Anda di halaman 1dari 3

Konsep Penjaminan Kualitas/mutu (quality assurance)

Penjaminan kualitas adalah seluruh rencana dan lndakan sistematis yang penting
untuk menyediakan kepercayaan yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan
tertentu dari kualitas (Elliot, 1993). Kebutuhan tersebut merupakan refleksi dari
kebutuhan pelanggan. Penjaminan kualitas biasanya membutuhkan evaluasi secara
terus-menerus dan biasanya digunakan sebagai alat bagi manajemen. Menurut
Gryna (1988), penjaminan kualitas merupakan kegiatan untuk memberikan buktibukti untuk membangun kepercayaan bahwa kualitas dapat berfungsi secara efektif
(Pike dan Barnes, 1996).
Sementara itu Cartin (1999:312) memberikan definisi penjaminan kualitas sebagai
berikut : Quality Assurance is all planned and systematic activities implemented
within the the quality system that can be demonstrated to provide confidence that a
product or service will fulfill requirements for quality
Tujuan Penjaminan Kualitas/mutu
Tujuan kegiatan penjaminan mutu bermanfaat, baik bagi pihak internal maupun
eksternal organisasi. Menurut Yorke (1997), tujuan penjaminan (Assurance)
terhadap kualitas tersebut antara lain sebagai berikut.
1.
Membantu perbaikan dan peningkatan secara terus-menerus dan
berkesinambungan melalui praktek yang terbaik dan mau mengadakan inovasi.
2.
Memudahkan mendapatkan bantuan, baik pinjaman uang atau fasilitas atau
bantuan lain dari lembaga yang kuat clan dapat dipercaya.
3.
Menyediakan informasi pada masyarakat sesuai sasaran dan waktu secara
konsisten, dan bila mungkin, membandingkan standar yang telah dicapai dengan
standar pesaing.
4.

Menjamin tidak akan adanya hal-hal yang tidak dikehendaki.

Selain itu, tujuan dari diadakannya penjaminan kualitas (quality assurance) ini
adalah agar dapat memuaskan berbagai pihak yang terkait di dalamnya, sehingga
dapat berhasil mencapai sasaran masing-masing. Penjaminan kualitas merupakan
bagian yang menyatu dalam membentuk kualitas produk dan jasa suatu organisasi
atau perusahaan. Mekanisme penjaminan kualitas yang digunakan juga harus dapat
menghentikan perubahan bila dinilai perubahan tersebut menuju ke arah
penurunan atau kemunduran.
Berkaitan dengan penjaminan kualitas, Stebbing dalam Dorothea E. Wahyuni (2003)
menguraikan mengenai kegiatan penjaminan kualitas sebagai berikut :
Penjaminan kualitas bukan pengendalian kualitas atau inspeksi. Meskipun
program penjaminan kualitas (quality assurance) mencakup pengendalian kualitas

dan inspeksi, namun kedua kegiatan tersebut hanya merupakan bagian dari
komitmen terhadap mutu secara menyeluruh.
Penjaminan kualitas bukan kegiatan pengecekan yang luar biasa. Dengan kata
lain, departemen pengendali kualitas tidak harus bertanggung jawab dalam
pengecekan segala sesuatu yang dikerjakan oleh orang lain.
Penjaminan kualitas bukan menjadi tanggung jawab bagian perancangan.
Dengan kata lain, departemen penjaminan kualitas bukan murupakan keputusan
bidang perancangan atau teknik, tetapi membutuhkan orang yang dapat
bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan dalam bidang-bidang yang
dibutuhkan dalam perancangan.
Penjaminan kualitas bukan bidang yang membutuhkan biaya vang sangat besar.
Pendokumentasian dan sertifikasi yang berkaitan dengan penjaminan kualitas
bukan pernborosan.
Kegiatan penjaminan kualitas merupakan kegiatm pengendalian melalui
prosedur secara benar, selungga dapat mencapai perbaikan dalam efisiensi,
produktivitns, dan profitabilitas.
Penjaminan kualitas bukan merupakan obat yang mujarab untuk
menyembuhkan berbagai penyakit. Dengan penjaminan kualitas, justru akan
dapat mengerjakan segala sesuatu dengan baik sejak awal dan setiap waktu (do it
right the first time and every time).

Penjaminan kualitas merupakan kegiatan untuk mencapai biaya yang efektif,


membantu meningkatkan produktivitas.
Perkembangan konsep Kualitas/mutu
Mutu merupakan konsep yang terus mengalami perkembangan dalam
pemaknaannya, menurut Garvin perspektif tentang Konsep mutu mengalami
evolusi sebagai berikut, dia mengidentifikasi adanya lima alternatif perspektif
kualitas yang biasa digunakan, yaitu:
1.

Transcendental Approach

Kualitas dalam pendekatan ini dapat dirasakan atau diketahui, tetapi sulit
didefinisikan dan dioperasionalkan. Sudut pandang ini biasanya diterapkan dalam
seni musik, drama, seni tari, dan seni rupa. Selain itu perusahaan dapat
mempromosikan produknya dengan pernyataan-pernyataan seperti tempat
berbelanja yang menyenangkan (supermarket), elegan (mobil), kecantikan wajah
(kosmetik), kelembutan dan kehalusan kulit (sabun mandi), dan lain-lain. Dengan

demikian fungsi perencanaan, produksi, dan pelayanan suatu perusahaan sulit


sekali menggunakan definisi seperti ini sebagai dasar manajemen kualitas.
2.

Product-based Approach

Pendekatan ini menganggap kualitas sebagai karakteristik atau atribut yang dapat
dikuantifikasikan dan dapat diukur. Perbedaan dalam kualitas mencerminkan
perbedaan dalam jumlah beberapa unsur atau atribut yang dimiliki produk. Karena
pandangan ini sangat objektif, maka tidak dapat menjelaskan perbedaan dalam
selera, kebutuhan, dan preferensi individual.
3.

User-based Approach

Pendekatan didasarkan pada pemikiran bahwa kualitas tergantung pada orang


yang memandangnya, dan produk yang paling memuaskan preferensi seseorang
(misalnya perceived quality) merupakan produk yang berkualitas paling tinggi.
Perspektif yang subjektif dan demand-oriented ini juga menyatakan bahwa
pelanggan yang berbeda memiliki kebutuhan dan keinginan yang berbeda pula,
sehingga kualitas bagi seseorang adalah sama dengan kepuasan maksimum yang
dirasakannya.
4. Manufacturing-based Approach
Perspektif ini bersifat supply-based dan terutama memperhatikan praktik-praktik
perekayasaan dan pemanufakturan, serta mendefinisikan kualitas sebagai sama
dengan persyaratannya (conformance to requirements). Dalam sektor jasa, dapat
dikatakan bahwa kualitasnya bersifat operations-driven. Pendekatan ini berfokus
pada penyesuaian spesifikasi yang dikembangkan secara internal, yang seringkali
didorong oleh tujuan peningkatan produktivitas dan penekanan biaya. Jadi yang
menentukan kualitas adalah standar-standar yang ditetapkan perusahaan, bukan
konsumen yang menggunakannya. Dalam konteks ini konsumen dipandang
sebagai fihak yang harus menerima standar-standar yang ditetapkan oleh produsen
atau penghasil produk
5.

Value-based Approach

Pendekatan ini memandang kualitas dari segi nilai dan harga. Dengan
mempertimbangkan trade-off antara kinerja dan harga, kualitas didefinisikan
sebagai "affordable excellence". Kualitas dalam perspektif ini bersifat relatif,
sehingga produk yang memiliki kualitas paling tinggi belum tentu produk yang
paling bernilai. Akan tetapi yang paling bernilai adalah produk atau jasa yang paling
tepat dibeli (best-buy).

Anda mungkin juga menyukai