Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

PIELONEFRITIS KRONIK
Di Susun Oleh :
NAMA : Riana Suwarni
NIM : I 11108049
Pembimbing :
dr. Bambang Sri Nugroho, Sp.PD
SMF PENYAKIT DALAMRSUD DR.SOEDARSO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK
2014
LEMBAR PENGESAHAN
Sebagai salah satu syarat menyelesaiknan Kepaniteraan Klinik Madya
di SMF Penyakit Dalam RSUD dr.Soedarso
Pembimbing
dr. Bambang Sri Nugroho, Sp.PD
Mahasiswa
Riana Suwarni
NIM. I11108049
1
BAB I
PENDAHULUAN
Pielonefritis kronik merupakan penyakit infeksi kronik pada ginjal yang
disebabkan oleh infeksi berulang pada ginjal yang memicu terjadinya perubahan
struktur ginjal berupa fibrosis (pembentukan jaringan parut) pada korteks dan
perubahan bentuk kaliks ginjal dan atrofi ginjal (Fuller, 2009; Suzanne, et al., 2010;
McCance, 2014).
Pielonefritis kronik lebih sering terjadi pada wanita. Faktor resiko pielonefritis
meningkat pada pasien dengan kelainan anatomi seperti refluks vesika urinaria,
obstruksi traktus urinarius, infeksi saluran kemih berulang, penyakit ginjal, trauma
ginjal, kehamilan, gangguan metabolisme seperti diabetes mellitus. Resiko
penyakit meningkat pada pasien dengan penggunaan kateter (Dillon, 1998).
Pielonefritis kronik merupakan penyebab terjadinya gagal ginjal kronik yang
mungkin membutuhkan terapi pengganti ginjal seperti transplantasi atau dialisis.
Sebanyak 25% kasus gagal ginjal kronik disebabkan oleh pielonefritis kronik
(Fuller, 2009; Suzanne, et al., 2010; McCance, 2014).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga
retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya
menghadap ke medial. Pada sisi ini terdapat hilus ginjal yaitu tempat struktur-
struktur pembuluh darah, sistem limfatik, sistem saraf dan ureter menuju dan
meninggalkan ginjal. Ginjal terletak di antara vertebra thoracica terakhir hingga
vertebra lumbal ke-3, dan dilindungi oleh tulang iga ke-11 dan ke-12. Ginjal
sebelah kanan lebih rendah dibandingkan ginjal sebelah kiri (Purnomo, 2009;
Tortora, 2009).
Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrosa tipis yang disebut kapsula fibrosa. Di
bagian luar kapsul ini terdapat jaringan lemak perirenal. Di sebelah kranial ginjal
terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula adrenal/ suprarenal yang berwarna
kuning. Kelenjar adrenal bersama-sama dengan ginjal dan jaringan lemak perirenal
dibungkus oleh fasia Gerota. Diluar fasia gerota terdapat jaringan lemak
retroperitoneal yang disebut sebagai lemak pararenal (Purnomo, 2009).
Gambar 1. Rongga perirenal dan pararenal yang membatasi ginjal
3
Secara anatomis, ginjal terbagi menjadi 2 bagian yaitu korteks dan medulla
ginjal. Medula renalis terdiri atas piramid yang dasarnya menghadap ke korteks dan
bagian apeks (papilla renalis) menghadap ke kaliks ginjal. Sementara korteks ginjal
membentang dari kapsula ginjal menuju ke basis piramid dan masuk di antara
piramid di medula ginjal (renal column). Korteks ginjal dan medula ginjal disebut
sebagai parenkim ginjal (Tortora, 2009).
Di dalam parenkim ginjal terdapat nefron yang merupakan unit fungsional
terkecil dari ginjal yang terdiri atas glomerulus, tubulus kontortus proksimalis,
tubulus kontortus distalis, dan duktus kolegentes. Darah yang membawa sisa-sisa
hasil metabolisme tubuh difiltrasi (disaring) di dalam glomeruli kemudian di tubuli
ginjal, beberapa zat yang masih diperlukan tubuh mengalami reabsorbsi dan zat-
zat hasil sisa metabolisme mengalami sekresi bersama air membentuk urine. Urine
yang terbentuk di dalam nefron disalurkan melalui piramida ke sistem pelvikalises
ginjal untuk kemudian disalurkan ke dalam ureter. Sistem pelvikalises ginjal terdiri
atas kaliks minor, infundibulum, kaliks major, dan pielum/pelvis renalis. Mukosa
sistem pelvikalises terdiri atas epitel transisional dan dindingnya terdiri atas otot
polos yang mampu berkontraksi untuk mengalirkan urine sampai ke ureter
(Purnomo, 2009).
4
Gambar 2. Penampang ginjal dan nefron
B. Pielonefritis
Pielonefritis merupakan infeksi bakterial yang menyebabkan peradangan di
pelvis, tubulus dan jaringan interstitial dari satu atau dua ginjal. Pielonefritis hampir
selalu berkaitan dengan infeksi saluran kemih bawah (Kumar, 2007; Suzanne, et
al., 2010).
Pielonefritis dibedakan menjadi dua, yakni pielonefritis akut dan pielonefritis
kronik. Pielonefritis akut merupakan suatu infeksi bakterial akut yang terjadi pada
kaliks, pelvis, dan korteks ginjal (Abraham, 2013).
Pielonefritis kronik merupakan penyakit infeksi kronik pada ginjal yang
disebabkan oleh infeksi berulang pada ginjal yang memicu terjadinya perubahan
struktur ginjal berupa fibrosis (pembentukan jaringan parut) pada korteks,
perubahan bentuk kaliks ginjal dan atrofi ginjal. Pielonefritis kronik merupakan
penyebab terjadinya gagal ginjal kronik yang mungkin membutuhkan terapi
pengganti ginjal seperti transplantasi atau dialisis. Sebanyak 25%kasus gagal ginjal
kronik disebabkan oleh pielonefritis kronik (Fuller, 2009; Suzanne, et al., 2010;
McCance, 2014).
5
C. Faktor Resiko
Pielonefritis kronik dapat terjadi pada orang dewasa maupun anak-anak,
namun lebih sering terjadi pada anak-anak. Lebih sering mengenai orang berkulit
putih dibandingkan kulit hitam dan lebih sering mengenai wanita daripada pria.
Faktor resiko pielonefritis meningkat pada pasien dengan kelainan anatomi seperti
refluks vesika urinaria, obstruksi traktus urinarius, infeksi saluran kemih berulang,
penyakit ginjal, trauma ginjal, kehamilan, gangguan metabolisme seperti diabetes
mellitus, juga pada pasien yang menggunakan kateter, terutama pada wanita tua
(Dillon, 1998).
D. Rute Infeksi
Organisme utama penyebab pielonefritis adalah batang gram-negatif enterik.
Escherichia coli merupakan organisme tersering. Organisme penting lainnya
adalah spesies Proteus, Klebsiella, Enterobacter, dan Pseudomonas. Kuman ini
biasanya menyebabkan infeksi rekuren, terutama pada pasien yang menjalani
manipulasi saluran kemih atau mengidap anomali saluran kemih bawah kongenital
atau didapat (Kumar, 2007).
Terdapat dua rute yang dapat ditempuh bakteri untuk mencapai ginjal: melalui
aliran darah dari arteri renalis (hematogen) dan dari saluran kemih bawah
(asendens). Infeksi asendens dari saluran kemih bawah merupakan rute tersering
dan terpenting bagi bakteri untuk mencapai ginjal (Kumar, 2007).
Infeksi asendens bakteri pada traktus urinarius diawali dengan aliran retrograd
dari feses melalui perineum ke uretra. Terjadi perlekatan bakteri ke permukaan
mukosa, diikuti oleh kolonisasi bakteri di uretra bagian distal. Dari sini organisme
memperoleh akses ke kandung kemih dengan pertumbuhan ekspansif koloni.
Instrumentasi uretra, termasuk kateterisasi dan sistoskopi, juga menjadi salah satu
akses bakteri ke kandung kemih. Tanpa instrumentasi, UTI paling sering mengenai
perempuan, karena letak uretra yang dekat dengan rektum, bakteri enterik mudah
melakukan kolonisasi. Selain itu, uretra yang pendek, dan trauma uretra saat
hubungan kelamin, mempermudah masuknya bakteri ke dalam kandung kemih
(Smith, 2007; Kumar, 2007; Suzanne, et al., 2010).
6
Gambar 3. Rute infeksi bakteri pada ginjal
E. Etiologi Pielonefritis Kronik
Mekanisme tersering penyebab pielonefritis kronik adalah akibat pielonefritis
akut berulang, obstruktif kronik dan refluks kronik (Kumar, 2007; Kathryn, 2009).
Obstruksi kronik. Biasanya urine kandung kemih steril, karena sifat
antimikroba mukosa kandung kemih dan karena efek pembilasan yang ditimbulkan
oleh proses berkemih secara periodik. Pada obstruksi aliran keluar atau disfungsi
kandung kemih, mekanisme pertahanan alami kandung kemih terganggu sehingga
ISK mudah terjadi. Obstruksi setinggi kandung kemih menyebabkan pengosongan
yang inkomplit dan peningkatan volume urine sisa sehingga terjadi stasis urine.
Stasis urine menyebabkan bakteri yang masuk ke dalam kandung kemih dapat
berkembang biak tanpa gangguan, tanpa mengalami pembilasan atau dihancurkan
oleh dinding kandung kemih. Dari urine kandung kemih yang tercermar, bakteri
naik di sepanjang ureter untuk menginfeksi pelvis dan parenkim ginjal. Dari duktus
7
koligentes, bakteri memperoleh akses ke jaringan interstitial dan tubulus lainnya di
ginjal. Oleh karena itu, pielonefritis sering terjadi pada pasien dengan obstruksi
saluran kemih, seperti akibat hipertrofi prostat jinak dan prolaps uterus (Kumar,
2007). Tumor vesika urinaria, striktur, hiperplasia prostat jinak (BPH), dan batu
traktus uriaria merupakan faktor yang berpotensial menyebabkan obstruksi yang
akhirnya menyebabkan infeksi (Suzanne, et al., 2010).
Refluks kronik. Bakteri pada vesika urinaria umumnya tidak memiliki akses
ke ginjal. Insersi normal ureter ke dalam kandung kemih merupakan suatu katup
kompeten satu-arah dengan sudut insersi yang tajam yang mencegah aliran urine
retrograd, terutama saat berkemih dimana tekanan intravesika meningkat. Pada
beberapa individu, insersi ureter dengan vesika urinaria memiliki sudut yang lebih
tegak lurus, sehingga pada saat miksi dimana tekanan intravesika meningkat, urine
terdorong ke ginjal melalui orifisium ureter yang tidak tertutup (refluks
vesikoureter (vesicoureteral reflux), VUR) (Kumar, 2007).
Vesicoureteral reflux terdapat pada 35% sampai 45% anak dengan ISK.
Vesicoureteral reflux biasanya merupakan cacat kongenital yang menyebabkan
inkompetensi katup ureterovesika. Vesicoureteral reflux juga dapat merupakan
kelainan didapat pada pasien dengan kandung kemih yang kendur akibat cedera
medula spinalis. Efek VUR serupa dengan efek suatu obstruksi yaitu bahwa setelah
berkemih akan terdapat sisa urine dalam saluran kemih yang memudahkan
pertumbuhan bakteri. Selain itu, VUR menjadi mekanisme yang mendorong urine
dari kandung kemih yang terinfeksi ke atas menuju pelvis ginjal lalu ke parenkim
ginjal melalui duktus yang terbuka di ujung papila (refluks intrarenal) (Kumar,
2007; Rubin, 2009).
Papila pada kaliks renal normal berbentuk cembung sehingga mencegah
terjadinya refluks urine intrarenal. Pada obstruksi, terjadi peningkatan tekanan oleh
urine yang berkepanjangan, papila kaliks renal akan berubah menjadi cekung yang
menyebabkan terjadinya refluks intrarenal.
8
Gambar 4. Insersi ureter-vesika urinaria normal (kiri) dan inkompeten (kanan)
Gambar 5. Papila renal normal (simpel papila) berbentuk cembung (kiri) dan papila renal akibat
obstruksi (compound papila) berbentuk cekung (kanan) yang memudahkan terjadinya refluks
intrarenal
9
F. Patogenesis
Setelah terjadi inokulasi di parenkim ginjal, akan terjadi respon hebat yang
memicu terjadinya kerusakan jaringan akibat iskemia fokal dan efek langsung
akibat toksin yang dilepaskan. Respon inflamasi akan merangsang migrasi sel
granulosit ke area infeksi. Kumpulan sel-sel ini selanjutnya menyebabkan obstruksi
pada arteriole dan kapiler peritubuler. Edema interstitial yang menyertai proses
inflamasi akan menyebabkan kompresi pada kapiler peritubular, glomerulus dan
arteriole medula, yang berkontribusi terhadap iskemia fokal dan cedera tubular
(Smith, 2007).
Mekanisme kedua, cedera tubular disebabkan oleh produksi superoksida
selama proses reperfusi jaringan dan dengan dilepaskannya lisozim setelah
granulosit memfagosit bakteri yang menginvasi. Radikal bebas oksigen
menghasilkan peroksida dan enzim toksik yang dilepaskan oleh granulosit
merupakan substansi dekstruktif yang tidak hanya membunuh bakteri namun juga
merusak epitel tubulus. Sel tubular yang mati akan menyebabkan proses inflamasi
ke dalam jaringan interstitial yang akan memperburuk kerusakan yang sedang
terjadi. Hasil ini pada akhirnya dapat menyababkan cedera parenkim yang bersifat
permanen atau pembentukan jaringan parut disertai atrofi tubulus dan fibrosis
interstitial (Smith, 2007).
G. Patologi
Pielonefritis kronik dapat melibatkan satu atau dua ginjal. Apabila terjadi
secara bilateral, kedua ginjal tidak sama parahnya terkena sehingga tidak
mengalami kontraksi yang setara. Ukuran ginjal yang mengalami pielonefritis
biasanya mengecil, permukaan ginjal tak beraturan akibat jaringan parut yang
terbentuk. Jaringan parut tampak seperti depresi berbentuk huruf U. Terdapat
dilatasi pelvis dan kaliks yang tumpul (Mohan, 2007; Kumar, 2007).
10
Gambar 6. Gross anatomi ginjal dengan pielonefrtis kronik (A) Permukaan korteks mengandung
jaringan parut yang ireguler; (B) Terdapat dilatasi kaliks akibat inflamasi destruksi pada papila
dengan atrofi dan jaringan parut pada korteks di atasnya
Pada pieloneftiris kronik akibat obstruksi kronik, semua kaliks dan pelvis
renalis mengalami dilatasi, dan parenkim mengalami penipisan yang seragam
akibat pembentukan jaringan parut. Sementara pada pielonefritis akibat VUR,
dilatasi lebih sering terjadi pada kaliks renalis bagian kutub atas maupun bawah
ginjal disertai dengan pembentukan jaringan parut pada parenkim yang berada di
atas kaliks tersebut (Rubin, 2009).
Gambar 6. Pielonefritis kronik; (Kiri) Pielonefritis akibat refluks kronik menyebabkan
pembentukan jaringan parut pada kutub ginjal; (Kanan) Pielonefritis akibat obstruksi kronik
menyebabkan aliran balik dengan tekanan tinggi dan infeksi pada semua papila menyebabkan
pembentukan jaringan parut dan penipisan korteks secara difus
11
Kelainan mikroskopik berupa:
1. Fibrosis interstitium yang tidak merata dan sebukan limfosit, sel plasma, dan
kadang-kadang neutrofil,
2. Dilatasi dan kontraksi tubulus, disertai atrofi epitel yang melapisinya. Banyak
tubulus yang melebar berisi silinder positif-PAS seperti kaca berwarna merah
muda sampai biru yang dikenal sebagai silinder koloid. Gambaran ini mirip
dengan kelenjar tiroid sehingga muncul nama deskriptif tiroidisasi. Di dalam
tubulus sering ditemukan neutrofil.
3. Dilatasi pada pelvis dan kaliks renalis. Terdapat peradangan kronis dan fibrosis
yang mengenai dinding dan mukosa kaliks.
4. Walaupun glomerulus mungkin normal, pada sebagian besar kasus ditemukan
glomerulosklerosis di bagian yang parenkim ginjalnya relatif baik.
Gambar 7. Histopatologi ginjal dengan pielonefritis kronik; Terdapat atrofi tubulus, dilatasi
tubulus dengan cast colloid di dalamnya, tubulus dikelilingi oleh jaringan fibrosa dan reaksi
inflamasi kronik, dinding pembuluh darah mengalami penebalan dan terdapat fibrosis
periglomerular
12
H. Gejala dan Tanda Pielonefritis Kronik
Gejala awal pielonefritis kronik sering tidak jelas. Pasien dengan pielonefritis
kronik sering didiagnosis ketika pasien mengalami gangguan fungsi ginjal akibat
kerusakan ginjal. Gejala yang terjadi pada tahap ini sama dengan gejala gagal ginjal
kronik berupa hilangnya nafsu makan, penurunan berat badan, hipertensi dan
anemia. Terdapat ganggguan kemampuan konversi sodium, hiperkalemia, asidosis
metabolik akibat gangguan fungsi tubulus. Resiko dehidrasi harus dipertimbangkan
apabila terdapat gangguan konsentrasi urine (Kathryn, 2009; Dunphy, LN, 2011;
Abraham, 2013).
Jika pielonefritis kronik pada pasien dianggap sebagai hasil dari episode
pielonefritis akut yang berulang, akan didapatkan riwayat demam intermiten, nyeri
panggul, dan disuria. Gejala lainnya meliputi gejala frekuensi, nokturia, poliuria.
Bakteriuria dan piuria, tanda infeksi saluran urinarius, tidak dapat dijadikan tolak
ukur infeksi ginjal. Pasien dengan infeksi pada ginjal dapat memiliki urine yang
steril jika ureter mengalami obstruksi atau jika infeksi berada di luar traktus
urinarius. Pemeriksaan fisik pada pasien dengan pielonefritis kronik memiliki
gejala yang minimal atau gejala yang mirip dengan gejala pielonefritis akut
(Gillenwaters et al., 2002; Kathryn, 2009; Dunphy, 2011).
I. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium. Pada pemerisaan laboratorium mungkin ditemukan gejaa
gagal ginjal kronik dengan peningkatan Blood Urea Nitrogen (BUN) dan kreatinin.
Dapat juga dijumpai hiponatremia, hiperkalemia, dan asidosis (Dillon, 1998).
Urinalisis. Jika dicurigai adanya infeksi pada ginjal, perlu dilakukan kultur
sampel urin tengah (midstream) untuk menentukan jumlah dan spesies bakteri pada
urin. Lakukan uji sensitivitas antibiotik terhadap bakteri tersebut. Sampel urin juga
diperiksa apakah terdapat sel darah merah atau pus (hematuria atau piuria). Dapat
juga ditemukan adanya protein dalam urin (proteinuria, albuminuria) (Dillon,
1998).
Intravena Pielografi. Gambaran pielografi berupa bentuk ginjal yang asimetri
dan irregular, kaliks ginjal yang berdilatasi dengan tepi yang tumpul dan jaringan
13
parut pada korteks ginjal yang terletak di atas papila. Biasanya lesi ini unilateral,
namun dapat juga ditemukan lesi bilateral. Ketebalan parenkim berkurang, terdapat
hipertrofi fokal pada daerah yang tidak mengalami fibrosis sebagai akibat
kompensasi (Gillenwaters et al., 2002).
Ultrasonografi. Menunjukkan kaliks ginjal yang bundar dan terdilatasi dengan
korteks yang mengalami fibrosis atau atrofi. Jika pielonefritis bersifat unilateral,
maka hipertrofi kompensatorik dapat dilihat pada ginjal kontralateral (Gillenwaters
et al., 2002).
CT-Scan. Terlihat jaringan parut parenkim fokal yang menutupi kaliks ginjal
yang mengalami dilatasi (Gillenwaters et al., 2002).
Gambar 8. Intravena Pielografi; Ginjal kanan yang kecil yang disertai penumpulan kaliks pada
pielonefritis kronis
Gambar 9. CT-Scan; Scarring pada tepi ginjal kiri dengan kalsifikasi.
14
J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pieloneritis kronik dilakukan dengan mengatasi infeksi yang
sedang terjadi dan mengoreksi faktor yang mendasari penyakit. Penatalaksanaan
infeksi yang sedang terjadi harus berdasarkan uji kerentanan antimikroba dan
memilih obat yang dapat mencapai konsentrasi bakterisidal di dalam urine dan tidak
bersifat nefrotoksik. Durasi terapi antimikrobial diperpanjang hingga jangka waktu
maksimal. Terapi antibiotik jangka panjang sebagai profilaksis dapat membatasi
rekurensi penyakit dan fibrosis ginjal (Gillenwaters et al., 2002).
Obat-obatan yang dapat digunakan adalah TMP-SMX (Bactrim), doxycycline
(Vibramycin) dan kuinolon. TMP-SMX diberikan 2 kali sehari selama 4 6
minggu. Doksisiklin 2 x 200 mg selama 3 hari, kemudian 2 x 100 mg selama 4 6
minggu. Golongan kuinolon yang dapat digunakan adalah ciprofloxacin XR (per
oral/ PO) 1 x 1000 mg, atau ciprofloxacin 2 x 400 mg intravena (IV), atau
levofloxacin 2 x 500 mg IV. Kuinolon PO atau IV + PO diberikan selama 2 4
minggu. Pada pemberian intravena, apabila pasien sudah bisa menerima terapi
secara oral, maka terapi intravena harus segera diganti dengan terapi oral
(biasanya<72 jam). Kultur urin sebagai evaluasi perlu dilakukan 1 minggu setelah
pengobatan selesai (Dillon, 1998; Suzanne, et al., 2010; Kellerman, 2011).
Jika memungkinkan, kelainan struktural perlu di koreksi. Operasi mungkin
dibutuhkan untuk menghilangkan obstruksi atau memperbaiki striktur. Berbagai
prosedur operasi dapat dilakukan tergantung pada kelainan yang mendasari. Pada
refluks vesikoureter dapat dilakukan operasi reimplantasi ureter (Dillon, 1998).
Seperti bentuk cedera lain pada ginjal, sekali terjadi atrofi tubulus dan fibrosis
interstitial berkembang, hanya sedikit yang dapat dilakukan agar perjalan penyakit
tidak berkembang menjadi insufisiensi ginjal kronik dan penyakit gagal ginjal
kronik. Apabila terdapat hipertensi dapat diberikan antihipertensi. Jika terdapat
gagal ginjal kronik, maka terapi diberikan sesuai dengan terapi gagal ginjal kronik.
(Dillon, 1998; Abraham, 2013).
15
K. Komplikasi
Komplikasi dari pielonefritis kronik adalah kerusakan ginjal progresif
menyebabkan gagal ginjal kronik (akibat hilangnya nefron secara progresif
sekunder terhadap inflamasi dan fibrosis), infeksi rekuren akibat resistensi bakteri,
dan hipertensi (Suzanne, et al., 2010)
16
BAB III
KESIMPULAN
1. Pielonefritis merupakan infeksi bakterial yang menyebabkan peradangan di
pelvis, tubulus dan jaringan interstitial dari satu atau dua ginjal.
2. Pielonefritis dibedakan menjadi dua, yakni pielonefritis akut dan pielonefritis
kronik.
3. Pielonefritis kronik merupakan penyakit infeksi kronik pada ginjal yang
disebabkan oleh infeksi berulang pada ginjal yang memicu terjadinya
perubahan struktur ginjal berupa fibrosis (pembentukan jaringan parut) pada
korteks dan perubahan bentuk kaliks ginjal dan atrofi ginjal.
4. Rute infeksi pada pielonefritis dapat terjadi secara hematogen atau melalui
infeksi asending
5. Bakteri tersering penyebab pielonefritis adalah Escherechia coli
6. Faktor penyebab tersering pielonefritis kronik adalah obstruksi kronik dan
refluks vesikoureter.
7. Gejala pielonefritik kronik sering asimptomatik hingga terjadi gagal ginjal
kronik. Apabila pielonefritik kronik disebabkan oleh pielonefritik akut
berulang, maka akan didapatkan riwayat demam intermiten, nyeri panggul,
dan disuria.
8. Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan urinalisis, laboratorium,
intravena pielografi, CT-scan, dan USG.
9. Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibiotik yang sensitif
terhadap bakteri yang dikultur dan mengatasi faktor yang mendasari seperti
obstruksi dan refluks vesikoureter. Apabila telah terjadi gagal ginjal kronik,
maka terapi disesuaikan dengan terapi gagal ginjal kronik
10. Komplikasi pielonefritis berupa gagal ginjal kronik dan hipertensi.
17
DAFTAR PUSTAKA
Abraham, N. A., Donna JL, 2013, Practical Renal Pathology : A Diagnostic
Approach, United States of America : Saunders Elsevier.
Dillon, M. J., and C. D. Goonasekera. 1998. "Reflux Nephropathy." Clinical
Journal of the American Society and Nephrology 9 : 2377-2383; tersedia di
https://www.mdguidelines.com/pyelonephritis-chronic
Dunphy, L. N., 2011, Primary Care: The Art and Science of Advanced Practice
Nursing, United Stated of America : Davids Company.
Fuller, K., Catherine C. G., 2009, Pathology: Implication For The Physical
Therapist, United Stated of America : Saunders Elsevier
Gillenwaters et al., 2002, Adult and Pediatric Urology, Volume 1, Edisi ke IV,
Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkins.
Kathryn, L., 2009, Pathophysiology : The Biologic Basis for Disease in Children
and Adult, United Stated of America: Elsevier.
Kellerman, Rakel dan Rope, 2011, Conns Current Therapy 2011, United States of
America: Saunders Elsevier.
Kumar,V., Ramzi S. C., Stanley L. B., 2007, Robbins Buku Ajar Patologi Edisi 7,
Jakarta: EGC
McCance, K. L. and Sue E. H., 2014, Pathophysiology: The Biologic Basis for
Disease in Children and Adult, Seventh Edition, Canada: Elsevier.
Purnomo, B.B., 2009, Dasar-Dasar Urologi, Edisi Kedua, Jakarta: CVSagung Seto
Mohan, H, 2007, Essential Pathology for Dental Students, India: Jitendar P Vij
Rubin, 2009, Rubins Pathology, 5
th
Edition, United Stated of America: Lippincott
Williams and Wilkins
Smith, 2007, Pyelonephritis, Renal Scarring, and Reflux Nephropathy: A Pediatric
Urologists Prespective, Atlanta: Springer.
Suzanne, et al., 2010, Brunnerand Suddarths Textbooks of Medical Nursing, USA:
Lippincott Williams and Wilkins.
Tortora, G. J. Dan Bryan D., 2009, Principles of Anatomy and Physiology, USA:
John Wiley Ana Sons Inc

Anda mungkin juga menyukai