Pada masa pemerintahan Suharto partai disederhanakan menjadi tiga dan sistem
pemerintahan adalah diktator militer. Sistem pemerintahan dengan tiga partai dan
diktator militer ini runtuh pada waktu krisis moneter yang dibarengi dengan jatuhnya
Suharto dan muncul gerakan reformasi di bidang politik dan ekonomi. Indonesia kembali
ke sistem banyak partai, malah jumlah partai jauh lebih banyak dibandingkan pada masa
pemerintahan Sukarno. Kembali menggunakan sistem demokrasi dan dilaksanakan
pemilihan umum langsung. Pengalaman pahit pada masa Sukarno dengan sistem
demokrasi yang mengakibatkan pergantian Menteri berkali-kali tampaknya ada gejala
untuk muncul kembali pada pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono dengan munculnya
isu pada awal 2010 akan ada pergantian kabinet, padahal pemerintahan baru berjalan 100
hari. Hal yang mirip dengan keadaan di mana Indonesia menganut demokrasi
parlementer di tahun 1950an di mana kabinet jatuh bangun, ada kabinet yang hanya
berumur tiga bulan.
Sulit menghubungkan antara bentuk negara kesatuan atau federasi dengan tujuan
pembangunan ekonomi. Namun rupanya dalam waktu 10-20 tahun mendatang Indonesia
masih tetap menganut sistem negara kesatuan. Yang perlu di sini diperhatikan adalah
mengenai Otonomi Daerah, bahwa kewenangan yang tersentralisasi mengakibatkan
pembangunan yang tidak seimbang antara Jawa, Indonesia Bagian Barat, dan Indonesia
Bagian Timur. Pemberian otonomi yang lebih luas dan bertanggung jawab mungkin akan
lebih memeratakan pembangunan antar propinsi dan antar pulau, dan usaha ke arah
otonomi keuangan daerah yang makin luas akan meredakan kemauan beberapa
pemerintah daerah untuk memisahkan diri dari NKRI seperti yang muncul sebagai isu
pada masa reformasi.
Banyak ahli berpendapat bahwa dalam jangka panjang sistem pemerintahan yang
demokratis mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari
Mengenai beda distribusi pendapatan pada berbagai sistem pemerintahan, Indonesia
hanya mengalami sistem sosialis dalam kurun waktu yang pendek, pada masa akhir
pemerintahan Sukarno, barangkali tidak sampai 5 tahun, sedangkan masa dengan
perekonomian pasar dalam kurun waktu yang jauh lebih lama, masa pemerintah Suharto
dan sesudahnya sampai sekarang (lebih dari 40 tahun). Distribusi pendapatan sejak
Suharto sampai sekarang, sebagaimana ditunjukkan pada Bab 2 dengan rasio Gini, rasio
Kuznets ataupun IPM selalu menunjukkan tingkat ketimpangan yang sedang
(menengah). Mungkin dapat diduga bahwa tingkat ketimpangan distribusi pendapatan
pada masa Indonesia dengan sistem ekonomi sosialis ala Indonesia lebih jelek dari pada
perekonomian dengan sistem bukan sosialis. Jadi dari sudut sistem negara dan
mana yang tidak korup. Korupsi sudah dianggap sebagai kebudayaan. Istilah yang
terkenal adalah KKN (kroni, korupsi dan nepotisme). Di bidang ekonomi, karena
ekonomi sebagai komando, terlihat adanya kemajuan dalam arti pertumbuhan, malah
sepanjang pemerintahan Suharto pertumbuhan ekonomi termasuk tinggi, rata-rata 7-8
persen per tahun. Pemerintah Suharto juga jatuh melalui demonstrasi mahasiswa dan
masyarakat yang menuntut, antara lain, pemberantasan korupsi (pemerintahan yang
bersih) dan penegakan hukum. Di masa datang, masalah korupsi, masalah ekonomi biaya
tinggi, dan masalah penegakan hukum rupanya tidak bisa ditolerir, kalau Indonesia
menghadapi persaingan bebas dalam bidang ekonomi yang dijanjikan oleh proses
globalisasi ekonomi. Kemajuan Teknologi dan Pertumbuhan Ekonomi. Pengalaman
pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru, dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi,
mungkin perlu ditiru di masa mendatang. Kalau demikian halnya, maka pembangunan
ekonomi di samping menggunakan sumber daya dalam negeri juga menggunakan sumber
daya dari luar negeri. PMDN dan PMA terus digalakkan, swasta asing dibiarkan bersaing
dan Joint venture didorong berkembang di bumi pertiwi ini. Pinjaman dalam dan luar
negeri mungkin diperlukan untuk menambah modal dalam negeri. Penerimaan yang
demikian ini rupanya tidak bisa dibendung lagi karena globalisasi tidak hanya terjadi di
sektor barang tetapi juga di sektor jasa dan penanaman modal (investasi), dan bahkan di
sektor pertanian. Todaro dan Smith (2003 h.115) mengatakan bahwa Inggris
menggandakan output per orang dalam 60 tahun pertama sejak revolusi industrinya,
Amerika Serikat melakukan hal yang sama dalam waktu 45 tahun, Korea Selatan
berhasil melakukan hal yang serupa hanya dalam 11 tahun sejak 1966 sampai 1977.
Sejarah pertumbuhan ekonomi juga menunjukkan bahwa semakin terlambat satu negara
memulai pertumbuhan ekonomi modernnya, maka waktu yang diperlukan untuk
menggandakan output per orang juga makin singkat. Untuk Indonesia, kalau dihitung
mulai sekarang (tahun 2010), barangkali tidak sampai memerlukan waktu 5 tahun untuk
menggandakan output per orang. Caranya adalah (i) loncat jauh dalam bidang transfer
teknologi, yang maksudnya langsung memakai teknologi produksi yang paling mutakhir,
dan (ii) memanfaatkan kesediaan modal dan tenaga ahli yang berlimpah yang dimiliki
oleh negara maju. Subsidi dan Program Sosial. Kalau pemerintah Indonesia termasuk
dalam "kelompok Cairns" dalam putaran Uruguay yang menolak menandatangani
kesepakatan kecuali ada kemajuan di bidang pertanian (maksudnya pengurangan subsidi
di bidang pertanian oleh negara maju, lihat Seksi 12.3), maka tidaklah konsisten kalau
Indonesia sendiri menerapkan praktek subsidi pupuk di bidang pertanian dan di bidang
lain seperti minyak bumi dan listrik. Dasar dari perekonomian Indonesia di masa datang
yang dirumuskan dalam bab ini adalah perdagangan internasional yang bebas tanpa
hambatan seperti pada prinsip-prinsip yang diterapkan pada GATT. Sistem ekonomi yang
dianutnya adalah sistem pasar berdasarkan atas kekuatan permintaan dan penawaran
dengan intervensi yang minimum oleh pemerintah. Dalam hal subsidi, harga dari barang
yang diperdagangkan ditentukan oleh pemerintah, bukan oleh kekuatan permintaan dan
penawaran. Misalnya subsidi bensin, atau subsidi pupuk, sering kali mengakibatkan
bensin dan pupuk hilang dari pasar dan timbul pasar gelap. Di samping itu, yang
menerima subsidi seperti ini kebanyakan golongan kaya, bukan golongan yang
semestinya dibantu oleh pemerintah. Selama harga tidak ditentukan oleh pasar, maka hal
tersebut tidak sesuai dengan sistem pasar. Ini termasuk, misalnya, harga Sembako murah.
Harga Sembako dalam hal ini ditentukan oleh pemerintah, dan oleh karenanya tidak
sesuai dengan sistem. Lagi pula, pengalaman mengenai penjualan Sembako murah
menunjukkan tidak sedikit pembeli yang mengendarai kendaraan roda dua atau roda
empat, malah dengan plat merah, yang tidak sesuai dengan tujuan pengadaan Sembako
murah tersebut. Oleh karena itu ditolak oleh sistem perekonomian pasar. Namun apabila
pemerintah mengintervensi pasar, seperti misalnya pada pasar beras melalui Bulog, atau
pasar devisa melalui cadangan devisa, maka hal ini masih sesuai dengan dasar logika dari
sistem pasar, karena harga masih tetap ditentukan oleh kekuatan permintaan dan
penawaran. Pemerintah bisa saja memberikan subsidi kepada mereka yang betul-betul
memerlukannya, asalkan tidak dengan cara menentukan harga. Jadi biarkan harga barang
ditentukan oleh permintaan dan penawaran, harga bisa distabilkan oleh intervensi
pemerintah, dan kalau harga masih terlalu tinggi bagi kelompok miskin, maka mereka
bisa dibantu oleh pemerintah. Misalnya jangan menjual Sembako murah, tetapi Sembako
atas kekuatan pasar, atau kalau toh disebut Sembako mahal, maka yang tidak mampu
dibantu oleh pemerintah. Semua pembeli tetap membayar harga barang dimaksud sesuai
dengan harga yang ditentukan oleh permintaan dan penawaran. Pada prinsipnya sistem
ekonomi yang disarankan oleh globalisasi adalah penggunaan semua sumber daya
masyarakat seefisien mungkin untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
diimbangi oleh program sosial yang masif untuk mengejar distribusi pendapatan yang
tidak terlalu timpang.