Anda di halaman 1dari 13

RINITIS ATROFI

I.

DEFINISI

Rinitis atrofi adalah penyakit hidung kronik yang ditandai atrofi progresif
mukosa hidung dan tulang penunjangnya disertai pembentukan sekret yang kental
dan tebal yang cepat mengering membentuk krusta, menyebabkan obstruksi
hidung, anosmia, dan mengeluarkan bau busuk.1,2 Rinitis atrofi disebut juga rinitis
sika, rinitis kering, sindrom hidung-terbuka, atau ozaena.3
II.

EPIDEMIOLOGI

Rinitis atrofi merupakan penyakit yang umum di negara-negara berkembang.


Penyakit ini muncul sebagai endemi di daerah subtropis dan daerah yang bersuhu
panas seperti Asia Selatan, Afrika, Eropa Timur dan Mediterania. Pasien biasanya
berasal dari kalangan ekonomi rendah dengan status higiene buruk. Rinitis atrofi
kebanyakan terjadi pada wanita, angka kejadian wanita : pria adalah 3:1. 1,4
Penyakit ini dikemukakan pertama kali oleh dr.Spencer Watson di London pada
tahun 1875. Penyakit ini paling sering menyerang wanita usia 15 sampai 35 tahun,
terutama pada usia pubertas dan hal ini dihubungkan dengan status estrogen
(faktor hormonal).2,5
III.

ETIOLOGI

Penyebab rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui secara pasti sampai sekarang.
Terdapat berbagai teori mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit
degeneratif sejenis. Banyak peneliti yang mengatakan bahwa penyebab rinitis
atrofi adalah faktor herediter.6,7 Etiologi rinitis atrofi dapat dibagi menjadi primer
dan sekunder. Rinitis atrofi primer adalah rinitis atrofi yang terjadi pada hidung
tanpa kelainan sebelumnya, sedangkan rinitis atorfi sekunder merupakan
komplikasi dari suatu tindakan atau penyakit. Rinitis atrofi primer adalah bentuk
klasik dari rinitis atrofi dimana penyebab pastinya belum diketahui namun pada
kebanyakan kasus ditemukan klebsiella ozaenae.3

Rinitis atrofi sekunder kebanyakan disebabkan oleh operasi sinus, radiasi,


trauma, penyakit infeksi, dan penyakit granulomatosa atau. Operasi sinus
merupakan penyebab 90% rinitis atrofi sekunder. Prosedur operasi yang diketahui
berpengaruh adalah turbinektomi parsial dan total (80%), operasi sinus tanpa
turbinektomi (10%), dan maksilektomi (6%). Penyakit granulomatosa yang
mengakibatkan

rinitis

atrofi

diantaranya

penyakit

sarkoid,

lepra,

dan

rhinoskleroma. Penyebab infeksi termasuk tuberkulosis dan sifilis. Pada negara


berkembang, infeksi hanya berperan sebanyak 1-2% sebagai penyebab rinitis
atrofi sekunder. Meskipun infeksi bukan faktor kausatif pada rinitis atrofi
sekunder, namun sering ditemukan superinfeksi dan hal ini menjadi penyebab
terbentuknya krusta, sekret, dan bau busuk. Terapi radiasi pada hidung dan sinus
hanya menjadi penyebab pada 2-3% kasus, sedangkan trauma hidung sebanyak
1%.3
Selain faktor diatas, beberapa keadaan dibawah ini juga diduga sebagai
penyebab rinitis atrofi yaitu : 2,3,8
a) Infeksi setempat/ kronik spesifik. Paling banyak disebabkan oleh
Klebsiella Ozaena. Kuman ini menghentikan aktifitas sillia normal pada
mukosa hidung manusia. Selain golongan Klebsiella, kuman spesifik
penyebab lainnya antara lain Stafilokokus, Streptokokus, Pseudomonas
aeuruginosa,

Kokobasilus,

Bacillus

mucosus,

Diphteroid

bacilli,

Cocobacillus foetidus ozaena.


b) Defisiensi. Defisiensi Fe dan vitamin A. Nutrisi yang buruk disebutkan
sebagai faktor penting pada perkembangan rinitis atrofi. Beberapa penulis
menyebutkan penyakit ini berhubungan dengan defisiensi Fe. defisiensi
vitamin larut lemak (terutama vitamin A) juga dipertimbangkan sebagai
salah satu faktor penyebab.
c) Teori phospolipid yaitu analisis biokimia dari aspirasi hidung pada kasus
rhinitis atropi ditemukan adanya penurunan phospolipid total yang
signifikan dibandingkan pada hidung normal
d) Infeksi sekunder seperti sinusitis kronis.
e) Kelainan hormon seperti ketidakseimbangan hormon estrogen. Beberapa
peneliti menyimpulkan defisiensi estrogen sebagai faktor penyebab rinitis
atrofi. Insidensi penyakit ini pada perempuan pubertas. gejala yang

memberat pada saat menstruasi dan kehamilan. dan berkurangnya gejala


pada beberapa kasus setelah pemberian estrogen. merupakan pendukung
teori tersebut
f) Penyakit kolagen. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun.
g) Ketidakseimbangan otonom. Terjadi perubahan neurovaskular seperti
deteriorisasi pembuluh darah akibat gangguan sistem saraf otonom.
h) Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome (RSDS).
i) Herediter.
j) Autoimun : beberapa faktor seperti infeksi virus, malnutrisi, penurunan
daya tahan tubuh sebagai faktor pemicu destruksi proses autoimun dengan
melepaskan antigen mukosa hidung ke sirkulasi.
IV.

KLASIFIKASI

Rinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan oleh dr. Spencer


Watson (1875) sebagai berikut:3
1. Rinitis atrofi ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan
mudah ditangani dengan irigasi.
2. Rinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga hidung yang berbau.
3. Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan oleh sifilis, ditandai
oleh rongga hidung yang sangat berbau disertai destruksi tulang.
Berdasarkan penyebabnya rinitis atrofi dibedakan atas:3
1. Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang didiagnosis
pereksklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma hidung, atau radiasi
disingkirkan. Penyebab primernya merupakan Klebsiella ozenae.
2. Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang palIng sering ditemukan di
negara berkembang. Penyebab terbanyak adalah bedah sinus, selanjutnya radiasi,
trauma, serta penyakit granuloma dan infeksi.

V.

PATOGENESIS

Analisis secara histopatologi terhadap mukosa hidung menemukan hal yang


sama baik pada rinitis atrofi primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang
normal terdiri atas epitel pseudostratifikatum kolumnar, glandula mukosa dan
serosa. Pada rinitis atrofi, lapisan epitel mengalami metaplasia squamosa dan
kehilangan silia. Hal ini mengakibatkan hilangnya kemampuan pembersihan
hidung dan kemampuan membersihkan debris. Glandula mukosa mengalami
atrofi yang parah atau menghilang sama sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain
itu terjadi juga penyakit pada pembuluh darah kecil, andarteritis obliteran (yang
dapat menjadi penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai akibat dari proses
penyakit rinitis atrofi itu sendiri).2,3,8
Secara patologis, rinitis atrofi dapat dibagi menjadi dua, yakni tipe I, adanya
endarteritis dan periarteritis pada arteriola terminal akibat infeksi kronik yang
membaik dengan efek vasodilator dari terapi estrogen; dan tipe II, terdapat
vasodilatasi kapiler yang bertambah jelek dengan terapi estrogen.2,3,8
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriola akan
menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan ditemui infiltrasi
sel bulat di submukosa. Selain itu didapatkan sel endotel bereaksi positif dengan
fosfatase alkali yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel
bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta tebal yang
melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi lapang. Ini juga
dihubungkan dengan teori proses autoimun, dimana terdeteksi adanya antibodi
yang berlawanan dengan surfaktan protein A. Defisiensi surfaktan merupakan
penyebab utama menurunnya resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan
yang abnormal menyebabkan pengurangan efisiensi klirens mukus dan
mempunyai pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan
menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan keringnya mukosa
hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering bersamaan dengan
terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang merupakan medium yang sangat
baik untuk pertumbuhan kuman.8
VI.

GEJALA KLINIS

Gejala klinis terhadap rinitis atrofi dapat dengan mudah dikenali. Tanda
pertama sering berupa bau (foeter ex nasi) dari pasien. Pada beberapa kasus, bau
ini bisa berat. Hal ini akan menyebabkan ganggguan pada setiap orang kecuali
pasien, karena pasien mengalami anosmia. Beberapa pasien juga memperlihatkan
depresi yang terjadi sebagai implikasi sosial dari penyakit. 3 Pasien biasanya
mengeluh obstruksi hidung (buntu), krusta yang luas, dan perasaan kering pada
hidung.8,9
Gejala dan tanda klinis rinitis atrofi secara umum adalah : 2,8
Gejala :
Obstruksi hidung (buntu)
Sakit kepala
Epistaksis pada pelepasan krusta
Bau busuk pada hidung (foeter ex nasi) yang dikeluhkan oleh orang lain yang
ada di sekitarnya. Bau ini tidak diketahui oleh pasien karena atrofi dari mukosa
olfaktoria.
Faringitis sikka
Penyumbatan yang terjadi karena lepasnya krusta dari nasofaring masuk ke
orofaring.
Tanda :
Foeter ex nasi
Krusta dihidung berwarna kuning, hijau, atau hitam
Pelepasan kusta akan memperlihatkan ulserasi dan perdarahan mukosa hidung
VII.

DIAGNOSIS

Untuk mendiagnosis rhinitis atrofi dapat dilakukan dengan anamnesis,


pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.7
1. Anamnesa :
Keluhan yang biasa timbul adalah : Foetor ex nasi atau bau busuk dari dalam
hidung. Gejala ini termasuk salah satu penyebab seorang pasien mencari
pertolongan pada dokter. Namun pada rhinitis atrofi, foetor ex nasi tidak dirasakan
oleh penderita, melainkan dirasakan oleh orang sekitarnya sehingga menimbulkan

perasaan tidak nyaman bagi semua orang. Terlebih lagi penyakit ini lebih sering
menyerang perempuan sehingga menimbulkan keluhan tersendiri bagi pasien.
Adanya krusta (pembentukan sekret kehijauan yang kental dan tebal yang cepat
mengering). Hidung tersumbat, Gangguan Penghidu, Sakit kepala dan epistaksis.
2. Pemeriksaan Fisik :
Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior dapat ditemukan rongga hidung dipenuhi
krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam, jika krusta diangkat terlihat rongga
hidung sangat lapang, konkha inferior dan media menjadi atrofi, ada sekret

purulen dan krusta berwarna hijau.

Gambar 1 : Krusta pada Rhinitis Atropi 10


Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik dalam tiga tingkat : 8
a) Tingkat I : Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak kemerahan dan berlendir,

krusta sedikit.
b) Tingkat II : Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin kering, warna

makin pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.


c) Tingkat III : Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka tampak sebagai
garis, rongga hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di
nasofaring, terdapat anosmia yang jelas.
Perubahan berkelanjutan pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini
mempunyai awitan yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini. Biasanya
pertama mengenai mukosa hidung tampak beberapa daerah metaplasia yang
kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah kehilangan silia, dan terbentuk

krusta kecil serta sekret yang kental. Dapat terjadi ulserasi ringan dan
pendarahan.7
Atrofi sedang tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang
lebih besar namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara perlahan
memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin tipisnya epitel.
Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang, sementara fibrosis jaringan subepitel
perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat,
termasuk kartilago, otot, dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan,
pembentukan krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring,
hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba Eustachius,
berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat menimbulkan perubahan yang
tidak diharapkan pada apartus lakrimalis termasuk keratitis sicca.7
3. Pemeriksaan Penunjang6,11
Pemeriksaan histopatologik yang berasal dari biopsy konkha media,
pemeriksaan mikrobiologi untuk menentukan kuman penyebab, pemeriksaan
darah rutin dan Fe serum, kultur dan uji sensitititas sekret hidung, uji serologis
(VDRL) untuk menyingkirkan sifilis. uji mantoux dan foto toraks PA apabila
rinitis atrofi diduga berhubungan dengan tuberkulosis. foto rontgen dan CT scan
sinus paranasal.
Pada foto rontgen sinus paranasal terdapat osteoporosis konka dan rongga
hidung yang lapang. Pada CT scan sinus paranasal terdapat gambaran penebalan
dari mukosa periostium sinus pananasal. Hilangnya ketajaman dan kompleks
sekunder osteomeatal akibat destruksi bulla etmoid dan prosesus unsinatus,
hipoplasia dari sinus maksilaris, pelebaran kavum hidung dengan destruksi dari
dinding lateral hidung dan destruksi tulang konka inferior dan konka media.

Gambar 2: Gambaran CT Scan Hidung dan Sinus Paranasal potongan


koronal pada penderita rhinitis atropi10
VIII. DIAGNOSIS BANDING8
Diagnosis banding rinitis atrofi antara lain :
1. Rinitis Tuberculosis (TBC)
Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama mengenai tulang
rawan septum dan dapat mengakibatkan perforasi. Pada pemeriksaan klinis terdapat
sekret mukopurulen dan krusta sehingga menimbulkan keluhan hidung tersumbat.
Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada sekret hidung.
Pengobatan diberikan obat anti Tuberculosis dan obat cuci hidung.
2. Rinitis Sifilis
Penyebab rinitis sifilis ialah kuman Treponema pallidum. Pada rhinitis sifilis yang
primer dan sekunder gejalanya hanya adanya bercak pada mukosa. Pada rinitis sifilis
tersier dapat ditemukan guma atau ulkus yang terutama mengenai septum nasi dan dapat
mengakibatkan perforasi septum.
Pada pemeriksaan klinis didapati sekret mukopurulen yang berbau dan krusta.
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan mikrobiologik dan biopsy. Pengobatan
diberikan penisilin dan obat cuci hidung. Krusta harus dibersihkan secara rutin.
3. Rinitis Lepra
Penyebab rinitis lepra adalah Mikobakterium leprae. Lesi pada hidung sering
terlihat pada penyakit ini. Pasien mengeluhkan hidung tersumbat oleh karena
pembentukan krusta serta adanya bercak darah. Mukosa hidung terlihat pucat. Apabila
infeksi berlanjut dapat menyebabkan perforasi septum.
4. Rinitis Sika
Pada rinitis sika ditemukan mukosa yang kering, terutama pada bagian depan

septum dan ujung depan konka inferior. Krusta biasanya sedikit atau tidak ada. Pasien
biasanya mengeluh rasa iritasi atau rasa kering yang kadang-kadang disertai dengan
epistaksis. Penyakit ini biasa ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja di

lingkungan yang berdebu, panas dan kering.


IX.

PENATALAKSANAAN
Hingga kini pengobatan medis terbaik rinitis atrofi hanya bersifat paliatif.

Termasuk dengan irigasi dan membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik
dan lokal dengan endokrin, steroid, antibiotik,vasodilator, pemakaian iritan
jaringan lokal ringan seperti alkohol, dan salep pelumas. Penekanan terapi utama
adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung mengecilkan rongga hidung, dan
dengan demikian juga memperbaiki suplai darah mukosa hidung.7 Tujuan
pengobatan adalah menghilangkan faktor etiologi/ penyebab dan menghilangkan
gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau tidak menolong
dilakukan operasi.8,11
Konservatif 8,11
Pengobatan konservatif ozaena meliputi pemberian antibiotik, obat cuci
hidung, dan simptomatik.
1) Antibiotik spektrum luas sesuai uji resistensi kuman, dengan dosis adekuat
sampai tanda-tanda infeksi hilang. Qizilbash dan Darf melaporkan hasil yang
baik pada pengobatan dengan Rifampicin oral 600 mg 1 x sehari selama 12
minggu.
2) Obat cuci hidung, untuk membersihkan rongga hidung dari krusta dan sekret
dan menghilangkan bau. Antara lain :
a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau
b. Campuran :

NaCl

NH4Cl

NaHCO3 aaa 9

Aqua ad 300 cc 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat


9

c. Larutan garam dapur


d. Campuran :

Na bikarbonat 28,4 g

Na diborat 28,4 g

NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat


Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi dengan

menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring dikeluarkan melalui


mulut, dilakukan dua kali sehari. Pemberian obat simptomatik pada rinitis atrofi
(Ozaena) biasanya dengan pemberian preparat Fe.
3) Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara lain : glukosa 25%
dalam gliserin untuk membasahi mukosa, oestradiol dalam minyak Arachis
10.000 U / ml, kemisetin anti ozaena solution dan streptomisin 1 g + NaCl 30
ml. diberikan tiga kali sehari masing-masing tiga tetes.
4) Vitamin A 3 x 10.000 U selama 2 minggu.
5) Preparat Fe.
Operasi
Tujuan operasi pada rhinitis atrofi (ozaena) antara lain untuk :
menyempitkan rongga hidung yang lapang, mengurangi pengeringan dan
pembentukan krusta dan mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan
terjadinya regenerasi.8 Teknik bedah dibedakan menjadi dua kategori utama : 7
1) Implan dengan pendekatan intra atau ekstra nasal dan
2) Operasi, seperti penyempitan lobulus hidung atau fraktur tulang hidung ke
arah dalam.

Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain : 8,12

10

1) Young's operation
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan hasil yang
baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau seluruhnya dengan
menjahit salah satu hidung bergantian masing-masing selama periode tiga
tahun.

Gambar 3 : Young's operation10


2) Modified Young's operation
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang terbuka.

Gambar 4 : Modified Young's operation10


3) Lautenschlager operation
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari etmoid,
kemudian dipindahkan ke lubang hidung.. Pada operasi ini, antrum maksila
dibuka dengan operasi Caldwell- Luc. Dinding medial antrum dimobilisasi kearah
medial dengan membuat potongan berbentuk U dengan menggunakan bor, apabila
mungkin, mukosa kavum nasi yang tipis karena penyakit ini jangan sampai rusak.

11

Tulang antrum medial dengan konka inferior diluksasi kearah medial dengan
bertumpu pada area etmoid.
4) Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit, bahan sintetis
seperti Teflon, campuran Triosite dan Fibrin Glue.

Gambar 5 : Implantasi submukosa13


5) Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksila (Wittmack's operation)
dengan tujuan membasahi mukosa hidung. Mewengkang N melaporkan
operasi penutupan koana menggunakan flap faring pada penderita ozaena anak
berhasil dengan memuaskan.
Bila pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan
perbaikan, pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang hidung.
Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung pada nares anterior atau koana
sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun. Atau dapat dilakukan
implantasi untuk menyempitkan rongga hidung.4
X.

KOMPLIKASI8

1. Perforasi septum dan hidung pelana


Pada kasus yang parah dan tidak diterapi, dapat menyebabkan komplikasi berupa
destruksi dari tulang dan tulang rawan hidung yang mengakibatkan perforasi septum dan
hidung pelana.
2. Faringitis atrofi
Hal ini biasanya terjadi bersamaan dengan rinitis atrofi dimana terdapat mukosa faring
yang kering. Krusta yang lepas dapat menyebabkan episoda batuk seperti tercekik.

12

3. Miasis nasi
Merupakan komplikasi yang jarang ditemui, terutama pada pasien dengan sosio ekonomi
yang rendah dimana bau busuk tersebut menarik lalat dari genus Chrysomia (C. Bezianna
vilteneauve). Lalat ini meletakkan telurnya yang kemudian menetas menjadi magot.
Puluhan sampai ratusan magot dapat memenuhi rongga hidung dimana mereka makan
dari mukosa sampai tulang hidung. Mereka membuat terowongan di jaringan lunak
hidung, sinus paranasal, nasofaring, dinding faring jaringan orbita, lakrimal, sampai dasar
tengkorak yang dapat menyebabkan meningitis dan kematian.
XI.

PROGNOSIS2,8

Penyakit ini dapat menetap bertahun-tahun dan ada kemungkinan untuk sembuh
spontan pada usia pertengahan. Jika tidak terdapat perbaikan diharapkan dengan operasi
terdapat perbaikan mukosa dan keadaan penyakitnya.

13

Anda mungkin juga menyukai