Anda di halaman 1dari 11

PENENTUAN DOSIS OPTIMUM ALUMINIUM SULFAT DALAM

PENGOLAHAN AIR SUNGAI CILEUEUR KOTA CIAMIS DAN


PEMANFATAN RESIRKULASI LUMPUR DENGAN PARAMETER pH,
WARNA, KEKERUHAN, DAN TSS
DETERMINATION OF ALUMINIUM SULPHATE OPTIMUM DOSAGE
IN CILEUEUR RIVER AT CIAMIS AND UTILIZATION OF
RECIRCULATION SLUDGE REVIEWED BY pH, COLOR, TURBIDITY,
AND TSS
______________________________________________________________________________
Rizal Amir1 dan James Nobelia Isnaniawardhana2
Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan
Institut Teknologi Bandung
1
derizalamir@yahoo.co.id dan 2jnobelia@yahoo.com

Abstrak: Resirkulasi lumpur merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam proses pengolahan air minum
dalam meningkatkan kualitas air minum yang akan dihasilkan. Dalam aplikasinya lumpur yang dihasilkan dari
proses koagulasi akan diresirkulasikan kembali kedalam kolam koagulasi bersama dengan koagulan dengan
harapan bahwa akan terjadi peningkatan efisiensi dalam proses koagulasi maupun flokulasinya. Resirkulasi lumpur
ini dilakukan pada kondisi dimana koagulan yang diberikan dalam kondisi optimum berdasarkan karakteristik air
baku sesuai dengan tempat dilakukan pengambilan air sebagai sampel yaitu Sungai Cileueur Ciamis. Pada
penelitian resirkulasi lumpur ini dilakukan proses koagulasi-flokulasi dengan kajian penentuan dosis optimum dan
resirkulasi lumpur. Penelitian laboratorium menggunakan Jartest dan air baku yang berasal dari sungai Cileueur
Ciamis. Koagulan yang digunakan adalah koagulan alum (Al2(SO4)3). Pada kajian penentuan dosis optimum
koagulan, dosis koagulan yang digunakan divariasikan mulai dari 2 mg/l – 36 mg/l. Pada kajian resirkulasi lumpur,
dosis lumpur divariasikan mulai dari 5 mg/l - 20 mg/l. Setiap kajian yang dilakukan dihitung parameter-parameter
yang mempengaruhi setiap kajian tersebut. Adapun parameternya adalah pH, warna, kekeruhan, dan TSS. Dosis
optimum koagulan yang dipakai dalam penelitian ini adalah 20 mg/l. Pada dosis optimum ini pH berada pada nilai
6.25. Penyisihan warna sebesar 83.27%, kekeruhan 92.47%, dan TSS sebesar 70.57%. Pada upaya resirkulasi
lumpur terjadi peningkatan penyisihan warna menjadi 88.85%, kekeruhan menjadi 93.31%, dan TSS meningkat
menjadi 89.21%.

Kata kunci : Jartest, dosis optimum, resirkulasi lumpur

Abstract: Sludge recirculation is one alternative to increase peformance quality of water treatment. The application
of this sludge recirculation process is use a sludge that resulted from the coagulation and flocculation process in
water treatment. This sludge is recirculated along with coagulant. Sludge recirculation conducted in one condition
that the coagulant is in optimum doses based on characteristic of raw water. The objective of this research is to
know peformance of removal coagulation-floculation process for determination of optimum dose and sludge
recirculation. Laboratory research use jartest metode and the research use raw water from the river called Cileueur
Ciamis. Coagulant used alum (Al2(SO4)3). In studies determining the optimum coagulant dose, coagulant dosage
used varied from 2 mg / l - 36 mg / l. In the study sludge recirculation , varying sludge doses ranging from 5 mg / l -
20 mg / l. The parameters tested are pH, color, turbidity, and TSS. Optimum coagulant dose used in this study is 20
mg / l. At this optimum dose at pH value of 6.25. The removal efficiency of color allowance for 83.27%, 92.47% for
turbidity, and TSS of 70.57%. In sludge recirculation, color had increased a removal efficiency to 88.85%,
turbidity becomes 93.31%, and TSS increased to 89.21%.

Key words : Jartest, optimum dose, sludge recirculation

WS2-1
PENDAHULUAN
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan semakin meningkatnya kesadaran akan
kesehatan lingkungan, maka kebutuhan akan air bersih meningkat pula. Akan tetapi,
meningkatnya kebutuhan ini tidak diimbangi dengan meningkatnya ketersediaan air bersih yang
cenderung menurun, terutama kualitas air dari suatu sistem instalasi pengolahan air yang
semakin hari semakin memburuk.
Oleh karena itu perlu dilakukan alternatif pengolahan agar proses flokulasi bisa berjalan
dengan maksimum seiring dengan semakin meningkatnya beban pengolahan akibat dari
perubahan kualitas dari sumber air baku. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan
melakukan resirkulasi lumpur hasil endapan dari unit pengendap untuk meningkatkan effisiensi
dalam proses koagulasi-flokulasi, dengan asumsi bahwa lumpur tersebut masih memiliki
kemampuan untuk mengikat flok-flok yang terbentuk setelah pemberian koagulan.
Koagulasi dan flokulasi merupakan suatu proses penambahan senyawa kimia yang bertujuan
untuk membentuk flok yang ditambahkan kedalam air atau limbah untuk menggabungkan
partikel yang sulit mengendap dengan partikel lainnya sehingga memiliki kecepatan mengendap
yang lebih cepat. Flok yang terbentuk akan disisihkan dengan cara sedimentasi. Koagulasi
merupakan proses penambahan koagulan dan pengadukan cepat air yang diberi koagulan. Hasil
dari proses koagulasi ini adalah destabilisasi partikel/koloid dan partikel-partikel halus lainnya
yang terdapat dalam air. Flokulasi adalah proses pengadukan lambat terhadap partikel yang
terdestabilisai dan membentuk pengendapan flok dengan cepat. Keberlangsungan proses
flokulasi diukur dari distribusi ukuran flok dan struktur flok (Gurses, 2003). Efisiensi pemisahan
padatan dalam proses koagulasi tergantung pada kondisi kimia, kimia-fisika, dan hidrodinamika
selama pengadukan dan pergerakan flok. Faktor ini ditentukan oleh struktur dari agregat, berat
jenis, dan kekuatan dari flok itu sendiri (Bottero dkk, 1989).
Koagulan yang paling umum digunakan adalah koagulan yang berupa garam logam, seperti
aluminium sulfat, ferri klorida, dan ferri sulfat. Polimer sintetik juga sering digunakan sebagai
koagulan. Efisiensi proses koagulasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti pH, temperatur,
alkalinitas, jenis koagulan dan intensitas pengadukan (Lee dkk, 2008)
Pada penggunaan aluminium sulfat sebagai koagulan, air baku harus memiliki alkalinitas
yang memadai untuk bereaksi dengan aluminium sulfat menghasilkan flok hidroksida.
Umumnya, pada rentang pH dimana proses koagulasi terjadi alkalinitas yang terdapat dalam
bentuk ion bikarbonat. Reaksi kimia sederhana pada pembentukan flok adalah sebagai berikut:
Al2(SO4)3 + 14 H2O + 3Ca(HCO3)2  2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14 H2O + 6CO2
Apabila air baku tidak mengandung alkalinitas yang memadai, maka harus dilakukan
penambahan alkalinitas. Umumnya alkalinitas dalam bentuk ion hidroksida diperoleh dengan
cara menambahkan kalsium hidroksida, sehingga persamaan reaksi koagulasinya menjadi
sebagai berikut :
Al2(SO4)3 + 14 H2O + 3Ca(HCO3)2  2Al(OH)3 + 3CaSO4 + 14 H2O
Rentang pH optimum untuk alum adalah 4.5 sampai dengan 8.0, karena aluminium
hidroksida relatif tidak larut pada rentang tersebut.

WS2-2
METODOLOGI
Metodologi yang dilakukan pada penelitian ini terbagi menjadi tiga tahap. Tahapan pada
metodologi ini adalah :

Air baku
Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapangan. Dalam penelitian ini data yang diambil
merupakan data primer yaitu data dari hasil uji laboratorium dan uji lapangan. Pada penelitian
dilaboratorium air baku yang digunakan berasal dari air baku sungai Cileueur Ciamis.

Penentuan Dosis Optimum


Air baku tersebut diteliti dengan menggunakan Jartest, yang terdiri atas pengadukan cepat
(rapid mixing) dan pengadukan lambat (slow mixing). Pengadukan cepat dilakukan dengan
kecepatan putaran 100 rpm sedangkan pengadukan lambat pada putaran 60 rpm. Setelah
pengadukan dengan putaran 60 rpm air baku tersebut didiamkan mengendap sampai 15 menit.
Setelah didiamkan mengendap air baku tersebut dilakukan uji laboratorium dengan mengukur
parameter-parameter yang nantinya akan menentukan dosis optimum koagulan dari air baku
sungai Cileueur Ciamis. Parameter-parameter tersebut adalah pH, kekeruhan, warna, dan TSS.
Pada penentuan dosis optimum koagulan sungai Cileueur Ciamis dilakukan Jartest dengan
pemberian variasi dosis koagulan yang berbeda. Variasi dosis yang diberikan dimulai dari 2 mg/l
sampai dengan 36 mg/l, dengan interval yang berbeda-beda, yang terbagi pada lima pengujian.
Parameter yang diukur setelah uji jartest adalah warna dengan menggunakan Colori meter.
Parameter selanjutnya yang diukur adalah kekeruhan. Kekeruhan ini diukur dengan
menggunakan Turbidimeter. Parameter selanjutnya adalah TSS (Total Suspended Solid) dimana
pengukuran ini menggunakan metode pengukuran Gravimetri. Sejumlah contoh air diuapkan,
kemudian dipanaskan pada temperatur 105o C atau 500-600o C. Banyaknya residu yang menguap
atau tidak menguap ditentukan dengan penimbangan. Pada penelitian di lapangan hanya
parameter PH saja yang diukur menggunakan pH meter. Bahan kimia yang digunakan sebagai
koagulan adalah Aluminium Sulfat (Al2(SO4)3).

Resirkulasi Lumpur
Uji laboratorium ini juga mengkaji tentang karakteristik lumpur yang dihasilkan dari proses
koagulasi-flokulasi yang dilakukan. Karakteristik lumpur yang diuji ini meliputi kandungan
silikat, aluminium, dan sulfat yang terdapat dalam lumpur tersebut. Interval yang dilakukan pada
pemberian dosis koagulan ini sebesar 2 mg/l untuk pengujian pertama dan menggunakan interval
1 mg/l untuk pengujian kedua sampai pengujian kelima. Pada penambahan lumpur ini dilakukan
pemberian dosis lumpur yang berbeda mulai dari 0 mg/l sampai dengan 20 mg/l dengan inteval 5
mg/l. Kemudian setelah ditambahkan bersama dengan koagulan, maka air tersebut akan
dilakukan Jartest kembali dengan putaran yang sama pada Jartest ketika penentuan dosis
optimum koagulan dan pengujian terhadap kualitas air yang sama seperti pada uji sebelumnya,
yaitu pengukuran terhadap parameter pH, warna, kekeruhan, dan TSS. Untuk langkah terakhir
perhitungan yang dilakukan adalah menentukan efisiensi penyisihan dari upaya resirkulasi
tersebut.

WS2-3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Resirkulasi lumpur merupakan salah satu upaya yang dilakukan dalam proses pengolahan air
minum dalam meningkatkan kualitas air minum yang akan dihasilkan. Dalam aplikasinya lumpur
yang dihasilkan dari proses koagulasi akan diresirkulasikan kembali kedalam kolam koagulasi
bersama dengan koagulan dengan harapan bahwa akan terjadi peningkatan efisiensi dalam proses
koagulasi maupun flokulasinya. Resirkulasi lumpur ini dilakukan pada kondisi dimana koagulan
yang diberikan dalam kondisi optimum berdasarkan karakteristik air baku sesuai dengan tempat
dilakukan pengambilan air sebagai sampel yaitu Sungai Cileueur Ciamis.
Penentuan dosis optimum koagulan dilakukan dengan menggunakan jar test dengan
pemberian dosis koagulan yang bervariasi dan dilakukan uji laboratorium terhadap air yang telah
di jar test dengan beberapa parameter yang harus diukur diantaranya, pH, warna, kekeruhan, dan
TSS. Tabel 1 berikut ini adalah karakteristik awal air baku sungai Cileueur Ciamis.
Tabel 1. Karakteristik awal Air baku Sungai Cileueur Ciamis

No. Parameter Satuan Hasil


1 pH - 7.15
2 warna Pt Co 278
3 kekeruhan NTU 43.4
4 asiditas
CO2 mg/l 1.98
HCO3 mg/l 56.73
5 zat organik mg/l KMnO4 80.68
6 TSS mg/l 187.75
7 TDS mg/l 44.73

Berdasarkan Tabel 1 diatas, pH air baku sungai Cileueur sebesar 7.15 yang berarti air baku
tersebut memeiliki pH netral. Proses koagulasi-flokulasi menggunakan alum efektif pada pH air
berkisar antara 4.5-8 (Reynolds, 1982). Kondisi ini menunjang proses koagulasi dan flokulasi
karena biasanya koagulan dapat efektif bekerja pada pH netral (Anggriani, 2008). pH
mempunyai peranan penting dalam keberlangsungan proses koagulasi-flokulasi. pH ditentukan
dan diukur dari kandungan H+ dan OH- yang terkandung dalam dalam air. Keberadaan ion ini
dalam air akan mengubah partikel koloid menjadi lebih positif atau lebih negatif (Shammas,
2001).
Warna pada air baku sungai Cileueur ini bernilai 278 PtCo. Nilai ini sangat cukup tinggi,
dimana hal ini sesuai dengan kondisi air pada waktu pengambilan sampel yang berwarna cukup
gelap kekuning-kuningan. Selain itu air baku sungai Cileueur memiliki kekeruhan sebesar 43.4
NTU. Berdasarkan Permenkes no 907 tahun 2002 menyatakan bahwa kadar maksimum
kekeruhan yang diperbolehkan untuk air minum adalah maksimal 5 NTU. Dilihat dari asiditas-
alkalinitasnya air baku sungai Cileueur memiliki kandungan CO2 sebesar 1,98 mg/l dan HCO3-
sebesar 56,73 mg/l. CO2 yang terbentuk kemungkinan berasal dari atmosfer atau berasal dari
peenguraian zat organik oleh mikroorganisme, sehingga akan menyebabkan asiditas dalam air,
karena gas CO2 dalam air dapat terdiffusi dan bereaksi dengan air membentuk asam karbonat

WS2-4
(HCO3-) yang bersifat asam. Nilai awal Total Suspended Solid (TSS) sungai Cileueur Ciamis
sebesar 187,75 mg/l dengan Total Disolve Solid sebesar 44,73 mg/l.
Penentuan dosis optimum air baku sungai Cileueur Ciamis dilakukan dengan uji
laboratorium terhadap beberapa parameter yang akan diuji dengan menggunakan jar test. Pada
percobaan jar test ini dilakukan 5 kali pengujian dan dalam setiap pengujiannya diberikan variasi
dosis koagulan yang berbeda yang akan memberikan perubahan pada setiap parameter yang
diuji.
pH merupakan salah satu parameter yang diukur dalam penelitian ini karena dalam
pengolahan air parameter ini penting dalam penentuan kelayakan sebagai air minum. pH dalam
air akan mempengaruhi rasa, korosifitas air dan efisiensi klorinasi (Anggriani, 2008). Berikut ini
adalah hasil dari pengujian variasi dosis dan pengaruhnya terhadap pH, dapat dilihat pada
Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Pengaruh variasi dosis terhadap perubahan pH


Pada Gambar 1 diatas menunjukkan bahwa penambahan dosis koagulan tawas (Al2(SO4)3)
berpengaruh pada penurunan nilai pH. Penurunan pH ini diakibatkan oleh koagulan yang
dibubuhkan memiliki sifat asam. Menurut Shammas (2005) penurunan pH biasanya disebabkan
oleh peningkatan kadar sulfur, dalam hal ini sulfur yang berasal dari koagulan tawas (Al2(SO4)3).
Penambahan koagulan berbanding lurus dengan perubahan penurunan pH, semakin besar dosis
koagulan yang ditambahkan maka penurunan pH akan semakin besar.
Secara estetika warna dalam air minum dapat mengganggu. Penyeba air berwarna ini bias
disebabkan oleh zat tersuspensi dalam air atau kandungan zat organic sehingga membuat air
menjadi berwarna. Selain itu kemungkinan zat organik atau kekeruhan penyebab air berwarna
dapat berupa senyawa yang toksik yang dapat membahayakan kesehatan para pemakainya.
Setelah perlakuan jar test terhadap air baku sungai Cileueur dengan variasi dosis yang berbeda-
beda terjadi penuruna nilai warna sampai dengan 32 Pt-Co. Nilai ini berada pada dosis tawas 22
mg/l. Penurunan warna pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.

WS2-5
Gambar 2. Pengaruh variasi dosis terhadap perubahan warna
Pada Gambar 2 diatas dapat dilihat bahwa penurunan warna optimum terjadi pada dosis
tawas 22 mg/l sebesar 32 Pt-Co. Bila dilihat dari gambar tersebut terjadi penurunan warna pada
pemberian dosis tawas 2 mg/l sampai dengan dosis sekitar 22 mg/l, tetapi pada pemberian dosis
tawas diatas 22 mg/l terjadi kenaikan kembali nilai warna sampai dosis tawas mencapai 36 mg/l.
Penurunan warna akan terus terjadi sampai penurunan tersebut mencapai titik terendahnya.
Dimana titik terendah ini diindikasikan kondisi optimum dari dosis koagulan yang diberikan.
Penurunan warna terjadi akibat muatan positif yang diberikan kedalam air sehingga terjadi
proses netralisasi dan adsorpsi patikel warna dalam air. Muatan positif ini berasal dari koagulan
tawas yang diberikan kedalam air baku sehingga partikel koloid yang bermuatan negatif dapat
ternetralisasi sehingga terbentuk flok yang dapat terendapkan. Pada penambahan dosis koagulan
diatas 22 mg/l terjadi kelebihan muatan positif dipermukaan partikel flok sehingga menggangu
proses netralisasi dan adsorpsi partikel warna. Keberhasilan penyisihan warna sangat ditentukan
oleh proses tumbukan antara partikel koloid yang telah dikoagulasi, sehingga mampu
membentuk partikel flok yang berukuran lebih besar dan kompak, sehingga mudah diendapkan
(Lindu, 2001).
Kekeruhan adalah keadaan dimana suatu cairan tidak dapat meneruskan cahaya yang
dipaparkan disebabkan oleh partikel yang terperangkap dalam air yang terdiri dari bahan-bahan
anorganik dan organik yang terkandung dalam air seperti lumpur dan bahan yang dihasilkan oleh
buangan industri yang dapt menimbulkan efek terhadap kesehatan, estetika dan proses
desinfeksi. Berikut ini adalah hasil pengaruh variasi dosis terhadap perubahan kekeruhan
(Gambar 3).

Gambar 3. Pengaruh variasi dosis terhadap perubahan kekeruhan

WS2-6
Bila dilihat pada Gambar 3 diatas terjadi penurunan kekeruhan mulai dari dosis koagulan 2
mg/l sampai dengan 20 mg/l. Pemberian dosis diatas 20 mg/l memberikan hasil pada kenaikan
kembali nilai kekeruhannya. Naiknya kembali nilai kekeruhan diakibatkan oleh restabilisasi
partikel koloid akibat dari dosis yang berlebih. Restabilisasi pada umumnya diiringi oleh
pembalikan partikel koloid dari negatif menjadi positif akibat penyerapan dari dosis yang
berlebih (Akhtar dkk, 1997). Kondisi ini menyimpulkan bahwa kondisi optimum koagulan
dilihat dari parameter kekeruhan berada pada dosis tawas 20 mg/l sebesar 3,26 NTU.
Pada pengukuran total supended solid didapatkan hasil seperti Gambar 4 di bawah ini.

Gambar 4. Pengaruh variasi dosis terhadap perubahan TSS


Pada Gambar 4 diatas menunjukkan perubahan TSS akibat dosis koagulan yang diberikan.
Perubahan ini terjadi pada dosis 13 mg/l – 24 mg/l. Total Suspended Solid (TSS) merupakan
parameter penting dalam kualitas air minum untuk keberlangsungan hidup manusia dan
kehidupan di air (Ginting dkk, 2006). Pada dosis tawas 20 mg/l TSS mengalami nilai yang paling
rendah bila dibandingkan dengan dosis tawas yang lainnya yaitu sebesar 55,25, karena pada
dosis diatas 20 mg/l sampai dengan dosis 24 mg/l terjadi kenaikan kembali dari nilai TSSnya.
Bila dibandingkan dengan parameter kekeruhan, hasil pengukuran TSS memiliki nilai optimum
yang sama dengan kekeruhan yaitu pada dosis tawas 20 mg/l.
Penentuan dosis optimum
Dosis optimum koagulan sungai Cileueur ini dianggap optimal apabila air yang terolah yang
mempunyai kualitas terbaik yaitu air yang mempunyai nilai kekeruhan, warna, dan TSS yang
paling rendah. Pada Gambar 1 sampai dengan dengan Gambar 4 diatas disajikan perubahan
parameter kualitas air (pH, warna, kekeruhan, dan TSS) akibat penambahan variasi dosis yang
diberikan. Pada Gambar 2 dijelaskan bahwa untuk menurunkan kadar warna air baku sungai
Cileueur diperlukan dosis koagulan 22 mg/l, yang dapat menurunkan kadar warna menjadi 32 Pt-
Co. Bila dilihat dari kondisi awal karakteristik dari air baku ini, kadar warna memiliki nilai awal
sebelum dilakukan percobaan sebesar 278 Pt-Co. Dengan nilai akhir kadar warna yang didapat
menunjukkan bahwa efisiensi penyisihan kadar warna pada dosis ini sebesar 88,48%. Untuk
menurunkan kadar kekeruhan (Gambar 3) sampai dengan 3,26 NTU, diperlukan dosis optimum
koagulan 20 mg/l dengan efisiensi penyisihan sebesar 92,47%. Hal yang sama juga terjadi pada
penurunan kadar total padatan tersuspensi (TSS) pada percobaan ini, yaitu dibutuhkan dosis

WS2-7
optimum koagulan sebesar 20 mg/l sehingga dapat menurunkan kadar TSS dalam air dari 187,75
mg/l menjadi 55,25 mg/l. Kondisi ini memberikan efisiensi penyisihan TSS sebesar 70,57%.
Pengaruh dosis koagulan secara keseluruhan untuk menentukan dosis optimum menunjukkan
pada kisaran 20 mg/l. Dosis optimum ini tercapai pada penurunan TSS dan kekeruhan, walaupun
pada penurunan kadar warna dosis optimum ini tidak dalam kondisi penyisihan optimumnya.
Pada dosis optimum koagulan 20 mg/l penurunan kadar warna air baku sungai Cileueur
memberikan nilai penurunan sebesar 46,5 Pt-Co, dengan efisiensi penisihannya sebesar 83,27%.
Walaupun demikian dosis optimum koagulan yang akan dipilih untuk percobaan resirkulasi
lumpur adalah sebesar 20 mg/l. Secara teoritis hal ini dapat dijelaskan bahwa pada dosis
optimum 20 mg/l kadar kekeruhan dan TSS dalam air baku sungai Cileueur mengalami nilai
terendahnya. Walaupun pada dosis koagulan 20 mg/l, kadar warna tidak dalam kondisi
penyisihan secara optimum. Hal ini bisa diakibatkan oleh warna air baku sungai cileueur
disebabkan oleh senyawa organik yang terkandung didalamnya lebih besar dari pada kadar
suspensi yang dikandungnya. Sehingga dibutuhkan dosis koagulan lebih besar dari 20 mg/l.
Kondisi optimum ini berlangsung pada pH 6,25.

Resirkulasi Lumpur
Pada penelitian resirkulasi lumpur yang merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan
efisiensi proses pengolahan air dilakukan dengan menambahkan lumpur yang terendapkan dari
proses koagulasi-flokulasi dalam penentuan dosis optimum bersama dengan dosis optimum yang
telah ditentukan. Karakteristik lumpur yang akan diresirkulasikan memiliki nilai kandungan
Silikat sebesar 26,35%, Aluminium 25,06%, Sulfat 0,4%, zat organik 20180 mg/l, kadar air
43,44%, seperti ditunjukkan Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik Lumpur Sungai Cileueur Ciamis

No Parameter Satuan Hasil


1 kadar air % 43,4407
2 zat organik mg/l 20180
3 SiO2 % 26,35
4 Al2O3 % 25,06
5 SO4 % 0,4

Resirkulasi lumpur yang dilakukan dengan memberikan variasi dosis lumpur yang berbeda
yaitu 5 ppm, 10 ppm, 15 ppm, 20 ppm. Penambahan lumpur ini dilakukan pada kondisi dimana
dosis optimum koagulan akan ditambahkan bersama dengan dosis lumpur yang telah
divariasikan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dosis optimum koagulan tawas sebesar 20
mg/l.

WS2-8
Adapun hasil uji coba resirkulasi lumpur dan pengaruh perubahan tesebut dapat dilihat pada
Gambar 5(a), 5(b), 5(c), dan 5(d) berikut ini.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 5 (a) Pengaruh resirkulasi lumpur terhadap perubahan pH, (b) Pengaruh resirkulasi
lumpur terhadap perubahan kekeruhan, (c) Pengaruh resirkulasi lumpur terhadap perubahan
warna, (d) Pengaruh resirkulasi lumpur terhadap perubahan TSS.
Setelah dilakukan uji coba resirkulasi lumpur pada kondisi dimana koagulan yang diberikan
merupakan dosis optimum terjadi perubahan kondisi air dilihat dari kualitas air yang diukur.
Pada percobaan ini pH air mengalami penurunan disetiap dosis lumpur yang diberikan berturut-
turut adalah 6,23, 6,21, 6,2, 6,19. Penurunan pH ini diakibatkan oleh penambahan lumpur yang
mengandung SO4 yang dapat membuat air menjadi asam.

WS2-9
Penambahan lumpur nampaknya memberikan pengaruh pada penyisihan warna, kekeruhan
dan TSS untuk dosis koagulan 20 mg/l, seperti ditunjukkan pada Gambar 5 sampai dengan
Gambar 8 diatas. Pada penyisihan warna, penambahan lumpur dengan dosis 5 - 10 mg/l
memberikan perubahan terhadap kadar warna dari 46,5 Pt-Co ( 0 mg/l lumpur/dosis optimum)
turun menjadi 31 Pt-Co sehingga perubahan ini memberikan peningkatan penyisihan warna dari
83,27% menjadi sekitar 88,85% pada dosis koagulan 20 mg/l. Penambahan lumpur pada dosis 15
mg/l dan 20 mg/l nampaknya mengalami kenaikan nilai kadar warna walaupun efisiensi
penyisihan masih tinggi dibandingkan sebelum penambahan lumpur yaitu sebesar 88,66%, dan
87,95%.
Pada penyisihan kekeruhan, penambahan lumpur dengan dosis dari 5 - 15 mg/l memberikan
perubahan terhadap kekeruhan dari 3,26 NTU (0 mg/l lumpur/dosis optimum) menjadi 3,2, 3,15,
2,9, 3,05 NTU, sehingga memberikan peningkatan penyisihan dari 92,47% menjadi 92,62%,
92,74%, 93,31%. Pada dosis lumpur 20 mg/l kadar kekeruhan mengalami kenaikan kembali.
Sama halnya dengan penyisihan kekeruhan, penambahan lumpur pada penyisihan TSS dari dosis
5 – 15 mg/l memberikan perubahan kekeruhan dari 55,25 mg/l (0 mg/l lumpur/dosis optimum)
turun menjadi 25,5 mg/l, 25 mg/l, dan 20,25 mg/l, sehingga memberikan peningkatan penyisihan
sebesar 86,41%, 86,68%, dan 89,21%.
Penambahan lumpur nampaknya memberikan hasil lebih baik yang disebabkan oleh beberapa
faktor antara lain: lumpur yang mengandung silika (SiO4) sekitar 26,35% yang bersifat
memberikan kekeruhan tambahan pada air baku. Dengan adanya kekeruhan tambahan tersebut
maka flok yang terbentuk menjadi lebih besar dan berat sehingga lebih mudah untuk diendapkan.
Selain itu lumpur juga mengandung aluminium hidroksida sekitar 25%. Hidroksida tersebut
dapat berperan sebagai koagulan (Isnaniawardhana, 2007).

KESIMPULAN
Pada penelitian resirkulasi lumpur ini menggunakan air baku yang berasal dari sungai
Cileueur Ciamis. Air baku sungai Cileueur ini memiliki dosis optimum tawas sebesar 20 mg/l.
Pada kondisi tersebut memberikan efisiensi penyisihan pada warna sebesar 83,27%, penyisihan
kekeruhan sebesar 92,47%,dan penyisihan TSS sebesar 70,57%. Penambahan lumpur
nampaknya memberikan hasil yang cukup baik dalam meningkatkan efisiensi penyisihan warna,
kekeruhan dan TSS. Terjadi peningkatan penyisihan pada kadar warna setelah penambahan
lumpur menjadi 88,85%, efisiensi penyisihan kekeruhan menjadi 93,31%, dan penyisihan TSS
menjadi 89,21%. Hal ini disebabkan oleh kandungan dari lumpur itu sendiri yang dapat
meningkatkan kekeruhan sehingga dapat meningkatkan proses flokulasi yang dapat
memudahkan flok untuk diendapkan.

WS2-10
DAFTAR PUSTAKA
Akhtar, Waseem, Muhammad, R., Iqbal, A. 1997. Optimum Design of Sedimentation Tanks
Based on Settling Characteristics of Karachi Tannery Wastes. Pakistan: Institute of
Environment Engineering and Research, NED University of Engineering and
Technology. Water, Air, and Soil Pollution Volume 98: 199-211.
Anggraini, Dewi. 2008. Pemilihan Koagulan Untuk Pengolahan Air Bersih Di PDAM Badak
Singa Kota Bandung. Bandung: Jurusan Teknik Lingkungan ITB.
Bottero, J.Y., D., Tchoubar, M.A.V., Axelos, P., Quienne, F., Fiessinger. 1989. Flocculation of
Silica Colloids with Hydroxy Aluminium Polycations. Relation Between Floc Structure
and Aggregation Mechanisms. France. Langmuir Volume 6: 596-602.
Gurses, Ahmet. 2003. Removal of Remazol Red RB by Using Al(III) As Coagulant-Flocculant:
Effect of Some Variables on Settling Velocity. Turkey: Ataturk University. Water, Air,
and Soil Pollution Volume 146: 297-318.
Ginting, Daniel, Martha Mamo. 2006. Measuring Runoff-Suspended Solids Using an Improved
Turbidimeter Method. USA: Departement of Agronomy and Horticulture. Surface Water
Quality Volume 35: 815-823.
Isnaniawardhana, James Nobelia. 2007. Pengaruh Waktu Detensi dan Penggunaan Lumpur pada
Proses Koagulasi-Flokulasi Pengolahan Air Gambut Berwarna. Bandung: Jurusan Teknik
Lingkungan ITB. Infrastruktur dan Lingkungan Binaan Volume 3: 19-27.
Lee, Sun-Jong, Yoon-Jin Lee, Sang-ho Nam. 2008. Improvement in the Coagulation
byCombining Al and Fe Coagulants in Water Purification. Korea. Korean J.Chem.Eng
Volume 25, Number 3: 505-512.
Lindu, Muhamad, 2001. Pengaruh Gradien Kecepatan dan Waktu Tinggal Terhadap Koagulasi-
Flokulasi Warna dan Zat Organik Air Sumur Dalam. Jurusn Teknik Lingkungan
Universitas Triskti: Jakarta.
Reynolds, Tom D, 1982. Unit Operations and Processes in Environment Engineering.
Brooks/Cole Engineering Division: California.
Shammas, Nazih K, 2005. Physicochemical Treatment Processes Volume 3. Human Press:
Lenox.

WS2-11

Anda mungkin juga menyukai