Asma
Asma
Asma
Disusun oleh:
Aldiansyah
Antony Putra Priambodo
Fitriani
Hashifah D. Putri
Herlinda Ardilawati
Idda Mawaddah
Mimim Rojena
Wahyuning Dyah Pujilestari
24041315338
24041315385
24041315397
24041315352
24041315400
24041315353
24041315361
24041315382
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Illahi Robbi, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Tugas Mata Kuliah
Farmakoterapi dengan pembahasan Asma.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua orang yang turut membantu dalam penyusunan makalah ini serta teman
teman sekelompok terimakasih atas kerja sama nya yang sangat baik terutama semangat
nya dalam mengemukakan ide-ide tambahan penyelesaian tugas ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu
sangat diharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan makalah
ini. Akhirul kalam, kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ......................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
Definisi........................................................................................
Prevalensi....................................................................................
Etiologi dan Faktor Risiko ..........................................................
Klasifikasi....................................................................................
Patogenesis..................................................................................
Diagnosis.....................................................................................
Gejala Klinis................................................................................
Komplikasi..................................................................................
Terapi...........................................................................................
Panduan Terapi............................................................................
Terapi pada Kondisi Khusus........................................................
3
3
7
11
12
14
16
19
20
37
42
47
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
57
BAB I
PENDAHULUAN
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma
adalah penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang ditandai adanya
mengi, batuk dan rasa sesak di dada yang beru86lang dan timbul terutama pada malam
atau menjelang pagi akibat penyumbatan saluran pernapasan.
Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktiviti, akan tetapi dapat
bersifat menetap dan mengganggu aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktiviti menurun
akibat mangkir kerja atau sekolah, dan dapat menimbulkan disability (kecacatan),
sehingga menambah penurunan produktiviti serta menurunkan kualitas hidup.
Kemajuan ilmu dan teknologi di belahan dunia ini tidak sepenuhnya diikuti
dengan kemajuan penatalaksanaan asma, hal itu tampak dari data berbagai negara yang
menunjukkan peningkatan kunjungan ke darurat gawat, rawat inap, kesakitan dan
bahkan kematian karena asma. Berbagai argumentasi diketengahkan seperti perbaikan
kolektif data, perbaikan diagnosis dan deteksi perburukan dan sebagainya. Akan tetapi
juga disadari masih banyak permasalahan akibat keterlambatan penanganan baik karena
penderita maupun dokter (medis). Kesepakatan bagaimana menangani asma dengan
benar yang dilakukan oleh National Institute of Heallth National Heart, Lung and
Blood Institute (NHLBI) bekerja sama dengan World Health Organization (WHO)
bertujuan memberikan petunjuk bagi para dokter dan tenaga kesehatan untuk melakukan
penatalaksanaan asma yang optimal sehingga menurunkan angka kesakitan dan
kematian asma. Petunjuk penatalaksanaan yang telah dibuat dianjurkan dipakai di
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Penyakit asma berasal dari kata Ashtma yang diambil dari bahasa Yunani yang
berarti sukar bernapas. Penyakit asma merupakan proses inflamasi kronik salura
napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Proses inflamasi ini menyebabkan
saluran
pernapasan
menjadi
hipersponsif,
sehingga
memudahkan
terjadinya
Asma merupakan gangguan inflamasi kronik jalan udara yang melibatkan banyak
sel dan komponennya. Pada individu yang rentan, inflamasi menyebabkan episode
berulang dari bengek, sesak nafas, sempit dada, dan batuk. Episode ini biasanya terkait
dengan obstruksi jalan udara yang sering reversible baik secara spontan maupun setelah
pemberian penanganan. Inflamasi juga menyebabkan peningkatan hiperresponsifitas
bronkus terhadap stimulus. (Dipiro, dkk. 2009)
B. Prevalensi
Berikut ini prevalensi penyakit asma secara nasional terlihat pada grafik berikut
ini:
Gambar Prevalensi Asma* Menurut Provinsi Tahun 2007
Grafik di atas terlihat bahwa pada tahun 2007 ada (18) delapan belas provinsi yang
mempunyai penyakit asma melebihi angka nasional yaitu Gorontalo, Sulawesi Tengah,
Papua Barat, Kalimantan Selatan, Aceh, NTT, NTB, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat,
Bangka Belitung, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Bali,
Kalimantan Barat, Sumatra Barat, Papua dan DI Yogyakarta. Sedangkan provinsi yang
mempunyai prevalensi di bawah angka nasional yaitu Banten, Riau, Jambi, Kalimantan
Timur, Maluku, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Bengkulu, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara,
Maluku Utara, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Sumatera Utara dan Lampung.
Grafik di atas terlihat bahwa pada tahun 2013 terdapat (18) delapan belas provinsi yang
mempunyai prevalensi penyakit asma melebihi angka nasional, dari 18 provinsi tersebut
5 provinsi teratas adalah Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur DI Yogyakarta,
Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Sedangkan provinsi yang mempunyai
prevalensi penyakit asma dibawah angka nasional, dimana 5 provinsi yang mempunyai
prevalensi asma terendah yaitu : Sumatera Utara, Jambi, Riau, Bengkulu dan Lampung.
ke tubuh
melalui mulut), inhalan (alergen yang dihirup masuk tubuh melalui hidung atau
mulut), dan alergen yang didapat melalui kontakdengan kulit (VitaHealth, 2006).
3. Sedangkan Lewis et al. (2000) tidak membagi pencetus asma secara spesifik.
Menurut mereka, secara umum pemicu asma adalah:
a. Faktor predisposisi
Genetik
Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui
bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan penyakit alergi biasanya
mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat
alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit Asma Bronkhial jika terpapar
dengan faktor pencetus. Selain itu hipersensitivitas saluran pernapasannya juga bisa
diturunkan.
b. Faktor presipitasi
1) Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu:
a) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan seperti debu, bulu
binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi.
b) Ingestan, yang masuk melalui mulut yaitu makanan (seperti buah-buahan
dan anggur yang mengandung sodium metabisulfide) dan obat-obatan
(seperti aspirin, epinefrin, ACE- inhibitor, kromolin).
c) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Contoh : perhiasan,
logam dan jam tangan
Pada beberapa orang yang menderita asma respon terhadap Ig E jelas
merupakan alergen utama yang berasal dari debu, serbuk tanaman atau bulu
binatang. Alergen ini menstimulasi reseptor Ig E pada sel mast sehingga
pemaparan terhadap faktor pencetus alergen ini dapat mengakibatkan degranulasi
sel mast. Degranulasi sel mast seperti histamin dan protease sehingga berakibat
respon alergen berupa asma.
2) Olahraga
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan
aktivitas jasmani atau olahraga yang berat. Serangan asma karena aktifitas
biasanya terjadi segera setelah selesai beraktifitas. Asma dapat diinduksi oleh
adanya kegiatan fisik atau latihan yang disebut sebagai Exercise Induced Asthma
(EIA) yang biasanya terjadi
aerobik, berjalan cepat, ataupun naik tangga dan dikarakteristikkan oleh adanya
bronkospasme, nafas pendek, batuk dan wheezing. Penderita asma seharusnya
melakukan pemanasan selama 2-3 menit sebelum latihan.
10
D. Klasifikasi
11
II. Persiten
Ringan
III. Persisten
Sedang
IV. Persisten
Berat
Gejala
Gejala Malam
Bulanan
Gejala <1x / 2x sebulan
minggu
Tanpa
gejala
diluar serangan
Serangan
singkat
Mingguan
Gejala >1x / >2 kali sebulan
minggu, tetapi <
1x / hari
Serangan dapat
mengganggu
aktviti dan tidur
Harian
Gejala
setiap >1x / seminggu
hari
Serangan
menggangu
aktivitas
dan
tidur
Membutuhkan
bronkodilator
setiap hari
Kontinyu
Gejala
terus Sering
menerus
Sering kambuh
Aktivitas fisik
terbatas
Faal Paru
APE80%
VEP180%
nilai
prediksi
APE 80% nilai
terbaik
Variabiliti APE <
20%
APE80%
VEP180%
nilai prediksi
APE
80%
nilai terbaik
Variabiliti APE
20-30%
APE 60-80%
VEP160-80%
nilai prediksi
APE 60-80%
nilai terbaik
Varibiliti APE
> 30%
APE 60%
VEP160%
nilai prediksi
APE
60%
nilai terbaik
Variabiliti APE
> 30%
12
13
Penyebab asma yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap bendabenda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan
cara sebagai berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk
sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan
reaksi alergi bila reaksi dengan antigen spesifikasinya.
Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada
interstisial paru yang berhubungan erat dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila
seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen
bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini
akan mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang
bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan
bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal
pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen
bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan
saluran napas menjadi sangat meningkat Pada asma , diameter bronkiolus lebih
berkurang selama ekspirasi daripadaselama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam
paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus.
Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah
akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama
ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan
adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi.Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas
residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan
asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa
menyebabkan barrel chest.
14
F. Diagnosis
Seperti pada penyakit lain, diagnosis penyakit asma dapat ditegakkan dengan
anamnesis yang baik. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru akan lebih
meningkatkan nilai diagnostik.
1. Anamnesis
Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit/gejala, yaitu:
a. Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan
b. Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen, gejala musiman,
riwayat alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap asma
c. Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa berat di dada
dan berdahak yang berulang
d. Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari
e. Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik
f. Respon positif terhadap pemberian bronkodilator
2. Pemeriksaan Fisik
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal
(GINA, 2009). Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan pada
auskultasi adalah mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal
walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan napas.
Oleh karena itu, pemeriksaan fisik akan sangat membantu diagnosis jika pada saat
pemeriksaan terdapat gejala-gejala obstruksi saluran pernapasan (Chung, 2002).
Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil oleh karena kontraksi
otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi mukus. Keadaan ini dapat menyumbat
saluran napas; sebagai kompensasi penderita akan bernapas pada volume paru yang
15
lebih besar untuk mengatasi jalan napas yang mengecil (hiperinflasi). Hal ini akan
menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa batuk, sesak napas, dan mengi (GINA,
2009).
3. Faal Paru
Pengukuran faal paru sangat berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik. Ini
disebabkan karena penderita asma sering tidak mengenal gejala dan kadar
keparahannya, demikian pula diagnosa oleh dokter tidak selalu akurat. Faal paru menilai
derajat keparahan hambatan aliran udara, reversibilitasnya, dan membantu kita
menegakkan diagnosis asma. Akan tetapi, faal paru tidak mempunyai hubungan kuat
dengan gejala, hanya sebagai informasi tambahan akan kadar kontrol terhadap asma
(Pellegrino dkk, 2005). Banyak metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah
dianggap sebagai standard pemeriksaan adalah: (1) pemeriksaan spirometri dan (2) Arus
Puncak Ekspirasi meter (APE).
Pemeriksaan spirometri merupakan pemeriksaan hambatan jalan napas dan
reversibilitas yang direkomendasi oleh GINA (2009). Pengukuran volume ekspirasi
paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver
ekspirasi paksa melalui spirometri. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, diambil nilai
tertinggi dari 3 ekspirasi. Banyak penyakit paru-paru menyebabkan turunnya angka
VEP1. Maka dari itu, obstruksi jalan napas diketahui dari nilai VEP1 prediksi (%) dan
atau rasio VEP1/KVP (%).
Pemeriksaan dengan APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai
alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore (tidak lebih dari 20%).
Untuk mendapatkan variabiliti APE yang akurat, diambil nilai terendah pada pagi hari
16
sebelum mengkonsumsi bronkodilator selama satu minggu (Pada malam hari gunakan
nilai APE tertinggi). Kemudian dicari persentase dari nilai APE terbaik (PDPI, 2006).
Peak Expiratory Flow Meter (PEF meter)alat ini adalah alat yang paling
sederhana untuk memeriksa gangguan sumbatan jalan napas, yang relatif sangat murah,
mudah dibawa. Dengan PEF meter fungsi paru yang dapat diukur adalah arus puncak
ekspirasi (APE).
Cara pemeriksaan APE dengan PEF meter adalah sebagai berikut : Penuntun
meteran dikembalikan ke posisi angka 0. Pasien diminta untuk menghirup napas dalam,
kemudian diinstruksikan untuk menghembuskan napas dengan sangat keras dan cepat
ke bagian mulut alat tersebut, sehingga penuntun meteran akan bergeser ke angka
tertentu. Angka tersebut adalah nilai APE yang dinyatakan dalam liter/menit.
Variabilitas APE ini tergantung pada siklus diurnal (pagi dan malam yang berbeda
nilainya), dan nilai normal variabilitas ini < 20%. Cara pemeriksaan variabilitas APE
pada pagi hari diukur APE untuk mendapatkan nilai terendah dan malam hari untuk
mendapatkan nilai tertinggi.
G. Gejala Klinis
Keberagaman gejala dan tanda adalah indikasi beragamnya keparahan penyakit,
dari penyakit ringan intermitan hingga asma yang kronik, berat, dan kadang-kadang
mematikan.
1. Batuk
Batuk terjadi akibat kombinasi penyempitan saluran napas, hipersekresi mukus,
dan hiperresponsivitas aferen saraf yang dijumpai pada peradangan saluran nafas. Hal
ini juga disebabkan oleh peradangan non-spesifik setelah infeksi, terutama oleh virus,
17
pada pasien asma. Akibat penyempitan kempresif dan tingginya kecepatan aliran udara
di saluran-saluran napas sentral, batuk dapat menghasilkan gaya dorong yang cukup
kuat untuk membersihkan mukus yang tertimbun dan partikel yang tertahan di saluran
napas sempit.
2. Mengi (wheezing)
Kontraksi otot polos, bersama dengan hipersekresi dan retensi mukus,
menyebabkan pengurangan kabiler saluran napas dan turbulensi aliran udara yang
berkepanjangan, yang menimbulkan mengi yang dapat didengar langsung atau dengan
stetoskop. Contohnya, pada obstruksi saluran napas yang ekstrem, aliran udara dapat
sedemikian berkurang sehingga mengi mungkin sama sekali tidak terdengar.
3. Dispnea dan rasa sesak di dada
Sensasi dispnea dan rasa sesak di dada adalah akibat sejumlah perubahan
fisiologis. Upaya yang lebih kuat oleh otot untuk mengatasi meningkatnya resistensi
saluran napas dideteksi oleh reseptor regang gelendong otot, terutama otot antariga dan
dinding dada. Hiperinflasi akibat obstruksi saluran napas menyebbkan toraks teregang.
Peningkatan tekanan CO2 arteri dan, kemudian munculnya hipoksemia arteri (masingmasing, atau bersama-sama sebagai rangsang sinergistik) akan mendorong pernapasan
melalui kemoreseptor perifer dan sentral. Rangsangan ini dalam kelelahan otot
pernapasan, menyebabkan dispnea progresif.
4. Takipnea dan takikardia
Takipnea dan takikardia mungkin tidak terjadi pada penyakit ringan tetapi hampir
selalu dijumpai pada eksaserbasi akut.
5. Pulsus paradoksus
Pulsus paradoksus adalah penurun tekanan arteri sistolik lebih dari 10 mmHg saat
inspirasi. Hal ini tampaknya terjadi akibat hiperinflasi paru, disertai gangguan pengisian
ventrikal kanan sewaktu inspirasi kuat pada obstruksi berat.dengan meningkaynya
volume diastolik-akhir ventrikel kanan sewaktu inspirasi, septum intraventrikel
bergerak ke kiri, yang mengganggu pengisian dan pengeluaran ventrikel kiri.
18
Konsekuensi penurunan curah jantung ini adalah penurunan tekanan sistolik saat
inspirasi, atau pulsus paradoksus.
6. Hipoksemia
Bertambahnya ketidakcocokan V/Q pada obstruksi saluran napas mnciptakan
area-area dengan rasio V/Q yang rendah dan hipoksemia. Pirau jarang terjadi pada
asma.
7. Hiperkapnia dan asidosis respiratorik
Pada asma ringan hingga sedang, ventilasi tetap normal atau berkurang, dan PCO 2
arteri tetap normal atau menurun. Pada serangan yang berat, obstruksi saluran napas
menetap atau bertambah dan timbul kelelahan otot pernapasan, disertai hipoventilasi
alveolus dan meningkatnya hiperkapnia dan asidosis respiratorik.
8. Kelainan obstruktif pada uji fungsi paru
Pasien dengan asma ringan mungkin memperlihatkan fungsi paru yang seluruhnya
normal di antara eksaserbasi. Sewaktu serangan asma akut, semua indeks aliran udara
ekspirasi berkurang, termasuk FEV1, FEV1/FVC (FEV1 %), dan laju ekspirasi puncak .
pemberian bronkodilator menyebabkan berkurangny obstruksi saluran napas.
9. Hiperresponsivitas bronkus
Uji provokasi bronkus memperlihatkan hiperresponsivitas yang tak lazim pada
hampir semua pasien asma, termasuk mereka dengan penyakit yang ringan dan hasil uji
fungsi paru yang nomal. Metakolin dan histamin adalah zat-zat yang telah digunakan
dalam uji provokasi baku. Zat-zat lain juga telah digunakan untuk mengetahui
sensitivitas pajanan spesifik, contohnya adalah sulfur dioksida dan toluen diisosianat.
H. Komplikasi
Berbagai komplikasi menurut Mansjoer (2008) yang mungkin timbul adalah :
1. Pneumothoraks
19
20
I. Terapi
1. Terapi non Farmakologi
a. Edukasi pasien
Edukasi pasien dan
penatalaksanaan
asma.
keluarga,
Edukasi
untuk
kepada
menjadi
mitra
pasien/keluarga
dokter
dalam
bertujuan
untuk
meningkatkan pemahaman (mengenai penyakit asma secara umum dan pola penyakit
asma sendiri).
b. Pengukuran peak flow meter
Perlu dilakukan pada pasien dengan asma sedang sampai berat. Pengukuran
Arus Puncak Ekspirasi (APE) dengan Peak Flow Meter ini dianjurkan pada :
o Penanganan serangan akut di gawat darurat, klinik, praktek dokter dan oleh pasien
di rumah.
o Pemantauan berkala di rawat jalan, klinik dan praktek dokter.
o Pemantauan sehari-hari di rumah, idealnya dilakukan pada asma persisten usia di
atas > 5 tahun, terutama bagi pasien setelah perawatan di rumah sakit, pasien yang
sulit/tidak mengenal perburukan melalui gejala padahal berisiko tinggi untuk
c.
d.
e.
f.
g.
21
mengalami asma persisten atau asma berat yang tidak terkontrol dengan baik pada
penggunaan kortikosteroid inhaler atau pengobatan jangka panjang bronkodilator.
2. Terapi Farmakologi
a. Agonis 2 (Bronkodilator)
Agonis 2 merupakan bronkodilator yang paling efektif. Mekanisme kerjanya
yaitu dengan menstimulasi reseptor 2-Adrenergik untuk mengaktivasi adenil siklase
sehingga terjadi peningkatan AMP siklik intraselular yang menyebabkan relaksasi
otot polos, stabilisasi membrane sel mast dan stimulasi otot skelet. Pemberian secara
aerosol meningkatan bronkoselektivitas dan menyediakan respon yang lebih cepat
serta perlindungan yang lebih baik terhadap provokasi yang menginduksi
bronkospasmus (seperti latihan fisik, adanya allergen) dibandingkan pemberian
sistemik.
Terdapat dua jenis Agonis 2 berdasarkan durasinya yakni :
i. Agonis 2 kerja pendek (short-acting Agonis 2)
Diindikasikan untuk penanganan episode bronkospasmus irregular dan
merupakan pilihan pertama dalam penanganan asma parah akut karena
agonis 2 kerja pendek ini tidak meningkatkan kontrol gejala jangka panjang
namun pemakaiannya digunakan sebagai ukuran kontrol asma dan hanya
digunakan untuk mengatasi gejala.
Pada penderita asma parah akut, terapi lanjutan agonis 2 kerja pendek
menggunakan nebulizer harus diberikan dalam dosis tinggi dengan interval
pemberian sering atau melalui inhalasi dosis terukur (metered dose
inhaler/MDI) jika pemberian dengan aerosol setelah tiga dosis penggunaan
agonis 2 (tiap 20 menit) responnya tidak memuaskan dan potensial bagi
pasien yang awalnya menunjukkan adanya PAF/ Platelet-Activating Faktor
(Faktor Peangaktivasi Platelet) atau FEV1/Forced Expiratory Volume in 1
second/Forced Vital Capacity less than 80%
perkiraan normal.
22
Asma parah akut karena latihan fisik/ Bronkospasmus yang diinduksi karena
latihan fisik. Agonis 2 kerja pendek memberikan perlindungan penuh
selama paling sedikit 2 jam setelah dihirup.
Contoh obatnya seperti albuterol, bitolterol, pirbuterol, terbutalin,
metaproterenol, isoetarin dan isoproterenol.
ii. Agonis 2 kerja panjang (long-acting Agonis 2).
Diindikasikan sebagai kontrol tambahan jangka panjang untuk pasien yang
mengkonsumsi inhalasi kortikosteroid dosis rendah hingga sedang sebelum
ditingkatkan menjadi dosis sedang atau tinggi. Pada penderita asma parah
akut penggunaan agonis 2 kerja panjang tidaklah efektif karena
memerlukan 20 menit agar terjadinya onsetdan 1-4 jam untuk terjadinya
brokodilasi maksimum setelah dihirup. Lanjutkan penggunaan agonis 2
kerja pendek jika keadaan memburuk dalam kondisi akut.
Asma parah akut karena latihan fisik/ Bronkospasmus yang diinduksi karena
latihan fisik Agonis 2 kerja panjang memberikan perlindungan
signifikan 8-12 jam pada awal pemberian, tetapi durasi ini akan berkurang
pada pemakaian rutin.
Pada penderita asma nokturnal/asma yang timbul pada malam hari lebih
baik menggunakan inhalasi agonis 2 kerja panjang dibandingkan agonis 2
lepas lambat oral atau teofilin sustained-release sekali semalam.
Bagaimanapun juga asma nokturnal dapat menjadi salah satu indikator dari
penanganan asma yang kurang memadai.
Contoh obatnya seperti formoterol dan salmeterol.
Berikut ini merupakan tabel yang berisi selektivitas relative, potensi dan durasi
aksi agonis -adrenergik :
Selektivitas
Agen
Isoproterenol
++++
++++
Potensi
1
Durasi aksib
Aktivitas
Bronkodilatasi Proteksi
oral
(jam)
(jam)c
0,5-2
0,5-1
Tidak
23
Metaproterenol
Isoetarin
Albuterol
Bitolterol
Pirbuterol
Terbutalin
Formoterol
Salmeterol
+++
++
+
+
+
+
+
+++
+++
++++
++++
++++
++++
++++
15
6
2
5
5
4
0.24
3-4
0,5-2
4-8
4-8
4-8
4-8
12
1-2
0,5-1
2-4
2-4
2-4
2-4
6-12
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Ya
Ya
++++
0.5
12
6->12
Tidak
Keterangan:
a
Potensi molar relative dibandingkan dengan isoproterenol; 15= potensi terendah
b
rata-rata durasi dengan nilai tertinggi setelah dosis tunggal terendah setelah pemberian secara
berkelanjutan
c
Proteksi menujukkan pada perlindungan bronkokontriksi setelah masuknya gangguan atau allergen
penyebab alergi
penurunan
produksi
mucus
dan
hipersekresi;
mengurangi
24
25
26
maksimum tercapai dalam 30 menit. Durasi aksi ipatropium bromide adalah 4 hingga
8 jam
d. Penstabil Membran Sel Mash (Kromolin Natrium dan Nedokromil Natrium)
Mekanisme kerjanya dengan menginhibisi respon terhadap paparan allergen
seperti
EIB
(exercise-inducted
bronchospasm)
tetapi
tidak
menyebabkan
bronkodilatasi (). Penstabil membran sel mash ini efektif jika dihirup dan tersedia
sebagai obat inhalasi/inhaler dosis terukur, kromolin juga tersedia dalam larutan
nebulizer. Tidak ada agen yang seefektif inhaler kortikosteroid dalam mengontrol
asma persisten. Contoh obat dari golongan ini adalah kromolin natrium dan
nedokromil natrium.
Kromolin natrium dan nedokromil natrium tidak toksik. Efek samping dapat
mengakibatkan batuk dan bersin, rasa tidak enak dan sakit kepala untuk nedokromil
natrium. Diindikasikan untuk profilaksis asma persisten ringan pada anak-anak dan
dewasa tanpa melihat etiologinya. Keberhasilan terapi kedua obat ini seperti teofilin
atau leukotrien antagonis pada pasien asma persisten. Kromolin merupakan obat
pilihan kedua untuk pencegahan bronkospasma yang diinduksi latihan fisik dan dapat
digunakan bersama -agonis 2 dalam kasus yang lebih parah yang tidak merespon
terhadap tiap zat masing-masing. Kebanyakan pasien menunjukkan peningkatan
dalam 1-2 minggu tetapi mungkin memerlukan waktu lebih lama untuk mencapai
keuntungan maksimum. Pasien awalnya menerima kromolin atau nedokromil 4 kali
sehari, setelah stabilisasi gejala frekuensi dapat diturunkan hingga 2 kali sehari untuk
nedokromil dan 3 kali untuk kromolin.
e. Modifikator Leukotrien/ Antagonis Reseptor Leukotrien
Merupakan antagonis reseptor leukotrien local yang mekanisme
kerjanya
27
penurunan bangundi tengah malan dan penggunaan agonis 2; dan peningkatan gejala
asma. Obat golongan ini kurang efektif dibandingkan dengan kortikosteroid hirup
dalam dosis rendah dan tidak digunakan pada kondisi akut parah serta serta harus
diminum secara teratur bahkan pada periode bebas gejala. Contoh obatnya zafirlukast
(accolate), montelukast (singulair), zileuton. Zafirlukast dan montelukast secara
umum dapat diterima. Jarang terjadi peningkatan konsentrasi aminotransferase serum
dan hepatitis klinis. Sindrom idiosinkrasi mirip sindrom Chrug-Strauss, ditandai
dengan eosinofilia bersikulasi yang mencolok, gagal jantung dan vaskulitis
eosinophilik dilaporkan oleh sedikit pasien, hubungan langsung kausal belum jelas.
i. Zafirlukast (Accolate)
Dosis
:
Dewasa 20 mg 2 kali sehari, diminum palin tidak 1 jam sebelum atau 2 jam
sesudah makan dan anak-anak umur 5-11 tahun 10 mg 2 kali sehari.
ii. Montelukast (Singulair)
Dosis
Dewasa 10 mg 1 kali sehari diminum pada sore hari
tanpa
CYP3A4
(contoh:
teofilin,
warfarin).
Alanin
28
Metilxantine sudah digunakan untuk terapi asma lebih dari 50 tahun namun
penggunaannya baru-baru ini menurun secara nyata disebabkan oleh tingginya resiko
toksisitas yang mengancam dan banyaknya interaksi obat, serta menurunya efisiensi
penggunaan jika dibandingkan dengan ICSs dan LABAs. Sama seperti 2-agonis,
metilxantin berfungsi sebagai antagonis dari bronkospasma; entah bagaimana secara
klinik manfaatnya terbatas karena indeks terapeutiknya pendek.
i. Teofilin
Merupakan metilxantine primer yang memiliki potensi bronkodilator sedang
dengan sifat antiinflamasi ringan. Mekanisme kerja teofilin yaitu dengan
menginhibisi fosfodiesterase, yang juga dapat menghasilkan antiinflamasi dan
aktivitas nonbrokodilatasi lain melalui penurunan pelepasan mediator sel mast,
penurunan protein dasar eosinofil, penurunan proliferasi limfosit T, penurunan
pelepasan sitokin sel T dan penurunan eksudasi plasma. Teofilin juga
menginhibisi permeabilitas vaskular , meningkatkan klirens mukosiliar dan
memperkuat kontraksi diafragma yang kelelahan.
Teofilin terutama dieliminasi melalui metabolism sitokrom P450 hati
melalui berbagai oksidase enzim mikrosomal (terutama CYP1A2 dab CYP3A3
isoenzim), dengan 10% atau lebih sedikit dieksresikan melalui ginjal. Pemberian
teofilin pada pasien yang menderita asma kronik dapat mengurangi gejala asma,
mengurangi dosis agonis 2 inhaler yang digunakan dan mengurangi kebutuhan
kortikosteroid oral pada pasien dengan ketergantungan steroid (Dipiro, dkk.
2009).
Adapun efek samping teofilin adalah dapan menyebabkan mual dan muntah
baik dalam penggunaan secara oral, parenteral maupun rektal. Pada overdose
terjadi efek sentral (gelisah, sukar tidur, tremor dan konvulsi) serta gangguan
pernafasan, efek kardiovaskuler seperti tachycardia; aritmia; dan hipotensi. Anak
29
kecil sangat peka terhadap efek samping teofilin (Tjay, Tan Hoan dan Kirana
Rahardja. 2002)
Berikut ini merupakan rekomendasi dosis, jadwal monitoring dan
penyesuaian dosis pada penggunaan teofilin:
30
Albuterol larutan
nebulizer (5
mg/ml)
Dosis
> 6 tahun
< 6 tahun
Agonis 2 Inhaler
0,15 mg/kg (dosis
minimum 2,5 mg) /
2,5-5 mg / 20 menit
20 menit sebanyak
sebanyak 3 kali
3 kali dosis
dosis, kemudian
kemudian 0,15-0,3
2,3-10 mg setiap 1mg/kg sampai 10
4 jam sesuai
mg setiap 1-4 jam
keperluan atau 10sesuai keperluan,
15 mg/jam secara
atau 0,5 mg/kg/jam
kontinyu
dengan nebulisasi
kontinyu
Komentar
Hanya Agonis 2
selektif yang
direkomendasikan
untuk penyampaian
alternatif, larutkan
aerosolpada
minimum 4 ml
aliran gas pada
8L/menit
31
Albuterol MDI
(90 mcg/hirup)
Levalbuterol
larutan nebulizer
Diberikan pada
satu setengah dosis
albuterol diatas
Diberikan pada
satu setengah dosis
albuterol diatas
Bitolterol larutan
nebulizer (2
mg/ml)
Pirbuterol MDI
(200mcg/hirup)
Efinefrin 1:1000
(1mg/ml)
Terbutalin
(1mg/ml)
Lihat dosis
albuterol;
diperkirakan sama
Lihat dosis
kuat atau1,5 kali
albuterol
lebih kuat dari
albuterol pada basis
mikrogram
Lihat dosis
albuterol; ,5 kali
Lihat dosis
lebih kuat dari
albuterol
albuterol pada basis
mikrogram
Agonis 2 Sistemik
0,3-0,5 mg setiap
20menit sebanyak
3 dosis subkutan
0,01 mg setiap 20
menit sebanyak 3
0,25 mg setiap 20
dosis subkutan,
menit sebanyak 3
kemudian setiap 2dosis subkutan
6 jam sesuai
keperluan subkutan
Antikolinergik
Ipratropium Br,
larutan nebulizer
(0,25mg/ml)
Ipratropium Br,
MDI
(18mcg/hirup)
Dapat dicampur
dengan satu
nebulizer dengan
albuterol; jangan
digunakan sebagai
penanganan pilihan
pertama; hanya
sebagai tambahan
pada terapi agonis 2
Tidak
direkomendasika
karena dosis inhalasi
32
Prednison,
metilprednisolon,
prednisolon
Kortikosteroid
60-80 mg dalam 3
1ml/kg tiap 6 jam
atau 4 dosis terbagi selama 48 jam, lalu
selama 48 jam, lalu
1-2 mg/kg/hari
30-40 mg/hari
dalam 2 dosis
sampai PEF
terbagi hingga PEF
mencapai 70% dari 70 % dari prediksi
puncak
normal
Potensi
antiinflamasi
Potensi
mineralokorkikoid
Hidrokortison
Prednison
Metilprednisolon
Deksametason
1
4
5
25
1,0
0,8
0,5
0
Durasi
aksi
biologik
8-12
12-36
12-36
36-54
Waktu
paruh
eliminasi
1,5-2,0
2,5-3,5
3,3
3,4-4,0
37
J. Panduan Terapi
1. Pendekatan bertahap untuk penanganan asma pada orang dewasa dan anak diatas 5 tahun:
Klasifikasi keparahan: cirri klinis sebelum penanganan
Gejala/siang
PEF atau FEV1
Gejala/malam
Varibilitas PEF
LANGKAH 4
Kontinyu
60 %
Parah Persisten
Sering
> 30 %
LANGKAH 3
Sedang Persisten
Setiap hari
>1 malam/minggu
LANGKAH 2
Ringan Persisten
>2/mgg tp<1x/hari
>2 malam/minggu
LANGKAH 1
Ringan Terkadang
(Intermitten)
2 hari/minggu
Penanganan cepat
semua pasien
2 malam/bulan
80 %
20%-30%
80%
<20%
1. Bronkodilator kerja pendek : inhalasi agoniskerja pendek 2-4 hirupan digunakan pada yang masih gejala
2. Intensitas pengobatan akan tergantung pada kerasnya ekserbasi : mulai pengobatan pada interval 20 menit ataumenggunakan nebulizer
tunggal jika diperlukan
38
3. Penggunaan 2 agonis kerja pendek/ cepat lebih dari 2 kali/minggupada asma berselangintermitten (setiap hari atau peningkatan penggunaan
asma yang persisten), mengindikasikan diperlukannya peningkatan atau terapikontrol jangka panjang.
MELANGKAH KE BAWAH
MELANGKAH KE ATAS
Tinjauan pengobatan setiap 1-6 bulan; memungkinkan pengurangan
Jika kontrol tidak dapat dipertahankan, dipertimbangkanmelangkah ke atas. Pertama,
bertahap dalam pengobatan
tinjau teknik pengobatan, kepatuhan, dan kontrol lingkungan pasien
Sasaran Terapi: Kontrol asma
- Gejala kronis minimal atau tidak ada pada siang atau malam
- Mempertahankan fungsi paru-paru (mendekati) normal
- Keburukan minimal atau tidak ada
- Penggunaan minimal inhalasi agonis 2 kerja pendek
- Tidak ada batasan dalam beraktifitas; tidak bolos sekolah atau kerja
- Efek samping akibat pengobatan minimal atau tidak ada
Catatan:
Pendekatan bertahap ini hanya memandu, bukan menggantikan, keputusan yang diambil disesuaikan dengan kebutuhan pasien
Klasifikasi keparahan: masukkan pasien pada langkah paling parah dari tiap cirri yang timbul (PEF merupakan % kemampuan terbaik FEV 1 adalah % prediksi)
Capai kontrol secepat mungkin (pertimbangkan pemakaian jangka pendek kortikosteroid sistemik); kemudian melangkah ke bawah ke pengobatan terendah tang
diperlukan untuk mempertahankan kontrol.
Minimalkan penggunaan inhalasi agonis 2 aksi pendek. Ketergantungan berlebihan pada penggunaan inhalasi agonis 2 aksi pendek (contoh penggunaan inhalasi
agonis 2 aksi pendek hirup setiap hari, peningkatan penggunaan atau efek yang diinginkan tidak dicapai, atau penggunaan hampir satu canister per bulan meski
tidak digunakan setiap hari ) mengindikasikan kontrol asma yang tidak cukup dan kebutuhan untuk menginisiasi atau mengintensifkan terapi kontrol jangka
panjang.
Sediakan edukasi kontrol diri dan mengontrol faktor lingkungan yang memperparah asma (contoh allergen dan iritan). Mengacu ke spesialis asma jika terdapat
kesulitan dalam mengontrol asma atau jika memerlukan langkah ke-4. Acuan dapat dipertimbangkan jika langkah ke-3 diperlukan.
39
2. Tata Laksana Terapi di Rumah pada Penanganan Asma Akut yang Semakin Parah
40
3. Alogaritma tata laksana asma mandiri di rumah
(Infodatin)
4. Alogaritma tata laksana asma di fasilitas kesehatan tingkat pertama
41
(Infodatin)
K. Terapi pada Kondisi Khusus
1. Asma pada anak-anak
a. Terapi untuk anak usia 0-4 tahun
42
43
44
45
46
Tahap 4
Persisten Berat
Tahap 3
Persisten
Sedang
Tahap 2
Persisten
Ringan
Tahap 1
Intermitten
setiap hari
> 1 malam dlm 1
minggu
<60%-<80%
80%
>30%
20%-30%
80%
20%
47
BAB III
KUMPULAN PERTANYAAN
48
2. Studi kasus, sepupu penanya seorang perempuan yang sudah melewati masa
pubertas. Dia memiliki riwayat asma yang diturunkan secara genetik. Setiap 2
bulan sekali harus dibawa kerumah sakit untuk mendapatkan pengobatan,
kondisi pasien membaik saat menstrulasi.
a. Apakah kondisi pasien tersebut dipengaruhi oleh hormone esterogennya?
b. Lalu dia juga mendapatkan terapi salbutamol secara nebulizer, apakah
penggunaan obat tersebut aman bila digunakan secara terus-menerus?
Jawab
(Oleh : Herlinda Ardilawati, Wahyuning Dyah Pujilestari dan Mimim
Rojena)
a. Kondisi pasien yang asmanya membaik saat masa menstrulasi kemungkinan
dipengaruhi oleh keberhasilan terapi yang dijalaninya sebelumnya, apalagi
jika diketahui pasien mendapatkan terapi obat kromolin/nedokromil dalam
jangka waktu yang lama.
b. Penggunaan Salbutamol dalam bentuk nebulizer hanya diperuntukkan untuk
pasien saat mengalami gejala serangan asma, sedangkan salbutamol yang
aman digunakan dalam jangka waktu yang panjang adalah salbutamo0l
dalam bentuk inhalernya.
3. Dari Zia Anzar Watin Kelompok 2
Apakah ibu hamil yang menderita asma penyakkit asma dapat tertular pada
janinnya. Jika iya bagaimana mekanisme yang terjadi? Apakah ada kebiasaan
gaya hidup yang dapat diubah untuk membantu mengatasi asma dan untuk
mengurangi resiko serangan asma tersebut?
Jawab:
(Oleh: Fitriani)
Pada saat penderita asma hamil maka wanita tersebut harus mendapatkan
perawatan yang tepat untuk menjaga fungsi paru-paru normal dan tigkat oksigen
untuk mempertahankn pasokan oksigen yang tepat untuk janin. Pengaruh
penularan pada janin ditemkan pada kasus orang tuanya dengan faktor alergen.
Kalau pengaruh ibu hamil dan janin lebih kepada pengaruh hipoksia pada janin.
Keadaan hipoksia pada jika tidak segera diatasi tertentu akan memberikan
pengaruh buruk pada janin, berupa abortus, persalinan prematur dan berat janin
yang tidak sesuai dengan umur kehamilan. Untuk penularan dari orang tua
keanak dipengaruhi lebih warisan gen yang ada.
Gaya hidup yang dapat membantu mengurangi resiko asma sperti hindari
merokok dan tempat-tempat yang biasa digunakan untuk perokok, jangan
49
membiaran orang merokok didalam rumah maupun mobil anda, jaga berat
badan, berolahraga suapaya paru-paru sehat, hindari makaanan yang
mengandung pengawet, kontrol emosi dan sterss, konsumsi obat secara rutin.
4. Dari Rahmatun Nisa Kelompok 1
Hal apa saja yang ahrus dilakukan pada penderita asma yang harus dilakuakan
pada penderita asma tetapi mempunyai riwayat penaykkit gagal ginjal untuk
terapi non farmakologinya
Jawab :
(Oleh :Antony Putra Priambodo dan Aldiansyah)
Yang dapat dilakukan jika seorang penderita gagal ginjal dan asma
a. Menghindari makanan berpurin tinggi, makanan berpurin tinggi antara lain
seafood,junkfood, makanan asin dan jerohan. Makanan berpurin tinggi akan
menyebabkan penggumpalan purin pada ginjal sehingga glumerolus tidaka
akan menyaring kotoran ataupun racun dalam darah.
b. Konsumsi air putih, untuk melarutkan kotoran yang terdapat pada ginjal
sehingga fungsi ginjal dapat berjalan dengan mudah dalam penayrinagn.
Minimal 8 gelas sehari maka racun yang terdapat didalam darah akan
mampu disaring atau filtrasi dengan glumerolus dengan baik.
c. Senam asma, meupakan penunjang pengobatan asam karena eberhaslan
pengobatanasma tidak hanya ditentukan oleh oabat asma yang dikonsumsi,
namun juga faktor gizi dan olahraga. Bagi penderita asma diperluan untuk
memperkuat otot-otot pernapasan.
5. Dari Kadijah Kelompok 4
Berapa lama jangka penggunaan kortikosteroid pada anak, yang dapat kita
ketahui salah satu efek samping dari kortikosteroid yaitu menghambat
pertumbuhan pada anak, lalu apakah ada terapi lain yang lebih aman?
Jawab :
(Oleh: Wahyuning Dyah Pujilestari)
Pemakaian kortikosteroid untuk penderita asma dengan serangan berat perlu
diberikan kortikosteroid oral dan penggunaan nya pada saat itu saja, tetapi untuk
mencegah gejala asma dapat diberikan kortikosteroid inhalasi dengan dosis
rendah yang lebih aman, kortikosteroid inhalasi biasaya dikombinasi dengan
brokodilator, untuk terapi lain dapat dimulai dengan cara membiakan jauh dari
paparan yang menybabkan asma, dan dengan pengobatan tradisional untuk
mencegah serangan asma pada anak.
6. Dari Nurhayanah
50
Berapa lama jangka penggunaan kortikosteroid pada asma resisten steroid dana
sma dependen steroid ? berapa dosis untuk penggunaan kortikosteroid
bersamaan imunosupresive? Jika dalam jangka panjang terapi apa yang
diguanakn untuk mengatasi efek samping penggunaan jangka panjang
kortikosteroid seperti seringnya terinfeksi jamur pada mulut akibat dari salah
satu mekanisme kortikosteroid yaitu menekan sistem imun.
Jawab :
(Oleh :Herlinda Ardilawati)
Suatu kondisi asma kronik berat dapat terkontrol hanya bila ditambahkan
steroid sistemik dalam pengobatan. Steroid sistemik yang dimaksudkan adalah
steroid oral jangka panjang. Seringkali penderita menggunakan steroid oral
jangka panjang bukan disebabkan asma yang sulit terkontrol, akan tetapi
disebabkan hal lain.Kondisi di bawah ini yang memungkinkan penderita
menggunakan steroid oral jangka panjang, seperti :
o
merokok
Untuk lama penggunaan dilihat dari keadaan individu yang menderita asma dan
tingkat kemungkinan atau sejauh mana penderita asma terpapar faktor penetus asma
berat.
Asma yang resisten steroid adalah suatu keadaan asma yang menunjukkan gagal
respons pengobatan walau telah diberikan steroid oral sekalipun. Penting untuk diyakini
sebelum mendiagnosis sebagai asma yang resisten steroid, yaitu apakah penderita benar
memiliki asma, bagaimana kepatuhan pengobatan dan adakah masalah dengan absorpsi
steroid oral.
Pengobatan steroid oral yang bagaimana, dan respons pengobatan seperti apa
yang diharapkan sampai penderita dinyatakan sebagai asma yang resisten steroid, hal itu
yang masih kontroversial. Akan tetapi pada prinsipnya adalah pengobatan steroid oral
51
dosis besar ( 20 mg/ hari) selama 10-14 hari, dengan harapan memberikan respons
pengobatan yaitu meningkatnya VEP1 (idealnya diukur pagi hari sebelum pemberian
bronkodilator) sebanyak > 15%. Bila setelah pemberian steroid oral tersebut, penderita
gagal menunjukkan perbaikan VEP1 > 15% dari nilai awal (baseline), maka dinyatakan
sebagai asma yang resisten steroid. Berbagai kondisi dapat menyebabkan terjadi asma
yang resisten steroid antara lain ada defek selular pada respons steroid.
Penatalaksanaan asma yang resisten steroid adalah sama dengan asma yang
tergantung
dengan
steroid
(steroid
dependent
asthma)
yaitu
mengupayakan
Tablet 4, 8,16 mg
Short-course :
Short-course:
24-40 mg /hari
Tablet 5 mg
3-10
hari
Untuk dosis contohnya dosis siklosporin dosis awal 2,5 mg/kg bb tiap hari dengan 2
dosis terbagi, tidak diperuntukkan untuk anak kurang 16 tahun.
Untuk penggunaan jangka panjang kortikosteroid inhalasi dapat emnyebabkan
infeksi jamur pada mulut hal ini dapat diatasi dengan berkumur setelah
menggnakan sediaan inhalasi.
7. Dari Windi Kelompok 2
Bagaimana mekanisme alergen dapat menimbulkan asma dan menagpa stress
dapat menyebabkan asma
Jawab :
(Oleh : Idda Mawaddah)
52
53
positif dan atipik yaitu makrolid , golongan kuinolon dan alternatif lain seperti
amoksisilin dengan asam klavulanat.
10. Dari Citra Kelompok
Bagaimana tata laksana terapi asma pada kehamilan
Oleh : Hasyifa
Pada saat hamil, pemberian obat-obatan harus hati-hati , jika tidak terkontrol
bisa menimbulkan masalah pada bayi berupa peningkatan kematian apda
bayi,lahir prematur, peningkatan kematian perinatal, pertumbuhan janin
terhambat . pada umumnya obat yang tidak digunakan adrenergik,
bromfeniramin, dan efineprin. Kortikosteroid inhalasi sangat bermanfaat untuk
mengontrol asma dan mencegah serangan akut terutama saat kehamilan. pada
pasien asma yang akan melahirkan dnegan sebelumnya pemberian kortikosteroid
selama 6 bulan dengan ssitemik maka selama operasi yaitu hidrokortison IV 100
mg atau ekivalennya setiap 8 jam dan segera diturunkan dalam 24 jam
pembedahan.
11. Dari Safira Evani Rizki Anwar Kelompok 3
Apa kah asma ada hubungannya dengan sinusitis dan polip hidung
Jawab :
(Oleh : Mimim Rojena)
Hubungan asma dengan sinusitis, sinusitis adalah suatu komplikasi dari infeksi
saluran napas atas, rinitis alergi, polip hidung dan obstruksi hidung lainnya.
Sinusitis akut dan kronik dapat mencetuskan asma.
Polip hidung dihubungkan dengan asma, rinitis dan sensitif terhadap aspirin.
Tujuh sampai 15% penderita asma mempunyai polip hidung, frekuensi tertinggi
pada penderita usia lebih dari 50 tahun. Dua puluh sembilan sampai 70%
penderita dengan polip hidung menderita asma. Polip hidung mempunyai
respons yang baik pada pemberian steroid sistemik dan steroid topikal.
11 . Dari Ahmad Rizal Kelompok 8
Kenapa katanya obat NSAID dapat memperburuk asma
Oleh : Idda Mawaddah
Obat golongan NSAID dapat menghamabt jalur siklooksigenasi dihambat,
metabolisme jalur lipooksigenase menjadi meningkat dan produksi leukotrine
meningkat. Leukotriene dapat menyebabkan bronkokontriksi, sehingga terjadi
penyempitan saluran napas
12. Dari Ridha Azizatun Nisa
Apakah terapi pada penderita asma berhubungan dengan nyeri hati?
Oleh : Miimim Rojena
54
Asma tidak berhubungan sama sekali dengan nyeri hati, keduanya memiliki
penanganan terapinya masing-masing. Asma disebabkan karena adanya paparan
allergen sengakan nyeri di ulu hati disebabkan karena aliran balik isi asam
lambung ke dalam esophagus (acid reflux).
13. Dari Nurmiati kelompok 5
Apakah asma ada hubungan dengan jenis kelamin, kalau ada lebih rentan yang
mna laki apa perempuan. Terus apa asma bisa sembuh total. Apa asma dapat di
urut/dipijat?
(Oleh: Wahyuning Dyah Pujilestari)
Jawab:
Asma pada masa kanak - kanak lebih banyak terjadi pada anak pria
dibandingkan anak perembuan. Apa yang menjadi penyebab hal ini masih belum
diketahui, meski beberapa ahli menemukan ukuran jalur nafas pria muda lebih
kecil dibandingkan dengan jalur nafas wanita. Pada sekitar usia 20 tahun, rasio
asma antara pria dan wanita adalah sama. Sedangkan pada usia 40 tahun, wanita
lebih banyak mengalami asma dibandingkan pria.
Asma tidak dapat disembuhkan, tetapi gejalanya
dapat dikendalikan
55
56
DAFTAR PUSTAKA
Chung, K.F., 2002. Clinicians Guide to Asthma. United States of America: Oxford
University Press: 12-22.
Depkes RI. 2009 Pedoman pengendalian penyakit asma. United States of America: The
McGraw-Hill Companies.
Dipiro, dkk. 2009. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach.
GINA.
2006.
Guide
for
Asthma
Management
and Prevension
In
Children . www.Ginaasthma.org.
Global Initiative for Asthma (GINA), 2009. Global Strategy for Asthma Management
and
Prevention.
Available
from: http://www.ginasthma.com/download.asp?intId=411
Mansjoer, A dkk. 2008. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius.
National Education and Prevention Program (NAEPP). 2005. Guidelines for the
diagnosis and management of asthma. United States: National Heart,
Lung and Blood Institute (NHLBI) of National institutes of Health
(NIH) Publication.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK): Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), 2006. Asma: Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
57
Smeltzer, S.C & Bare, B.G, 2002, Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2, Alih
Bahasa Kuncara, H.Y, dkk, EGC, Jakarta.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2002. Obat Obat Penting. Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo.
Vitahealth. 2006 . Asma: Informasi Lengkap untuk Penderita & Keluarganya. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.