Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Dasar
2.1.1

Larutan
Dalam kehidupan sehari- hari, istilah larutan sudah sering didengar. Larutan

didefinisikan sebagai campuran homogen yaitu campuran yang memiliki komposisi


serba sama di seluruh bagian volumenya. Suatu larutan terdiri dari satu atau beberapa
macam zat terlarut dan satu pelarut. Secara umum zat terlarut merupakan komponen
yang jumlahnya sedikit sedangkan pelarut adalah komponen yang terdapat dalam
jumlah banyak. Larutan yang mengandung dua komponen yaitu zat terlarut dan
pelarut disebut sebagai larutan biner (Laksono, 2004).
Proses terjadinya suatu larutan dapat mengikuti salah satu mekanisme berikut:
1. Zat terlarut bereaksi secara kimia dengan pelarut dan membentuk zat yang baru.
2. Zat terlarut membentuk zat tersolvasi dengan pelarut.
3. Terbentuknya larutan berdasarkan dispersi.
Reaksi kimia dengan pelarut dapat terjadi apabila ada interaksi antara pelarut
dan zat terlarut dengan pemutusan satu atau lebih ikatan kimia. Contoh dari gejala ini
adalah:

P2O5 + 3H2O
NH3 + H2O

2H3PO4
NH4OH

Pada contoh diatas terbentuk sistem homogen tetapi sifat kimia zat terlarut
berubah.
Golongan yang kedua, masih menunjukkan adanya antaraksi antarpelarut dan
zat terlarut, tetapi tidak sekuat golongan yang pertama dan tidak disertai perubahan
sifat dari zat terlarut. Antaraksi yang terjadi ialah bentuk solvasi, dan dinamakan
hidratasi jika pelarutnya air. Solvasi biasanya disebabkan karena adanya antaraksi
antara pelarut polar terhadap zat terlarut yang polar pula, seperti bila garam NaCl
dilarutkan dalam air. Molekul air sebagai dwikutub mengelilingi ion-ion Na+ dan Cl-.
Dalam hal ini dikatakan ion-ion Na+ dan Cl- dalam kedaan tersolvasi. Solvasi dapat

pula terjadi antara molekul yang polar, misalnya etanol C 2H5OH dengan air. Oleh
karena itu alkohol dapat larut dalam air.
Sedangkan, proses terjadinya larutan berdasarkan dispersi dapat ditunjukkan
oleh CCl4 dan benzena. Kedua molekul ini non polar sehingga tidak ada gaya tarik
menarik antara kedua zat tersebut. Kelarutan dalam hal ini disebabkan karena adanya
kecenderungan dari benzena dan karbon tetraklorida untuk terdispersi sejauh
mungkin (Azizah, 2004).
Kemampuan pelarut melarutkan zat terlarut pada suatu suhu mempunyai batas
tertentu. Larutan dengan jumlah maksimum zat terlarut pada temperatur tertentu
disebut sebagai larutan jenuh. Sebelum mencapai titik jenuh, larutan disebut larutan
tidak jenuh. Namun kadang- kadang dijumpai suatu keadaan dengan zat terlarut
dalam larutan lebih banyak daripada yang seharusnya dapat larut dalam pelarut
tersebut pada suhu tertentu, larutan yang mempunyai kondisi seperti ini dikatakan
sebagai larutan lewat jenuh (Laksono, 2004).
2.1.2

Kelarutan
Kelarutan adalah suatu sifat zat kimia padatan, cairan ataupun gas yang

dinamakan zat terlarut yang dilarutkan dalam suatu zat pelarut padatan, cairan
ataupun gas untuk membentuk suatu larutan homogen dari zat terlarut dalam zat
pelarut. Kelarutan dari suatu zat pada dasarnya tergantung pada jenis zat pelarut yang
digunakan juga pada temperatur dan tekanan. Tingkat kelarutan suatu zat dalam
pelarut spesifik diukur dengan konsentrasi kejenuhan di mana penambahan lebih
banyak zat terlarut tidak dapat meningkatkan konsentrasi suatu larutan.
Seringkali, pelarut merupakan suatu cairan, yang dapat berupa suatu zat murni
atau suatu campuran. Ada juga larutan padat, tetapi larutan gas juga sangat jarang
dijumpai. Tingkat kelarutan memiliki batas yang sangat luas, mulai dari bisa
dilarutkan hingga tak terhingga (larut sempurna) seperti etanol dalam air, sampai
yang sukar larut seperti perak klorida dalam air. Istilah tidak larut sering ditujukan
untuk senyawa yang sukar larut. Dalam keadaan tertentu, keseimbangan kelarutan
dapat ditingkatkan dengan memberikan larutan yang sangat jenuh yang metastabil
(Sisodiya, dkk., 2012).

Zat pelarut adalah komponen yang membentuk unsur utama dari suatu larutan
dan memiliki kemampuan untuk melarutkan zat lain untuk membentuk suatu
campuran yang tersebar merata pada tingkat molekuler. Zat terlarut adalah zat yang
ada dalam jumlah kecil dan larut dalam zat pelarut. Kelarutan suatu zat terlarut
adalah kuantitas maksimum zat terlarut yang dapat larutpada suhu tertentu (Patil,
dkk., 2011).
Kelarutan dari suatu zat di dalam zat lain ditentukan oleh keseimbangan gaya
antarmolekul antara zat terlarut dan zat pelarut, dan perubahan entropi yang terjadi
bersamaan dengan pelarutan. Faktor seperti temperatur dan tekanan akan mengubah
keseimbangan ini sehingga mengubah kelarutan.
Kelarutan juga tergantung pada kehadiran jenis zat terlarut lain dalam zat
pelarut, contohnya pembentukan kompleks anion dalam cairan. Kelarutan juga
tergantung pada kelebihan atau defisiensi dari suatu ion umum dalam larutan, sebuah
fenomena yang dinamakan efek ion-umum. Pada tingkat yang lebih rendah,
kelarutan akan tergantung pada kekuatan ion dalam larutan. Kelarutan (metastabil)
juga tergantung pada ukuran fisik suatu kristal atau butiran zat terlarut (Sisodiya,
dkk., 2012).
2.2

Pengaruh Temperatur pada Kelarutan


Kelarutan suatu solut pada pelarut tertentu sangat bergantung pada suhu. Pada

sebagian besar padatan yang dapat larut dalam air, kelarutan akan semakin
meningkat jika suhu dinaikkan melebihi 100 C. Solut ionik yang terlarut pada air
bersuhu tinggi (mendekati suhu kritis) cenderung berkurang karena perubahan sifat
dan struktur molekul air. Selain itu, tetapan dielektrik menyebabkan pelarut kurang
polar. Kelarutan senyawa organik selalu meningkat dengan naiknya suhu. Inilah yang
mendasari teknik pemurnian dengan rekristalisasi yang memanfaatkan perbedaan
kelarutan solut pada suhu rendah dan tinggi.
Jika kelarutan zat padat bertambah dengan kenaikan suhu, maka kelarutan gas
berkurang bila suhu dinaikkan, karena gas menguap dan meninggalkan pelarut. Ikan
akan mati dalam air panas karena kelarutan oksigen berkurang. Minuman akan
mengandung CO2 lebih banyak bila disimpan dalam lemari es dibandingkan di udara
terbuka (Damayanti, dkk, 2013).

Proses pelarutan melibatkan pemecahan antar-ionik atau antarmolekul zat


terlarut tersebut, pemisahan molekul-molekul pelarut untuk memberikan ruang dalam
zat pelarut untuk zat terlarut, serta interaksi antara zat pelarut dan molekul zat
terlarut atau ion (Patil, dkk., 2011).

2.3

Jenis Jenis Larutan


Jika sejumlah air kita tambahkan secara terus-menerus zat terlarut, lama-

kelamaan akan mencapai suatu keadaan dimana semua molekul air terpakai untuk
menghidrasi semua partikel yang dilarutkan sehingga larutan itu tidak mampu lagi
menerima zat yang ditambahkan. Pada saat seperti itu, kita menamaknnya larutan
jenuh.
Larutan jenuh didefinisikan sebagai larutan yang telah mengandung zat terlarut
dalam konsentrasi maksimum (tidak dapat ditambah lagi). Harga konsentrasi
maksimum yang dapat dicapai oleh suatu zat dalam larutan disebut kelarutan
(solubility), dengan lambang s. Jadi, kelarutan suatu zat adalah konsentrasi zat
tersebut dalam keadaan jenuh. Suatu zat tidak memiliki konsentrasi yang lebih besar
dari harga kelarutannya (Setiani, 2008).
Sebelum mencapai titik jenuh, disebut larutan tidak jenuh. Sedangkan suatu
keadaan denganzat terlarut lebih banyak dari pada pelarut, disebut larutan lewat
jenuh. Jadi , larutan yang mengandung 2 g KIO3 dalam 100 g air pada

0oC

adalah

larutan tidak jenuh (Azizah, 2004).


2.4

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelarutan


Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kelarutan suatu zat

yaitu :
2.4.1 Temperatur
Kelarutan zat terlarut dalam zat pelarut tergantung pada temperatur atau suhu.
Pada banyak padatan yang terlarut dalam cairan, kelarutan meningkat dengan
temperatur sampai di atas 100C. Dalam cairan pada temperatur tinggi (misalnya
yang mendekati temperatur kritis), kelarutan suatu zat terlarut ionik cenderung
menurun yang disebabkan oleh perubahan sifat dan struktur dari cairan. Zat terlarut

yang berupa gas memperlihatkan kelakuan yang lebih rumit terhadap temperatur.
Semakin tinggi temperatur, gas biasanya semakin kurang larut dalam air, tetapi lebih
larut dalam pelarut organik. Kelarutan dari suatu senyawa organik cenderung naik
dengan bertambahnya temperatur. Teknik rekristalisasi, yang digunakan untuk
pemurnian padatan, tergantung pada perbedaan kelarutan zat terlarut dalam pelarut
yang panas dan dingin (Sisodiya, dkk., 2012).
2.4.2 Polaritas
Peribahasa yang terkenal yang digunakan untuk memprediksi adanya kelarutan
adalah like dissolves like. Pernyataan ini menunjukkan bahwa zat terlarut akan larut
dengan baik pada pelarut yang memiliki struktur kimia yang sama. Kapasitas
pelarutan keseluruhan dari pelarut tergantung terutama pada polaritasnya.
Contohnya, sebuah zat terlarut yang sangat polar (hidrofilik) seperti urea sangat
mudah larut dalam pelarut polar air, kurang larut pada metanol yang hampir polar,
dan tidak larut pada pelarut nonpolar seperti benzena. Sebaliknya, zat terlarut yang
nonpolar atau lipofilik seperti naftalena tidak larut dalam air, hampir larut dalam
metanol, dan sangat mudah larut dalam bezena yang (Sisodiya, dkk., 2012).
2.4.3 Efek pH
Kelarutan dari garam sebuah asam lemah tergantung pada pH larutan tersebut.
Ion hidrogen bergabung dengan anion dari garam untuk membentuk asam lemah
sehingga meningkatkan kelarutan dari garam (Underwood, 2002).
2.4.4 Efek Pembentukan Kompleks
Kelarutan sebuah garam yang sedikit larut juga tergantung atas konsentrasi zat
yang membentuk kompleks dengan kation garam. Banyak endapan membentuk
kompleks yang dapat larut dengan ion dari unsure pengendapan itu sendiri. Dalam
kasusseperti ini, kelarutan menurun terlebih dahulu dikarenakan adanya efek ion
sekutu, setelah melalui nilai minimum, meningkat ketika pembentukan kompleks
mulai nyata (Underwood, 2002).

2.5

Aplikasi Percobaan Kurva Kelarutan


Pemurnian Butinediol dalam Pembuatan Butideniol dari Gas Asetilen

dan Formaldehid
Butinediol merupakan senyawa organik yang merupakan alkuna dan suatu diol.
Butinediol merupakan kristal kuning yang larut dalam air dan etanol. Butinediol
banyak digunakan pada industri pembuatan butanediol, tetrahidrofuran, pirolidone
dan beberapa produk lain. Butinediol juga dapat digunakan untuk konversi eter
dengan etilen oksida pada proses brominasi, bahan- bahan pelindung untuk alat
pabrik, pestisida, bahan tambahan pada industri cat dan tekstil.
Proses pemurnian produk dilakukan dari alur keluaran reaktor yang terlebih
dahulu diturunkan tekanannya sampai 1 atm kemudian dilewatkan melalui cooler
untuk diturunkan suhunya sampai 40oC, kemudian dilewatkan menuju knock out
drum pada kondisi 1 atm dan suhu 40oC. Asetilen yang tidak bereaksi pada reaktor
akan terpisah dan direcycle ke mixer untuk digunakan kembali.
Aliran bawah knock out drum yang telah terpisah dari gas asetilen dilewatkan
menuju disk sentrifuge dimana katalis akan direcovery kembali. Aliran keluaran dari
disk sentrifuge yang telah dipisahkan katalisnya, akan dipompakan menuju heater
untuk menaikkan temperatur sampai suhu 122,83oC yang kemudian dialirkan menuju
unit distilasi yang dioperasikan pada tekanan 2 atm pada suhu 122,38 oC. Produk
butinediol akan diperoleh pada alur bawah diteruskan ke cooler dimana terjadi
penurunan suhu hingga 54oC. Butinediol yang telah diturunkan temperaturnya akan
mengalami pembentukan butiran di dalam prilling tower pada suhu 30oC dengan
menggunakan rotating prilling bucket yang dikontakkan dengan udara dingin.
Butiran butinediol yang keluar dari prilling towerkemudian diangkut dengan belt
conveyor ke dalam tangki penyimpanan produk (Mirnandaulia, 2011).

Adapun flowchart dari Pemurnian Butinediol dalam Pembuatan Butideniol dari


Gas Asetilen dan Formaldehid adalah sebagai berikut :

Mulai

Alur keluaran reaktor diturunkan tekanannya sampai 1 atm

Dilewatkan melalui cooler untuk diturunkan suhunya sampai 40oC


kemudian menuju knock out drum untuk memisahkan gas asetilen

Aliran bawah bebas asetilen dilewatkan menuju disk


sentrifuge untuk dipisahkan katalisnya

Dipompa menuju heater untuk menaikkan suhu sampai 122,38 oC kemudian


dialirkan menuju unit distilasi
Produk butinediol yang diperoleh pada alur bawah diteruskan
ke cooler untuk menurunkan suhu hingga 54oC

Butinediol mengalami pembentukan butiran dalam prilling tower pada


suhu 30oC dengan menggunakan rotating prilling bucket yang dikontakkan
dengan udara dingin

10

Diangkut dengan belt conveyor ke menuju tangki


penyimpanan produk

Selesai
Gambar 2.1 Pemurnian Butinediol dalam Pembuatan Butinediol dari Gas Asetilen
dan Formaldehid
(Mirnandaulia, 2011)

Anda mungkin juga menyukai