BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau
setengah cair (setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya
lebih dari 200 g atau 200 ml/24 jam. (Ciesla, 2003) Definisi lain memakai
kriteria frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari. Buang air
besar encer tersebut dapat/tanpa disertai lendir dan darah. (Guerrant, 2001)
Di Indonesia diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat,
besarnya masalah tersebut terlihat dari tingginya insidensi, angka kematian serta
masih sering terjadinya kejadian luar biasa (KLB). (Kemenkes RI, 2011)
Diare akut adalah diare yang onset gejalanya tiba-tiba dan berlangsung
kurang dari 14 hari sedangkan, Diare kronik yaitu diare yang berlangsung lebih
dari 14 hari. Diare dapat disebabkan infeksi maupun non infeksi. Dari penyebab
diare yang terbanyak adalah diare infeksi. Diare infeksi dapat disebabkan Virus,
Bakteri, dan Parasit. (Loeheri, 1998)
Diare akut sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan, tidak
saja di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Penyakit diare masih
sering menimbulkan KLB (Kejadian Luar Biasa) dengan penderita yang banyak
dalam waktu yang singkat. (Manatsathit, 2002)
Beberapa kelompok yang mempunyai faktor risiko tinggi untuk terkena
diare yaitu orang yang baru saja berpergian ke negara berkembang, daerah
tropis, kelompok perdamaian dan pekerja sukarela, orang yang sering berkemah
(dasar berair), makanan dalam keadaan yang tidak biasa: makanan laut dan shell
fish, terutama yang mentah, restoran dan rumah makan cepat saji, homoseksual,
dan pada penggunaan anti mikroba jangka lama di rumah sakit Institusi kejiwaan
atau mental. (Setiawan, 2006)
Penyebab diare juga dapat bermacam macam tidak selalu karena infeksi
dapat dikarenakan faktor malabsorbsi seperti malabsorbsi karbohidrat,
disakarida (inteloransi laktosa, maltosa, dan sukrosa) monosakarida (inteloransi
glukosa, fruktosa, dan galaktosa), Karena faktor makanan basi, beracun, alergi
karena makanan, dan diare karena faktor psikologis, rasa takut dan cemas. (Vila,
2000)
Kejadian diare banyak dijumpai di masyarakat, oleh sebab itu banyak
obat diare yang dijual bebas di pasaran. Bismuth subsalycilate merupakan terapi
yang bersifat anti bakteri. Penggunaan utama dari obat obat bismuth adalah
untuk mengatasi infeksi bakteri akibat
negatif yang menyebabkan tukak lambung dan penyakit lainnya dari saluran
pencernaan. (Indarto A, 2011)
B. Tujuan
Untuk mengetahui bismuth subsalisilat sebagai anti diare sesuai indikasi
C. Manfaat
Memberi pelajaran serta wawasan kepada penulis tentang manfaat pemberian
bismuth subsalycilate sebagai terapi antidiare
BAB II
FARMASI FAMAKOLOGI
A. Sifat Fisiko-Kimia dan Rumus Kimia obat
Gambar
2.3
syrup
Bismuth
subsalicylate
Bismuth subsalicylate memiliki efek sebagai antisekresi, antiinflamasi,
dan antibakteri. Bismuth subsalicylate digunakan untuk gangguan pencernaan
seperti, menghilangkan kram perut dan mengendalikan diare pada Travelers
diarrhea. Sediaan Bismuth subsalicylate yang ada dipasaran adalah tablet
kunyah 262 mg, 262 mg/5 ml, dan 524 mg/15 ml. Dosis lazim pada dewasa
adalah 2 tablet atau 30 ml setiap 30 menit sampai 1 jam hingga 8 dosis per hari.
(Wells, 2008)
Bismuth subsalicylate berisi beberapa komponen yang mungkin beracun
jika diberikan berlebihan untuk mencegah atau mengobati diare. Misalnya,
bahan aktif adalah salisilat, yang dapat berinteraksi dengan antikoagulan atau
dapat menghasilkan salicylism (tinnitus, mual, dan muntah). Bismuth
mengurangi penyerapan tetrasiklin dan dapat mengganggu studi radiografi
gastrointestinal. Pasien mungkin mengeluhkan penggelapan lidah dan tinja
dengan pemberian berulang. Salisilat dapat menginduksi serangan gout pada
individu yang rentan. (Wells, 2008)
C. Farmakologi Umum
Bismuth dapat digunakan untuk mengobati ulkus dan erosi dengan
menciptakan lapisan pelindung terhadap asam dan pepsin. Hal ini juga dapat
merangsang prostaglandin, lendir, dan sekresi bikarbonat. Sedangkan pada
subsalisilat dapat digunakan untuk mengurangi frekuensi buang air dan
likuiditas pada diare infeksi akut, karena salisilat penghambatan prostaglandin
usus dan sekresi klorida. Selain itu, bismuth memiliki efek antimikroba langsung
dan mengikat ins enterotoksin. Sehingga Bismuth subsalicylate dapat dipilih
manfaatnya dalam mencegah dan mengobati diare pelancong. Senyawa bismuth
juga memiliki aktivitas antimikroba langsung terhadap H pylori. (Katzung,
2004)
Toksisitas bismut tidak muncul jika digunakan untuk waktu yang
terbatas. Namun, pada penggunaan dosis berlebihan atau berkepanjangan dapat
menghasilkan gejala keracunan bismuth, dan untuk alasan ini terapi sistemik
jangka panjang tidak dianjurkan. Efek samping yang sering terjadi adalah
ensefalopati. Selain itu terkadang terdapat juga keluhan pada tulang dan sendi
yang dikaitkan dengan ensefalopati tersebut. Penyerapan salisilat terjadi dari
bismuth salisilat dapat memberikan efek samping, sehingga untuk mencegah
efek samping tersebut dapat dipertimbangkan pemberian aspirin. (Sweetman,
2009)
Bilas lambung lambung harus dipertimbangkan dalam overdosis, dengan
menggunakan arang aktif melalui mulut dan penggunaan zat pengkelat seperti
dimerkaprol, succimer, atau unithiol yang telah direkomendasikan. Selain itu,
fungsi ginjal harus dipantau selama 10 hari setelah overdosis akut. Bismuth
tidak boleh diberikan kepada pasien dengan gangguan ginjal berat. (Sweetman,
2009)
D. Farmakodinamik
Mekanisme yang jelas dari bismuth masih belum diketahui. Bismuth
melindungi dari ulkus dan erosi dengan cara membuat lapisan pelindung dari
asam dan pepsin. Hal ini juga bisa merangsang prostaglandin, lendir dan
sekresi bikarbonat. Bismuth subsalisilat mengurangi frekuensi buang air besar
pada diare infeksi akut karena salisilat menghambat prostaglandin intestinal
dan
sekresi
klorida.
Bismuth
memiliki
efek
antimikroba,
mengikat
d. Konstipasi,
e. Diare,
f. Gastrointestinal hemorrhage
g. Melena
h.
Nausea,
i.
Muntah
j.
Anafilaksis,
k. Sindrom Reye karena sejumlah kecil obat diekskresikan dalam ASI dan
menimbulkan risiko.
Penggunaan jangka panjang (lebih dari 6 minggu) dapat menyebabkan
akumulasi dan toxicity. (Gorbach, 1990)
G. TOKSISITAS DAN PENANGGULANGAN
Bismuth salisilat dapat menyebabkan keadaan toksik ditandai dengan
penurunan neurologis progresif.. dapat bertindak sebagai penyebab lain dari
disfungsi neurologis progresif termasuk penyakit Creutzfeld-Jakob (CJD),
Hashimoto Encephalopathy, dan lain-lain. (Paul, et al, 2012)
Konsentrasi bismuth subsalisilat dalam darah diatas 50mg/L telah disebut
sebagai keadaan ensefalopati yang ditandai dengan tremor, ketidakstabilan
postural, ataksia mioklonus penurunan konsentrasi, kerusakan memori, epilepsy,
psikosis derilium, depresi, visual dan halusinasi. (Darusman, 2008)
Penanggulangann bismuth subsalisilat tidak ada obat penawar khusus untuk
toksisitas salisilat. Jika tidak ada kontraindikasi, muntah harus diinduksi sesegera
mungkin dengan sirup ipecac, atau bilas lambung harus diberikan, asalkan tidak
lebih dari satu jam berlalu sejak konsumsi. arang aktif dan katarsis yang dapat
diberikan sebagai terapi dekontaminasi utama dalam kasus-kasus di mana lebih
dari satu jam telah berlalu sejak konsumsi, atau untuk lebih dekontaminasi saluran
pencernaan pada mereka yang telah menerima ipecac atau lavage lambung. tingkat
salisilat dalam plasma mungkin berguna untuk sebuah nomogram umum dapat
digunakan untuk membantu memprediksi tingkat keparahan toksisitas. terapi
suportif dan simptomatik harus diberikan, dengan mengoreksi cairan, elektrolit,
glukosa darah, dan gangguan asam-basa. (Catatan: Sebuah pH darah asidosis
meningkatkan bentuk salisilat un-terionisasi, memungkinkan lebih banyak untuk
mencapai sistem saraf pusat.) Eliminasi dapat ditingkatkan dengan alkalinisasi
urin, hemodialisis, atau hemoperfusion. hemodialisis dalam mengoreksi gangguan
asam-basa, mungkin lebih disukai dari pada hemoperfusion. (Gorbach, 1990)
BAB III
PENYELIDIKAN/PENELITIAN YANG TELAH/PERNAH
DILAKUKAN ORANG LAIN
Bismuth subsalicylate adalah sebuah kompleks bismuth dan asam salisilat
yang memiliki efek sebagai antisekresi, antiinflamasi, dan antibakteri. Oleh
karena itu di negara-negara berkembang Bismuth subsalicylate telah dipergunakan
sebagai terapi yang efektif pada penyakit diare. Alasan utama penggunaan
Bismuth subsalicylate dalam hal kepatuhan dan biaya. (Goldman, Ran D; 2013)
Pemberian Bismuth subsalicylate menurut beberapa peniliti sangat efektif
pada diare akut. Selain pada diare akut beberapa diare disebabkan oleh rotavirus
dan E. coli (terutama enterotoksigenik E. coli) pemberian Bismuth subsalicylate
menunjukan hasil yang baik pula. Hasil tersebut ditunjukan dengan pengurangan
durasi diare. Oleh karena hal itu, pemberian terapi Bismuth subsalicylate pada
Travelers Diare sangat popular diberikan bersamaan dengan antimikroba.
Penggunaan Bismuth subsalicylate yang dinilai efektif ini mengakibatkan
banyak dilakukan penelitian. Beberapa penelitian yang telah ada menunjukan
10
bahwa Bismuth subsalicylate efektif dan aman di sebagian besar pasien. Tetapi,
perlu juga diwaspadai karena penggunaan
11
pada
hewan
menunjukan
hancurnya
makrofag
testis,
yang
menerima plasebo dengan masa perawatan selama 8 hari. Para peneliti juga
menemukan penurunan substansial dalam frekuensi buang air dan berat tinja, serta
peningkatan konsistensi tinja, memperbaiki klinis kesehatan, serta memperpendek
lamanya penyakit. (Goldman, Ran D; 2013)
Penelitian yang dilakukan di Bangladesh pada anak usia 4-36 bulan dan
12
sedang dirawat di Rumah Sakit Diare memiliki sejarah diare akut kurang dari 72
durasi jam, dengan tiga atau lebih tinja berair dalam 24 jam terakhir. Pada
kelompok anak tertentu yang telah diberikan terapi Bismuth subsalicylate diare
berhenti dalam waktu 5 hari. Durasi rata-rata diare akut lebih pendek pada
kelompok Bismuth subsalicylate dibandingkan kelompok placebo. (Taylor &
Francis, 2001)
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Taylor & Francis (2001)
menyatakan bahwa Bismuth subsalicylate mengurangi frekuensi dari diare akut,
tetapi tidak dapat mencegah perkembangan diare presisten. Penurunan durasi dang
tingkat keparahan diare pada anak dari penelitian ini dengan memberikan dosis
Bismuth subsalicylate sebesar 100 mg/KgBB/hari. Dengan pemebrian dosis
demekian menunjukan mekanisme antrisekretori.
Meskipun bukti dari percobaan tampaknya menunjukkan manfaat dari
subsalisilat diare, terutama di negara-negara berkembang, beberapa kekhawatiran
telah dikemukakan. Kekhawatiran lain yang diungkapkan oleh American
Academy of Pediatrics termasuk data yang cukup untuk menilai risiko sindrom
Reye pada anak-anak menerima terapi salisilat, serta kurangnya potensi kepatuhan
dengan obat-obatan yang diberikan setiap 5 jam selama 5 hari. sangat berbahaya,
efek samping dari subsalisilat berupa perubahan warna hitam pada lidah dan tinja.
13
BAB IV
KESIMPULAN
Diare akut merupakan masalah yang sering terjadi baik di negara
berkembang maupun negara maju. Sebagian besar bersifat self limiting sehingga
hanya perlu diperhatikan keseimbangan cairan dan elektrolit. Bila ada tanda dan
gejala diare akut karena infeksi bakteri dapat diberikan terapi antimikrobial
secara empirik, yang kemudian dapat dilanjutkan dengan terapi spesifik sesuai
dengan hasil kultur. Pengobatan simtomatik dapat diberikan karena efektif dan
cukup aman bila diberikan sesuai dengan aturan.
Bismuth Subsalisilat merupakan salah satu pilihan obat dari berbagai
macam golongan obat anti diare. Bismuth subsalisilat mengurangi frekuensi
buang air besar pada diare infeksi akut karena salisilat menghambat
prostaglandin intestinal dan sekresi klorida. Bismuth memiliki efek antimikroba,
mengikat enterotoksin, dan juga berfungsi untuk mencegah dan mengobati
travelers diarrhea. Efek samping yang terlihat ketika menggunakan obat ini
berubahnya warna tinja dan urine menjadi hitam. Pemakaian lebih dari 6 minggu
14
dapat menyebabkan toksisitas dan akumulasi dai obat ini. Orang yang menderita
diare dan memiliki penyakit ginjal tidak disarankan menggunakan bismuth
salisilat sebagai terapi anti diarenya.
Daftar Pustaka
Chowdhury, HR. et al. The Efficacy of bismuth subsalicylate in treatment of acute
diarrhoea and the prevention of persistent diarrhoea. Acta Paediatr. 2001. 90:
605-610.
Ciesla WP, Guerrant RL. Infectious Diarrhea. In: Wilson WR, Drew WL, Henry NK, et
al editors. Current Diagnosis and Treatment in Infectious Disease. New York:
Lange Medical Books, 2003. 225 - 68.
Darusman B.K (2008). Hubungan tingkat pendidikan dan tingkat pendapartan dengan
perilaku swamedikasi diare oleh ibu-ibu di provinsi daerah istimewa Yogyakarta.
Tugas Akhir. Farmasi. Universitas santa dharma Yogyakarta.
Goldman, Ran D. Bismuth salicylate for diarrhea in children. PRETx. 2013
Gorbach, S.L., Bismuth therapy in gastrointestinal diseases, Gastroenterology, 1991.
99(3): 863 - 875.
Guerrant RL, Gilder TV, Steiner TS, et al. Practice Guidelines for the Management of
Infectious Diarrhea. Clinical Infectious Diseases 2001;32:331-51
15
Katzung, B. G. 2004. Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 3 Edisi 8. Penerjemah dan
editor: Bagian Farmakologi FK UNAIR. Penerbit Salemba Medika, Surabaya.
Katzung, B. G. 2012. Basic and Clinical Pharmacology, 12th Edition. Mc Graw Hill.
Boston. 1090-1091.
Loeheri S, Nariswanto H. Mikrobiologi Penyebab gastroenteritis akut pada orang
dewasa yang dirawat di bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr Sardjito Yogyakarta:
Acta Medica Indonesiana. 1998. 30.
Manatsathit S, Dupont HL, Farthing MJG, et al. Guideline for the Management of acute
diarrhea in adults. Journal of Gastroenterology and Hepatology 2002;17: S54S71.
Paul T. Reynolds, Kathleen C. Abalos, Jennifer Hopp , Mark E. Williams. 2012.
Bismuth Toxicity: A Rare Cause of Neurologic Dysfunction. International
Journal of Clinical Medicine, 2012, 3, 46-48. University of Virginia,
Charlottesville, USA; Hospital of the University of Pennsylvania, Philadelphia,
USA.
Reynolds, Paul, T. et al. Bismuth Toxicity: A Rare Cause of Neurologic Dysfuntion.
International Journal of Clinical Medicine, 2012, 3, 46-48
Setiawan B, Diare akut karena infeksi, Dalam: Sudoyo A, Setyohadi B, Alwi I dkk.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi IV. Jakarta. Departemen IPD FK
UI Juni 2006.
Sweetman, S.C. (2009). Martindale 36 The Complete Drug Reference. London: The
Pharmaceutical Press.
16