Anda di halaman 1dari 5

2.

1 Perekonomian Indonesia dalam Wawasan Global


Prekonomian dunia tampaknya makin menjadi bebas. Hambatan tariff dan nontariff
terus dikikis melalui negosiasi dagang antar Negara
Perekonomian Indonesia dalam wawasan Global
Perekonomian dunia tampaknya makin menjadi bebas. Hambatan tarif dan nontarif
terus dikikis melalui negosiasi dagang antar negara. Asosiasi perdagangan bebas makin
meluas. Perekonomian Indonesia dikepung oleh area perdagangan bebas seperti,
SAARC, ANZCERTA, Uni Eropa, NAFTA, dan malah telah tergabung dalam
perdagangan bebas seperti AFTA dan APEC. Mungkin dapat dikatakan bahwa semua
partner dagang Indonesia telah masuk pada salah satu kesepakatan daerah perdagangan
bebas. Dalam hal yang demikian ini rupanya sudah tertutup jalan bagi Indonesia untuk
tidak melakukan hubungan dagang ke luar negeri, dan begitu kita melihat hubungan
dagang dengan luar negeri Indonesia harus bersedia mengadakan perdagangan bebas atau
setidaknya perdagangan yang lebih bebas dengan negara partner dagangnya. Tampaknya
pernyataan Presiden Suharto pada penutupan pertemuan APEC di Bogor pada tahun
1994 harus diterima dengan lapang dada. Pernyataannya adalah: "suka tidak suka, siap
tidak siap, kita harus menerima globalisasi perdagangan bebas". Beberapa kali
pertemuan APEC selanjutnya menekankan supaya komitmen Bogor direalisir, yakni
membuka perdagangan bebas tahun 2010 bagi negara maju dan tahun 2020 bagi negara
berkembang. Oleh karena itu masalah yang dihadapi perekonomian Indonesia yang
makin bebas di masa depan adalah bagaimana cara meraih keuntungan-keuntungan dari
globalisasi.
Perekonomian Indonesia di masa yang akan Datang
Sistem Negara dan Pemerintahan. Pada masa pemerintah Sukarno Indonesia
merupakan negara kesatuan, kemudian berubah menjadi negara federasi, setelah itu
kembali lagi ke negara kesatuan sampai sekarang setelah melewati pemerintahan
Suharto, Habibie, Abdulrahman Wahid, Megawati Sukarno Putri, dan terakhir Susilo
Bambang Yudhoyono. Namun pada masa reformasi dari tahun 1998 muncul kembali
wacana untuk mengubah sistem negara kesatuan menjadi negara federal. Pada masa
pemerintahan Sukarno Indonesia memakai sistem pemerintahan demokratis dengan
multipartai. Pada saat itu muncul pendapat bahwa demokrasi Barat tidak cocok untuk
bangsa Indonesia sehingga terjadi perubahan menjadi demokrasi terpimpin, atau
demokrasi Pancasila; dan dari demokrasi parlementer ke demokrasi presidensial.

Pada masa pemerintahan Suharto partai disederhanakan menjadi tiga dan sistem
pemerintahan adalah diktator militer. Sistem pemerintahan dengan tiga partai dan
diktator militer ini runtuh pada waktu krisis moneter yang dibarengi dengan jatuhnya
Suharto dan muncul gerakan reformasi di bidang politik dan ekonomi. Indonesia kembali
ke sistem banyak partai, malah jumlah partai jauh lebih banyak dibandingkan pada masa
pemerintahan Sukarno. Kembali menggunakan sistem demokrasi dan dilaksanakan
pemilihan umum langsung. Pengalaman pahit pada masa Sukarno dengan sistem
demokrasi yang mengakibatkan pergantian Menteri berkali-kali tampaknya ada gejala
untuk muncul kembali pada pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono dengan munculnya
isu pada awal 2010 akan ada pergantian kabinet, padahal pemerintahan baru berjalan 100
hari. Hal yang mirip dengan keadaan di mana Indonesia menganut demokrasi
parlementer di tahun 1950an di mana kabinet jatuh bangun, ada kabinet yang hanya
berumur tiga bulan.
Sulit menghubungkan antara bentuk negara kesatuan atau federasi dengan tujuan
pembangunan ekonomi. Namun rupanya dalam waktu 10-20 tahun mendatang Indonesia
masih tetap menganut sistem negara kesatuan. Yang perlu di sini diperhatikan adalah
mengenai Otonomi Daerah, bahwa kewenangan yang tersentralisasi mengakibatkan
pembangunan yang tidak seimbang antara Jawa, Indonesia Bagian Barat, dan Indonesia
Bagian Timur. Pemberian otonomi yang lebih luas dan bertanggung jawab mungkin akan
lebih memeratakan pembangunan antar propinsi dan antar pulau, dan usaha ke arah
otonomi keuangan daerah yang makin luas akan meredakan kemauan beberapa
pemerintah daerah untuk memisahkan diri dari NKRI seperti yang muncul sebagai isu
pada masa reformasi.
Banyak ahli berpendapat bahwa dalam jangka panjang sistem pemerintahan yang
demokratis mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari
Mengenai beda distribusi pendapatan pada berbagai sistem pemerintahan, Indonesia
hanya mengalami sistem sosialis dalam kurun waktu yang pendek, pada masa akhir
pemerintahan Sukarno, barangkali tidak sampai 5 tahun, sedangkan masa dengan
perekonomian pasar dalam kurun waktu yang jauh lebih lama, masa pemerintah Suharto
dan sesudahnya sampai sekarang (lebih dari 40 tahun). Distribusi pendapatan sejak
Suharto sampai sekarang, sebagaimana ditunjukkan pada Bab 2 dengan rasio Gini, rasio
Kuznets ataupun IPM selalu menunjukkan tingkat ketimpangan yang sedang
(menengah). Mungkin dapat diduga bahwa tingkat ketimpangan distribusi pendapatan
pada masa Indonesia dengan sistem ekonomi sosialis ala Indonesia lebih jelek dari pada
perekonomian dengan sistem bukan sosialis. Jadi dari sudut sistem negara dan

pemerintahan, tampaknya perekonomian Indonesia di masa datang akan tetap berada di


bawah naungan NKRI dengan sistem pemerintah yang demokratis dan sistem ekonomi
yang bukan sosialis melainkan condong ke pasar bebas dengan peranan pemerintah yang
cukup besar dalam bidang ekonomi untuk meningkatkan laju pertumbuhan dan
mempertahankan ketimpangan distribusi pendapatan setidak-tidaknya pada tingkat yang
sedang. Politik, Ekonomi, dan Hukum. Sebelum dan setelah proklamasi Indonesia selalu
menghadapi gejolak politik dalam dan luar negeri yang tidak aman, maksudnya selalu
diwarnai oleh peperangan. Wacana pembenar pada masa itu adalah bahwa politik
menjadi komando dari setiap kebijakan pemerintah. Dalam kancah politik tidak ada
masalah benar salah, yang ada adalah siapa mendapat apa. Dapat dibayangkan
bagaimana akibatnya terhadap kesejahteraan masyarakat kalau politik adalah komando
dari setiap kebijaksanaan. Salah satunya adalah korupsi. Korupsi sesungguhnya telah
banyak dipraktekkan pada masa pemerintahan Sukarno, dan usaha untuk memberantas
korupsi pun waktu itu telah banyak, namun usaha tersebut macet. Ucapan bung Karno
pada waktu itu adalah "kalau kita mencari tikus jangan sampai membakar rumahnya".
Ucapan tersebut memacetkan usaha pemberantasan korupsi kalau korupsi itu
menyangkut pejabat tinggi dalam pemerintahan. Korupsi merupakan salah satu
penolakan dari hal yang benar. Namun, mungkin karena Indonesia merebut
kemerdekaannya, bukan dengan jalan damai, seolah-olah masyarakat Indonesia menolak
semua hal-hal yang benar di masa penjajahan. Sampai-sampai tepat waktu pun seolaholah ditolak. Pada waktu itu timbul istilah jam karet, jam yang tidak menunjukkan waktu
yang tepat. Seorang pegawai (negeri) yang tepat waktu masuk dan waktu pulangnya
dikatakan sebagai pegawai Belanda, yang tidak karuan waktu masuk dan waktu
pulangnya disebut sebagai pegawai republik. Kita dapat membayangkan akibatnya
terhadap kesejahteraan masyarakat, kalau politik sebagai komando tindakan pemerintah
dan tindakan masyarakat. Hanya segelintir orang yang mengalami keuntungan dari
keadaan tersebut, sebagian besar masyarakat miskin dan miskin sekali. Dalam kancah
internasional, Indonesia dikatakan sebagai "a Nation of coolies dan coolie among
Nations (negara yang terdiri dari kuli, dan negara kuli di antara bangsa-bangsa)".
Pemerintahan Sukarno diakhiri dengan demonstrasi mahasiswa dan masyarakat yang,
antara lain, menuntut ekonomi "Yes", politik "No". Kemudian pada pemerintahan
Suharto, ekonomi sebagai komando setiap kebijaksanaan pemerintah. Ekonomi sebagai
komando juga akan menghasilkan pemerintahan dan masyarakat yang korup. Korupsi
malah merata di seluruh negeri, dan sulit membedakan mana perbuatan yang korup dan

mana yang tidak korup. Korupsi sudah dianggap sebagai kebudayaan. Istilah yang
terkenal adalah KKN (kroni, korupsi dan nepotisme). Di bidang ekonomi, karena
ekonomi sebagai komando, terlihat adanya kemajuan dalam arti pertumbuhan, malah
sepanjang pemerintahan Suharto pertumbuhan ekonomi termasuk tinggi, rata-rata 7-8
persen per tahun. Pemerintah Suharto juga jatuh melalui demonstrasi mahasiswa dan
masyarakat yang menuntut, antara lain, pemberantasan korupsi (pemerintahan yang
bersih) dan penegakan hukum. Di masa datang, masalah korupsi, masalah ekonomi biaya
tinggi, dan masalah penegakan hukum rupanya tidak bisa ditolerir, kalau Indonesia
menghadapi persaingan bebas dalam bidang ekonomi yang dijanjikan oleh proses
globalisasi ekonomi. Kemajuan Teknologi dan Pertumbuhan Ekonomi. Pengalaman
pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru, dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi,
mungkin perlu ditiru di masa mendatang. Kalau demikian halnya, maka pembangunan
ekonomi di samping menggunakan sumber daya dalam negeri juga menggunakan sumber
daya dari luar negeri. PMDN dan PMA terus digalakkan, swasta asing dibiarkan bersaing
dan Joint venture didorong berkembang di bumi pertiwi ini. Pinjaman dalam dan luar
negeri mungkin diperlukan untuk menambah modal dalam negeri. Penerimaan yang
demikian ini rupanya tidak bisa dibendung lagi karena globalisasi tidak hanya terjadi di
sektor barang tetapi juga di sektor jasa dan penanaman modal (investasi), dan bahkan di
sektor pertanian. Todaro dan Smith (2003 h.115) mengatakan bahwa Inggris
menggandakan output per orang dalam 60 tahun pertama sejak revolusi industrinya,
Amerika Serikat melakukan hal yang sama dalam waktu 45 tahun, Korea Selatan
berhasil melakukan hal yang serupa hanya dalam 11 tahun sejak 1966 sampai 1977.
Sejarah pertumbuhan ekonomi juga menunjukkan bahwa semakin terlambat satu negara
memulai pertumbuhan ekonomi modernnya, maka waktu yang diperlukan untuk
menggandakan output per orang juga makin singkat. Untuk Indonesia, kalau dihitung
mulai sekarang (tahun 2010), barangkali tidak sampai memerlukan waktu 5 tahun untuk
menggandakan output per orang. Caranya adalah (i) loncat jauh dalam bidang transfer
teknologi, yang maksudnya langsung memakai teknologi produksi yang paling mutakhir,
dan (ii) memanfaatkan kesediaan modal dan tenaga ahli yang berlimpah yang dimiliki
oleh negara maju. Subsidi dan Program Sosial. Kalau pemerintah Indonesia termasuk
dalam "kelompok Cairns" dalam putaran Uruguay yang menolak menandatangani
kesepakatan kecuali ada kemajuan di bidang pertanian (maksudnya pengurangan subsidi
di bidang pertanian oleh negara maju, lihat Seksi 12.3), maka tidaklah konsisten kalau
Indonesia sendiri menerapkan praktek subsidi pupuk di bidang pertanian dan di bidang

lain seperti minyak bumi dan listrik. Dasar dari perekonomian Indonesia di masa datang
yang dirumuskan dalam bab ini adalah perdagangan internasional yang bebas tanpa
hambatan seperti pada prinsip-prinsip yang diterapkan pada GATT. Sistem ekonomi yang
dianutnya adalah sistem pasar berdasarkan atas kekuatan permintaan dan penawaran
dengan intervensi yang minimum oleh pemerintah. Dalam hal subsidi, harga dari barang
yang diperdagangkan ditentukan oleh pemerintah, bukan oleh kekuatan permintaan dan
penawaran. Misalnya subsidi bensin, atau subsidi pupuk, sering kali mengakibatkan
bensin dan pupuk hilang dari pasar dan timbul pasar gelap. Di samping itu, yang
menerima subsidi seperti ini kebanyakan golongan kaya, bukan golongan yang
semestinya dibantu oleh pemerintah. Selama harga tidak ditentukan oleh pasar, maka hal
tersebut tidak sesuai dengan sistem pasar. Ini termasuk, misalnya, harga Sembako murah.
Harga Sembako dalam hal ini ditentukan oleh pemerintah, dan oleh karenanya tidak
sesuai dengan sistem. Lagi pula, pengalaman mengenai penjualan Sembako murah
menunjukkan tidak sedikit pembeli yang mengendarai kendaraan roda dua atau roda
empat, malah dengan plat merah, yang tidak sesuai dengan tujuan pengadaan Sembako
murah tersebut. Oleh karena itu ditolak oleh sistem perekonomian pasar. Namun apabila
pemerintah mengintervensi pasar, seperti misalnya pada pasar beras melalui Bulog, atau
pasar devisa melalui cadangan devisa, maka hal ini masih sesuai dengan dasar logika dari
sistem pasar, karena harga masih tetap ditentukan oleh kekuatan permintaan dan
penawaran. Pemerintah bisa saja memberikan subsidi kepada mereka yang betul-betul
memerlukannya, asalkan tidak dengan cara menentukan harga. Jadi biarkan harga barang
ditentukan oleh permintaan dan penawaran, harga bisa distabilkan oleh intervensi
pemerintah, dan kalau harga masih terlalu tinggi bagi kelompok miskin, maka mereka
bisa dibantu oleh pemerintah. Misalnya jangan menjual Sembako murah, tetapi Sembako
atas kekuatan pasar, atau kalau toh disebut Sembako mahal, maka yang tidak mampu
dibantu oleh pemerintah. Semua pembeli tetap membayar harga barang dimaksud sesuai
dengan harga yang ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Pada prinsipnya sistem
ekonomi yang disarankan oleh globalisasi adalah penggunaan semua sumber daya
masyarakat seefisien mungkin untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
diimbangi oleh program sosial yang masif untuk mengejar distribusi pendapatan yang
tidak terlalu timpang.

Anda mungkin juga menyukai