Anda di halaman 1dari 56

``FARMAKOTERAPI

Asma

Disusun oleh:
Aldiansyah
Antony Putra Priambodo
Fitriani
Hashifah D. Putri
Herlinda Ardilawati
Idda Mawaddah
Mimim Rojena
Wahyuning Dyah Pujilestari

24041315338
24041315385
24041315397
24041315352
24041315400
24041315353
24041315361
24041315382

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS GARUT
2016

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi Robbi, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Tugas Mata Kuliah
Farmakoterapi dengan pembahasan Asma.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua orang yang turut membantu dalam penyusunan makalah ini serta teman
teman sekelompok terimakasih atas kerja sama nya yang sangat baik terutama semangat
nya dalam mengemukakan ide-ide tambahan penyelesaian tugas ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu
sangat diharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan makalah
ini. Akhirul kalam, kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Garut, Juni 2016

Penulis

ii

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................

DAFTAR ISI ....................................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................

A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.

Definisi........................................................................................
Prevalensi....................................................................................
Etiologi dan Faktor Risiko ..........................................................
Klasifikasi....................................................................................
Patogenesis..................................................................................
Diagnosis.....................................................................................
Gejala Klinis................................................................................
Komplikasi..................................................................................
Terapi...........................................................................................
Panduan Terapi............................................................................
Terapi pada Kondisi Khusus........................................................

3
3
7
11
12
14
16
19
20
37
42

BAB III KUMPULAN PERTANYAAN..........................................................

47

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................

57

BAB I
PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma
adalah penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang ditandai adanya
mengi, batuk dan rasa sesak di dada yang beru86lang dan timbul terutama pada malam
atau menjelang pagi akibat penyumbatan saluran pernapasan.
Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktiviti, akan tetapi dapat
bersifat menetap dan mengganggu aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktiviti menurun
akibat mangkir kerja atau sekolah, dan dapat menimbulkan disability (kecacatan),
sehingga menambah penurunan produktiviti serta menurunkan kualitas hidup.
Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak sepenuhnya diikuti
dengan kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak dari data berbagai negara yang
menunjukkan peningkatan kunjungan ke darurat gawat, rawat inap, kesakitan dan
bahkan kematian karena asma. Berbagai argumentasi diketengahkan seperti perbaikan
kolektif data, perbaikan diagnosis dan deteksi perburukan dan sebagainya. Akan tetapi
juga disadari masih banyak permasalahan akibat keterlambatan penanganan baik karena
penderita maupun dokter (medis). Kesepakatan bagaimana menangani asma dengan
benar yang dilakukan oleh National Institute of Heallth National Heart, Lung and
Blood Institute (NHLBI) bekerja sama dengan World Health Organization (WHO)
bertujuan memberikan petunjuk bagi para dokter dan tenaga kesehatan untuk melakukan
penatalaksanaan asma yang optimal sehingga menurunkan angka kesakitan dan
kematian asma. Petunjuk penatalaksanaan yang telah dibuat dianjurkan dipakai di

seluruh dunia disesuaikan dengan kondisi dan permasalahan negara masing-masing.


Merujuk kepada pedoman tersebut, disusun pedoman penanggulangan asma di
Indonesia. Diharapkan dengan mengikuti petunjuk ini dokter dapat menatalaksana asma
dengan tepat dan benar, baik yang bekerja di layanan kesehatan dengan fasiliti minimal
di daerah perifer, maupun di rumah sakit dengan fasiliti lengkap di pusat-pusat kota.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
Penyakit asma berasal dari kata Ashtma yang diambil dari bahasa Yunani yang
berarti sukar bernapas. Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik salura
napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi ini menyebabkan
saluran

pernapasan

menjadi

hipersponsif,

sehingga

memudahkan

terjadinya

bronkokontriksi, edema dan hipersekresi kelenjar yang menghasilkan pembatasan aliran


udara di saluran pernapasan dengan manifestasi klinik yang bersifat periodik berupa
mengi, sesak napas, napas dada terasa berat, batuk-batuk terutama pada malam hari atau
dini/ subuh. Gelaja ini berhubungan dengan luasnya inflamasi, derajat bervariasi dan
bersifat reversibel secara spontan maupun dengan atau tanpa pengobatan (GINA,2011).
Asma adalah kelainan berupa inflamasi kronik saluran napas yang menyebabkan
hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang dapat menimbulkan gejala
mengi, batuk, sesak napas dan dada terasa berat terutama pada malam dan atau dini hari
yang umumnya bersifat reversible baik dengan atau tanpa pengobatan (Depkes RI,
2009).
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan sel dan
elemennya, di mana dapat menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Gejala tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau
tanpa pengobatan (PDPI, 2003).

Asma merupakan gangguan inflamasi kronik jalan udara yang melibatkan banyak
sel dan komponennya. Pada individu yang rentan, inflamasi menyebabkan episode
berulang dari bengek, sesak nafas, sempit dada, dan batuk. Episode ini biasanya terkait
dengan obstruksi jalan udara yang sering reversible baik secara spontan maupun setelah
pemberian penanganan. Inflamasi juga menyebabkan peningkatan hiperresponsifitas
bronkus terhadap stimulus. (Dipiro, dkk. 2009)

B. Prevalensi
Berikut ini prevalensi penyakit asma secara nasional terlihat pada grafik berikut
ini:
Gambar Prevalensi Asma* Menurut Provinsi Tahun 2007

Sumber Riskesdas 2007, Balitbangkes, Kemenkes RI


Catatan*: penyakit Asma berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan atau dengan gejala

Grafik di atas terlihat bahwa pada tahun 2007 ada (18) delapan belas provinsi yang
mempunyai penyakit asma melebihi angka nasional yaitu Gorontalo, Sulawesi Tengah,
Papua Barat, Kalimantan Selatan, Aceh, NTT, NTB, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat,
Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Bali,
Kalimantan Barat, Sumatra Barat, Papua dan DI Yogyakarta. Sedangkan provinsi yang

mempunyai prevalensi di bawah angka nasional yaitu Banten, Riau, Jambi, Kalimantan
Timur, Maluku, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Bengkulu, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara,
Maluku Utara, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Lampung.

Gambar Prevalensi Asma* Menurut Provinsi Tahun 2013

Sumber Riskesdas 2013, Balitbangkes, Kemenkes RI


Catatan*: diagnosis penyakit Asma melalui wawancara semua umur berdasarkan gejala

Grafik di atas terlihat bahwa pada tahun 2013 terdapat (18) delapan belas provinsi yang
mempunyai prevalensi penyakit asma melebihi angka nasional, dari 18 provinsi tersebut
5 provinsi teratas adalah Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur DI Yogyakarta,
Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Sedangkan provinsi yang mempunyai
prevalensi penyakit asma dibawah angka nasional, dimana 5 provinsi yang mempunyai
prevalensi asma terendah yaitu : Sumatera Utara, Jambi, Riau, Bengkulu dan Lampung.

Gambar Prevalensi Asma* Menurut Umur Tahun 2007

Sumber Riskesdas 2007, Balitbangkes, Kemenkes RI


Catatan*: Asma berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan atau dengan gejala

Gambar Prevalensi Asma* Menurut Umur Tahun 2013

Sumber Riskesdas 2013, Balitbangkes, Kemenkes RI


Catatan*: wawancara semua umur berdasrkan gejala

C. Etiologi dan Faktor Resiko


Sampai saat ini etiologi dari Asma Bronkhial belum diketahui. Suatu hal yang
yang menonjol pada penderita Asma adalah fenomena hiperaktivitas bronkus. Bronkus
penderita asma sangat peka terhadap rangsangan imunologi maupun non imunologi.
1. Adapun rangsangan atau faktor pencetus yang sering menimbulkan Asma adalah:
(Smeltzer & Bare, 2002).
a. Faktor ekstrinsik (alergik) : reaksi alergik yang disebabkan oleh alergen atau
alergen yang dikenal seperti debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang.
b. Faktor intrinsic (non-alergik) : tidak berhubungan dengan alergen, seperti
common cold,infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan lingkungan
dapat mencetuskan serangan.
c. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk
alergik dan non-alergik
2. Menurut The Lung Association of Canada, ada dua faktor yang menjadi pencetus
asma :
a. Pemicu Asma (Trigger)
Pemicu asma mengakibatkan mengencang atau menyempitnya saluran pernapasan
(bronkokonstriksi). Pemicu tidak menyebabkan peradangan. Trigger dianggap
menyebabkan gangguan pernapasan akut, yang belum berarti asma, tetapi bisa
menjurus menjadi asma jenis intrinsik.
b. Gejala-gejala dan bronkokonstriksi yang diakibatkan oleh pemicu cenderung
timbul seketika, berlangsung dalam waktu pendek dan relatif mudah diatasi dalam
waktu singkat. Namun, saluran pernapasan akan bereaksi lebih cepat terhadap
pemicu, apabila sudah ada, atau sudah terjadi peradangan. Umumnya pemicu

yang mengakibatkan bronkokonstriksi adalah perubahan cuaca, suhu udara, polusi


udara, asap rokok, infeksi saluran pernapasan, gangguan emosi, dan olahraga yang
berlebihan.
c. Penyebab Asma (Inducer)
Penyebab asma dapat menyebabkan peradangan (inflamasi) dan sekaligus
hiperresponsivitas (respon yang berlebihan) dari saluran pernapasan. Inducer
dianggap sebagai penyebab asma yang sesungguhnya atau asma jenis ekstrinsik.
Penyebab asma dapat menimbulkan gejala-gejala yang umumnya berlangsung
lebih lama (kronis), dan lebih sulit diatasi. Umumnya penyebab asma adalah
alergen, yang tampil dalam bentuk ingestan (alergen yang masuk

ke tubuh

melalui mulut), inhalan (alergen yang dihirup masuk tubuh melalui hidung atau
mulut), dan alergen yang didapat melalui kontakdengan kulit (VitaHealth, 2006).
3. Sedangkan Lewis et al. (2000) tidak membagi pencetus asma secara spesifik.
Menurut mereka, secara umum pemicu asma adalah:
a. Faktor predisposisi
Genetik
Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat
alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit Asma Bronkhial jika terpapar
dengan faktor pencetus. Selain itu hipersensitivitas saluran pernapasannya juga bisa
diturunkan.

b. Faktor presipitasi

1) Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu, bulu
binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
b) Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan (seperti buah-buahan
dan anggur yang mengandung sodium metabisulfide) dan obat-obatan
(seperti aspirin, epinefrin, ACE- inhibitor, kromolin).
c) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Contoh : perhiasan,
logam dan jam tangan
Pada beberapa orang yang menderita asma respon terhadap Ig E jelas
merupakan alergen utama yang berasal dari debu, serbuk tanaman atau bulu
binatang. Alergen ini menstimulasi reseptor Ig E pada sel mast sehingga
pemaparan terhadap faktor pencetus alergen ini dapat mengakibatkan degranulasi
sel mast. Degranulasi sel mast seperti histamin dan protease sehingga berakibat
respon alergen berupa asma.
2) Olahraga
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Serangan asma karena aktifitas
biasanya terjadi segera setelah selesai beraktifitas. Asma dapat diinduksi oleh
adanya kegiatan fisik atau latihan yang disebut sebagai Exercise Induced Asthma
(EIA) yang biasanya terjadi

beberapa saat setelah latihan.misalnya: jogging,

aerobik, berjalan cepat, ataupun naik tangga dan dikarakteristikkan oleh adanya
bronkospasme, nafas pendek, batuk dan wheezing. Penderita asma seharusnya
melakukan pemanasan selama 2-3 menit sebelum latihan.

10

3) Infeksi bakteri pada saluran napas


Infeksi bakteri pada saluran napas kecuali sinusitis mengakibatkan
eksaserbasi pada asma. Infeksi ini menyebabkan perubahan inflamasi pada sistem
trakeo bronkial dan mengubah mekanisme mukosilia. Oleh karena itu terjadi
peningkatan hiperresponsif pada sistem bronkial.
4) Stres
Stres / gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu
juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Penderita diberikan
motivasi untuk mengatasi masalah pribadinya, karena jika stresnya belum diatasi
maka gejala asmanya belum bisa diobati.
5) Gangguan pada sinus
Hampir 30% kasus asma disebabkan oleh gangguan pada sinus, misalnya
rhinitis alergik dan polip pada hidung. Kedua gangguan ini menyebabkan
inflamasi membran mukus.
6) Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi
Asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya
serangan Asma. Kadangkadang serangan berhubungan dengan musim, seperti
musim hujan, musim kemarau.

D. Klasifikasi

11

Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) (2006) penggolongan asma


berdasarkan beratnya penyakit dibagi 4 (empat) yaitu:
Derajat Asma
I. Intermitten

II. Persiten
Ringan

III. Persisten
Sedang

IV. Persisten
Berat

Gejala
Gejala Malam
Bulanan
Gejala <1x / 2x sebulan
minggu
Tanpa
gejala
diluar serangan
Serangan
singkat
Mingguan
Gejala >1x / >2 kali sebulan
minggu, tetapi <
1x / hari
Serangan dapat
mengganggu
aktviti dan tidur
Harian
Gejala
setiap >1x / seminggu
hari
Serangan
menggangu
aktivitas
dan
tidur
Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari
Kontinyu
Gejala
terus Sering
menerus
Sering kambuh
Aktivitas fisik
terbatas

Faal Paru
APE80%
VEP180%
nilai
prediksi
APE 80% nilai
terbaik
Variabiliti APE <
20%
APE80%

VEP180%
nilai prediksi
APE
80%
nilai terbaik
Variabiliti APE
20-30%
APE 60-80%

VEP160-80%
nilai prediksi
APE 60-80%
nilai terbaik
Varibiliti APE
> 30%

APE 60%

VEP160%
nilai prediksi
APE
60%
nilai terbaik
Variabiliti APE
> 30%

12

Selain berdasarkan gejala klinis di atas, asma dapat diklasifikasikan berdasarkan


derajat serangan asma yaitu: (GINA, 2006)
1. Serangan asma ringan dengan aktivitas masih dapat berjalan, bicara satu kalimat,
bisa berbaring, tidak ada sianosis dan mengi kadang hanya pada akhir ekspirasi,
2. Serangan asma sedang dengan pengurangan aktivitas, bicara memenggal kalimat,
lebih suka duduk, tidak ada sianosis, mengi nyaring sepanjang ekspirasi dan kadang
-kadang terdengar pada saat inspirasi,
Serangan asma berat dengan aktivitas hanya istirahat dengan posisi duduk
bertopang lengan, bicara kata demi kata, mulai ada sianosis dan mengi sangat nyaring
terdengar tanpa stetoskop.
E. Patogenesis

13

Penyebab asma yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap bendabenda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan
cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan
reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya.
Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada
interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila
seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen
bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang
bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan
bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal
pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen
bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan
saluran napas menjadi sangat meningkat Pada asma , diameter bronkiolus lebih
berkurang selama ekspirasi daripadaselama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam
paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus.
Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah
akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama
ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan
adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi.Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas
residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan
asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa
menyebabkan barrel chest.

14

F. Diagnosis
Seperti pada penyakit lain, diagnosis penyakit asma dapat ditegakkan dengan
anamnesis yang baik. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru akan lebih
meningkatkan nilai diagnostik.
1. Anamnesis
Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit/gejala, yaitu:
a. Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan
b. Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen, gejala musiman,
riwayat alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap asma
c. Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa berat di dada
dan berdahak yang berulang
d. Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari
e. Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik
f. Respon positif terhadap pemberian bronkodilator
2. Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal
(GINA, 2009). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada
auskultasi adalah mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal
walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas.
Oleh karena itu, pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis jika pada saat
pemeriksaan terdapat gejala-gejala obstruksi saluran pernapasan (Chung, 2002).
Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil oleh karena kontraksi
otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat menyumbat
saluran napas; sebagai kompensasi penderita akan bernapas pada volume paru yang

15

lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang mengecil (hiperinflasi). Hal ini akan
menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa batuk, sesak napas, dan mengi (GINA,
2009).
3. Faal Paru
Pengukuran faal paru sangat berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik. Ini
disebabkan karena penderita asma sering tidak mengenal gejala dan kadar
keparahannya, demikian pula diagnosa oleh dokter tidak selalu akurat. Faal paru menilai
derajat keparahan hambatan aliran udara, reversibilitasnya, dan membantu kita
menegakkan diagnosis asma. Akan tetapi, faal paru tidak mempunyai hubungan kuat
dengan gejala, hanya sebagai informasi tambahan akan kadar kontrol terhadap asma
(Pellegrino dkk, 2005). Banyak metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah
dianggap sebagai standard pemeriksaan adalah: (1) pemeriksaan spirometri dan (2) Arus
Puncak Ekspirasi meter (APE).
Pemeriksaan spirometri merupakan pemeriksaan hambatan jalan napas dan
reversibilitas yang direkomendasi oleh GINA (2009). Pengukuran volume ekspirasi
paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver
ekspirasi paksa melalui spirometri. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, diambil nilai
tertinggi dari 3 ekspirasi. Banyak penyakit paru-paru menyebabkan turunnya angka
VEP1. Maka dari itu, obstruksi jalan napas diketahui dari nilai VEP1 prediksi (%) dan
atau rasio VEP1/KVP (%).
Pemeriksaan dengan APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai
alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore (tidak lebih dari 20%).
Untuk mendapatkan variabiliti APE yang akurat, diambil nilai terendah pada pagi hari

16

sebelum mengkonsumsi bronkodilator selama satu minggu (Pada malam hari gunakan
nilai APE tertinggi). Kemudian dicari persentase dari nilai APE terbaik (PDPI, 2006).
Peak Expiratory Flow Meter (PEF meter)alat ini adalah alat yang paling
sederhana untuk memeriksa gangguan sumbatan jalan napas, yang relatif sangat murah,
mudah dibawa. Dengan PEF meter fungsi paru yang dapat diukur adalah arus puncak
ekspirasi (APE).
Cara pemeriksaan APE dengan PEF meter adalah sebagai berikut : Penuntun
meteran dikembalikan ke posisi angka 0. Pasien diminta untuk menghirup napas dalam,
kemudian diinstruksikan untuk menghembuskan napas dengan sangat keras dan cepat
ke bagian mulut alat tersebut, sehingga penuntun meteran akan bergeser ke angka
tertentu. Angka tersebut adalah nilai APE yang dinyatakan dalam liter/menit.
Variabilitas APE ini tergantung pada siklus diurnal (pagi dan malam yang berbeda
nilainya), dan nilai normal variabilitas ini < 20%. Cara pemeriksaan variabilitas APE
pada pagi hari diukur APE untuk mendapatkan nilai terendah dan malam hari untuk
mendapatkan nilai tertinggi.

G. Gejala Klinis
Keberagaman gejala dan tanda adalah indikasi beragamnya keparahan penyakit,
dari penyakit ringan intermitan hingga asma yang kronik, berat, dan kadang-kadang
mematikan.
1. Batuk
Batuk terjadi akibat kombinasi penyempitan saluran napas, hipersekresi mukus,
dan hiperresponsivitas aferen saraf yang dijumpai pada peradangan saluran nafas. Hal
ini juga disebabkan oleh peradangan non-spesifik setelah infeksi, terutama oleh virus,

17

pada pasien asma. Akibat penyempitan kempresif dan tingginya kecepatan aliran udara
di saluran-saluran napas sentral, batuk dapat menghasilkan gaya dorong yang cukup
kuat untuk membersihkan mukus yang tertimbun dan partikel yang tertahan di saluran
napas sempit.
2. Mengi (wheezing)
Kontraksi otot polos, bersama dengan hipersekresi dan retensi mukus,
menyebabkan pengurangan kabiler saluran napas dan turbulensi aliran udara yang
berkepanjangan, yang menimbulkan mengi yang dapat didengar langsung atau dengan
stetoskop. Contohnya, pada obstruksi saluran napas yang ekstrem, aliran udara dapat
sedemikian berkurang sehingga mengi mungkin sama sekali tidak terdengar.
3. Dispnea dan rasa sesak di dada
Sensasi dispnea dan rasa sesak di dada adalah akibat sejumlah perubahan
fisiologis. Upaya yang lebih kuat oleh otot untuk mengatasi meningkatnya resistensi
saluran napas dideteksi oleh reseptor regang gelendong otot, terutama otot antariga dan
dinding dada. Hiperinflasi akibat obstruksi saluran napas menyebbkan toraks teregang.
Peningkatan tekanan CO2 arteri dan, kemudian munculnya hipoksemia arteri (masingmasing, atau bersama-sama sebagai rangsang sinergistik) akan mendorong pernapasan
melalui kemoreseptor perifer dan sentral. Rangsangan ini dalam kelelahan otot
pernapasan, menyebabkan dispnea progresif.
4. Takipnea dan takikardia
Takipnea dan takikardia mungkin tidak terjadi pada penyakit ringan tetapi hampir
selalu dijumpai pada eksaserbasi akut.
5. Pulsus paradoksus
Pulsus paradoksus adalah penurun tekanan arteri sistolik lebih dari 10 mmHg saat
inspirasi. Hal ini tampaknya terjadi akibat hiperinflasi paru, disertai gangguan pengisian
ventrikal kanan sewaktu inspirasi kuat pada obstruksi berat.dengan meningkaynya
volume diastolik-akhir ventrikel kanan sewaktu inspirasi, septum intraventrikel
bergerak ke kiri, yang mengganggu pengisian dan pengeluaran ventrikel kiri.

18

Konsekuensi penurunan curah jantung ini adalah penurunan tekanan sistolik saat
inspirasi, atau pulsus paradoksus.
6. Hipoksemia
Bertambahnya ketidakcocokan V/Q pada obstruksi saluran napas mnciptakan
area-area dengan rasio V/Q yang rendah dan hipoksemia. Pirau jarang terjadi pada
asma.
7. Hiperkapnia dan asidosis respiratorik
Pada asma ringan hingga sedang, ventilasi tetap normal atau berkurang, dan PCO 2
arteri tetap normal atau menurun. Pada serangan yang berat, obstruksi saluran napas
menetap atau bertambah dan timbul kelelahan otot pernapasan, disertai hipoventilasi
alveolus dan meningkatnya hiperkapnia dan asidosis respiratorik.
8. Kelainan obstruktif pada uji fungsi paru
Pasien dengan asma ringan mungkin memperlihatkan fungsi paru yang seluruhnya
normal di antara eksaserbasi. Sewaktu serangan asma akut, semua indeks aliran udara
ekspirasi berkurang, termasuk FEV1, FEV1/FVC (FEV1 %), dan laju ekspirasi puncak .
pemberian bronkodilator menyebabkan berkurangny obstruksi saluran napas.
9. Hiperresponsivitas bronkus
Uji provokasi bronkus memperlihatkan hiperresponsivitas yang tak lazim pada
hampir semua pasien asma, termasuk mereka dengan penyakit yang ringan dan hasil uji
fungsi paru yang nomal. Metakolin dan histamin adalah zat-zat yang telah digunakan
dalam uji provokasi baku. Zat-zat lain juga telah digunakan untuk mengetahui
sensitivitas pajanan spesifik, contohnya adalah sulfur dioksida dan toluen diisosianat.

H. Komplikasi
Berbagai komplikasi menurut Mansjoer (2008) yang mungkin timbul adalah :
1. Pneumothoraks

19

Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang


dicurigai bila terdapat benturan atau tusukan dada.Keadaan ini dapat menyebabkan
kolaps paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan kegagalan napas.
2. Pneumomediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma udara, juga dikenal sebagai
emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di mediastinum.
Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan oleh
trauma fisik atau situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru, saluran
udara atau usus ke dalam rongga dada .
3. Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang
sangat dangkal.
4. Aspergilosis
Aspergilosis merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh jamur dan
tersifat oleh adanya gangguan pernapasan yang berat. Penyakit ini juga dapat
menimbulkan lesi pada berbagai organ lainnya, misalnya pada otak dan mata. Istilah
Aspergilosis dipakai untuk menunjukkan adanya infeksi Aspergillus sp.
5. Gagal napas
Gagal napas dapat tejadi bila pertukaran oksigen terhadap karbodioksida dalam
paru-paru tidak dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan
karbondioksida dalam sel-sel tubuh.
6. Bronkhitis
Bronkhitis atau radang paru-paru adalah kondisi di mana lapisan bagian dalam
dari saluran pernapasan di paru-paru yang kecil (bronkhiolis) mengalami bengkak.
Selain bengkak juga terjadi peningkatan produksi lendir (dahak). Akibatnya penderita
merasa perlu batuk berulang-ulang dalam upaya mengeluarkan lendir yang berlebihan,
atau merasa sulit bernapas karena sebagian saluran udara menjadi sempit oleh adanya
lendir.

20

I. Terapi
1. Terapi non Farmakologi
a. Edukasi pasien
Edukasi pasien dan
penatalaksanaan

asma.

keluarga,

Edukasi

untuk

kepada

menjadi

mitra

pasien/keluarga

dokter

dalam

bertujuan

untuk

meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit
asma sendiri).
b. Pengukuran peak flow meter
Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat. Pengukuran
Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini dianjurkan pada :
o Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh pasien

di rumah.
o Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.
o Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten usia di
atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan di rumah sakit, pasien yang
sulit/tidak mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk
c.
d.
e.
f.
g.

mendapat serangan yang mengancam jiwa.


Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
Pemberian oksigen
Banyak minum untuk menghindari dehidrasi terutama pada anak-anak
Kontrol secara teratur
Pola hidup sehat, misalnya berhenti merokok, menghindari kegemukan, dan

kegiatan fisik misalnya senam asma.


h. Bronchial thermoplasty
Merupakan metode pengobatan baru bagi pasien dengan asma persisten atau
asma berat. Dilakukan pada pasien dengan melalui prosedur rawat jalan, terapi ini
menggunakan sebuah kateter bronchoscopically-introduced untuk mengontrol
pengantaran energi panas melalui udara secara tepat. Efek samping dari metode
ini adalah dapat menimbulkan batuk yang terjadi terus menerus, mengi dan
pernafasan pendek. Terapi ini hanya dapat dilakukan untuk pasien dewasa dengan
rentan usia antara 18-65 tahun, berhenti merokok setahun terakhir, dan yang

21

mengalami asma persisten atau asma berat yang tidak terkontrol dengan baik pada
penggunaan kortikosteroid inhaler atau pengobatan jangka panjang bronkodilator.
2. Terapi Farmakologi
a. Agonis 2 (Bronkodilator)
Agonis 2 merupakan bronkodilator yang paling efektif. Mekanisme kerjanya
yaitu dengan menstimulasi reseptor 2-Adrenergik untuk mengaktivasi adenil siklase
sehingga terjadi peningkatan AMP siklik intraselular yang menyebabkan relaksasi
otot polos, stabilisasi membrane sel mast dan stimulasi otot skelet. Pemberian secara
aerosol meningkatan bronkoselektivitas dan menyediakan respon yang lebih cepat
serta perlindungan yang lebih baik terhadap provokasi yang menginduksi
bronkospasmus (seperti latihan fisik, adanya allergen) dibandingkan pemberian
sistemik.
Terdapat dua jenis Agonis 2 berdasarkan durasinya yakni :
i. Agonis 2 kerja pendek (short-acting Agonis 2)
Diindikasikan untuk penanganan episode bronkospasmus irregular dan
merupakan pilihan pertama dalam penanganan asma parah akut karena
agonis 2 kerja pendek ini tidak meningkatkan kontrol gejala jangka panjang
namun pemakaiannya digunakan sebagai ukuran kontrol asma dan hanya
digunakan untuk mengatasi gejala.
Pada penderita asma parah akut, terapi lanjutan agonis 2 kerja pendek
menggunakan nebulizer harus diberikan dalam dosis tinggi dengan interval
pemberian sering atau melalui inhalasi dosis terukur (metered dose
inhaler/MDI) jika pemberian dengan aerosol setelah tiga dosis penggunaan
agonis 2 (tiap 20 menit) responnya tidak memuaskan dan potensial bagi
pasien yang awalnya menunjukkan adanya PAF/ Platelet-Activating Faktor
(Faktor Peangaktivasi Platelet) atau FEV1/Forced Expiratory Volume in 1
second/Forced Vital Capacity less than 80%
perkiraan normal.

dengan nilai < 30% dari

22

Asma parah akut karena latihan fisik/ Bronkospasmus yang diinduksi karena
latihan fisik. Agonis 2 kerja pendek memberikan perlindungan penuh
selama paling sedikit 2 jam setelah dihirup.
Contoh obatnya seperti albuterol, bitolterol, pirbuterol, terbutalin,
metaproterenol, isoetarin dan isoproterenol.
ii. Agonis 2 kerja panjang (long-acting Agonis 2).
Diindikasikan sebagai kontrol tambahan jangka panjang untuk pasien yang
mengkonsumsi inhalasi kortikosteroid dosis rendah hingga sedang sebelum
ditingkatkan menjadi dosis sedang atau tinggi. Pada penderita asma parah
akut penggunaan agonis 2 kerja panjang tidaklah efektif karena
memerlukan 20 menit agar terjadinya onsetdan 1-4 jam untuk terjadinya
brokodilasi maksimum setelah dihirup. Lanjutkan penggunaan agonis 2
kerja pendek jika keadaan memburuk dalam kondisi akut.
Asma parah akut karena latihan fisik/ Bronkospasmus yang diinduksi karena
latihan fisik Agonis 2 kerja panjang memberikan perlindungan
signifikan 8-12 jam pada awal pemberian, tetapi durasi ini akan berkurang
pada pemakaian rutin.
Pada penderita asma nokturnal/asma yang timbul pada malam hari lebih
baik menggunakan inhalasi agonis 2 kerja panjang dibandingkan agonis 2
lepas lambat oral atau teofilin sustained-release sekali semalam.
Bagaimanapun juga asma nokturnal dapat menjadi salah satu indikator dari
penanganan asma yang kurang memadai.
Contoh obatnya seperti formoterol dan salmeterol.
Berikut ini merupakan tabel yang berisi selektivitas relative, potensi dan durasi
aksi agonis -adrenergik :
Selektivitas
Agen
Isoproterenol

++++

++++

Potensi
1

Durasi aksib
Aktivitas
Bronkodilatasi Proteksi
oral
(jam)
(jam)c
0,5-2
0,5-1
Tidak

23

Metaproterenol
Isoetarin
Albuterol
Bitolterol
Pirbuterol
Terbutalin
Formoterol
Salmeterol

+++
++
+
+
+
+
+

+++
+++
++++
++++
++++
++++
++++

15
6
2
5
5
4
0.24

3-4
0,5-2
4-8
4-8
4-8
4-8
12

1-2
0,5-1
2-4
2-4
2-4
2-4
6-12

Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Ya
Ya

++++

0.5

12

6->12

Tidak

Keterangan:
a
Potensi molar relative dibandingkan dengan isoproterenol; 15= potensi terendah
b
rata-rata durasi dengan nilai tertinggi setelah dosis tunggal terendah setelah pemberian secara
berkelanjutan
c
Proteksi menujukkan pada perlindungan bronkokontriksi setelah masuknya gangguan atau allergen
penyebab alergi

b. Kortikosteroid (meniadakan efek alergi, co:radang dan gatal-gatal)


Kortikosteroid memiliki mekanisme kerja yang meningkatkan jumlah reseptor
-adrenergik dan meningkatkan respon terhadap stimulasi -adrenergik yang
mengakibatkan

penurunan

produksi

mucus

dan

hipersekresi;

mengurangi

hiperresponsivitas bronkus; mencegah dan mengembalikan perbaikan jalur nafas.


Pemberian obat kortikosteroid harus dimulai dari dosis tinggi dan pemberian sering
lalu diturunkan ketika kontrol dicapai, hal ini karena respon inflamasi asma
menginhibisi ikatan reseptor steroid. Berikut ini penggunaan kortikosteroid dalam
beberapa sediaan:
i. Kortikosteroid Inhaler
Kortikosteroid inhaler merupakan terapi kontrol jangka panjang paling
efektif untuk asma persisten tanpa memperhitungkan keparahan dan
merupakan satu-satunya terapi yang menunjukkan penurunan resiko
kematian yang disebabkan asma meski dalam dosis relatif kecil.
Kebanyakan pasien dengan tingkat keparahan menengah dapat dikontrol
dengan dosis dua kali sehari; beberapa produk diindikasikan untuk sekali
pemberian dalam sehari. Pasien dengan sakit yang lebih parah memerlukan
dosis pemberian berulang dalam sehari.

24

Respon terhadap penggunaan kortikosteroid inhaler tertunda; gejala


meningkat pada kebanyakan pasien pada 1-2 minggu pertama setelah
pemberian dan mencapai peningkatan maksimum dalam 4 hingga8 minggu.
Maksimal peningkatan FEV1 dan kecepatan laju ekspirasi puncak
memerlukan 3 hingga 6 minggu.
Toksisitas sistemik terhadap pada dosis inhaler rendah hingga sedang
hampir tidak ada.
ii. Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid sistemik direkomendasikan untuk penanganan pasien dengan
asma parah akut yang sepenuhnya tidak merespon pada pemberian agonis 2
inhaler secara agresif (setiap 20 menit untuk tiga atau empat dosis). Selain
itu kortikosteroid ini juga direkomendasikan untuk penanganan episode
asma akut yang tidak dapat ditangani dengan terapi bronkodilator.
Terapi secara intravena tidak memberikan nilai tambah dibandingkan
dengan pemberian secara oral. Pemberian dengan dosis berulang diberikan
sebagai terapi awal jika keadaan memburuk secara akut.
Diperlukan waktu 6 hingga 8 jam setelah inisiasi terapi sistemik agar terjadi
penigkatan fungsi paru-paru.
Sebagian besar pasien mencapai 70% FEV1 yang diprediksi dalam 48 jam
dan 80% dalam 6 hari.
Dosis penuh harus dilanjutkan sampai aliran puncak mencapai 80% dari
prediksi normal atau kemampuan terbaik seseorang.
Kebanyakan pasien hanya memerlukan 3 atau 5 hari pemberian
kortikosteroid sistemik.
Idealnya pada penggunaan kortikosteroid digunakan dosis tinggi sesaat
(burst) lalu menjaga pasien dalam terapi kontrol jangka panjang yang
memadai dengan periode panjang antara penanganan kortikosteroid
sistemik.

25

Penurunan dosis setelah pemakaian kortikosteroid jangka pendek tidak


diperlukan.
Toksisitas sistemik terhadap efek sistemik meningkat seiring meningkatnya
dosis. Namun, steroid sistemik dalam jangka pendek (1-2 minggu) tidak
menimbulkan toksisitas serius.
Pada pasien yang memerlukan kontrol asma dengan kortikosteroid sistemik
kronik, harus digunakan dosis terendah yang paling berefek. Toksisitas
dapat dikurangi dengan terapi berselang (dua hari sekali) atau kortikosteroid
hirup dua kali sehari.
c. Anti Kolinergik (Bronkodilator)
Anti kolinergik merupakan bronkodilator efektif tetapi tidak sekuat agonis 2.
Mekanisme kerjanya yakni dengan menekan tetapi tidak memblok allergen-atau
penggunaan-yang memicu terjadinya asma dalam satu dosis- bergantung caranya.
Contoh obat dari golongan ini adalah ipatropium bromida dan tiotropium bromida.
Keduanya merupakan inhibitor ompetitif reseptor muskarinik yang menghasilkan
brokodilatasi hanya pada brokokontriksi yang dimediasi kolinergik.
Inhalasi ipratropium bromide hanya diindikasikan sebagai terapi tembahan
pada asma parah akut yang tidak merespons sepenuhnya terhadap agonis 2
saja.Secara umum zat ini menghasilkan peningkatan fungsi paru-paru sebanyak 1015%. Penambahan zat ini pada terapi dapat mengurangi tingkat perawatan di rumah
sakit pada anak-anak dan dewasa dengan tingkat keparahan tinggi. Zat ini tidak
menunjukkan peningkatan pada asma kronik.
Waktu untuk mencapai bronkodilatasi maksimum dari ipratropium aerosol
lebih lama dari pada agonis 2 kerja pendek aerosol (2 jam vs 30 menit). Hal ini
berpengaruhsecara klinis karena efek dari beberapa bronkodilator terlihat dalam 30
detik, 50% darirespons maksimum muncul dalam 3 menit, dan 80% respons

26

maksimum tercapai dalam 30 menit. Durasi aksi ipatropium bromide adalah 4 hingga
8 jam
d. Penstabil Membran Sel Mash (Kromolin Natrium dan Nedokromil Natrium)
Mekanisme kerjanya dengan menginhibisi respon terhadap paparan allergen
seperti

EIB

(exercise-inducted

bronchospasm)

tetapi

tidak

menyebabkan

bronkodilatasi (). Penstabil membran sel mash ini efektif jika dihirup dan tersedia
sebagai obat inhalasi/inhaler dosis terukur, kromolin juga tersedia dalam larutan
nebulizer. Tidak ada agen yang seefektif inhaler kortikosteroid dalam mengontrol
asma persisten. Contoh obat dari golongan ini adalah kromolin natrium dan
nedokromil natrium.
Kromolin natrium dan nedokromil natrium tidak toksik. Efek samping dapat
mengakibatkan batuk dan bersin, rasa tidak enak dan sakit kepala untuk nedokromil
natrium. Diindikasikan untuk profilaksis asma persisten ringan pada anak-anak dan
dewasa tanpa melihat etiologinya. Keberhasilan terapi kedua obat ini seperti teofilin
atau leukotrien antagonis pada pasien asma persisten. Kromolin merupakan obat
pilihan kedua untuk pencegahan bronkospasma yang diinduksi latihan fisik dan dapat
digunakan bersama -agonis 2 dalam kasus yang lebih parah yang tidak merespon
terhadap tiap zat masing-masing. Kebanyakan pasien menunjukkan peningkatan
dalam 1-2 minggu tetapi mungkin memerlukan waktu lebih lama untuk mencapai
keuntungan maksimum. Pasien awalnya menerima kromolin atau nedokromil 4 kali
sehari, setelah stabilisasi gejala frekuensi dapat diturunkan hingga 2 kali sehari untuk
nedokromil dan 3 kali untuk kromolin.
e. Modifikator Leukotrien/ Antagonis Reseptor Leukotrien
Merupakan antagonis reseptor leukotrien local yang mekanisme

kerjanya

yakni dengan mengurangi proinflamasi (peningkatan permeabilitas mikrovaskular


dan edema jalur udara) dan efek brokokonstriksi leukotrien D4. Pada dewasa dan
anak-anak dengan asma persisten terlihat peningkatan pada uji fungsi paru-paru;

27

penurunan bangundi tengah malan dan penggunaan agonis 2; dan peningkatan gejala
asma. Obat golongan ini kurang efektif dibandingkan dengan kortikosteroid hirup
dalam dosis rendah dan tidak digunakan pada kondisi akut parah serta serta harus
diminum secara teratur bahkan pada periode bebas gejala. Contoh obatnya zafirlukast
(accolate), montelukast (singulair), zileuton. Zafirlukast dan montelukast secara
umum dapat diterima. Jarang terjadi peningkatan konsentrasi aminotransferase serum
dan hepatitis klinis. Sindrom idiosinkrasi mirip sindrom Chrug-Strauss, ditandai
dengan eosinofilia bersikulasi yang mencolok, gagal jantung dan vaskulitis
eosinophilik dilaporkan oleh sedikit pasien, hubungan langsung kausal belum jelas.
i. Zafirlukast (Accolate)
Dosis
:
Dewasa 20 mg 2 kali sehari, diminum palin tidak 1 jam sebelum atau 2 jam
sesudah makan dan anak-anak umur 5-11 tahun 10 mg 2 kali sehari.
ii. Montelukast (Singulair)
Dosis
Dewasa 10 mg 1 kali sehari diminum pada sore hari

tanpa

memperhitungkan makanan dan anak-anak umur 6-14 tahun 1 tablet kunyah


5 mg 1 kali sehari pada sore hari.
iii. Zileuton
Merupakan inhibitor leukotrien sintesis
Dosis
:
600 mg 4 kali seharibersama makan dan ketika akan tidur
Efek samping
:
Penggunaan zileuton terbatas karena frekuensi pemberian yang tinggi
berpotensi untuk meningkatkan enzim hepatic (terutama pada 3 bulan
pertama terapi) dan inhibisi metabolism dari beberapa obat yang
dimetabolisme

CYP3A4

(contoh:

teofilin,

warfarin).

Alanin

aminotransferase serum (ALT) harus diawasi sebelum pengobatan, sekali


sebulan pada 3 bulan pertama, setiap 2 hingga 3 bulan untuk sisa tahun
pertama dan setelahnya secara periodik.
f. Metilxantine (Bronkodilator)

28

Metilxantine sudah digunakan untuk terapi asma lebih dari 50 tahun namun
penggunaannya baru-baru ini menurun secara nyata disebabkan oleh tingginya resiko
toksisitas yang mengancam dan banyaknya interaksi obat, serta menurunya efisiensi
penggunaan jika dibandingkan dengan ICSs dan LABAs. Sama seperti 2-agonis,
metilxantin berfungsi sebagai antagonis dari bronkospasma; entah bagaimana secara
klinik manfaatnya terbatas karena indeks terapeutiknya pendek.
i. Teofilin
Merupakan metilxantine primer yang memiliki potensi bronkodilator sedang
dengan sifat antiinflamasi ringan. Mekanisme kerja teofilin yaitu dengan
menginhibisi fosfodiesterase, yang juga dapat menghasilkan antiinflamasi dan
aktivitas nonbrokodilatasi lain melalui penurunan pelepasan mediator sel mast,
penurunan protein dasar eosinofil, penurunan proliferasi limfosit T, penurunan
pelepasan sitokin sel T dan penurunan eksudasi plasma. Teofilin juga
menginhibisi permeabilitas vaskular , meningkatkan klirens mukosiliar dan
memperkuat kontraksi diafragma yang kelelahan.
Teofilin terutama dieliminasi melalui metabolism sitokrom P450 hati
melalui berbagai oksidase enzim mikrosomal (terutama CYP1A2 dab CYP3A3
isoenzim), dengan 10% atau lebih sedikit dieksresikan melalui ginjal. Pemberian
teofilin pada pasien yang menderita asma kronik dapat mengurangi gejala asma,
mengurangi dosis agonis 2 inhaler yang digunakan dan mengurangi kebutuhan
kortikosteroid oral pada pasien dengan ketergantungan steroid (Dipiro, dkk.
2009).
Adapun efek samping teofilin adalah dapan menyebabkan mual dan muntah
baik dalam penggunaan secara oral, parenteral maupun rektal. Pada overdose
terjadi efek sentral (gelisah, sukar tidur, tremor dan konvulsi) serta gangguan
pernafasan, efek kardiovaskuler seperti tachycardia; aritmia; dan hipotensi. Anak

29

kecil sangat peka terhadap efek samping teofilin (Tjay, Tan Hoan dan Kirana
Rahardja. 2002)
Berikut ini merupakan rekomendasi dosis, jadwal monitoring dan
penyesuaian dosis pada penggunaan teofilin:

(Dipiro, dkk. 2009)


ii. Aminofilin
Merupakan garam yang di dalam darah membebaskan teofilin kembali.
Bersifat basa dan sangat merangsang selaput lendir sehingga penggunaan secara
oral sering mengakibatkan gangguan lambung (mual, muntah), penggunaan
suppositoria dan injeksi IM (nyeri). Pada serangan asma, obat ini digunakan
dalam bentuk sediaan IV. Pada pasien yang asma parah akutnya memburuk tidak
direkomndasikan untuk diberikan agonis 2 dan aminofilin.
Dosis: 2-4 kali sehari 175-350 mg dalam bentuk tablet salut (tanpa
dikunyah); pada serangan hebat IV 240 mg, rektal 2-3 kali sehari 360 mg dengan
dosis maksimal 1,5 g sehari (Dipiro, dkk. 2009).
g. Kombinasi Terapi Kontrol
Kombinasi kortikosteroid inhaler dan agonis 2 inhaler kerja panjang
direkomendasikan pada pasien yang menderita asmapersisten sedang tahap 3.
Kombinasi ini lebih kuat dari pada menduplikasi dosis kortikosteroid inhaler atau
menambahkan antagonis leukotrien+kortikosteroid inhaler.
h. Omalizumab

30

Merupakan antibody anti-IgE yang digunakan untuk pengobatan asma yang


tidak dapat ditangani dengan baik oleh kortikosteroid hirup dosis tinggi. Obat ini
hanya diindikasikan untuk pasien atopik bergantung kortikosteroid yang memerlukan
kortikosteroid oral atau mengkonsumsi kortikosteroid dosis tinggi dengan
berlanjutnya gejala dan kadar IgE tinggi. Dosisnya ditentukan berdasarkan IgE serum
total dasar (IU/ml) dan berat badan pasien (kg). Dosis berkisar antara 150-375 mg
diberikan secara subkutan dengan interval pemberian 2 atau 4 minggu.
i. Methotreksat
Penggunaan dalam dosis rendah (15 mg/minggu) telah digunakan untuk
mengurangi dosis kortikosteroid sistemik pada pasien dengan asma parah akut
bergantung steroid. Pengurangan dosis steroid secara sistemik terjadi pada beberapa
pasien (sekitar 23%), tetapi pada beberapa studimenunjukkan tidak ada efek yang
menguntungkan.penggunaan obat ini harus dipertimbangkan secara eksperimental
dan ditunda untuk asma parah akut yang ketergantungan steroid di bawah
pengawasan ahli, dengan pemantauan yang cermat terhadap fungsi hati dan paruparu.
Berikut ini merupakan tabel yang menunjukkan dosis untuk asma parah akut
yang memburuk pada bagian gawat darurat rumah sakit:
Pengobatan

Albuterol larutan
nebulizer (5
mg/ml)

Dosis
> 6 tahun
< 6 tahun
Agonis 2 Inhaler
0,15 mg/kg (dosis
minimum 2,5 mg) /
2,5-5 mg / 20 menit
20 menit sebanyak
sebanyak 3 kali
3 kali dosis
dosis, kemudian
kemudian 0,15-0,3
2,3-10 mg setiap 1mg/kg sampai 10
4 jam sesuai
mg setiap 1-4 jam
keperluan atau 10sesuai keperluan,
15 mg/jam secara
atau 0,5 mg/kg/jam
kontinyu
dengan nebulisasi
kontinyu

Komentar

Hanya Agonis 2
selektif yang
direkomendasikan
untuk penyampaian
alternatif, larutkan
aerosolpada
minimum 4 ml
aliran gas pada
8L/menit

31

Albuterol MDI
(90 mcg/hirup)

4-6 hirup setiap 30


menit sampai 4 jam
lalu setiap 1-4 jam
sesuai keperluan

4-6 hirup setiap 20


menit sampai 4
jamsebanyak 3
dosis, kemudian
setiap 1-4 jam
sesuai keperluan

Levalbuterol
larutan nebulizer

Diberikan pada
satu setengah dosis
albuterol diatas

Diberikan pada
satu setengah dosis
albuterol diatas

Bitolterol larutan
nebulizer (2
mg/ml)

Pirbuterol MDI
(200mcg/hirup)

Efinefrin 1:1000
(1mg/ml)

Terbutalin
(1mg/ml)

Lihat dosis
albuterol;
diperkirakan sama
Lihat dosis
kuat atau1,5 kali
albuterol
lebih kuat dari
albuterol pada basis
mikrogram
Lihat dosis
albuterol; ,5 kali
Lihat dosis
lebih kuat dari
albuterol
albuterol pada basis
mikrogram
Agonis 2 Sistemik
0,3-0,5 mg setiap
20menit sebanyak
3 dosis subkutan

0,01 mg sampai 0,5


mg setiap 20 menit
sebanyak 3 dosis
subkutan

0,01 mg setiap 20
menit sebanyak 3
0,25 mg setiap 20
dosis subkutan,
menit sebanyak 3
kemudian setiap 2dosis subkutan
6 jam sesuai
keperluan subkutan
Antikolinergik

Ipratropium Br,
larutan nebulizer
(0,25mg/ml)

500 mcg setiap 30


menit sebanyak 3
dosis, lalu setiap 24 jam sesuai
keperluan

250 mcg setiap 20


menit sebanyak 3
dosis, kemudian
250 mcg setiap 2-4
jam

Ipratropium Br,
MDI
(18mcg/hirup)

4-8 hirup sesuai


keperluan setiap 24 jam

4-8 hirup sesuai


keperluan setiap 24 jam

Pada pasien dengan


derita parah,
nebulisasilebih
disukai; gunakan
spacer tipe holding
chamber
Isomer tunggal
albuterol punya
kecendrungan
mampunyai potensi
2 kali lipat
Belum ada studi
pada asma parah
akut; jangan
dicampur dengan
obat lain
Belum ada studi
pada asma parah
akut
Tidak ada bukti
keuntungan terapi
sistemik
dibandingkan
aerosol
Tidak
direkomendasikan

Dapat dicampur
dengan satu
nebulizer dengan
albuterol; jangan
digunakan sebagai
penanganan pilihan
pertama; hanya
sebagai tambahan
pada terapi agonis 2
Tidak
direkomendasika
karena dosis inhalasi

32

rendah dan belum


ada studi pada asma
akut

Prednison,
metilprednisolon,
prednisolon

Kortikosteroid
60-80 mg dalam 3
1ml/kg tiap 6 jam
atau 4 dosis terbagi selama 48 jam, lalu
selama 48 jam, lalu
1-2 mg/kg/hari
30-40 mg/hari
dalam 2 dosis
sampai PEF
terbagi hingga PEF
mencapai 70% dari 70 % dari prediksi
puncak
normal

Pada pasirn rawat


jalan gunakan 1-2
mg/kg/hari
maksimal 60 mg,
selama 3-7 hari;
tidak perlu
diturunkan
(Dipiro, dkk. 2009)

Perbandingan kortikosteroid sistemik:


Sistemik

Potensi
antiinflamasi

Potensi
mineralokorkikoid

Hidrokortison
Prednison
Metilprednisolon
Deksametason

1
4
5
25

1,0
0,8
0,5
0

Durasi
aksi
biologik
8-12
12-36
12-36
36-54

Waktu
paruh
eliminasi
1,5-2,0
2,5-3,5
3,3
3,4-4,0

37
J. Panduan Terapi
1. Pendekatan bertahap untuk penanganan asma pada orang dewasa dan anak diatas 5 tahun:
Klasifikasi keparahan: cirri klinis sebelum penanganan
Gejala/siang
PEF atau FEV1
Gejala/malam
Varibilitas PEF
LANGKAH 4
Kontinyu
60 %
Parah Persisten
Sering
> 30 %

LANGKAH 3
Sedang Persisten

Setiap hari
>1 malam/minggu

LANGKAH 2
Ringan Persisten

>2/mgg tp<1x/hari
>2 malam/minggu

LANGKAH 1
Ringan Terkadang
(Intermitten)

2 hari/minggu

Penanganan cepat
semua pasien

2 malam/bulan

> 60%- < 80%


20-30%

80 %
20%-30%

80%
<20%

Pengobatan yang diperlukan untuk pemeliharaan kontrol jangka panjang


Pengobatan sehari-hari
Pengobatan utama
- dosis tinggi inhalasi kortikosteroid, dan
- inhalasi 2 agonis kerja panjang, dan jika dibutuhkan
- Kortikosteroid tablet atau sirup (2 mg/kg/hari, tidak boleh melebihi 60 mg/hari)
Pemakaian berulang dapat mereduksi kortikosteroid sistemik dan untuk pemeliharaan gunakan
kortikosteroid dosis tinggi.
Pengobatan utama
Dosis rendah-menengah inhalasi kortikosteroid dan inhalasi 2 agonis kerja panjang
Alternatif pengobatan
- Meningkatkan inhalasi kortikosteroid dengan range dosis sedang, atau
- Dosis rendah sampai tinggi inhalasi kortikosteroid dan salah satu modifikasi leukotrien
atau teofilin
----------------------------------------------------------------------------------------------------------Jika dibutuhkan (khususnya pada pasien dengan eksaserbasi parah)
Pengobatan utama
- Meningkatkan inhalasi kortikosteroid dengan range dosis sedang dan ditambahkan inhalasi
2 agonis kerja panjang.
Alternatif Pengobatan
- Meningkatkan inhalasi kortikosteroid dengan range dosis sedang dan ditambahkan salah
satu modifikasi leukotrien atau teofilin.
Pengobatan utama
- Dosis rendah inhalasi kortikosteroid
Alternatif pengobatan
- Kromolin, leukotrien,nedocromil, atau sustained release teofilin dengan konsentrasi serum
5-15 mcg/ml
- tidak dibutuhkan pengobatan harian
- Ekserbasi akan terjadi dalam waktu lama dengan fungsi paru normal dan tidak ada gejala.
Direkomendasikan kortikosteroid sistemik.

1. Bronkodilator kerja pendek : inhalasi agoniskerja pendek 2-4 hirupan digunakan pada yang masih gejala
2. Intensitas pengobatan akan tergantung pada kerasnya ekserbasi : mulai pengobatan pada interval 20 menit ataumenggunakan nebulizer
tunggal jika diperlukan

38
3. Penggunaan 2 agonis kerja pendek/ cepat lebih dari 2 kali/minggupada asma berselangintermitten (setiap hari atau peningkatan penggunaan
asma yang persisten), mengindikasikan diperlukannya peningkatan atau terapikontrol jangka panjang.
MELANGKAH KE BAWAH
MELANGKAH KE ATAS
Tinjauan pengobatan setiap 1-6 bulan; memungkinkan pengurangan
Jika kontrol tidak dapat dipertahankan, dipertimbangkanmelangkah ke atas. Pertama,
bertahap dalam pengobatan
tinjau teknik pengobatan, kepatuhan, dan kontrol lingkungan pasien
Sasaran Terapi: Kontrol asma
- Gejala kronis minimal atau tidak ada pada siang atau malam
- Mempertahankan fungsi paru-paru (mendekati) normal
- Keburukan minimal atau tidak ada
- Penggunaan minimal inhalasi agonis 2 kerja pendek
- Tidak ada batasan dalam beraktifitas; tidak bolos sekolah atau kerja
- Efek samping akibat pengobatan minimal atau tidak ada
Catatan:
Pendekatan bertahap ini hanya memandu, bukan menggantikan, keputusan yang diambil disesuaikan dengan kebutuhan pasien
Klasifikasi keparahan: masukkan pasien pada langkah paling parah dari tiap cirri yang timbul (PEF merupakan % kemampuan terbaik FEV 1 adalah % prediksi)
Capai kontrol secepat mungkin (pertimbangkan pemakaian jangka pendek kortikosteroid sistemik); kemudian melangkah ke bawah ke pengobatan terendah tang
diperlukan untuk mempertahankan kontrol.
Minimalkan penggunaan inhalasi agonis 2 aksi pendek. Ketergantungan berlebihan pada penggunaan inhalasi agonis 2 aksi pendek (contoh penggunaan inhalasi
agonis 2 aksi pendek hirup setiap hari, peningkatan penggunaan atau efek yang diinginkan tidak dicapai, atau penggunaan hampir satu canister per bulan meski
tidak digunakan setiap hari ) mengindikasikan kontrol asma yang tidak cukup dan kebutuhan untuk menginisiasi atau mengintensifkan terapi kontrol jangka
panjang.
Sediakan edukasi kontrol diri dan mengontrol faktor lingkungan yang memperparah asma (contoh allergen dan iritan). Mengacu ke spesialis asma jika terdapat
kesulitan dalam mengontrol asma atau jika memerlukan langkah ke-4. Acuan dapat dipertimbangkan jika langkah ke-3 diperlukan.

(Dipiro, dkk. 2009)

39
2. Tata Laksana Terapi di Rumah pada Penanganan Asma Akut yang Semakin Parah

(Dipiro, dkk. 2009)

40
3. Alogaritma tata laksana asma mandiri di rumah

(Infodatin)
4. Alogaritma tata laksana asma di fasilitas kesehatan tingkat pertama

41

(Infodatin)
K. Terapi pada Kondisi Khusus
1. Asma pada anak-anak
a. Terapi untuk anak usia 0-4 tahun

42

(Dipiro, dkk. 2009)


b. Terapi untuk anak usia 5-11 tahun

43

(Dipiro, dkk. 2009)


Lanjutan terapi untuk anak usia 5-11 tahun

44

(Dipiro, dkk. 2009)

45

2. Steroid resitance asthma (Asma yang resisten dengan steroid)


Asma yang resisten steroid adalah suatu keadaan asma yang menunjukkan gagal
respons pengobatan walau telah diberikan steroid oral sekalipun. Penting untuk diyakini
sebelum mendiagnosis sebagai asma yang resisten steroid, yaitu apakah penderita benar
memiliki asma, bagaimana kepatuhan pengobatan dan adakah masalah dengan absorpsi
steroid oral.
Pengobatan steroid oral yang bagaimana, dan respons pengobatan seperti apa yang
diharapkan sampai penderita dinyatakan sebagai asma yang resisten steroid, hal itu yang
masih kontroversial. Akan tetapi pada prinsipnya adalah pengobatan steroid oral dosis besar
( 20 mg/ hari) selama 10-14 hari, dengan harapan memberikan respons pengobatan yaitu
meningkatnya VEP1 (idealnya diukur pagi hari sebelum pemberian bronkodilator) sebanyak
> 15%. Bila setelah pemberian steroid oral tersebut, penderita gagal menunjukkan
perbaikan VEP1 > 15% dari nilai awal (baseline), maka dinyatakan sebagai asma yang
resisten steroid. Berbagai kondisi dapat menyebabkan terjadi asma yang resisten steroid
antara lain ada defek selular pada respons steroid.
Penatalaksanaan asma yang resisten steroid adalah sama dengan asma yang
tergantung dengan steroid (steroid dependent asthma) yaitu mengupayakan penatalaksanaan
seoptimal mungkin, dan bila perlu menggunakan obat imunosupresif sebagai antiinflamasi
yaitu metotreksat atau siklosporin.

46

3. Asma pada Ibu Hamil dan Menyusui

Tahap 4
Persisten Berat

Tahap 3
Persisten
Sedang

Tahap 2
Persisten
Ringan

Tahap 1
Intermitten

Derajat Penyakit : Gambaran Klinis sebelum terapi atau


control
Gejala harian
APE atau VEP1
Gejala malam
Variabilitas APE
Terus menerus
60%
Sering
>30%

setiap hari
> 1 malam dlm 1
minggu

<60%-<80%

>2 hari dalam 1


minggu
tetapi < setiap
hari
>2 malam dalam
1 bulan
2 hari dalam 1
Minggu
2 malam dalam
1 bulan

80%

>30%

20%-30%

80%
20%

Pengobatan yang dibutuhkan untuk memelihara efek jangka panjang


Pengobatan harian
Terapi yang dianjurkan :
Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi, dan -2 Agonis inhalasi kerja lama, dan jika perlu
Kortikosteroid tablet atau sirup (2mg/kg/hari, tidak>60mg/hari)
Terapi alternatif :
Kortikosteroid inhalasi dosis tinggi, dan Teofilin lepas lambat sampai kadar serum 512mcg/mL
Terapi yang dianjurkan :
Kortikosteroid inhalasi dosis rendah, dan -2 Agonis inhalasi kerja lama atau :
Kortikosteroid inhalasi dosis sedang, jika perlu ( terutama pada pasien serangan berat
berulang). Kortikosteroid inhalasi dosis sedang dan -2 Agonis inhalasi kerja lama
Terapi alternatif :
Kortikosteroid inhalasi dosis rendah dan Teofilin atau antagonis reseptor leukotrien,
jika perlu Kortikosteroid inhalasi dosis sedang dan Teofilin atau antagonis reseptor
leukotrien
Terapi yang dianjurkan :
Kortikosteroid inhalasi dosis rendah
Terapi alternatif :
Kromolin Antagonis reseptor leukotrien, atau Teofilin lepas lambat sampai kadar serum
5-12mcg/mL
Tidak diperlukan pengobatan harian . bila terjadi serangan asma berat, dianjurkan
pemberian kortikosteroid sistemik untuk jangka waktu singkat Pelega cepat
Bronkodilator kerja singkat : 2-4 semprot -2 agonis inhalasi kerja singkat, untuk
mengatasi gejala semua pasienn Intensitas terapi tergantung pada berat serangan, jika
intensitasnya lebih dari 3 pengobatan dalam interval waktu 20 menit atau memerlukan
terapi inhalasi, maka dianjurkan pemberian kortikosteroid sistemik Penggunaan -2
agonis inhalasi kerja singkat lebih dari 2 kali dalam 1 minggu pada asma intermitten
(setiap hari,atau kebutuhan inhaler yang meningkat pada asma persisten)
menandakan peningkatan kebutuhan terapi kontrol jangka lama

Dikutip dari (NAEPP, 2005)

47

BAB III
KUMPULAN PERTANYAAN

1. Dari Desita Rosalinda kelompok 5


Apakah mitos atau fakta, janin yang tertelan air ketubandans etelah dilahirkan
akan menderita penyakit asma dalam jangka waktu lama dans usah untuk cepat
sembuh dari penyait asma? Kemudian apakah ada pengobatan secara tradisional
untuk penyakit asma ?
Jawab :
(Oleh :Idda Mawaddah)
Apabila seoranga anak sesak napas tidak ada hubungannnya dengan riwayat
minum air ketuban, suara mengik pada bayi sering terjadi karena lendir yang
relatif banyak ( hiperaktivitas bronkus). Produksi lendir yang banyak bisa terjadi
karena udara dingin, debu atau alergi pada makanan seperti susu sapi. Selain itu
produksi lendir berlebih ini tidak ada hubungannnya dengan meminum air
ketuban. Selain itu bila orng tuanya asma, anaknya belum tentu sakit asma. Tapi
peluang sia anak memiliki asma akan lebih besar jika orang tuanya memilikia
asma. Sedangkan bronkhitis merupakan infeksi saluran bronkus paru yang dapat
terjadi bila ada infeksi. Pada kasus ini solusi terbaik memberikan ASI eksklusif
pada bayi hingga ia berusia 6 bulan dan menghindarii pencetus alergen sehingga
lendir tidak berlebihan.
Pengobatan tradisional untuk asma :
a. Madu
Madu sangat baik untuk mengencerkan ledir yang menghambat saluran
napas, kemudian dapat dikeluarkan. Minum madu bersama air hangat. Dapat
ditambahan dengan kunyit, atau bubuk kayu manis
b. Jahe
Jahe dapat membantu mengatasi peradangan, pada saluran nafas bawah. Jahe
dapat ditambhakan kedalam campuran madu.
c. Bunga kenanga kering
Bunga kenannga dipercaya sebagai obat asma alami. Cara membuatnya
sediakan tiga kuntum bunga kennaga lalu rebus 200 cc air sampai mendidih.
Setelah itu tutup rapat-rapat tutupya.setelah dingin baru minum airnya
sekaligus.

48

2. Studi kasus, sepupu penanya seorang perempuan yang sudah melewati masa
pubertas. Dia memiliki riwayat asma yang diturunkan secara genetik. Setiap 2
bulan sekali harus dibawa kerumah sakit untuk mendapatkan pengobatan,
kondisi pasien membaik saat menstrulasi.
a. Apakah kondisi pasien tersebut dipengaruhi oleh hormone esterogennya?
b. Lalu dia juga mendapatkan terapi salbutamol secara nebulizer, apakah
penggunaan obat tersebut aman bila digunakan secara terus-menerus?
Jawab
(Oleh : Herlinda Ardilawati, Wahyuning Dyah Pujilestari dan Mimim
Rojena)
a. Kondisi pasien yang asmanya membaik saat masa menstrulasi kemungkinan
dipengaruhi oleh keberhasilan terapi yang dijalaninya sebelumnya, apalagi
jika diketahui pasien mendapatkan terapi obat kromolin/nedokromil dalam
jangka waktu yang lama.
b. Penggunaan Salbutamol dalam bentuk nebulizer hanya diperuntukkan untuk
pasien saat mengalami gejala serangan asma, sedangkan salbutamol yang
aman digunakan dalam jangka waktu yang panjang adalah salbutamo0l
dalam bentuk inhalernya.
3. Dari Zia Anzar Watin Kelompok 2
Apakah ibu hamil yang menderita asma penyakkit asma dapat tertular pada
janinnya. Jika iya bagaimana mekanisme yang terjadi? Apakah ada kebiasaan
gaya hidup yang dapat diubah untuk membantu mengatasi asma dan untuk
mengurangi resiko serangan asma tersebut?
Jawab:
(Oleh: Fitriani)
Pada saat penderita asma hamil maka wanita tersebut harus mendapatkan
perawatan yang tepat untuk menjaga fungsi paru-paru normal dan tigkat oksigen
untuk mempertahankn pasokan oksigen yang tepat untuk janin. Pengaruh
penularan pada janin ditemkan pada kasus orang tuanya dengan faktor alergen.
Kalau pengaruh ibu hamil dan janin lebih kepada pengaruh hipoksia pada janin.
Keadaan hipoksia pada jika tidak segera diatasi tertentu akan memberikan
pengaruh buruk pada janin, berupa abortus, persalinan prematur dan berat janin
yang tidak sesuai dengan umur kehamilan. Untuk penularan dari orang tua
keanak dipengaruhi lebih warisan gen yang ada.
Gaya hidup yang dapat membantu mengurangi resiko asma sperti hindari
merokok dan tempat-tempat yang biasa digunakan untuk perokok, jangan

49

membiaran orang merokok didalam rumah maupun mobil anda, jaga berat
badan, berolahraga suapaya paru-paru sehat, hindari makaanan yang
mengandung pengawet, kontrol emosi dan sterss, konsumsi obat secara rutin.
4. Dari Rahmatun Nisa Kelompok 1
Hal apa saja yang ahrus dilakukan pada penderita asma yang harus dilakuakan
pada penderita asma tetapi mempunyai riwayat penaykkit gagal ginjal untuk
terapi non farmakologinya
Jawab :
(Oleh :Antony Putra Priambodo dan Aldiansyah)
Yang dapat dilakukan jika seorang penderita gagal ginjal dan asma
a. Menghindari makanan berpurin tinggi, makanan berpurin tinggi antara lain
seafood,junkfood, makanan asin dan jerohan. Makanan berpurin tinggi akan
menyebabkan penggumpalan purin pada ginjal sehingga glumerolus tidaka
akan menyaring kotoran ataupun racun dalam darah.
b. Konsumsi air putih, untuk melarutkan kotoran yang terdapat pada ginjal
sehingga fungsi ginjal dapat berjalan dengan mudah dalam penayrinagn.
Minimal 8 gelas sehari maka racun yang terdapat didalam darah akan
mampu disaring atau filtrasi dengan glumerolus dengan baik.
c. Senam asma, meupakan penunjang pengobatan asam karena eberhaslan
pengobatanasma tidak hanya ditentukan oleh oabat asma yang dikonsumsi,
namun juga faktor gizi dan olahraga. Bagi penderita asma diperluan untuk
memperkuat otot-otot pernapasan.
5. Dari Kadijah Kelompok 4
Berapa lama jangka penggunaan kortikosteroid pada anak, yang dapat kita
ketahui salah satu efek samping dari kortikosteroid yaitu menghambat
pertumbuhan pada anak, lalu apakah ada terapi lain yang lebih aman?
Jawab :
(Oleh: Wahyuning Dyah Pujilestari)
Pemakaian kortikosteroid untuk penderita asma dengan serangan berat perlu
diberikan kortikosteroid oral dan penggunaan nya pada saat itu saja, tetapi untuk
mencegah gejala asma dapat diberikan kortikosteroid inhalasi dengan dosis
rendah yang lebih aman, kortikosteroid inhalasi biasaya dikombinasi dengan
brokodilator, untuk terapi lain dapat dimulai dengan cara membiakan jauh dari
paparan yang menybabkan asma, dan dengan pengobatan tradisional untuk
mencegah serangan asma pada anak.
6. Dari Nurhayanah

50

Berapa lama jangka penggunaan kortikosteroid pada asma resisten steroid dana
sma dependen steroid ? berapa dosis untuk penggunaan kortikosteroid
bersamaan imunosupresive? Jika dalam jangka panjang terapi apa yang
diguanakn untuk mengatasi efek samping penggunaan jangka panjang
kortikosteroid seperti seringnya terinfeksi jamur pada mulut akibat dari salah
satu mekanisme kortikosteroid yaitu menekan sistem imun.
Jawab :
(Oleh :Herlinda Ardilawati)
Suatu kondisi asma kronik berat dapat terkontrol hanya bila ditambahkan
steroid sistemik dalam pengobatan. Steroid sistemik yang dimaksudkan adalah
steroid oral jangka panjang. Seringkali penderita menggunakan steroid oral
jangka panjang bukan disebabkan asma yang sulit terkontrol, akan tetapi
disebabkan hal lain.Kondisi di bawah ini yang memungkinkan penderita
menggunakan steroid oral jangka panjang, seperti :
o

asma kronik berat

terus menerus terpajan alergen

merokok

paduan penatalaksanaan asma jangka panjang yang tidak optimal, misal


inhalasi steroid dosis terlalu rendah tidak sesuai berat asma

menggunakan steroid oral untuk mengontrol asma, bukan steroid inhalasi


sebagaimana seharusnya

Untuk lama penggunaan dilihat dari keadaan individu yang menderita asma dan
tingkat kemungkinan atau sejauh mana penderita asma terpapar faktor penetus asma
berat.
Asma yang resisten steroid adalah suatu keadaan asma yang menunjukkan gagal
respons pengobatan walau telah diberikan steroid oral sekalipun. Penting untuk diyakini
sebelum mendiagnosis sebagai asma yang resisten steroid, yaitu apakah penderita benar
memiliki asma, bagaimana kepatuhan pengobatan dan adakah masalah dengan absorpsi
steroid oral.
Pengobatan steroid oral yang bagaimana, dan respons pengobatan seperti apa
yang diharapkan sampai penderita dinyatakan sebagai asma yang resisten steroid, hal itu
yang masih kontroversial. Akan tetapi pada prinsipnya adalah pengobatan steroid oral

51

dosis besar ( 20 mg/ hari) selama 10-14 hari, dengan harapan memberikan respons
pengobatan yaitu meningkatnya VEP1 (idealnya diukur pagi hari sebelum pemberian
bronkodilator) sebanyak > 15%. Bila setelah pemberian steroid oral tersebut, penderita
gagal menunjukkan perbaikan VEP1 > 15% dari nilai awal (baseline), maka dinyatakan
sebagai asma yang resisten steroid. Berbagai kondisi dapat menyebabkan terjadi asma
yang resisten steroid antara lain ada defek selular pada respons steroid.
Penatalaksanaan asma yang resisten steroid adalah sama dengan asma yang
tergantung

dengan

steroid

(steroid

dependent

asthma)

yaitu

mengupayakan

penatalaksanaan seoptimal mungkin (lihat tahapan penatalaksanaan asma yang


tergantung dengan steroid), dan bila perlu menggunakan obat imunosupresif sebagai
antiinflamasi yaitu metotreksat atau siklosporin.

Untuk kortikosteroid sistemik dosisnya


Metilprednisolon

Tablet 4, 8,16 mg

Short-course :

Short-course:

24-40 mg /hari

1-2 mg/ kg BB/

dosis tunggal atauhari, maksimum


Prednison

Tablet 5 mg

terbagi selama 3-1040mg/ hari selama


hari

3-10

hari
Untuk dosis contohnya dosis siklosporin dosis awal 2,5 mg/kg bb tiap hari dengan 2
dosis terbagi, tidak diperuntukkan untuk anak kurang 16 tahun.
Untuk penggunaan jangka panjang kortikosteroid inhalasi dapat emnyebabkan
infeksi jamur pada mulut hal ini dapat diatasi dengan berkumur setelah
menggnakan sediaan inhalasi.
7. Dari Windi Kelompok 2
Bagaimana mekanisme alergen dapat menimbulkan asma dan menagpa stress
dapat menyebabkan asma
Jawab :
(Oleh : Idda Mawaddah)

52

Mekanisme : alergen ditangkap oleh makrofag (APC/antigen presenting cell)


timbul

sinyal di MHC II (major histocompability complex) yang terdapat

dipermukaan APC dibawa ke limposit T memrintahkan sel (limposit B) untu


menghasilkan IgE. igE menempel pada sel mast sehingga terjadi pelepasan
histamin.
Pada saluran napas, pelepasan histamin bisa berbahaya, karena senyawa ini
memaksa kontraksi otot polos. Napas ini membuat otot polos berkontraksi serta
membengkak, sehingga membatasi pasokan udara keparu-paru sehingga
menimbulkan asma.
Stress dapat memicu histamin dan leukotrien memproduksi lebih tinggi atau
banyak sehingga dengan adanya produksi histamin dan leukotrien lebih tinggi
menyebabkan otot polos dipernapasan lebih berkontaksi dan menimbulkan
bengkak sehingga dapat memicu asma.
8. Dari Brima Wahyu Wijarnako
Apa hubungan nya makan ikan dapat memicu asma
Jawab :
(Oleh : Aldiansyah)
Ikan atau seafood diketahui memiliki kadar histamin tinggi seperti ikan tuna,
makarel, sehingga apa bila produk histamin tinggi pada ikan , ketika pada orang
yang memiliki atau tidak namun antibodi tubuh kurang sehingga menyebabakab
alergen berupa histamin pada ikan masuk kedalam tubuh. Dan menyebar
histamin pada ikan melalui darah dan jika pada saluran napas akan menimbulkan
reaksi kontraksi. Itu mengapa ikan dapat memicua sma.
9. Dari Febrina Susilawati Kelompok 11
Apakah asma dapat diberi terapi antibiotik mengingat jika dari debu
kemungkinan adanya bakteri?
Jawab :
Oleh :Fitriani
Untuk terapi asma tidak diberikan antibiotik kecuali pada keadaan disertai
infeksi bakteri (pneumonia,bronkitis akut, dan sinusitis) yang ditandai dengan
gejala sputum purulen dan demam. Infeksi bakteri yang sering menyertai
serangan asma adalh bakteri gram positif dan bakteri atiptik kecuali pada
keadaan dicurigai ada infeksi bakteri gram negatif dan bahkan anaerob seperti
sinusitis, bronkiktasis atau penyakit paru obstruksi kronik (PPOK). Antibiotik
pilihan sesuai bakteri penyebab atau pengobatan empiris yang tepat untuk gram

53

positif dan atipik yaitu makrolid , golongan kuinolon dan alternatif lain seperti
amoksisilin dengan asam klavulanat.
10. Dari Citra Kelompok
Bagaimana tata laksana terapi asma pada kehamilan
Oleh : Hasyifa
Pada saat hamil, pemberian obat-obatan harus hati-hati , jika tidak terkontrol
bisa menimbulkan masalah pada bayi berupa peningkatan kematian apda
bayi,lahir prematur, peningkatan kematian perinatal, pertumbuhan janin
terhambat . pada umumnya obat yang tidak digunakan adrenergik,
bromfeniramin, dan efineprin. Kortikosteroid inhalasi sangat bermanfaat untuk
mengontrol asma dan mencegah serangan akut terutama saat kehamilan. pada
pasien asma yang akan melahirkan dnegan sebelumnya pemberian kortikosteroid
selama 6 bulan dengan ssitemik maka selama operasi yaitu hidrokortison IV 100
mg atau ekivalennya setiap 8 jam dan segera diturunkan dalam 24 jam
pembedahan.
11. Dari Safira Evani Rizki Anwar Kelompok 3
Apa kah asma ada hubungannya dengan sinusitis dan polip hidung
Jawab :
(Oleh : Mimim Rojena)
Hubungan asma dengan sinusitis, sinusitis adalah suatu komplikasi dari infeksi
saluran napas atas, rinitis alergi, polip hidung dan obstruksi hidung lainnya.
Sinusitis akut dan kronik dapat mencetuskan asma.
Polip hidung dihubungkan dengan asma, rinitis dan sensitif terhadap aspirin.
Tujuh sampai 15% penderita asma mempunyai polip hidung, frekuensi tertinggi
pada penderita usia lebih dari 50 tahun. Dua puluh sembilan sampai 70%
penderita dengan polip hidung menderita asma. Polip hidung mempunyai
respons yang baik pada pemberian steroid sistemik dan steroid topikal.
11 . Dari Ahmad Rizal Kelompok 8
Kenapa katanya obat NSAID dapat memperburuk asma
Oleh : Idda Mawaddah
Obat golongan NSAID dapat menghamabt jalur siklooksigenasi dihambat,
metabolisme jalur lipooksigenase menjadi meningkat dan produksi leukotrine
meningkat. Leukotriene dapat menyebabkan bronkokontriksi, sehingga terjadi
penyempitan saluran napas
12. Dari Ridha Azizatun Nisa
Apakah terapi pada penderita asma berhubungan dengan nyeri hati?
Oleh : Miimim Rojena

54

Asma tidak berhubungan sama sekali dengan nyeri hati, keduanya memiliki
penanganan terapinya masing-masing. Asma disebabkan karena adanya paparan
allergen sengakan nyeri di ulu hati disebabkan karena aliran balik isi asam
lambung ke dalam esophagus (acid reflux).
13. Dari Nurmiati kelompok 5
Apakah asma ada hubungan dengan jenis kelamin, kalau ada lebih rentan yang
mna laki apa perempuan. Terus apa asma bisa sembuh total. Apa asma dapat di
urut/dipijat?
(Oleh: Wahyuning Dyah Pujilestari)
Jawab:
Asma pada masa kanak - kanak lebih banyak terjadi pada anak pria
dibandingkan anak perembuan. Apa yang menjadi penyebab hal ini masih belum
diketahui, meski beberapa ahli menemukan ukuran jalur nafas pria muda lebih
kecil dibandingkan dengan jalur nafas wanita. Pada sekitar usia 20 tahun, rasio
asma antara pria dan wanita adalah sama. Sedangkan pada usia 40 tahun, wanita
lebih banyak mengalami asma dibandingkan pria.
Asma tidak dapat disembuhkan, tetapi gejalanya

dapat dikendalikan

perawatannya termasuk mengambil langkah untuk menghindari pemicu tertentu


asma, dengan menggunakan obat jangka panjang untuk mencegahnya semakin
parah dan menggunakan bantuan inhaler untuk mengendalikan gejala yang
muncul. Untuk meringankan asma dapat dilakukan pijat refleksi.
14. Dari Khadijah kelompok 4
Berapa lama jangka penggunaan kortikosteroid pada anak, yang mana dapat kita
ketahui salah satu efek samping golongan kortikosteroid yaitu menghambat
pertumbuhan pada anak, lalu apakah ada terapi lain yang lebih aman?
Jawab:
(Oleh: Wahyuning Dyah Pujilestari)
Pada asma akut gunakan kortikosteroid dengan kombinasi obat lain secara tepat
waktu, sesuai dengan konsep inflamasi yang terjadi pada asma. Kortikosteroid
hanya dipakai bila obat konvensional tidak menolong, jadi untuk pasien asma
berikan dulu obat metilxantin dan golongan adrenergik. Selain itu hindari
penggunaan kortikosteroid pada pasien yang sedang mendapat vaksin virus.
Gunakan kortikosteroid dengan dosis serendah mungkin yang dapat mengontrol
penyakitnya Tujuan untuk meringankan penyakit lebih dapat diterima daripada
untuk menghilangkan gejala. Sedapat mungkin gunakan kortikosteroid yang

55

bekerja dalam jangka pendek (prednison, prednisolon, dsb), dan untuk


pemakaian jangka panjang kalau dapat gunakan secara topikal misalnya krem
untuk kelaian kulit dan inhalasi untuk pengobatan asma kronik. Batasi
penggunaan kortikosteroid untuk 5-7 hari saja, atau bila perlu terapi jangka
panjang berikan dosis intermiten selang sehari pada pagi hari. Kortikosteroid
yang diberikan 3-4 kali sehari, atau pada malam hari, lebih menekan fungsi
kelenjar adrenal daripada yang diberikan sehari sekali atau pagi hari.

56

DAFTAR PUSTAKA

Chung, K.F., 2002. Clinicians Guide to Asthma. United States of America: Oxford
University Press: 12-22.
Depkes RI. 2009 Pedoman pengendalian penyakit asma. United States of America: The
McGraw-Hill Companies.
Dipiro, dkk. 2009. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach.
GINA.

2006.

Pocket

Guide

for

Asthma

Management

and Prevension

In

Children . www.Ginaasthma.org.
Global Initiative for Asthma (GINA), 2009. Global Strategy for Asthma Management
and

Prevention.

Available

from: http://www.ginasthma.com/download.asp?intId=411
Mansjoer, A dkk. 2008. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius.
National Education and Prevention Program (NAEPP). 2005. Guidelines for the
diagnosis and management of asthma. United States: National Heart,
Lung and Blood Institute (NHLBI) of National institutes of Health
(NIH) Publication.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK): Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2006. Asma: Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.

57

Smeltzer, S.C & Bare, B.G, 2002, Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2, Alih
Bahasa Kuncara, H.Y, dkk, EGC, Jakarta.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2002. Obat Obat Penting. Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo.
Vitahealth. 2006 . Asma: Informasi Lengkap untuk Penderita & Keluarganya. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai