Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN
A; Latar Belakang

Balaghah merupakan ilmu sastra di atas kajian morfologi dan sintaksis, kajian
balaghah berpijak pada kedua ilmu tersebut, yang secara teori prasyarat mempelajari
balaghah harus menguasai morfologi (sharf) dan sintaksis (nahwu). Sebagai mahasiswa
pendidikan bahasa arab, maka kita dituntut untuk mempelajari balaghah, sebagai bahan
pengetahuan kita untuk mempelajari bahasa al quran maupun syair-syair arab yang
kebanyakan mengandung unsur balaghah di dalamnya.
Balaghah memuat tiga pembahasan yaitu ilmu maan, bayan dan badi.
Sebagaimana dalam perkuliahan balaghah ini difokuskan dalam ilmu maani yang
membahas tentang menyusun kalimat supaya menjadi indah dan dapat memposisikan
atau dapat melihat situasi dan kondisi kedudukan mukhotob, sehingga kalam tersebut
memperoleh respon yang positif.
Dalam balaghah terdapat beberapa kajian. Dalam makalah ini akan dibahas
mengenai nida dan qasr baik pengertian serta jenis-jenisnya. Demikianlah hal-hal yang
akan kami bahas dalam makalah ini.
B; Rumusan Masalah
1;
2;
3;
4;

Apa definisi nida dan qasr?


Bagaimana cara membentuk qasr?
Apa saja macam-macam qasr?
Bagaimana contoh-contoh nida dan qasr dalam al-quran?

C; Tujuan Masalah
1;
2;
3;
4;

Mengetahui definisi nida dan qasr


Mengetahui bagaimana cara membentuk qasr
Mengetahui macam-macam qasr
Mengetahui contoh-contoh nida dan qasr dalam al-quran

BAB II
PEMBAHASAN
A; Pengertian Nida dan Qasr
1

1; Pengertian Nida

Menurut Abdul Qodir Husain (1984:151) dalam kitabnya Fan Al-Balagoh


menyebutkan:

.
Nida ialah tuntutan mutakallim yang menghendaki orang yang diajak
bicara menghadapnya dengan menggunakan salah satu huruf nida.
Ahmad Al-Hasyimi (1960:105) dalam kitabnya Jawahirul Balaghah
menyebutkan:

" "
Nida ialah mutakallim menuntut mukhottob hadir menghadap padanya
dengan menggunakan kata yang berarti saya menyeru.

. : :
1.

2.

Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa huruf-huruf nida ada 8, yakni


hamzah, ay, aa, yaa, aay, ayaa, hayaa,dan waa. Dimana hamzah dan ay digunakan
untuk munada dekat, sedangkan untuk memanggil munada jauh menggunakan aa,
yaa, aay, ayaa, hayaa,dan waa.
Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin (2014:297) menjelaskan bahwa
atas dasar pertimbangan balaghah kadang-kadang huruf nida dapat
digunakan dengan menyalahi fungsi aslinya.
Jadi, karena tujuan balagah adakalanya munada yang jauh diletakkan menjadi
munada dekat dengan menggunakan huruf memanggil dekat (huruf munadi qarib)
sebagai isyarat dekatnya munada dalam hati orang yang memanggil, seperti ungkapan
penyair:

*
*

Wahai pemilik kehambaanku, dan orang yang bertabiatmemberikan perak


dan kemerdekaan hamba. Aku memanggilmu ketika tidak ada lagi harapan,
sedangkan kematian itu bagiku seperti urat nadi.

Ada kalanya juga munada yang dekat diletakkan menjadi munada yang jauh,
sebagai isyarat karena munadanya memiliki ketinggian derajat, rendah kedudukannya
juga karena kelalaian hati munada, seperti contoh berikut:
a; Yang dipanggil sangat tinggi derajatnya, seperti perkataan Abu Nawas :

*
Wahai Rabb-ku, seandainya dosa-dosaku sangat besar, maka sesungguhnya
aku tahu bahwa pengampunan-Mu itu lebih besar.
Sekalipun Allah dekat Aqrobu min Habil Warid, tetapi Abu Nawas
menggunakan huruf Nida ya yang biasanya dipergunakan untuk panggilan jauh.
Hal ini dikarenakan Allah sangat tinggi jauh melebihi derajatnya. Jauh perbedaan
dalam derajat dan kedudukan seakan-akan jauh dalam tempat.
b; Yang dipanggil dianggap sangat rendah kedudukannya, seperti:

*
Inilah nenek moyangku, maka tunjukkanlah kepadaku orang-orang seperti
mereka ketika pada suatu saat kita bertemu dalam suatu pertemuan, wahai
Jarir
Sekalipun Jarir tepat dihadapannya, tetapi Al-Faradzdaq menggunakan nida ya
yang seharusnya digunakan untuk munada yang jauh. Ini karena Al-Faradzdaq
menganggap Jarir kedudukannya lebih rendah darinya.
c; Yang dipanggil dianggap lalai atau lupa, seperti kata penyair yang ditujukan
kepada pengumpul harta yang tidak ada batasnya.

Wahai pengumpul harta yang tidak ada batas ? untuk apakah kau
kumpulkan semua itu sedangkan engkau akan mati ?

Sekalipun dekat tapi dipanggilnya dengan ayaa dikarenakan orang lalai dan lupa
itu menurutnya tidak ada pada satu tempat dengan kedudukannya.
Menurut Abdul Aziz Atiq (1985:118) nida memiliki makna untuk
menghadap, tetapi kadang-kadang nida memiliki makna lain diantaranya:
a; Al-Jazru (melarang), seperti :

Wahai hati ! aneh, engkau tidak mau mendengarkan orang yang


menasehatimu, dan belum pula engkau membersihkan dan menjaga cercaan
orang.
b; Attahassuru Wattawajjuu ( merasa menyesal dan sakit), seperti :

*
Wahai kuburan Maan ! bagaiman engkau bisa menutupi kedermawanannya
sedangkan daratan dan lautan penuh dengan kebaikannya.
c; Al-Igroo (mendorong, memberi semangat,) seperti yang ditujukan kepada orang

yang sedang teraniaya :

,
Wahai orang yang teraniaya, bicaralah
d; Istigosah (mohon pertolongan) seperti ungkapan:


Wahai yang memiliki kekuatan terhadap orang-orang yang lemah
e; Taajub (kekaguman) seperti:


Alangkah indahnya musim semi

f;

An-nudbah (ratapan atau mengaduh) seperti:


Duhai hatiku ini
g; Al-ikhtishos (mengkhususkan) seperti:

Hanya dengan ilmu kalianlah wahai para pemuda, Negara itu akan
terhormat dan bangkit
2; Pengertian Qasr

Qasar atau al-qasru ( )menurut pengertian etimologi (bahasa) adalah AlHabsu (), artinya menahan, melarang atau memenjarakan (Ahmad Bachmid
1996:184). Ada juga yang mengatakan qasr secara bahasa yaitu takhshish yang
berarti pengkhususan (Drs. H. Ahmad Izzan, M,Ag: 2012:28). Sedangkan menurut
istilah, Maman Dzul Iman (2014:61) mengatakan:


Qasr yaitu mengkhususkan sesuatu terhadap yang lainnya dengan cara
tertentu.
Imam Akhdhori (T.th:116) memberikan pengertian qasr dalam kitabnya yang
berjudul Jauharul Maknun, yaitu sebagai berikut:

*
Pentakhsisan (penentuan) suatu perkara secara mutlak bagi perkara
lainnya ialah yang mereka sebutkan dengan qasr.
Jadi dapat disimpulkan pengertian qasr ialah pengkhususan suatu perkara
pada perkara lain dengan cara yang khusus.
B; Cara Membentuk Qasr

Cara membentuk qasr menurut Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin (2014:306)
terbagi menjadi 4 cara, yaitu:
1; Dengan menggunakan nafy (penafian) yang disusul dengan istitsn` (pengecualian),

seperti:

sesungguhnya (pemuda) ini hanyalah malaikat yang mulia. (Ysuf:31).
2; Dengan menggunakan , contohnya:

orang yang paham hanya Ali.
3; Dengan athaf dengan huruf ,, atau , seperti:


aku hanyalah pengarang, bukan pujangga.


aku bukanlah akuntan, hanya sekretaris.
4; Mendahulukan lafadz yang seharusnya diakhirkan, seperti:
5


hanya kepada kaum lelaki pekerja kami memuji.
C; Macam-Macam Qasr

Ali Al-Jarim dan Musthafa Amin (2014:307-309) membagi qasr menjadi 2, yaitu
sebagai berikut:
1; Berdasarkan Hakikat dan Kenyataan
a; Hakiki, yaitu qashr yang pengkhususannya berdasarkan fakta dan kenyataan,
bukan berdasarkan idhafah (penyandaran) terhadap sesuatu yang lain. Contoh:


penulis hanyalah Ali.
b; Idhafi, yaitu qashr yang pengkhususannya berdasarkan idhfah kepada sesuatu
yang tertentu. Contoh:


Ali hanya berdiri.
Berdasarkan keadaan mukhatab, qasr idhafi terbagi menjadi 3 yaitu:
1; Qashr ifrad, apabila orang yang diajak bicara meyakini kenyataannya lebih
dari satu, seperti apabila Anda mengatakan:


yang berdiri hanyalah Muhammad
kepada seseorang yang meyakini bahwa orang yang berdiri adalah
Muhammad dan juga Ali, maka qashr ini disebut qashr ifrd.
2; Qashr qalb: Seseorang meyakini bahwa Amr adalah sekretaris, kemudian
saya katakan:


sekretaris hanyalah Ali
ini adalah qashr qalb, karena orang yang diajak bicara meyakini bahwasanya
tidak ada sekretaris kecuali Amr, namun sekarang saya balikkan persepsinya.
Ini dinamakan qashr qalb
3; Qashr tayin: Seseorang yang meyakini kenyataannya satu tetapi bingung
apakah sekretarisnya Khalid atau Ali, maka saya mengatakan:


sekretaris hanyalah Khalid

Ini adalah qashr tayn.


2; Berdasarkan Tharaf
a; Qashr shifat ala maushuf (membatasi sifat dari yang disifati). Contoh:


"Pemberi rezeki hanyalah Allah.
b; Qashr maushuf ala shifat (membatasi sesuatu yang disifati dari suatu sifat).
Contoh:



orang yang dermawan hanyalah Ali.
D; Contoh-Contoh Nida dan Qasr dalam Al-Quran
1; Contoh Nida dalam Al-Quran

(101 : )
Munada dekat tetapi menggunakan huruf nida ya untuk munada jauh, karena
munada dianggap kedudukannya lebih rendah dari mutakallim.

(29 : )
Nida memiliki makna larangan.

(30 : )
Nida memiliki makna penyesalan.

(130 : )
Nida memiliki makna larangan.

: )
(4
Munada dekat tetapi menggunakan huruf nida ya untuk munada jauh, karena
munada dianggap orang yang tinggi derajatnya.
2; Contoh Qasr dalam Al-Quran

(5 : )
Mendahulukan lafadz yang seharusnya diakhirkan.

(144 : )
Qasr idhafi, maushuf ala sifat, nafyi dan istitsna.

(171 : )
Qasr hakiki, sifat ala maushuf, innama.

(28 : )
Qasr hakiki, sifat ala maushuf, innama.

(40 : )
Qasr idhafi, maushuf ala sifat, innama.
7

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Nida ialah mutakallim menuntut mukhottob hadir menghadap padanya dengan
menggunakan kata yang berarti saya menyeru. Adakalanya munada yang jauh diletakkan
menjadi munada dekat dengan menggunakan huruf memanggil dekat, ada kalanya juga munada
yang dekat diletakkan menjadi munada yang jauh.
Nida memiliki makna lain diantaranya:
1; Al-Jazru (melarang)
2; Attahassuru Wattawajjuu ( merasa menyesal dan sakit)
3; Al-Igroo (mendorong, memberi semangat)
4; Istigosah (mohon pertolongan)
5; Taajub (kekaguman)
6; An-nudbah (ratapan atau mengaduh)
7; Al-ikhtishos (mengkhususkan)
Qasr ialah pengkhususan suatu perkara pada perkara lain dengan cara yang khusus. Cara
membentuk qasr terbagi menjadi 4 cara, yaitu:
1; Dengan menggunakan nafy (penafian) yang disusul dengan istitsn` (pengecualian)
2; Dengan menggunakan ,
3; Dengan athaf dengan huruf ,, atau
4; Mendahulukan lafadz yang seharusnya diakhirkan.
Macam-macam qasr, yaitu sebagai berikut:
1; Berdasarkan Hakikat dan Kenyataan
a; Hakiki
b; Idhafi
2; Berdasarkan Tharaf
a; Qashr shifat ala maushuf
8

b; Qashr maushuf ala shifat

Referensi
Atiq, Abdul Aziz. 1985. Ilmul Maani. Beirut: Daarun Nadhotul Arabiyah.
Akhdhori, Imam. T.th. Jauharul Maknun. Surabaya: Al-Hidayah.
Al-Hasyimi, Ahmad. T.th. Jawahirul Balaghah. Indonesia: Maktabah Daar Ihya Al-Kutub AlArabiyah.
Al-Jarim, Ali dan Musthafa Amin. 1994. Terjemahan Al-Balaghatul Waadhihah. Bandung: Sinar
Baru Algesindo.
Bachmid, Ahmad. 1996. Darsul Balaghah al-Arabiyah: Al-Madkhal fi Ilmil Balaghah wa-Ilmil
Maani. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Husain, Abdul Qodir. 1984. Fan Al-Balagoh. Beirut: Alimul Kutub.
Iman, Maman Dzul. 2014. Menyingkap Rahasia Balaghah dalam Karya Al-Barzanjiy.
Yogyakarta: Deepublish.
Izzan, Ahmad. 2012. Uslubi Kaidah-Kaidah Dasar Ilmu Balaghah. Bandung: Tafakur.

Anda mungkin juga menyukai