Anda di halaman 1dari 47

I.

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Pakan alami merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi

keberhasilan usaha budidaya ikan. Menurut Djarijah (2003), sebagian besar pakan alami ikan adalah plankton yaitu fitoplankton maupun zooplankton. Pakan alami untuk larva atau benih ikan mempunyai beberapa kelebihan karena ukurannya relatif kecil serta sesuai dengan bukaan mulut larva atau benih ikan, nilai nutrisinya tinggi, mudah dibudidayakan, gerakannya dapat merangsang ikan untuk memangsanya, dapat berkembangbiak dengan cepat sehingga ketersediaanya dapat terjamin serta biaya pembudidayaannya relatif murah (Priyambodo dan Triwahyuningsih, 2003). Artemia merupakan salah satu pakan alami yang sampai saat ini paling banyak digunakan dalam usaha budidaya ikan dan udang khususnya dalam pembenihan. Artemia tidak hanya dapat digunakan dalam bentuk nauplius tapi dalam bentuk dewasa. Bahkan jika dibandingkan dengan nauplius, nilai nutrisi artemia dewasa mempunyai keunggulan yakni memiliki kandungan protein yang tinggi yaitu sekitar 47 % sedangkan pada artemia dewasa yang telah dikeringkan sebesar 60 %. Artemia dapat diberikan untuk ikan dan udang, baik itu air laut, payau maupun tawar (Jusadi, 2003). Menurut Djarijah (2003), artemia sering dipergunakan sebagai pakan larva karena toleransi terhadap salinitas yang tinggi. Artemia dibutuhkan sebagai pakan alami bagi berbagai macam larva ikan. Kebutuhan artemia sebagai pakan larva sangat tergantung pada bukaan mulut dan laju pencernaan larva ikan. Larva ikan memiliki laju pencernaan yang cepat dan kebutuhan nutrisi lengkap, semua kebutuhan tersebut baru bisa dipenuhi oleh pakan alami terutama artemia. Keunggulan artemia dewasa tidak hanya pada nilai nutrisinya, tetapi juga mempunyai kerangka luar (eksoskeleton) yang sangat tipis sehingga dapat dicerna seluruhnya oleh ikan atau udang. Artemia dewasa merupakan pakan udang yang paling baik jika digunakan sebagai pakan alami maupun sumber protein utama

pakan buatan. Untuk mendapatkan biomassa artemia dalam jumlah banyak, harus dilakukan kultur terlebih dahulu. Produksi artemia dapat dibudidayakan pada tambak bersalinitas cukup tinggi sehingga memproduksi kista dan dapat dilakukan secara terkendali pada bak-bak dalam kultur massal ini (Sumeru, 2008 ). B. Tujuan Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk melakukan penetasan kista artemia pada skala laboratorium serta mengetahui teknik penetasan kista artemia dan persentase penetasan kista artemia.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistematika dan Morfologi Artemia salina

Menurut Kurniastuty dan Isnansetyo (1995) sistematika Artemia salina adalah sebagai berikut: filum kelas subkelas ordo famili genus spesies : Anthropoda : Crustacea : Branchiopoda : Anostraca : Artemidae : Artemia : Artemia salina Artemia merupakan salah satu jenis pakan alami yang sangat diperlukan

dalam kegiatan pembenihan udang dan ikan. Menurut Priyambodo dan Triwahyuningsih (2003), ukuran artemia dewasa antara 10-20 mm dengan berat sekitar 10 mg. Bagian kepalanya lebih besar dan kemudian mengecil hingga bagian ekor. Mempunyai sepasang mata dan sepasang antenulla yang terletak pada bagian kepala. Pada bagian tubuh terdapat sebelas pasang kaki yang disebut thoracopoda. Alat kelamin terletak antara ekor dan pasangan kaki paling belakang. Pada artemia jantan, salah satu antena berkembang menjadi alat penjepit, sedangkan pada betina antena berfungsi sebagai alat sensor. Artemia dengan kandungan oksigen yang baik akan berwarna kuning atau merah jambu. Warna ini bisa berubah menjadi kehijauan apabila mereka banyak mengkonsumsi mikroalga. Pada kondisi yang ideal seperti ini, artemia akan tumbuh dengan cepat. Kista artemia berbentuk bulat berlekuk dalam keadaan kering dan bulat penuh dalam keadaan basah. Warnanya coklat yang diselubungi oleh cangkang yang tebal dan kuat. Cangkang ini berguna untuk melindungi embrio terhadap pengaruh kekeringan, benturan keras, sinar ultraviolet dan mempermudah pengapungan (Mudjiman, 2008). Cangkang telur artemia dibagi dalam dua bagian yaitu korion (bagian luar) dan kutikula embrionik (bagian dalam). Diantara kedua lapisan tersebut terdapat

lapisan ketiga yang dinamakan selaput kutikuler luar. Korion dibagi lagi dalam dua bagian yaitu lapisan yang paling luar yang disebut lapisan peripheral (terdiri dari selaput luar dan selaput kortikal) dan lapisan alveolar yang berada di bawahnya. Kutikula embrionik dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu lapisan fibriosa dibagian atas dan selaput kutikuler dalam di bawahnya. Selaput ini merupakan selaput penetasan yang membungkus embrio (Mudjiman, 2008).

B. Habitat Artemia hidup diperairan yang berkadar garam tinggi, yaitu antara 15-300 ppt. Pada salinitas yang terlalu tinggi, telur tidak akan menetas yang disebabkan tekanan osmosis dari luar tubuh lebih tinggi, sehingga telur tidak dapat menyerap air yang cukup untuk proses metabolismenya (Dhert, 1980). Suhu yang sesuai untuk artemia sekitar 25-300C, oksigen terlarut sekitar 3 mg/l, dan pH 7,3-8,4. Sebagai plankton, artemia tidak dapat mempertahankan diri terhadap pemangsanya sebab tidak mempunyai alat atau cara untuk melindungi diri (Sumeru, 2008). Artemia memiliki kemampuan beradaptasi dengan cepat terhadap variasi level oksigen dengan menghasilkan hemoglobin yang memiliki kemampuan untuk meningkatkan afinitas oksigen. Kandungan oksigen terlarut yang baik untuk pertumbuhan artemia adalah di atas 3 mg/L namun kadar oksigen kurang dari 2 mg/L dapat menjadi pembatas produksi biomass artemia (Mudjiman, 1983).

C. Reproduksi

Perkembangbiakan artemia terjadi dengan dua cara, yakni parthenogenesis dan biseksual Chumaidi et al. (1990). Pada artemia yang berkembang secara parthenogenesis populasinya menjadi betina yang dapat membentuk telur dan embrio berkembang dari telur yang tidak dibuahi. Sedangkan pada artemia yang berkembang secara biseksual, populasinya terdiri dari jantan dan terjadi perkawinan sehingga menghasilkan embrio yang berkembang dari telur yang telah dibuahi.

Diameter telur artemia berkisar antara 0,2-0,3 mm. Sedangkan berat kering berkisar 3,65 g. Pada awalnya naupli berwarna orange kecoklatan karena masih mengandung kuning telur. Artemia yang baru menetas belum bisa makan, karena mulut dan anusnya belum terbentuk dengan sempurna. Setelah 12 jam naupli tersebut akan berganti kulit dan memasuki tahap larva kedua (nauplius II). Dalam fase ini naupli tersebut akan mulai makan, dengan pakan berupa mikroalga, bakteri, dan detritus organik lainya. Nauplius bersifat non selective feeder sehingga akan memakan segala jenis pakan yang dikonsumsinya selama ukuran sesuai dengan bukaan mulut nauplius. Naupli akan berganti kulit sebanyak 15 kali sebelum menjadi dewasa dalam kurun waktu 8 hari. Artemia dewasa rata-rata berukuran sekitar 8 mm, meskipun demikian pada kondisi yang tepat mereka dapat mencapai ukuran sampai dengan 20 mm (Sumeru, 2008). Dalam tingkat salinitas rendah dan pakan yang optimal, betina artemia bisa menghasilkan naupli sebanyak 75 ekor perhari. Selama masa hidupnya (sekitar 50 hari) artemia bisa memproduksi naupli rata-rata sebanyak 10-11 kali. Dalam kondisi normal, artemia dewasa bisa hidup selama 3 bulan dan memproduksi naupli atau kista sebanyak 300 ekor (butir) per 4 hari (Sumeru, 2008).
D. Penetasan Artemia

Siklus hidup artemia dimulai saat menetasnya kista. Setelah 15-20 jam pada suhu 25oC kista akan menetas menjadi embrio. Dalam waktu beberapa jam embrio ini masih akan tetap menempel pada kulit kista. Pada fase ini embrio akan menyelesaikan perkembanganya kemudian berubah menjadi naupli yang berenang bebas (Mudjiman, 2008). Menurut Sumeru (2008) apabila telur-telur artemia yang kering direndam dalam air laut dengan suhu 25oC, maka akan menetas dalam waktu 2436 jam. Dari dalam cangkang akan keluar larva yang dikenal dengan nama nauplius. Dalam perkembangan selanjutnya nauplius akan mengalami 15 kali perubahan bentuk. Nauplius tingkat I = instar I, tingkat II = instar II, tingkat III = instar III, demikian

seterusnya sampai instar XV. Setelah itu nauplius berubah menjadi artemia dewasa (Jusadi, 2003). Suhu optimal untuk penetasan kista dan pertumbuhan adalah 25-30oC. Meskipun demikian hal ini juga ditentukan oleh strain masing-masing. Artemia hidup pada salinitas antara 30-35 ppt dan dapat hidup dalam air tawar selama 5 jam sebelum akhirnya mati. Variable lain yang penting adalah pH, cahaya, dan oksigen. Nilai pH berkisar antara 8-9 merupakan nilai yang paling baik, sedangkan pH di bawah 5 atau lebih tinggi dari 10 dapat membunuh artemia. Cahaya minimal diperlukan dalam proses penetasan akan sangat menguntungkan bagi pertumbuhan artemia. Menurut Jusadi (2003) Apabila kadar oksigen dalam air rendah dan air banyak mengandung bahan organik, atau apabila salinitas meningkat, artemia akan memakan bakteria, detritus, dan sel-sel khamir. Pada kondisi demikian artemia akan berwarna merah atau orange. Apabila keadaan ini terus berlanjut artemia akan mulai memproduksi kista.

III. METODOLOGI PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat Praktikum Budidaya Pakan Alami Penetasan Kista Artemia salina dilaksanakan pada hari Rabu, 2-4 November 2011 pukul 14.30 WIB dan bertempat di Laboratorium Budidaya Perairan Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Indralaya. B. Alat dan Bahan 1. Alat Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Alat yang digunakan dalam praktikum penetasan kista artemia No. Nama Alat Jumlah Fungsi 1. Botol air mineral 1 Tempat pemeliharaan artemia 2. Tali rafia secukupnya Sebagai penahan botol air mineral 3. Aerator 1 Penyuplai Oksigen 4. Pisau 1 Memotong Botol air mineral 5. Plastik hitam secukupnya Menutupi botol air mineral 6. Lampu 1 Penyuplai cahaya 7. Gelas ukur 1 Mengukur volume air 8. Timbangan 1 Menimbang kista artemia 9. Lem isolas secukupnya Untuk mengeratkan plastik hitam

2. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini dapar dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Bahan yang digunakan dalam praktikum pengetahuan bahan pakan ikan. No. Nama Bahan Jumlah Fungsi 1. Kista Artemia 786000 Hewan uji 2. Air laut 1L Media hidup kista

3. Cara Kerja Cara kerja yang dilakukan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut :

a. Botol air minum kemasan berkapasitas 1,5 liter dibersihkan dengan menggunakan sabun lalu dibilas hingga bersih. b. Kemudian potong bagian bawah botol lalu botol dibalik. c. Buat kran tempat pengeluaran air dibagian mulut botol, usahkan jangan sampai bocor. d. Balut seluruh permukaan luar botol dengan plastik hitam e. Masukkan 1 liter air laut lalu aerasi. f. Masukkan kista artemia 1 gram ke dalam wadah penetasan tersebut biarkan selama 24-48 jam. g. Wadah penetasan diletakkan di dekat lampu. h. Artemia dipanen setelah 1-2 hari dengan cara mematikan aerasi terlebih dahulu. i. Perhitungan dilakukan dengan rumus

Keterangan : HP = % penetasan N1 = Jumlah kista yang menetas N2 = Jumlah kista yang ditetaskan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Adapun hasil praktikum sebagai berikut : Kualitas Air Parameter Ph Suhu Salinitas Kualitas Air Awal Akhir 7 7 o 27 C 22 oC 30 ppt 30 ppt Jumlah Kista Sebelum Sesudah 46.848 32.000 Hatching Percentage 68 %

B. Pembahasan

Praktikum ini melakukan proses penetasan artemia dimana kista dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air laut. Setelah 24-48 jam kista tersebut akan menetas jika kondisi lingkungannya sesuai. Artemia hidup plantonik di perairan yang berkadar garam tinggi, yaitu antara 15-300 ppt. Suhu yang dikehendaki berkisaran antara 25-300C, oksigen terlarut sekitar 3 mg/l, dan pH 7,38,4. Sebagai plankton, artemia tidak dapat melindungi diri terhadap pemangsanya karena tidak mempunyai alat atau cara untuk melindungi diri. Siklus hidup artemia dimulai saat menetasnya kista. Setelah 15-20 jam pada suhu 25oC kista akan menetas menjadi embrio. Dalam waktu beberapa jam embrio ini masih akan tetap menempel pada kulit kista. Pada fase ini embrio akan menyelesaikan perkembanganya kemudian berubah menjadi naupli yang berenang bebas. Kista artemia dapat ditetaskan pada media yang mempunyai salinitas 5-35 ppt, walaupun pada habitat aslinya dapat hidup pada salinitas yang sangat tinggi (Gusrina, 2008). Pada praktikum ini digunakan 1 gram kista per liter air media penetasan. Kemudian dilakukan penghitungan jumlah kista dengan metode sampling didapat 46.868 butir kista artemia. Wadah penetasan ini dibungkus dengan menggunakan plastik hitam. Pada praktikum ini, kista artemia dimasukkan kedalam wadah penetasan pada sore hari dan penetasan kista terjadi pada sore keesokan harinya.

Persentase penetasan kista artemia dilakukan dengan melakukan pemanenan langsung yaitu dengan menghitung menggunakan pipet tetes. Banyaknya kista yang tidak menetas terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lingkungan yang tidak normal baik itu suhu, aerasi, kepadatan populasi kista, salinitas maupun intensitas cahaya.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Kesimpulan yang didapatkan dari praktikum ini yaitu :


1. artemia merupakan planktonik yang hidup pada daerah yang mempunyai

salinitas tinggi
2. kista artemia akan terbentuk saat kondisi lingkungan tidak sesuai seperti

perubahan salinitas yang tinggi


3. intensitas cahaya dan suhu yang optimal mempengaruhi penetasan kista

artemia
4. penetasan kista artemia berlangsung dari 24 sampai 48 jam yang terjadi

melalui beberapa tahapan


5. artemia dewasa tidak memiliki cangkang sehingga tidak bisa melindungi diri

dari serangan pemangsa.

B. Saran Pada praktikum penetasan kista artemia sebaiknya peralatan dan bahan praktikum lebih dipersiapkan terlebih dahulu dan antisipasi peralatan seperti kebocoran agar praktikum tidak perlu diulang kembali.

DAFTAR PUSTAKA

Chumaidi et. al. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Pakan Alami Ikan dan Udang Puslitbangkan PHP\KAN\PT\12\Rep\1990. Jakarta Dhert, P., P. Sorgeloos, and B. Devresse. 1980. Contribution toward a specific DHA enrichment in the live food Brachionus plicatilis and Artemia sp.I n: Reinertsen, H., L.A. Dahle, L. Jorgensen, and K. Tvinnereim (eds). Proceeding of The First National Conference of Fish Farming Technology. Rotterdam: Comittee of the First National Conference of Fish Farming Technology. Djarijah, Abbas Siregar. 2003. Pakan Ikan Alami. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Isnansetyo dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Pakan Alami Untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanasius: Yogyakarta. Jusadi, Dedy. 2003. Modul Penetasan Artemia. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional Mudjiman, A. 2008. Makanan Ikan Edisi Revisi. Penebar Swadaya: Jakarta. Priyambodo dan Wahyuningsih, Tri. 2003. Budidaya Pakan Alami Untuk Ikan. Jakarta : Penebar Swadaya Sumeru, Sri Umiyati, Ir. 2008. Produksi Biomassa Artemia.. diakses tanggal 15 November 2008.

VI. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pakan alami merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan usaha budidaya ikan. Menurut Djarijah (2003), sebagian besar pakan alami ikan adalah plankton yaitu fitoplankton maupun zooplankton. Pakan alami untuk larva atau benih ikan mempunyai beberapa kelebihan yaitu ukurannya relatif kecil serta sesuai dengan bukaan mulut larva atau benih ikan, nilai nutrisinya tinggi, mudah dibudidayakan, gerakannya dapat merangsang ikan untuk memangsanya, dapat berkembangbiak dengan cepat sehingga ketersediaanya dapat terjamin serta biaya pembudidayaannya relatif murah (Priyambodo dan Triwahyuningsih, 2003). Menurut Khairuman dan Khairul Amri (2002), pakan merupakan unsur terpenting dalam menunjang pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan. Ikan yang dipelihara secara tradisional atau yang dipelihara bebas di alam, hanya memanfaatkan pakan yang tersedia secara alami dan dapat menyababkan laju pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup ikan yang dipelihara jauh lebih tinggi daripada ikan yang dipelihara secara tradisional atau yang hidup di alam bebas. Salah satu pakan alami yang penting dan cocok untuk kebutuhan larva ikan maupun ikan hias adalah cacing sutera atau Tubifex sp. Tubifex sp atau yang biasa disebut cacing sutra. Tubifex sp biasanya hidup di tempat dengan aliran air yang lancar. Tubifex sp memiliki manfaat yang besar bagi organisme lain. Sebagai contoh, cacing ini dijadikan pakan untuk ikan. Protein dan lemak yang cukup akan membuat ikan peliharaan menjadi sehat dan bernilai jual tinggi (Pennak, 1978). Keberadaan Tubifex sp di alam tidaklah menentu dan menyebabkan hewan ini berpengaruh pada keberadaannya di pasaran. Pemasaran Tubifex sp sangat terkait dengan kegiatan pembenihan ikan konsumsi dan pembudidayaan ikan hias (Kosiorek, 1974). Menurut Yurisman dan Sukendi (2004), Tubifex sp digunakan sebagai pakan alami untuk benih yang agak besar. Pengkulturan tubifex dilakukan dengan teknik kloning , yaitu pertumbuhan cacing dalam klon (bedengan tanah). Siklus hidup yang cepat dan bentuknya yang kecil, tidak memerlukan banyak tempat untuk pemeliharaan, reproduksi berlangsung cepat, sehingga keuntungan yang akan diperoleh dari pemeliharaan dan usaha cacing sutera cukup besar (Kosiorek, 1974).

B. Tujuan Tujuan praktikum ini adalah agar setiap mahasiswa dapat mengetahui tentang teknik kultur masal Tubifex sp dalam skala laboratorium, sehingga nantinya setiap mahasiswa lebih mengerti tentang bagaimaana cara mengkultur Tubifex sp dengan baik.

VII. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistematika dan Morfologi Tubifex sp

Menurut Pennak (1978) sistematika Tubifex sp adalah sebagai berikut : filum : Annelida

kelas : Oligochaeta ordo : Haplotaxida famili : Tubificdae genus : Tubifex spesies : Tubifex sp Cacing ini termasuk kelompok Nematoda. Tubuhnya beruas-ruas, cacing ini memiliki saluran pencernaan. Mulutnya berupa celah kecil, terletak di daerah terminal. Saluran pencernaannya berujung pada anus yang terletak di bagian sub terminal (Pennak, 1978). Di dalam budidaya perairan secara umum Tubifex sp sering kali disebut cacing rambut atau cacing sutra karena bentuk dan ukurannya seperti rambut. Panjang tubuh dari dari tubifex ini antara 1030 mm berwarna merah coklat kekuningan terdiri dari 3060 segmen. Dinding tebal yang terdiri dari dua lapis otot yang membujur dan melingkar sepanjang tubuhnya. Dari setiap segmen bagian punggung dan perut keluar seta dan ujung seta bercabang dua tanpa rambut. B. Habitat Perairan yang banyak dihuni Tubifex sp sepintas tampak seperti koloni lumut merah yang melambai-lambai dalam air kemudian bergerak dan berputarputar. Dasar perairan yang disukai adalah berlumpur dan mengandung bahan organik, cacing ini membenamkan diri kepalanya dalam lumpur untuk mencari makan. Sementara ekornya akan disembulkan di atas permukaan dasar untuk bernafas. Cacing tubifex banyak hidup di perairan tawar yang airnya jernih dan mengalir. Media tumbuh yang baik bagi cacing rambut ini adalah perairan yang banyak menandung bahan organik, memiliki debit air (air mengalir) (Yurisman dan Sukendi, 2004). C. Kebiasaan Makan Sebagian besar Tubifex sp memperoleh makanan dengan menyaring substrat seperti kebiasaan cacing yang lain. Komponen organik pada substrat ditelan melalui saluran pencernaan (Yurisman dan Sukendi, 2004). Menurut Pennak (1978),

makanan oligochaeta akuatik sebagian besar terdiri dari ganggang berfilament, diatom dan detritus berbagai tanaman dan hewan.. Cacing ini memperoleh makanan pada kedalaman 2-3 cm dari permukaan substrat. Tubifex sp mencari makan dengan cara masuk ke dalam sedimen, beberapa sentimeter di bawah permukaan sedimen dan memilih bahan makanan yang kecil serta lembek (Morgan, 1980 dalam Isyaturradhiyah, 1992). Menurut Monakov (1972) cacing tersebut hanya makan pada lapisan tipis di bawah permukaan pada kedalaman 25 cm dan pada lapisan tersebut banyak zat-zat makanan yang tertimbun akibat dekomposisi anaerbik. D. Reproduksi Tubifex sp adalah organisme hermaprodit. Pada satu individu organisme ini terdapat 2 alat kelamin dan berkembangbiak dengan cara bertelur dari betina yang telah matang telur. Hasil perkembangbiakannya berupa telur yang dihasilkan oleh cacing yang telah mengalami kematangan sek kelamin betinanya. Telur ini selanjutnya dibuahi oleh kelamin jantan telah matang (Yurisman dan Sukendi, 2004). Reproduksi Tubifex sp terjadi secara seksual antara dua individu seperti halnya pada cacing tanah (Pennak, 1978). Telur dibuahi dalam suatu kantong yang disebut kokon dan tiap kokon terdapat 4,15 telur. Kokon berbentuk oval dengan panjang 1,0 mm dan diameter 0,7 mm (Kosiorek, 1974). Menurut Kosiorek (1974), perkembangan embrio mulai dari telur hingga menjadi cacing muda membutuhkan sekitar 10-12 hari pada suhu 24 0C. Siklus hidup mulai dari penetasan hingga dewasa dan meletakkan kokonnya yang pertama membutuhkan waktu 40-45 hari, sehingga siklus hidup dari telur menetas hingga menjadi dewasa dan bertelur lagi membutuhkan waktu 50-57 hari.
E. Kultur Tubifex sp

Tubifex sp yang hidup di perairan alam dapat ditangkar ditempat-tempat terkontrol, misalnya kubangan tanah. Di alam kubangan ini kondisi (habitat) dibuat mirip dengan habitat alam berlumpur. Kubangan diisi campuran pupuk kandang

(kotoran ayam) dan dedak halus setebal 1 cm. Pupuk dicampurkan dengan dedak halus. Untuk membudidayakannya bahan organik yang biasa dipakai adalah kotoran ternak seperti kotoran ayam, kambing, sapi, kuda, kerbau, babi dan lain sebagainya. Selanjutnya diratakan dan diisi air. Biarkan rendaman ini sampai mengendap. Kemudian dimasukan klon cacaing tubifex. Aliran air dibesarkan sedikitt setelah bibit ditanam. Aliran ini dibutuhkan untuk mengganti air yang ada secara kontinyu (Yurisman dan Sukendi, 2004). Untuk kultur Tubifex sp skala laboratorium dapat dikultur pada media akuarium atau wadah lain yang diisi dengan lumpur dan pupuk kandang sehingga menyerupai habitat aslinya. Sedangkan untuk alirannya dapat menggunakan sistem sirkulasi, namun debit air untuk pemeliharaan jangan terlau besar karena dapat menghilangkan bahan-bahan organik sehingga terjadi berakibat kurangnya nutrisi pada media (Kordi, 2009). pencucian nutrisi yang

VIII. METODOLOGI PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat Praktikum Budidaya Pakan Alami Kultur Tubifex sp dilaksanakan pada hari Rabu, 16 November 2011 sampai 7 Desember 2011 pukul 14.30 WIB dan bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Indralaya.

C. Alat dan Bahan 4. Alat Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Alat yang digunakan dalam praktikum kultur Tubifex sp No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. Alat Toples Lampu Aerator Selang aerasi Tali rafia Pipet tetes Terminal listrik Timbangan analitik Thermometer Kertas pH Spesifikasi 6 Liter 5 watt 1 Diameter 0,5 cm Secukupnya Volume 1 ml 4 lubang Ketelitian 0,0001 g Ketelitian 0,1oC Jumlah 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Fungsi Wadah kultur Sumber cahaya Penyuplasi oksigen Penyaluran udara Mengikat wadah pupuk Menghitung kepadatan Menimbang pupuk Mengukur suhu Mengukur pH

5. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Bahan yang digunakan dalam tabel praktikum kultur Tubifex sp. No. Nama Bahan Jumlah Fungsi 1. Tubifex sp 25 ekor Hewan uji 2. Air 3L Media hidup 3. Pupuk Kandang Secukupnya Pakan untuk Tubifex sp 4. Lumpur Secukupnya Pakan untuk Tubifex sp

D. Cara Kerja Cara kerja yang dilakukan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut : a. pupuk kandang dihaluskan dan dikeringkan lalu dicampur dengan lumpur dengan perbandingan 1:1 ketinggian lumpur dengan pupuk kandang 2,5 cm dari dasar wadah. b. alirkan air terus menerus kedalam wadah setelah 7 hari Tubifex sp dimasukkan kedalam wadah aliran air dihentikan. Setelah itu dihidupkan kembali. Padat penebaran awal 1ekor/10 cm2. c. penambahan pupuk selanjutnya setiap 4 hari sekali setengah dosis awal.

d. e.

pengambilan sampel setiap minggu sekali. ukur pH, suhu dan oksigen terlarut pada awal penebaran dan setiap pengambilan sampel.

IX. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Adapun hasil praktikum yang didapat selama pemeliharaan, yaitu sebagai berikut: Tabel 1. Kualitas Air Kelompok II Awal 27 oC Parameter Kualitas Air Suhu Akhir 24 oC Awal 7 pH Akhir 7

Tabel 2. Jumlah kepadatan sel Tubifex sp Kelompok II B. Pembahasan Pada praktikum kultur budidaya tubifex ini tidak terlepas dari faktor eksternal (lingkungan seperti suhu, serta pakan). Penebaran awal Tubifex sp saat praktikum kultur Tubifex sp adalah 25 ekor. Pemeliharaan dilakukan selama 21 hari. Dengan suhu awal 27oC dan pH 7. Hasil yang didapat pada saat pemeliharaan hanya 83 ekor. Hasil tersebut menurut saya kurang optimal. Ada beberapa faktor yang memicu hal tersebut yakni suhu kurang optimal untuk pertumbuhan tubifex dan waktu pemeliharaan yang relatif singkat, karena menurut Marian dan Pandian (1984) waktu pemeliharaan yang baik untuk kultur Tubifex sp 42 hari sedangkan yang kami lakukan hanya 21 hari. Faktor lain yang menyebabkan gagalnya kultur Tubifex sp adalah pemupukan. Pemupukan dalam kultur Tubifex sp bertujuan untuk menambah sumber makanan baru pada media pemeliharaan Tubifex sp. Pemberian pupuk tambahan yang berbeda baik frekuensi maupun jumlah setiap pemberian pupuk secara langsung akan mempengaruhi bahan organik dalam media. Tingginya bahan organik dalam media akan meningkatkan jumlah bakteri dan partikel organik hasil dekomposisi oleh bakteri sehingga dapat meningkatkan jumlah bahan makanan pada media yang dapat mempengaruhi populasi dan biomassa cacing (Syarip, 1988). Selain itu, frekuensi pemupukan dapat mempengaruhi kandungan ammonia karena pemupukan dapat meningkatkan bahan organik pada media. Dan aliran air yang dibuat terlalu besar juga dapat meningkatkan ammonia akibat dekomposisi serta hilangnya bahan organik penting pada media pemeliharaan. Nilai ammonia 3,6 ppm dosis lethal bagi cacing tubificidae dan akan terganggu bila lebih besar dari 2,7 ppm. Jumlah kepadatan Tubifex sp Awal Akhir 25 ekor 83 ekor

Faktor terakhir adalah aliran air. Hal ini perlu diperhatikan dalam kultur Tubifex sp karena aliran air dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangbiakkan Tubifex sp. Untuk menjaga kualitas air agar tetap baik maka dilakukan pergantian air karena dengan adanya aliran air ini, kebutuhan akan oksigen terpenuhi dan kandungan ammonia yang bersifat racun dapat terbuang.

X. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Adapun kesimpulan dalam praktikum ini adalah : 1. hasil yang didapat pada saat kultur Tubifex sp adalah 83 ekor
2. faktor penyebab kurang optimalnya proses kultur Tubifex sp adalah aliran

air, pemupukan dan lingkungan


3. aliran air sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakkan saat

kultur Tubifex sp
4. pemupukan bertujuan untuk menambah sumber makanan baru pada media

pemeliharaan Tubifex sp
5. waktu yang baik untuk mengkultur Tubifex sp adalah 42 hari dengan

pemberian pupuk yang seimbang dan teratur. B. Saran Pada praktikum kultur Tubifex sp sebaiknya wadah pemeliharaan memenuhi standar yang baik untuk melakukan kultur tubifex.

DAFTAR PUSTAKA

Djarijah, Abbas Siregar. 2003. Pakan Ikan Alami. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Isyaturradiyah. 1992. Pertumbuhan Populasi dan Biomassa Tubiex sp pada Wadah Yang Dialiri Air Limbah dari Budidaya Tubiex sp dengan panjang 3, 6 dan 9 meter. Skripsi Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Khairuman dan Khairul Amri. 2008. Pustaka Utama : Jakarta. Membuat Pakan Buatan. PT. Gramedia

Kosiorek, D. 1974. Development Cycle of Tubifex tubifex Muller in Experimental Culture. Pol. Arch. Hidrobiol. 21 (3/4) : 411-422 Marian, M. P. Dan T. J. Pandian. 1984. Culture and Harvesting Tehnique for Tubifex tubifex. Aquaculture. 42 : 303 315 Pennak, R. W. 1978. Freswhere Invertebrates Of The United States. A Wilwy Intescience Publication. John Willey and Sons, New York. Priyambodo dan Wahyuningsih, Tri. 2003. Budidaya Pakan Alami Untuk Ikan. Jakarta : Penebar Swadaya Rostini, Iis. 2007. Kultur Fitoplankton (Chlorella sp. dan Tetraselmis chuii) Pada Skala Laboratorium. Universitas Padjadjaran Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Jatinangor. Rejeki,D. U.S. 1988. Pengaruh Debit Air Dengan Sistem Pembilasan Terhadap Populasi Tubifisid. Skripsi Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Syarip, M. 1988. Pengaruh Frekuensi Pemberian Pupuk Tambahan Terhadap Pertumbahan Tubifex sp. Skripsi Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Wilber, C. G. 1971. The Biologycal Aspects of Water Pollution. Charles C Thomas Publisher. USA. Yurisman dan Sukendi. 2004. Biologi dan Kulltur Pakan Alami. UNRI Press : Pekanbaru.

XI. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Jenis-jenis pakan alami yang dimakan oleh ikan sangat bervariasi, tergantung pada jenis ikan dan tingkat umurnya. Ikan yang baru saja belajar mencari makan, pertama-pertama yang mereka makan adalah plankton. Bahkan ada juga beberapa ikan yang tetap memakan plankton sepanjang hidupnya. Dalam usaha budidaya biasanya menggunakan pakan alami jenis plankton. Menurut Yurisman dan Sukendi (2004) dalam penyediaan pakan harus diperhatikan beberapa faktor yaitu jumlah dan kualitas pakan, kemudahan untuk menyediakannya, serta lama waktu pengambilan pakan yang berkaitan dengan penyediaan makanan yang dihubungkan dengan jenis dan umurnya. Plankton adalah jasad renik yang melayang di dalam kolom air mengikuti gerakan air. Plankton dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu fitoplankton dan zooplankton (Yurisman dan Sukendi, 2004). Salah satu pakan alami yang potensial untuk dikembangkan adalah Daphnia sp. Daphnia sp merupakan udang renik air tawar dari golongan Branchiopoda. Daphnia sp merupakan sumber pakan bagi ikan kecil, udang dan hewan kecil lainnya. Daphnia sp juga mudah dibudidayakan sehingga dapat tersedia dalam jumlah mencukupi hampir setiap saat karena tidak membutuhkan media khusus untuk membudidayakannya (Isnansetyo dan Kurniastuti, 1995; Mudjiman, 1985 dalam Pamungkas dan Khasani, 2006). Daphnia merupakan sumber pakan bagi ikan kecil, burayak dan juga hewan kecil lainnya. Kandungan proteinnya bisa mencapai lebih dari 70% kadar bahan kering. Secara umum, dapat dikatakan terdiri dari 95% air, 4% protein, 0.54 % lemak, 0.67 % karbohidrat dan 0.15 % abu. Kepopulerannya sebagai pakan ikan selain karena kandungan gizinya serta ukurannya, adalah juga karena Daphnia sp dapat dibudidayakan secara massal sehingga produksi dapat tersedia dalam jumlah mencukupi, hampir setiap saat (Isnansetyo dan Kurniastuti, 1995). Dalam penyediaan pakan harus diperhatikan beberapa faktor yaitu jumlah dan kualitas pakan, kemudahan untuk menyediakannya, serta lama waktu

pengambilan pakan yang berkaitan dengan penyediaan makanan yang dihubungkan dengan jenis dan umurnya (Yurisman dan Sukendi, 2004).

B. Tujuan Tujuan praktikum ini adalah agar setiap mahasiswa dapat mengetahui tentang teknik budidaya Daphnia sp dalam skala laboratorium

XII.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Sistematika dan Morfologi Daphnia sp Menurut Muller (1785) sistematika Daphnia sp adalah sebagai berikut:

kingdom filum subfilum kelas ordo famili genus spesies

: Animalia : Arthropoda : Crustacea : Branchiopoda : Cladocera : Daphniidae : Daphnia : Daphnia sp

Daphnia sp berukuran kecil, dengan panjang antara 25 mm. Bagian-bagian tubuhnya bersegmen dan sangat berdekatan sehingga hampir tak terlihat. Tubuhnya mempunyai karapas, mempunyai 5 atau 6 pasang kaki semu, mata majemuk, dua buah antenna, dan sepasang abdominal setae (Isnansetyo dan Kurniastuti, 1995). Tubuh ditutupi oleh cangkang dari kutikula yang mengandung khitin yang transparan, di bagian dorsal bersatu, tetapi dibagian ventral terbuka dan terdapat lima pasang kaki toraks. Ruang antara cangkang dan tubuh bagian dorsal merupakan tempat pengeraman telur. Pada ujung post abdomen terdapat dua kuku yang berduri kecil-kecil (Mokoginta, 2003). Ciri khas Daphnia sp adalah bentuk tubuh pipih ke samping. Dinding tubuh bagian punggung membentuk suatu lipatan sehingga menutupi bagian tubuh beserta anggotaanggota tubuh pada kedua sisinya. Bentuk tubuh ini menyerupai sebuah cangkang kerangkerangan. Cangkang di bagian belakang membentuk sebuah kantong yang berguna sebagai tempat penampungan dan perkembangan telur (Mudjiman, 2004). Daphnia seringkali dikenal sebagai kutu air karena kemiripan bentuk dan cara bergeraknya yang menyerupai seekor kutu. Pada kenyataannya Daphnia termasuk dalam golongan udang-udangan dan tidak ada hubungannya dengan kutu secara taksonomi. B. Habitat

Daphnia sp adalah hewan yang hidup di perairan tawar. Daphnia sp bersifat planktonik dan terdapat beberapa yang bersifat bentik. Daphnia sp yang bersifat planktonik hanya mengikuti arus air (Isnansetyo dan Kurniastuti, 1995). Lingkungan perairan yang mendukung untuk tumbuhnya Daphnia sp bersuhu antara 2231 0C dan pH antara 6,67,4 (Mudjiman, 2004). Namun, Mokoginta (2003) menyatakan bahwa Daphnia sp hidup pada kisaran pH cukup besar, tetapi nilai pH yang optimal untuk kehidupannya sukar ditentukan. Lingkungan perairan yang netral dan relatif basa yaitu pada pH 7,18,0 baik untuk pertumbuhan. C. Kebiasaan Makan Daphnia sp memakan berbagai macam bakteri, ragi, alga bersel tunggal, dan detritus. Daphnia sp mengambil makanannya dengan cara menyaring makanan atau filter feeding. Gerakan yang kompleks dari kaki-kaki toraks menghasilkan arus air yang konstan. Gerakan kaki-kaki tersebut berperan penting dalam proses pengambilan makanan. Pasangan kaki ketiga dan ke empat dipakai untuk menyaring makanan, sedang kaki pertama dan kedua digunakan untuk menimbulkan arus air sehingga partikel-partikel tersuspensi bergerak ke arah mulut. Partikelpartikel makanan yang tertahan kemudian tersaring oleh setae, selanjutnya digerakan ke bagian mulut dan ditelan oleh Daphnia sp. Daphnia sp muda berukuran panjang kurang dari 1 mm menyaring partikel berukuran kecil sampai dengan 2030 mikron, sedangkan yang dewasa ukuran panjang 2-3 mm dapat menangkap partikel sebesar 60140 mikron (Mokoginta, 2003).

D.

Reproduksi Dalam keadaan normal Daphnia sp akan manghasilkan keturunannya tanpa

kawin (aseksual/parternogenesis). Telur yang tidak dibuahi ini berkembang sedemikian rupa dalam kantung telur di tubuh induk, kemudian berubah menjadi

larva. Seekor Daphnia sp betina bisa menghasilkan larva setiap 2 atau 3 hari sekali. Dalam waktu 60 hari seekor betina bisa menghasilkan 13 milyar keturunan, yang semuanya betina. Tentu saja tidak semua jumlah ini bisa hidup hingga dewasa, keseimbangan alam telah mengaturnya sedemikian rupa dengan diciptakannya berbagai predator Daphnia sp untuk mengendalikan populasi mereka (Mundayana, 2006).

XIII. METODOLOGI PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat

Praktikum Budidaya Pakan Alami Kultur Daphnia sp dilaksanakan pada hari Rabu, 7-16 November 2011 pukul 14.30 WIB dan bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Indralaya. B. Alat dan Bahan 1.Alat Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Alat yang digunakan dalam praktikum kultur Daphnia sp No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Alat Toples Lampu Aerator Selang aerasi Plastik Tali rafia Pipet tetes Terminal listrik Timbangan analitik Spesifikasi 2 Liter 5 watt 1 Diameter 0,5 cm kg Plastik Volume 1 ml 4 lubang Keelitian 0,0001 g Jumlah 1 1 1 1 1 1 1 1 1 Fungsi Wadah kultur Sumber cahaya Penyuplasi oksigen Penyaluran udara Bungkus pupuk Mengikat wadah pupuk Menghitung kepadatan Menimbang pupuk

2. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Bahan yang digunakan dalam tabel praktikum kultur Daphnia sp. No. Nama Bahan Jumlah Fungsi 1. Daphnia sp 20 Hewan uji 2. Air 500 mL Media hidup 3. Pupuk Kandang 20 g Pakan untuk Daphnia 4. Dedak 5g Pakan untuk Daphnia

C. Cara Kerja Cara kerja yang dilakukan dalam praktikum ini adalah sebagai berikut :

a. b. c. d. e.

mula-mula kita ambil 20 g pupuk kandang kering dan campuran kedalam 1 L air ditambah dedak halus 5 g (halus). campuran tersebut kita aerasi selama 4 hari, setelah 4 hari tersebut kita masukkan Daphnia sp. selanjutnya pemupukan ulang yaitu pada hari ke 4 setelah Daphnia kita masukkan sebanyak atau dosis awal. penyamplingan dilakukan setiap dua hari sekali dan diukur kualitas airnya (pH dan suhu). ukur berapa pertambahan individu daphnia, catat setiap kali penyamplingan.

XIV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Adapun hasil praktikum sebagai berikut : Parameter Kualitas Air Kelompok I II C. Pembahasan Pada saat praktikum budidaya Daphnia sp saat pertama kali melakukan penebaran awal Daphnia sp berjumlah 10 ekor. Pemeliharaan dilakukan selama 7 hari. Untuk mendapatkan hasil yang sesuai maka lingkungan budidaya harus diperhatikan dengan suhu awal 18oC dan pH 6. Hasil yang didapat dari kedua kelompok sangat berbeda jauh. Kelompok I jumlah kepadatan yang didapat pada hari pertama 135, kedua 305 dan ketiga 383. Faktor yang menyebabkan rendahnya hasil budidaya adalah pengaruh suhu. Pada suhu dibawah 22 oC pertumbuhan dari Daphnia sp terganggu karena habitat utama dari Daphnia sp adalah perairan tawar sehingga saat suhu menurun maka akan menghambat fisiologi dari Daphnia sp itu sendiri. Menurut Yurisman dan Sukendi (2004) pada lingkungan yang bersuhu sekitar 22-33 oC dan pH 6,6-7,4 sangat efektif untuk mengkultur Daphnia sp. Daphnia akan menjadi dewasa dalam waktu 4 hari. Setiap 1-2 hari sekali beranak sebanyak 29 ekor dengan siklus hidup hanya 12 hari. Dalam keadaan yang luar biasa, embrio didalam kantong telur induknya dapat berkembang begitu cepat, sehinnga Daphnia sp telah dapat menghasilkan telur secara partenogenetik, walaupun belum dilahirkan dari dalam tubuh induknya (Mujiman, 1985) Ketelitian dalam melakukan praktikum juga dibutuhkan karena akan berpengaruh terhadap keberhasilan budidaya. Kurang teliti pada saat menimbang berat pupuk kandang yang diberikan juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kurang optimalnya proses budidaya. Semakin sedikit pupuk yang Suhu Awal 18oC 18oC Akhir 29oC 29oC Awal 6 6 pH Akhir 6 6 Jumlah Kepadatan 1 135 203 2 305 558 3 383 700

diberikan maka semakin sedikit pula kandungan organik yang ada dalam media tersebut. Sehingga perkembangan Daphnia sp sedikit juga. Daphnia sp sangat menyukai bahan organik dengan banyaknya detritus didalam wadah budidaya.

XV.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang diperoleh dalam praktikum ini adalah :


1.

faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan budidaya Daphnia sp ketersedian pupuk harus mencukupi karena Daphnia sp memakan bahan organik yang terdapat dalam pupuk tersebut jumlah kepadatan yang didapat kelompok 1 adalah 135, 305 dan 383 sedangkan kelompok 3 adalah 203, 558 dan 700 setiap 1-2 hari Daphnia sp dapat beranak sebanyak 29 ekor Daphnia sp dapat tumbuh menjadi dewasa pada umur 4 hari dengan siklus hidup hanya 12 hari.

2.

3.

4. 5.

B. Saran Pada praktikum kultur Daphnia sp sebaiknya peralatan dan bahan praktikum lebih dipersiapkan terlebih dahulu untuk menghindari keterlambatan dalam melakukan budidaya.

DAFTAR PUSTAKA

Mokoginta, I. 2003. Budidaya pakan alami air tawar: modul budidaya Daphnia. Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Mujiman, A. 1984. Makanan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 179. Mudjiman, A. 2004. Makanan Ikan: Edisi Revisi. Penebar Swadaya. Jakarta. Mundayana, Y dan Herry. 2006. Kultur Pakan Alami. Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar Sukabumi. Sukabumi. Pamungkas dan Khasani. 2006. Peningkatan nilai nutrisi pakan alami melalui teknik pengkayaan. Media Akuakultur. Jakarta. Vol. 1 No. 2 Tahun 2006. Yurisman dan Sukendi. 2004. Biologi dan Kulltur Pakan Alami. UNRI Press : Pekanbaru.

XVI. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pakan alami merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi keberhasilan usaha budidaya ikan. Menurut Djarijah (2003), sebagian besar pakan alami ikan adalah plankton yaitu fitoplankton maupun zooplankton. Pembudidayaan plankton jenis Chlorella sp tergantung pada kondisi lingkungan perairannya, serta diperlukan teknologi budidaya yang baik. Chlorella merupakan salah satu jenis fitoplankton yang banyak digunakan untuk berbagai keperluan, salah satunya digunakan sebagai makanan rotifera (Cotteau, 1996). Pakan untuk biota budidaya dapat berupa pakan buatan seperti pelet dan pakan alami seperti zooplankton dan fitoplankton yang dikultur seperti Daphnia sp, Artemia salina dan Chlorella pyrenoidosa, ikan rucah, daun-daunan dan tanaman (Kordi, 2009). Chlorella adalah mikroalga yang dominan di wilayah perairan darat Indonesia. Chlorella merupakan fitoplankton yang mampu hidup dimanapun, bahkan pada limbah cair tahu. Menurut Kordi (2009) limbah tahu dapat dijadikan media kultur untuk chlorella tanpa perlu dilakukan pemupukan, karena di dalam limbah tahu terdapat berbagai nutrisi yang dibutuhkan oleh chlorella. Untuk menyediakan makanan dalam jumlah yang cukup, tepat waktu dan berkesinambungan, pengetahuan tentang teknik kultur murni fitoplankton yang baik harus diketahui oleh mereka yang bergerak di bidang usaha perikanan baik dalam skala besar maupun kecil. Mengingat pentingnya pakan alami tersebut sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan usaha pembenihan ikan dan udang, maka penulis berpendapat perlu dilakukan pengamatan kultur fitoplankton Chlorella pyrenoidosa secara intensif untuk memperkaya pengetahuan dalam rangka peranan ilmu pengetahuan di bidang perikanan (Rostini, 2007). Chlorella pyrenoidosa merupakan alga hijau yang mempunyai prospek cerah di masa mendatang karena Chlorella pyrenoidosa dapat dimanfaatkan sebagai makanan yang bergizi tinggi. Chlorella termasuk cepat dalam berkembang biak, mengandung gizi yang cukup tinggi, yaitu protein 42,2%, lemak kasar 15,3%, nitrogen dalam bentuk ekstrak, kadar air 5,7%, dan serat 0,4% (Watanabe, 1978 dalam Rostini, 2007).

B. Tujuan Tujuan praktikum ini adalah agar setiap mahasiswa dapat mengetahui tentang teknik kultur masal Chlorella pyrenoidosa dalam skala laboratorium dan mengetahui perkembangan dan kepadatan Chlorella pyrenoidosa dalam media pupuk.

XVII. TINJAUAN PUSTAKA

A.

Sistematika dan Morfologi Sistematika Chlorella pyrenoidosa menurut Bougis (1979) adalah

sebagai berikut : filum kelas ordo famili genus spesies : Chlorophyta : Chloropyceae : Chloroceales : Chlorelaceae : Chlorella : Chlorella pyrenoidosa Sel chlorella berbentuk bulat, hidup soliter, berukuran 2-8 m (Sachlan, 1982). Sel chlorella umumnya dijumpai sendiri, kadang-kadang bergerombol. Protoplast sel dikelilingi oleh membran yang selektif, sedangkan di luar membran sel terdapat dinding yang tebal terdiri dari selulosa dan pektin. Di dalam sel terdapat suatu protoplast yang tipis berbentuk seperti cawan atau lonceng dengan posisi menghadap ke atas. Pineroid-pineroid stigma dan vakuola kontraktil tidak ada (Vashista, 1979). Warna hijau pada alga ini disebabkan selnya mengandung klorofil a dan b dalam jumlah yang besar, di samping karotin dan xantofil (Volesky, 1970). Chlorella pyrenoidosa tidak bercambuk, sehingga tidak dapat bererak aktif. Chlorella pyrenoidosa dapat bergerak tetapi sangat lambat sehingga pada pengamatan seakan-akan tidak bergerak (Yurisman dan Sukendi, 2004). Pada setiap sel Chlorella pyrenoidosa terdapat inti dan kloroplas. Warna sel adalah hijau cerah, karena klorofil merupakan pigmen yang dominan. B. Habitat

Chlorella pyrenoidosa dapat tumbuh di mana-mana, kecuali pada tempat yang sangat kritis bagi kehidupan. Menurut habitat hidupnya ada dua macam chlorella yaitu chlorella yang hidup di air tawar dan hanya sebagian yang hidup di air payau dan air laut. Salinitas 10-20 ppt merupakan salinitas optimum untuk pertumbuhan chlorella. Chlorella pyrenoidosa merupakan chlorella yang hidup di air laut. Chlorella pyrenoidosa dapat tumbuh pada salinitas 0-35 ppt. Chlorella pyrenoidosa dapat bertahan hidup pada suhu 40oC, tetapi tidak tumbuh. Kisaran suhu 25-30oC merupakan kisaran suhu optimal untuk pertumbuhan chlorella ini (Yurisman dan Sukendi, 2004). C. Reproduksi Perkembanganbiakan chlorella dapat terjadi secara vegetatif (aseksual) dengan pembelahan sel dan generatif. Perkembangbiakan chlorella secara generatif belum banyak diketahui (Yurisman dan Sukendi, 2004). Pada perkembangbiakan secara vegetatif diawali dengan membentuk spora. Sel-sel induknya Akan mengeluarkan zoospora yang disebut aplanospora sebanyak 8 buah. Selanjutnya aplanospora berkembang menjadi individu-individu baru. Dan setiap aplanospora yang telah dewasa akan mengeluarkan 8 aplanospora baru. Chlorella mempunyai waktu generasi yang sangat cepat. Oleh karena itu dalam waktu yang relatif singkat, perbanyakan sel akan terjadi sangat cepat, terutama jika tersedia cahaya sebagai sumber energi, walaupun dalam jumlah minimal (Kordi, 2009). Pada umumnya perbanyakan sel terjadi dalam kurun waktu 4-14 jam, tergantung pada lingkungannya (Surawiria, 1987). Pada saat sel membelah, chlorella memerlukan lebih banyak sulfur, tetapi pada saat fotosintesis juga memerlukan nitrogen yang terikat dengan sulfur (Wirosaputro, 2002). Apabila sejumlah kecil chlorella diinokulasikan dalam medium kultur terbatas dan jumlah sel chlorella dihitung sebgai fungsi waktu, maka pola pertumbuhan berdasarkan jumlah sel dapat dikelompokkan menjadi 5 fase yaitu fasa tunda (lag phase), fase eksponensial (log phase), fase penurunan laju pertumbuhan, fase stasioner dan fase kematian (Vashita, 1979).

D. Budidaya Chlorella pyrenoidosa

Menurut Yurisman dan Sukendi (2004) produksi massal Chlorella pyrenoidosa biasanya dilakukan dalam 3 tahap. Setiap tahap menggunakan wadah yang berbeda kapasitasnya. Tahap awal produksi massal chlorella dilakukan dalam wadah. Wadah ini dapat berupa stoples atau botol yang dilengkapi selang plastik dan batu aerasi. Jika chlorella yang dikultur air laut maka air yang dipakai air alut namun sebaliknya jika chlorella yang dipakai air tawar. Pupuk yang digunakan adalah pupuk Allen Miquel yang dibuat dari campuran 2 macam larutan A dan larutan B. Tahap selanjutnya dapat dilakukan produksi massal dalam wadah 1 m3. Sedangkan tahap ketiga dengan menggunakan wadah 60 liter. Agar budidaya chlorella dapat bertahan lebih lama, maka secara berkala perlu kita beri pupuk susulan, penambahan air baru, dan pemberian obat pemberantasan hama. Chlorella digunakan sebagai pakan rotifera, teripang, tiram mutiara, dan sebagai green water pada pemeliharaan jenis larva (Yurisman dan Sukendi , 2004).

XVIII. METODOLOGI PRAKTIKUM

A. Waktu dan Tempat Praktikum Budidaya Pakan Alami Kultur Chlorella Pyrenoidosa

dilaksanakan pada hari Rabu, 7-14 November 2011 pukul 14.30 WIB dan bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Indralaya. B. Alat dan Bahan 1. Alat Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Alat yang digunakan dalam praktikum kultur Chlorella Pyrenoidosa No. Alat 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Botol air mineral Mikroskop Hemacytometer Termometer Timbangan analitik Lampu Selang Aerasi Aerator Gelas ukur Pipet tetes Terminal listrik Spesifikasi 1,5 Liter Perbesaran 40x Model Neurbeur Mengukur suhu Keelitian 0,0001 g 36 watt Diameter 0,5 cm 5 watt Volume 100 ml Volume 1 ml 4 lubang 2. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Bahan yang digunakan dalam praktikum kultur Chlorella pyrenoidosa. No. 1. 2. 3. 4. 5. Bahan Bibit C. Pyrenoidosa Air matang Urea TSP ZA Spesifikasi 74,24 2 liter 1g 0,33 g 0,8 g Fungsi Isolasi awal Media Pupuk Pupuk Pupuk Jumlah Fungsi 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 Wadah kultur Menghitung kepadatan Menghitung kepadatan Menghitung suhu Menimbang pupuk Sumber cahaya Penyaluran udara Aerasi Mengukur cairan Memindahkan media Penghantar aliran listrik

6.

Gandasil B

0,1 g

Pupuk

3.

Cara Kerja 1. Persiapan Wadah Sebelum praktikum disiapkan terlebih dahulu botol yang akan digunakan

untuk mengkultur Chlorella pyrenoidosa sebelum digunakan botol dicuci dengan menggunakan sabun, kemudian dibilas lalu dikeringkan. Peralatan lain seperti gelas ukur, pipet tetes juga disiapkan, lalu dibersihkan dan dikeringkan 2. Pembuatan Media Media yang digunakan dalam praktikum ini yaitu media pupuk sederhana pupuk dengan mencampurkan 1 gram urea, 0,33 gram TSP, 0,8 gram ZA dan 0,1 gram gandasil B untuk 1 liter kultur dan media limdah cair tahu, media kultur dengan media limbah cair tahu tidak diberi penambahan pupuk. 3. Kultur Chlorella Pyrenoidosa Chlorella pyrenoidosa yang akan digunakan terlebih dahulu dikultur dalam wadah 1,5 liter dengan volume 1 liter dan kepadatan rumus pengenceran yaitu: Chlorella pyrenoidosa sebanyak 1 x 106 sel ml-1 pada setiap perlakuan yang diperoleh dengan mengunakan

Keterangan : V1 : Volume kultur Chlorella pyrenoidosa yang digunakan (ml) N1 : Kepadatan Chlorella pyrenoidosa pada stok (sel/ml) V2 : Volume kultur Chlorella pyrenoidosa yang diinginkan (ml) N2 : Kepadatan Chlorella pyrenoidosa yang diinginkan (sel/ml) Tiap perlakuan diberi aerasi yang berfungsi sebagai pengaduk media pemeliharaan, pemerataan cahaya dan pemerataan pupuk. Setelah diberi aerasi, wadah ditutup dengan kapas. Volume media kultur dipertahankan dari penguapan. Pengamatan kepadatan dilakukan 24 jam sekali selama 7 hari.

4. Parameter yang Diamati Kepadatan populasi Chlorella pyrenoidosa dihitung berdasarkan jumlah sel ml-1 air yang terdapat dalam wadah praktikum. Kepadatan ini diamati setiap hari selama 7 hari dengan menggunakan Hemacytometer. Hemacytometer yang digunakan adalah Hemacytometer model Neurbeur dengan pembesaran mikroskop 40 x 10. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty (1995), estimasi kepadatan sel Chlorella pyrenoidosa dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kepadatan sel = Jumlah sel x 10.000 sel ml-1 Apabila kepadatan kultur tinggi dan sulit dihitung keseluruhannya (> 100 sel pada tiap kotak), maka perhitungan dilakukan pada lima titik, yaitu : di sudut kiri atas, sudut kanan atas, tengah, sudut kiri bawah dan sudut kanan bawah. Bila jumlah Chlorella pyrenoidosa dari kelima titik tersebut adalah N, maka jumlah tersebut dibagi lima (N rata-rata). Karena jumlah seluruh kotak persegi tersebut ada 25 maka N rata-rata dikali 25 dan hasilnya dikali 104 dengan satuan sel ml-1 (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
4

sel ml-1

Gambar 1. Letak 5 titik hitung pada hemacytometer

XIX. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Adapun hasil praktikum adalah sebagai berikut : Tabel 1. Kepadatan Chlorella pyrenoidosa Tanggal Kepadatan Atas Bawah Rata-rata

7 Desember 2011 8 Desember 2011 9 Desember 2011 10 Desember 2011 11Desember 2011 12 Desember 2011 13 Desember 2011 14 Desember 2011 B. Pembahasan

1374 161 420 1631 1026 3000 4005 429

1319 167 531 930 1557 3305 4365 466

1347 x 104 174 x 104 253 x 104 1118 x 104 2456 x 104 3153 x 104 4185 x 104
448

104

Budidaya Chlorela pyrenoidosa harus memperhatikan beberapa seperti intensitas cahaya yang diberikan, suhu, pH dan pembagian nutrisi secara merata. Pembagian nutrisi secara merata dapat dilakukan dengan memberikan pupuk yang sesuai dan memberikan aerasi yang cukup sehingga terjadi pengadukan yang merata terhadap nutrisi serta menghindari terjadinya pengendapan dibagian dasar media kultur. Penambahan pupuk pada awal kultur memberikan pengaruh yang positif terhadap Chlorella pyrenoidosa. Pupuk yang diberikan dapat memaksimalkan pertumbuhan dan meningkatkan tingkat keberhasilan dalam kultur Chlorella pyrenoidosa. Pemberian cahaya sangat dibutuhkan dalam proses fotosintesis. Fotosintesis merupakan proses penting dalam kehidupan Chlorella pyrenoidosa karena dari fotosintesis Chlorella pyrenoidosa dapat membuat makanan sendiri. Cahaya yang diberikan selama 24 jam tanpa henti dapat meningkatkan pertumbuhan Chlorella pyrenoidosa secara maksimal. Pada kultur Chlorella pyrenoidosa. Penebaran awal Chlorella Pyrenoidosa adalah 74,24. Pemeliharaan dilakukan selama 7 hari dan adanya peningkatan jumlah kepadatan sel sedangkan Chlorella pyrenoidosa telah melewati fase stationer dan menuju fase kematian yang ditandai dengan perubahan warna menjadi hijau pucat. Pada saat mengkultur Chlorella pyrenoidosa jumlah kepadatan sel harus dihitung setiap harinya untuk mengetahui jumlah kepadatan dan perkembangan pertumbuhan Chlorella pyrenoidosa.

XX.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Adapun kesimpulan dalam praktikum ini adalah :


1. Hemacytometer merupakan alat yang digunakan untuk menghitung kepadatan

sel

2. perkembangan pertumbuhan Chlorella pyrenoidosa sesuai dengan tahap

pertumbuhan kultur sel yaitu fase pertumbuhan lag, akselarasi, logaritmik, deselarasi, stasioner dan kematian
3. aspek yang harus diperhatikan pada saat mengkultur Chlorella pyrenoidosa

yaitu intensitas cahaya, suhu, pH, dan pembagian nutrisi secara merata
4. suhu yang optimum untuk kultur Chlorella pyrenoidosa antara 25-30 oC 5. Chlorella pyrenoidosa tumbuh menjadi dewasa pada umur 4 hari dengan siklus

hidup hanya 12 hari B. Saran Pada praktikum kultur Chlorella pyrenoidosa sebaiknya peralatan dalam penghitungan kepadatan sel diperbanyak agar memudahkan praktikan dalam melakukan praktikum.

DAFTAR PUSTAKA

Bougis, P. 1979. Marine Plankton Ecology. American Elsevier Publishing Company, New York. Coutteau, P. 1996. Microalgae, p. 748. In P. Lavens and P. Sorgeloos (eds) Manual on the production and used of live food for aquaculture. FAO Fisheries Technical Paper 361.

Isnansetyo dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Phytoplankton dan Zooplankton. Pakan Alami Untuk Pembenihan Organisme Laut. Kanasius: Yogyakarta. Kordi, M. Ghufran. 2009. Budidaya Perairan. PT Citra Aditya Bakti: Bandung. Rostini, Iis. 2007. Kultur Fitoplankton (Chlorella sp. dan Tetraselmis chuii) Pada Skala Laboratorium. Universitas Padjadjaran Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. Jatinangor. Sachlan, M. 1982. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan Universitas Diponegoro. Semarang. Surawiria, U. 1987.Mikrobiologi Air.Bandung : Alumni. Vashista, B. R. 1979. Botany for Degree Student. S. Chand and Company Ltd. Ram Nager. New Delhi. Volesky, B. 1979. Algal Product. In Properties of Algal (Ed) Penum Press. New Delhi. Wirosaputro, S. (2002), Chlorella UntukKesehatan Global, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta [Book] Yurisman dan Sukendi. 2004. Biologi dan Kulltur Pakan Alami. UNRI Press : Pekanbaru.

Anda mungkin juga menyukai