Anda di halaman 1dari 8

PUASA DALAM PANDANGAN TUHAN YESUS (Matius 6 : 16 18)

I.Pendahuluan. Di kalangan orang kristen belum ada pemahaman yang seragam tentang puasa. Ada yang memahami hanya sekedar tidak makan dan minum dalam waktu tertentu, ada juga yang jauh lebih luas memahaminya, yaitu menahan diri dari segala keinginan kedagingan yang bersifat duniawi. Dalam mempraktekannya pun masih belum sepaham. Bagi sebagian orang puasa di pandang sebagai kewajiban religius atau keagamaan yang harus dilaksanakan. Bagi kalangan ini puasa dijadikan sebagai ukuran kesalehan seseorang. Sementara itu ada kalangan yang berprinsip bahwa puasa bukan sebagai kewajiban yang harus dilaksanakan atau dipraktekan. Karena bukan sebagai kewajiban, maka bagi kalangan ini berpandangan puasa boleh dilaksanakan, boleh juga tidak. Fakta inilah yang mendorong penulis untuk mengangkat tema ini sebagai pokok bahasan. Sesuai dengan maksud pembuatan makalah ini, maka melalui pembahasan ini, puasa yang dalam kehidupan masyarakat merupakan bagian dari tradisi diungkapkan dalam

pemahaman yang baru berkaitan dengan penyerahan dan ketaatan umat manusia kepada Allah sang khalik secara total. Untuk mempermudah memahami serta mengerti bahasan ini, penulis berusaha menguraikannya secara sederhana. Secara Berurutan akan dibahas : Apa arti dan makna puasa, bagaimana konsep puasa menurut alkitab (PL dan PB), sekilas tafsiran Matius 6 : 1618, dan akan dilanjutkan dengan refleksi teologisnya serta kemungkinan Puasa dijadikan sebagai bagian dari pengajaran iman GKE, sampai pada bagian penutup. II.Pembahasan. II.1. Arti Dan Makna Puasa. Istilah Puasa berkaitan dengan tradisi keagamaan. Merupakan salah satu ritual agama. Dalam kekristenan seperti yang sudah disinggung pada bagian pendahuluan belum ada keseragaman maupun kesepahaman tentang praktek berpuasa. Istilah puasa sendiri, menurut Poerwadarminta,: tidak makan dan minum dengan sengaja. Praktek puasa ini biasanya dilaksanakan dalam batas waktu tertentu. Secara etimologi dalam kaitannya dengan tujuan puasa, Pdt. Rasid Rachman, M.Th mencatat: kata puasa berasal dari dua kata sansekerta, yaitu upa dan wasa. Upa adalah semacam istilah yang berarti dekat.Wasa berarti yang maha kuasa. Jadi upawasa atau yang kemudian dilafalkan sebagai puasa tidak lain dari pada cara
1

mendekatkan diri kepada Tuhan. Sebagai cara mendekatkan diri kepada Tuhan, puasa adalah pelatihan mental yang bertujuan mengubah sikap dan kejiwaan manusia. Berkaitan dengan kebiasaan dalam agama-agama, masing-masing agama berbeda penetapan batas waktunya. Puasa atau berpuasa, dalam Alkitab pada umumnya berarti tidak makan dan tidak minum selama waktu tertentu (mis Est 4:16), bukan melulu menjauhkan diri dari beberapa makanan tetentu. Dari rumusan tentang puasa yang diuraikan diatas, dapat dikatakan bahwa secara umum puasa atau berpuasa adalah suatu keadaan dimana seseorang secara sengaja dan sadar menahan diri dari keinginan makan dan minum untuk beberapa waktu dengan tujuan memperbaharui sikap kehidupannya dalam relasi dengan sang pencipta. II.2.Puasa Sebagai Tradisi Atau Kebiasaan Dalam PL Dalam Perjanjian lama dicatat bahwa orang Ibrani mempunyai kebiasaan berpuasa pada hari pendamaian (band. Im 16:29,31; 23:27-32; Bil 29:7). Dalam kitab Zakaria, sesudah pembuangan, orang Israel harus melakukan 4 kali puasa dalam setahun Zak 8:19. Adapun waktu puasa dalam setahun, adalah bulan keempat, bulan kelima, bulan ketuju dan bulan kedelapan. Berkaitan keterlibatan umat dalam berpuasa, dalam Perjanjian Lama, juga dipaparkan bahwa puasa dapat dilakukan secara perorangan, 2 Sam 12:22, maupun secara bersama-sama, Hakim 20:26. Adapun tujuan tradisi puasa nampak dalam prakteknya, di antaranya memperlihatkan atau menggambarkan bahwa secara lahiriah seseorang berduka, I Sam 31:13; Neh 1 :4. Menyatakan bahwa seseorang betobat, I Raja 21:27; Dan 9:3-4. Termasuk berpuasa dalam rangka memohon bimbingan dan pertolongan Tuhan, Kel 34 : 28 ; Ul 9:9. Dengan mengacu pada gambaran yang diuraikan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam Perjanjian lama, kebiasaan melaksanakan puasa merupakan tradisi atau kebiasaan masyarakat yang beragama dalam menjaga hubungan baik dengan sang pencipta. II.3. Puasa Sebagai Tradisi Atau Kebiasaan Dalam Perjanjian Baru. Dalam Lukas 18:12 dikatakan bahwa orang farisi memelihara tradisi puasa dua kali seminggu. Hana sebagai seorang Nabi juga berpuasa, Lukas 2 :36-37. Yesus Kristus sendiri diceritakan dalam Matius 4 :1-4, berpuasa dengan tidak makan dan tidak minum selama empat pulu hari, empat puluh malam. Bagi Yesus Kristus, Puasa tidak sekedar hanya menahan lapar dan haus atas makanan dan minuman. Lebih luas lagi, puasa bagi Yesus Kristus yaitu menahan diri dari nafsu untuk memiliki dan menguasai harta kekayaan, kenikmatan serta kemudahan yang ditawarkan iblis kepadaNya.

Masih dari Perjanjian Baru, dalam kitab Kisah Para Rasul diungkapkan bahwa para pemimpin jemaat dalam melakukan pengutusan mereka terlebih dahulu berdoa, beribadah dan berpuasa sebelum menunjuk dan mengangkat para utusan Injil, Kis. 13:2-3. Sama seperti pemilihan utusan Injil, pemilihan dan pengangkatan tua-tua jemaat oleh para Rasul juga didahului dengan puasa, Kis 14 :23. Dari beberapa catatan kitab perjanjian Baru di atas, dapat dikatakan bahwa sama sepeti dalam Perjanjian Lama, puasa dapat dilakukan atau dipraktekan baik secara pribadi maupun bersama-sama orang lain. Adapun tujuan berpuasa dalam perjanjian Baru yaitu, Membuktikan kepada orang bahwa dirinya sebagai orang yang berpuasa adalah orang yang beribadah, disini tampak kecenderungan pamer kesalehan, Lukas 18:12. Untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, Lukas 2 :36-37, tentang puasa Hana. Tujuan lain berpuasa yaitu untuk memohon petunjuk dan bimbngan dari Allah dalam mengambil sebuah keputusan yang penting, Kis 13;2-3 ; 14 : 23. III.Puasa Menurut Tuhan Yesus Dalam Matius 6 : 16 18.

Injil matius diterima secara luas sebagai hasil karya dari rasul Matius. Walaupun ada sanggahan bahwa tidak mungkin seorang saksi mata dalam melaporkan peristiwa yang disaksikannya sendiri masi memakai injil lain sebagai sumer penulisannya, yakni injil Markus. Injil ini ditulis dan ditujukan untuk orang kristen yahudi yang belum percaya yang tinggal disuatu tempat menjelang akhir abad pertama. Adapun maksut dari penulisan ini unuk mengajar orang-orang yahudi seara teliti dan cermat bahwa Yesuslah yang dimaksudkan sebagai Mesias dalam nubuat-nubuat Perjanjian Lama. Dalam kaitannya dengan gereja, para ahli sepakat bahwa injil Matius ini telah meletakan dasar-dasar bagi gereja kristen. Gereja di sini dalam arti sebagai penerus umat Allah dari perjanjian yang lama yang telah diperbaharui, sehingga bukan lagi berdasarkan keturunan melainkan berdasarkan kerohanian dan terdiri dari orang-orang dari segala bangsa. Dalam Matius 6 : 16 18, dimana nats ini menjadi senral pembahasan makalah ini, Yesus mengingatkan murit-muritNya agar apabilah mereka berpuasa seharusnya jangan tampilkan diri sebagai orang berpuasa melalui penampilan maupun raut wajah, (ayat 16). Mengapa Yesus berkata demikian? Karena sikap sepeti itu menjurus kepada kepura-puraan atau dalam bahasa nats seperti orang munafik. Dalam bagian ini Yesus tidak bermaksut mengatakan bahwa setiap orang yang berpuasa adalah orang yang munafik, sehingga berkesimpulan bahwa orang tidak perlu bepuasa. Persoalannya bukan pada ketentuan harus
3

atau tidaknya seseorang berpuasa, melainkan mau mengatakan kalau itu dilakukan, lakukanlah dengan tulus dan sukacita, tanpa terbebani seakan-akan kalau tidak melakukannya menjadikan seseorang berdosa. Yesus juga menegaskan, orang lainpun tidak usah mengetahui bahwa seseorang berpuasa. Biarlah hanya tuhan yang tahu bahwa seseorang berpuasa. Penegasan Yesus agar meminyaki kepala dan mencuci muka (ayat 17) bagi seorang yang berpuasa mau mengatakan agar yang bersangkutan tidak memperlihatkan keletihan ataupun rasa muram, sebaliknya harus memperlihatkan kesegaran dan semangat. Yesus tidak menghendaki seseorang melakukan kegiatan keagamaannya dengan motivasi yang salah, misalnya supaya dipuji atau disanjung orang, sebaliknya Yesus menghendaki agar setiap kegiatan keagamaan dilakukan hanya untuk Kemuliaan Allah. Jika seseorang melakukan kegiatan keagamaannya hanya untuk dipuji dan disanjung sesamanya maka dia kehilangan kesempatan utuk mendapatkan upah dari Tuhan. Biarlah hanya Tuhan sendiri yang mengetahui apa yang kita lakukan dan Dia akan memberikan upah yang pantas, (ayat 18). Kapan seseorang Berpuasa? Terhadap petanyaan ini, tidak ada penegasan Tuhan Yesus tentang kapan atau berapa lama puasa itu dilaksanakan. Dalam ayat 16, Yesus mengatakan :dan apabilah kamu berpuasa... mau mengungkapkan tidak ada waktu yang ditetapkan khusus untuk berpuasa, tidak ada juga pengaturan rentang waktu untuk berpuasa. Istilah ..apabila.. dalam nats ini mau mengatakan bahwa suatu saat seseorang melakukan puasa. Penegasan ini juga mau mengatakan bahwa puasa bukanlah merupakan kegiatan keagamaan yang mengikat sehingga harus dilakukan dengan beban dan terkesan ada unsur keterpaksaan, melainkan merupakan kegiatan yang bersifat pilihan. Dalam injil Matius 9, Markus 2, dan Lukas 5, diungkapkan bahwa ketika ada orang bertanya kepada Yesus mengapa murid-murid orang Farisi dan murid Yohanes bepuasa sedangkan muridNya tidak berpuasa, Yesus menjawab dengan menggambarkan hubungan mempelai laki-laki (menunjuk pada diriNya sendiri) dan sahabat-sahabat (murid-murid). Yesus katakan untuk apa sahabat-sahabat berpuasa kalau mempelai lai-laki masi ada bersamasama. Ungkapan ini mau menegaskan bahwa puasa itu akan dijalankan ketika ada hal-hal yang istimewa, yang terjadi dalam kehidupan seseorang maupun kelompok. Baik itu yang menggambarkan sukacita, rasa syukur maupun yang menyakitkan, (kesedihan, duka cita). Dalam konsep inilah dapat kita memahami bahwa tujuan berpuasa meliputi hal-hal yang telah diuraikan di atas, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru.
4

IV. Refleksi Teologis Puasa pada prinsipnya sesuatu yang baik dalam melatih diri setiap umat Allah agar dalam kehidupan pribadi maupun berjemaat semakin dewasa dalam Iman. Kedewasaan yang dimaksut dalam arti pikiran, perkataan dan perbuatan. Kedewasaan iman seseorang akan menentukan pemahaman, pandangan dan sikap seseorang dalam memandang relasinya dengan pencipta, termasuk praktek-praktek keaganaan yang merupakan tradisi iman. Salah satunya praktek puasa dalam kerangka menjalin komunikasi dengan Allah secara total. Bagi Yesus, walaupun mengawali pelayananNya dengan berpuasa, tidak secara otomatis mengangap bahwa puasa itu sebagai satu-satunya wujud nyata keberimanan atau tingkat kesalehan seseorang. Apalagi kalau maksud praktek berpuasa itu dalam rangka sekedar show rohani atau pamer kesalehan, bandingkan dengan kritik Tuhan Yesus terhadap praktek doa dalam bait Allah melalui perumpamaan pemungut cukai dan orang Farisi dalam Lukas 14 : 9-14. Bagi Yesus, puasa tidak sekedar tradisi ataupun rutinitas iman yang dilakukan secara turun temurun, melainkan harus menjadi satu tindakan iman yang lahir dari kerinduan hati yang paling dalam untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pdt.Yohanes Bambang Mulyono, dalam uraiannya mengenai puasa sebagai pertobatan menegaskan bahwa, kita melaksanakan puasa karena sesungguhnya puasa dipakai oleh Tuhan untuk melatih rohani kita agar spiritualitas kita makin terbuka untuk menghayati pertobatan sebagai sikap hidup. Puasa seharusnya dihayati atau dipahami sebagai saat yang khusus untuk menyadari dan mengakui kesalahan dan dosa pribadi maupun komunitas umat terhadap Allah. Sehinggadengan demikian seseorang dapat berdamai dengan Allah. Selanjutnya pendamaian dari Allah akan memampukan yang bersangkutan berdamai dengan dirinya sendiri dan berdamai dengan sesama. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa praktek puasa adalah salah satu sarana bagi manusia untuk mengarahkan hati, pikiran dan perbuatannya hanya kepada sang pencipta, yaitu Allah yang maha kuasa. Saat di mana manusia dapat memperbaharui hubungannya dengan Allah. Bagi Allah tidak ada waktu-waktu tertentu yang dikhususkan dalam pelaksanaan kewajiban keagamaan seseorang. Termasuk penentuan saat yang mana yang tepat untuk berpuasa. Kapanpun, dimanapun dan dalam keadaan bagaimana pun manusia dituntut untuk senantiasa menjaga hubungan yang baik dengan Allah. Ini jugalah yang dimaksud oleh Paulus ketika dia menulis kepada orang kristen di Tesalonika, bersukacitalah senantiasa, tetaplah berdoa, mengucap syukurlah senantiasa dalam segala hal sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu (I Tesalonika 5:16-18).
5

V.Dapatkah Tradisi Puasa Menjadi Salah Satu Pokok Ajaran Iman GKE? GKE sebagai sebuah lembaga atau organisasi gereja yang masih eksis di kawasan pulau kalimantan pada umumnya dan kalimantan tengah pada khususnya, tentu saja mempunyai pokok-pokok ajaran iman yang menjadi panduan bersama dalam upaya pembinaan dan pengajaran warga jemaatnya. Pokok-pokok ajaran iman yang dimaksud tentu saja diperlukan oleh sebuah lembaga agar pembinaan sebagai proses pendewasaan iman warga jemaat dapat berjalan secara sistimatis, utuh dan menyeluruh.Setelah menggumuli tradisi puasa sebagai salah satu tradisi peribadatan baik dalam PL maupun PB, melalui tulisan yang sederhana ini, penulis mengusulkan agar ajaran puasa menjadi salah satu pokok pengajaran iman GKE. Usulan ini didasari atas keyakinan bahwa tradisi puasa dapat menjadi alat kontrol dalam penguasaan diri warga jemaat terhadap keinginan-keinginan duniawi yang cenderung negatif. Praktek puasa Yesus dan pengajaranNya tentang puasa dalam injil Matius 6 : 16 18, sebagaimana menjadi titik fokus tulisan ini, dapat dijadikan dasar rujukan untuk praktek berpuasa dalam pengajaran iman GKE. Walaupun seperti yang penulis sudah uraikan Yesus sendiri tidak menjadikan Puasa sebagai sebuah keharusan. Yesus juga tidak menganjurkan untuk menjadikan puasa sebagai bagian dari liturgi umat. Walaupun, tidak bisa dipungkiri praktek tradisi puasa ini sudah dilakukan oleh umat kristen semenjak gereja Tuhan hadir dalam sejarah dunia. Tradisi puasa dalam tradisi gereja Tuhan sesungguhnya telah terentang sejak gereja tampil di atas muka bumi. Dengan catatan tentang tradisi puasa telah terentang dalam realitas sejarah gereja, penulis mau menegaskan bahwa kalau toh nantinya tradisi puasa ini dijadikan sebagai bagian dari pengajaran iman GKE, bukan berarti GKE, baik sebagai lembaga maupun sebagai persekutuan orang percaya terkesan hanya ikut-ikutan kepada gereja yang terlebih dahulu mempraktekan puasa. Puasa memang adalah bagian tradisi iman, akan tetapi perlu diingat bahwa ketika tradisi itu dipraktekan bukan berarti terkesan hanya ikut-ikutan saja. Ketika GKE mempraktekan tradisi puasa, pertama-tama yang perlu digaris bawahi ialah, bahwa semua itu dilakukan bukan untuk pamer kesalehan di depan manusia maupun di hadapan Allah, sebagaimana pengajaran Yesus, melainkan sebagai ungkapan dan perwujutan dari sebuah persekutuan yang total antara manusia dengan Allah atas dasar ketaatan iman. Pusat dan kepala gereja adalah Tuhan Yesus, oleh karena itu pertimbangan pelaksanaan ibadah puasa selayaknya hanya diarahkan kepada Dia, sang kepala gereja. Seperti yang sudah penulis tegaskan, puasa adalah upaya pengendalian diri maka sepantasnyalah gereja ketika
6

mempraktekan puasa akan dibentuk dalam proses pengendalian diri ke arah kedewasaan iman baik pikiran, perasaan, kata-kata teristimewa dalam perbuatan. Masih berkenaan dengan usulan penulis untuk menjadikan tradisi puasa sebagai bagian dari pengajaran iman GKE, satu hal lagi yang mendasarinya ialah, bahwa memang secara faktual dalam keseharian tidak sedikit warga GKE secara perorangan sudah mempraktekan puasa sebagai bagian dari tradisi imanya. Terhadap realitas seperti itu maka sudah saatnya GKE sebagai lembaga mulai memikirkan untuk membuat rumusan pengajaran iman tentang puasa yang benar, alkitabiah dan dapat dipertanggung jawabkan secara teologi. VI. Penutup Sebagai penutup dari seluruh uraian dalam tulisan ini, beberapa catatan berikut ini harus Menjadi perhatian besama baik sebagai orang kristen pada umumnya maupun warga GKE pada khususnya. Pertama : Bahwa berdasarkan catatan Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru praktek puasa merupakan salah satu unsur tradisi peribadatan yang dilakukan manusia dalam rangka menjaga hubungan dengan penciptanya. Ke dua : Bahwa tidak ada perbedaan yang prinsip praktek puasa baik dalam PerjanjianLama

maupun Perjanjian Baru. Satu hal yang membedakannya ialah menyangkut penetapan waktu pelaksanaan, kalau dalam Perjanjian Lama ada waktu-waktu tertentu yang bersifat baku, sedangkan dalam Perjanjian Baru tidak ada. Ke tiga : Bahwa bagi Tuhan Yesus puasa bukan sekedar rutinitas praktek peribadatan yang

bersifat serimonial, melainkan sebuah kegiatan yang dalam pelaksanaannya harus berangkat dari motivasi yang tulus serta tujuan yang luhur untuk memuliakan nama Tuhan. Ke empat : Bahwa puasa bagi Yesus, harus menjadi bukti yang nyata atas penyerahan diri manusia kepada Tuhan, sekaligus merupakan panggilan hidup dalam persekutuan. Persekutuan yang dimaksud harus didasari atas ketulusan dan kerelaan. Dengan demikian puasa tidak akan dipandang sebagai sesuatu beban, akan tetapi menjadi sesuatu yang mendatangkan sukacita. Ke lima : Puasa selayaknya dan sepantasnya menuntun dan membawa manusia pada kedamaian, kelegaan serta kebebasan. Tidak hidup dalam tekanan maupun beban, termasuk beban religius. Menurut penulis ini jugalah salah satu alasan mengapa Yesus Kristus, tidak mewajibkan murid-muridNya berpuasa.

Tugas Misiologia : Pdt. Agustinus B


7

Anda mungkin juga menyukai