakan reformasi Brahma Samaj (Majelis Brahma) yang dipelopori Ram
Mohan Roy (1772-1833) dengan semboyannya: “kembali kepada kitab suci Veda!”.
Gerakan ini diawali dari kerisauan atas praktik kebaktian umat Hindu yang memuja
ribuan patung-patung yang menurut Roy telah menyimpang jauh dari ajaran murni Veda.
Tokoh yang mempunyai wawasan luas tentang Islam, Kristen dan Buddha ini lalu
berikhtiar menghidupkan kembali praktik peribadatan agama Hindu yang sederhana
dengan berkeyakinan kepada Kodrat Maha Esa (Brahma). Tahun 1830, gerakan ini
membangun rumah ibadat pertama yang terbuka bagi setiap orang tanpa memandang
sektenya yang beriman kepada Wujud-Tunggal-Abadi. Di dalamnya tidak lagi didapati
patung, ukiran atau lukisan karena semua itu kini menjadi hal yang terlarang. Gerakan
Roy dilanjutkan oleh Babu Rabindranath Tagore (ayah dari pujangga Rabindranath
Tagore) yang bergabung Brahma Samaj pada tahun 1841. Tahun 1850, Babu beserta
pengikutnya mengumumkan deklarasi radikalnya yang menyebutkan pendirian mereka
bahwa keseluruhan kitab suci Veda tidaklah bersifat ma’sum (infallible, tak mungkin
salah) karena sebagiannya dinilai mengandung campur tangan penulis-penulis atau
penyalin-penyalin dari masa ke masa. Maka untuk itu dibutuhkan pengkajian yang cermat
dalam menilai isinya agar diperoleh ajaran yang betul-betul asli dari Brahma, Kodrat
Maha Esa.
Secara garis besar, pendirian gerakan ini dapat dinarasikan sebagai berikut: (1)
Keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Agung; (2) Tuhan memiliki sifat-
sifat kesempurnaan; (3) Menolak ajaran penjelmaan berjasad (avatar) dari Tuhan; (4)
Keabadian dan perkembangan kejiwaan adalah tujuan hidup; (5) Praktek-praktek
peribadatan yang simbolis seperti ziarah ke tempat yang dianggap suci, upacara-upacara
kebaktian dan prosesi tatacara penyucian diri, lebih banyak bersifat pameran lahiriah
(show) belaka; dan (5) Meyakini bahwa sistem kasta tidak memiliki dasar dalam kitab
suci Veda dan karenanya perlu dihapuskan. Sejak tahun 1867, gerakan ini pecah menjadi
beberapa sekte. Salah satu sekte yang menyebut dirinya Hindu Missionary Society (1917)
yang dibangun G.B. Vaydia, bertujuan membebaskan agama Hindu dari ikatan
kekhususan bagi anak benua India, dan selanjutkan menjalankan misi agama Hindu untuk
seluruh dunia.
Gerakan-gerakan penghapusan kasta dan juga shutte (ajaran pembakaran para janda
bersama jenazah suaminya) berlanjut hingga abad ke-20, puncaknya muncul bersama
gerakan Sanatai-Hindu (Hindu Ortodoks) yang dibangun oleh Mohandas Karamchand
Mahatma Ghandi (1869-1948). Dia menyebut dirinya sendiri sebagai ortodoks karena
beberapa alasan: (1) Percaya pada semua yang termaktub dalam kitab-kitab suci Hindu,
termasuk ajaran tentang samsara dan avatar; (2) Percaya pada varnashrama-dharma
(empat susunan kewajiban), tetapi tidak dalam artian kasar sebagai pemilahan kasta,
melainkan hanya sebagai pembagian tugas kebaktian; (3) Percaya pada perlindungan
lembu dalam pengertian yang lebih dalam daripada yang biasa diberikan orang awam
kepadanya; dan (4) Tidak menolak pemujaan patung-patung. Gandhi juga menyatakan
bahwa kepercayaannya pada Veda tidak menjadikannya tidak percaya kepada adanya
kitab-kitab suci lain yang diturunkan ke dunia oleh Tuhan, seperti al-Qur’an dan lainnya.
Sebagaimana ia juga menegaskan bahwa kepercayaannya kepada kitab-kitab Hindu tidak
berarti bahwa dirinya meyakini setiap perkataan atau sajak di dalamnya sebagai sabda
Tuhan.
http://peziarah.wordpress.com/2007/02/02/sekilas-tentang-agama-hindu/
Dalam Agama Hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan Panca
Sradha. Panca Sradha merupakan keyakinan dasar umat Hindu. Kelima keyakinan
tersebut, yakni:
1. Widhi Tattwa – percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan segala aspeknya
2. Atma Tattwa – percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk
3. Karmaphala – percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap perbuatan.
4. Punarbhawa – percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi)
5. Moksha – percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir manusia

Widhi Tattwa
Widhi Tattwa merupakan konsep kepercayaan terdapat Tuhan yang
Maha Esa dalam pandangan Hinduisme. Agama Hindu yang
berlandaskan Dharma menekankan ajarannya kepada umatnya agar
meyakini dan mengakui keberadaan Tuhan yang Maha Esa. Dalam
filsafat Advaita Vedānta dan dalam kitab Veda, Tuhan diyakini hanya satu namun
orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama. Dalam agama Hindu, Tuhan
disebut Brahman. Filsafat tersebut juga enggan untuk mengakui bahwa Dewa-Dewi
merupakan Tuhan tersendiri atau makhluk yang menyaingi derajat Tuhan.

Ātmā Tattwa
Atma tattwa merupakan kepercayaan bahwa terdapat jiwa dalam
setiap makhluk hidup. Dalam ajaran Hinduisme, jiwa yang terdapat
dalam makhluk hidup merupakan percikan yang berasal dari Tuhan
dan disebut “Jiwatma”. Jiwatma bersifat abadi, namun karena terpengaruh oleh
badan manusia yang bersifat “Maya”, maka Jiwatma tidak mengetahui asalnya yang
sesungguhnya. Keadaan itu disebut “Awidya”. Hal tersebut mengakibatkan Jiwatma
mengalami proses reinkarnasi berulang-ulang. Namun proses reinkarnasi tersebut dapat
diakhiri apabila Jiwatma mencapai moksha.

Karmaphala
Agama Hindu mengenal “hukum sebab-akibat” yang disebut Karmaphala
(karma=perbuatan; phala=buah/hasil) yang menjadi salah satu keyakinan dasar. Dalam
ajaran Karmaphala, setiap perbuatan manusia pasti membuahkan hasil (baik atau buruk).
Ajaran Karmaphala sangat erat kaitannya dengan keyakinan tentang reinkarnasi, karena
dalam ajaran Karmaphala, keadaan manusia (baik suka maupun duka) disebabkan karena
hasil perbuatan manusia itu sendiri, baik yang ia lakukan pada saat ia menjalani hidup
maupun apa yang ia lakukan pada saat ia menjalani kehidupan sebelumnya. Dalam ajaran
tersebut, bisa dikatakan manusia menentukan nasib baik/buruk yang akan ia jalani
sementara Tuhan yang menentukan kapan hasilnya diberikan (baik semasa hidup maupun
setelah reinkarnasi).

Punarbhawa
Punarbhawa merupakan keyakinan bahwa manusia mengalami reinkarnasi. Dalam ajaran
Punarbhawa, reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan pada
kehidupannya yang terdahulu. Apabila manusia tidak sempat menikmati hasil
perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk menikmatinya pada
kehidupan selanjutnya. Maka dari itu, munculah proses reinkarnasi yang bertujuan agar
jiwa dapat menikmati hasil perbuatannya (baik atau buruk) yang belum sempat dinikmati.
Proses reinkarnasi diakhiri apabila seseorang mencapai kesadaran tertinggi (moksha).

Moksha
Dalam keyakinan umat Hindu, Moksha merupakan suatu keadaan di mana jiwa merasa
sangat tenang dan menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya karena tidak terikat lagi
oleh berbagai macam nafsu maupun benda material. Pada saat mencapai keadaan
Moksha, jiwa terlepas dari siklus reinkarnasi sehingga jiwa tidak bisa lagi menikmati
suka-duka di dunia. Oleh karena iu, Moksha menjadi tujuan akhir yang ingin dicapai oleh
umat Hindu.

Empat macam Moksha / kebebasan:


1. Samipya Moksa = Kebebasan yagn dicapai semasih hidup oleh para Resi sehingga
mampu menerima wahyu dari Tuhan.
2. Sarupya/Sadarmmya = Kebebasan yang diperoleh semasih hidup seperti Awatara Sri
Kresna, Budha Gautama.
3. Salokya / karma Mukti = Kebebasan yang dicapai oleh Atman itu sendiri telah berada
dalam posisi sama dengan Tuhan tetapi belum dapat bersatu dengan Tuhan.
4. Sayujya / Purna Mukti = Kebebasan yang tertinggi dan sempurna sehingga dapat
menyatu dengan Tuhan.
===============================================================
http://www.indoforum.org/showthread.php?t=36334
Terdapat dua kelompok filsafat India, yaitu Astika dan Nastika. Nastika merupakan
kelompok aliran yang tidak mengakui kitab Weda, sedangkan kelompok Astika
sebaliknya. Dalam Astika, terdapat enam macam aliran filsafat. Keenam aliran filsafat
tersebut yaitu: Nyaya, Waisasika, Samkhya, Yoga, Mimamsa, dan Wedanta. Ajaran
filsafat keenam aliran tersebut dikenal sebagai Filsafat Hindu.

Filsafat India

Nastika Astika

Buddha Jaina Carwaka

Kelompok Kelompok Astika yang


Astika yang ajarannya tidak bersumber
ajarannya
bersumber
langsung langsung kepada Weda
kepada
Weda

Wedanta Mimamsa Yoga Samkhya Waisiseka Nyaya

Adwaita Dwaita Wisistadwaita

Keterangan:
• Kotak Hijau : Sad Darsana

Terdapat enam Astika (filsafat Hindu) — institusi pendidikan filsafat ortodok yang
memandang Weda sebagai dasar kemutlakan dalam pengajaran filsafat Hindu — yaitu:
Nyāya, Vaisheṣhika, Sāṃkhya, Yoga, Mīmāṃsā (juga disebut dengan Pūrva
Mīmāṃsā), dan Vedānta (juga disebut dengan Uttara Mīmāṃsā) ke-
enam sampradaya ini dikenal dengan istilah Sad Astika Darshana atau Sad
Darshana. Diluar keenam Astika diatas, terdapat juga Nastika, pandangan Heterodok
yang tidak mengakui otoritas dari Weda, yaitu: Buddha, Jaina dan Carvaka.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hindu

Anda mungkin juga menyukai