Anda di halaman 1dari 109

FAKTOR FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KELELAHAN

PADA PEKERJA DI PROSES PRODUKSI KANTONG SEMEN PBD (Paper Bag Division)

PT. INDOCEMENT TUNGGAL PRAKARSA TBK


CITEUREUP-BOGOR
TAHUN 2010

SKRIPSI

OLEH:
MOCH NOVAL MAULUDI
(106101003694)

PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M
52

53

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERJA
Skripsi, 27 Agustus 2010
Moch. Noval Mauludi, NIM : 106101003694
Faktorfaktor yang Berhubungan Dengan Kelelahan Pada Pekerja Di Proses Produksi
Kantong Semen PBD (Paper Bag Division)
PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk Citeureup-Bogor Tahun 2010
xx + 109 halaman, 28 tabel, 3 gambar, 6 lampiran.

Abstraksi
Kelelahan adalah suatu kondisi yang disertai penurunan efisiensi dan kebutuhan
dalam bekerja. Kelelahan kerja akan menurunkan kinerja dan menambah tingkat kesalahan kerja.
Kelelahan kerja ditandai dengan melemahnya tenaga kerja dalam melakukan pekerjaan
atau kegiatan, sehingga akan meningkatkan kesalahan dalam melakukan pekerjaan dan akibat
fatalnya adalah terjadinya kecelakaan kerja.. Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang
dilakukan pada 10 pekerja di proses produksi PBD (Paper Bag Division ) PT. Indocement
Tunggal Prakarsa Tbk, diketahui 100% pekerja mengalami kelelahan kerja, artinya dari 10
sampel diketahui seluruh pekerja mengalami kelelahan kerja.
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional. Sampel
penelitian sebanyak 88 orang dari total populasi sebesar 168 orang pekerja. Uji statistik
menggunakan Chi Square untuk melihat adanya hubungan antara kedua variabel.Yaitu variabel
tekanan panas, tingkat kebisingan, masa kerja, Shift kerja, usia, status perkawinan, kebiasaan
merokok, dan status gizi dihubungkan dengan kelelahan kerja pada pekerja di proses produksi
kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa yang dilaksanakan pada bulan AprilAgustus 2010.
Dari hasil uji statistik didapatkan gambaran tingkat kelelahan yang paling terbanyak
adalah kelelahan kerja ringan (KKR) sebanyak 34 pekerja (38,6 %), tingkat kelelahan kerja
sedang (KKS) sebanyak 33 orang (37,5%), sedangkan tingkat kelelahan yang paling sedikit
adalah tingkat kelelahan kerja berat (KKB) sebanyak 21 pekerja (23,9%). Dari hasil uji statistik
bivariat didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,008. Artinya pada 5 % terdapat hubungan
antara tingkat kebisingan dengan kelelahan kerja. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai
probabilitas sebesar 0,014. Artinya pada 5 % terdapat hubungan antara kelompok kerja dengan
kelelahan kerja. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,045. Artinya pada
terdapat hubungan antara kelompok status perkawinan dengan kelelahan kerja.
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan ada hubungan yang signifikan
antara kebisingan dengan kelelahan kerja, shift kerja dengan kelelahan kerja, dan status
perkawinan dengan kelelahan kerja. Hal ini dipengaruhi oleh lingkungan itu sendiri disamping
faktor-faktor yang lain. Oleh karena itu saran yang dapat diberikan adalah mengurangi paparan

54

kebisingan yang diterima pekerja salah satunya dengan cara administrative control (memberikan
pelatihan pada pekerja, menyediakan ruang kontrol sehingga pekerja bisa beristirahat), personal
protective equipment (dengan menggunakan alat pelindung diri berupa safety ear plug atau ear
muff), mengatur jam shift kerja sesuai dengan jam kerja normal yaitu dengan jam kerja 06-14-22,
dan memberikan pendidikan atau pengarahan tentang cara pengaturan waktu istirahat antara
pekerjaan dengan waktu untuk keluarga.
Daftar bacaan : (1965 - 2009)

55

FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE


PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
Specialisation HEALTH AND SAFETY
Thesis, August 2010
Moch. Noval Mauludi, NIM: 106101003694
Factors Associated With Fatigue in Workers In PBD Cement Bag Production Process
(Paper Bag Division) PT. Page Citeureup Indocement-Bogor Year 2010.
xx 109 pages, 28 tables, 3 images, 6 attachment.
Abstraction

Fatigue is a condition that is accompanied by a decrease in work efficiency and need.


Fatigue of work will reduce performance and increase the error rate of work. Fatigue is
characterized by the weakening of labor in doing the work or activity, thereby increasing the
error in doing the job and the result is the occurrence of fatal work accidents .. Based on the
results of preliminary studies conducted on 10 workers in the production process PBD (Paper
Bag Division) PT. Indocement Tbk, are known to 100% of workers experiencing job burnout,
which means from 10 samples known to all workers experiencing job burnout.
This research is a quantitative research with cross sectional design. The sample research
of 88 people from a total population of 168 people working. Statistical test using Chi Square to
see the relationship between these two variables, i.e. heat stress, noise level, years of work, Shift
work, age, marital status, smoking habits, and nutritional status associated with job burnout in
workers in the production process of cement bags PBD PT. Indocement conducted in AprilAugust 2010.
From the test results obtained statistical overview of the most highest level of fatigue is
mild fatigue of 34 workers (38.6%), fatigue level of work being as many as 33 people (37.5%),
whereas the level of fatigue that most bit is the level of heavy work fatigue as many as 21
workers (23.9%). From the results of bivariate statistical tests obtained probability value of
0.008. That means at 5% there is a relationship between noise level of work fatigue. From the
results of statistical tests obtained probability value of 0.014. That means at 5% there is a
relationship between work groups with job burnout. From the results of statistical tests obtained
probability value of 0.045. This means that the relationship exists between marital status groups
with work fatigue.
Based on the research we can conclude there is significant correlation between the noise
with the fatigue of work, shift work fatigue, and marital status with job burnout. This is
influenced by the environment itself as well as other factors. Therefore, the advice that could be
given is to reduce the noise exposure received by workers with the administrative control
(providing training to workers, providing the control room so workers can rest), personal
protective equipment (by using personal protective equipment in the form of safety ear plug or
ear muff), set the hour work shift in accordance with normal working hours ie 06-14-22 working

56

hours, and provide education or guidance on how the timing of a break between work with time
for family.
Reading list : (1965 - 2009).

57

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kelelahan adalah suatu kondisi yang ditandai dengan penurunan efisiensi dan
kebutuhan dalam bekerja (Budiono, 2003). Riyadina (2000) kelelahan mengandung 3
pengertian yaitu terdapatnya penurunan hasil kerja sacara fisiologik, adanya perasaan
lelah dan merasa bosan bekerja. Tarwaka dkk (2004) mengatakan bahwa kelelahan
adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih
lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Sedangkan pendapat lain mengatakan
kelelahan adalah aneka keadaan yang disertai penurunan efisiensi dan ketahanan dalam
bekerja, yang dapat disebabkan sumber utamanya adalah mata (kelelahan visual),
kelelahan fisik umum, kelelahan syaraf, kelelahan oleh lingkungan yang monoton dan
kelelahan oleh lingkungan kronis terus menerus sebagai faktor

secara menetap

(Sumamur, 1999).

Budiono (2003) menyatakan kelelahan kerja ditandai dengan melemahnya


tenaga kerja dalam melakukan pekerjaan atau kegiatan, sehingga akan meningkatkan
kesalahan dalam melakukan pekerjaan

dan

akibat

fatalnya

adalah

terjadinya

kecelakaan kerja. Menurut Rizeddin (2000) kelelahan dapat menurunkan kapasitas kerja
dan ketahanan kerja yang ditandai oleh sensasi lelah, motivasi menurun dan aktivitas

58

menurun. Kelelahan kerja memperlambat waktu reaksi, merasa lelah ada penurunan
aktivitas dan kesulitan dalam mengambil keputusan yang menyebabkan menurunnya
kinerja dan menambahnya tingkat kesalahan kerja. Sehingga dengan meningkatnya
kesalahan kerja akan memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja dalam industri.
Apabila beban kerja lebih besar daripada kemampuan tubuh maka akan terjadi rasa tidak
nyaman, kelelahan, kecelakaan, cedera, rasa sakit, penyakit dan produktivitas menurun
(Santoso, 2004).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh kementrian tenaga kerja Jepang terhadap
12.000 perusahaan yang melibatkan sekitar 16.000 pekerja di negara tersebut yang dipilih
secara acak telah menunjukkan hasil bahwa ditemukan 65 % pekerja mengeluhkan
kelelahan fisik akibat kerja rutin, 28 % mengeluhkan kelelahan mental dan sekitar 7%
pekerja mengeluh stress berat dan merasa tersisihkan. Miranti (2008) mengutarakan hasil
penelitian yang dilakukan pada salah satu perusahaan di Indonesia tahun 2008 khususnya
pada bagian produksi mengatakan rata-rata pekerja mengalami kelelahan dengan
mengalami gejala sakit di kepala, nyeri di punggung, pening dan kekakuan di bahu.

Akerstedt ed Alt (2002) memprediksi beberapa faktor utama yang signifikan


terhadap kelelahan, meliputi : jenis kelamin, usia, kondisi kesehatan, berlebihnya waktu
yang digunakan dalam bekerja, tempat kerja dan Physically. Grandjen (1988)
mengatakan bahwasanya faktor yang mempengaruhi kelelahan adalah intensitas lamanya
pembebanan fisik (masa kerja) dan mental. Menurut Siswanto (1999) bahwasanya faktor
penyebab kelelahan kerja adalah pengorganisasian kerja, faktor psikologis, lingkungan
kerja, status kesehatan dan status gizi. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwasanya

59

faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kelelahan adalah kesegaran jasmani,


kebiasaan merokok, masalah psikologis, status kesehatan, jenis kelamin, status gizi,
waktu kerja, beban kerja, usia, dan masalah lingkungan kerja (Tarwaka, 2004).

Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwasanya ada beberapa faktor yang


beruhubugan dengan terjadinya kelelahan pada pekerja dibagian produksi. Silaban (1996)
mangatakan bahwa 63% pekerja menderita kelelahan yang dapat berakibat terjadinya
kecelakaan kerja. Kennedy (1987) mengatakan 24% orang dewasa yang datang ke
poliklinik menderita kelelahan. Hasil penelitian yang dilakukan Paulina (2008) pada
bagian produksi menunjukkan adanya hubungan antara tekanan panas, umur dan masa
kerja dengan kelelahan kerja. Hasil penelitian yang dilakukan Muftia (2008) pada bagian
produksi menunjukkan adanya hubungan antara tingkat kebisingan dengan kelelahan
kerja. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kimberly (2009) pada pekerja pabrik bagian
produksi menunjukkan adanya hubungan antara shift kerja dengan kelelahan. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Eraliesa (2008) menunjukkan adanya hubungan antara
status perkawinan dan status gizi dengan kelelahan kerja.

Dari beberapa faktor-faktor penyebab kelelahan kerja di atas dapat disimpulkan


bahwa rata-rata pekerja pada bagian produksi mengalami kelelahan. Kelelahan kerja
merupakan salah satu sumber masalah bagi kesehatan dan keselamatan pekerja. Tentu
saja hal ini tidak dapat dibiarkan begitu saja, karena tenaga kerja merupakan aset
perusahaan yang dapat dapat mempengaruhi produktivitas perusahaan.

PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, berdiri pertama kali pada tahun 1973, dan
memulai kegiatannya dalam usaha pembuatan semen pada tahun 1975. PT. Indocement

60

Tunggal Prakarsa Tbk memiliki 12 pabrik atau plant yang tersebar ditiga lokasi yaitu 9
pabrik (plant 1-plant 8 dan plant 11 ) dengan luas area 200 Ha yang berlokasi di
Citeureup-Bogor, 2 pabrik (plant 9-plant 10) dengan luas area 37 Ha yang berlokasi di
Palimanan Cirebon, serta 1 pabrik (plant 12) dengan luas area 71 Ha di TarjunKalimantan Selatan. PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk merupakan perusahaan yang
sudah modern, sehingga alat-alat yang digunakan dalam proses produksi semen sudah
dikendalikan oleh mesin, kecuali pada bagian proses tambang (maining), Engineering,
HED (Heavy Engineering Division) dan proses produksi kantong semen PBD (Paper Bag
Division) yang rata-rata memperkerjakan orang dengan jumlah pekerja yang cukup
banyak. Diantara keempat tempat tersebut PBD (Paper Bag Division) merupakan salah
satu pabrik yang menjalankan proses produksi secara terus menerus selama 24 jam
selama 5 hari dalam seminggu. Pada proses produksi pekerja bekerja 6 jam dengan
istirahat 2 jam (50%-75% kerja) dengan kondisi suhu lingkungan kerja berkisar 280 300C dan nilai tingkat kebisingannya berkisar antara 81-93 dB.

Adapun berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 pekerja di


proses produksi PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, diketahui rata-rata seluruh
pekerja mengalami kelelahan kerja ringan 80 % dengan nilai rata tingkat kelelahan 0.338
milidetik yang mendekati pada nilai kelalahan tingkat sedang, dan kelelahan kerja berat
20 % dengan nilai rata-rata tingkat kelelahan 0.499 milidetik. Artinya, dari 10 sampel
diketahui seluruh pekerja mengalami kelelahan kerja. Berdasarkan studi pendahuluan
tersebut, maka peneliti ingin meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan
pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT.Indocemen Tunggal Prakarsa
Tbk.

61

1.2 Rumusan Masalah

PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, merupakan suatu perusahaan yang
menjalankan proses produksi secara terus menerus selama 24 jam selama 5 hari dalam
seminggu. Pada proses produksi pekerja bekerja 6 jam dengan istirahat 2 jam (50%-75%
kerja) dengan kondisi suhu lingkungan kerja berkisar 280 -300C dan nilai tingkat
kebisingannya berkisar antara 81-93 dB. Berdasarkan standar TLV (Threshold Limit
Values/nilai ambang batas) tahun 2007 bahwasanya beban kerja dengan suhu 280 C
termasuk pada kategori beban kerja sedang. Sedangkan berdasarkan standar nilai ambang
batas tingkat kebisingan, nilai tingkat kebisingan sudah melebihi nilai ambang batas
tingkat kebisingan.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 pekerja di proses


produksi PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, diketahui rata-rata seluruh pekerja
mengalami kelelahan kerja ringan 80 % dengan nilai rata tingkat kelelahan 0.338
milidetik yang mendekati pada nilai kelalahan tingkat sedang, dan kelelahan kerja berat
20 % dengan nilai rata-rata tingkat kelelahan 0.499 milidetik. Artinya, dari 10 sampel
diketahui seluruh pekerja mengalami kelelahan kerja. Berdasarkan hal tersebut maka
peneliti ingin meneliti tentang faktor-faktor penyebab kelelahan.

1.3 Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimana gambaran kelelahan kerja pada pekerja di proses produksi kantong


semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010?

62

2. Bagaimana gambaran faktor tekanan panas dan tingkat kebisingan pada


pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal
Prakasa Tbk. tahun 2010?
3. Bagaimana gambaran faktor shift kerja pada pekerja di proses produksi
kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010?
4. Bagaimana gambaran faktor masa kerja, usia, status perkawinan, kebiasaan
merokok, dan status gizi pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD
PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010?
5. Apakah ada hubungan antara tekanan panas dengan kelelahan pada pekerja
dip roses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk.
Tahun 2010?
6. Apakah ada hubungan antara tingkat kebisingan dengan kelelahan pada
pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal
Prakasa Tbk. tahun 2010?
7. Apakah ada hubungan antara shift kerja dengan kelelahan pada pekerja di
proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk.
tahun 2010?
8. Apakah ada hubungan antara masa kerja dengan kelelahan pada pekerja di
proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk.
tahun 2010?
9. Apakah ada hubungan antara usia dengan kelelahan pada pekerja di proses
produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun
2010?

63

10. Apakah ada hubungan antara status perkawinan dengan kelelahan pada
pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal
Prakasa Tbk. tahun 2010?
11. Apakah ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kelelahan pada
pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal
Prakasa Tbk. tahun 2010?
12. Apakah ada hubungan antara status gizi dengan kelelahan pada pekerja di
proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk.
tahun 2010?

1.4 Tujuan
1.4.1

Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan pada pekerja di


proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010.

1.4.2

Tujuan Khusus

Diketahuinya gambaran kelelahan kerja pada pekerja di proses produksi


kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010?

Diketahuinya gambaran faktor tekanan panas dan tingkat kebisingan pada


pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal
Prakasa Tbk. tahun 2010?

Diketahuinya gambaran faktor shift kerja pada pekerja di proses produksi


kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010?

64

Diketahuinya gambaran faktor masa kerja, usia, status perkawinan, kebiasaan


merokok, dan status gizi pada pekerja di proses produksi kantong semen PBD
PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun 2010?

Diketahuinya hubungan antara tekanan panas dengan kelelahan pada pekerja


dip roses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk.
Tahun 2010?

Diketahuinya hubungan antara tingkat kebisingan dengan kelelahan pada


pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal
Prakasa Tbk. tahun 2010?

Diketahuinya hubungan antara shift kerja dengan kelelahan pada pekerja di


proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk.
tahun 2010?

Diketahuinya hubungan antara masa kerja dengan kelelahan pada pekerja di


proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk.
tahun 2010?

Diketahuinya hubungan antara usia dengan kelelahan pada pekerja di proses


produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk. tahun
2010?

10 Diketahuinya hubungan antara status perkawinan dengan kelelahan pada


pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal
Prakasa Tbk. tahun 2010?

65

11 Diketahuinya hubungan antara kebiasaan merokok dengan kelelahan pada


pekerja di proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal
Prakasa Tbk. tahun 2010?
12 Diketahuinya hubungan antara status gizi dengan kelelahan pada pekerja di
proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk.
tahun 2010?
12.1

Manfaat Penelitian

12.1.1 Manfaat Bagi Perusahaan

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi bagi perusahaan


mengenai kondisi lingkungan kerja yang berdampak terhadap kelelahan kerja
karyawannya, sehingga kesehatan dan keselamatan pekerja dapat menjadi lebih baik.

12.1.2 Manfaat Bagi Peneliti

Melatih pola pikir sistematis dalam menghadapi masalah-masalah khusunya


dalam bidang Kesehatan dan Keselamatan Kerja.

12.2

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010. Adapun lokasinya
pada bagian proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa Tbk.
Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kelelahan
pada pekerja di psoses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakasa
Tbk. Citeureup Bogor. Penelitian ini bersifat kuantitaif dengan desain cross sectional.

66

Sasaran penelitian adalah pekerja yang ada diarea produksi kantong semen dengan
jumlah sampel 88 orang.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor faktor yang berhubungan dengan
kelelahan kerja pada bagian produksi kanting semen PBD PT. Indocement Tunggal
Prakarsa Tbk. Tahun 2010. Hal tersebut dilakukan karena berdasarkan hasil studi
pendahuluan yang dilakukan pada 10 pekerja di proses produksi PBD PT. Indocement
Tunggal Prakarsa Tbk, diketahui rata-rata seluruh pekerja mengalami kelelahan kerja.
Data-data yang diperoleh berasal dari data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dan dikumpulkan dari objek penelitian ataupun responden selama penelitian.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari perusahaan dengan cara telaah dokumen. Data
tersebut disajikan dalam tabel distribusi frekuensi, kemudian dilakukan uji statistik
dengan rumus chisquare untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan
variabel dependen.

67

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Kelelahan Kerja
2.2.Pengertian Kelelahan Kerja

Kelelahan mengandung 3 pengertian yaitu terdapatnya penurunan hasil kerja


secara fisiologik, adanya perasaan lelah dan merasa bosan bekerja. Pada susunan saraf
pusat terdapat sistem aktivasi dan inhibisi. Keduanya harus saling berimbang dan berda
dalam kondisi stabil dalam tubuh. Jika yang beroperasi adalah sistemm inhibisi, maka
akan datang rasa ngantuk atau bahkan tertidur yang berarti timbulnya rasa lelah
(Riyadina, 2000). Lelah adalah keadaan yang disertai penurunan efisiensi dan ketahanan
dalam bekerja. Kelelahan merupakan mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh
menghindari kerusakan lebih lanjut, sehingga dengan demikian terjadilah pemulihan
(Sumamur, 1996). Kelelahan menunjukkan kondisi yang berbeda-beda dari setiap
individu, tetapi semuanya bermuara pada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas
kerja serta ketahanan tubuh (Tarwaka, 2004).

Menurut Cameron (1973) yang dikutip oleh Rahmawati (1998) kelelahan kerja
merupakan kriteria yang kompleks yang tidak hanya menyangkut kelelahan fisiologis
dan psikologis tetapi dominan hubungannya dengan penurunan kinerja fisik, adanya

68

perasaan lelah, penurunan motivasi dan penurunan produktivitas kerja. Gambaran


mengenai gejala kelelahan (fatigue symptoms) secara subyektif dan obyektif antara lain;

1. Perasaan lesu, ngantuk dan pusing


2. Kurang mampu berkonsentrasi
3. Berkurangnya tingkat kewaspadaan
4. Persepsi yang buruk dan lambat
5. Berkurangnya gairah untuk bekerja
6. Menurunnya kinerja jasmani dan rohani (Budiono, 2000).

Beberapa gejala tersebut dapat menyebabkan penurunan efisiensi dan efektivitas


kerja fisik dan mental. Sejumlah gejala tersebut manifestasinya timbul berupa keluhan
oleh tenaga kerja dan seringnya tenaga kerja tidak masuk kerja (Budiono, dkk.2000).

Kelelahan adalah aneka keadaan yang disertai penurunan efisiensi dan ketahan
dalam bekerja, yang dapat dosebabkan oleh :

1. Kelelahan sumber utamanya adalah mata (kelelahan visual).


2. Kelelahan fisik umum.
3. Kelelahan syaraf.
4. Kelelahan oleh lingkungan yang monoton.
5. Kelelahan oleh lingkungan kronis terus menerus sebagai faktor
menetap (Sumamur, 1999).

2.2.1. Kelelahan Kerja

secara

69

Kelelahan kerja akan menurunkan kinerja dan menambah tingkat kesalahan kerja
(Nurmianto, 2003). Meningkatnya kesalahan kerja akan memberikan peluang terjadinya
kecelakaan kerja dalam industri. Pembebanan otot secara statispun (Static Muscular
Loading) jika dipertahankan dalam waktu yang cukup lama akan mengakibatkan
RSI (Repetition Strain Injuries), yaitu nyeri otot, tulang, tendon, dan lain-lain yang
diakibatkan oleh jenis pekerjaan yang bersifat berulang (repetitive).

Menurut

Tarwaka

(2004)

kelelahan

merupakan

suatu

mekanisme

perlindungan agar terhindar dari kerusakan lebih lanjut, sehingga dengan demikian
terjadilah pemulihan setelah istirahat. Kelelahan (fatigue) merupakan suatu perasan
yang subyektif. Kelelahan adalah suatu kondisi yang disertai penurunan efisiensi
dan kebutuhan dalam bekerja (Budiono, 2003). Kelelahan kerja akan menurunkan
kinerja dan menambah tingkat kesalahan kerja. Meningkatnya kesalahan kerja akan
memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja dalam industri. Selain itu karakteristik
kelelahan akan meningkat dengan semakin lamanya pekerjaan yang dilakukan. Pendapat
lain mengatakan bahwasanya kelelahan dapat menurunkan kapasitas kerja dan ketahanan
kerja yang ditandai oleh sensasi lelah, motivasi menurun, aktivitas menurun. Rizeddin
(2000)

2.2.2. Jenis Kelelahan

Jenis kelelahan meliputi atas dua bagian:

1) Kelelahan Otot (Muscular Fatigue)

70

Kelelahan otot menurut Sumamur (1999) adalah tremor pada otot atau
perasaan nyeri yang terdapat pada otot. Hasil percobaan yang dilakukan para
peneliti pada otot mamalia, menunjukkan kinerja otot berkurang dengan
meningkatnya ketegangan otot sehingga stimulasi tidak lagi menghasilkan
respon tertentu. Fenomena berkurangnya kinerja otot setelah terjadinya
tekanan melalui fisik untuk suatu waktu tertentu disebut kelelahan otot secara
fisiologis, dan gejala yang ditunjukkan tidak hanya berupa berkurangnya
tekanan fisik namun juga pada makin rendahnya gerakan.

2) Kelelahan Umum

Pendapat Grandjean (1993) yang dikutip oleh Tarwaka, dkk (2004), biasanya
kelelahan umum ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk bekerja,yang
sebabnya adalah pekerjaan yang monoton, intensitas dan lamanya kerja fisik,
keadaan lingkungan, Sebab-sebab mental, status kesehatan dan keadaan gizi.
Secara umum gejala kelelahan dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai
perasaan yang sangat melelahkan. Kelelahan subyektif biasanya terjadi pada
akhir jam kerja, apabila beban kerja melebihi 30-40% dari tenaga aerobik.
Pengaruhpengaruh ini seperti berkumpul didalam tubuh dan mengakibatkan
perasaan lelah (Sumamur, 1996). Menurut Budiono (2003), gejala umum
kelelahan adalah suatu perasaan letih yang luar biasa dan terasa aneh. Semua
aktivitas menjadi terganggu dan terhambat karena munculnya gejala kelelahan
terebut. Tidak adanya gairah untuk bekerja baik secara fisik maupun psikis,
segalanya terasa berat dan merasa mengantuk.

71

2.2.3. Tanda kelelahan

Pada umumnya orang lelah menunjukkan tanda-tanda sebagai berikut ;

a. Penurunan perhatian
b. Perlambatan dan hambatan persepsi
c. Lamban dan sukar berfikir
d. Penurunan kemampuan atau dorongan untuk bekerja
e. Kurangnya efisiensi kegiatan-kegiatan fisik dan mental

Jika menderita lelah berat secara terus menerus maka akan mengakibatkan
kelelahan kronis dengangejala lelah sebelum bekerja. Jika terus berlanjut dan
menimbulkan sakit kepala, pusing, mual dan sebagainya maka kelelahan itu dinamakan
lelah klinis yang akan mengakibatkan malas bekerja (Sedarmayanti 1996).

2.2.4. Pengukuran Kelelahan

Sampai saat ini belum ada metode pengukuran kelelahan yang baku karena
kelelahan merupakan suatu perasaan subyektif yang sulit diukur dan diperlukan
pendekatan secara multidisiplin (Grandjean, 1993) yang dikutip oleh Tarwaka (2004).
Namun demikian diantara sejumlah metode pengukuran terhadap kelelahan yang ada,
umumnya terbagi kedalam 5 kelompok yang berbeda, yaitu:

1) Kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan

Pada metode ini, kualitas output digambarkan sebagai jumlah proses kerja
(waktu yang digunakan setiap item) atau proses operasi yang dilakukan setiap

72

unit waktu. Namun demikian banyak faktor yang harus dipertimbangkan


seperti; target produksi; faktor sosial; dan perilaku psikologis dalam kerja.
Sedangkan kualitas output (kerusakan produk, penolakan produk) atau
frekuensi kecelakaan dapat menggambarkan terjadinya kelelahan, tetapi faktor
tersebut bukanlah merupakan causal faktor (Tarwaka, 2004).

2) Pengujian Psikomotorik

Pada metode ini melibatkan fungsi persepsi, interpretasi dan reaksi motor.
Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan pengukuran waktu
reaksi. Waktu reaksi adalah jangka waktu dari pemberian suatu rangsang
sampai kepada suatu saat kesadaran atau dilaksanakan kegiatan. Dalam uji
waktu reaksi dapat digunakan nyala lampu, denting suara, sentuhan kulit atau
goyangan badan. Terjadinya pemanjangan waktu reaksi merupakan petunjuk
adanya perlambatan pada proses faal syaraf dan otot.

Sanders dan Cormick (1987) yang dikutip oleh Tarwaka (2004) mengatakan
bahwa waktu reaksi adalah waktu untuk membuat suatu respon yang spesifik
saat suatu stimulasi terjadi. Waktu reaksi terpendek biasanya berkisar antara
150 s/d 200 milidetik. Waktu reaksi tergantung dari stimuli yang dibuat;
intensitas dan lamanya perangsangan; umur subjek; dan perbedaan-perbedaan
individu lainnya. Setyawati (1996) yang dikutip oleh Tarwaka (2004)
melaporkan bahwa dalam uji waktu reaksi, ternyata stimuli terhadap cahaya

73

lebih signifikan daripada stimuli suara. Hal tersebut disebabkan karena stimuli
suara lebih cepat diterima oleh reseptor daripada stimuli cahaya. Alat ukur
waktu reaksi telah dikembangkan di Indonesia biasanya menggunakan nyala
lampu dan denting suara sebagai stimuli.

3) Mengukur frekuensi subjektif kelipan mata (Flicker Fusion Eyes)

Dalam kondisi yang lelah, kemampuan tenaga kerja untuk melihat kelipan
akan berkurang. Semakin lelah akan semakin panjang waktu yang diperlukan
untuk jarak antara dua kelipan. Uji kelipan, disamping untuk mengukur
kelelahan juga menunjukkan keadaan kewaspadaan tenaga kerja (Tarwaka,
2004).

4) Perasaan kelelahan secara subjektif (Subjektive feelings of fatigue)

Subjective Self Rating Tes dari Industrial Fatigue Research Committee


(IFRC) Jepang, merupakan salah satu kuesioner yang dapat untuk mengukur
tingkat kelelahan subjektif. Kuesioner tersebut berisi 30 daftar pertanyaan.

5) Pengujian Mental

Pada metode ini konsentrasi merupakan salah satu pendekatan yang dapat
digunakan untuk menguji ketelitian dan kecepatan menyelesaikan pekerjaan.
Baurdon Wiersma test, merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk
menguji kecepatan, ketelitian dan konsentrasi. Hasil test akan menunjukkan
bahwa semakin lelah seseorang maka tingkat kecepatan, ketelitian dan

74

konsentrasi akan semakin rendah atau sebaliknya. Namun demikian Bourdon


Wiersma tes lebih tepat untuk mengukur kelelahan akibat aktivitas atau
pekerjaan yang lebih bersifat mental.

Menurut Grandjean (1985) yang dikutip oleh Setiarto (2002), proses


penerimaan rangsangan terjadi karena setiap rangsangan yang datang dari luar
tubuh akan melewati sistem aktivitas, yang kemudian secara aktif menyiagakan
korteks bereaksi. Dalam hal ini sistem aktivasi retrikulasi befungsi sebagai distributor
dan amplifier sinyal-sinyal tersebut. Pada keadaan lelah secara neurofisiologis, korteks
cerebri mengalami penurunan aktivasi, terjadi perubahan pengarahan sehingga tubuh
tidak secara cepat menjawab sinyal-sinyal dari luar . Salah satu alat guna mengetahui
tingkat kelelahan adalah dengan Reaction Timer Test, yaitu alat untuk mengukur tingkat
kelelahan berdasarkan kecepatan waktu reaksi seseorang terhadap rangsang cahaya dan
rangsang suara. Pada keadaan yang sehat, tenaga kerja akan lebih cepat merespon
rangsang yang diberi dan seseorang yang telah mengalami kelelahan akan lebih lama
merespon rangsang yang diberi (Koesyanto dan Tunggul, 2005).

Menurut Koesyanto dan Tunggul

(2005), tingkat kelelahan kerja dapat

diklasifikasikan berdasarkan waktu reaksi yang diukur dengan reactiontimer yaitu:

1) Normal (N)

: waktu reaksi 150.0-240.0 milidetik

2) Kelelahan Kerja Ringan (KKR) : waktu reaksi >240.0-<410.0 milidetik


3) Kelelahan Kerja Sedang (KKS) : waktu reaksi 410.0-<580.0 milidetik

75

4) Kelelahan Kerja Berat (KKB)

: waktu reaksi >580.0 milidetik

2.2.5. Dampak Kelelahan

Perubahan fisiologis akibat kelelahan merupakan kerja Mekanisme prinsip tubuh


mencakup sistem sirkulasi, sistem pencemaan, sistem otot, sistem saraf dan sistem
pemafasan. Kerja fisik yang terus menerus mempengaruhi mekanisme tersebut baik
sebagian maupun secara keseluruhan (Setyawati, 1994). Gejala kelelahan kerja menurut
Gilmer (1966) dan Cameron (1973) yaitu menurun kesiagaan dan perhatian, penurunan
dan hambatan persepsi, cara berpikir atau perbuatan anti sosial, tidak cocok dengan
lingkungan, (depresi, kurang tenaga, kehilangan inisiatif), dan gejala umum (sakit kepala,
vertigo, gangguan fungsi paru dan jantung, kehilangan nafsu makan, gangguan
pencemaan, kecemasan, pembahan tingkah laku, kegelisahan, dan kesukaran tidur).
Kelelahan Kerja dapat menyebabkan prestasi kerja yang menurun, fungsi fisiologis
motorik dan neural yang menurun,

badan terasa tidak enak, Semangat kerja yang

menurun (Bartley dan Chute, 1982).

Beberapa penelitian mendapatkan hasil, bahwasanya kelelahan kerja berhubungan


dengan faktor fisik, faktor pekerjaan dan faktor individu. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Atik Muftia pada bagian produksi diperoleh ada hubungan antara penerangan
dengan kelelahan dengan nilai pvaluenya 0,032. Hasil penelitian yang dilakukan Paulina
(2008) pada proses produksi menunjukkan adanya hubungan tekanan panas dengan
kelelahan kerja dengan nilai pvaluenya 0,001, ada hubungan antara umur dengan
kelelahan kerja dengan nilai valuenya 0,0001 dan ada hubungan antara masa kerja
dengan kelelahan kerja dengan nilai pvaluenya 0,0001.

76

2.3. Faktor-faktor Penyebab Kelelahan Kerja

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Tenaga Kerja Menurut, Depkes


(1990) Agar seorang tenaga kerja dapat terjamin keadaan, kesehatan dan produktivitas
kerja setinggi tingginya maka perlu ada keseimbangan yang menguntungkan dari faktor
faktor penyebab kelalahan pekerja.

2.3.1. Tekanan Panas

Tekanan panas adalah total panas tubuh seseorang yang berasal dari kombinasi
panas metabolik (internal) dan panas lingkungan (eksternal). Yang dimaksud dengan
panas metabolic adalah hasil sampingan (by-product) dari proses kimia yang terjadi pada
sel, jaringan dan organ (Fundamentals of industrial Hygiene, 4 th edition, Thermal stress).
Panas yang dihasilkan dari proses metabolisme tersebut berasal dari aktivitas manusia.
Suhu nikmat bekerja sekitar 24 - 26C bagi orang- orang Indonesia, suhu

dingin

mengurangi efisiensi dengan keluhan kaku atau kurangnya koordinasi otot. Suhu panas
terutama berakibat menurunnya prestasi kerja pikir. Penurunan sangat hebat sesudah
32C. Suhu panas mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan waktu
pengambilan keputusan, mengganggu kecermatan kerja otak, mengganggu koordinasi
syaraf perasa dan motoris (Sumamur, 1996).

NAB (Nilai Ambang Batas) adalah standar faktor tempat kerja yang dapat
diterima tenaga kerja tanpa mengakibatakan penyakit atau gangguan kesehatan dalam
pekerjaan sehari-hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu.
Biasanya ahli hygiene industry menggunakan parameter yang disebut Wet Bulb Globe

77

Thermometer (WBGT) Index atai Indeks Suhu Basah Bola dan suhu globe/radiasi.
Seseuai dengan Undang-undang nomor 1 tahun 1970 tentang ditetapkannya syarat-syarat
keeslamatan dan kesehatan kerja, salah satu sumber bahaya yang ditemukan di tempat
kerja adalah bahaya kondisi fisik berupa iklim kerja panas.

Lingkungan kerja yang panas umumnya lebih banyak menimbulkan permasalahan


dibandingkan lingkungan kerja dingin. Hal ini terjadi karena pada umumnya manusia
lebih mudah melindungi dirinya dari pengaruh suhu udara yang rendah dari pada suhu
udara yang tinggi (Ardyanto, 2005). Lingkungan kerja yang panas dan lembab akan
menurunkan produktifitas kerja yang juga akan membawa dampak negatif terhadap
keselamatan dan kesehatan kerja (Santoso, 2004).

Beban kerja fisik yang berat yang berhubungan dengan waktu kerja yang lebih
dari 8 jam, maka dapat menurunkan produktivitas kerja serta meningkatnya angka
kecelakaan kerja dan sakit (Budiono dkk., 2000). Setiap pekerjaan merupakan beban bagi
pelakunya. Seorang tenaga kerja memiliki kemampuan tersendiri dalam hubungannya
dengan beban kerja. Diantara mereka ada yang lebih cocok untuk beban fisik, mental
ataupun sosial (Sumamur, 1996). Akibat beban kerja yang terlalu berat

dapat

mengakibatkan pekerja menderita gangguan atau penyakit akibat kerja (Depkes dan
Kessos RI, 2000). Bahkan banyak juga dijumpai kasus kelelahan kerja dimana hal itu
adalah sebagai akibat dari pembebanan kerja yang berlebihan ( Sugeng Budiono dkk.,
2000).

Pekerjaan fisik yang berat jika diperpanjang akan mengakibatkan perubahan


fisiologis dan dapat diukur. Misalnya saja, detak jantung, penggunaan oksigen dan

78

ketegangan otot (Anies, 2002). Setiap beban kerja harus disesuaikan dengan kemampuan
tubuh seseorang. Apabila beban kerja lebih besar dari kemampuan tubuh maka akan
terjadi rasa tidak nyaman (paling awal), kelelahan (overstress), kecelakaan, cedera, rasa
sakit, penyakit dan produktivitas menurun (paling akhir). Sebaliknya, apabila beban kerja
lebih kecil dari kemampuan tubuh maka akan terjadi understress, kejenuhan, kebosanan,
kelesuan, kurang produktif dan sakit (Santoso, 2004). Hasil penelitian yang dilakukan
Paulina (2008) pada bagian produksi PT. X menunjukkan adanya hubungan yang
bermakna antara tekanan panas dengan kelelahan kerja, dengan nilai pvaluenya 0,001.

2.3.1.1.Dampak Kesehatan yang Ditimbulkan Oleh Panas

Mungkin panas tidak dipersoalkan bila tidk ada dampak yang timbul bagi
manusia, karena pada dasarnya panas itu sangat diperlukan keberadaannya hal
tersebut erat kaitannya dengan energi. Namun demikian kenyataannya terdapat
energi panas yang belebihan yang kotak dengan manusia. Berkaitan dengan
adanya energi panas yang kontak dengan manusia, berikut ini merupakan dampak
kesehatan yang diakibatkan oleh panas yang berlebihan berdasarkan OSHA
(Ocupational Safey and Health Administration) adalah sengatan panas (Heat
stroke), Kelelahan karena panas (Heat exhaustion), Heat Collapse, kejang panas
(Heat Cramp), Heat rash, dan Heat Fatigue.

2.3.1.2.Pengukuran Panas

Berikut ini merupakan hal-hal yang harus diperhatikan daam pengukuran panas :

79

1. Penentuan titik sampling

Titik sampling sangat mempengaruhi data mengenai keberadaan atau kondisi


panas yang mewakili area panas berlebih. Oleh karena itu lokasi titik sampling
yang akan dijadikan lokasii pengukuran harus tepat dengan memperhatikan
beberapa cara. Pertama, pada area tersebut terdapat sumber panas, baik
peralatan maupun prosesnya. Kedua, secara subjektif pada area tersebut
terdapat perbedaan temperatur dengan suhu lingkungan. Ketiga, pada area
tersebut terdapat pekerja yang melakukan pekerjaan.

2. Persiapan alat ukur

Alat ukur yang digunakan tergantung dari sampling yang akan kita ukur.
Untuk mengukur ssampling lingkungan alat yang kita gunakan adalah
Thermal Environmental Monitor atau yang biasa disebut WBGT (Wet Bulb
Globe

Temperature).

Sedangkan

untuk

pengukuran

panas

personal

menggunakan alat Personal Heat Monitoring.

Berikut ini merupakan persiapan yang dilakukan terhadap alat ukur sebelum
alat tersebut digunakan :

a. Pastikan bahwa alat ukur dalam kondisi yang baik (berfungsi).


b. Lakukan kalibrasi internal dengan lat kalibrasi yang terseia.

80

c. Tutup thermometer suhu basah dengan aquades tunggu selama _+ 10-15


menit.
d. Pasang WBGT pada alat penyannga (tripod).
e. Pelaksanaan pengukuran

Berikut ini merupakan langkah-langkah pengukuran :

a. Letakan alt pada lokasi sampling 2 feet (-+60 cm) dari permukaan tanah,
untuk pekerja yang dominan duduk dalam bekerja.
b. Aktifkan alat (tanpa logging) selama -+ 15 menit untuk adaptasi alat.
c. Aktifkan logging data sesuai dengan waktu pengukuran yang diinginkan.
d. Matikan logging data jika selesai dan data siap untuk diproses atau
dicetak.

2.3.1.3.Evaluasi Jumlah Panas Metabolik (Beban Kerja)

Evaluasi jumlah panas metabolik tubuh dapat diperoleh dengan menggunakan


estimasi pengukuran panas metabolik menurut NIOSH 1986 yang dapat dilihat
pada tabel 2.1.

Tabel 2.1
Estimasi Pengukuran Panas Metabolik
A

Body position and movement

Kcal/min*

81

Sitting
Standing
Walking
Walking uphill

0.3
0.6
2.0 -3.0
Add 0.8 per meter rise

Average
Type of work
Kcal/min
Range kcal/min
Hand work
Light
0.4
0.2 1.2
Heavy
0.9
Work one arm
Light
1.0
0.7 2.5
Heavy
1.8
Work both arms
Light
1.5
1.0 3.5
Heavy
2.5
Work whole body
Light
3.5
Moderate
5.0
2.5 9.0
Heavy
7.0
Very Heavy
9.0
1.0
C Basal metabolism
D Sample calculation**
Average Kcal/min
Assembling work with heavy hand
tools
Standing
0.6
Two arm work
3.5
Basal metabolism
1.0
Total
5.1 kcal/min
* For standard worker of 70 kg body weight (154 lbs) and 1.8 m2 body
surface (19.4 ft2)
** Example of measuring metabolic heat production of worker when
performing initial screening
Sumber: NIOSH Occupational Exposure to Hot Environments, 1986
B

Selain estimasi pengukuran panas metabolik menurut NIOSH 1986, panas


metabolisme dapat diukur melalui perhitungan beban kerja berdasarkan tingkat
kebutuhan kalori menurut pengeluaran energi (lampiran 1). Menurut Palupi (2005) beban
kerja merupakan beban yang dialami oleh tenaga kerja sebagai akibat pekerjaan yang
dilakukannya. Penilaian beban kerja dilakukan dengan pengukuran berat badan tenaga
kerja, pengamatan aktifitas tenaga kerja dan kebutuhan kalori berdasarkan pengeluaran

82

energi sesuai tabel perhitungan beban kerja. Pengamatan aktifitas kerja dilakukan dengan
cara pengamatan pada kategori jenis pekerjaan dan posisi badan pekerja setiap jam,
kemudian posisi dan lama gerakan tersebut dicatat dan dihitung.

2.3.1.4.Evaluasi Tingkat Beban Kerja

Evaluasi tingkat beban kerja diperoleh dengan mengkategorikan hasil estimasi


pengukuran panas metabolisme menurut NIOSH 1986 sesuai dengan kategori OSHA
pada tabel 2.2.

Tabel 2.2
Tingkat Beban Kerja
No
Pengukuran Panas
Tingkat Beban
Metabolik
Kerja
1
< 200 kcal/jam
Ringan
2
200 - 350 kcal/jam
Sedang
3
350 - 500 kcal/jam
Berat
4
> 500 kcal/jam
Sangat Berat
Sumber : OSHA

2.3.1.5.Standar Tekanan Panas

ACGIH menetapkan nilai ambang batas paparan panas yang diperbolehkan TLV
dalam satuan C WBGT sesuai dengan tabel 2.3 berikut.

Tabel 2.3
Batas Pajanan Tekanan Panas untuk Pekerja
Yang Teraklimatisasi
Allocation of work
in a cycle of work
and recovery

TLV (WBGT values in C)


Very
Light Moderate Heavy
Heavy

83

75% to 100%
50% to 75%
25% to 50%
0% to 25%

31.0
31.0
32.0
32.5

28.0
29.0
30.0
31.5

27.5
29.0
30.5

28.0
30.0

Sumber : ACGIH TLV and Biological Exposure Indices, 2007

Tabel 2.4
Batas Pajanan Tekanan Panas untuk Pekerja yang tidak teraklimataisasi
Allocation of
work in a cycle
of work and
recovery
75% to 100%
50% to 75%
25% to 50%
0% to 25%

Action Limit (WBGT values in C)e


Light
28.0
28.5
29.5
30.0

Moderate Heavy
25.0
26.0
27.0
29.0

24.0
25.5
28.0

Very
Heavy

24.5
27.0

Sumber : ACGIH TLV and Biological Exposure Indices, 2007


2.3.2. Tingkat Kebisingan

Kebisingan merupakan bunyi yang didengar sebagai rangsangan-rangsangan pada


telinga oleh getaran-getaran melalui media elastis dan bunyi-bunyi tersebut tidak
dikehendaki (Sumamur, 1996). Bunyi dinilai sebagai bising sangatlah relatif sekali,
suatu contoh misalnya musik di diskotik, bagi orang yang biasa mengunjungi tempat itu
tidak merasa suatu kebisingan, tetapi bagi orangorang yang tidak pernah berkunjung di
diskotik akan merasa suatu kebisingan yang mengganggu (Gabriel, 1997). Setiap tenaga
kerja memiliki kepekaan sendiri-sendiri terhadap kebisingan, terutama nada yang tinggi,
karena dimungkinkan adanya reaksi psikologis seperti stres, kelelahan, hilang efisiensi
dan ketidaktenangan (Sutaryono, 2002).

84

Menurut Sumamur (1996) bunyi didengar sebagai rangsangan pada telinga oleh
getaran- getaran melalui media elastis, dan manakala bunyi- bunyi tersebut tidak
dikehendaki, maka dinyatakan sebagai kebisingan. Terdapat dua hal yang menentukan
kualitas suatu bunyi, yaitu frekuensi dan intensitasnya. Frekuensi dinyatakan dalam
jumlah getaran per detik atau disebut hertz (Hz) dan intensitas atau arus energi persatuan
luas biasanya dinyatakan dalam desibel (db). Telinga manusia mampu mendengar
frekuensi- frekuensi diantara 16- 20.000 Hz.

Pengukuran kebisingan biasanya dilakukan dengan tujuan memperoleh data


kebisingan di perusahaan atau dimana saja sehingga dapat dianalisis dan dicari
pengendaliannya. Alat yang digunakan untuk mengukur intensitas kebisingan adalah
dengan menggunakan sound level meter dengan satuan intensitas kebisingan sebagai
hasil pengukuran adalah desibel (dBA). Alat ini mampu mengukur kebisingan diantara 30
-130 dBA dan dari frekuensi 20-20000 Hz. Alat kebisingan yang lain adalah yang
dilengkapi dengan octave band analyzer dan noise dose meter (Depnaker, 2004).

2.3.2.1. Nilai Tingkat Baku Kebisingan


Adalah angka dB yang dianggap aman untuk sebagian besar tenaga kerja bila
bekerja 8 jam/hari atau 40 jam/minggu. Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 51
tahun 1999, Nilai Ambang Batas untuk kebisingan di tempat kerja adalah
intensitas tertinggi dan merupakan nilai rata-rata yang masih dapat diterima
tenaga kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu
terus menerus tidak lebih dari 8 jam sehari atau 40 jam seminggunya. Hasil
penelitian yang dilakuka oleh Muftia (2005) menunjukkan adanya hubungan

85

antara tingkat kebisingan dengan kelelahan. Dengan nilai pvaluenya 0,000. Waktu
maksimum bekerja adalah sebagai berikut:

Tabel 2.5.
NAB Kebisingan Menurut KepMenNaker NO. 51 TAHUN 1999

Waktu Pemajanan per


Hari
8

Jam

Intensitas Kebisingan
dalam dBA
85

88

91

94

30

Menit

97

15

100

7,5

103

3,75

106

1,88

109

0,94

112

28,12

Detik

115

14,06

118

7,03

121

3,52

124

1,76

127

0,88

130

0,44

133

0,22

136

0,11

139

Sumber : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR KEP.51/MEN/1999

2.3.2.2.Pengukuran Kebisingan

86

Pengukuran adalah kunci dalam meminimalkan risiko yang ditimbulkan oleh


kebisingan. Pengukuran kebisingan tidak jauh berbeda dengan survey bising.
Untuk lebih memadai, pengukuran kebisingan harus dapat mengidentifikasi
pekerja yang terekspos pada tingkatan yang berbahaya (tidak standar) dan
menghasilkan informasi yang selanjutnya akan dijadikan dasar dalam menentukan
peraturan perusahaan terkait dengan kebisingan. Contoh dari peraturan
perusahaan terkait dengan kebisingan adalah penurunan pajanan kebisingan;
pelindung telinga; tanda zona wajib memakai pelindung telinga; pembekalan
/pelatihan terhadap karyawan.

1. Alat Pengukur Kebisingan

Untuk mengetahui intensitas bising di lingkungan kerja, digunakan Sound


Level meter. Untuk mengukur nilai ambang pendengaran digunakan
Audiometer. Untuk menilai tingkat pajanan pekerja lebih tepat digunakan
Noise Dose Meter karena pekerja umumnya tidak menetap pada suatu tempat
kerja selama 8 jam ia bekerja. Nilai ambang batas (NAB) intensitas bising
adalah 85 dB dan waktu bekerja maksimum adalah 8 jam per hari.

Sound Level Meter

adalah alat pengukur suara. Mekanisme kerja SLM

apabila ada benda bergetar, maka akan menyebabkan terjadinya perubahan


tekanan udara yang dapat ditangkap oleh alat ini, selanjutnya akan
menggerakan meter penunjuk. Audiometer adalah alat untuk mengukur nilai
ambang pendengaran. Audiogram adalah chart hasil pemeriksaan audiometri.

87

Nilai ambang pendengaran adalah suara yang paling lemah yang masih dapat
didengar telinga.

Adapun operasional pengkuran dapat dilakukan sebagaimana Lampiran II


Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.: Kep-48/MENLH/11/1996
sebgai berikut :

a. Langkah pertama yang harus diperhatikan adalah penentuan standar yang


akan diacu dalam survei.
b. Pemeriksaan instrumen. Hal ini meliputi pemeriksaan batere sound level
meter (SLM) dan kalibrator, serta aksesories misalnya windscreen, rain
cover, dan lain-lain.
c. Kalibrasi instrumen. Hal ini harus selalu dilakukan sebelum dan sesudah
pengukuran berlangsung.
d. Pembuatan denah lokasi dan titik dimana pengukuran dilakukan.
e. Bila pengukuran dilakukan dengan free-field microphone (standar
IEC) maka SLM diarahkan lurus ke sumber.

Sedangkan jika

mikropon yang digunakan merupakan random incidence microphone


(ANSI), maka SLM harus diorientasikan sekitar 70o - 80o terhadap
sumber bising.
f. Dalam keadaan kebisingan berasal dari lebih dari satu arah, maka
sangat penting untuk memilih mikropon dan mounting yang tepat
yang
terbaik.

memungkinkan untuk mencapai karakteristik omnidirectional

88

g. Pemilihan weighting network yang sesuai.


h. Pemilihan

respons

detektor

yang

sesuai,

atau

untuk

mendapatkan pembacaan yang akurat.


i. Hindarkan refleksi baik dari tubuh operator maupun blocking suara dari
arah tertentu.
j. Saat pengukuran berlangsung, selalu perhtikan haal-hal berikut: (a)
Hindari pengukuran dekan bidang pemantul; (b). Lakukan pengukuran
pada jarak yang tepat, sesuai dengan standar atau baku mutu yang diacu;
(c). Cek bising latar; (d). Pastikan 77 tidak terdapat perintang terhadap
sumber

bising

yang

diukur;

(e).

Selalu

gunakan windshield

(windscreen), dan (f). Tolak pembacaan overloud.


k. Laporan harus terdokumentasi dengan baik. Laporan ini sedikitnya harus
terdiri dari: (a). Sket pengukuran (meliputi orientasi dan kedudukan
SLM,

luas

ruangan

atau tempat

pengukuran

dilakukan

serta

kedudukan sumber bising); (b). Standar yang diacu; (c). Identitas


instrumen;

jenis

dan

nomor

seri;

(d).

Metode

kalibrasi;

(e).

Weighting network dan respons detektor yang digunakan; (f).


Deskripsi jenis suara (impulsif, kontinyu, atau tone); (g). Data bising
latar; termasuk chart yang digunakan untuk perhitungan; (h). Kondisi
lingkungan; tekanan atmosfir; (i). Data obyek yang diukur (jenis
mesin, beban, kecepatan, dll); (j). Tanggal pengukuran dan nama
operator.

2.3.3. Penerangan

89

Menurut peraturan pemerintah (1999), penerangan ditempat kerja adalah jumlah


penyinaran pada suatu bidang kerja yang diperlukan untuk melaksakan kegiatan secara
efektif. Penerangan dapat berasal dai cahaya alami dan buatan. Penerangan adalah
penting sebagai suatu faktor keselamatan dalam lingkungan fisik pekerja. Beberapa
penyelidikaan mengenai hubungan antara produktivitas dengan penerangan telah
memperlihatkan, bahwa penerangan yang cukup dan diatur sesuai dengan jenis pekerjaan
dapat menghasilkan produksi maksimal dan penekanan biaya (Sutaryono, 2002).

Penerangan di tempat kerja adalah salah satu sumber cahaya yang menerangi
benda- benda di tempat kerja. Banyak obyek kerja beserta benda atau alat dan kondisi di
sekitar yang perlu dilihat oleh tenaga kerja. Hal ini penting untuk menghindari
kecelakaan yang mungkin terjadi. Selain itu penerangan yang memadai memberikan
kesan pemandangan yang lebih baik dan keadaan lingkungan yang menyegarkan
(Sumamur, 1996). Penerangan di tempat kerja merupakan salah satu faktor yang perlu
diupayakan penyempurnaannya. Penerangan yang baik mendukung kesehatan kerja dan
memungkinkan tenaga kerja bekerja dengan lebih aman dan nyaman, yang antara lain
disebabkan karena mereka dapat melihat obyek yang dikerjakan dengan jelas, cepat dan
tanpa upaya tambahan, serta membantu menciptakan lingkungan kerja yang nikmat dan
menyenangkan.

Akibat- akibat penerangan yang buruk adalah:

1. Kelelahan mata dengan berkurangnya daya dan efisiensi kerja.


2. Kelelahan mental.
3. Keluhan- keluhan pegal di daerah mata, dan sakit kepala sekitar mata.

90

4. Kerusakan alat penglihatan.


5. Meningkatnya kecelakaan (Budiono, 2003).

2.3.4. Getaran

Getaran adalah beresonansinya tubuh manusia akibat adanya sumber getaran yang
dapat menimbulkan gangguan berupa ganguan kesehatan. (Depnaker, 1993) Getaran
adalah gerakan yang teratur dari benda atau media dengan arah

bolak- balik dari

kedudukan kesetimbangannya. Getaran terjadi saat mesin atau alat dijalankan dengan
motor, sehingga pengaruhnya bersifat mekanis. Menurut Budiono (2003) pengaruh
getaran pada tenaga kerja dapat dibedakan:

1. Gangguan kenikmatan dalam bekerja.


2. Mempercepat terjadinya kelelahan.
3. Gangguan kesehatan

Getaran suatu benda dapat dihindari dengan meletakkan bahan peredam di bawah
benda yang bergetar. Bahan peredam harus jauh lebih rendah frekuensinya dari frekuensi
getaran benda. Frekuensi dari bahan peredam sebaiknya sekitar 1 Hz (Gabriel, 1997).

2.3.5. Ventilasi

Ventilasi di dalam suatu industri atau pertukaran udara di dalam industri


merupakan suatu metode yang digunakan untuk memelihara dan menciptakan udara suatu
ruangan yang sesuai dengan kebutuhan proses produksi atau kenyamanan pekerja. Di
samping itu juga digunakan untuk menurunkan kadar suatu kontaminan di udara tempat

91

kerja sampai batas yang tidak membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan pekerja
(Depnaker, 1993).

2.3.6. Shift Kerja

Perbedaan waktu kerja di

pagi, siang dan malam hari juga mempengaruhi

kelelahan tenaga kerja. Tingkat kelelahan tenaga kerja yang bekerja di malam hari akan
lebih besar jika dibanding kerja di pagi atau siang hari. Hal itu dikarenakan jumlah jam
kerja yang dipakai tidur bagi pekerja malam pada siang harinya relatif jauh lebih kecil
dari seharusnya, dikarenakan gangguan suasana siang hari seperti kebisingan, suhu,
keadaan terang, beban yang harus diselesaikan pada siang hari seperti pekerjaan rumah
dan mengurus anak dan oleh karena kebutuhan badan yang tidak dapat diubah seluruhnya
menurut kebutuhan, yaitu terbangun oleh dorongan lapar atau buang air kecil yang relatif
lebih banyak pada siang hari (Sumamur, 1996). Berdasarkan hasil peneltian yang
dilakukan oleh Febriana, (2009)

menunujukan adanya hubungan antara shift kerja

dengan kelelahan, dengan nilai pvaluenya 0,000.

2.3.7. Psikologis

Pekerjaan apapun akan menimbulkan reaksi psikologis bagi yang melakukan


pekerjaan itu. Reaksi tersebut dapat bersifat positif misalnya, senang, bergairah, dan
merasa sejahtera atau reaksi yang bersifat negatif misalnya, bosan, acuh, tidak serius,
stres dan sebagainya (Notoatmodjo, 1997). Tenaga kerja yang mempunyai masalah
psikologis amatlah mudah mengidap suatu bentuk kelelahan kronis (Budiono dkk., 2000).
Salah satu penyebab dari reaksi psikologis adalah pekerjaan yang monoton yaitu, suatu

92

kerja yang berhubungan dengan hal yang sama dalam periode atau waktu yang tertentu,
dan dalam jangka waktu yang lama dan biasanya dilakukan oleh suatu produksi yang
besar (Budiono dkk, 2000). Rasa bosan merupakan manifestasi dari reaksi suasana yang
monoton (Nurmianto, 2003). Dalam hal ini kebosanan merupakan ungkapan perasaan
tidak enak secara umum, yakni suatu perasaan resah, kurang menyenangkan dan lelah
(Anies, 2002). Rasa bosan dapat dirasakan oleh siapa saja. Kebosanan biasanya banyak
dialami oleh pekerja dalam bidang industry misalnya saja operator mesin tenun, mesin
cetak dan sejenisnya yang sifatnya monoton dan berulangulang (Budiono dkk, 2000).

Menurut Budiono dkk, (2000) bila kebosanan berlangsung terus dan tidak diatasi,
maka akan timbul:

1) Timbulnya rasa kesal, lemas, dan lelah;


2) Berkurangnya kewaspadaan;
3) Perasaan tidak betah dan menghindar dari pekerjaan (absensi tinggi);
4) Terjadinya kerusakan atau kesalahan dalam bekerja akibat kurangnya
konsentrasi;
5) Terjadinya kecelakaan kerja;
6) Turunnya produktivitas kerja.

Menurut Anies (2002) upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi kebosanan
adalah; (1) Perlu dilakukan kesesuaian antara tenaga kerja dengan pekerjaannya; (2)
Melakukan perputaran pekerjaan (job rotation); (3) Mengubah kondisi lingkungan kerja.

2.3.8. Masa Kerja

93

Tekanan melalui fisik (beban kerja) pada suatu waktu tertentuk mengakibatkan
berkurangnya kinerja otot, gejala yang ditunjukkan juga berupa pada makin rendahnya
gerakan. Keadaaan ini tidak hanya disebabkan oleh suatu sebab tunggal seperti terlalu
kerasnya beban kerja, namun juga oleh tekanantekanan yang tera-kumulasi setiap
harinya pada suatu masa yang panjang. Keadaan seperti ini yang

berlarutlarut

mengakibatkan memburuknya kesehatan, yang disebut juga kelelahan klinis atau kronis.
Perasaan lelah pada keadaan ini kerap muncul ketika bangun di pagi hari, justru sebelum
saatnya bekerja, misalnya berupa perasaan kebencian yang bersumber dari perasaan
emosi (Budiono dkk, 2003). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Eraliesa
(2008)

terdapat hubungan antara masa kerja dengan tingkat kelelahan, dengan nilai

pvaluenya 0,002.

2.3.9. Usia

Kebanyakan kinerja fisik mencapai puncak dalam usia pertengahan duapuluhan


dan kemudian menurun dengan bertambahnya usia (Lambert, 1996: 244). Departemen
Kesehatan RI menyebutkan bahwa usia produktif adalah antara 15-54 tahun
(www.Depkes-RI.go.id). Menurut Hidayat (2003) mandapatkan bukti di negara Jepang
menunujukan bahwa pekerja yang berusia 40-50 tahun akan lebih cepat menderita
kelelahan dibandingkan dengan pekerja relative lebih muda. Dengan menanjaknya umur
maka kemampuan jasmani dan rohanipun akan menurun secara perlahan-lahan. Aktivitas
hidup juga berkurang, yang mengakibatkan semakin bertambahnya ketidak mampuan
tubuh dalam berbagai hal (Margatan, 1996).

94

Pada usia lanjut jaringan otot akan mengerut dan digantikan oleh jaringan ikat.
Pengerutan otot menyebabkan daya elastisitas otot berkurang (Margatan, 1996). Proses
menjadi tua diserta kurangnya kemampuan kerja oleh karena perubahan-perubahan pada
alat tubuh, sistem kardiovaskular, hormonal (Sumamur, 1996). Hasil penelitian yang
dilakukan Paulina (2008) pada bagian produksi PT. X menunjukkan adanya hubungan
yang bermakna antara umur responden dengan kelelahan kerja, dengan nilai
pvaluenya 0,0001.

2.3.10. Jenis Kelamin

Laki laki dan wanita berbeda dalam hal kemampuan fisiknya, kekuatan kerja
ototnya. Menurut pengalaman ternyata siklus biologi pada wanita tidak mempengaruhi
kemampuan fisik, melainkan lebih banyak bersifat sosial dan kultural. (Depnaker, 1993).
Pria dan wanita berbeda dalam kemampuan fisiknya, kekuatan kerja ototnya. Perbedaan
tersebut dapat dilihat melalui ukuran tubuh dan kekuatan otot dari wanita relatif kurang
jika dibandingkan pria. Kemudian pada saat wanita sedang haid yang tidak normal
(dysmenorrhoea), maka akan dirasakan sakit sehingga akan lebih cepat lelah (Sumamur,
1996).

2.3.11. Status Perkawinan

Kinsey (1965), membagi status pernikahan kedalam 3 kelompok yaitu single,


married, dan post married. Kelompok single adalah kelompok yang tidak menikah atau
belum menikah. Kelompok married adalah kelompok yang sedang berada dalam status
pernikahan yang sah secara hokum, sedangkan kelompok post married adalah kelompok

95

yang sudah pernah menikah tetapi kemudian berpisah karena perceraian atau kematian.
Pernikahan menyebabkan meningkatnya tanggung jawab yang dapat membuat pekerjaan
tetap lebih berharga dan penting. Tugas- tugas perkembangan yang dimiliki oleh orang
yang sudah menikah menurut sudirman (1987):

1. Belajar hidup dengan paangan dalam perkawinan


2. Mulai hidup berkeluarga
3. Memelihara anak
4. Mengatur rumah tangga
5. Memulai dalam pekerjaan

Seseorang yang sudah menikah dan memiliki keluarga maka akan mengalami
kelelahan akibat kerja dan setelah dirumah harus melayani anak dan istrinya yang mana
waktu terebut digunakan untuk beristirahat (Irma, 2009). Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Eraliesa (2008)

terdapat hubungan antara status perkawinan

dengan tingkat kelelahan, dengan nilai pvaluenya 0,01.

2.3.12. Kebiasaan Merokok

Semakin lama dan tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan
otot yang dirasakan. Hal ini sebenarnya terkait erat dengan kondisi kesegaran tubuh
seseorang. Kebiasaan merokok akan dapat menurunkan kapasitas paruparu, sehingga
kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen menurun dan sebagai akibatnya tingkat
kesegaran juga menurun. Apabila yang bersangkutan harus melakukan tugas yang
menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam

96

darah rendah, pembakaran karbohidrat terhambat, terjadi tumpukan asam laktat dan
akhirnya timbul kelelahan (Tarwaka, 2004). Seseorang dapat diakatan perokok ringan
apabila merokok kurang dari 10 batang perhari, dikatakan perokok sedang apabila
merokok 10-20 batang perhari dan dikatakan perokok berat apabila merokok lebih dari 20
batang perhari (Bustan, 2000).

2.3.13. Status Kesehatan

Kesehatan fisik sangat penting untuk menduduki suatu pekerjaan. Tidak mungkin
seseorang dapat menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik jika sering sakit. (Hasibuan,
2000). Riwayat alamiah penyakit yang pernah diderita oleh karyawan juga berhubungan
dengan tingkat kelelahan kerja. Beberapa penyakit yang berhubungan dengan kelelahan:
Pertama adalah penyakit jantung. Kerja fisik yang sangat berat merupakan kondisi yang
sangat menegangkan yang harus dihadapi oleh sistem sirkulasi normal. Hal ini karena
pada beberapa kondisi, aliran darah yang melalui otot dapat meningkat lebih dari 20 kali
lipat. Kenaikan dari aliran darah ini juga dapat meningkatkan aktivitas jantung lebih dari
normal. Kenaikan aliran darah ini salah satunya adalah dikarenakan berkurangnya O2
dalam jaringan otot (Guyton & Hall, 1997). Kekurangan O2 yang berkurang secara cepat
memungkinkan terjadi metabolisme anaerobik dimana akan menghasilkan asam laktat
yang mempercepat kelelahan (Santoso, 2004). Penempatan sebelum tenaga kerja bekerja
harus disesuaikan dengan keadaan kemampuan jantung seorang tenaga kerja (Sumamur,
1996).

Kedua adalah hipertensi. Hipertensi adalah suatu penyakit dimana salah satu
penyebabnya adalah karena tekanan tinggi

pada arteri sehingga arteri kehilangan

97

kelenturannya untuk mengembang dan menyempit sehingga terjadi penyumbatan dan


mengganggu peredaran darah (Gunawan, 2001). Pada waktu bekerja fisik berkurangnya
aliran darah selama kontraksi otot adalah akibat tertekannya pembuluh darah oleh otot
yang berkontraksi (Guyton & Hall, 1997). Terbatasnya aliran darah pada otot (ketika
berkontraksi), otot menekan pembuluh darah dan membawa O2 memungkinkan
terjadinya kelelahan

(Santoso, 2004). Kelelahan merupakan gejala dari hipertensi

(kenaikan tekanan darah) dan pada umumnya bersamaan dengan sakit kepala (gejala
utama) dan pada kasus-kasus berat dengan sesak nafas pada gerakan berlebihan dan
pusing (Gibson, 1985).

Ketiga adalah penyakit ginjal. Pengaruh

kerja terhadap faal ginjal terutama

dihubungkan dengan pekerjaan yang perlu mengerahkan tenaga dan yang dilakukan
dalam cuaca kerja panas. Kedua-duanya mengurangi peredaran darah ke ginjal dengan
akibat gangguan penyediaan zatzat yang diperlukan oleh ginjal (Sumamur 1996:).
Kelelahan merupakan suatu gejala

dari gagal ginjal.

Kelelahan timbul bersamaan

dengan muntahmuntah, sedu, lidah yang kering, pigmentasi yang kekuningkuningan


pada kulit, depresi dan kebingungan (Gibson, 1985).

2.3.14. Kesegaran Jasmani

Kepentingan kesegaran jasmani dalam pemeliharaan kesehatan tidak diragukan


lagi, semakin tinggi tingkat kesehatan, maka kesegaran jasmani akan semakin baik pula
(Yasrin, 1996). Manusia yang sehat dan memiliki tingkat kesegaran yang baik akan
mampu berprestasi dalam pekerjaan sehingga tingkat produktivitas akan meningkat
(Pradono, 1999). Kesegaran jasmani adalah kemampuan seseorang menyelesaikan tugas

98

sehari-hari dengan tanpa mengalami kelelahan yang berarti, dengan pengeluaran energi
yang cukup besar guna memenuhi kebutuhan geraknya dan menikmati waktu luang serta
untuk memenuhi keperluan darurat bila sewaktu-waktu dibutuhkan (Sajoto, 1988).
kesegaran jasmani adalah kemampuan dan kesanggupan tubuh dalam penyesuaian atau
adaptasi terhadap pembebanan fisik yang diberikan kepadanya tanpa menimbulkan
kelelahan berlebihan ( Dangsina,1984 ). Jadi apabila keadaan seseorang tidak dalam
keadaan segar jasmaninya maka berpotensi terjadinya kelelahan.
2.3.15. Status Gizi

Kesehatan dan daya kerja sangat erat kaitannya dengan tingkat gizi seseorang.
Tubuh memerlukan zat-zat dari makanan

untuk pemeliharaan tubuh, perbaikan

kerusakan sel dan jaringan. Zat makanan tersebut diperlukan juga untuk bekerja dan
meningkat sepadan dengan lebih beratnya pekerjaan (Sumamur, 1996). Tingkat gizi,
terutama bagi pekerja kasar

dan berat adalah faktor penentu derajat produktivitas

kerjanya. Beban kerja yang terlalu berat sering disertai penurunan berat badan
(Sumamur, 1996).

Status gizi ini bisa dihitung salah satunya adalah dengan menghitung IMT dengan
rumus:
Berat badan (kg)
IMT =
Tinggi badan (m) x Tinggi badan (m)

Kategori berat badan menurut IMT :

1. Kekurangan berat badan tingkat berat

: <17,0

2. Kekurangan berat badan tingkat ringan : 17,0-18,5

99

3. Normal

: >18,5-25,0

4. Kelebihan berat badan tingkat ringan

: >25,0-27,0

5. Kelebihan berat badan tingkat berat

: >27,0

Tabel 2.6.
Kerugian Berat Badan yang Kurang Ideal
Berat badan
(1)
Kurang (kurus)

Kelebihan (gemuk)

Kerugian
(2)
Penampilan cenderung kurang baik,
mudah lelah, risiko penyakit tinggi, wanita
kurus yang hamil mempunyai risiko tinggi
melahirkan bayi dengan BBLR, kurang
mampu bekerja keras.
Penampilan kurang menarik, gerakan
tidak gesit dan lamban, risiko penyakit
jantung, pada wanita dapat menyebabkan
gangguan haid.

Sumber: I Dewa Nyoman Supariasa, dkk., (2002:61).

Berat badan yang kurang ideal baik itu kurang ataupun kelebihan dapat
menimbulkan kerugian. Masalah kekurangan atau kelebihan gizi pada orang dewasa (usia
18 tahun ke atas) merupakan masalah penting, karena selain mempunyai resiko penyakit
tertentu, juga dapat mempengaruhi produktivitas kerja. Akibat kekurangan zat gizi, maka
simpanan zat gizi pada tubuh akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Bila hal ini
berlangsung lama, maka simpanan zat gizi akan habis dan terjadi kemerosotan jaringan,
dengan meningkatnya defisiensi zat gizi maka muncul perubahan biokimia dan rendahnya
zatzat gizi dalam darah, berupa rendahnya tingkat Hb, serum vitamin A dan karoten.
Dapat pula terjadi peningkatan beberapa hasil metabolisme seperti asam laktat dan piruvat
pada kekurangan

tiamin. Bila keadaan ini berlangsung lama, akan mengakibatkan

100

terjadinya perubahan fungsi tubuh yang tanda-tandanya, yaitu kelemahan, pusing,


kelelahan, nafas pendek dan lain-lain (Supariasa dkk., 2002). Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan oleh Eraliesa (2008) terdapat hubungan antara status gizi dengan tingkat
kelelahan, dengan nilai pvaluenya 0,002.

2.4. Pengendalian Dan Penanggulangan Kelelahan

Kelelahan disebabkan oleh banyak faktor. Yang terpenting adalah bagaimana


menangani setiap kelelahan yang muncul

agar tidak menjadi kronis. Agar dapat

menangani kelelahan dengan tepat, maka harus diketahui apa penyebab dari kelelahan
tersebut (Tarwaka, 2004). Menurut Budiono (2000) Kelelahan dapat dikurangi dengan
berbagai cara:

1) Pengaturan jam kerja.


2) Pemberian kesempatan istirahat.
3) Adanya masamasa libur dan rekreasi.
4) Penerapan ilmu ergonomi dalam bekerja.
5) Penggunaan musik ditempat kerja.
6) Memperkenalkan perubahan rancangan produk.
7) Merubah metoda kerja menjadi lebih efisien dan efektif.
8) Menciptakan suasana lingkungan kerja yang sehat, aman dan nyaman

2.5. Kerangka Teori

Berdasarkan teori yang dikatakan oleh Grandjean (1988), Setyawati (1994)


Siswanto (1999), Akerstedt ed Alt (2002) dan Tarwaka (2004) mengenai beberapa faktor

101

utama yang signifikan yang menyebabkan terjadinya kelelahan, meliputi : jenis kelamin,
usia, kelebihan kerja (overtime work), tempat kerja, Physically, intensitas, durasi kerja
fisik, mental, penerangan, tingkat kebisingan, status kesehatan, nutrisi, lingkungan kerja,
dan penyebab yang berkaitan dengan tempat kerja (kerja shift, suhu ruang kerja,
penerangan, kebisingan, monotoni pekerjaan dan kebosanan). Berdasarkan teori yang
telah disebutkan bahwasanya ada beberapa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
kelelahan. Untuk lebih mudahnya dapat dilihat kerangka teori di bawah ini :

102

Tekanan Panas
Tingkat Kebisingan
Penerangan
Getaran
Ventilasi
Shift Kerja

Kelelahan

Psikologis

Massa Kerja
Usia
Jenis Kelamin
Status Perkawinan
Kebiasaan Merokok

Status Kesehatan
Kesegaran Jasmani
Status Gizi

Sumber : Grandjean (1988), Setyawati (1994) Siswanto (1999), Akerstedt ed Alt (2002)
dan Tarwaka (2004).
Gambar 2.1.
Kerangka Teori

103

BAB III

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep


Kerangka konsep ini mengacu pada faktor kondisi lingkungan yang
diteliti, fakta-fakta kejadian dan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan
sebelumnya yang menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara tekanan
panas, tingkat kebisingan, masa kerja, shift kerja, usia, status perkawinan,
kebiasaan merokok, dan status gizi dengan kelelahan

pada pekerja. Adapun

variabel getaran dan penerangan tidak dilakukan karena tidak adanya alat untuk
mengukur dalam penelitian ini, sehingga hal ini menjadi salah satu kekurangan
dalam penelitian. Sedangkan untuk variabel ventilasi tidak diteliti karena area
produksi memilki ventilasi yang ada merupakan ventilasi terbuka. Faktor
psikologis merupakan faktor yang subyektif sehingga sulit didapatkannya hasil
yang pasti atau signifikan. Jenis kelamin tidak diteliti karena homogen yaitu lakilaki. Tingkat keterampilan pekerja memiliki karakteristik yang sama karena
bekerja dengan menggunakan mesin. Faktor status kesehatan merupakan
persyaratan responden yang mengisi kuesioner berada dalam kondisi yang sehat.
Adapun faktor kesegaran jasmani tidak diteliti karena faktor tersebut sudah
tergambarkan dalam variabel status keehatan.

104

Kerangka konsep terdiri dari variabel terikat (dependen) dan variabel


bebas (independen) tekanan panas, tingkat kebisingan, masa kerja, Shift kerja,
usia, status perkawinan, kebiasaan merokok, dan status gizi dijadikan sebagai
varibel bebas, sedangkan kelalahan ditetapkan sebagai variabel terikat. Hubungan
antara beberapa varibel tersebut digambarkan dalam bagan di bawah ini:

Tekanan panas
Tingkat Kebisingan
Masa kerja

Shift kerja

Kelelahan Kerja

Usia
Status perkawinan
Kebiasaan merokok
Status gizi

Gambar 3.1
Kerangka Konsep

54

3.2.Definisi Operasional
Tabel 3.1
Definisi Operasional

No
Variabel
1. Kelelahan Kerja

Definisi
Menurunnya kapasitas kerja dan ketahanan
kerja yang ditandai oleh sensasi lelah dan
reaksi motor

Alat Ukur
Reaction
timer test

Cara Ukur
Pengukuran
lansung

Hasil Ukur
0) Kelelahan Kerja Berat
(KKB) : waktu reaksi >
580.0 milidetik
1) Kelelahan Kerja Sedang
(KKS) : waktu reaksi
410.0-<580.0 milidetik
2) Kelelahan Kerja Ringan
(KKR) : waktu reaksi
>240.0-<410.0 milidetik
3) Normal (N) : waktu
reaksi 150.0-240.0
milidetik. Koesyanto

Skala
Ordinal

(2005)
2.

Tekanan Panas

Hasil pengukuran indeks WBGT dan


tingkat beban kerja yang disesuaikan
dengan standar ACGIH 2007,yaitu nilai
ambang batas berdasarkan tekanan panas
lingkungan kerja.

1.
Heat Pengukuran
lansung
Stress
Monitor
dengan merk
Quest Temp
34
2.
Beban
kerja
3.
Waktu

0. Terpapar tekanan panas


1. Tidak terpapar tekanan

Ordinal

panas

54

55

kerja yang
dilewati
Pengukuran
langsung

0. > 85 dB
1. < 85 dB

Ordinal

Waktu yang dilalui pekerja sejak bekerja di Kuesioner


bagian produksi PBD PT Indocement
Prakasa Tbk. Citeureup
Kerja bergilir yang dilakukan di luar jam
Kuesioner
kerja normal (Kuswadji, 1997)

Wawancara

0. > 10 tahun
1. < 10 tahun

Ordinal

Wawancara

0. Shiftt 3 (Pukul 22-7)


1. Shiftt 2 (Pukul 15-22)
2. Shift 1 (Pukul 07-15)

Ordinal

Usia

Masa yang pernah dilalui seseorang sejak


tahun kelahiran sampai waktu penelitian
(Afriani, 2002).

Kuesioner

Wawancara

0. > 40 tahun
1. < 40 tahun

Ordinal

Status
perkawinan

Wawancara

0. Kawin
1. Belum kawin

Ordinal

Kebiasaan
Merokok

Kuesioner
Keterangan yang menunjukkan riwayat
pernikahan tenaga kerja yang terdapat pada
kartu identitas pekerja, dan dikategorikan
atas kawin dan tidak kawin.
Kegiatan yang dilakukan berulang-ulang
Kuesioner
dalam menghisap rokok mulai dari satu
batang ataupun lebih dalam satu hari.

Wawancara

0. Berat (> 20
batang/hari)

Ordinal

Tingkat
kebisingan

Suara yang tidak diinginkan atau tidak


nyaman untuk didengar.

Masa Kerja

Shiftt Kerja

Bustan, (2000)

Sound Level
meter.

1. Sedang (10-20)
batang/hari)
2. Ringan (< 10 abtang
/hari)
3. Tidak merokok (0
batang/hari)
Bustan, (2000)

55

56

Status Gizi

Suatu kondisi yang menggambarkan


keadaan gizi pada orang dewasa dengan
memperhitungkan indeks masa tubuh
(IMT)

Kuesioner,
Timbangan,
kalkulator
dan meteran

Pengukuran
lansung

0. Kurus ( < 18.5)


1. Gemuk ( > 25)
2. Normal (18.5 - 25)

Ordinal

(Supariasa dkk.,2002 )

56

57

3.3. Hipotesis

1. Ada hubungan antara tekanan panas dengan kelelahan pada pekerja di proses
produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun
2010.
2. Ada hubungan antara tingkat kebisingan dengan kelelahan pada pekerja di
proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.
tahun 2010.
3. Ada hubungan antara shift kerja dengan kelelahan pada pekerja di proses
produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun
2010.
4. Ada hubungan antara masa kerja dengan kelelahan pada pekerja di proses
produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun
2010.
5. Ada hubungan antara usia dengan kelelahan pada pekerja di proses produksi
kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010.
6. Ada hubungan antara status perkawinan dengan kelelahan pada pekerja di
proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.
tahun 2010.
7. Ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kelelahan pada pekerja di
proses produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.
tahun 2010.

57

58

8. Ada hubungan antara status gizi dengan kelelahan pada pekerja di proses
produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun
2010.

58

59

BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional


(potong lintang) karena pada penelitian ini variabel independen dan dependen akan
diamati pada waktu (periode) yang sama.

4.2 Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April- Agustus 2010 di bagian produksi


kantong semen PBD (Paper Bag Division) PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.
Citeurup-Bogor.

4.3 Populasi Dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian ini adalah operator yang bekerja di produksi kantong semen PBD PT.
Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, yaitu sebesar 168 orang. Sedangkan sampel yang diambil
menggunakan simple random sampling dan mengambil sampel sebanyak 88 orang pekerja yang
mewakili populasi dengan menggunakan uji beda proporsi dengan rumus sebagai berikut:

n=

(z

1-

2 (1- )+ z1- P1(1- P1)+ P2(1- P2)

)2

(P1- P2)2

59

60

Keterangan :
n

Besar sampel

Rata-rata proporsi pada populasi (Afriani, 2002)

P1

: Proporsi status gizi buruk terhadap kelelahan kerja

P2

: Proporsi status gizi baik terhadap kejadian kelelahan kerja

z1-

Derajat kemaknaan pada uji 2 sisi = 95%

z 1-

Kekuatan uji 80%

Berdasarkan rumus di atas maka besar sampel yang dibutuhkan dalam penelitian
ini sebesar:

n=

(1,96

2x0,45(1- 0.45)+ 0.84 0.61(1- 0.61)+ 0.30(1- 0.30)

)2

(0.61-0.30)2

40

40 x 2 = 80

Untuk menghindari terjadinya drop out atau missing jawaban dari responden
maka perlu ditambahkan 10% dari jumlah sampel tersebut, sehingga jumlah sampel
keseluruhan sebesar 88 orang, dengan kriteria (Hendra, 2003):
1. Tidak mempunyai riwayat penyakit jantung
2. Tidak sedang menderita sakit/demam
3. Tidak sedang mengalami kelainan fungsi ginjal
4. Tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan (obat-obatan yang dikonsumsi baik
dari dokter ataupun tidak)
5. Tidak sedang menderita flue, batuk, dan asma.

60

61
4.4 Pengumpulan Data

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Heat Stress Monitoring Questemp
34o, Sound Level Meter untuk mengukur kebisingan, Reaction Timer Test untuk mengukur
kelelahan, timbangan dan meteran untuk mengukur IMT sedangkan kuesioner digunakan untuk
mengukur variable independen yang lain.

4.4.1 Kelelahan

Reaction Timer Test merupakan alat untuk mengukur tingkat kelelahan berdasarkan
kecepatan waktu reaksi terhadap rangsang cahaya. Prinsip kerja dari alat ini adalah
memberikan rangsang tunggal berupa signal cahaya atau lampu yang kemudian direspon
secepatnya oleh tenaga kerja, kemudian dapat dihitung waktu reaksi tenaga kerja yang
mencatat waktu yaang dibutuhkan untuk merespon signal tersebut. Pengukuran dilakukan
sebanyak 5 kali, setiap hasil pengukuran dijumlahkan, kemudian diambil nilai rata-ratanya.

Hasil pengukuran dibandingkan dengan standar pengukuran kelelahan yaitu :

a. Normal : waktu reaksi 150,0 240,0 mili detik


b. Kelelahan Kerja Ringan (KKR) : waktu reaksi >240,0 - <410,0 mili detik
c. Kelelahan Kerja Sedang (KKS) : waktu reaksi 410,0 <580,0 mili detik
d. Kelelahan Kerja Berat KKB)

: waktu reaksi 580,0 mili detik.

4.4.2 Tekanan Panas

Tekanan panas diketahui dengan menentukan beban kerja yaitu dengan cara
pengukuran jumlah panas metabolik berdasarkan jenis pekerjaan masing-masing. Setelah itu

61

62
mengukur suhu dengan menggunakan HSM indeks WBGT untuk mengetahui kondisi lingkungan
suhu pekerja. Kemudian setelah itu tekanan panas dapat diketahui sesuai dengan lamanya jam
kerja.

4.4.2.1 Data Panas Lingkungan (Indeks WBGT)

Data mengenai panas lingkungan kerja diperoleh dengan cara pengukuran langsung
pada lokasi penelitian menggunakan

Heat Stress Monitoring Quest temp 340

merupakan alat untuk mengukur iklim kerja, adapun cara yang dapat dilakukan
adalah:

1. Persiapan pengukuran
1) Tentukan titik sampling/pengukuran
2) Siapkan alat ukur
(1) Pastikan alat ukur dalam kondisi baik dan berfungsi
(2) Lakukan kalibrasi internal menggunakan alat kalibrasi yang tersedia
(3) Tutup termometer suhu basah dengan kain katun
(4) Lakukan set-up untuk mengatur beberapa indikator pengukuran yaitu:
bahasa, satuan, tanggal/bulan/tahun, jam/menit/detik, heat index,
humidity index, dan logging rate
(5) Basahi dengan aquades dan tunggu selama 10 - 15 menit
(6) Pasang WBGT pada alat penyangga (tripod).
2. Pelaksanaan Pengukuran (Eksekusi)
1) Pastikan WBGT diletakkan pada lokasi yang tepat
2) Letak WBGT jangan sampai mengganggu proses kerja

62

63

3) Letak WBGT jangan sampai membahayakan kondisi alat


4) Operator harus memperhatikan aspek keselamatan dan kesehatan kerja
5) Berkoordinasi dengan pekerja maupun petugas di lapangan.
6) Letakkan alat pada lokasi sampling
-

2 feet ( 60 cm) dari permukaan tanah untuk pekerja yang dominan


duduk

3.5 feet ( 100 - 110 cm) dari permukaan tanah untuk pekerja yang
dominan berdiri

7) Aktifkan alat (tanpa logging) selama 15 menit (untuk adaptasi)


8) Aktifkan logging data sesuai dengan waktu pengukuran yang diinginkan
9) Matikan logging data jika telah selesai dan data siap diproses atau dicetak.
4.4.2.2 Data Panas Metabolik

Evaluasi jumlah panas metabolik tubuh dapat diperoleh dengan menggunakan estimasi
pengukuran panas metabolik menurut NIOSH 1986 yang dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1
Estimasi Pengukuran Panas Metabolik

Body position and movement


Sitting
Standing
Walking
Walking uphill
Average
Type of work
Kcal/min
Hand work
Light
0.4
Heavy
0.9

Kcal/min*
0.3
0.6
2.0 -3.0
Add 0.8 per meter rise
Range kcal/min
0.2 1.2

63

64

Work one arm


Light
1.0
0.7 2.5
Heavy
1.8
Work both arms
Light
1.5
1.0 3.5
Heavy
2.5
Work whole body
Light
3.5
Moderate
5.0
2.5 9.0
Heavy
7.0
Very Heavy
9.0
1.0
C Basal metabolism
D Sample calculation**
Average Kcal/min
Assembling work with heavy hand
tools
Standing
0.6
Two arm work
3.5
Basal metabolism
1.0
Total
5.1 kcal/min
* For standard worker of 70 kg body weight (154 lbs) and 1.8 m2
body surface (19.4 ft2)
** Example of measuring metabolic heat production of worker when
performing initial screening
Sumber: NIOSH Occupational Exposure to Hot Environments, 1986

Hasil estimasi tersebut (lampiran 2) kemudian disesuaikan dengan kriteria beban


kerja menurut OSHA pada tabel 4.2.
Tabel 4.2
Tingkat Beban Kerja
No

Pengukuran Panas Metabolik

Tingkat Beban Kerja

< 200 kcal/jam

Ringan

200 - 350 kcal/jam

Sedang

350 - 500 kcal/jam

Berat

> 500 kcal/jam

Sangat Berat

Sumber : OSHA

64

65

Hasil estimasi atau perkiraan perhitungan beban kerja berdasarkan tingkat


kebutuhan kalori menurut pengeluaran energi yang selanjutnya disesuaikan
dengan kriteria beban kerja menurut OSHA kemudian dianalisis sesuai dengan
observasi alokasi waktu kerja dalam siklus kerja dan pemulihan kerja pada
operator untuk menetapkan standar indeks WBGTi yang diperbolehkan pada
lingkungan kerja tersebut sesuai dengan ACGIH 2007 yang dapat dilihat pada
tabel 4.2. Responden dikatakan terkena tekanan panas jika hasil pengukuran
indeks WBGTi lingkungan kerja melebihi standar nilai yang ditetapkan dari hasil
analisis. Hasil berdasarkan pengukuran panas dijadikan sebagai indikator
pengukuran tingkat beban kerja yang dialami oleh responden.

Tabel 4.3
Batas Pajanan Tekanan Panas untuk Pekerja
yang Teraklimatisasi
Allocation of work
TLV (WBGT values in C)
in a cycle of work
Very
Light Moderate Heavy
and recovery
Heavy
75% to 100%
31.0
28.0
50% to 75%
31.0
29.0
27.5
25% to 50%
32.0
30.0
29.0
28.0
0% to 25%
32.5
31.5
30.5
30.0
Sumber : ACGIH TLV and Biological Exposure Indices, 2007
4.4.3 Tingkat Kebisingan

65

66
Nilai ambang batas (NAB) intensitas bising adalah 85 dB dan waktu bekerja maksimum
adalah 8 jam per hari. Adapun operasional pengukuran dapat dilakukan sebagaimana berikut :

l.

Penentuan standar yang akan diacu dalam survei.

m. Pemeriksaan instrumen. Hal ini meliputi pemeriksaan batere sound level meter
(SLM) dan kalibrator, serta aksesories misalnya windscreen, rain cover, dan lainlain.
n. Kalibrasi instrument dilakukan selama 1 menit sebelum dan sesudah pengukuran
berlangsung.
o. Pembuatan denah lokasi dan titik dimana pengukuran dilakukan.
p. Bila pengukuran dilakukan dengan free-field microphone (standar IEC) maka
SLM diarahkan lurus ke sumber. Sedangkan jika mikropon yang digunakan
merupakan random

incidence microphone

(ANSI), maka

SLM

harus

diorientasikan sekitar 70o - 80o terhadap sumber bising.


q. Dalam keadaan kebisingan berasal dari lebih dari satu arah, maka sangat
penting untuk memilih mikropon dan mounting yang tepat yang memungkinkan
untuk mencapai karakteristik omnidirectional terbaik.
r.

Pemilihan weighting network yang sesuai.

s. Pemilihan respons detektor yang sesuai, F atau S untuk mendapatkan


pembacaan yang akurat.
t.

Hindarkan refleksi baik dari tubuh operator maupun blocking suara dari arah
tertentu.

u. Saat pengukuran berlangsung, selalu perhatikan haal-hal berikut: (a) Hindari


pengukuran dekat bidang pemantul; (b). Lakukan pengukuran pada jarak yang tepat,
sesuai dengan standar atau baku mutu yang diacu; (c). Cek bising latar; (d). Pastikan
66

67
tidak terdapat perintang terhadap sumber bising yang diukur; (e). Selalu
gunakan windshield (windscreen), dan (f). Tolak pembacaan overloud.

4.4.4 Data Umur

Data umur diperoleh melalui wawancara kepada operator dengan menggunakan


instrumen berupa kuesioner.

4.4.5 Perhitungan IMT

Status gizi ini bisa dihitung salah satunya adalah dengan menghitung IMT dengan rumus:

Berat badan (kg)


IMT =
Tinggi badan (m) x Tinggi badan (m)

Kategori berat badan menurut IMT :

6. Kekurangan berat badan tingkat berat

: <17,0

7. Kekurangan berat badan tingkat ringan

: 17,0-18,5

8. Normal

: >18,5-25,0

9. Kelebihan berat badan tingkat ringan

: >25,0-27,0

10. Kelebihan berat badan tingkat berat

: >27,0

4.4.5.1 Data Berat Badan

67

68
Data mengenai berat badan diperolehnya dengan cara melakukan penimbangan berat
badan langsung menggunakan timbangan badan pada saat sebelum beraktifitas.
Langkah-langkah pengukuran tersebut adalah:

1. Pastikan jarum pada displai ada pada posisi nol


2. Lepaskan sepatu atau alas kaki lainnya
3. Berdiri di atas timbangan
4. Baca hasil pada display yang ditunjukkan oleh jarum metal
4.4.5.2 Data Tinggi Badan

Data tinggi badan diperoleh melalui pengukuran tinggi badan langsung


menggunakan meteran/alat pengukur tubuh. Kemudian Catat hasil pengukuran
yang ada.

4.5 Pengolahan Data

Seluruh data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder akan diolah
melalui tahap-tahap sebagai berikut:

1. Mengkode data (data coding)

Proses pengklasifikasian data dan pemberian kode jawaban responden, dilakukan


pada pembuatan kuesioner untuk mempermudah pengolahan data selanjutnya.
Diamana coding dilakukan pada kuesioner, jika lelah tingkat berat pengkodean = 0,
jika lelah sedang dengan pengkodean = 1. Dan jika lelah ringan dengan pengkodean =
2. Semua variabel independen pun dikodekan, Yaitu :

68

69
a) Tekanan panas ; mengalami tekanan panas = 0, dan tidak mengalami tekanan
panas = 1.
b) Kebisingan ; > 85 dB = 0, dan < 85 dB = 1.
c) Shift kerja ; Shiftt 3 (Pukul 22-7) = 0, Shiftt 2 (Pukul 15-22) = 1, dan Shift 1

(Pukul 07-15)=2.
d) Usia > 40 tahun = 0, usia < 40 tahun = 1.
e) Status pernikahan; menikah = 0, belum menikah = 1.
f) Kebiasaan merokok; Berat (> 20 batang/hari) = 0, Sedang (10-20 batang/hari)

=1, Ringan (< 10 abtang /hari) = 2, dan 3 = (0 batang/hari= tidak merokok).


g) Status gizi ; Kurus ( < 18.5) = 0, Gemuk ( > 25) = 1, dan Normal (18.5 - 25) = 2

2. Menyunting data (data editing)

Dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran data seperti kelengkapan


pengisian, kesalahan pengisian, konsistensi pengisian setiap jawaban kuesioner. Data
ini merupakan data input utama untuk penelitian ini.

3. Memasukkan data (data entry)

Memasukkan data dari hasil kuesioner yang sudah di berikan kode pada masingmasing variabel, kemudian dilakukan analisis data dengan memasukan data-data
tersebut dengan program SPSS untuk dilakukan analisi univariat (untuk mengetahui
gambaran secara umum), dan bivariat (mengetahui variabel yang berhubungan).

4.

Membersihkan data (data cleaning)

69

70

Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan kedalam program SPSS untuk
memastikan data tersebut tidak ada yang salah, sehingga dengan demikian data
tersebut telah siap diolah dan dianalisis.

4.6 Analisis Data


4.6.1

Analisis Univariat

Analisis yang dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dan persentase dari
setiap variabel independen (tekanan panas, kebisingan, shift kerja, masa kerja, usia,
pendidikan, stastus perkawinan, kebiasaan merokok dan status gizi) dan variabel
dependen (kelelahan kerja) yang dikehendaki dari tabel distribusi.

4.6.2

Analisis Bivariat

Analisis yang dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen dan
dependen dengan melakukan uji Chi Square. Uji Chi Square untuk menghubungkan
variabel kategorik dan kategorik. Variabel yang termasuk ppada uji Chi Square yaitu
faktor tekanan panas, kebisingan, shift kerja, masa kerja, usia, pendidikan, status
perkawinan, kebiasaan merokok, dan status gizi yang akan dihubungkan dengan variabel
kelelahan.

Persamaan Chi Square:


(O - E)2
X2 =
E
Keterangan :
70

71

X2

= Chi Square

= Efek yang diamati

= Efek yang diharapkan

71

72

BAB V

HASIL

7.1.Gambaran Umum Perusahaan

PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, berdiri pertama kali pada tahun 1973, dan
memulai kegiatannya dalam usaha pembuatan semen pada tahun 1975. PT. Indocement
Tunggal Prakarsa Tbk memiliki 12 pabrik atau plant yang tersebar ditoga lokasi yaitu 9
pabrik (plant 1-plant 8 dan plant 11 ) dengan luas area 200 Ha yang berlokasi di
Citeureup-Bogor, 2 pabrik (plant 9-plant 10) dengan luas area 37 Ha yang berlokasi di
Palimanan Cirebon, serta 1 pabrik (plant 12) dengan luas area 71 Ha di TarjunKalimantan Selatan. PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk merupakan perusahaan yang
sudah modern, sehingga alat-alat yang digunakan dalam proses produksi semen sudah
dikendalikan oleh mesin, kecuali pada bagian proses tambang (maining), Engineering,
HED (Heavy Engineering Division) dan proses produksi kantong semen PBD yang ratarata memperkerjakan orang dengan jumlah pekerja yang cukup banyak.

7.2.Visi, Misi dan dan Tujuan Unit K3


7.2.1. Visi Unit K3 PT. Indocement Tunggal Prakasrsa, Tbk.

a. Terlaksananya keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja.


b. Terwujudnya produktivitas bagi karyawan dan perusahaan
c. Peningkatan kesejahteraan kerja.

72

73

7.2.2. Misi Unit K3 PT. Indoceme n nt Tunggal Prakasrsa, Tbk.

a. Menciptakan tenaga keselamatan dan kesehatan kerja yang handal dan


professional.
b. Membudayakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam masyarakat
khususnya masyarakat khususnya masyarakat perusahaan.
c. Mensosialisasikan program-program keselamatan dan kesehatan kerja kepada
pekerja.
d. Mendorong terciptanya zero accident di tempat kerja.

7.2.3. Tujuan Unit K3 PT. Indocement Tunggal Prakasrsa, Tbk.

a. Mengamankan tenaga kerja dan orang lain yang berada di sekitar tempat
kerja.
b. Mengamankan sumber produksi dan dan fasilitas perlatan kerja.
c. Memastikan bahwa proses dapat berjalan dengan lancer.
Target utama yang ingin dicapai oleh unit K3 tersebut adalah bebas kecelakaan
dan hilangnya waktu kerja (zero accident and Loss Time Injury) melalui penekanan pada
masalah perilaku tidak aman (unsafe action) dan kondisi tidak aman (unsafe condition).

Tujuan umum dalam usaha keselamatan dan kesehatan kerja di PT. Indocement
Tunggal Prakasrsa, Tbk. adalah :

73

74

a. Perlindungan terhadap tenaga kerja yang berada di wilayah tempat kerja agar
selalu terjamin keselamatan dan kesehatannya sehingga dapat diwujudkan
peningkatan produktivitas kerja.
b. Perlindungan terhadap setiap tamu (tamu, siswa dan mahasiswa magang atau
penelitian, pelanggan) yang berada di tempat kerja agar selalu dalam selamat,
aman dan sehat.
c. Perlindungan terhadap bahan dan peralatan produksi agar dapat digunakan
secara aman dan efesien.

7.2.4. Gambaran Umum PBD (Paper Bag Division)


7.2.4.1. Gambaran Umum Ketenagakerjaan di Proses Produksi Kantong Semen
PBD (Paper Bag Division)

Ketenagakerjaan pada bagian produksi kantone semen PBD dapat dilihat pada
table 5.1.

Tabel 5.1
Jumlah Tenaga Kerja Bagian Produksi Kantong Semen PBD
No
1
2

Tenaga Kerja
Kontrak
Karyawan Indocement
Total

Total
128
40
168

Dari data di atas diketahui bahwa dari 168 tenaga kerja pada bagian produksi
kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk tenaga kerja kontrak
sebanyak 128 pekerja yang terbagi atas 4 kelompok atau group dan tenaga kerja
tetap sebanyak 40 orang.

74

75

Jadwal Shift kerja pada bagian produksi kantong semen PBD PT. Indocement
Tunggal Prakarsa Tbk

1. Shift 1 (pagi)
a. Senin-kamis

: pukul 07.00 15.00

b. Jumat

: pukul 07.00 16.00

2. Shift 2 (sore)
a. Senin kamis : pukul 15.00 23.00
b. Jumat
3. Shift 3 (malam)

: pukul 16.00 - 24.00


:

a. Senin kamis : pukul 23.00 07.00


b. Jumat

: pukul 24.00 08.00

Sistem rotasi shift kerja pada bagian produksi kantong semen PBD PT.
Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, dapat dilihat pada gambar berikut:

Monday

Group A

Tuesday

Group A

75

76

Wednesday Group B
Thursday

Group B

Friday

Group C

Saturday

Group C

Sunday

Group D

Week

Gambar 5.1
Sitem rotasi Shift Kerja

7.2.4.2.Gambaran Umum Proses Produksi Kantong Semen PBD (Paper Bag


Division)

Tahapan pembuatan kantong semen dimulai dari lembar kertas roll, kemudian
masuk kedalam mesin, masuk ketahap printing (pemmberian logo pada kertas)
dan setelah itu kantong semen menjadi bahan setengah jadi. Masuk kedalam
mesin bottomer untuk proses penakan, pelipatan. Phasing dan sewing merupakan
tahap akhir, phasing untuk kantong semen yang di lem, sedang sewing untuk
kantong semen yang di jahit. Adapun tahapannya dapat dilihat pada gambar 5.1.

Tubing

Printing

Bottomer

Sewing&
Pashing lem

Gambar 5.2
Proses Produksi PBD

a. Tubing

76

77

Tubing merupakan mesin yang memproses untuk kertas semen yang awalnya
berupa gulungan-gulungan kertas diubah menjadi lipatan-lipatan kertas.

b. Printing

Merupakan proses pencetakan logo atau gambar pada cover kantong semen
yang kemudian dilakukan pemotongan.

c.

Bottomer

Merupakan proses melipat kertas pada bagian bawah kanton semen.

d. Sewing dan Phasing

Sewing dan Phasing merupakan tahapan akhir, sewing untuk kantong semen
dengan cara dijahit, sedangkan phasing untuk kantong semen dengan
menggunakan pelekat atau lem.

7.3.Gambaran Kelelahan pada Pekerja di Proses Produksi Kantong Semen PBD


(Paper Bag Division)

Hasil penelitian mengenai gambaran tingkat kelelahan pada tenaga kerja bagian
produksi kantong semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010 dapat
dilihat pada tabel 5.2.

Tabel 5.2

77

78

Distribusi Frekuensi Kelelahan Pada bagian Produksi Kantong Semen PBD PT.
Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010
NO

Tingkat Kelelahan

Frekuensi

Persentase (%)

KKB

21

23,9 %

KKS

33

37,5%

KKR

34

38,6

88

100

Jumlah

Data di atas memperlihatkan gambaran tingkat kelelahan pekerja pada bagian


produksi yang cukup bervariasi. Tingkat kelelahan yang paling terbanyak adalah
kelelahan kerja ringan (KKR) sebanyak 34 pekerja (38,6 %), tingkat kelelahan kerja
sedang (KKS) sebanyak 33 orang (37,5%), sedangkan tingkat kelelahan yang paling
sedikit adalah tingkat kelelahan kerja berat (KKB) sebanyak 21 pekerja (23,9%).

7.4.Gambaran Tekanan Panas Pada bagian Produksi Kantong Semen

Tekanan panas diukur pada 36 titik yang merupakan area dimana pekerja
terpapar. Kemudian hasil pengukuran dibandingkan dengan menghitung beban kerja yang
dialami oleh pekerja. Beban kerja diukur dengan melihat keadaan dan posisi pada
masing-masing pekerja, metabolisme basal dan dikalikan waktu. Kemudian hasilnya
dibandingkan dengan standar nilai ambang batas tekanan panas berdasarkan lamanya
kerja. Hasil penelitian ini menggambarkan pekerja yang terpapar tekanan panas dan yang
tidak terpapar tekanan panas. Untuk mudahnya dapat dilihat pada tabel 5.3.

Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Tekanan Panas Pada Pekerja di Proses Produksi Kantong
Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010

78

79
NO

Tekanan Panas

Frekuensi

Persentase (%)

Ya

1,1 %

Tidak

87

98,8 %

88

100

Jumlah

Dari data di atas memperlihatkan bahwasanya pekerja yang terpapar tekanan


panas hanya berjumlah satu pekerja (1,1%), sedangkan pekerja yang tidak terpapar
tekanan panas sebanyak 87 orang (98,8%).

7.5.Gambaran Tingkat Kebisingan pada Pekerja di Proses Produksi Kantong


Semen PBD (Paper Bag Division)

Tingkat kebisingan diperoleh dari hasil pengukuran pada 36 titik yang merupakan
area dimana pekerja terpapar mesin yang berputar selama 24 jam. Kemudian hasilnya
dibandingkan dengan standar nilai ambang batas kebisingan yang diizinkan pada pekerja
yang bekerja semala 8 jam dalam sehari. Hasil penelitian ini menggambarkan pekerja
yang terpapar kebisingan > 85 dB dan < 85 dB. Untuk mudahnya dapat dilihat pada tabel
5.4.

Tabel 5.4
Distibusi Frekuensi Tingkat Kebisingan Pada bagian Produksi Kantong Semen
PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010
NO

Tingkat kebisingan

Frekuensi

Persentase (%)

> 85 dB

15

17 %

< 85 dB

73

83 %

88

100

Jumlah

79

80

Dari data di atas memperlihatkan bahwasanya pekerja terpapar kebisingan > 85


dB sebanyak 15 orang (17%), sedangkan pekerja yang tidak terpapar kebisingan < 85 dB
sebanyak 73 orang (83%).

7.6.Gambaran Masa Kerja pada Pekerja di Proses Produksi Kantong Semen PBD
(Paper Bag Division)

Data masa kerja diperoleh dengan cara menyebarkan kuesioner pada sampel. Hasil
penelitian ini menggambarkan jumlah pekerja berdasarkan masa yang telah dilalui oleh
pekerja. Pada penelitian

ini masa kerja dikategorikan dengan cara uji normalitas,

berdasarkan uji normalitas diperoleh nilai pvalue sebesar 0,000. Karena data tidak
berdistribusi normal maka nilai yang digunakan adalah nilai median yaitu 10. Variable
masa kerja dikategorikan menajadi > 10 dan < 10. Untuk mudahnya dapat dilihat pada
tabel 5.5.

Tabel 5.5
Distribusi Frekuensi Masa Kerja Pada bagian Produksi Kantong Semen PBD PT.
Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010
NO

Masa Kerja

Frekuensi

Persentase (%)

> 10 tahun

42

47,7 %

< 10 tahun

46

52,3 %

88

100

Jumlah

Dari data di atas memperlihatkan bahwasanya pekerja yang melewati masa kerja
> 10 tahun sebanyak 42 orang (47,7%) sedangkan pekerja yang melewati masa kerja < 10
tahun sebanyak 46 orang (52,3%).

80

81

7.7.Gambaran Shift Kerja Pada bagian Produksi Kantong Semen

Data Shift kerja diperoleh dengan cara menyebarkan kuesioner pada sampel
dengan waktu yang berbeda-beda. Yaitu dengan membagi jumlah kuesioner berdasarkan
jumlah populasi pada masing-masing shift. Hasil penelitian ini menggambarkan pekerja
yang bekerja pada shift yang berbeda-beda. Untuk mudahnya dapat dilihat pada tabel 5.6.

Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Shift Kerja Pada Pekerja di proses Produksi Kantong Semen PBD PT.
Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010
NO

Shift Kerja

Frekuensi

Persentase (%)

Shift 3

29

33,0 %

Shift 2

29

33,0 %

Shift 1

30

34,1 %

88

100

Jumlah

Dari data di atas memperlihatkan bahwasanya pekerja yang mengalami shift 3


sebanyak 29 orang (33,0%), yang mengalami shift 2 29 orang (33,0%), sedangkan
pekerja yang mengalami shift 1 sebanyak 30 orang (34,1%).

7.8.Gambaran Usia pada Pekerja di Proses Produksi Kantong Semen PBD (Paper
Bag Division)

Data usia diperoleh dengan cara menyebarkan kuesioner pada sampel. Hasil
penelitian ini menggambarkan jumlah pekerja berdasarkan usia individu masing-masing.
Pada penelitian ini usia dikategorikan berdasarkan teori. Untuk mudahnya dapat dilihat
pada tabel 5.7.

Tabel 5.7
81

82

Distribusi Frekuensi Usia Pada Pekerja di proses Produksi Kantong Semen PBD PT.
Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010
NO

Usia

Frekuensi

Persentase (%)

> 40 tahun

25

28,4 %

< 40 tahun

63

71,6 %

88

100

Jumlah

Dari data di atas memperlihatkan bahwasanya pekerja yang usia > 40 tahun
sebanyak 25 orang (28,4%) sedangkan pekerja yang melewati masa kerja < 40 tahun
sebanyak 63 orang (71,6%).

7.9.Gambaran Status Perkawinan Pada bagian Produksi Kantong Semen

Data status perkawinan diperoleh dengan cara menyebarkan kuesioner pada


sampel. Hasil penelitian ini menggambarkan jumlah pekerja berdasarkan status
perkawinan. Untuk mudahnya dapat dilihat pada tabel 5.8.

Tabel 5.8
Distribusi Frekuensi Status Perkawinan Pada Pekerja di proses Produksi Kantong
Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010
NO

Status Perkawinan

Frekuensi

Persentase (%)

Kawin

75

85,2 %

Tidak Kawin

13

14,8 %

Jumlah

88

100

82

83

Dari data di atas memperlihatkan bahwasanya pekerja yang sudah kawin banyak
75 orang (85,2%) sedangkan pekerja yang tidak kawin sebanyak 13 orang (14,8%).

7.10. Gambaran Kebiasaan Merokok pada Pekerja di Proses Produksi Kantong


Semen PBD (Paper Bag Division)

Data kebiasaan merokok diperoleh dengan cara menyebarkan kuesioner pada


sampel. Hasil penelitian ini menggambarkan jumlah pekerja berdasarkan kebiasaan
merokok. Untuk mudahnya dapat dilihat pada tabel 5.9.

Tabel 5.9
Distribusi Frekuensi Kebiasaan Merokok Pada Pekerja di proses Produksi Kantong
Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010
NO

Kebiasaan Merokok

Frekuensi

Persentase (%)

Sedang

11

12,5 %

Ringan

36

40,9 %

Tidak merokok

41

46,6 %

Jumlah

88

100

Dari data di atas memperlihatkan bahwasanya pekerja yang kebiasaan


merokoknya kategori sedang sebanyak 11 orang (12,5%) sedangkan pekerja yang
merokok dengan kategori ringan sebanyak 36 orang (40,9%) dan pekerja yang tidak
merokok sebanyak 41 orang (46,6%).

7.11. Gambaran Status Gizi Pada Pekerja di Produksi Kantong Semen

83

84

Data status gizi diperoleh dengan cara menghitung indeks masa tubuh. Kemudian
hasilnya dikategorikan menjadi 3 kategorik, yaitu gemuk, normal dan kurus. Hasil
penelitian ini menggambarkan jumlah pekerja berdasarkan status gizi. Untuk mudahnya
dapat dilihat pada tabel 5.10.

Tabel 5.10
Distribusi Frekuensi Status Gizi Pada Pekerja di proses Produksi Kantong Semen PBD PT.
Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010
NO

Status Gizi

Frekuensi

Persentase (%)

Kurus

13

14,8 %

Gemuk

12

13,6 %

Normal

63

71,6 %

88

100

Jumlah

Dari data di atas memperlihatkan bahwasanya pekerja status gizi dengan


kategorik kurus sebanyak 13 (14,8%), pekerja yang memiliki status gizi dengan kategorik
gemuk sebanyak 12 orang (13,6%), sedangkan pekerja yang status gizi normal sebanyak
63 orang(71,6%).

7.12. Hubungan Antara Tekanan Panas dengan Kelelahan pada Pekerja di Proses
Produksi Kantong Semen PBD (Paper Bag Division)

Tabel 5.11
Tabulasi silang Antara Tekanan Panas dengan Kelelahan Pada Pekerja di proses
Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010
Kelelahan

Tekanan
KKB

panas
Terpapar

Total

KKS

Pvalue

KKR

100

100
0,430

84

85
Tidak terpapar

21

24,1

32

36,8

34

39,1

87

100

Total

21

23,9

33

37,5

23

38,6

88

100

Berdasarkan tabel di atas pekerja yang mengalami tekanan panas hanya ada pada
kelompok kelelahan kerja sedang (KKS) yaitu sebanyak 1 orang (100%), sedangkan
pekerja yang tidak terpapar tekanan panas yang mengalami tekanan KKB sebesar 24,1,
yang mengalami KKS sebesar 36,8%, dan yang mengalami KKR sebesar 39,1%. Dari
hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,430. Artinya pada 5 % tidak
ada hubungan antara tekanan panas dengan kelelahan kerja.

7.13. Hubungan Antara

Kebisingan dengan Kelelahan Pada Pekerja di Proses

Produksi Kantong Semen

Tabel 5.12
Tabulasi silang Antara Tingkat Kebisingan dengan Kelelahan Pada Pekerja di proses
Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010
Kelelahan

Tingkat
Kebisingan

KKB

Total

KKS

Pvalue

KKR

> 85 dB

53,3

33,3

13,3

15

100

< 85 dB

13

17,8

28

38,4

32

43,8

73

100

Total

21

23,9

33

37,5

34

38,6

88

100

0,008

Berdasarkan tabel di atas pekerja yang terpapar kebisingan (> 85 dB) dan
mengalami kelelahan kerja berat (KKB) sebesar 53,3 %, sedangkan pekerja yang tidak
terpapar kebisingan ( <85 dB) dan mengalami kelelahan kerja berat (KKB) sebesar 17,8
%. Pekerja yang terpapar kebisingan (> 85 dB) dan mengalami kelelahan kerja sedang
(KKS) sebesar 33,3 % sedangkan pekerja yang tidak terpapar kebisingan (< 85 dB) dan
85

86

mengalami KKS sebesar 38,4%. Pekerja yang terpapar kebisingan (> 85 dB) dan
mengalami kelelahan kerja ringan sebesar 13,3%, sedangkan pekerja yang tidak terpapar
kebisingan (< 85 dB) dan mengalami KKR sebesar 43,8 %. Dari hasil uji statistik
didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,008. Artinya pada 5 % terdapat hubungan antara
tingkat kebisingan dengan kelelahan kerja.

7.14. Hubungan

Antara Shift Kerja dengan Kelelahan Pada Pekerja di Proses

Produksi Kantong Semen

Tabel 5.13
Tabulasi silang Antara Shift Kerja dengan Kelelahan Pada Pekerja di Proses
Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010

Kelelahan
Shift Kerja

KKB

Total

KKS

Pvalue

KKR

Shift 3

19,5

31,0

15

51,7

29

100

Shift 2

10,3

13

44,8

13

44,8

29

100

Shift 1

13

43,3

11

36,7

20

30

100

Total

21

23,9

33

37,5

34

38,6

88

100

0,014

Berdasarkan tabel di atas pekerja pada kelompok shift 3 yang kelelahan kerja
berat (KKB) sebesar 17,2 %, kelompok shift 2 yang kelelahan kerja berat (KKB) sebesar
10,3 % , dan kelompok shift 1 yang mengalami kelelahan kerja berat sebesar 13,3 %.
Kelompok shift 3 yang kelelahan kerja sedang (KKS) sebesar 31,0%, kelompok shift2
yang mengalami KKS sebesar 44,8%, dan kelompok shift 1 yang mengalami KKS
sebesar 36,7%. Sedangkan kelompok shift3 yang mengalami KKR sebesar 51,7%,

86

87

kelompok shift2 yang mengalami KKR sebesar 44,8 % dan pada kelompok shift 1 yang
mengalami KKR sebesar 20%. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar
0,014. Artinya pada 5 % terdapat hubungan antara kelompok shift kerja dengan
kelelahan kerja.

7.15. Hubungan Antara Masa Kerja dengan Kelelahan Pada Pekerja di Proses
Produksi Kantong Semen

Tabel 5.14
Tabulasi Silang Antara Masa Kerja dengan Kelelahan Pada Pekerja di Proses
Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010
Kelelahan
Masa Kerja

KKB

Total

KKS

Pvalue

KKR

> 10 tahun

11

26,2

15

35,7

16

38,1

42

100

< 10 tahun

10

21,7

18

39,1

18

39,1

46

100

Total

21

23,9

33

37,5

34

38,6

88

100

0,880

Berdasarkan tabel di atas pekerja dengan masa kerja > 10 tahun yang mengalami
kelelahan kerja berat (KKB) sebesar 26,2% sedangkan pekerja dengan masa kerja < 10
tahun yang mengalami KKB sebesar 21,7%. Pekerja dengan masa kerja > 10 tahun yang
mengalami kelelahan kerja sedang (KKS) sebesar 35,7% sedangkan pekerja dengan masa
kerja < 10 tahun yang mengalami KKS sebesar 39,1%. Pekerja dengan masa kerja > 10
tahun yang mengalami kelelahan kerja ringan (KKR) sebesar 38,1% sedangkan pekerja
dengan masa kerja < 10 tahun yang mengalami KKR sebesar 39,1%. Dari hasil uji
statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0.880 Artinya pada 5 % tidak ada
hubungan antara masa kerja dengan kelelahan kerja.
87

88

7.16. Hubungan Antara Usia dengan Kelelahan Pada Pekerja di Proses Produksi
Kantong Semen

Tabel 5.15
Tabulasi silang Antara Usia dengan Kelelahan Pekerja di Proses Produksi Kantong
Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010
Kelelahan
Usia

KKB

Total

KKS

Pvalue

KKR

> 40 tahun

32,0

11

44,0

24,0

25

100

< 40 tahun

13

20,6

22

34,9

28

44,4

63

100

Total

21

23,9

33

37,5

34

38,6

88

100

0,192

Berdasarkan tabel di atas pekerja usia > 40 tahun yang mengalami kelelahan kerja
berat (KKB) sebesar 32,0%, sedangkan pekerja usia < 40 tahun yang mengalami KKB
sebesar 20,6%. Pekerja usia > 40 tahun yang mengalami kelelahan kerja sedang (KKS)
sebesar 44,0%, sedangkan pekerja usia < 40 tahun yang mengalami KKS sebesar 34,9%.
Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,192. Artinya pada 5 %
tidak ada hubungan antara kelompok usia dengan kelelahan kerja.

7.17. Hubungan Antara Status Perkawinan dengan Kelelahan Pada Pekerja di


Proses Produksi Kantong Semen

Tabel 5.16
Tabulasi Silang Antara Status Perkawinan dengan Kelelahan Pada Pekerja di
Proses Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.
tahun 2010
88

89

Kelelahan

Status
Perkawinan

KKB

Total

KKS

Pvalue

KKR

Kawin

20

26,7

30

40,0

25

33,3

75

100

Tidak kawin

7,7

23,1

69,2

13

100

Total

21

23,9

33

37,5

34

38,6

88

100

0,045

Berdasarkan tabel di atas pekerja dengan status kawin yang mengalami kelelahan
kerja berat (KKB) sebesar 20%, sedangkan pekerja dengan status tidak kawin yang
mengalami KKB sebesar 7,7%. Pekerja dengan status kawin yang mengalami kelelahan

kerja sedang (KKS) sebesar 40%, sedangkan pekerja dengan status tidak kawin yang
mengalami KKS sebesar 23,1%. Pekerja dengan status kawin yang mengalami kelelahan

kerja ringan (KKR) sebesar 33,3%, sedangkan pekerja dengan status tidak kawin yang
mengalami KKR sebesar 69,2%. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas

sebesar 0,045. Artinya pada 5 % terdapat hubungan antara kelompok status perkawinan
dengan kelelahan kerja.

7.18. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dengan Kelelahan Pada Pekerja di


Proses Produksi Kantong Semen

Tabel 5. 17
Tabulasi Silang Antara Kebiasaan Merokok dengan Kelelahan Pada Pekerja di Proses
Produksi Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010
Kelelahan
Kebiasaan
Merokok

KKB

Total

KKS

Pvalue

KKR

Sedang

9,1

36,4

54,5

11

100

Ringan

10

27,8

14

38,9

12

33,3

36

100
0,689

89

90
Tidak merokok

10

27,8

15

36,6

16

39,0

41

100

Total

21

23,9

33

37,5

34

38,6

88

100

Berdasarkan tabel di atas pekerja dengan kebiasaan merokok tingkat sedang yang
mengalami kelelahan kerja berat (KKB) sebesar 9,1 %, pekerja dengan kebiasaan
merokok tingkat ringan yang mengalami KKB sebesar 27,8%, sedangkan pekerja tidak
merokok yang mengalami KKB sebesar 27,8 %. Pekerja dengan kebiasaan merokok
tingkat sedang yang mengalami kelelahan kerja sedang (KKS) sebesar 36,4 %, pekerja
dengan kebiasaan merokok tingkat ringan yang mengalami KKS sebesar 38,9%,
sedangkan pekerja tidak merokok yang mengalami KKS sebesar 36,6 %. Pekerja dengan
kebiasaan merokok tingkat sedang yang mengalami kelelahan kerja ringan (KKR)
sebesar 54,5 %, pekerja dengan kebiasaan merokok tingkat ringan yang mengalami KKR
sebesar 33,3%, sedangkan pekerja tidak merokok yang mengalami KKR sebesar 39,0 %.
Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,689. Artinya pada 5 %
tidak ada hubungan antara kelompok kebiasaan merokok dengan kelelahan kerja.

7.19. Hubungan Status Gizi dengan Kelelahan Pada Pekerja di Proses Produksi
Kantong Semen

Tabel 5 .18
Tabulasi Silang Antara Status Gizi dengan Kelelahan Pada Pekerja di Proses Produksi
Kantong Semen PBD PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun 2010
Kelelahan
Status Gizi

KKB

Total

KKS

Pvalue

KKR

Kurus

15,4

53,8

30,8

41

100

Gemuk

25,0

25,0

50,0

12

100

0,642

90

91
Normal

16

25,4

23

36,5

24

38,1

63

100

Total

21

23,9

33

37,5

34

38,6

88

100

Berdasarkan tabel di atas pekerja kurus yang mengalami KKB sebesar 15,4 %,
pekerja gemuk yang mengalami kelelahan kerja berat (KKB) sebesar 25,0 %, sedangkan
pekerja normal yang mengalami KKB sebesar 25,4%. Pekerja kurus yang mengalami
KKS sebesar 53,8 % Pekerja gemuk yang mengalami kelelahan kerja sedang (KKS)
sebesar 25,0 %, sedangkan pekerja normal yang mengalami KKS sebesar 36,5%. Pekerja
kurus yang mengalami KKR sebesar 30,8 %, pekerja gemuk yang mengalami kelelahan
kerja ringan (KKR) sebesar 50,0%, sedangkan pekerja normal yang mengalami KKR
sebesar 38,1%. Dari hasil uji statistik didapatkan nilai probabilitas sebesar 0,642. Artinya
pada 5 % tidak ada hubungan antara kelompok status gizi dengan kelelahan kerja.

91

92

BAB VI

PEMBAHASAN

13.1.

Keterbatasan Penelitian

1. Pengukuran kelelahan kerja sebagian dilakukan pada saat pekerja istirahat atau
hendak pulang. Karena hasil pengukuran kelelahan kerja dapat dipengaruhi oleh
segala hal yang dapat membantu pekerja menjadi segar kembali, seperti contoh :
istirahat 30 menit, cuci muka dan berwudhu.
2. Kondisi pada saat itu dalam keadaan mendung, sehingga dapat mempengaruhi hasil
pengukuran. Karena kondisi suhu di dalam ruangan dipengaruhi keadaan suhu yang
berada di luar ruangan.
3. Pengukuran kebisingan dilakukan hanya pada shift 1.
4. Pengambilan sampel terkumpul pada shift 1.

13.2.

Kelelahan Kerja

Pengukuran kelelahan kerja melibatkan fungsi persepsi, interpretasi dan reaksi


motor. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah dengan pengukuran waktu reaksi.
Waktu reaksi adalah jangka waktu dari pemberian suatu rangsang sampai kepada suatu
saat kesadaran atau dilaksanakan kegiatan. Dalam uji waktu reaksi dapat digunakan nyala
lampu, denting suara, sentuhan kulit atau goyangan badan. Pada metode yang dilakukan
menggunakan Reaction Timer Test dengan nyala lampu. Terjadinya pemanjangan waktu
reaksi merupakan petunjuk adanya perlambatan pada proses faal syaraf dan otot.
92

93

Secara umum gejala kelelahan kerja dapat dimulai dari yang sangat ringan sampai
perasaan yang sangat melelahkan. Kelelahan kerja subyektif biasanya terjadi pada akhir
jam kerja, apabila beban kerja melebihi 30-40% dari tenaga aerobik. Pengaruh ini seperti
berkumpul didalam tubuh dan mengakibatkan perasaan lelah (Sumamur, 1996). Hasil
penelitian mengenai gambaran tingkat kelelahan kerja pada tenaga kerja bagian produksi
kantong semen PBD (Paper Back Division) PT. Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. tahun
2010 cukup bervariasi. Berdasarkan hasil penelitian, distribusi kelelahan kerja pada
pekerja bagian produksi kantong semen seluruh sampel mengalami kelelahan kerja.
Sedangkan pekerja yang terpapar tekanan panas 1 orang, terpapar kebisingan 15 orang,
yang mengalami masa kerja >10 tahun 42 orang, shift 1 30 orang, usia yang > 40 tahun
sebanyak 25 orang, status yang sudah kawin sebanyak 75 orang, yang merokok tingkat
sedang 11 orang, dan status gizi kurus sebanyak 13 orang.
Kelelahan kerja akan menurunkan kinerja, menurunkan kapasitas kerja dan
ketahanan kerja yang ditandai oleh sensasi lelah, motivasi menurun, aktivitas menurun.
Karakteristik kelelahan kerja akan meningkat dengan semakin lamanya pekerjaan yang
dilakukan, sedangkan menurunnya rasa lelah dapat meningkatnya kesalahan kerja akan
memberikan peluang terjadinya kecelakaan kerja dalam industri. Hal ini sesuai dengan
teori Tarwaka (2004) dan Rizeddin (2000.)
13.3.

Hubungan Antara Tekanan Panas dengan Kelelahan Kerja

Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor dari faktor-faktor terjadinya


kelelahan kerja. Pada penelitian ini cara melakukan pengukuran kelelahan kerja pada
pekerja berdasarkan tekanan panas pada lingkungan kerjanya. Tekanan panas adalah total
panas tubuh seseorang yang berasal dari kombinasi panas metabolik (internal) dan panas
93

94

lingkungan (eksternal). Panas yang dihasilkan dari proses metabolisme tersebut berasal
dari aktivitas manusia. Suhu nikmat bekerja sekitar 24 - 26C bagi orang- orang
Indonesia, suhu

dingin mengurangi efisiensi dengan keluhan kaku atau kurangnya

koordinasi otot.

Suhu panas terutama berakibat menurunnya prestasi kerja pekerja.

Lingkungan kerja yang panas umumnya lebih banyak menimbulkan permasalahan


dibandingkan lingkungan kerja dingin. Hal ini terjadi karena pada umumnya manusia
lebih mudah melindungi dirinya dari pengaruh suhu udara yang rendah dari pada suhu
udara yang tinggi (Ardyanto, 2005).
Berdasarkan observasi, pekerja melakukan kegiatan pada beberapa mesin
berdasarkan jenis pekerjaannya masing-masing. Maka dilakukan pengukuran tekanan
panas dengan menggunakan Heat Monitoring Stress Questemp 34o atau indeks WBGT untuk
mengetahui kondisi lingkungan pekerja. Karena pada setiap pekerjaan memiliki nilai resiko

terjadinya kelelahan kerja yang berbeda. Dari hasil penelitian didapatkan pekerja yang
mengalami tekanan panas hanya ada pada kelompok kelelahan kerja sedang (KKS) yaitu
sebanyak 1 orang (100%), sedangkan pekerja yang tidak terpapar tekanan panas yang
mengalami tekanan KKB sebesar 24,1, yang mengalami KKS sebesar 36,8%, dan yang
mengalami KKR seesar 39,1%.
Hasil uji statistik menunjukan tidak ada hubungan yang signifikan antara tekanan
panas dengan kelelahan kerja. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumya
yang dilakukan oleh Paulina, (2008) yang mengatakan bahwasanya ada hubungan antara
tekan panas dengan kelelahan kerja. Hal ini kemungkinan disebabkan kondisi cuaca pada
saat itu dalam keadaan mendung, karena suhu di dalam ruangan sangat dipengaruhi oleh
kondisi luar lingkungan. Kesalahan mungkin dapat terjadi pada saat pengambilan sampel,

94

95

karena pada saat pengambilan sampel pada shift 1 dilakukan di tempat istirahat atau
ruang ganti sehingga hasil pengambilan sampel menjadi tidak acak atau random.
Kesalahanpun terjadi pada saat pengukuran tekanan panas, karena peneliti mengukur
tekanan panas sebanyak 36 titik dalam waktu yang bersamaan dan di ukur pada saat itu
juga. Pada waktu pengukuran, kondisi suhu lingkungan dapat berubah seiring dengan
waktu pengukuran yang berjalan. Sehingga data yang dihasilkan pada saat pengukuran
tekanan panas menjadi homogen.
Sebaiknya untuk penelitian lanjutan perlu memperhatikan teknik pengambilan
data terutama pada saat pengukuran tekanan panas dan teknik pengambilan sampel. Pada
saat pengukuran tekanan panas sebaiknya memperhatikan kondisi cuaca. Pengukuran
tekanan panas dilakukan sesuai dengan waktu yang telah dtentukan sebelumnya.
Sehingga hasil yang diinginkan sesuai dengan yang diharapkan.
13.4.

Hubungan Antara Kebisingan dengan Kelelahan Kerja

Setiap tenaga kerja memiliki kepekaan sendiri-sendiri terhadap kebisingan,


terutama nada yang tinggi, karena dimungkinkan adanya reaksi psikologis seperti stres,
kelelahan kerja, hilang efisiensi dan ketidaktenangan (Sutaryono, 2002). Pengukuran
kebisingan biasanya dilakukan dengan tujuan memperoleh data kebisingan di
perusahaan atau dimana saja sehingga dapat dianalisis dan dicari pengendaliannya.
Alat yang digunakan untuk mengukur intensitas kebisingan adalah dengan menggunakan
sound level meter dengan satuan intensitas kebisingan sebagai hasil pengukuran adalah
desibel (dBA). Pada penelitian ini kebisingan dikategorikan menjadi 2 yaitu pekerja yang
terpapar kebisingan > 85 dB dan yang tidak terpapar < 85 dB.

95

96

Hasil uji statistik menunjukan ada hubungan yang signifikan antara kebisingan
dengan kelelahan kerja. Penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumya yang
menyatakan adanya hubungan antara tingkat kebisingan dengan kelelahan kerja (Muftia,
2005). Menurut Sutaryono (2002) setiap tenaga kerja memiliki kepekaan sendiri-sendiri
terhadap kebisingan, terutama nada yang tinggi, karena dimungkinkan adanya reaksi
psikologis seperti stres, kelelahan kerja, hilang efisiensi dan ketidaktenangan. Orang
yang melakukan pekerjaan disertai dengan adanya gangguan dapat menjadikan pekerja
merasa tidak nyaman dalam melakukan pekerjaannya. Untuk menghindari terjadinya
kelelahan kerja akibat kebisingan yang diterima pekerja salah satunya dengan cara;
1. Administrative control ; pelatihan pada pekerja dan menyediakan ruang kontrol
sehingga pekerja bisa beristirahat dan tidak terus menerus terpapar kebisingan.

Contoh :
Dari kesemua titik pengukuran didapatkan tingkat kebisingan tertinggi ada di area
mesin tubing, yakni 87,9 dBA. Lama waktu yang diizinkan dapat menggunakan
rumus sebagai berikut:

T: Waktu
L
:
Kebisingan

Tingkat

Pada saat normal pekerja bekerja selama satu jam diarea mesin tubing selama 8 jam,
bila paparan yang diterima adalah 88 dB maka waktu yang diizinkan adalah :

96

97

T= 8/{2(88-85/3)}
= 8/2(3/3)
= 4 jam
Jadi, waktu yang di izinkan untuk bekerja di dalam ruangan yang memiliki nilai
kebisingan 88dB adalah 4 jam.
2. Personal Protective Equipment ; menggunakan Alat Pelindung Diri berupa safety ear
plug atau ear muff. Alat pelindung telinga wajib digunakan jika pekerja memasuki
area dengan intensitas kebisingan diatas 85 dBA. Adapun cara perhitungan NRR
(noise redustion rating) dalam menentukan alat pelindung telinga yang tepat sesuai
dengan nilai kebisingan yang lebih dari NAB dapat digunakan rumus.

Contoh : untuk menentukan NRR yang memiliki TWA 96 dBA, maka dapat
dimasukkan ke dalam rumus perhitungan NRR sebagai berikut :
dBA = TWA (NRR 7)
85

= 88 (NRR 7)

NRR = 10
Berdasarkan perhitungan di atas, nilai paparan bising terhadap pekerja telah melebihi
ambang batas. Hal ini dapat terlihat dengan perolehan nilai paparan bising (TWA)
adalah 88 dBA. Dengan demikian diperlukan APT (alat pelindung telinga) dengan
NRR sebesar 10 dBA.
13.5.

Hubungan Antara Shift Kerja dengan Kelelahan Kerja

97

98

Perbedaan waktu kerja di pagi, siang dan malam hari dapat memberikan dampak
yang berbeda kepada tenaga kerja. Tingkat kelelahan kerja tenaga kerja yang bekerja di
malam hari akan lebih besar jika dibanding kerja di pagi atau siang hari. (Sumamur,
1996). Karena tingkat kelelahan kerja tenaga kerja yang bekerja di malam hari akan
lebih besar jika dibanding kerja di pagi atau siang hari. Hal itu dikarenakan jumlah jam
kerja yang dipakai tidur bagi pekerja malam pada siang harinya relatif jauh lebih kecil
dari seharusnya.
Hasil uji statistik menunjukan ada hubungan yang signifikan antara shift kerja
dengan kelelahan kerja. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumya yang dilakukan oleh
Febriana, (2009) menunujukan adanya hubungan antara shift kerja dengan kelelahan
kerja.
Dalam penelitian ini kelelahan kerja berat banyak terjadi pada pekerja shift 1, hal
ini kemungkinan karena pekerja pada shift 1 memiliki beban kerja lebih berat khususnya
pada bagian sewing kantong semen. Pekerja pada bagian sewing melakukan pekerjaan
lebih lama, karena semakin banyak produksi yang dihasilkan oleh pekerja maka
pembayaran upah atau gaji akan menjadi lebih besar. Oleh karena itu terkadang pekerja
melakukan pekerjaannya lebih dari 8 jam sehingga berpotensi terjadinya kelelahan kerja
lebih banyak di antara pekerja pada shift 2 dan 3. selain hal itu, terjadinya kelelahan kerja
berat dan sedang dimungkinkan karena status perkawinan pada pekerja shift 1 seluruhnya
sudah menikah.

Karena status pekerja antara yang kawin dan tidak kawin adalah

berbeda.
Untuk mengurangi terjadinya kelelahan kerja pada shift kerja yaitu dengan
megatur jam kerja sesuai dengan jam kerja yang lebih baik sesuai dengan teori yaitu

98

99

menerapkan sistim 06-14-22. Sistim jam kerja 06-12-22 bertujuan agar pekerja yang
bekerja pada shift 2 dapat istirahat lebih cepat, sehingga waktu istirahat yang dimiliki
oleh pekerja menjadi lebih baik. Untuk mudahnya dapat dilihat pada gambar berikut:
4.

Shift 1 (pagi)
a. Senin-kamis

: pukul 06.00 14.00

b. Jumat

: pukul 06.00 15.00

5. Shift 2 (sore)
a. Senin kamis : pukul 14.00 22.00
b. Jumat

6. Shift 3 (malam)

: pukul 15.00 - 23.00

a. Senin kamis : pukul 22.00 06.00


b. Jumat

13.6.

: pukul 23.00 07.00

Hubungan Antara Masa Kerja dengan Kelelahan Kerja

Masa kerja adalah panjangnya waktu terhitung mulai pertama kali masuk kerja
hingga saat penelitian. Tekanan melalui fisik (beban kerja) pada suatu waktu tertentuk
mengakibatkan berkurangnya kinerja otot, gejala yang ditunjukkan juga berupa pada
makin rendahnya gerakan. Keadaaan ini tidak hanya disebabkan oleh suatu sebab tunggal
seperti terlalu kerasnya beban kerja, namun juga oleh tekanantekanan yang terakumulasi setiap harinya pada suatu masa yang panjang.Pada penelitian ini masa kerja
dikategorikan berdasarkan nilai median karena pendistribusian masa kerja pada penelitian
ini tidak berdistribusi normal.
99

100

Hasil analisis menunjukan tidak adanya hubungan antara masa kerja dengan
kelelahan kerja. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Eraliesa (2008)

terdapat hubungan antara masa kerja dengan tingkat kelelahan

kerja. Hal ini bisa terjadi, karena masa kerja hanya menggambarkan lama kerja yang
telah dilewati selama bertahun-tahun. Lain halnya dengan waktu kerja yang
menggambarkan lama kerja seseorang pada hari kerja, seperti contoh lembur dalam
bekerja yang beresiko terhadap terjadinya kelelahan kerja dalam bekerja.
13.7.

Hubungan Antara Usia dengan Kelelahan Kerja

Proses menjadi tua diserta kurangnya kemampuan kerja oleh karena perubahanperubahan pada alat tubuh, sistem kardiovaskular, hormonal (Sumamur, 1996). Pada usia
lanjut jaringan otot akan mengerut dan digantikan oleh jaringan ikat. Pengerutan otot
menyebabkan daya elastisitas otot berkurang. Aktivitas hidup juga berkurang, yang
mengakibatkan semakin bertambahnya ketidak mampuan tubuh dalam berbagai hal
(Margatan, 1996).
Hasil uji statistic menunjukan tidak adanya hubungan yang signifikan antara masa
kerja dengan kelelahan kerja. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan Paulina (2008) pada bagian produksi PT. X menunjukkan adanya hubungan
yang bermakna antara umur responden dengan kelelahan kerja kerja. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena rata-rata usia pekerja dibawah 40 tahun. Dan sesuai
dengan teori yang dikatakan Hidayat (2003) mandapatkan bukti di negara Jepang
menunujukan bahwa pekerja yang berusia 40-50 tahun akan lebih cepat menderita
kelelahan kerja dibandingkan dengan pekerja relative lebih muda.
13.8.

Hubungan Antara Status Perkawinan dengan Kelelahan Kerja


100

101

Seseorang yang sudah menikah dan memiliki keluarga maka akan mengalami
kelelahan kerja akibat kerja dan setelah dirumah harus melayani anak dan istrinya yang
mana waktu terebut digunakan untuk beristirahat. Hasil uji statistik menunjukan adanya
hubungan antara status perkawinan denagn kelelahan kerja. kerja. Hal ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Eraliesa (2008) yang mengatakan adanya
hubungan antara status perkawinan dengan tingkat kelelahan kerja. hal ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Eraliesa,(2008) yang mengatakan adanya
hubungan antara status pekawinan dengan kelelahan kerja.
Pernikahan menyebabkan meningkatnya tanggung jawab yang dapat membuat
pekerjaan tetap lebih berharga dan penting. Karena seseorang yang sudah menikah akan
memiliki tugas- tugas seperti; belajar hidup dengan pengalaman dalam perkawinan, mulai
hidup berkeluarga, memelihara anak, mengatur rumah tangga, dan memulai dalam
pekerjaan (sudirman,1987). Sehingga seseorang yang sudah menikah akan mengalami
kelelahan kerja akibat kerja dan setelah di rumah harus melayani anak danistrinya yang
mana seharusnya waktu tersebut digunakan untuk istirahat. Oleh karena itu untuk
menghindari terjadinya kelelahan kerja sebaiknya pihak perusahaan memberikan
pendidikan atau pengarahan tentang cara pengaturan waktu istirahat antara pekerjaan
dengan waktu untuk keluarga.
13.9.

Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dengan Kelelahan Kerja

Semakin lama dan tinggi frekuensi merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan
otot yang dirasakan. Hal ini sebenarnya terkait erat dengan kondisi kesegaran tubuh
seseorang.

101

102

Hasil uji statistik menunjukan tidak adanya hubungan yang signifikan antara
kebiasaan merokok dengan kelelahan kerja. Dalam penelitian ini walaupun status kebiasaan
merokok tidak berhubungan kelelahan kerja, pekerja yang tidak merokok mengalami kelelahan
kerja tingkat berat. Hal ini disebabkan sebagian besar pekerja berada pada shift 1 dan sudah
kawin. Karena pekerja yang bekerja pada shift 1 dan sudah kawin memiliki resiko terjadinya
kelelahan. Hal ini tidak sejalan dengan teori yang dikatakan oleh Tarwaka (2004) yang
mengatakan bahwa kebiasaan merokok akan

dapat menurunkan kapasitas paruparu,

sehingga kemampuan untuk mengkonsumsi oksigen menurun dan sebagai akibatnya


tingkat kesegaran juga menurun. Apabila yang bersangkutan harus melakukan tugas yang
menuntut pengerahan tenaga, maka akan mudah lelah karena kandungan oksigen dalam
darah rendah, pembakaran karbohidrat terhambat, terjadi tumpukan asam laktat dan
akhirnya timbul kelelahan kerja.
Menurut Sumamur (2004) yang mengatakan semakin lama dan tinggi frekuensi

merokok, semakin tinggi pula tingkat keluhan otot yang dirasakan. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena rata-rata pekerja perokok ringan dan tidak merokok.
Untuk penelitian lanjutan sebaiknya pada variabel status merokok diperbanyak
pertanyaannya. Karena dalam hal ini peneliti mengkategorikan pekerja yang sudah berhenti
merokok masuk dalam kategori tidak merokok. Padahal tidak seharusnya seperti itu, karena orang
yang pernah merokok kemudian dia berhenti mereka memiliki kondisi yang tidak sama dengan
orang yang tidak pernah merokok sama sekali.

13.10. Hubungan Status Gizi dengan Kelelahan Kerja

Berat badan yang kurang ideal baik itu kurang ataupun kelebihan dapat
menimbulkan kerugian. Masalah kekurangan atau kelebihan gizi pada orang dewasa (usia
102

103

18 tahun ke atas) merupakan masalah penting, karena selain mempunyai resiko penyakit
tertentu, juga dapat mempengaruhi produktivitas kerja.
Hasil uji statistik menunjukan tidak adanya hubungan yang signifikan antara
status gizi dengan kelelahan kerja. Dalam penelitian ini walaupun status gizi tidak berhubungan
kelelahan kerja, akan tetapi orang yang gizinya normal mengalami kelelahan kerja tingkat berat.
Hal ini terjadi karena pada saat penelitian sebagian besar pekerja dengan IMT nomal sedang
berada pada shift 1 dan statusnya sudah kawin. Oleh sebab itulah terjadi kelelahan tingkat berat
dan sedang lebih banyak terjadi pada gizi yang normal. Karena pekerja yang bekerja pada shift 1
dan status pekerja sudah kawin memiliki resiko terjadinya kelelahan. Dalam hal ini penelitian
tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Eraliesa, (2008) yang

mengatakan adanya hubungan antara status gizi dengan tingkat kelelahan kerja. Hal ini
kemungkinan disebabkan rata-rata status gizi pekerja dalam keadaan normal. Karena gizi
yang baik adalah faktor penentu derajat produktivitas kerja seseorang.

103

104

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

20.1.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada bagian produksi


pembuatan kantong semen PBD (Paper Bag Division) diperoleh kesimpulam sebagai
berikut :

5. Gambaran kelelahan yang paling terbanyak adalah kelelahan kerja ringan


(KKR) sebanyak 34 pekerja (38,6 %), kelelahan kerja sedang (KKS) sebanyak
33 orang (37,5%), sedangkan kelelahan yang paling sedikit adalah kelelahan
kerja berat (KKB) sebanyak 21 pekerja (23,9%).
6. Terdapat hubungan antara kebisingan dengan kelelahan kerja (P = 0,008).
Terdapat hubungan antara kelompok pekerja shift 3, shift 2, dan shift 3 dengan
kelelahan kerja (Pvalue = 0,014). Terdapat hubungan antara status perkawinan
dengan kelelahan kerja (Pvalue = 0,045).
7. Tidak ada hubungan antara tekanan panas dengan kelelahan kerja (Pvalue =
0,430). Tidak hubungan antara masa kerja dengan kelelahan kerja (Pvalue =
0,880). Tidak ada hubungan antara usia dengan kelelahankerja (Pvalue =
0,192). Tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan kelelahan
kerja (Pvalue = 0,689). Tidak ada hubungan antara status gizi

dengan

kelelahan kerja (Pvalue = 0,642).

104

105

20.2.

Saran

20.2.1. Saran untuk pengendalian terkait dengan kebisingan, shift kerja,status perkawinan
dalah sebagai berikut :

1. Untuk menghindari terjadinya kelelahan akibat kebisingan dapat dilakukan


dengan mengurangi paparan kebisingan yang diterima pekerja salah satunya
dengan cara;

a. Administrative control ; pelatiahn pada pekerja, menyediakan ruang


kontrol sehingga pekerja bisa beristirahat dan tidak terus menerus terpapar
kebisingan.
b. Personal Protective Equipment ; menggunakan Alat Pelindung Diri
berupa safety ear plug atau ear muff. Alat pelindung telinga wajib
digunakan jika pekerja memasuki area dengan intensitas kebisingan diatas
85 dBA.

2. Mengatur jam shift kerja sesuai dengan jam kerja normal yaitu dengan jam
kerja 06-14-22.
3. Sebaiknya pihak perusahaan memberikan pendidikan atau pengarahan tentang
cara pengaturan waktu istirahat antara pekerjaan dengan waktu untuk
keluarga.
4. Perlu diadakannya penelitian lanjutan.

a. Memperhatikan teknik pengambilan data terutama pada saat pengukuran


tekanan panas dan teknik pengambilan sampel.

105

106

b. Pada saat pengukuran tekanan panas sebaiknya memperhatikan kondisi


cuaca.
c. Pengukuran tekanan panas dilakukan sesuai dengan waktu yang telah
dtentukan sebelumnya
d. Mengelompokan status perkawinan menjadi 3 kelompok yaitu single,
married, dan post married.
e. Meneliti status kesehatan secara objektif.
f. Menggabungkan metode pengukuran kelelahan misalnya menggabungkan
antara kuesioner kelelahan dengan alat Reaction Timer Test.
g. Sebaiknya penelitian tidak hanya dilakukan di bagian produksi.

106

107

DAFTAR PUSTAKA

Anies.

2002, Berbagai Penyakit akibat Lingkungan Kerja dan Upaya


Penanggulangannya, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. (Margatan,
1996: 24).

ACGIH. 2007. TLV and Biological Exposure Indices. ACGIH.


Bustan, M.N, Dr. 2000. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta : PT. RINEKA
CIPTA.
Budiono, Sugeng, A.M. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan KK. Semarang : Badan
penerbit UNDIP .
Dangsina Moeloek, 1984, Dasar Fisiologi Kesegaran Jasmani dan Latihan, Jakarta :
Universitas Indonesia.
Departemen Tenaga Kerja RI mengeluarkan keputusan Menteri tenaga Kerja Nomor Kep
51/Men/1999 tentang nilai ambang batas iklim kerja Indeks Suhu Basah
dan Suhu Bola (ISSB) yang diperkenankan.
Depkes. 1990. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Tenaga Kerja. Jakarta:
Depkes.
Depkes, RI, 2000. Undang-undang Kesehatan No 23 Tahun 1992. Jakarta dan Kessos RI,
2000:7
Depnaker. 2004. Training Material Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Bidang
Keselamatan Kerja. Jakarta: Depnaker
Gibson, John. 1985. Diagnosa Gejala Klinis Penyakit, Yogyakarta: Yayasan Essentia
Medica.
Guyton & Hall, 1997, Fisiologi Kedokteran, Jakarta: EGC. (Lany Gunawan, 2001:23).
Gabriel, J.F. 1997. Fisika Kedokteran, Jakarta: EGC.
Grandjean, E. Fiting the Task To The Man Text Book of Occupational Ergonomic 4 th
Edition Taylor dan Franc Philadelpia, 1988.
Hasibuan, Malayu. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Bumi Aksara.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.48 Tahun 1996
107

108

Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 51 tahun 1999, Nilai Ambang Batas untuk
kebisingan
Koesyanto, Herry dan Tunggul, Eram P. 2005. Panduan Praktikum Laboratorium
Kesehatan & Keselamatan Kerja, Semarang: UPT UNNES Press.
M. Sajoto, 1981, Permainan Bola Basket dan Peraturan Praktis. Semarang: Fakultas
Keguruan Ilmu Keolahragaan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
NIOSH. 1986. Occupational Exposure to Hot Environments, Revised Criteria.
Notoatmodjo, Soekidjo. 1997. PrinsipPrinsip Dasar Kesehatan Masyarakat, Jakarta: PT.
Rineka Cipta.
Nurmianto, Eko. 2003. Ergonomi Konsep Dasar Dan Aplikasinya. Surabaya: Guna
Widya
Occupational Safety and Health Service (OSHS). 1997. Guidelines For The Management
Of Work In Extremes Of Temperature. Occupational Safety and Health
ServiceDepartment of Labour. Wellington.
Oentoro, S, 2004. Kampanye Atasi Kelelahan Mental dan Fisik. Jakarta: UI Press
Subjective Self Rating Tes dari Industrial Fatigue Research Committee (IFRC)
Sumamur .K., 1996:57) Sumamur K. K. 1996. Higiene erusahaan Dan Kesehatan
Kerja. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung
Sumamur PK. 1999. Ergonomi Untuk Produktivitas Kerja. Jakata: CV Haji Masagung
Sutaryono. 2002. Hubungan antara tekanan panas, kebisingan dan penerangan
dengan kelelahan pada tenaga kerja di PT. Aneka Adho Logam
Karya Ceper klaten, Skripsi. Semarang : UNDIP
Santoso, Gempur. 2004, Ergonomi Manusia, Peralatan dan Lingkungan, Jakarta:
Prestasi Pustaka. OSHA (Ocupational Safey and Health Administration).
Tarwaka, et all. 2003. Ergonomi untuk Keselamatan, Kesehatan dan Produktivitas kerja.
Surakarta: UNIBA Press.
Tarwaka, Solichul, Bakri, Lilik Sudiajeng. 2004. Ergonomi Untuk Kesehatan Kerja
Dan Produktivitas. Surakarta: UNIBA Press.

108

109

109

Anda mungkin juga menyukai