Anda di halaman 1dari 44

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Penderita Stroke saat ini menjadi penghuni terbanyak di bangsal atau ruangan pada hampir semua pelayanan rawat inap penderita penyakit syaraf. Karena, selain menimbulkan beban ekonomi bagi penderita dan keluarganya, Stroke juga menjadi beban bagi pemerintah dan perusahaan asuransi kesehatan. Berbagai fakta menunjukkan bahwa sampai saat ini.Stroke masih merupakan masalah utama di bidang neurologi maupun kesehatan pada umumnya. Untuk mengatasi masalah krusial ini diperlukan strategi penangulangan Stroke yang mencakup aspek preventif, terapi rehabilitasi, dan promotif. Angka kejadian stroke dunia diperkirakan 200 per 100.000 penduduk, dalam setahun. Bila ditinjau dari segi usia terjadi perubahan dimana stroke bukan hanya menyerang usia tua tapi juga menyerang usia muda yang masih produktif. Mengingat kecacatan yang ditimbulkan stroke permanen, sangatlah penting bagi usia muda untuk mengetahui informasi mengenai penyakit stroke, sehingga mereka dapat melaksanakan pola gaya hidup sehat agar terhindar dari penyakit stroke. Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke, dan sekitar 25% atau 125.000 orang meninggal dan sisanya mengalami cacat ringan atau berat. Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. Berkurangnya aliran darah dan oksigen ini bisa dikarenakan adanya sumbatan, penyempitan atau pecahnya pembuluh darah. Stroke atau "serangan otak" dapat terjadi ketika salah satu pembuluh darah utama di leher (arteri karotid) dipersempit

dengan kumpulan lemak (plak). Seperti "pengerasan" arteri karotid dapat menyebabkan kerusakan pada bagian otak, baik sebagai konsekuensi berkurangnya aliran darah atau karena potongan kecil dari "emboli" putus dari plak dan menetap pada arteri otak atau mata. Ini akhirnya mengakibatkan stroke tipe iskemik, yang bertanggung jawab terhadap 75% dari semua stroke Plaque arteri karotis merupakan langkah awal faktor resiko terhadap terjadinya penyakit vaskuler, 20% lebih besar dibanding faktor resiko konvensional yang yang terangkum Framingham Stroke Risk Score. Disamping factor resiko lainnya seperti usia, jenis klamin, genetik, diabetes mellitus, stenosis arteri, oklusi arteri, aterosklerotik. Plaque dapat diperiksa dengan mesin duplex sonografi ,dari pemeriksaan duplex sonografi didapatkan peningkatan ketebalan tunika intima media karotis berhubungan dengan peningkatan kejadian stroke B. Tujuan Peenulisan Tujuan penelitian makalah ini adalah: 1. Tujuan Umum Memperoleh gambaran dalam melakukan asuhan keperawatan pada klien Tn. M dengan CVD Infark stenosis carotis. 2. Tujuan Khusus a. Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada klien Tn. M dengan CVD Infark stenosis carotis b. Mampu membuat perencanaan keperawatan pada klien Tn. M dengan CVD Infark stenosis carotis

c. Mampu melakukan tindakan keperawatan pada klien Tn. M dengan CVD Infark stenosis carotis d. Mampu melaksanakan evaluasi keperawatan pada klien Tn. M dengan CVD Infark stenosis carotis e. Mampu mendokumentasikan asuhan keperawatan pada klien Tn. M dengan CVD Infark stenosis carotis C. Ruang lingkup Penulisan makalah ini merupakanb pembahasan pemberian asuhan

keperawatan pada Tn. M dengan CVD Infark stenosis carotis di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto Jakarta yang dilaksanakan tanggal 3 Juli 2013 D. Metode penulisan Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah menggunakan metode deskriptif dengan cara mengumpulkan data, menganalisa dan menarik kesimpulan. E. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan terdiri dari latar belakang, tujuan, ruang lingkup, metode dan sistematika. BAB II TINJAUAN KASUS Konsep dasar penyakit yang terdiri dari pengertian, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, komplikasi, penatalaksanaan medis serta asuhan keperawatan yang terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, dan interensi

BAB III Tinjauan kasus yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana tindakan, implementasi, dan ealuasi BAB IV Pembahasan yang meliputi penkajian, diagnosa dan rencana tindakan BAB V DAFTAR PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anatomi dan fisiologi

System kardiovaskuler ialah system transport tubuh yang membawa gas-gas pernapasan, nutrisi, hormon-hormon, dan zat-zat lain dari dan ke jaringan tubuh lain. System kardiovaskuler dibangun oleh darah, jantung, pembuluh darah arteri dan pembuluh darah vena, serta pembuluh darah kapiler. Aorta adalah arteri sistemik utama. Aorta membawa darah yang kaya akan oksigen. Aorta memiliki ukuran lebih tebal dari ibu jari, berpangkal dari jantung lalu membentuk lengkung terhadap pembuluh darah pulmonal dan turun di kolumna vertebralis, di belakang diafragma masuk ke dalam abdomen. Cabang utama aorta di dada adalah : Arteri subklavia : menuju thoraks dan lengan. Arteri ini bercabang menjadi dua yaitu arteri vertebralis yang memperdarahi batang otak, dan arteri aksilaris yang kemudian bercabang brankhialis yang memperdarahi lengan. Arteri brankhialis kemudian bercabang menjadi arteri radialis dan arteri ulnaris Arteri karotis : menuju otak, kepala dan leher

Arteri koronaria : menuju jantung

Sedangkan aorta abdominalis memiliki tiga cabang yaitu : Arteri seliaka Arteri mesenterika superior dan inferior Arteri renalis

Kemudian aorta abdominalis akan bercabang menjadi dua yakni Arteri iliaka komunis : terdiri dari arteri iliaka interna dan arteri iliaka eksterna yang memperdarahi organ-organ pelvis Arteri femoralis : arteri ini memperdarahi daerah tungkai

Sedangkan arteri pulmonaris yang tidak berhubungan dengan arteri-arteri lain. Arteri ini mengankut darah dari jantung ke paru-paru, arteri ini bercabang pada percabangan seperti huruf T tepat setelah meninggalkan jantung. Setiap cabangnya menuju paru-paru yang kemudian bercabang lagi. B. Definisi penyakit Arteri karotis ialah arteri yang terdapat di kedua sisi leher. Fungsi organ ini ialah untuk mensuplai darah penuh oksigen ke otak depan yang memiliki fungsi sensori dan motori seperti bicara dan melihat. Kemudian dua arteri yang lebih kecil yang disebut arteri vertebral mensuplai darah ke cerebellum dan batang otak. Stenosis arteri karotis atau biasa disebut juga penyakit arteri karotis ialah terjadinya penyempitan arteri karotis yang disebabkan oleh plak yang berasal dari penumpukan lemak dalam arteri karotis yang kemudian menyebabkan suplai darah ke otak terhambat. Bahkan dalam beberapa kasus, dapat terjadi penyumbatan total suplai darah ke otak. Hal ini dapat meningkatkan resiko terjadinya stroke bagi penderita penyakit ini. Kondisi lain yang dapat

menyebabkan stenosis karotis ialah arterosklerosis. Yaitu kondisi arteri yang mengeras dan menebal secara abnormal sehingga elastisitaas dari arteri hilang. Angka kejadian penyakit ini lebih besar kemungkinan terjadinya pada pria dibandingkan pada wanita. Dan resiko terjadinya penyakit ini bertambah sesuai pertambahan usia. Penyakit stenosis karotis ini sendiri disebut sebagai penyakit arteri ekstrakrnial yang menimbulkan gejala-gejala iskemik serebral ocular atau serebral. C. Tanda dan gejala Gejala klinis yang timbul dapat dibagi berdasarkan lokasi terjadinya iskemi pada otak. Antara lain : Gejala serebral (kontralateral) : kelemahan, kecanggungan, dan paralisis ekstremitas; parestesia; disfasia reseptif atau ekpresif. Gejala ocular (ipsilateral) : kehilangan lapang pandang sementara yang digambarkan sebagai selubung yang menutupi lapang pandang Gejala serebral : serangan stroke sementara atau TIA, stroke permanen Gejala vertebrobasilar : vertigo, ataksia, sakit kepala, sinkop, parestesia bilateral, halusinasi visual Bruit dapat terdengar di sekitar arteri karotis.

D. Etiologi Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa penyebab dari stenosis karotis adalah : aterosklerosis, tromboemboli, dan dysplasia fibromuskular. Dalam referensi lain disebutkan bahwa etiologi penyakit ini masih dalam pengembangan medis. Namun beberapa faktor resiko dapat menjadi acuan kenapa stenosis karotis ini terjadi. Faktor-faktor resiko tersebut antara lain :

Usia. Semakin usia seseorang, maka resiko terjadinya arterosklerosis semakin tinggi

Hipertensi Merokok Hiperkolesterol. Tingkat LDL yang tinggi dapat menyebabkan stenosis karotis Penyakit DM Obesitas.

E. Patofisiologi Plak atau emboli yang terdapat pada arteri karotis dapat disebabkan oleh lesi ekstrakrnial karena hipertensi, penumpukan lemak yang kemudian akan menimbulkan plak sehingga terjadi agregasi platelet kemudian embolisasi platelet hingga menyebabkan gejala ocular atau serebral. Gejala akibat berkurangnya aliran jarang terjadi. Namun, gejala vertebra basilar biasanya berhubungan dengan aliran. Aliran balik pada arteri vertebralis pada keadaan oklusi arteri subklavia ipsilateral menyebabkan gejala serebral seperti tangan mencuri darah dari serebelum atau biasa disebut sindrom mencuri subclavia (subclavian steal syndrome).

Faktor-faktor resiko (usia, riwayat merokok, hipertensi, hiperkolesterol, obesitas, DM)

Aterosklrosis, Pembentukan thrombus Emboli arteri karotis

Oklusi pembuluh darah

Metabolism anaerobic

Produksi asam laktat

Adhesi granulosit dengan produksi radikal bebas

Pelepasan sitokin inflamasi

pelepasan asam amino eksitotoksik (glutamate, aspartat, glisin)

Peroksidasi lipid dan kehilangan pompa Na dan K ; cedera mitokondrial

Hipereksitabilitas dan hiperpolarisasi

Edema sitotoksik akumulasi kalsium interseluler

Cedera sel secara lambat

Apoptosis

cedera ireversibel

Gejala hemisfer Parlisis ekstremitas, kelemahan, parestesia, disfasia, amurosis fugaks

Gangguan mobilitas fisik

Resiko cedera

Ganguan komunikasi verbal

Intoleransi aktifitas

F. Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memnegakan diagnose selain dari tanda dan gejala yang mungki dikelukan oleh pasien. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk stenosis karotis ialah : Scan dupleks : scan mode-B dan velositometer ultrasonic Doppler. Metode ini merupakan metode pilihan untuk menilai derajat stenosis karotis Angiografi karotis : pada saat ini sering digunakan MRA yang memiliki tingkat keamanan lebih tinggi dibandingkan angografi standar. CT Scan atau MRI otak : berfungsi untuk menampilkan adanya infark serebral. G. Penatalaksanaan Penatalaksanaan stenosis karotis terbagi menjadi dua penatalaksanaan yakni

penatalaksanaan farmakologis dan pembedahan. Pemberian obat-obatan bagi penderita stenosis karotis antara lain: Aspirin. Dengan dosis 75 mg per hari. Obat ini diberikan untuk menghambat agregasi platelet Klopidogril. Dosis 75 mg per hari memiliki cara kerja sama seperti aspirin Obat statin Antikoagulan untuk pasien dengan emboli jantung.

Selanjutnya ialah penatalaksanaan bedah mungkin dilakukan pada pasien dengan kasus stenosis karotis. Tindakan pembedahan yang mungkin dilakukan ialah endarterektomi karotis dan carotid stenting and angioplasty. Namaun untuk jenis operasi yang kedua masih dalam proses pengembangna sehingga jarang dilakukan. Pada makalah ini akan dibahas mengenai endarterektomo karotis H. Endarterektomi Carotid Endarterektomi carotid atau CEA adalah proses pembedahan yang dilakukan untuk menghilangkan plak yang ada pada arteri karotis. CEA dapat mengurangi resiko stroke bagi pasien yang memiliki masalah penyumbatan aliran darah arteri atau memiliki tanda dan gejala stroke atau TIA. Procedure ini terbukti aman dan mampu membantu pasien dengan masalah penyumbatan aliran darah arteri dari resiko stroke, TIA, penyumbatan aliran darah yang berate walaupun tanpa disertai gejala stroke. Seperti pada opersi lainnya, operasi ini juga membutuhkan persiapan preoperative Persiapan preoperative yang biasa dilakukan untuk pasien dengan indakasi tindakan CEA adalah : Ultrasound dupleks. Ultrasound carotid digunakan untuk mengetahui struktur arteri karotis pasien. Dan ultrasound dupleks digunakan untuk mengetahui aliran darah dalam arteri karotis pasien Angiography karotis dilakukan untuk mengetahui letak sumbatan di arteri karotis pasien, dan seberapa parah sumbatan yang ada. MRI CT angiography.

Setelah persiapan preoperative dilakukan, operasi dapat mulai dikerjakan. Anastesi yang diberikan sebelum operasi biasnya ialag anastesi umum. Setelah anastesi diberikan,

dilakukan insisi pada leher pasien untuk melihat bagian yang terdapat sumbata, setelah itu dilakukan klem pada pembuluh darah untuk mengurangi perdarahan. Selama operasi berlangsung, otak akan mendapaikan suplai darah dan oksigen dari arteri karotis yang sehat. Setelah itu, dokter akan membuka arteri yang tersumbat lalu mengangkat plak yang ada dalam arteri karotis tersebut. Kemudian arteri dijahit untuk menutup luka insisi. Perawatan setelah operasi, biasanya pasien dianjurkan untuk dirawst di rumah sakit selama 2 hari. Selama masa recovery pasien mungkin akan merasakan sakit di daerah leher, dan pasien akan mengeluh nyeri saat menelan. Oleh karena itu dapat dipertimbangkan untuk pemasangan NGT atau pemberian obat antinyeri. Pada beberapa pasien, mereka dapat beraktivitas kembali 3 minggu setelah dilakuka CEA. Komplikasi yang dapat terjadi stelah dilakukan CEA mungkin dapat terjadi berat atau ringan. Komplikasi berate ang mungkin terjadi ialah stroke dikarenakan terlepasnya bekuan darah selama proses pembedahan. Dapat terjadi juga kerusakan otak, serangan jantung bahkan kematian. Namun komplikasi tersebut jarang terjadi. I. Asuhan keperawatan perioperatif Asuhan keperawatan perioperatif dimulai ketika pasien memasuki ruang persiapan operasi, kemudian selama fase intraoperatif hingga pasien masuk ke recovery room. 1. PERSIAPAN FISIK Persiapan fisik pre operasi yang dialami oleh pasien dibagi dalam 2 tahapan, yaitu : Persiapan di unit perawatan Persiapan di ruang operasi

Berbagai persiapan fisik yang harus dilakukan terhadap pasien sebelum operasi antara lain :

Status kesehatan fisik secara umum Sebelum dilakukan pembedahan, penting dilakukan pemeriksaan status kesehatan

secara umum, meliputi identitas klien, riwayat penyakit seperti kesehatan masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, pemeriksaan fisik lengkap, antara lain status hemodinamika, status kardiovaskuler, status pernafasan, fungsi ginjal dan hepatik, fungsi endokrin, fungsi imunologi, dan lain-lain. Selain itu pasien harus istirahat yang cukup, karena dengan istirahat dan tidur yang cukup pasien tidak akan mengalami stres fisik, tubuh lebih rileks sehingga bagi pasien yang memiliki riwayat hipertensi, tekanan darahnya dapat stabil dan bagi pasien wanita tidak akan memicu terjadinya haid lebih awal. Status Nutrisi Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan berat badan, lipat kulit trisep, lingkar lengan atas, kadar protein darah (albumin dan globulin) dan keseimbangan nitrogen. Segala bentuk defisiensi nutrisi harus di koreksi sebelum pembedahan untuk memberikan protein yang cukup untuk perbaikan jaringan. Kondisi gizi buruk dapat mengakibatkan pasien mengalami berbagai komplikasi pasca operasi dan mengakibatkan pasien menjadi lebih lama dirawat di rumah sakit. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah infeksi pasca operasi, dehisiensi (terlepasnya jahitan sehingga luka tidak bisa menyatu), demam dan penyembuhan luka yang lama. Pada kondisi yang serius pasien dapat mengalami sepsis yang bisa mengakibatkan kematian. Keseimbangan cairan dan elektrolit Balance cairan perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan input dan output cairan. Demikaian juga kadar elektrolit serum harus berada dalam rentang normal. Kadar elektrolit yang biasanya dilakuakan pemeriksaan diantaranya dalah kadar natrium serum (normal : 135 -145 mmol/l), kadar kalium serum (normal : 3,5 5 mmol/l) dan kadar kreatinin serum (0,70

1,50 mg/dl). Keseimbangan cairan dan elektrolit terkait erat dengan fungsi ginjal. Dimana ginjal berfungsi mengatur mekanisme asam basa dan ekskresi metabolit obat-obatan anastesi. Jika fungsi ginjal baik maka operasi dapat dilakukan dengan baik. Namun jika ginjal mengalami gangguan seperti oliguri/anuria, insufisiensi renal akut, nefritis akut maka operasi harus ditunda menunggu perbaikan fungsi ginjal. Kecuali pada kasus-kasus yang mengancam jiwa. Kebersihan lambung dan kolon Lambung dan kolon harus di bersihkan terlebih dahulu. Intervensi keperawatan yang bisa diberikan diantaranya adalah pasien dipuasakan dan dilakukan tindakan pengosongan lambung dan kolon dengan tindakan enema/lavement. Lamanya puasa berkisar antara 7 sampai 8 jam (biasanya puasa dilakukan mulai pukul 24.00 WIB). Tujuan dari pengosongan lambung dan kolon adalah untuk menghindari aspirasi (masuknya cairan lambung ke paruparu) dan menghindari kontaminasi feses ke area pembedahan sehingga menghindarkan terjadinya infeksi pasca pembedahan. Khusus pada pasien yang menbutuhkan operasi CITO (segera), seperti pada pasien kecelakaan lalu lintas. Maka pengosongan lambung dapat dilakukan dengan cara pemasangan NGT (naso gastric tube). Pencukuran daerah operasi Pencukuran pada daerah operasi ditujukan untuk menghindari terjadinya infeksi pada daerah yang dilakukan pembedahan karena rambut yang tidak dicukur dapat menjadi tempat bersembunyi kuman dan juga mengganggu/menghambat proses penyembuhan dan perawatan luka. Meskipun demikian ada beberapa kondisi tertentu yang tidak memerlukan pencukuran sebelum operasi, misalnya pada pasien luka incisi pada lengan. Tindakan pencukuran (scheren) harus dilakukan dengan hati-hati jangan sampai menimbulkan luka pada daerah yang dicukur. Sering kali pasien di berikan kesempatan untuk mencukur sendiri agar pasien merasa lebih nyaman.

Daeran yang dilakukan pencukuran tergantung pada jenis operasi dan daerah yang akan dioperasi. Biasanya daerah sekitar alat kelamin (pubis) dilakukan pencukuran jika yang dilakukan operasi pada daerah sekitar perut dan paha. Misalnya : apendiktomi, herniotomi, uretrolithiasis, operasi pemasangan plate pada fraktur femur, hemmoroidektomi. Selain terkait daerah pembedahan, pencukuran pada lengan juga dilakukan pada pemasangan infus sebelum pembedahan. Personal Hygine Kebersihan tubuh pasien sangat penting untuk persiapan operasi karena tubuh yang kotor dapat merupakan sumber kuman dan dapat mengakibatkan infeksi pada daerah yang dioperasi. Pada pasien yang kondisi fisiknya kuat diajurkan untuk mandi sendiri dan membersihkan daerah operasi dengan lebih seksama. Sebaliknya jika pasien tidak mampu memenuhi kebutuhan personal hygiene secara mandiri maka perawat akan memeberikan bantuan pemenuhan kebutuhan personal hygiene. Pengosongan kandung kemih Pengosongan kandung kemih dilakukan dengan melakukan pemasangan kateter. Selain untuk pengongan isi bladder tindakan kateterisasi juga diperluka untuk mengobservasi balance cairan. Latihan Pra Operasi Berbagai latihan sangat diperlukan pada pasien sebelum operasi, hal ini sangat penting sebagai persiapan pasien dalam menghadapi kondisi pasca operasi, seperti : nyeri daerah operasi, batuk dan banyak lendir pada tenggorokan. Latihan yang diberikan pada pasien sebelum operasi antara lain : Latihan Nafas Dalam

Latihan nafas dalam sangat bermanfaat bagi pasien untuk mengurangi nyeri setelah operasi dan dapat membantu pasien relaksasi sehingga pasien lebih mampu beradaptasi dengan nyeri dan dapat meningkatkan kualitas tidur. Selain itu teknik ini juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan oksigenasi darah setelah anastesi umum. Dengan melakukan latihan tarik nafas dalam secara efektif dan benar maka pasien dapat segera mempraktekkan hal ini segera setelah operasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan pasien. Latihan Batuk Efektif Latihan batuk efektif juga sangat diperlukan bagi klien terutama klien yang mengalami operasi dengan anstesi general. Karena pasien akan mengalami pemasangan alat bantu nafas selama dalam kondisi teranstesi. Sehingga ketika sadar pasien akan mengalami rasa tidak nyaman pada tenggorokan. Dengan terasa banyak lendir kental di tenggorokan. Latihan batuk efektif sangat bermanfaat bagi pasien setalah operasi untuk mengeluarkan lendir atau sekret tersebut. Latihan Gerak Sendi Latihan gerak sendi merupakan hal sangat penting bagi pasien sehingga setelah operasi, pasien dapat segera melakukan berbagai pergerakan yang diperlukan untuk mempercepat proses penyembuhan. Pasien/keluarga pasien seringkali mempunyai pandangan yang keliru tentang pergerakan pasien setalah operasi. Banyak pasien yang tidak berani menggerakkan tubuh karena takut jahitan operasi sobek atau takut luka operasinya lama sembuh. Pandangan seperti ini jelas keliru karena justru jika pasien selesai operasi dan segera bergerak maka pasien akan lebih cepat merangsang usus (peristaltik usus) sehingga pasien akan lebih cepat kentut/flatus. Keuntungan lain adalah menghindarkan penumpukan lendir pada saluran pernafasan dan terhindar dari kontraktur sendi dan terjadinya dekubitus. Tujuan lainnya adalah memperlancar sirkulasi untuk mencegah stasis vena dan menunjang fungsi pernafasan optimal. Intervensi ditujukan pada perubahan posisi tubuh dan juga Range of Motion (ROM).

Latihan perpindahan posisi dan ROM ini pada awalnya dilakukan secara pasif namun kemudian seiring dengan bertambahnya kekuatan tonus otot maka pasien diminta melakukan secara mandiri. Usia Pasien dengan usia yang terlalu muda (bayi/anak-anak) dan usia lanjut mempunyai resiko lebih besar. Hal ini diakibatkan cadangan fisiologis pada usia tua sudah sangat menurun . sedangkan pada bayi dan anak-anak disebabkan oleh karena belum matur-nya semua fungsi organ. Nutrisi Kondisi malnutrisi dan obesitas/kegemukan lebih beresiko terhadap pembedahan dibandingakan dengan orang normal dengan gizi baik terutama pada fase penyembuhan. Pada orang malnutisi maka orang tersebut mengalami defisiensi nutrisi yang sangat diperlukan untuk proses penyembuhan luka. Nutrisi-nutrisi tersebut antara lain adalah protein, kalori, air, vitamin C, vitamin B kompleks, vitamin A, Vitamin K, zat besi dan seng (diperlukan untuk sintesis protein). Pada pasien yang mengalami obesitas. Selama pembedahan jaringan lemak, terutama sekali sangat rentan terhadap infeksi. Selain itu, obesitas meningkatkan permasalahan teknik dan mekanik. Oleh karenanya dehisiensi dan infeksi luka, umum terjadi. Pasien obes sering sulit dirawat karena tambahan beraat badan; pasien bernafas tidak optimal saat berbaaring miring dan karenanya mudah mengalami hipoventilasi dan komplikasi pulmonari pascaoperatif. Selain itu, distensi abdomen, flebitis dan kardiovaskuler, endokrin, hepatik dan penyakit biliari terjadi lebih sering pada pasien obes. Penyakit Kronis Pada pasien yang menderita penyakit kardiovaskuler, diabetes, PPOM, dan insufisiensi ginjal menjadi lebih sukar terkait dengan pemakian energi kalori untuk

penyembuhan primer. Dan juga pada penyakit ini banyak masalah sistemik yang mengganggu sehingga komplikasi pembedahan maupun pasca pembedahan sangat tinggi. Ketidaksempurnaan respon neuroendokrin Pada pasien yang mengalami gangguan fungsi endokrin, seperti dibetes mellitus yang tidak terkontrol, bahaya utama yang mengancam hidup pasien saat dilakukan pembedahan adalah terjadinya hipoglikemia yang mungkin terjadi selama pembiusan akibat agen anstesi. Atau juga akibat masukan karbohidrat yang tidak adekuart pasca operasi atau pemberian insulin yang berlebihan. Bahaya lain yang mengancam adalah asidosis atau glukosuria. Pasien yang mendapat terapi kortikosteroid beresiko mengalami insufisinsi adrenal. Pengguanaan oabat-obatan kortikosteroid harus sepengetahuan dokter anastesi dan dokter bedahnya. Merokok Pasien dengan riwayat merokok biasanya akan mengalami gangguan vaskuler, terutama terjadi arterosklerosis pembuluh darah, yang akan meningkatkan tekanan darah sistemiknya. Alkohol dan obat-obatan Individu dengan riwayat alkoholic kronik seringkali menderita malnutrisi dan masalahmasalah sistemik, sperti gangguan ginjal dan hepar yang akan meningkatkan resiko pembedahan. Pada kasus kecelakaan lalu lintas yang seringkali dialami oleh pemabuk. Maka sebelum dilakukan operasi darurat perlu dilakukan pengosongan lambung untuk menghindari asprirasi dengan pemasangan NGT. 2. Persiapan Penunjang Persiapan penunjang merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tindakan pembedahan. Tanpa adanya hasil pemeriksaan penunjang, maka dokter bedah tidak meungkin bisa menentukan tindakan operasi yang harus dilakukan pada pasien. Pemeriksaan penunjang

yang dimaksud adalah berbagai pemeriksaan radiologi, laboratorium maupun pemeriksaan lain seperti ECG, dan lain-lain. Sebelum dokter mengambil keputusan untuk melakukan operasi pada pasien, dokter melakukan berbagai pemeriksaan terkait dengan keluhan penyakit pasien sehingga dokter bisa menyimpulkan penyakit yang diderita pasien. Setelah dokter bedah memutuskan untuk dilakukan operasi maka dokter anstesi berperan untuk menentukan apakan kondisi pasien layak menjalani operasi. Untuk itu dokter anastesi juga memerlukan berbagai macam pemrikasaan laboratorium terutama pemeriksaan masa perdarahan (bledding time) dan masa pembekuan (clotting time) darah pasien, elektrolit serum, Hemoglobin, protein darah, dan hasil pemeriksaan radiologi berupa foto thoraks dan EKG. Dibawah ini adalah berbagai jenis pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan pada pasien sebelum operasi (tidak semua jenis pemeriksaan dilakukan terhadap pasien, namun tergantung pada jenis penyakit dan operasi yang dijalani oleh pasien). Pemeriksaan penunjang antara lain : Pemeriksaan Radiologi dan diagnostik, seperti : Foto thoraks, abdomen, foto tulang (daerah fraktur), USG (Ultra Sono Grafi), CT scan (computerized Tomography Scan) , MRI (Magnrtic Resonance Imagine), BNO-IVP, Renogram, Cystoscopy, Mammografi, CIL (Colon in Loop), EKG/ECG (Electro Cardio Grafi), ECHO, EEG (Electro Enchephalo Grafi), dll. Pemeriksaan Laboratorium, berupa pemeriksaan darah : hemoglobin, angka leukosit, limfosit, LED (laju enap darah), jumlah trombosit, protein total (albumin dan globulin), elektrolit (kalium, natrium, dan chlorida), CT/BT, ureum kretinin, BUN, dll. Bisa juga dilakukan pemeriksaan pada sumsun tulang jika penyakit terkaut dengan kelainan darah.

Biopsi, yaitu tindakan sebelum operasi berupa pengambilan bahan jaringan tubuh untuk memastikan penyakit pasien sebelum operasi. Biopsi biasanya dilakukan untuk memastikan apakah ada tumor ganas/jinak atau hanya berupa infeksi kronis saja. Pemeriksaan Kadar Gula Darah (KGD). Pemeriksaan KGD dilakukan untuk mengetahui apakah kadar gula darah pasien dalan rentang normal atau tidak. Uji KGD biasanya dilakukan dengan puasa 10 jam (puasa jam 10 malam dan diambil darahnya jam 8 pagi) dan juga dilakukan pemeriksaan KGD 2 jam PP (ppst prandial).

3. Pemeriksaan Status Anastesi Pemeriksaaan status fisik untuk dilakukan pembiuasan dilakukan untuk keselamatan selama pembedahan. Sebelum dilakukan anastesi demi kepentingan pembedahan, pasien akan mengalami pemeriksaan status fisik yang diperlukan untuk menilai sejauh mana resiko pembiusan terhadap diri pasien. Pemeriksaan yang biasa digunakan adalah pemeriksaan dengan menggunakan metode ASA (American Society of Anasthesiologist). Pemeriksaan ini dilakukan karena obat dan teknik anastesi pada umumnya akan mengganggu fungsi pernafasan, peredaran darah dan sistem saraf. Berikut adalah tabel pemeriksaan ASA. ASA grade I Status fisik Tidak ada Status fisik : Status : Gangguan sistemik ringan Penyakit sistemik misalnya fisik : Status fisik : Status fisik : ASA grade II ASA grade III ASA grade IV ASA gradeV

Penyakit/ganggua

Penyakit/ganggua

berat; n sistemik berat n sistemik berat yang yang

ganggua n organik, biokimia dan psikiatri. Misal: penderita dengan herinia ingunalis tanpa kelainan lain,

sampai

penderita

menbahayakan

menbahayakan

sedang yang diabetes bukan diseababkan oleh penyakit yang dibedah. Misal: penderita dengan obesitas, penderita dengan

jiwa yang tidak jiwa yang tidak dapat selalu dapat

mellitus dengan selalu komplikasi

diperbaiki dengan diperbaiki dengan pembedahan, : misalnya insufisiensi atau koroner atau :

pembuluh darah pembedahan, dan akan dengan appendisitis akut. Mortalit y (%) : 4,5.? datang misalnya insufisiensi koroner

infark miokard Mortality (%) : 25.

infark miokard Mortality (%) : 50.

orang tua bronkitis dan sehat, bayi muda yang sehat. penderita dengan diabetes mellitus ringan yang

Mortality akan (%) 0,05. : mengalami appendiktom i Mortality

(%) : 0,4.

4. Inform Consent Selain dilakukannya berbagai macam pemeriksaan penunjang terhadap pasien, hal lain yang sangat penting terkait dengan aspek hukum dan tanggung jawab dan tanggung gugat, yaitu Inform Consent. Baik pasien maupun keluarganya harus menyadari bahwa tindakan medis, operasi sekecil apapun mempunyai resiko. Oleh karena itu setiap pasien yang akan menjalani tindakan medis, wajib menuliskan surat pernyataan persetujuan dilakukan tindakan medis (pembedahan dan anastesi). Meskipun mengandung resiko tinggi tetapi seringkali tindakan operasi tidak dapat dihindari dan merupakan satu-satunya pilihan bagi pasien. Dan dalam kondisi nyata, tidak semua tindakan operasi mengakibatkan komplikasi yang berlebihan bagi klien. Bahkan seringkali pasien dapat pulang kembali ke rumah dalam keadaan sehat tanpa komplikasi atau resiko apapun segera setelah mengalami operasi. Tentunya hal ini terkait dengan berbagai faktor seperti: kondisi nutrisi pasien yang baik, cukup istirahat, kepatuhan terhadap pengobatan, kerjasama yang baik dengan perawat dan tim selama dalam perawatan. Inform Consent sebagai wujud dari upaya rumah sakit menjunjung tinggi aspek etik hukum, maka pasien atau orang yang bertanggung jawab terhdap pasien wajib untuk menandatangani surat pernyataan persetujuan operasi. Artinya apapun tindakan yang dilakukan pada pasien terkait dengan pembedahan, keluarga mengetahui manfaat dan tujuan serta segala resiko dan konsekuensinya. Pasien maupun keluarganya sebelum

menandatangani surat pernyataan tersut akan mendapatkan informasi yang detail terkait dengan segala macam prosedur pemeriksaan, pembedahan serta pembiusan yang akan dijalani. Jika petugas belum menjelaskan secara detail, maka pihak pasien/keluarganya

berhak untuk menanyakan kembali sampai betul-betul paham. Hal ini sangat penting untuk dilakukan karena jika tidak meka penyesalan akan dialami oleh pasien/keluarga setelah tindakan operasi yang dilakukan ternyata tidak sesuai dengan gambaran keluarga. 5. Persiapan Mental/Psikis Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat berpengaruh terhadap kondisi fisiknya. Tindakan pembedahan merupakan ancaman potensial maupun aktual pada integeritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stres fisiologis maupun psikologis (Barbara C. Long). Contoh perubahan fisiologis yang muncul akibat kecemasan dan ketakutan antara lain : Pasien dengan riwayat hipertensi jika mengalami kecemasan sebelum operasi dapat mengakibatkan pasien sulit tidur dan tekanan darahnya akan meningkat sehingga operasi bisa dibatalkan. Pasien wanita yang terlalu cemas menghadapi operasi dapat mengalami menstruasi lebih cepat dari biasanya, sehingga operasi terpaksa harus ditunda. Setiap orang mempunyai pandangan yang berbeda dalam menghadapi pengalaman operasi sehingga akan memberikan respon yang berbeda pula, akan tetapi sesungguhnya perasaan takut dan cemas selalu dialami setiap orang dalam menghadapi pembedahan. Berbagai alasan yang dapat menyebabkan ketakutan/kecemasan pasien dalam menghadapi pembedahan antara lain : Takut nyeri setelah pembedahan Takut terjadi perubahan fisik, menjadi buruk rupa dan tidak berfungsi normal (body image) Takut keganasan (bila diagnosa yang ditegakkan belum pasti)

Takut/cemas mengalami kondisi yang sama dengan orang lain yang mempunyai penyakit yang sama. Takut/ngeri menghadapi ruang operasi, peralatan pembedahan dan petugas. Takut mati saat dibius/tidak sadar lagi. Takut operasi gagal. Ketakutan dan kecemasan yang mungkin dialami pasien dapat dideteksi dengan adanya perubahan-perubahan fisik seperti : meningkatnya frekuensi nadi dan pernafasan, gerakangerakan tangan yang tidak terkontrol, telapak tangan yang lembab, gelisah, menayakan pertanyaan yang sama berulang kali, sulit tidur, sering berkemih. Perawat perlu mengkaji mekanisme koping yang biasa digunakan oleh pasien dalam menghadapi stres. Disamping itu perawat perlu mengkaji hal-hal yang bisa digunakan untuk membantu pasien dalam menghadapi masalah ketakutan dan kecemasan ini, seperti adanya orang terdekat, tingkat perkembangan pasien, faktor pendukung/support system. Untuk mengurangi / mengatasi kecemasan pasien, perawat dapat menanyakan hal-hal yang terkait dengan persiapan operasi, antara lain : Pengalaman operasi sebelumnya Persepsi pasien dan keluarga tentang tujuan/alasan tindakan operasi Pengetahuan pasien dan keluarga tentang persiapan operasi baik fisik maupun penunjang. Pengetahuan pasien dan keluarga tentang situasi/kondisi kamar operasi dan petugas kamar operasi. Pengetahuan pasien dan keluarga tentang prosedur (pre, intra, post operasi) Pengetahuan tentang latihan-latihan yang harus dilakukan sebelum operasi dan harus dijalankan setalah operasi, seperti : latihan nafas dalam, batuk efektif, ROM, dll.

Persiapan mental yang kurang memadai dapat mempengaruhi pengambilan keputusan pasien dan keluarganya. Sehingga tidak jarang pasien menolak operasi yang sebelumnya telah disetujui dan biasanya pasien pulang tanpa operasi dan beberapa hari kemudian datang lagi ke rumah sakit setalah merasa sudah siap dan hal ini berarti telah menunda operasi yang mestinya sudah dilakukan beberapa hari/minggu yang lalu. Oleh karena itu persiapan mental pasien menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dan didukung oleh keluarga/orang terdekat pasien. Persiapan mental dapat dilakukan dengan bantuan keluarga dan perawat. Kehadiran dan keterlibatan keluarga sangat mendukung persiapan mental pasien. Keluarga hanya perlu mendampingi pasien sebelum operasi, memberikan doa dan dukungan pasien dengan katakata yang menenangkan hati pasien dan meneguhkan keputusan pasien untuk menjalani operasi.

6. Obat-Obatan Pre Medikasi operasi dilakukan pada esok harinya. Pasien akan diberikan obat-obatan premedikasi untuk memberikan kesempatan pasien mendapatkan waktu istirahat yang cukup. Obat-obatan premedikasi yang diberikan biasanya adalah valium atau diazepam. Antibiotik profilaksis biasanya di berikan sebelum pasien di operasi. Antibiotik profilaksis yang diberikan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya infeksi selama tindakan operasi, antibiotika profilaksis biasanya di berikan 1-2 jam sebelum operasi dimulai dan dilanjutkan pasca bedah 2- 3 kali. Antibiotik yang dapat diberikan adalah ceftriakson 1gram dan lain-lain sesuai indikasi pasien. 7. Manajemen Keperawatan Pengkajian

Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).

Pengkajian pasien Pre operatif (Marilynn E. Doenges, 1999) meliputi : Sirkulasi Gejala : riwayat masalah jantung, GJK, edema pulmonal, penyakit vascular perifer, atau stasis vascular (peningkatan risiko pembentukan trombus. Integritas ego Gejala : perasaan cemas, takut, marah, apatis ; factor-faktor stress multiple, misalnya financial, hubungan, gaya hidup. Tanda : tidak dapat istirahat, peningkatan ketegangan/peka rangsang ; stimulasi simpatis. Makanan / cairan Gejala : insufisiensi pancreas/DM, (predisposisi untuk hipoglikemia/ketoasidosis) ; malnutrisi (termasuk obesitas) ; membrane mukosa yang kering (pembatasan pemasukkan / periode puasa pra operasi). Pernapasan Gejala : infeksi, kondisi yang kronis/batuk, merokok.

Keamanan Gejala : alergi/sensitive terhadap obat, makanan, plester, dan larutan ; Defisiensi immune (peningkaan risiko infeksi sitemik dan penundaan penyembuhan) ; Munculnya kanker / terapi kanker terbaru ; Riwayat keluarga tentang hipertermia malignant/reaksi anestesi ; Riwayat penyakit hepatic (efek dari detoksifikasi obatobatan dan dapat mengubah koagulasi) ; Riwayat transfuse darah / reaksi transfuse. Tanda : menculnya proses infeksi yang melelahkan ; demam. Penyuluhan / Pembelajaran

Gejala : pengguanaan antikoagulasi, steroid, antibiotic, antihipertensi, kardiotonik glokosid, antidisritmia, bronchodilator, diuretic, dekongestan, analgesic,

antiinflamasi, antikonvulsan atau tranquilizer dan juga obat yang dijual bebas, atau obat-obatan rekreasional. Penggunaan alcohol (risiko akan kerusakan ginjal, yang mempengaruhi koagulasi dan pilihan anastesia, dan juga potensial bagi penarikan diri pasca operasi). 8. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang muncul pada masa perioperatif antara lain : Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap perubahan status kesehatan, ancaman terhadap pola interaksi dengan orang yang berarti, krisis situasi atau krisis maturasi. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan pembedahan, efek samping penanganan, factor budaya atau spiritual yang berpengaruh pada perubahan penampilan. Koping individu, ketidakefektifan berhubungan dengan perubahan

penampilan, keluhan terhadap reaksi orang lain, kehilangan fungsi, diagnosis kanker. Proses keluarga, perubahan berhubungan dengan terapi yang kompleks, hospitalisasi/perubahan lingkungan, reaksi orang lain terhadap perubahan penampilan. Ketakutan berhubungan dengan proses penyakit/prognosis (misalnya kanker), ketidakberdayaan. Mobilitas fisik, hambatan berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kerusakan saraf/otot, dan nyeri. 9. Intervensi dan Implementasi

Preoperative Ansietas berhubungan dengan ancaman terhadap konsep diri, ancaman terhadap perubahan status kesehatan, ancaman terhadap pola interaksi dengan orang yang berarti, krisis situasi atau krisis maturasi Tujuan : ansietas berkurang/terkontrol. Kriteria hasil : - klien mampu merencanakan strategi koping untuk situasi-situasi yang membuat stress. - klien mampu mempertahankan penampilan peran. - klien melaporkan tidak ada gangguan persepsi sensori. - klien melaporkan tidak ada manifestasi kecemasan secara fisik. - tidak ada manifestasi perilaku akibat kecemasan. Intervensi Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien. R : memudahkan intervensi. Kaji mekanisme koping yang digunakan pasien untuk mengatasi ansietas di masa lalu. R : mempertahankan mekanisme koping adaftif, meningkatkan kemampuan mengontrol ansietas. Lakukan pendekatan dan berikan motivasi kepada pasien untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan. R : pendekatan dan motivasi membantu pasien untuk mengeksternalisasikan kecemasan yang dirasakan. Motivasi pasien untuk memfokuskan diri pada realita yang ada saat ini, harapaharapan yang positif terhadap terapy yang di jalani.

R : alat untuk mengidentifikasi mekanisme koping yang dibutuhkan untuk mengurangi kecemasan. Berikan penguatan yang positif untuk meneruskan aktivitas sehari-hari meskipun dalam keadaan cemas. R : menciptakan rasa percaya dalam diri pasien bahwa dirinya mampu mengatasi masalahnya dan memberi keyakinan pada diri sendri yang dibuktikan dengan pengakuan orang lain atas kemampuannya. Anjurkan pasien untuk menggunakan teknik relaksasi. R : menciptakan perasaan yang tenang dan nyaman. Sediakan informasi factual (nyata dan benar) kepada pasien dan keluarga menyangkut diagnosis, perawatan dan prognosis. R : meningkatkan pengetahuan, mengurangi kecemasan. Kolaborasi pemberian obat anti ansietas. R : mengurangi ansietas sesuai kebutuhan. Resiko infesi, dengan faktor resiko: Prosedur invasif: pembedahan, infus, DC Tujuan : Selama dilakukan tindakan operasi tidak terjadi transmisi agent infeksi. KH : Alat dan bahan yang dipakai tidak terkontaminasi Intervensi o gunakan pakaian khusus ruang operasi o Pertahankan prinsip aseptic dan antiseptic o Dapat mencegah kontaminasi kuman terhadap daerah operasi o Resiko hipotermi dengan faktor resiko: Berada diruangan yang dingin o Atur suhu ruangan yang nyaman

o Lindungi area diluar wilayah operasi Postoperative Koping individu, ketidakefektifan berhubungan dengan perubahan penampilan, keluhan terhadap reaksi orang lain, kehilangan fungsi, diagnosis kanker. Tujuan : pasien menunjukkan koping yang efektif. Kriteria hasil : - pasien akan menunjukkan minat terhadap aktivitas untuk mengisi waktu luang. - mengidentifikasikan kekuatan personal yang dapat mengembangkan koping yang efektif. - menimbang serta memilih diantara alternative dan konsekuensinya. - berpartisipasi dalam aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS). Intervensi Kaji pandangan pasien terhadap kondisinya dan kesesuaiannya dengan pandangan pemberi pelayanan kesehatan. R : mengidentifikasi persepsi pasien terhadap kondisinya. Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan. R : menghindari ketakutan dan menciptakan hubungan saling percaya, memudahkan intervensi Anjurkan pasien untuk mengidentifikasi gambaran perubahan peran yang realitas. R : memberikan arahan pada persepsi pasien tentang kondisi nyata yang ada saat ini. Bantu pasien dalam mengidentifikasi respons positif dari orang lain. R : meningkatkan perasaan berarti, memberikan penguatan yang positif. Libatkan sumber-sumber yang ada di rumah sakit dalam memberikan dukungan emosional untuk pasien dan keluarga.

R : menciptakan suasana saling percaya, perasaan berarti, dan mengurangi kecemasan.

BAB III Tinjauan Kasus Tanggal pengkajian No. Registrasi Diagnosa medik : 3 Juli 2013 : 703644 : CVD infack Stenosis Carotis

Identitas Diri Pasien Nama Umur Jenis kelamin Alamat Status perkawinan Agama Diagnosa medik Rencana tindakan Jenis anestesi : dr. M, Sp.B : 64 tahun : laki-laki : Jl. Cempaka Putih Tengah 4A No. 10 Jakarta Pusat : menikah : Islam : CVD infack Stenosis Carotis : Carotid Endorterectomi : umum

Status Kesehatan Saat Ini Alasan kunjungan / keluhan utama : Klien rujukan dari RS Boromesu dengan diagnosa medis stroke infark. Klien mengalami kelemahan ekstremitas kanan, bicara pelo, sakit kepala, pundak terasa sakit dengan skala nyeri 2, mata kiri susah melihat dan sakit kepala dengan skala nyeri 2 6 bulan SMRS Klien datang ke ruang operasi pada pukul 10.30. klien telah mendapatkan perawatan dari tanggal 26 Juni 2013. Kesadaran CM. Klien mengatakan takut menghadapi operasi, klien tampak gelisah dan tegang. TD : 150/90 mmHg, Nadi : 60x/menit, RR : 20x/menit, suhu : 36oC.

Riwayat kesehatan yang lalu DM (-), hipertensi (-), asma (-) Riwayat penyakit keluarga DM (-), hipertensi (-), asma (-) Riwayat alergi Alergi obat : Tidak ada

Alergi makanan : Tidak ada Alergi lainya : Tidak ada

Pemeriksaan Fisik TB BB TD Nadi RR : 158 cm : 60 kg : 150/90 mmHg : 60x/menit : 20x/menit

Suhu Keadaan umum Kepala Mata

: 36oC : Sedang : Tidak ada lesi, rambut bersih, tak ada benjolan : konjungtiva ananemis, sklera anikterik, perdarahan viterus kiri, mata kiri susah untuk melihat, pemakaian lensa kontak (-).

Hidung Telinga

: Tidak terdapat lesi, tidak terdapat serumen, fungsi penciuman baik : normal, serumen (-), fungsi pendengaran baik, pemakaian alat bantu dengar (-).

Mulut Leher

: bicara pelo, karies gigi (-), sariawan (-). : Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada, Peningkatan JVP tidak ada

Pemeriksaan ekstremitas : kekuatan otot : 1111 1111

5555 5555

Pemeriksaan dada dan sistem pernapasan : Gerakan simetris Bunyi jantung reguler Bunyi paru vesikuler Jalan napas bersih Cuping hidung (-) RR : 20x/menit

Sistem kardiovaskular : TD : 150/90 mmHg Nadi : 60x/menit RR : 20x/menit

Suhu : 36oC Capillary refill : < 2 detik

Sistem pencernaan : Bising usus : 12x/menit Distensi abdomen (-)

Pemeriksaan Penunjang Hasil lab tanggal 2 Juli 2013 : GDS : 204 mg/dL Gula darah puasa : 133 mg/dL Kolesterol LDL : 119 mg/dL

MRI : Infark hiperakut multiple pada kapsula interna kiri dan periventrikel lateralis kiri Hematoma kecil di lobus parietal kiri dengan estimasi volume 0,8 cc Infark lama multiple di kapsula interna kanan Bulbus okuli kiri memipih ireguler dengan lensa terdorong kolateral e.c paska inflamasi Stenosis mulai dari tifurcatio carotis comunis kiri, okuli A carotis interna kiri dan oklusi A serebri media kiri Sinus treansversus, sigmoid dan vena jugularis kanan lebih kecil dari kiri Defek perfusi hemisfere serebri sisi kiri hypoperfusi frontiparietalis kanan

Radiologi :

Trombosis arteri carotis interna kiri petrosum sampai terminal dengan penurunan aliran darah distribusi MCA kiri, infark watershed akut serebri kiri meliputi lobus parietal kiri, parieto frontal kiri, substansi alba periventricular kiri dan basal ganglion kiri

Post perdarahan intraserebral a/r gyrus poscentral lobus parietal kiri

Asuhan Keperawatan Preoperatif Analisa data : DS : klien mengatakan takut menghadapi operasi DO : klien terlihat gelisah dan tegang, TD : 150/90 mmHg, Nadi : 60x/menit, RR : 20x/menit, Suhu : 36oC Diagnosa keperawatan : Ansietas (ringan) b.d tindakan pembedahan yang akan dilakukan Tujuan : setelah dilakukan perawatan selama 1x15 menit diharapkan cemas dapat teratasi KH : klien tampak tenang, TTV dalam batas normal Intervensi : Kaji tingkat kecemasan Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan Libatkan keluarga dalam memberikan support Anjurkan klien untuk berdoa Pantau TTV setiap 15 menit sekali

Implementasi dan evaluasi :

Implementasi 1. Mengkaji tingkat kecemasan klien ringan 2. Menjelaskan prosedur yang akan dilakukan 3. Mempersilakan keluarga untuk menemani klien 4. Menganjurkan klien untuk berdoa 5. Memantau TTV

Evaluasi S : klien mengatakan lebih tenang O : klien tampak rileks, TD : 150/90 mmHg, Nadi : 60x/menit, RR : 20x/menit, Suhu : 36oC A : Tujuan tercapai P : Hentikan asuhan keperawatan

Asuhan Keperawatan Intraoperatif Klien masuk ruangan operasi jam 10.30 Klien dipasang IV line jam 10.40, RL 3 kolf voluven 500 cc, NaCl 1 kolf Klien dipasang DC pukul 11.30 2000 cc urin Perdarahan 250 cc TD : 120/70 mmHg Nadi 48x/menit RR : 11x/menit Suhu : 36oC Bibir kering

Analisa data : DS : DO :

Klien infus, RL 3 kolf voluven 500 cc, NaCl 1 kolf Urin : 2000 cc Perdarahan 250 cc IWL : 37,4 cc TD : 120/70 mmHg Nadi 48x/menit RR : 11x/menit Suhu : 36oC Bibir kering BB : 60 kg TB : 158 cm

Diagnosa keperawatan : resiko kekurangan volume cairan b.d pembatasan intake Tujuan : setelah dilakuka perawatan selama 1x6 jam diharapkan masalah kekurangan volume cairan tak terjadi KH : TTV dalam batas normal Mukosa bibir lembab Turgor kulit elastis Tidak ada tanda-tanda syok hipovolemik

Intervensi : Ukur dan catat pemasukan dan pengeluaran Pantau ulang TTV setiap 15 menit sekali Berikan cairan parenteral Pasang kateter urin

Implementasi dan evaluasi : Implementasi 1. Mengukur dan mencatat pemasukan dan pengeluaran masuk : RL 3 kolf, NaCl 1 kolf, voluven 1 kolf; keluar : perdarahan 250 cc, IWL : 37,4 cc, urin 2000cc 2. Memantau TTV TD : 120/70 mmHg, Nadi 48x/menit, RR : 11x/menit, Suhu : 36oC 3. Mamberikan cairan parenteral RL 3 kolf, NaCl 1 kolf, voluven 1 kolf 4. Memasang kateter urin urin 2000cc S:O: - TD : 120/70 mmHg - Nadi 48x/menit - RR : 11x/menit - Suhu : 36oC - Turgor kulit baik - Mukosa bibir kering - Perdarahan 250 cc A : masalah kekurangan volume cairan tak terjadi P : lanjutkan intervensi di RR, pantau TTV, ukur dan pantau intake dan output klien Evaluasi

Asuhan Keperawatan Postoperatif Klien dibawa ke RR pada jam 15.55, terpasang infus RL, terpasang DC, posisi supine TD : 170/90 mmHg Nadi : 52x/menit

RR : 12x/menit Suhu : 36oC

Analisis data : DS : DO : Posisi supine Ronchi (-) Pernapasan lemah TD : 170/90 mmHg Nadi : 52x/menit RR : 12x/menit Suhu : 36oC

Diagnosa : bersihan jalan napas tak efektif b.d anestesi umum Tujuan : setelah dilakukan perawatan selama 1x20 menit diharapkan masalah bersihan jalan napas dapat teratasi KH : napas adekuat, TTV dalam batas normal Intervensi : 1. Kaji fungsi pernapasan 2. Pantau TTV setiap 15 menit sekali 3. Bersihkan sekret dari mulut 4. Berikan posisi semifowler 5. Pertahankan masukan cairan secara perlahan Implementasi dan evaluasi :

Implementasi 1. Mengkaji fungsi pernapasan 2. Memantau TTV 3. Membersihkan sekret di dalam mulut dengan suction 4. Mempertahanan masukan cairan secara perlahan S:-

Evaluasi

O : napas inadekuat, irama napas tidak teratur, TD: 160/80, Nadi: 64x/menit, RR: 15x/menit A : masalah bersihan jalan napas belum teratasi P : lanjutkan intervensi di ruang perawatan: kaji pernapasan, pantau TTV, monitor intake dan output.

BAB IV PEMBAHASAN Tn. M (64 tahun) dengan diagnosa CVD Infark stenosis carotis. Sebelumnya pasien pernah dirawat di Rumah Sakit Boromeus dengan diagnosa stroke infark, pasien mengalami kelemahan ekstremitas kanan, bicara pelo, sakit kepala, pundak terasa sakit, mata kiri susah untuk melihat, sakit kepala lebih kurang enam bulan. Klien masuk ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto pada tanggal 26 juni 2013 dan dilakukan tindakan operasi karotid endarterektomi pada tanggal 3 juli 2013 Karotid endarterektomi adalah Operasi yang dilakukan sebagai pencegahan untuk Stroke. Operasi ini dilakukan ketika ada penumpukan plak di arteri karotis. Oleh karenanya itu dapat membantu mencegah stroke iskemik pada pasien tertentu dengan stenosis arteri karotid.Penumpukan plak umumnya disebabkan oleh artherosclerosis. Biasanya terjadi penumpukan plak di arteri garpu dari karotis; titik di mana ia terbagi menjadi dua (internal dan eksternal arteri karotid). Plak terbentuk di lumen yang mengakibatkan penyempitan daerah arteri. Sebuah sayatan kulit ditempatkan miring di sisi leher. Ini diperdalam sepanjang perbatasan otot sternomastoideus untuk mencapai arteri karotid, cabang-cabangnya dan vena jugularis internal yang menyertainya. Perawatan diambil untuk mempertahankan syaraf di sekitarnya. Cabang-cabang arteri dan arteri karotid sebelum dan setelah daerah penyempitan dijepit. Ini dilakukan di bawah perlindungan heparin untuk mencegah penggumpalan darah pada arteri yang dijepit. Sayatan membujur (arteriotomi) kemudian dibuat di atas plak yang kemudian dengan hati-hati dibedah bebas, mengakibatkan dinding dalam yang sangat halus. Arteriotomi kemudian diperbaiki dengan jahitan sangat halus. Selanjutnya, penjepit arteri dikeluarkan untuk mengembalikan aliran darah ke otak. Prosedur ini dapat dilakukan dengan

pengawasan EEG atau TCD (Doppler transkranial) untuk memantau resiko penjepitan arteri. Jika ada tanda-tanda asupan darah kurang memadai, tube karotid "shunt" dimasukkan untuk mengembalikan aliran darah ke otak selama endarterektomi. Untuk mengurangi resiko stroke paska operasi, semua pasien terus menerima dosis biasa aspirin sebelum CEA. Komplikasi operasi potensial termasuk: Stroke. Gangguan asupan darah selama operasi dapat berpotensi menyebabkan kerusakan otak permanen. Serangan jantung. Karena tingginya insiden penyakit jantung yang ada dan hipertensi, ini juga dapat terjadi. hematoma leher. Ini dapat membahayakan jiwa terutama jika itu berkompromi pernapasan. Rincian perbaikan arteriotomi jarang terjadi namun dapat fatal. Kadangkala, perdarahan di lokasi operasi mungkin melibatkan pembukaan kembali luka. Kulit mati rasa Infeksi luka Cedera pada struktur di sekitarnya, misalnya syaraf hypoglossal

DAFTAR PUSTAKA Bulechek, Gloria dkk, Nursing Interentions Classification (NIC). United States America: Mosby Elseier. 2004. Muttaqin, Arif. 2009. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika NANDA International. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC. 2012.

Anda mungkin juga menyukai