Anda di halaman 1dari 24

TUGAS MANAJEMEN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN

ANDISTYA OKTANING LISTRA (0910210022) EKONOMI PEMBANGUNAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah berjudul Tanggung Jawab Sosial Perusahaan dengan baik. Terima Kasih kepada Dr. Noermijati, SE, MM yang telah memberi pengarahan dan bimbingan sebelumnya kepada penulis dalam hal penyusunan makalah ini. Makalah Manajemen mengenai Tanggung Jawab Sosial Perusahaan disusun secara analitis dan faktual berdasarkan sumber sumber yang akurat. Makalah ini sendiri mengandung berbagai penjelasan mengenai deskripsi dan kasus kasus nyta yang terjadi mengenai tanggung jawab sosial suatu perusahaan, misalnya : Kasus KPK dalam menyelesaikan kasus BLBI dan Kasus Lumpur Lapindo. Hal ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lengkap berdasarkan pendayagunaan ilmu yang sangat dibutuhkan para mahasiswa dalam proses KBM (Kegiatan Belajar Mengajar) selanjutnya. Menyadari bahwa keberhasilan penyusunan Makalah terkait banyak aspek, maka diperlukan suatu acuan yang terstandar di berbagai aspek tersebut. Dengan tetap menyadari kekurangannya, makalah ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber acuan yang minimal dapat dipergunakan dalam materi perkuliahan selanjutnya. Terima Kasih,

Malang, 6 Desember 2009

Penulis

DAFTAR ISI
1. Etika dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan

1 3 6 7 14 16 17

2. Menanti KPK Tuntaskan Penyelesaian Kasus BLBI 3. Kasus Lapindo Brantas Bab I : Kronologis Permasalahan Hasil Uji Lumpur dan Dampak Keterlibatan BP Migas Pertanggungjawaban Kontraktor Sumur Banjar Panji 1 dan Pemegang Saham Lapindo Brantas Inc. Bab II : Etika Terkait
Honestly, Fairness, Compassion, Integrity, Predictability,

19 19

and Responsibility. 4. Daftar Pustaka

ETIKA DAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN


Praktek tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR) oleh korporasi besar, khususnya di sektor industri ekstraktif (minyak, gas, dan pertambangan lainnya), saat ini sedang disorot tajam. Kasus Buyat adalah contoh terbaru--bukan terakhir--tentang bagaimana realisasi tanggung jawab sosial itu. Tulisan ini bermaksud menelaah praktek CSR berkaitan dengan peran aktif masyarakat sipil dalam memaknai dan turut membentuk konsep kemitraan yang merupakan salah satu kondisi yang dibutuhkan dalam mewujudkan CSR. Dalam artikel "How Should Civil Society (and The Government) Respond to 'Corporate Social Responsibility'?", Hamann dan Acutt (2003) menelaah motivasi yang mendasari kalangan bisnis menerima konsep CSR. Ada dua motivasi utama. Pertama, akomodasi, yaitu kebijakan bisnis yang hanya bersifat kosmetik, superficial, dan parsial. CSR dilakukan untuk memberi citra sebagai korporasi yang tanggap terhadap kepentingan sosial. Singkatnya, realisasi CSR yang bersifat akomodatif tidak melibatkan perubahan mendasar dalam kebijakan bisnis korporasi sesungguhnya. Kedua, legitimasi, yaitu motivasi yang bertujuan untuk mempengaruhi wacana. Pertanyaan-pertanyaan absah apakah yang dapat diajukan terhadap perilaku korporasi, serta jawaban-jawaban apa yang mungkin diberikan dan terbuka untuk diskusi? Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa motivasi ini berargumentasi wacana CSR mampu memenuhi fungsi utama yang memberikan keabsahan pada sistem kapitalis dan, lebih khusus, kiprah para korporasi raksasa. Telaah Hamann dan Acutt sangat relevan dengan situasi implementasi CSR di Indonesia dewasa ini. Khususnya dalam kondisi keragaman pengertian konsep dan penjabarannya dalam program-program berkenaan dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan. Keragaman pengertian konsep CSR adalah akibat logis dari sifat pelaksanaannya yang berdasarkan prinsip kesukarelaan. Tidak ada konsep baku yang dapat dianggap sebagai acuan pokok, baik di tingkat global maupun lokal. Secara internasional saat ini tercatat sejumlah inisiatif code of conduct implementasi CSR. Inisiatif itu diusulkan, baik oleh organisasi internasional independen (Sullivan

Principles, Global Reporting Initiative), organisasi negara (Organization for Economic Cooperation and Development), juga organisasi nonpemerintah (Caux Roundtables), dan lain-lain. Di Indonesia, acuannya belum ada. Bahkan peraturan tentang pembangunan komunitas (community development/CD) saat ini masih dalam bentuk draf yang diajukan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Tak heran jika berbagai korporasi sebenarnya berada dalam situasi "bingung" untuk melaksanakan CSR. Selain gambaran itu, tampak pula kecenderungan pelaksanaan CSR di Indonesia yang sangat tergantung pada chief executive officer (CEO) korporasi. Artinya, kebijakan CSR tidak otomatis selaras dengan visi dan misi korporasi. Jika CEO memiliki kesadaran moral bisnis berwajah manusiawi, besar kemungkinan korporasi tersebut menerapkan kebijakan CSR yang layak. Sebaliknya, jika orientasi CEO-nya hanya pada kepentingan kepuasan pemegang saham (produktivitas tinggi, profit besar, nilai saham tinggi) serta pencapaian prestasi pribadi, boleh jadi kebijakan CSR sekadar kosmetik. Sifat CSR yang sukarela, absennya produk hukum yang menunjang dan lemahnya penegakan hukum telah menjadikan Indonesia sebagai negara ideal bagi korporasi yang memang memperlakukan CSR sebagai kosmetik. Yang penting, Laporan Sosial Tahunannya tampil mengkilap, lengkap dengan tampilan foto aktivitas sosial serta dana program pembangunan komunitas yang telah direalisasi. Di pihak lain, kondisi itu juga membuat frustrasi korporasi yang berupaya menunjukkan itikad baik. Celakanya, bagi yang terakhir ini, walau dana dalam jumlah besar dikucurkan, manajemen CSR dibentuk, serta strategi dan program dibuat, nyatanya tuntutan serta demo dari masyarakat dan aktivis organisasi nonpemerintah masih tetap berlangsung. Sementara itu, sikap pemerintah sejauh ini masih memprihatinkan. Secara teoretis CSR mengasumsikan korporasi sebagai agen pembangunan yang penting, khususnya dalam hubungan dengan pihak pemerintah dan kelompok masyarakat sipil. Dengan menggunakan alur pemikiran motivasi dasar, berbagai stakeholder kunci dapat memantau, bahkan menciptakan tekanan eksternal yang bisa "memaksa" korporasi mewujudkan konsep dan penjabaran CSR yang lebih sesuai dengan kondisi Indonesia. Dari perspektif masyarakat sipil, pola kemitraan sangat menguntungkan karena kegiatan bisnis memiliki berbagai sumber daya penting dan kapabilitas yang dapat digabungkan untuk tujuan-tujuan pembangunan. Misalnya, pembangunan infrastruktur industri pertambangan di wilayah pedalaman mampu menyumbang secara signifikan pada penyediaan berbagai fasilitas publik, yang dapat dilihat dalam perkembangan kota Sangatta, Pekanbaru, dan Balikpapan. Namun, peran masyarakat sipil dalam pendayagunaan berbagai sumber daya dan kapabilitas perlu disalurkan dan diperkuat oleh organisasi nonpemerintah dan pemerintah. Artinya, kemitraan adalah prasyarat dasar. Dalam khazanah kemitraan dikenal istilah "kompetensi inti pelengkap" (complementary core competencies). Kapasitas rekayasa teknis, logistik, finansial, dan sumber daya manusia yang dimiliki korporasi dapat dipadu dengan modal sosial, ekonomi, budaya, dan pengetahuan lokal. Tentu juga dengan kerangka pembangunan yang lebih luas yang dilakukan pemerintah. Peningkatan posisi tawar masyarakat sipil masih harus diperjuangkan. Masyarakat sipil perlu memainkan peran lebih aktif dalam membentuk wacana tentang CSR. Hal ini mengisyaratkan kalangan

organisasi nonpemerintah juga harus lebih memahami agenda CSR. Bukan hanya retorikanya, tetapi juga unsur-unsur terukurnya, seperti aspek legislasi dan berbagai indikator kuantitatif keberhasilan CSR dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada kenyataannya, peta pemahaman organisasi nonpemerintah terhadap masalah ini masih sangat bervariasi. Yang tergolong garis keras condong menentang CSR, karena dianggap produk neoliberal dalam rangka penaklukan masyarakat sipil. Ada yang berkompeten, memiliki komitmen, dan dapat berkolaborasi, tapi jumlahnya masih sangat kecil. Bagian terbesar mungkin malahan hanya free rider. Dalam era kapitalisme global saat ini, eksistensi kapitalis seperti korporasi multinasional adalah keniscayaan. Menafikan keberadaan mereka dalam dinamika pembangunan di berbagai aspek adalah irasional. Sementara itu, menyiasati kehadiran korporasi dalam kerja sama kemitraan yang sejajar untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat bukanlah ilusi. Optimisme dan perjuangan mewujudkan hal itu lebih berarti dari sekadar asal berseberangan.

Menanti KPK Tuntaskan Penyelesaian Kasus BLBI


By: Achmad Daniri Republika, Senin, 15 Desember 2008 Pada 9 Desember lalu adalah tepat lima tahun Hari Antikorupsi. Sayangnya hingga kini kita belum menyaksikan keberanian dan kesungguhan pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus korupsi berskala besar di Tanah Air, khususnya terkait BLBI.Pemerintah tidak bersikap tegas sehingga masa depan penyelesaian kasus-kasus ini sangat kabur dan tidak jelas. Padahal, kasus-kasus tersebut telah merugikan negara dalam jumlah yang sangat besar. Sebagai catatan, dari kasus BLBI I (BCA/keluarga Salim) dan II (BDNI/Sjamsul Nursalim) saja, negara merugi masing-masing Rp 33,32 triliun dan Rp 23,48 triliun. Misalnya, dalam jawaban interpelasi atas kasus BLBI beberapa waktu lalu Presiden justru menyatakan akan melanjutkan kebijakan pemerintahan terdahulu terkait penyelesaian kasus BLBI. Hal ini termasuk mempertahankan kebijakan Inpres release and discharge yang selama ini menjadi penghambat proses hukum terhadap obligor-obligor BLBI. Pemerintah juga tidak tegas menindak obligor BLBI yang belum menyelesaikan kewajibannya. Berbagai akomodasi diberikan, dari mulai pengunduran jadwal pembayaran hingga reformulasi jumlah kewajiban yang harus dibayarkan. Pemerintah bahkan sempat memberikan sambutan karpet merah di Istana Negara bagi sejumlah obligor BLBI beberapa waktu lalu. Untuk kasus Sjamsul Nursalim dan keluarga Salim pemerintah juga menunjukkan ketidakberdayaannya. Meskipun indikasi tindak pidana telah demikian nyata dilakukan obligor-obligor tersebut, termasuk menyerahkan aset-aset fiktif

(undervalued) sebagai pelunasan kewajiban, pada kenyataannya mereka terus dibiarkan melenggang dengan bebas. Presiden bahkan juga tidak banyak bertindak saat oknum aparat penegak hukum dari institusi yang dibawahinya, Kejaksaan Agung, terlibat dugaan suap menyuap dengan Artalyta Suryani dalam rangka melindungi kepentingan obligor BLBI Sjamsul Nursalim. Padahal, salah seorang jaksa terbaik mereka, yaitu Urip Tri Gunawan, telah terbukti bersalah dan menerima vonis penjara. Atas kasus ini, majelis hakim telah pula menyimpulkan dengan tegas kasus itu tidak berdiri sendiri dan memiliki keterkaitan dengan kasus BLBI. Karena itu, sudah seharusnya pelaku-pelaku utama skandal BLBI, seperti Sjamsul Nursalim dan keluarga Salim, segera diseret ke pengadilan. Kasus suap Artalyta-Urip juga menyeret nama sejumlah nama pejabat tinggi di Kejagung. Karena itu, tak pelak ini menegaskan kentalnya indikasi KKN dalam penyelesaian kasus BLBI oleh Kejagung. Karena itulah, Kejagung sesungguhnya sudah tidak bisa diharapkan lagi menyelesaikan kasus BLBI secara objektif dan berkeadilan. Bagaimana mungkin pihak yang telah terlibat mampu memeriksa dirinya sendiri secara objektif? Kejagung bahkan sempat menyatakan banding atas putusan PN Jaksel yang membatalkan SP3 Sjamsul Nursalim. Seolah turut menutup-nutupi keterlibatan oknum Kejagung dalam kasus BLBI, Jaksa Agung Hendarman Supandji belum lama ini juga berani menyimpulkan Jaksa Urip bertindak sendirian dalam kasus suap Artalyta. KPK harus progresif Atas sejumlah hal tersebut, kita kembali mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk bertindak progresif dalam menangani kasus BLBI dan segera menyelesaikan kasus ini secara tuntas, objektif, dan berkeadilan. Penuntasan kasus BLBI oleh KPK merupakan sebuah keharusan mengingat KPK adalah lembaga penegak hukum yang dipandang kredibel dan masih dapat diharapkan saat ini. Keberhasilan pengusutan kasus-kasus ini oleh KPK juga akan mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap tegaknya supremasi hukum di negara Republik Indonesia, sebagaimana telah diamanatkan konstitusi. Diingatkan, penanganan kasus BLBI oleh KPK didukung oleh landasan hukum yang kuat, seperti tercantum dalam Pasal 8 ayat 2 dan Pasal 9 UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal-pasal tersebut antara lain ditegaskan bahwa KPK dapat mengambil alih kasus yang sedang ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan jika ditemukan bahwa penanganan kasus tersebut berlarut-larut dan terindikasi korupsi. Penanganan kasus BLBI oleh KPK (dengan mengambil alihnya dari tangan Kejagung) juga tidak bertentangan dengan asas nonretroaktif (tidak berlaku surut) karena tindakan korupsi dalam kasus BLBI sudah dinyatakan sebagai tindak pidana jauh sebelum lahirnya KPK.

Asas nonretroaktif hanya dapat berlaku pada perbuatan pidana, bukan pada kewenangan KPK untuk menangani kasus korupsi tersebut. Hal yang lebih penting untuk dipertimbangkan adalah bahwa skandal BLBI merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes) yang telah sangat merugikan negara dan terus membebani rakyat hingga puluhan tahun yang akan datang (sekurang-kurangnya hingga tahun 2033). Tercatat kerugian negara dari skandal BLBI setidaknya sebesar Rp 138,4 triliun (dari penyimpangan penyaluran BLBI). Jumlah ini masih harus ditambah dengan kerugian negara dari kebijakan penyehatan perbankan yang memakan biaya total Rp 640,9 triliun dan tingkat pengembalian uang negara yang sangat kecil dari penyelesaian kewajiban obligor (negara merugi Rp 62,74 triliun dari lima obligor MSAA penerima SKL).Beban inilah yang harus ditanggung rakyat melalui pos pembayaran utang dalam APBN sebesar rata-rata Rp 60 triliun setiap tahunnya. Atas dasar hal-hal di atas, maka KPK telah memiliki lebih dari cukup dasar hukum maupun moral untuk menuntaskan kasus-kasus BLBI. Dengan begitu, yang kini diperlukan hanyalah keberanian, kemauan, dan komitmen pimpinan KPK beserta jajarannya untuk segera menuntaskan kasus ini. Dalam kaitan itu, selanjutnya kita juga mendesak KPK untuk: 1. Menindaklanjuti kasus suap Artalyta-Urip dengan menyidangkan kasus-kasus BLBI Sjamsul Nursalim dan keluarga Salim, mengingat vonis hakim Tipikor telah menyatakan keterkaitan kasus suap tersebut dengan kasus BLBI. 2. Melebarkan pemeriksaan terhadap pejabat Kejagung yang diindikasikan terlibat dalam kasus suap Artalyta-Urip, seperti Kemas Yahya Rahman, M Salim, Untung Udjie Santoso, Wisnu Subroto, dan Djoko Widodo. 3. Mengusut dan menjadikan Glenn Yusuf sebagai tersangka atas kasus penggelembungan nilai aset Sjamsul Nursalim. 4. Menggunakan terungkapnya kasus suap Artalyta-Urip dan Glenn Yusuf-Urip sebagai pintu masuk untuk mengusut kembali seluruh kasus BLBI yang terindikasi menyimpang penyelesaiannya oleh Kejagung. Kita turut mengingatkan agar KPK bertindak konsisten dan progresif dalam menyelidiki kasus-kasus BLBI. Kita tidak menghendaki KPK pada kemudian hari mengidap penyakit masuk angin, yaitu hanya bersikap garang di awal proses, tetapi mandul dalam penyelesaiannya. KPK juga harus meneguhkan komitmennya untuk mengusut tuntas semua tindak korupsi yang dilakukan obligor BLBI tanpa pandang bulu. Kita tidak mengharapkan KPK lari dari tanggung jawab atau mencoba-coba mencari celah untuk menghindari pengusutan terhadap kasus utamanya. Misalnya, mengalihkan penyelidikan kasus BLBI hanya ke bank-bank pemerintah (meskipun bank-bank ini juga tetap harus diusut) dan tidak ke bank-bank swasta. Padahal, obligor-obligor

bank swasta, seperti Sjamsul Nursalim dan keluarga Salim telah nyata-nyata mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi negara. Terakhir, kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kita juga hendak mengingatkan agar Presiden membuktikan janjinya memberantas korupsi tanpa pandang bulu, sebagaimana marak disampaikan iklan Katakan Tidak pada Korupsi Presiden bersama partainya di sejumlah media massa. Kita dapat nyatakan, tanpa bukti dan langkah nyata, maka iklan tersebut hanya promosi Presiden menjelang pemilu 2009 yang tak bermakna apa-apa bagi rakyat. Presiden harus berkomitmen mengusut kasus-kasus korupsi berskala besar, seperti BLBI, dan tidak hanya menyibukkan diri pada kasus-kasus remeh dan bernilai kecil. Kita ingatkan untuk kesekian kalinya, korupsi BLBI adalah kejahatan kemanusiaan mahabesar yang telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian negara sehingga sudah sangat layak menjadi program prioritas Presiden.

Kasus Lapindo Brantas


Lapindo Brantas Inc. adalah salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ditunjuk BPMIGAS untuk melakukan proses pengeboran minyak dan gas bumi. Saham Lapindo Brantas dimiliki 100% oleh PT. Energi Mega Persada melalui anak perusahaannya, yaitu PT Kalila Energy Ltd. (84,24%) dan Pan Asia Enterprise (15,76%). Saat ini Lapindo memiliki 50% participating interest di wilayah Blok Brantas, Jawa Timur, Indonesia. Selain Lapindo, participating interest Blok Brantas juga dimiliki oleh PT Medco E&P Brantas (anak perusahaan dari MedcoEnergi) sebesar 32% dan Santos sebesar 18%. Dikarenakan memiliki nilai saham terbesar, maka Lapindo Brantas bertindak sebagai operator. PT. Energi Mega Persada sebagai pemilik saham mayoritas Lapindo Brantas merupakan anak perusahaan Grup Bakrie. Grup Bakrie memiliki 63,53% saham, sisanya dimiliki komisaris EMP, Rennier A.R. Latief, dengan 3,11%, Julianto Benhayudi 2,18%, dan publik 31,18%. Chief Executive Officer (CEO) Lapindo Brantas Inc. adalah Nirwan Bakrie yang merupakan adik kandung dari pengusaha dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu, Aburizal Bakrie. Pada 20 September 2006, PT Energi Mega Persada Tbk (PT EMP) berencana menjual Lapindo Brantas Inc. ke Lyte Limited, perusahaan yang berafiliasi ke Kelompok Usaha Bakrie. Akan tetapi penjualan ini tidak disetujui oleh BapepamLK dengan alasan manajemen Energi belum bisa memberi penjelasan apa penyebab insiden lumpur panas dan pihak mana yang harus bertanggungjawab. Oleh karena itu, PT EMP mengalihkan rencana penjualan Lapindo Brantas ke pihak ketiga yang tidak berafiliasi dengan grup Bakrie sehingga tidak perlu meminta persetujuan rapat umum pemegang saham karena bukan benturan kepentingan, sebagaimana yang terjadi dengan penjualan kepada Lyte. Pada 14

November 2006, kepemilikan saham EMP di Lapindo akhirnya dijual kepada Freehold Group Limited, sebuah perusahaan investasi yang berkedudukan di Kepulauan Virgin Britania Raya, namun penjualan ini lalu dibatalkan Freehold pada 28 November 2006. Pada 29 Mei 2006, lumpur panas menyembur dari sumur Banjar Panji-1 milik PT. Lapindo Brantas di desa Renokenongo, kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo provinsi Jawa Timur, Indonesia. Semburan lumpur yang sampai dengan saat ini belum berhasil dihentikan telah menyebabkan tutupnya banyak pabrik dan sawah, serta banyak pemukiman penduduk yang tak bisa digunakan dan ditempati lagi. Untuk menghentikan semburan lumpur di Sidoarjo, Lapindo meminta bantuan kepada group disaster expert, seperti Alert Disaster Control (Asia) Pte Ltd (Canada) dan Abel Engineering/Well Control (Texas, USA). Bab I Kronologis Permasalahan Kronologis Terjadinya Semburan Lumpur di Sidoarjo oleh Lapindo Brantas Inc. Januari 2005 : Lapindo Brantas Inc. melakukan eksplorasi potensi gas alam di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, karena sumber gas di wilayah Porong, Tanggulangin dan Buduran masih dinilai cukup potensial untuk dieksploitasi. Sejak 1999 hingga 2005, pihak Lapindo sudah mengeksploitasi gas alam di Sidoarjo pada 13 titik sumur yang tersebar di Porong, Tanggulangin dan Buduran yang diprediksi akan ada hingga 2007 dengan target hasil sebesar 80 juta kaki kubik per hari. Namun, dari 13 titik sumur yang saat ini diekploitasi telah memproduksi 70 juta kaki kubik per hari dan masih kurang dari target yang ditetapkan tersebut. Sehingga, Lapindo mengeksploitasi 7 tambahan titik sumur di Desa Wunut Kecamatan Porong, karena ke-13 titik sumur yang dieksploitasi secara alami dinilai akan mengalami penurunan kandungan gas alam. Pihak Lapindo beralasan bila mereka tidak melakukan eksplorasi dan eksploitasi gas alam, dikhawatirkan akan terjadi krisis energi yang mempengaruhi kegiatan industri dan masyarakat umum, terutama saat ini semakin banyak pemakaian gas untuk segala kebutuhan, sehingga kebutuhan gas di Jawa Timur dari tahun ke tahun dipastikan mengalami peningkatan. 18 Mei 2006 : Pada 18 Mei 2006 atau 11 hari sebelum semburan gas, rekanan proyek Lapindo mengingatkan mengenai pemasangan casing atau pipa selubung. Casing sudah harus dipasang sebelum pengeboran sampai di formasi Kujung di kedalaman 2.804 meter. Lapindo sebagai operator proyek belum memasang casing berdiameter 5/8

inci pada kedalaman 2.590 meter. Padahal, pemasangan casing adalah salah satu rambu keselamatan.

27 Mei 2006 : Pada awalnya sumur tersebut direncanakan hingga kedalaman 8500 kaki (2590 meter) untuk mencapai formasi Kujung (batu gamping). Sumur tersebut akan dipasang selubung bor (casing) yang ukurannya bervariasi sesuai dengan kedalaman untuk mengantisipasi potensi circulation loss (hilangnya lumpur dalam formasi) dan kick (masuknya fluida formasi tersebut ke dalam sumur) sebelum pengeboran menembus formasi Kujung. Pada 27 Mei 2006 pukul 07.00 hingga 13.00, pengeboran dilanjutkan ke kedalaman 9.297 kaki. Pengeboran dilakukan dari kedalaman 9.277 kaki ke 9.283 kaki. Pada kedalaman ini, sirkulasi lumpur berat masuk ke dalam lapisan tanah, yang disebut loss. Setelah terjadi loss, sebagai langkah standar disuntikkan loss circulating material (LCM) atau material penyumbat ke dalam sumur untuk menghentikan loss agar sirkulasi kembali normal. Pada umumnya, peristiwa loss diikuti munculnya tekanan tinggi dari dalam sumur ke atas yang disebut kick. Untuk mengantisipasi kick, pipa ditarik ke atas untuk memasukkan casing 9-5/8 inci yang rencananya akan dipasang tepat di kedalaman batas antara formasi Kalibeng Bawah dengan Formasi Kujung (8500 kaki) sebagai pengamanan sumur. Sebagai catatan, casing terakhir terpasang di kedalaman 3.580 kaki. 28 Mei 2006 : Pada 28 Mei 2006, salah seorang pekerja pengeboran sudah merasakan ada kebocoran gas. Ia sudah menginformasikan kepada pimpinannya di Lapindo. Saat itu, karyawan pengeboran telah mengingatkan, jika pengeboran diteruskan dapat mengakibatkan kebocoran, dan yang akan keluar adalah gas beracun yang dapat menimbulkan terjadinya kebakaran. Tetapi, pihak pimpinan tidak menghiraukan peringatan itu dan meminta agar pengeboran dilanjutkan. Pada pukul 08.00-12.00, saat proses penarikan pipa hingga 4.241 kaki, terjadi kick berkekuatan 350 Psi. Oleh karena itu, lumpur berat disuntikkan ke dalam sumur. Ketika hendak ditarik lebih ke atas, pada kedalaman 3.580 kaki bor macet atau stuck. Upaya menggerakkan pipa ke atas, ke bawah, maupun merotasikannya gagal. Bahkan, pipa tetap bergeming saat dilakukan penarikan sampai dengan kekuatan 200 ton. Upaya ini berlangsung mulai pukul 12.00 hingga 20.00. Selanjutnya, untuk mengamankan sumur, di area macetnya bor disuntikkan semen. Karena macet, akhirnya diputuskan bor atau fish diputus dari rangkaian pipa dengan cara diledakkan.

29 Mei 2006 : Menurut keterangan sejumlah mekanik penambangan PT. Tiga Musim Masa Jaya (TMMJ), perusahaan subkontrak penambangan, semburan gas disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran. Semburan (blow out) lumpur mulai terjadi pada 27 Mei sekitar pukul 07.00. Saat itu lumpur buatan untuk melindungi mata bor sekaligus untuk memudahkan proses pengeboran (oil base mud) hilang atau loss. Sejak saat itu lokasi pengeboran langsung ditutup dengan Police Line dan aparat kepolisian dari Polsek Porong telah menutup jalan menuju area pengeboran. Ketika bor berada di kedalaman 9.000 kaki atau 2.743 meter dan akan diangkat untuk ganti rangkaian, tiba-tiba macet. Gas tak bisa keluar melalui saluran fire pit dalam rangkaian pipa bor, dan menekan ke samping, akhirnya keluar ke permukaan melalui rawa. Sekitar pukul 05.00, lumpur dan gas akhirnya menyembur sekitar 100 meter dari sumur. Menurut para saksi mata di sekitar kejadian, semburan itu disertai suara keras dan ketinggiannya mencapai 15 meter. Lokasi semburan lumpur berada di Porong, yakni kecamatan di bagian selatan Kabupaten Sidoarjo, sekitar 12 km sebelah selatan kota Sidoarjo. Kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Gempol (Kabupaten Pasuruan) di sebelah selatan. Lokasi semburan hanya berjarak 150-500 meter dari sumur Banjar Panji-1 (BJP-1), yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas sebagai operator blok Brantas. Lokasi tersebut merupakan kawasan pemukiman dan di sekitarnya merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur. Tak jauh dari lokasi semburan terdapat jalan tol Surabaya-Gempol, jalan raya Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), serta jalur kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi. Ketika semburan lumpur terjadi pertama kali di sekitar Sumur Banjar Panji 1 (BJP-1), volume lumpur yang dihasilkan masih pada tingkat 5.000 meter kubik per hari. Lubang semburan terjadi di beberapa tempat, sebelum akhirnya menjadi satu lubang yang dari waktu ke waktu menyemburkan lumpur panas dengan volume yang terus membesar hingga mencapai 50.000 m3 per hari. Permasalahan penanganan lumpur panas ini menjadi jauh lebih berat akibat semakin membesarnya volume lumpur panas yang disemburkan, dari antara 40,000 m3 sampai 60,000 m3 (Mei-Agustus) menjadi 126,000 m3 per hari, sehingga yang akan dibuang tidak hanya air dari lumpur tersebut, akan tetapi keseluruhan lumpur panas yang menyembur di sekitar sumur Banjar Panji 1. 2 Juni 2006 : Pihak Lapindo tetap bersikukuh menganggap bahwa peristiwa semburan lumpur merupakan dampak gempa bumi yang membentuk retakan dalam lapisan tanah. Retakan itulah yang kemudian mengakibat gas dan lumpur menyembur keluar. Meskipun dalam penyidikan awal juga telah terungkap adanya indikasi kejanggalan dalam eksplorasi, pihak Lapindo tetap bersikeras bahwa semua kegiatan pengeborannya sudah sesuai SOP (standar operating procedure)

4 Juni 2006 : Pakar geologi, sekaligus Kepala Unit Pusat Studi Bencana Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Kampus ITS Sukolilo Surabaya, Ir. Amien Widodo, M.T., menyangkal pendapat pihak Lapindo. Menurutnya, semburan Lumpur dan gas di sumur Banjar Panji-1 terjadi bukan karena pengaruh gempa. Sebab, getaran yang terjadi di kawasan Surabaya dan Sidoarjo karena gempa Jogja hanya sekitar 2,2 skala richter. Gempa di Jogjakarta berskala 5,9 skala richter dan apabila berpengaruh di Sidoarjo skalanya kecil, dan tidak akan menyebabkan luapan lumpur Lapindo. 5 Juni 2006 : PT Medco Energi mengirimkan surat kepada Presdir Lapindo, Imam P. Agustino. Dalam surat yang ditandatangani oleh Budi Basuki selaku Perwakilan Komite Operasi PT Medco E&P Brantas dijelaskan bahwa berdasarkan kajian teknis yang dilakukan oleh Medco terhadap insiden luapan lumpur, Lapindo sebagai operator telah melakukan kelalaian sebagaimana tertera dalam perjanjian Operasi Bersama Brantas. Dalam surat tersebut dijelaskan bahwa dalam rapat teknis pada 18 Mei 2006, Medco telah mengingatkan operator untuk memasang casing pada kedalaman 8.500 kaki untuk mengantisipasi potensi kebocoran sebelum pengeboran menembus formasi kujung sebagaimana disetujui dalam program pengeboran. 16 Juni 2006 : Koordinator Divisi Advokasi Energi Jaringan Advokasi Tambang, Andri Wijaya, menganggap alasan yang dikemukakan Lapindo tidak masuk akal, karena tidak ada sumur eksploitasi dan eksplorasi lain yang letaknya lebih dekat dengan Jogjakarta yang mengalami luberan lumpur akibat gempa Jogja. Andri mencurigai luberan lumpur disengaja sebagai proses clearing area di sekitar wilayah pengeboran dalam waktu singkat dan cepat. Artinya, perusahaan membutuhkan tanah, sedangkan tanah yang sudah terendam lumpur pasti dijual dengan harga murah. 21 Juni 2006 : Aburizal Bakrie menyatakan bahwa kasus Lapindo merupakan tanggung jawab perusahaan. Ia juga menyatakan bahwa Lapindo Brantas Inc. akan menangani kerugian yang ditimbulkan dan telah menyiapkan dana hingga US$ 70 juta. Juli 2006 : General Manajer Lapindo Brantas Inc., Imam Agustino, dijadikan tersangka atas timbulnya bencana lumpur Lapindo. Agustus 2006 :

Lapindo Brantas Inc. membayar sejumlah Rp 2,5 juta per tahun selama 2 tahun kepada setiap keluarga yang menjadi korban lumpur Lapindo sebagai biaya untuk menyewa rumah.

8 September 2006 : Presiden RI membentuk Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo, yang memiliki masa tugas selama 6 bulan. November 2006 : Tim peneliti dari Danareksa memperkirakan kerugian yang diderita Lapindo Brantas Inc. akan meningkat dari US$ 180 juta menjadi US$ 3 miliar. Desember 2006 : Kekayaan keluarga Bakrie yang diperkirakan mencapai US$ 1,2 miliar (atau setara dengan Rp 11,04 triliun), menempatkan keluarga Bakrie sebagai keluarga terkaya ke-6 di Indonesia. 8 Maret 2007 : Lapindo Brantas Inc. menyatakan bahwa mereka telah menghabiskan Rp 1,3 triliun untuk ganti rugi akibat luapan lumpur Lapindo, termasuk dampak sosial yang diakibatkan di Porong, Sidoarjo. 22 Maret 2007 : Peta musibah lumpur Lapindo meluas hingga Gempolsari, Ketapang, dan desa Kalitengah. 8 April 2007 : Presiden RI mengeluarkan Peraturan No. 14/2007 mengenai pembentukan Sidoarjo Mudflow Management Body (BPLS) untuk menggantikan Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. 26 Juni 2007 : Presiden RI meminta Lapindo Brantas Inc. untuk mempercepat pembayaran atas 20% uang muka ganti rugi kepada 10,000 keluarga yang menjadi korban lumpur Lapindo pada 1 Juli 2007 dalam jangka waktu 10 minggu. 14 September 2007 :

Batas akhir pembayaran 20% uang muka ganti rugi telah lewat dan Lapindo Brantas Inc. gagal untuk memenuhi permintaan Presiden RI.

November 2007 : Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan perdata YLBHI dalam perkara penanganan korban lumpur Lapindo. Desember 2007 : Akibat meningkatnya harga batu bara di pasar internasional, saham milik Bumi Resources, salah satu perusahaan yang dimiliki oleh keluarga Bakrie, meningkat tajam, yang meningkatkan jumlah kekayaan keluarga Bakrie hingga US$ 5,4 miliar (atau setara dengan Rp 50 triliun). Hal ini mengakibatkan keluarga Bakrie menjadi keluarga terkaya di Indonesia. Pada saat ini, biaya kompensasi akibat bencana lumpur Lapindo telah mencapai Rp 3,4 triliun. Mahkamah Agung menolak permohonan uji materi Peraturan Presiden tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Selain itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan Walhi terhadap Lapindo dan Presiden RI. Pengadilan Negeri Jakarta Utara juga menolak gugatan YLBHI. 28 Mei 2008 : Batas waktu bagi Lapindo Brantas Inc. untuk memulai pembayaran sisa 80% uang ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo telah tiba. Pihak Lapindo melakukan pembayaran yang pertama kepada 11 warga di Siring sejumlah Rp 2,054 miliar. 11 Juni 2008 : Presiden RI mengeluarkan Peraturan Presiden No. 48/2008, revisi atas Peraturan Presiden no. 14/2007. Desa Kedungcangkring, Pejarakan, dan Besuki telah menambah daftar desa dalam peta bencana lumpur Lapindo, namun pendanaan atas ketiga desa tersebut dilakukan oleh pemerintah. 11 November 2008 : Lapindo Brantas Inc. mengemukakan bahwa pihaknya telah menghabiskan Rp 1,8 triliun untuk membeli lahan dan bangunan warga yang terkena lumpur Lapindo. Namun, ketua asosiasi Renokenongo, Sunarto, mengemukakan bahwa masih terdapat 465 kasus senilai Rp 37 miliar dimana Lapindo masih belum membayarkan 20% uang muka ganti ruginya. 27 November 2008 :

Presiden RI mendesak Lapindo Brantas Inc. untuk melakukan pembayaran 20% uang muka ganti rugi sejumlah Rp 49 miliar.

30 November 2008 : Ribuan korban lumpur Lapindo datang ke Jakarta untuk melakukan aksi demonstrasi di Istana Presiden, gedung DPR, dan kantor Menteri Kesejahteraan Rakyat. Desember 2008 : Lapindo Brantas Inc. gagal untuk memenuhi tenggat waktu yang diminta oleh Presiden. Dengan alasan dana, Lapindo Brantas Inc. berjanji mencicil sisa ganti rugi Rp 30 juta per bulan. Februari 2009 : Presiden RI meminta Lapindo Brantas Inc. agar menyelesaikan pembayaran ganti rugi dalam tahun ini. Namun, pihak Lapindo menyatakan hanya mampu membayar Rp 15 juta per bulan. Maret 2009 : Cicilan ganti rugi yang dijanjikan Lapindo Brantas Inc. senilai Rp 15 juta per bulan dihentikan akibat kekurangan dana. April 2009 : Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi YLBHI. Mei 2009 : Kepolisian dan Kejaksaan Jawa Timur menyatakan bahwa penyebab semburan lumpur Lapindo adalah akibat kesalahan manusia (human error). Juni 2009 : Ratusan pekerja yang ditugaskan untuk memperkuat tanggul dan mengaduk lumpur Lapindo berhenti bekerja akibat kontrak kerja mereka tidak diperpanjang. Hal ini mengakibatkan terhambatnya pembuangan lumpur ke Kali Porong. Juli 2009 :

Tim Adhoc Komisi Nasional Hak Asasi Manusia akan memeriksa korban semburan lumpur Lapindo terkait dugaan pelanggaran HAM berat, antara lain hak hidup, hak untuk mendapatkan pekerjaan, hak kesehatan, hak pendidikan, dan sebagainya.

Hasil uji lumpur Berdasarkan pengujian toksikologis di 3 laboratorium terakreditasi (Sucofindo, Corelab dan Bogorlab) diperoleh kesimpulan ternyata lumpur Sidoarjo tidak termasuk limbah B3 baik untuk bahan anorganik seperti Arsen, Barium, dan sebagainya, maupun untuk untuk bahan organik seperti Trichlorophenol, Chlordane, dan sebagainya. Hasil pengujian menunjukkan semua parameter bahan kimia itu berada di bawah baku mutu, sehingga tidak berbahaya dan tidak beracun bagi biota akuatik. Namun kesimpulan dari Wahana Lingkungan Hidup menunjukkan hasil berbeda. Dari hasil penelitian Walhi dinyatakan bahwa secara umum pada area luberan lumpur dan sungai Porong telah tercemar oleh logam kadmium (Cd) dan timbal (Pb) yang cukup berbahaya bagi manusia apalagi kadarnya jauh di atas ambang batas. Dan perlu sangat diwaspadai bahwa ternyata lumpur Lapindo dan sedimen Sungai Porong kadar timbal-nya sangat besar yaitu mencapai 146 kali dari ambang batas yang telah ditentukan. Hal ini dapat membahayakan manusia dan lingkungan : 1. Bioakumulasi dalam jaringan lemak manusia (dan hewan) 2. Kulit merah, iritasi, melepuh, dan kanker kulit jika kontak langsung dengan kulit 3. Kanker 4. Permasalahan reproduksi 5. Membahayakan organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan kulit Dampak PAH dalam lumpur Lapindo bagi manusia dan lingkungan mungkin tidak akan terlihat sekarang, melainkan nanti 5-10 tahun kedepan. Dan yang paling berbahaya adalah keberadaan PAH ini akan mengancam kehidupan anak cucu, khususnya bagi mereka yang tinggal di sekitar semburan lumpur Lapindo beserta ancaman terhadap kerusakan lingkungan. Namun sampai Mei 2009 atau tiga tahun dari kejadian awal ternyata belum terdapat adanya korban sakit atau meninggal akibat lumpur tersebut. Dampak

Semburan lumpur ini membawa dampak yang signifikan bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Sampai Mei 2009, PT Lapindo, melalui PT Minarak Lapindo Jaya telah mengeluarkan uang baik untuk mengganti tanah masyarakat maupun membuat tanggul sebesar Rp 6 triliun. 1. Lumpur menggenangi 12 desa di 3 kecamatan, serta rusaknya areal pertanian, sarana pendidikan dan Markas Koramil Porong, yaitu di Kecamatan Porong, Jabon, dan Tanggulangin, dengan total warga yang dievakuasi sebanyak lebih dari 25.000 jiwa akibat tak kurang 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur. 2. Lahan dan ternak yang terkena dampak lumpur hingga Agustus 2006 antara lain: lahan tebu seluas 25,61 ha, lahan padi seluas 172,39 ha, serta 1.605 ekor unggas, 30 ekor kambing, 2 sapi dan 7 ekor kijang.

3. 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan memberhentikan 1.873 tenaga kerja. 4. 5. 4 kantor pemerintah tidak berfungsi dan para pegawai juga terancam tak bekerja. Tidak berfungsinya sarana pendidikan (SD, SMP), Markas Koramil Porong, serta rusaknya sarana dan prasarana infrastruktur (jaringan listrik dan telepon)

6. Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit, dengan rincian : Tempat tinggal 1.810, sekolah 18, kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit. 7. 8. 9. Kerusakan lingkungan terhadap wilayah yang tergenangi, termasuk areal persawahan. Pipa air milik PDAM Surabaya patah akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur. Meledaknya pipa gas milik Pertamina akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam.

10. Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol dan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Warutol-Porong. 11. SUTET milik PT PLN dan seluruh jaringan telepon dan listrik di 4 desa serta 1 jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat difungsikan. Penutupan ruas jalan tol ini juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi serta kota-kota lain di bagian timur pulau Jawa. Ini berakibat pula terhadap aktivitas produksi di kawasan Ngoro

(Mojokerto) dan Pasuruan yang selama ini merupakan salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.

Keterlibatan BP Migas Menurut Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Sonny Keraf, pihak yang harus bertanggung jawab atas semburan lumpur di Sidoarjo adalah Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) karena sesuai dengan aturan yang berlaku, BP Migas adalah pihak yang bertugas mengatur dan mengawasi pengeboran. Salah satu tugas BP Migas adalah menyetujui proposal pengeboran dengan sistem kontrak bagi hasil dan mengawasi prosedur peralatan pengeboran dalam kerangka pengawasan. BP Migas mempunyai Bidang Operasi di mana di dalamnya ada Divisi Operasi Lapangan. Divisi ini memonitor semua kegiatan operasi lapangan (survei dan pemboran) yang sedang dilakukan kontraktor. Munculnya kasus Lumpur Lapindo diduga merupakan akibat pengawasan yang tidak ketat dimana BP Migas hanya memperhatikan mengenai pengurusan kontrak bagi hasil. Dugaan tersebut terkait dengan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan atas semburan lumpur Lapindo yang menyatakan bahwa Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral serta BP Migas tidak mengawasi eksplorasi sumur Banjar Panji-1 yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas. Selain itu, berdasarkan hasil investigasi yang telah dilakukan oleh WALHI Jawa Timur, menyatakan bahwa selama beroperasi selama 3 bulan PT Lapindo Brantas tidak pernah melakukan sosialisasi atau pengumuman setempat terhadap warga, termasuk pemerintah daerah. Fakta ini menunjukkan bahwa peran pengawasan dan pemantauan pemerintah melalui Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas), yang memilih kontraktor, PT Lapindo Brantas, memberi izin eksplorasi (melalui Keputusan Presiden), serta bertindak sebagai pemantau operasi dan lingkungan, menerima laporan harian (daily reports), tidak dilakukan dengan baik dan benar dalam kasus ini. Padahal sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, seharusnya BP Migas memperingatkan Lapindo yang melakukan pengeboran tanpa memasang selubung bor (cassing). Namun, langkah penyidikan pihak kepolisian tidak berjalan lancar akibat pihak Lapindo tidak bersedia menyerahkan berbagai dokumen terkait dengan pengeboran

dengan alasan bahwa dokumen-dokumen tersebut berstatus rahasia Negara, sesuai dengan UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 pasal 20 yang mengatur dan menjamin kerahasiaan data dan informasi seputar kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas. UU Migas ini tidak hanya menjadi tembok penghalang bagi pihak kepolisian saja, tetapi juga menjadi penghambat dalam usaha tanggap darurat. Sejak UU Migas berlaku, otoritas pelaksaaan Kontrak kerja sama dan pengawasan kegiatan sektor Migas yang sebelumnya berada di Pertamina (Badan Usaha Milik Negara) kini berada pada Badan Pengelola (BP) Migas (Badan Hukum Milik Negara). BP Migas sebagai pelaksana negara (regulator) tidak memiliki kapasitas sebanyak Pertamina baik dari segi sumber daya manusia, dana, kapasitas hingga kewenangan BP Migas yang sangat terbatas. Jika diperhatikan lebih lanjut, berlakunya UU Migas memperlemah pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap operator pertambangan, khususnya untuk memastikan bahwa para operator mengikuti prosedur operasi yang aman. Akibatnya, pemerintah tidak berani mengambil tindakan untuk mencabut Ijin operasi PT Lapindo Brantas karena sejak adanya UU Migas, pemerintah hanya memiliki fungsi regulator. Demikian juga dengan BP Migas yang merupakan badan pelaksana pemerintah, yang tidak memiliki sistem dan perangkat sebagai BUMN, seperti Pertamina, yang berarti jika ijin Lapindo dicabut, pemerintah tidak akan mampu mengelola pertambangan yang sebelumnya dikelola oleh Lapindo, terutama sejak diketahui ada kelompok yang sangat berkuasa di balik keberadaan Lapindo, yaitu kelompok Bakrie. Situasi ini akan lebih mudah ditangani sebelum UU Migas berlaku yaitu jika ijin operasi PT Lapindo dicabut, Pertamina bisa mengambil alih segala tindakan yang diperlukan dalam penanganan bencana yang terjadi hingga mengambil alih pengelolaan lapangan bersangkutan. Sampai dengan tahun 2009, belum ada kejelasan lebih lanjut mengenai keterlibatan pihak BP Migas dalam kasus semburan Lumpur Lapindo. Hal ini dikarenakan pihak kepolisian dan penyidik belum menemukan bukti-bukti nyata mengenai keterlibatan pihak BP Migas, walaupun banyak pihak yang menyetujui bahwa pihak BP Migas juga memiliki tanggung jawab atas semburan Lumpur di Sidoarjo tersebut. Pertanggungjawaban Kontraktor Sumur Banjar Panji 1 dan Pemegang Saham Lapindo Brantas Inc. Pengeboran Sumur Banjar Panji 1 yang menyebabkan luapan lumpur terletak di Blok Brantas, sebuah blok eksploitasi gas alam yang dikelola oleh beberapa pihak yaitu: Lapindo Brantas Inc, sebagai pemilik participating interest terbesar bertindak sebagai operator. Dalam pengeboran kegiatan eksplorasi gas alam di Sumur Banjar Panji 1 oleh Lapindo Brantas Inc, operasi pengeboran dilakukan melalui penunjukkan sub-kontraktor PT Medici Citra Nusantara (salah satu perusahaan dalam grup Bakrie). Dalam laporan penyelidikan BPK terhadap kasus luapan lumpur sehubungan dengan kelalaian tidak dipasangnya casing dalam aktivitas

pengeboran dikatakan bahwa Lapindo Brantas Inc. dan PT Medici Citra Nusantara telah lalai dalam pengeboran karena tidak memasang casing pada kedalaman yang sesuai dengan drilling program yang telah disepakati sebelumnya dengan BP Migas. Pada tahun 2006, polisi telah menetapkan 13 tersangka, sebagian berasal dari Lapindo Brantas dan PT Medici Citra Nusantara, di antaranya Imam P. Agustino (Direktur Utama Lapindo Brantas Inc.), Rahenold, Subie dan, Slamet B.K. (ketiganya adalah Drilling Supervisor PT Medici Citra Nusa), Willem Hunila (company man Lapindo Brantas Inc.), Edi Sutriono (supervisor drilling), Nur Rahmat Sawolo (Vice President Drilling PT Energi Mega Persada, yang dikaryakan di Lapindo Brantas Inc.), Yenny Nawawi (Direktur Utama PT Medici Citra Nusa), Slamet Rianto (Manajer Drilling PT Medici Citra Nusa), Soleman (rig manager), Lilik Marsudi (juru bor), Sardianto (mandor), dan Aswan Siregar (mantan Direktur Lapindo Brantas Inc.). Sampai saat ini dari sisi tindak pidana kelalaian, baru ketigabelas tersangka di atas yang dijadikan tersangka. Per Juni 2009, pemeriksaan masih berlangsung dan belum ada yang ditetapkan sebagai terdakwa. Sehubungan dengan kedua partner pengelola Blok Brantas yang lain, PT Medco E&P Brantas dan Santos Brantas, kedua perusahaan tersebut menilai bahwa Lapindo telah melakukan kelalaian (gross negligence), seperti tertuang dalam dokumen perjanjian operasi bersama (JOA) Blok Brantas, artikel 1.28. Mengacu pada klausul 4.6 dari JOA Brantas, Lapindo sebagai operator harus bertanggung jawab terhadap klaim dari pihak lain, termasuk menanggung biaya pemulihan agar situasi menjadi normal kembali setelah kebocoran. Keberadaan Medco dan Santos di blok itu hanya sebatas partisipasi modal kerja, bukan operator. Kewenangannya pun sebatas memberikan advis teknis. Melalui surat No. MGT-088/JKT/06 tanggal 5 Juni 2006, PT Medco E&P Brantas telah mengingatkan Lapindo pada saat technical meeting pada tanggal 18 Mei 2006, agar Lapindo memasang casing 9 5/8 pada kedalaman 8.500 kaki. Pertimbangan teknis dari PT Medco E&P Brantas adalah pemasangan casing tersebut untuk mengantisipasi adanya potensi masalah pada sumur sebelum pemboran memasuki formasi Kujung. Dari sisi pemegang saham, ketika luapan lumpur tersebut terjadi, berikut ini adalah susunan kepemilikan saham: Tanggung jawab atas Lapindo Brantas Inc. selaku operator dalam kasus luapan lumpur ini berada di PT Energi Mega Persada Tbk. yang memiliki kepemilikan sampai 100% di Lapindo Brantas Inc. Sedangkan Grup Bakrie adalah pemegang saham terbesar PT Energi Mega Persada Tbk. sebesar 63,35%. Sehingga secara tidak langsung Grup Bakrie juga merupakan pemegang saham terbesar dan memilik kendali atas Lapindo Brantas Inc. Berkaitan dengan kepemilikan dan kendali Grup Bakrie atas Lapindo Brantas Inc. banyak pihak yang menuntut pertanggungjawaban dari Grup Bakrie untuk menyelesaikan masalah luapan lumpur dan turut berpartisipasi dalam memberikan ganti rugi atas kerugian ekonomi dan sosial yang dialami oleh masyarakat. PT Medici Citra Nusantara, subkontraktor dari pengeboran yang menyebabkan luapan

lumpur, pada akhirnya diketahui merupakan bagian dari Grup Bakrie. Namun sampai saat ini tidak ada pertanggungjawaban secara resmi dari Grup Bakrie. Pasal 3 Ayat 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas menyatakan bahwa pemegang saham tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya. Akan tetapi pernyataan dari Grup Bakrie sendiri melalui Abdurizal Bakrie, pemegang kekuaasaan terbesar dalam Grup Bakrie, mengatakan akan menyiapkan dana untuk ganti rugi, mengesankan bahwa Grup Bakrie akan bertanggung jawab. Dengan alasan untuk melindungi pemilik saham publiknya, PT Energi Mega Persada menjual 100% kepemilikan saham di Lapindo Brantas Inc, melalui Kalila Energy Ltd. dan Pan Asia Enterprise ke Freehold Ltd. namun penjualan tersebut dibatalkan pada November 2006 oleh Freehold. Pada tanggal 26 Maret 2007, melalui PT Minarak Lapindo Jaya, PT Energi Mega Persada Tbk. menyatakan akan bertanggung jawab atas ganti rugi masyarakat dan mulai menyalurkan ganti rugi kepada masyarakat. Untuk kondisi saat ini, ganti rugi kepada masyarakat telah dihentikan sejak Maret 2008 dengan alasan tidak adanya dana. Pertanggungjawaban dari pemilik saham, Grup Bakrie dan pemilik saham lainnya tidak kejelasan secara formal. Bab II Teori Etika Terkait Kami menggunakan teori dan penjelasan dalam buku Leonard J. Brooks (2004) dalam mengkaitkan permasalah kasus Lapindo Brantas, yang telah dijelaskan di atas, dengan Etika dalam tindakan maupun keputusan perusahaan. Milton Friedman dalam teorinya memandang bahwa bisnis ada untuk melayani lingkungan dan menegaskan bahwa organisasi harusnya selalu mengawasi tindak tanduknya sebelum, ketika, dan sesudah melaksanakan keputusannya. Contoh organisasi yang selalu memantau lingkungan bisnis mereka adalah CERES. Terkadang kalau perusahaan kurang mampu mengawasinya sendiri, mereka akan meminta bantuan konsultan (ethical investor) untuk mengawasi dan menasihati jika ada sesuatu yang mengancam yang terkait dengan kegiatan dan investasi untuk profitabilitas dan integritas etika. Hal-hal yang perlu diawasi terangkum dalam Hypernorm. Hypernorm adalah nilai dasar untuk mencakup seluruh kepentingan para stakeholder. Nilai ini adalah untuk seluruh pihak yang terkait, sehingga dapat diterapkan pada seluruh stakeholder untuk mendukung kegiatan perusahaan.

Nilai yang tercakup dalam Hypernorm adalah: Honestly, Fairness, Compassion, Integrity, Predictability, and Responsibility.

Dalam Bab III dan IV dalam makalah ini akan dibahas mengenai evaluasi, evaluasi yang akan dibahas banyak terkait dengan pengawasan perusahaan terkait dengan hypernorm predictability dan responsibility. Untuk keputusan yang terkait dengan publik dan masyarakat banyak, kita dapat menggunakan The Moral Standards Approach, yang dikembangkan oleh Professor Manuel Velasquez (1992). Teori ini memfokuskan pada tiga dimensi dari dampak tindakan yang diajukan, yaitu; (1) apakah tindakan tersebut memberikan keuntungan bagi masyarakat umum, (2) apakah tindakan tersebut adil bagi semua stakeholders, (3) apakah tindakan tersebut benar. EDM Considerations Well-offness or well-being Philosophical Theories Consequentialism, Utilitarianism, Theology Respect for the rights of stakeholders Deontology (rights and Duties) Fairness among stakeholders Kants Categorical imperative, justice as impartiality Expectations for character traits, virtue Virtue Specific EDM Issues Different behavior in different cultures Relativism, subjectivism (bribery) Conflicts of interest, and limits to self- Deontology, subjectivism, egoism interested behavior

Tiga standar dari Moral standards approach, yaitu; Moral Standard Pertanyaan dari keputusan yang diajukan

Risiko etika merupakan risiko tidak terpenuhinya ekspektasi stakeholder dimana jika tidak terpenuhi akan memunculkan potensi kehilangan dukungan untuk mencapai tujuan perusahaan, sementara jika melewati ekspektasi akan menghasilkan keuntungan kompetitif. Ada banyak cara untuk dilakukannya pengawasan, seperti dikeluarkannya regulasi terkait, code of conduct profesi, audit eksternal untuk laporan keuangan, internal control dan salah satu yang mulai terkenal karena terkait dengan lingkungan hidup dan masyarakat adalah corporate social responsibility (CSR). Perusahaan mulai menyadari selain bertanggung jawab terhadap para pemegang saham mereka juga bertanggung jawab terhadap para pihak yang berkepentingan (stakeholder). Sebagai hasil paradigma baru ini perusahaan tertarik dalam menilai kinerja perusahaan yang diminati oleh para stakeholder untuk mengetahui apa yang sedang terjadi, bagaimana teknik manajemen bekerja, dan apakah yang dilaporkan kepada dewan komite dan publik.

DAFTAR PUSTAKA
www.Google.com: 3 November 2009 pukul 08.53. Wibowo, Pamadi. Tanggung jawab Sosial Masyarakat. Associate LabSosio Universitas Indonesia. www.Google.com: 3 November 2009 pukul 08.55. Daniri, Achmad. Menanti KPK Tuntaskan Penyelesaian Kasus BLBI. Republika, Senin, 15 Desember 2009. Terbit di Web : Selasa, 16 Desember 2008 www.Google.com: 3 November 2009 pukul 09.10. Agnes Halim, Christina Aprillia, Lidia Feniati, dan Shartika Nirmala Dewi. Kasus Lapindo Brantas. Universitas Indonesia Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi. Diterbitkan oleh Emil Bachtiar tanggal 27 Juli 2007

Anda mungkin juga menyukai