Karakteristik Perekonomian Islam
Karakteristik Perekonomian Islam
II. PEMBAHASAN
1. Pengertian Ekonomi Syariah.
Ekonomi Syariah atau juga disebut Ekonomi Islam, sebenarnya merupakan
padanan dari kalimat Ekonomi Kapitalis, Ekonomi Sosialis dan yang lainnya.
Ekonomi Syariah dimaksud tiada lain adalah suatu system perekonomian yang
paradigma normatifnya dilandasi Syariah dalam pengertian Fiqh. Oleh karena itu
dalam teori-teori Fiqhiyah tidak akan ditemukan kalaimat yang sepadan dengan
kalimat Ekonomi Syariah tersebut. System perekonomian dalam Islam adalah
merupakan salah satu system dari Muamalah (Syariah) dalam arti luas yang
bersumber dari Al-Islam sebagai Din al-Haq bersamaan dengan Aqidah dan
Khuluqiyah. Dengan demikian studi tentang Ekonomi Syariah adalah studi tentang
teori-teori ekonomi yang telah cukup lama dikumandangkan baik dalam al-Quran
maupun dalam al-Hadis yang telah diintrepretasikan dalam Kitabg-kitab Tafsir alQuran, Syarah al-Hadis maupun dalam Kitab-kitab fikih yang disusun oleh para
cendekiawan Muslim terkenal seperti Abu Yusuf Al-Qardhawi, Abu Hanifah, Yahya
Ibnu Adam, Ibnu Khaldun, Al-Gazali, Ibnu Taemiyah dan lain sebagainya 1 Namun
demikian menurut Abdul Manan2 pengkajian tentang system Ekonomi Syariah baru
dilaksanakan secara intensif sejak tiga puluh tahun yang lalu, sebagai alternative
mencapai system ekonomi terbaik setelah gagalnya berbagai system ekonomi besar
dalam menghadapi era globalisasi saat ini. Oleh karena itu dapat dimengerti kenapa
sampai saat ini belum ada buku yang ditulis oleh para ahli ekonomi syariah yang
mengkaji secara lebih mendalam sistematik dan komperhensif, karena system
ekonomi Syariah telah dimarginalkan oleh kekuatan ekonomi kapitalis dan sosialis
melalui colonial penjajahan yang selalu berusaha memisahkan Islam dari dunia
perekonomian3
Pengertian Ekonomi Syariah yang terdapat dalam literatur-literatur kitab
fikih, nampaknya hanya mengacu pada istilah Al-Iqtishadiyah yang secara etimologi
artinya hemat dan penuh perhitungan. Menurut Bagir al-Hasani sebagaimana yang
dikutip oleh Agustianto4 bahwa istilah ekonomi dan iqtishad merupakan dua konsep
yang berbeda, meskipun kebanyakan ulama yang mengartikan sama antara
keduanya. Kata iqtishad merupakan derivasi dari kata qshd yang mempunyai arti
1 Abdul Manan, 2006, Artikel Suara Udilag Mahkamah Agung RI, Pokja
Perdata Agama MA-RI, Jakarta.halaman: 3
2 Ibid
3 Mustafa Edwin Nasutioan, et. Al. 2006, Pengenalan Ekslusif Ekonomi
Islam, Kencana Prenada Group Jakarta, halaman 12
4 Agustianto, 2002, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Forum Kajian
Ekonomi dan Kajian Perbankan Islam (FKEBI) bekerjasama dengan
penerbit Citapustaka Media Bandung, halaman 4
a. Menurut M. Akram Kan, Ekonomi Islam adalah Islamic economics aims the
study of the human falah (wel being) achieved by organizing the resources of the
eath on the basis of coopration and participation. Secara bebas dapat diartikan
bahwa ilmu ekonomi Islam bertujuan untuk melakukan kajian tentang
kebahagiaan hidup manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan sumber
daya alam atas dasar bekerjasama dan partisipasi. Definisi yang dikemukakan
Akram Kan ini memberikan demensi normative kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat serta dimensi positif mengorganisir sumber daya alam.
b. Menurut Abdul Manan, Ekonomi Islam adalah Islamic economics is a social
science which studies the economics problems of a people imbued with the
values of Islam. Artinya Ilmu Ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan social
yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat yang diilhami oleh
nilai-nilai Islam.
c. Menurut M. Umer Chapra, Ekonomi Islam adalah Islamic economics was
defined as that branch of knowledge which helps realize human well-being
through an allocation and distribution of scarce resources that is in confirnity
with Islamic teaching without unduly curbing Individual freedom or creating
continued macroeconomic and ecological imbalances. Artinya Ekonomi Islam
adalah sebuah pengetahuan yang membantu upaya realisasi kebahagiaan
manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang terbatas yang berada
dalam koridor yang mengacu pada pengajaran Islam tanpa memberikan
kebebasan individu atau tanpa prilaku makro ekonomi yang berkesinambungan
dan tanpa ketidakseimbgangan lingkungan.
d. Menurut Muhammad Nejatullah Ash-Sidiqy Ekonomi Islam adalah is the
muslim thinkes response to the economic challenges of their time. In this
endeavour they were aided by the Quran and the Sunnah as well as by reason
5
6 Mustafa Edwin et al, Op. Cit, halaman 16-17
and experience. Artinya ekonomi Islam adalah respon pemikir Muslim terhadap
tantangan ekonomi pada masa tententu. Dalam usaha keras ini mereka dibantu
oleh al-Quran dan Sunnah, akal (ijtihad) dan pengetahuan.
e. Menurut Kursyid Ahmad Ekonomi Islam adalah sebuah usaha sistematik untuk
memahami masalah-masalah ekonomi dan tingkah laku manusia secara
relasional dalam perspektif Islam.
Dari definisi-definisi tersebut Mustafa Edwin menyimpulkan bahwa menurut
Chapra Ekonomi Islam tidak boleh terjebak oleh dikotomi pendekatan positif dan
normative. Karena sesungguhnya pendekatan itu saling melengkapi dan bukan
saling menafikan. Sedangkan menurut Manan menyatakan bahwa Ilmu Ekonomi
Islam adalah ilmu ekonomi positif dan normative. Jika ada kecenderungan beberapa
ekonomi yang sangat mementingkan positivisme dan sama sekali tidak mengajukan
pendekatan normative atau sebaliknya, tentu sangat disayangkan.
Abdul Manan7 memberikan kesimpulan tentang apa yang dimaksud Ilmu
Ekonomi Syariah, yaitu ilmu yang mempelajari aktivitas atau prilaku manusia
secara actual dan empirical, baik dalam produksi, distribusi maupun konsumsi
berdasarkan Syariat Islam yang bersumber al-Quran dan al-Sunnah serta ijma
ulama dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ekonomi
Syariah bukan sekedar etika dan nilai yang bersifat normative, tetapi juga bersifat
positif sebab ia mengkaji aktivitas actual manusia, problem-problem konsumen
maupun produsen bukanlah raja. Prilaku keduanya haruslah dituntun oleh
kesejahteraan umum, individual dan social sebagaimana yang telah ditetapkan oleh
Syariat Islam. Jangkauan ekonomi syariah mencakup bidang ekonomi yang luas
sebagaimana juga yang dibicarakan ekonomi modern. Ekonomi syariah tidak hanya
membahas tentang aspek prilaku manusia yang berhubungan dengan cara
mendapatkan uang dan memjbelanjakannya, tetapi juga membahas segala aspek
ekonomi yang membawa kepada kesejahteraan ummat. Konsep kesejahteraan
manusia itu sendiri tidak mungkin statis, selalu relative pada keadaan yang berubah.
Oleh karena itu konsep kesejahteraan yang dikembangkan melalui ekonomi syariah
harus terepleksi dari prinsif-prinsif universal Islam yang tetap dipandang shahih
sepanjang masa. Islam mengatur kegiatan-kegiatan memperoleh uang dan
mengeluarkannya sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
rakyat.
Ketika para pakar Ekonomi Islam membicarakan tentang ekonomi syariah
(ekonomi Islam), selalu berhadapan dengan dua persoalan pokok, apakah ekonomi
syriah ini merupakan suatu system atau suatu ilmu pengetahuan yang berdiri
sendiri. Sebahagian dari mereka mengatakan bahwa ekonomi syriah (ekonomi
Islam) merupakan suatu system, karena ia merupakan suatu keseluruhan yang
komplek dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Sebahagian yang lain
mengatakan bahwa ekonomi syariah itu merupakan suatu disiplin ilmu yang berdiri
sendiri, karena ia dirumuskan secara sistematik, logis dan filosofis sebagaimana
ilmu pengetahuan. Sehubungan dengan hal tersebut Agustianto dan Muhammad
Abdul Manan8 mengatakan bahwa semestinya kedua hal tersebut tidak boleh
dipertentangkan, sebab keduanya benar. Ekonomi Islam disebut sebagai system,
7 Abdul Manan, Loc. Cit. halaman 6
karena ia merupakan bagian dari suatu tatanan kehidupan yang lengkap. Dalam
konsep ekonomi Islam dikenal adanya konsep moneter, kebijakan fiscal, produksi,
distribusi dan sebagainya. Di samping itu ekonomi Islam memiliki empat bagian
yang nyata dari pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang wahyu qauly dan ghair
qauly ijtihasd dan ijma para ulama. Ekonomi syariah dapat juga disebut sebagai
ilmu pengetahuan, karena dirumuskan secara sistematik, logis dan filosofis, rasional
empiris dan sesuai dengan kaidah-kaidah penelitian ilmiah.
2. Prinsif Dasar Ekonomi Islam serta Karakteristiknya.
Ekonomi Syariah (Islamic Economic) baik sebagai ilmu social maupun
sebagai sebuah system, kehadirannya tidak berlatar belakang apologetic, dalam arti
bahwa system ekonomi syariah pernah memegang peranan penting dalam
perekonomian dunia yang diklim sekarang sebagai suatu yang baik secara taken for
granted Kehadiran Ekonomi Syariah juga tidak disebabkan, karena system
ekonomi kavitalis yang mengandung banyak kelemahan dan ketidakadilan.
Ekonomi Syariah tercipta, karena kesempurnaan Islam itu sendiri sebagai rahmah
bagi alam semesta. Dalam kehidupan perekonomian Islam telah memiliki system
ekonomi sendiri sesuai dengan sumbernya wahyu dan ijma berkaitan dengan hal
tersebut Said Saad Marthon9 mengemukakan bahwa pada mulanya masyarakat
dunia meyakini system ekonomi kapitalis merupakan pemikiran ekonomi yang
signifikan dalam menjawab segala problematika kehidupan di bidang ekonomi.
Akan tetapi dengan adanya perubahan zaman konsep tersebut didegradasi oleh
system ekonomi sosialis yang didukung oleh Karl Marx. Dalam realita terdapat
pertentangan yang sangat bertolak belakang antara kedua system ekonomi tersebut,
sehingga sulit untuk dioprasionalkan secara baik. Sepanjang abad ke 20, kedua
system ekonomi dunia tersebut dianggap kurang valid dalam mengatasi berbagai
persoalan ekonomi dunia, oleh karena itu diharapkan ada sebuah system ekonomi
alternative yang dianggap lebih capable dalam menjalankan kegiatan ekonomi untuk
mencapai kemakmuran rakyat. System ekonomi dimaksud adalah system ekonomi
Syariah yang memiliki karakteristik mandiri.
Pada awal kehadirannya ekonomi Syariah termasuk lembaga-lembaga yang
dilahirkannya oleh sebagian masyarakat dunia disambut dengan sikap apriori dan
pesimis, bahkan dalam beberapa hal ditanggapi dengan sinis. Sebenarnya, sikapsikap tersebut lahir karena mereka belum memahami dan kurang pengetahuan serta
sikap kaku berfikir yang dipergunakan dalam memahami ekonomi syariah. Oleh
karena ekonomi syariah mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan
bersifat unik, lembaganya juga kompetitif dengan lembaga ekonomi konvensional
yang sejenis, maka para ilmuwan dan para pemerhati masalah kemanusiaan, baik
muslim maupun non muslim tertarik untuk melakukan kajian-kajian serius.
8 Ibid.
9 Said Saad Marthon, 2004, Al-Madkhal Li al-Fikral-Iqtishad fi Al-Islam,
terjemahan Ahmad Ikhram dan Dimyaudin dengan judul Ekonomi Islam
di tengah Krisis Ekonomi Global Dzikrulhakim Jakarta, halaman xi
Perkembangan ini tidak hanya terjadi di Negara-negara Islam saja, tetapi juga
dinegara-negara Eropa dan Amerika Serikat. Hal ini ditunjukan dengan banyaknya
pusat-pusat pendidikan bergengsi di Negara-negara tersebut mengajarkan materi
ekonomi syariah mulai dari srata 1 sampai dengan strata 3.
Said Saad Marthon, mengemukakan bahwa selain system bagi hasil (profit
and loss sharing), ekonomi syariah dibangun atas empat karakteristik, yaitu
pertama: dialektika nilai-nilai spiritualisme dan materialisme, system perekonomian
kontenporer hanya peduli terhadap peningkatan utilitas dan nilai-nilai materialisme
suatu barang, tanpa menyentuh nilai-nilai spiritualisme dan etika kehidupan
masyarakat. System kapitalisme memisahkan intervensi agama dari berbagai
kegiatan dan kebijakan ekonomi. Padahal pelaku ekonomi merupakan penggerak
utama bagi perkembangan peradaban dan perekonomian masyarakat. Dalam
ekonomi Islam, terdapat dialektika antara nilai-nilai spiritualisme dan mattialisme.
Pelbagai kegiatan ekonomi, khususnya transaksi harus berdasarkan keseimbangan
dari kedua nilai tersebut10 selain itu Ekonomi Syariah atau ekonomi Islam
menekankan kepada nilai-nilai kebersamaan dan kasih sayang. kedua kebebasan
berekonomi dalam Islam dibatasi dengan nilai-nilai Ilahiyyah, dalam rangka
merealisasikan konsep kebebasan individu pada kegiatan ekonomi, kapitalisme
menekankan prinsif persamaan bagi setiap individu masyarakat dalam kegiatan
ekonomi secara bebas untuk meraih kekayaan. Realitanya konsep kebebasan
tersebut menimbulkan kerancuan bagi proses distribusi pendapatan dan kekayaan,
selain hal tersebut secara otomatis mengklasifikasikan masyarakat menjadi dua
bagian, yaitu pemilik modal dan para pekerja. Dalam konsep sosilisme masyarakat
tidak mempunyai kebebasan sedikitpun dalam melakukan kegiatan ekonomi.
Kepemilikan individu dihilangkan dan tidak ada kebebasan untuk melakukan
kegiatan transaksi dalam kesepakatan perdagangan. Ketiga dualisme kepemilikan,
pada hakikatnya pemilik alam semesta beserta isinya hanyalah Allah semata,
manusia hanya wakil Allah dalam rangka memakmurkan dan mensejahterakan
bumi. Kepemilikan manusia merupakan derivasi dari kepemilikan Allah yang
hakiki. Untuk itu setiap langkah dan kebijakan ekonomi yang diambil oleh manusia
untuk memakmurkan alam semesta tidak diberkenankan bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan yang digariskan Allah yang Maha Memiliki. Konsep
keseimbangan merupakan karakteristik dasar ekonomi Islam, karena Allah telah
menciptakan segala sesuatu dengan seimbang. Salah satu weujud keserimbangan
kepemilikan manusia adalah adanya kepemilikan public sebagai penyeimbang
kepemilikan individu. Kepemilikan public merupakan kepemilikan yang dasarnya
ditentukan oleh Syariah. Asas dan pijakan kepemilikan public adalah
kemashlahatan bersama. Segala komoditas dan jasa yang dapat menciptakan
ataupun menjaga keseimbangan dan kemaslahatan bersama merupakan barang
public yang tidak boleh dimiliki secara individu (public goods). Kepemilikan barang
public dapat didelegasikan ke pemerintah ataupun intansi lain yang memiliki nilainilai amanah dan tanggung jawab dan dapat dipertanggungjawabkan serta
dibenarkan oleh syariah. Kepemilikan public tersebut sebagaimana juga diakui
Rasulullah dalam pernyataannya: manusia bersekutu dalam tiga hal, yaitu air,
10 Mustafa Edwin, at al, Loc Cit. halaman 30
padang sahara dan api. Pembatasan tiga komoditas tersebut dalam penuturan
Rasulullah tidak berarti pembatasan komoditas yang seharusnya dimiliki public,
melainkan kontektualnya setiap komoditas yang manfaatnya bersifat umum harus
dimiliki publik sesuai dengan perkembangan zaman. Keempat menjaga
kemaslahatan individu dan masyarakat, kemaslahatan individu tidak boleh
dikorbankan demi kemaslahatan bersama atau sebaliknya. Untuk mengatur dan
menjaga kemaslahatan masyarakat diperlukan sebuah instansi yang mendukung. Alhisbah merupakan instansi keuangan dalam pemerintahan Islam yang berfungsi
sebagai pengawas atas segala kegiatan ekonomi. Lembaga tersebut bertugas untuk
mengawasi semua inprastruktur yang terlibat dalam mekanisme pasar. Selain alHisbah mempunyai wewenang untuik mengatur tata letak kegiatan ekonomi, juga
diwajibkan untuk menyediakan semua pasilitas kegiatan ekonomi demi terciptanya
kemaslahatan bersama.
Dalam berbagai ayat al-Quran, sejak awal Allah SWT tidak hanya
memerintahkan ummat manusia untuk melaksanakan shalat dan puasa saja, akan
tetapi juga memerintahkan untuk mencari nafkah secara halal. Proses memenuhi
kebutuhan hidup inilah yang kemudian menghasilkan kegiatan ekonomi seperti jual
beli, produksi, distribusi, termasuk bagaimana membantu dan menanggulangi orang
yang tidak bisa masuk dalam kegiatan ekonomi, baik dengan zakat, wakaf, infak dan
sedekah. Namun apabila dilihat dari perkembangan ilmu modern, ekonomi Syariah
masih dalam tahapn pengembangan. Persoalannya hanyalah karena ilmu ekonomi
Islam ditinggalkan ummatnya terlalu lama. Berbagai pemerintah di dunia Islam dari
mulai colonial penjajah hingga saat ini senantiasa memisahkan Islam dari dunia
ekonomi. Apabila mengacu pada pernyataan Thomas Kuns, bahwa masing-masing
system itu memiliki inti paradigma, maka inti paradigma ekonomi Islam sudah
tentu bersumber dari al-Quran dan Sunnah Rasulullah. Dua sumber ini dalam
bentuk apapun tidak dapat diparalelkan dengan prinsif dasar dua system ekonomi
yang lainnya, yaitu kapitalis dan sosialis.ekonomi Islam memiliki sifat dasar sebagai
ekonomi Rabbany dan insani. Disebuk ekonomi Rabbani, karena ekonomi Islam
sarat dengan arahan dan nilai-nilai ilahiyah, dan sebagai ekonomi insani, karena
system ekonomi Islam dilaksanakan dan ditujukan untuk kemakmuran dan
kemaslahatan manusia secara keseluruhan baik dalam arti individu maupun dalam
arti masyarakat11 sedangkan Chapra menyebutnya sebagai Ekonomi Tauhid yang
mencerminkan ekonomi yang berwatak ketuhanan. Ekonomi Islam stresingnya
bukan pada aspek pelaku manusianya, sebabg pelakunya pasti manusia, melainkan
pada aspek aturan yang harus dipedomani dan dilaksanakan oleh para pelaku
ekonomi. Hal ini didasarkan pada keyakinan, bahwa seluruh factor ekonomi
termasuk diri manusia pada dasarnya adalah milik Allah semata, dan hanya
kepadanya segala urusan dikembalikan (3:109). Melalui aktivitas ekonomi, manusia
dapat mengumpulkan nafkah sebanyak mungkin, tetapi tetap dalam koridor aturan
main. Dialah yang memberi kelapangan atau membatasi rezki orang yang Dia
Kehendaki (42:12,13:26).
Aqidah keimanan terhadap Sang Pencipta, memiliki peranan yang sangat
penting dan akan kelihatan dominant dalam perekonomian syariah, karena
11 Yusuf Qardhawi, Peran, Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam
10
11
oahala yang bersear. Pengasaan manusia terhadap harta dalam ayat ini adalah
penguasaan yang tidak mutlak, karena hak milik hakikatnya adalah Allah semata,
manusia menafkahkan hartanya harus disesuaikan dengan syariat-syariat Allah.
Oleh karena itu kode etik dalam menggunakan harta menurut Islam, tidak boleh
kikir dan tidak boleh boros, sebagaimana Allah berfirman wa laa tajal yadaka
maghlulatan ila unukika wala tabsuthha kulla al-basthi fa taquuda maluman
mahsura.
Selain itu terdapat sabda Rasulullah SAW yang juga mengemukakan peran
manusia sebagai khalifah terhadap harta yang ada padanya, dunia ini hijau dan
manis, Allah telah menjadikan kamu khalifah di dunia. Karena itu hendaaklah kamu
berfikir cara berbuat mengenaai harta di dunia ini.
Dari ayat-ayat al-Quran dan al-Hadis tersebut di atas, menunjukan bahwa
walaupun segala yang ada di langit dan di bumi ini milik mutlak Allah, akan tetapi
juga Islam menghormati dan mengakui penguasaan harta secara pribadi. Dalam
surat al-Nisa ayat 32 Allah berfirman wa la tatamannau ma fadldlala Allahhu bihi
badlakum ala badlin lirrijali nashibun mimmaktasabu wa linnisai nashibun
mimmaktasabna wasalullaha min fadllihi innallaha kana bikulli syaiin
alimamaksudnya dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan
Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain, karena bagi lakilaki ada bagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada
bagian dari pada apa yang mereka usahakan dan mohonlah kepada Allah dari
sebagian karunianya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Dan
jelas terdapat perbedaan antara status kepemilikan dalam sistim ekonomi Islam
dengan sistim ekonomi yang lainnya. Dalam Islam kepemilikan pribadi dihormati
dan diakui walaupun tidak mutlak, pemanfaatannya tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan orang lain. Sementara dalam sistim kapitalis, kepemilikan
bersifat mutlak, pemanfaatannya bersifat mutlak dan bebas, sedeangkan dalam sistin
sosialis justru sebaliknya, kepemilikan pribadi tidak diakui, yang ada hanya
kepemilikan Negara.
Sehubungan dengan hak kepemilikan terhadap harta kekayaan yang
pemegangnya diserahkan kepada manusia, baik dalam arti individu maupun dalam
arti kelompok, walaupun pemberian hak tersebut hanya sebatas khilafah, Gemala
Dewi14 membagi hak milik dalam dua bagian, yaitu Hak Milik Umum dan Hak
Milik Khusus. Hak milik umum adalah harta yang dikhususkan untuk kepentingan
umum atau kepentingan jemaah kaum muslimin. Pada dasarnya suatu benda (harta)
ada yang boleh dimiliki oleh perseorangan dan ada pula yang tidak boleh. Benda
atau harta yang tidak boleh dimiliki perseorangan inilah yang termasuk ke dalam
hak milik umum. Hal ini didasarkan pada Hadis Nabi Muhammad SWA yang
diriwayatkan Ahmad dan Abu Dawud yang berbunyi Semua orang berserikat
mengenai tiga hal, yaitu mengenai air rumput, api serta garam. Hal-hal itu yang
disebut dalam hadis, pada masa sekarang dianalogikan dengan minyak dan gas
bumi, barang tambang dan kebutuhan pokok manusia yang lainnya. Kesemuannya
14 Gemala Dewi 2005, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan
Perasuransian Syariah di Indonesia, hlm. 39-42
12
ini merupakan hal-hal yang menyangkut kepentingan umum atau yang menjadi hajat
hidup orang banyak15
Dewasa ini hak milik umum dikembangkan lebih luas, yaitu mencakup juga
jalan, sungai, jembatan, lautan, danau, bukit dan sebagainya. Demikian juga atas
harta-harta vital, yaitu sesuatu yang mutlak diperlukan bagi kepentingan Negara dan
bagi hajat hidup masyarakat seperti perusahaan listrik, pos dan telkom, perusahaan
kereta api, air minum, dan lain sebagainya. Hak milik umum dalam suatu
perserikatan atau organisasi ialah uang kas, gedung atau kantor, inventaris, dan
usaha yang dijalankannya. Kesemuanya itu tidak boleh dimiliki atau dimanfaatkan
oleh perorangan, pemanfaatannya harus ditrentukan oleh pimpinan atas dasar
musyawarah bagi kepentinganh perserikatan atau kepentingan masyarakat.
Hak milik khusus adalah suatu kepemilikan atas harta secara pribadi,
penguasaan dan penggunaan harta tersebut ditujukan untuk kepentingankepentingan yang bersifat pribadi secara individual. Islam berpandangan bahwa
manusia adalah makhluk yang memiliki dorongan-dorongan fitrah dan instinkinstink sosial. Dari banyak dorongan dan instink itu, di antaranya manusia
berkeinginan memiliki dan menyukai harta benda (QS. 89: 119-20) instink inilah
yang mendorong manusia melakukan berbagai kegiatan usaha untuk membangun
kehidupannya. Islam mengakui dan menghormati keberadaan hak milik pribadi
begitu pula terhadap harta yang dimilikinya. Pengakuan dan penghormatan ini
tampak sebagai berikut:
a) Bahwa prinsif-prinsif syariah sebagai dasar ketentuan hukum bertujuan untuk
memelihara 5 hal (maqashidussyariy), yang diantaranya bertujuan untuk
memelihara harta kekayaan baik hak milik umum maupun hak milik pribadi.
b) Bahwa Islam melarang berbagaimacam bentuk perampasan atas hak milik harta
kekayaan, seperti merampog (QS. 5:33), mencuri (QS. 5:38), menipu (QS. 4:29),
melakukan penggelapan (QS. 4:58), suap menyuap (QS. 2: 188), berjudi
(QS.2:215), memakan riba (QS. 2:275-279) dan lain sebagainya.
2. Ekonomi Terikat dengan Akidah, Syariah dan Akhlak (moral).
Perbedaan yang mencolok antara ekonomi liberal derngan ekonomi Islam
adalah bahwa ekonomi libral salah satu sitem ekonomi yang dibebaskan dari nilainilai, ia berpokus pada prinsif meraih keuntungan yang sebesar-besarnya dan
menghindari kerugian yang sekecil-kecilnya. Sedangkan dalam ekonomi Islam
keuntungan dan kerugian adalah merupakan salah satu karakter perekonomian, roda
perekonomian terikat secara inhern dengan akidah, syariah dan akhlak (nilai-nilai).
Akidah dalam sitem ekonomi Islam adalah merupakan pondasi dan landasan utama,
agar kemajuan ekonomi itu ditujukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan individu
masyarakat dan Negara serta alam lingkungannya, kemajuan ekonomi tidak
diperkenankan dengan mengorbankan system yang lain. Pandangan Islam terhadap
alam semesta adalah bahwa manusia memiliki hak atas manfaat yang diberikan alam
lingkungan begitu juga alam lingkungan berhak atas manfaat yang diberikan
manusia. Oleh karena itu seluruh alam semesta, yang dalam hal ini manusia dengan
15 Mohammad Daud Ali, 1988, Sistim Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf,
halam. 7
13
14
Rabbana berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat dan peliharalah kami dari
siksa api neraka.
Disamping kedua ayat ini masih banyak ayat-ayat al-Quran yang bernada
sama dan menunjukan harus adanya keseimbangan antara kebahagiaan dan
keselamatan kehidupan di dunia dan di akhirat. Apa yang dilakukan didunia pada
hakikatnya merupakan sarana untuk mencapai kebahagiaan hidup di akhirat.
4. Ekonomi Islam Menciptakan Keseimbangan antara Kepentingan Individu
dengan Kepentingan Umum.
Keseimbangan dalam sistim sosial Islam adalah bahwa Islam tidak mengakui
adanya hak mutlak dan kebebasan mutlak, akan tetapi hak dan kebebasan itu
dibatasi dengan batasan-batasan tertentu, termasuk dalam bidang hak kepemilikan.
Pengasaan individu atas harta kekayaan sesuai hak kepemilikannya diakui dihormati
dan diakui, begitu pula penguasaan kolektif atas harta kekayaan sesuai hak
kepemilikannya. Pada tahap penggunaannya tidak diperbolehkan perlakuan yang
mengabaikan dan mengorbankan kepentingan orang lain dan masyarakat secara
umum, begitu pula sebaliknya. Ayat al-Quran yang berbunyi la tadhlamuna wa la
tudhlamun adalah prinsif umum dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam
penggunaan harta kekayaan miliknya. Prinsif ini adalah merupakan cermin pada
setiap kebijakan individu maupun lembaga, ketika melakukan kegiatan ekonomi.
Cirri ini jelas berbeda dengan sistim ekonomi kapitalis yang hanya memperhatikan
kepentingan pribadi dan sistim ekonomi sosialis yang lebih menekankan
kepentingan umum.
5. Kebebasan Individu Dijamin dalam Islam.
Individu-individu dalam sistim perekonomian Islam diberikan kebebasan
untuk beraktivitas baik secara perorangan maupun kolektif untuk mencapai suatu
tujuan. Namun kebebasan tersebut sifatnya tidak mutlak, tidak boleh melanggar
aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah SWT baik dalam Al-Quran maupun
dalam Hadits.
Dalam memperoleh harta kekayaan, dipersilahkan berusaha dan berupaya
semaksimal mungkin untuk mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, dalam ayat
al-Quran surah al-Jumah ayat 10, yang berbunyi idzaa qudliyat al-shalah
fantasyiruu fi al-ardli wa iibtaghu min fadllillahi wa udzkuruu lillahi katsiran
laallakum tuflihuun maksudnya: Apabila kamu telah melaksanakan shalat,
silahkan menjelajahi bumi dan mencari karunia (rizki) Allah dan berdzikirlah
kepada Allah dengan banyak, mudah-mudahan kamu termasuk orang-orang yang
mendapat kebahagiaan. Dari ayat ini menunjukkan bahwa konsep ekonomi dalam
Islam tdak terdapat pembatasan bentuk dan macam usaha bagi seseorang untuk
memperoleh harta kekayaan, demikian pula tidak terdapat pembatasan kadar
keuntungan banyak atau sedikit. Hal ini tergantung kepada kemampuan, kecakapan
dan keterampilan masing-masing pelaku usaha itu sendiri. Setiap orang leluasa
untuk melakukan usaha apapun
dengan sekuat tenaga, guna memperoleh
keuntungan yang diharapkan, sesuai kepampuan dan keterampilannya, selama usaha
itu dilakukan dengan sewajarnya dan tidak melanggar batas-batas yang telah
ditentukan. Dalam hal kepemilikan atas harta kekayaan Islam mengakui dan
15
16
17
adapun menurut istilah teknik, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok
atau modal secara bathil. Para ahli hukum Islam mengemukakan berbagai macam
definisi tentang riba, dengan redaksi yang berbeda-beda, namun dalam definisidefinisi tersebut terdapat benang merah, menuju kepada substansi yang sama, yaitu
mengambil keuntungan dari penambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun
pinjam-meminjam dengan cara yang bathil (tidak benar) atyau bertentangan dengan
prinsif-prinsif muamalah dalam Islam. Hal ini sesuai firman Allah SWT dalam
surat al-Nisa ayat 29: yaayyuha al-ladzinaa amanuu la takuluu amwalakum
bainakum bi al-bathilMaksudnya hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil.. kaitannya dengan
pengertian bathil dalam ayat tersebut, Ibn al-Araby al-Maliki dalam Kitabnya
Ahkam al-Quran, menegaskan wa al-riba fi al-lughah huwa al-ziyadah wa almurad bihi fi al-ayah kullu ziyadatin lam yuqaabilha audlun. Maksudnya
Pengertian riba menurut bahasa adalah tambahan dan yang dimaksud riba dalam
setiap ayat adal;ah setiap tambahan yang diambil tanpa adanya suatu transaksi
pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan. Transaksi pengganti atau
penyeimbang adalah transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya
penambahan tersebut secara adil sdan seimbang, seperti transaksi jual beli, gadai,
sewa, bagi hasil proyek dan lain sebagainya. Dalam transaksi jual beli, sipembeli
membayar sejumlah uang karena adanya barang - barang yang diterimanya, dalam
hal sewa sipenyewa membayar uang sewa karena adanya manfaat sewa yang
dinikmati, termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan
sipenyewa. Dalam transaksi simpan pinjam dana, secara konvensional sipemberi
pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu
penyeimbang yang diterima sipeminjam, kecuali kesempatan dan factor waktu yang
berjalan selama proses peminjaman tersebut. Yang tidak adil disini adalah
sipeminjam diwajibkan untuk selalu untung dalam setiap penggunaan kesempatan
tersebut. Demikian juga dana tersebut tidak akan berkembang dengan sendirinya
hanya karena factor waktu semata-mata tanpa adanya factor yang lain sebagai
pelaku usaha yang menjalankan usahanya dan perusahaan yang dijalankan adalah
bersifat alami akan mengalami keuntungan dan kerugian.
Pengertian riba tersebut senada dengan pengertian riba yang disampaikan
kebanyakan Ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai madzshab fiqhiyah,
diantaranya sebagaimana yang dikutif Muhammad Syafii Antanio19 :
1. Badr al-Din al-Ayni dalam kitabnya Umdatul Qari Syarah Shahih al-Bukhary
mendefinisikan riba dengan al-ashlu fihi al-ziadah wa huwa fi al-syari alziyadah ala ashli malin min ghairi aqdin tabayuin maksudnya adalah
prinsif utama dalam riba adalah penambahan, menurut Syara riba adalah
penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis saling tukarmenukar.
2. Imam Sarakhasi dari madzhab Habnafi, mendefinisikan riba dengan: al-riba
huwa al-fadllu al-khali an al-iwadli al-masyruthi fi al-bayi maksudnya
adalah bahwa riba merupakan kelebihan yang disyaratkan dalam tranasaksi
bisnis dengan tanpa adanya iwadl atau padanan atau pengganti.
19 Muhammad SyafiI Antonio, Op. Cit. halaman: 39-41
18
3. Imam Nawawi mengutif tulisan al-Mawardi dalam kitab Majmu Syarah alMuhadzab, sebagai berikut: Qala al-Mawardi ikhtalafa ashhabuna fiima jaa
bihi al-Quran fi tahriimi al-riba ala wajhain, ahadihima, annahu mujmalun
fasarathu al-Sunnah wa kullu ma jaat bihi al-Sunnah min ahkamin fahuwa
bayanun li mujmali al-Quran naqdan kana au nasiatan wa al-sani anna al;tahriima al-ladzi fi al-Quran annama tanawalu ma kana mahudan
liljahiliyah min riba al-nasai wa thalabu al-ziyadah fi al-mal bi ziyadah alajal tsumma waradat al-Sunnah biziyadah al-riba fi al-naqdli mudlafan ila ma
jaa bihi al-Quran. Maksudnya adalah al-Mawardi menyatakan berbeda
pendapat saudara-saudara kami (para Ulama) tentang haramnya riba dalam alQuran, atas dasar dua alasan, yang pertama bahwa ayat al-Quran (yang
menunjukan keharaman riba) bersifat mujmal, kemudian al-Sunnah
menafsirkan ayat tersebut, oleh karena itu setiap Sunnah yang didalamnya
memuat ketentuan hukum adalah sebagai penjelasan terhadap ke-mujmalan
ayat al-Quran. Dengan demikian riba dikasud adalah baik riba naqdan (alat
tukar-menukar), maupun nasiatan. Yang kedua bahwa haram yang terdapat
dalam ayat al-quran itu mencakup riba yang dipraktekan pada masa Jahiliyah,
yaitu termasuk riba nasiah yang didefinisikan mencari penambahan dalam
harta dengan penambahan waktu, kemudian al-Sunnah menambahkan riba
dalam naqd (alat tukar-menukar) yang disandarkan kepada apa yang terdapat
dalam al-Quran.
4. Qatadah menjelaskan anna al-riba al-Jahiliyah, an yabia al-rajulu al-baia
ila ajalin musamma, faidza halla al-ajalu wa lam yakun inda shahibihi
qadlaun zaada wa akhara anhumaksudnya riba jahiliyah itu adalah
seseorang bertransaksi sampai waktu yang telah ditentukan, apabila telah jatuh
tempo dan debitoir tidak mampu membayarnya, maka batas waktu tersebut
ditambah atau ditangguhkan dengan penambahan pembayaran.
5. Zaid bin Aslam menyatakan: Innama kana riba al-Jahiliyah fi tadliif wa fi
sanni yakunu8 li al-rajuli fadllu dainin fa yatihi, idza halla al-ajal, fa yaquku
taqdlini atau taziiduni. Maksudnya bahwa riba Jahiliyah itu adalah riba yang
berimplikasi pelipatgandaan sejalan dengan waktu, seseorang yang memiliki
piutang dengan mitranya, pada saat jatuh tempo, ia menyatakan bayar
sekarang atau ada penambahan.
6. Jafara al-Shadiq pernah memberikan argumentasi, ketika ditanya tentang
haramnya riba, beliau menyatakan: lialla yatamatta al-Nasu al-marufa,
liannahu mata jawwaza akhdzu al-faidah ala al-qrdl lam yakun ahadun
yafalu marufan min qardlin wa nahwihi, fa yanqathiu al-maruf baina alnasi min al-qardl al-ladzi yuradu bihi al-irfaq wa al-ihsan maksudnya adalah
supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Hal ini karena ketika
diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, seseorang tidak berbuat
maruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya, padahal qardl
bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antar manusia.
7. Imam Ahmad bin Hambal menyatakan: wahuwa an yaquna lahu dainun fa
yaqulu lahu a taqdli am turabb6y fa in lam yaqdlihi zadaahu fi al-mal wa
zadaahu hadza fi al-ajal. Maksudnya sesungguhnya riba adalah seseorang
memiliki utang, maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau
19
membayar lebih, apabila tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana atas
penambahan waktu yang diberikan..
Dari definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan, bahwa riba dalam berbagai
bentuknya itu adalah keuntungan yang diperoleh seseorang dengan tanpa adanya
aktivitas prestasi yang dilakukannya atau dengan kata lain keuntungan dengan cara
memeras keringat yang lain. Secara garis besar riba dikelompokan kepada dua
kelompok riba, yaitu riba utang-piutang dan riba jual beli. Riba utang-piutang
terbagi kepada dua bagian, yaitu riba qiradl dan riba jahiliyah. Sedangkan riba jual
beli terbagi kepada dua bagian, yaitu riba fadl dan riba nasiah. Riba qiradl adalah
suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berutang (muqtaridl). Riba jahiliyah adalah utang yang dibayar lebih dari pokoknya,
karena sipeminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan,
riba fadlal adalah pertukaran antara barang sejenis dengan kadar atau takaran yang
berbeda, dan barang yang ditukarkann itu termasuk barang ribawi dan riba nasiah
adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang
dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya, atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
Larangan Riba Dalam al-Quran dan Al-Sunnah.
Segala bentuk riba menurut Islam adalah merupakan salah satu bentuk
exploitasi atau perampasan hak pihak yang lain, oleh karena itu Islam sebagai salah
satu agama yang melarang keras beredarnya riba dalam masyarakat.
1.
20
Rum 39: wama ataitum min riba liyarbuwa fi amwalin al-nas fala yarbau
indallahi wama ataitum min zakatin turiduuna wajhallahi fa ulaika hum almudlifun. Maksudnya dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia menambah
pada harta harta manusia, maka hal itu tidaklah menambah disisi Allah, dan suatu
zakat yang kamu berikan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah mereka
inilah orang-orang yang melipatgandakan keuntungan (pahala). Tahap kedua Allah
menggambarkan riba sebagai perbuatan yang buruk, bukanlah suatu kebaikan
dengan dalih menolong orang lain, Allah mengancam dengan keras kepada orang
yahudi yang sukam memakan riba dalam Surat al-Nisa ayat 160-161 Allah
berfirman: fa bidhulmin min alladzina haduu harramna alaihim thayyibatuin
uhillat lahum wa bishadihum an sabilillah katsiran. Wa akhdzihim al-riba wa qad
nuhuu anhu wa aklihim amwala al-nasi bi al-bathili wa atadna li al-kafiriina
minhum adzaban aliima. Maksudnya maka, disebabkan kedhaliman orang-orang
yahudi, kami haramkan atas mereka yang baik-baik yang dulunya dihalalkan bagi
mereka, dank arena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah dan
suka memakan riba, padahal telah dirarangnya dank arena mereka memakanm harta
manusia dengan cara bathil, kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir dari
mereka siksa yang pedih. Tahap ketiga Allah melarang riba yang dikaitkan dengan
tambahan yang berlipat ganda. Para Ahli Tafsir berpendapat bahwa pengambilan
bunga dengan tingkat yang cukup tinggi merupakan penomena yang banyak
dipraktekan pada masa turunnya al-Quran Surat al-Imran ayat 130 yang berbunyi:
yaayyuha al-ladzina aamanu la takuluu al-riba adlafan mudlaafatan wa ittaquu
Allaha laallakum tuflihuuna. Maksudnya hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba dengan cara berlipat ganda dan bertaqwalah kepada
Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Ayat ini turun pada tahun ke-3
Hijriah. Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kreteria berlipat ganda
bukanlah merupakan syarat yang dijadikan batasan adanya larangan, melainkan
gambaran sifat umum praktek riba yang terjadi pada saat itu. Begitu pula ayat ini
harus dipahami secara komperhensif melalui penafsiran al-msudliy, yaitu
menggabungkan pemahaman yat tersebut dengan surat al-Baqarah ayat 278-279
yang diturunkan pada tahun ke-9 Hijriah dan pada tahapan keempat Allah SWT
secara tegas mengharamkan riba, dengan tidak dibatasi berupa tambahan apapun,
dan besar atau kecilnya riba tersebut. Sebagainana dalam Surat al-Baqarah ayat 278279 Allah berfirman: ya ayyuha al-ladziina amanuu ittaquu Allaha wa dzaruu ma
baqia min al-riba in kuntum muminiina. Fa in lam tafaluu fadzunuu biharbim
min Allahi wa Rasulihi wa in tibtum fa lakum ruusu amwalikum la tadhlimuuna wa
la tudhlamuuna. Maksudnya hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkan riba, jika kamu orang-orang yang beriman, maka jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan riba), ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu, dan jika kamu bertobat, maka bagimu pokok hartamu, kamu
tidak menganiaya dan tidak juga dianiaya. Ayat ini harus dipahami sesuai asba
nuzulnya, sebagaimana yang diriwayatkan Jafar Muhammad bin Jarir al-Thabary
bahwa kaum Stakif, penduduk kota Thaif telah membuat kesepakatan bersama
Rasulullah, bahwa seluruh hutang piutang mereka yang didasarkan kepada riba
dibekukan dan dikembalikan hanya pokoknya saja. Setelah futuh Makka, Rasulullah
menunjuk Itab bin Usaid sebagai Gubernur Makah yang juga meliputi kawasan
Thaif sebagai daerah administrasinya. Bani Amr bin Umair bi Auf adalah orang
21
yang senantiasa meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah dan sejak
zaman jahiliah Bani Mughirah senantiasa membayarnya dengan tambahan riba.
Setelah kedatangan Islam, mereka tetap memiliki kekayaan dan asset yang banyak,
oleh karena itu datyanglah Bani Amr uintuk menagih utang dengan tambahan (riba)
dari Bani Mughirah seperti sedia kala, tetapi Bani Mughirah setelah memeluk Islam
menolak untuk memberikan tambahan tersebut. Dilaporkanlah masalah tersebut
kepada Gubernur Itab bin Usaid. Menaggapi masalah ini Gubernur langsung
menulis surat kepada Rasulullah dan turunlah ayat tersebut di atas. Kemudian
Rasulullah membalas surat tersebut kepada Gubernur Itab bin Usaid, jika mereka
ridla atas ketentuan Allah di atas, maka itu baik, tetapi jika mereka menolaknya,
maka kumandangkanlah ultimatum perang kepada mereka. Dari sebab turunnya
ayat tersebut, jelas sekali al-Quran dengan tegas melarang segala bentuk riba yang
disambut oleh Rasulullah dengan tegas pula, sehingga beliau menantang perang
terhadap orang yang masih bertransaksi dengan cara-cara riba.
2.
22
Pandangan
25
Ulama
Tentang
Keharaman Riba.
Banyak pendapat dan pandangan di kalangan ulama dan ahli fikih baik klasik
maupun kontenporer tentang apakah bunga bank sama dengan riba atau tidak.
Tentang keharaman bunga bank karena bunga bank sama dengan riba, melalui
berbagai macam fatwa, yang diantaranya:
a) Muktamar II Lembaga Riset Islam al-Azhar yang dilaksanakan di Kairo bulan
Mei 1965 yang dihadiri utusan dari 35 Negara Islam, telah menyepakati
beberapa hal yang diantaranya bunga (interet) dari seluruh bentuk pinjaman
hukumnya riba dan diharamkan.
b) Rabithah Al-Alam Al-Islami, keputusan nomor 6 sidang ke-9 yang dilaksanakan
di Makah pada tanggal 12-19 Rajab 1406 H menyatakan bunga bank yang
berlaku pada bank konvensional adalah riba yang diharamkan.
c) Majma Fikih Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam keputusan Nomor
10, OKI kedua yang dilaksanakan tanggal 22-28 Desember 1985 menyatakan
d) Bahsul Masail dalam Munas di Bandar Lampung tahun 1992
merekomendasikan agar Nahdhatul Ulama (PBNU) mendirikan Bank Islam NU
dengan sitem tanpa bunga, yang sebenarnya di kalangan ulama NU sendiri
22 HR Al-Bukhary Nomor 2145 Kitab al-Buyu
23 HR Al-Bukhary Nomor 2034 Kitab al-Buyu
24 HR Muslim Nomor 2995 Kitab al-Masaqah
25 Lihat Mustafa Edwin at. al halaman 41-42
23
masih terdapat tiga pendapat tentang bunga bank, ada yang berpendapat sama
dengan riba, ada yang mengatakan tidak sama dan ada yang menyatakan
syubhat.
e) Lajnah Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo menyarankan kepada
Pengurus Pusat (PP Muhammadiyah) untuk mengusahakan terwujudnya
konsepsi system perekonomian khususnya lembaga perbankan yang sesuai
dengan kaidah Islam.
f) Majlis Ulama Indonesia dalam lokakarya alim ulama di Cisarua tahun 1991
bertekad bahwa MUI harus segera mendirikan bank alternative.
g) Fatwa MUI pada akhir tahun 2003 menyatakan bahwa bunga bank haram.
4. Pendapat Yang Menghalalkan Bunga Bank.
Walaupun ayat-ayat al-Quran maupun hadis-hadis sangat jelas
mengharamkan riba, akan tetapi masih ada kalangan ulama yang mencoba untuk
memberikan pembenaran atas pengambilan bunga uang, yang di antaranya sebagai
berikut26
1. Dalam keadaan darurat bunga bank halal hukumnya.
2. Hanya bunga yang berlipat ganda saja yang dilarang, sedangkan suku bunga
yang wajar dan tidak mendhalimi diperbolehkan.
3. Bank sebagai lembaga keuangan tidak termasuk dalam katagori mukallaf,
dengan demikian tidak terkena khitab ayat-ayat dan hadis-hadis riba.
Alasan pembenaran terhadap bunga bank tersebut dipelopori oleh Ibrahim
Husen, sebagaimana dimuat dalam papernya yang berjudul Kajian Tentang Bunga
Bank Menurut hukum Islam yang dipresentasikan pada saat Workshop Bank And
Banking Interest yang diseponsori Majelis Ulama Indonesia sekitar tahun 1990.
pada saat itu terjadi pro kontra yang meluas di antara cendekia Muslim yang hampir
menjurus terjadinya perpecahan di antara ummat muslim sendiri.
Apabila dicermati secara jernih dan cermat alasan pembenaran tersebut tidak
lah akan melahirkan kesimpulan bahwa bunga bank tersebut diperbolehkan atau
dihalalkan.
Alasan darurat sebagai instrument pengubah hukum harus dikembalikan
kepada proporsi yang sebenarnya, sehingga kaidah yang menyatakan al-dharurat
tubih al-mahdlurat tidak diintrepretasikan untuk hal-hal yang tidak termasuk dalam
katagori dharurat itu.
Keadaan dharurat yang dapat mengubah hukum haram menjadi boleh adalah
sebagaimana yang dinyatakan Imam al-Suyuthy dalam Kitabnya Al-Isybah wa Al26 lihat Syafii Antonio, loc. cit. halaman 54-58
24
Nadhir27 menegaskan bahwa dharurat adalah suatu keadaan emergency dimana jika
seorang tidak segera melakukan sesuatu tindakan dengan cepat, akan berakibat
kehancuran atau kematian. Dalam literature klasik keadaan emergency tersebut
sering dicontohkan dengan seorang yang tersesat di hutan belantara dan tidak ada
makanan lain kecuali daging babi yang diharamkan, ia dalam keadaan sangat
kelaparan, sehingga apabila ia tidak segera makan akan mengalami kematian. dalam
keadaan yang demikian Allah membolehkan memakan daging babi tersebut. Allah
berfirman dalam Surat al-Baqarah ayat 173 faman idhthurra ghaira bagin walaa
aadin fala itsma alaih.. Menurut ayat ini keadaan dharurat dibatasi dua hal, yaitu
bukan berdasarkan keinginannya sendiri dan kebolehan melakukan yang
diharamkan dibatasi hanya untuk mengembalikan keadaan emergency itu kepada
keadaan ikhtiyariah, dan apabila keadaannya telah pulih menjadi ikhtiariyah, maka
sesuatu yang dilakukan itu kembali hukumnya haram.
Sebagian cendekiawan Muslim ada yang berpendapat bahwa bunga dapat
dikatagorikan riba bila telah berlipat ganda dan memberatkan, sedangkan apabila
bunga itu kecil dan tidak memberatkan dibenarkan. Pemahaman ini berawal dari
pemahaman yang keliru terhadap Surat Ali Imran ayat 130 yang berbunyi yaa
ayuhalladzina aamanuu laa takulurribaa adhafan mudhaaafan.. yang artinya
wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dalam keadaan
berlipat ganda.
Apabila ayat ini dipahami secara literal, maka akan melahirkan kesimpulan
bahwa riba yang tidak boleh dikonsumsi itu adalah riba yang keadaannya berlipat
ganda, sebab kata adhafan mudaafan dalam ayat tersebut berkedudukan sebagai
hal (menunjukan keadaan), yang berpungsi membatasi riba yang dilarang itu. Oleh
karena itu suatu kewajaran apabila orang yang berpendapat bahwa riba yang
dalam keadaan tidak berlipat ganda tidak dilarang, pemahaman seperti ini adalah
pemahaman yang didasarkan pada ratio legis dalil mafhum mukhalafah dari ayat alQuran tersebut.
Dalil mafhum mukhalafah adalah hua al-mana al-mukhalif limafhum
al-ibarat au hua al-mana alladzi untifat anhu quyuud al-nash artinya pemahaman
pengertian (mana) kebalikan dari pemahaman redaksi suatu nash atau pengertian
atau mana yang ditiadakan (tidak tercakup) oleh batasan-batasan nash28. Oleh
27 Jalaluddin Abd al-Rahman al-Suyuthy, Al-Isybah Wa Al-Nadhair fi
Qawaid Wa Furu (Bairut: Dar Al-Kutub al-Amaliyah, 1983) halaman 85
28 Lihat Abd Al-Qadir Audah, Al-Tasyriiy Al-Jinaiy Al-Islamy Muqaranan
bi l-Qanun Al-Wadhiy, juz I, Bairut: Al-Muassasah Al-Risalah, tahun 1987,
halaman 188
25
karena itu riba yang hanya dalam batas kewajaran, tidak memberatkan atau tidak
berlipat ganda adalah riba yang berada diluar batasan ayat al-Quran itu, dengan
demikian tidak termasuk riba yang dilarang. Akan tetapi tidak seluruh para ahli ilmu
hukum Islam (ushl fiqh) menyetujui menggunakan dalil mafhum mukhalafah ini,
mayoritas ulama menyatakan suatu ketetapan hukum yang terdapat dalam nash,
tidak seluruhnya dapat ditetapkan ketentuan hukum kebalikannya, salah satu contoh
tentang keharaman khamar yang memabukan, tidak dapat dipahami mengkonsumsi
khamar hanya sedikit dan tidak berakibat kemabukan tidak diharamkan.
Dengan demikian larangan riba yang dapat dikatagorikan sebagai bunga bank,
tidak dapat dipahami dan disimpulkan hanya dari ayat tersebut secara tersendiri,
melainkan harus ditafsirkan melalui tafsir al-maudhuiy dengan menggabungkan
nash-nash tentang riba secara menyeluruh, antara ayat 130 Surat Ali Imran yang
diturunkan pada tahun ke-3 dengan ayat 278-279 Surat al-Baqarah yang diturunkan
pada tahun ke-9, sehingga akan sampai kepada kesimpulan bahwa segala bentuk
dan jenis riba adalah mutlak diharamkan.
Menanggapi hal tersebut DR. Abdullah Draz salah satu komferensi fikih
Islamy yang diadakan di Paris pada tahun 1978, yang dikutip Syafii Antonio,
menegaskan kerapuhan asumsi tersebut di atas, beliau menjelaskan secara linguistic
bahwa kata dhfun artinya kelipatan, sesuatu berlipat, minimal dua kali lebih besar,
sedangkan kata adhaf adalah bentuk jama dari kelipatan tadi minimal tiga kali
lipat, yang berarti 3 x 2 = 6 kali lipat, yang berarti bunga dalam ayat tersebut adalah
600 % secara oprasional dan nalar yang sehat angka tersebut tidak mungkin terjadi
dalam proses perbankkan maupun simpan pinjam. Syekh Umar bin Abdul Aziz alMatruk menyatakan amma al-istidlal biayah Ali Imran wa al-tabir bi al-adhaf
fiha falaisa al-maqsud an yuballigh kullu al-riba hadza al-muballigh bal al-maqsud
min syan al-riba amah an yashbiha kadzalik maa tuaqib al-sinin wa lihadza
ashbaha hadzaal- tabir wasfan aaman lirriba fi lughah al-syar artinya adapun
pemahaman dalil (istidlal) dari kata adhaf yang terdapat dalam ayat Ali Imran
tersebut, sama sekali tidak bermaksud bahwa riba harus mencapai sedemikian
berlipat ganda, melainkan kata itu menegaskan tentang karakteristik riba secara
umum bahwa ia mempunyai kecenderungan untuk berkembang dan berlipat sesuai
dengan berjalannya waktu, dengan demikian redaksi tersebut menjadi sifat umum
dari riba dalam etimology Syara.
Ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa ketika ayat-ayat riba diturunkan
di Jazirah Arab, belum terbentuk lembaga-lembaga keuangan, baik yang berupa
bank maupun non bank, sehingga lembaga keuangan yang ada sekarang tidak
terkena taklif pada ayat tersebut29
29 Ibrahim Husen, loc. cit.
26
Pandangan seperti itu tidak sesuai dengan historis atau sejarah perekonomian
dunia, hal mana dalam catatan sejarah zaman pra Rasulullah, sebagaimana dalam
sejarah Romawi, Persia dan Yunani menunjukan adanya ribuan lembaga keuangan
yang mendapat pengesahan dari penguasa. demikian pula dalam tradisi hukum,
perseroan atau badan hukum sering diistilahkan dengan juridical personality atau
al-syakhshiyah al-hukmiyah yang secara hukum adalah sah dan dapat bertindak
sebagaimana individu-individu30.
Berbagai Macam Teori Yang Menjadi Dasar Pembenaran Bunga.
A. Teori Abstinence.
Di antara alasan pembenaran untuk pengambilan bunga adalah teori
abstinence yang berasal dari bahasa Inggris yang yang secara etimology diartikan
pertakaran, pantang, pemantangan dan menahan nafsu. Para pelopor teori ini
menegaskan bahwa ketika kriditoir menahan diri menangguhkan keinginannya
untuk menggunakan modalnya, semata-mata untuk memenuhi keinginan orang lain,
dengan meminjamkan modal tersebut yang semestinya dapat mendatangkan
keuntungan bagi dirinya sendiri. maka peminjam yang menggunakan modal itu
untuk usahanya, ia dianggap wajib membayar sewa atas uang yang dipinjamnya
itu31. Hal ini sama halnya dengan uang sewa rumah, sewa lahan perkebunan dan
sewa kendaraan. Terhadap teori ini Syafii Antonio menyatakan kritiknya bahwa
kenyataannya tidak ada penehanan terhadap modal yang dimiliki kriditor, sebab ia
meminjamkan uangnya yang berlebih yang tidak digunakannya untuk usahanya
sendiri, dengan demikian kreditor tidak beralasan untuk menuntut imbalan atas uang
yang dipinjamkannya itu. Disamping itu tidak ada standar yang dapat digunakan
untuk mengukur unsure penundaan konsumsi dari teori tersebut. Dalam kajian fikih
unsure penundaan konsumsi atau penundaan investasi tidak dapat dijadikan alasan
pembenaran hukum (illat hukum) untuk menuntut imbalan, karena alasan
pembenaran hukum harus nyata, jelas, konsiten dan terukur. Dalam teori ilmu
hukum Islam dinyatakan min syuruth al-illah an takuuna washfan dhahiran
mundhabithan
Dalam Teori ekonomi uang memiliki karakteristik yang berbeda dengan
komoditas yang lainnya, baik menyangkut daya tukar, kepercayaan masyarakat
terhadapnya maupun posisi hukumnya. uang berposisi sebagai alat tukar yang tidak
30 Mustafa Ahmad Zarqa, Al-Fiqh Al-Islami Fi Tsaubihi Al-Jadid: AlMadkhal Al-Fiqh Al-Am (Damaskus: Mathbaa Jamiah Dimasq, 1959) cet.
ke-2 halaman 324
31 Saad AS Harran, Islamic Finance Partnership Financing, Kualalumpur:
Panduk Publication, 1993.
27
termasuk dalam katagori asset tetap atau asset bergerak, sehingga padanan sewa
(rent) adalah asset tetap atau asset bergerak seperti rumah, kendaraan dan lain
sebagainya, sedangkan bunga (interest) padanannya uang. dari teori ekonomi ini
sangat jelas bahwa sewa uang yang dipinjamkan itu menyalahi teori ekonomi itu
sendiri.
B. Teori Opportunity Cost.
Teori opportunity cost adalah bunga dapat dinilai sebagai harga pemberian
kesempatan waktu menggunakan uang pinjaman untuk memperoleh keuntungan
yang sebesar-besarnya. Dengan demikian waktu memiliki harga yang meningkat
seiring berjalannya waktu itu. Para penganut teori ini beranggapan bahwa kreditor
berhak menerima sebagian keuntungan dari uang yang dipinjamkannya, karena ia
telah memberikan kesempatan kepada debitor untuk meraih keuntungan dari uang
pinjamannya itu.
Teori ini adalah teori yang melahirkan ketidak adilan dan ketidak berimbangan
antara kreditor sebagai penyandang modal dengan debitor sebagai pengusaha, sebab
kewajiban debitor untuk membayar imbalan keuntungan berupa bunga kepada
kreditor adalah pembayaran yang pasti dan tetap untuk setiap bulan atau setiap
tahunnya. sedangkan debitor yang menggunakan uang pinjamannya untuk suatu
usaha tertentu berkarakter spekulasi, kemungkinan mendapat keuntungan dan
kemungkinan terjadi kerugian atau bahkan kebangkrutan. adalah tidak adil apabila
pengusaha sebagai debitor yang sedang mengalami kerugian, tetap dibebankan
untuk membayar keuntungan kepyariah seperti syirkah inan, syirkah mudharabah,
syirkah mufawwadhah, bai salam, bai istisna, ijarah al-mumtahiyah bi al-tamlik
dan lain sebagainya adalah merupakan infrastruktur yang memberikan peluang
kepada kedua belah pihak untuk meraih keuntungan yang adil dan proporsional.
C. Teori Kemutlakan Produktivitas Modal.
Menurut teori ini bahwa modal memiliki nilai pruduktif dengan sendirinya,
sehingga modal dianggap mempunyai daya untuk menghasilkan barang lebih
banyak daripada yang dapat dihasilkan tanpa modal. Dengan demikian modal
memiliki daya untuk menghasilkan nilai tambah. Oleh karena itu pengguna modal
layak memberikan keuntungan berupa imbalan bunga kepada pemilik modal.
Teori ini hanya memberikan penialian terhadap uang pinjaman yang dijadikan
sebagai modal usaha, sehingga uang pinjaman tersebut menjadi produktif.
Kenyataannya tidak demikian, sekian banyak nasabah bank yang mengajukan
permohonan pinjaman uang bukan untuk menambah modal usahanya, melainkan
untuk menutupi kebutuhan pokok yang bersifat konsumtif seperti untuk membuat
rumah, membeli kendaraan dan lain sebagainya. Maka ketika uang pinjaman itu
digunakan tidak secara produktif, maka uang tersebut tidak produktif dan tidak
memiliki nilai tambah. demikian juga uang pinjaman yang digunakan untuk modal
28
usaha, tidak selalu menghasilkan nilai tambah. Dalam keadaan ekonomi merosot
penanam modal sering terjadi mendapat keuntungan yang menipis, bahkan dalam
beberapa kasus malah mengubah dari keuntungan menjadi kerugian.
Apabila modal dianggap memiliki nilai produktif, sebenarnya produktivitas
tersebut tergantung pada berbagai factor lain. Penanam modal yang dapat
mendatangkan keuntungan yang banyak, bergantung pada bagian produksi, riset,
pengembangan, marketing, kemampuan visi serta pengalaman orang yang
menggunakannya. Selain itu juga dipengaruhi oleh factor kesetabilan ekonomi,
social, dan politik suatu Negara. Faktor tersebut merupakan syarat bagi penanaman
modal yang dapat mendatangkan keuntungan. Apabila persyaratan tersebut tidak
terpenuhi, keuntungan yang diharapkan dari penanaman modal tersebut akan
berubah menjadi kerugian.
29
30
31
32
33
jantung dari sistem perekonomian. Hampir tak ada sisi dari perekonomian, yang
luput dari mekanisme kredit bunga bank (credit system). Mulai dari transaksi lokal
pada semua struktur ekonomi negara, hingga perdagangan internasional.
Jika riba telah menjadi sistem yang mapan dan telah mengkristal sedemikian
kuatnya, maka sistem itu akan dapat menimbulkan dampak buruk bagi
perekonomian secara luas. Dampak sistem ekonomi ribawi tersebut sangat
membahayakan perekonomian.
Pertama, Sistem ekonomi ribawi telah banyak menimbulkan krisis ekonomi di
mana-mana sepanjang sejarah, sejak tahun 1930 sampai saat ini. Sistem ekonomi
ribawi telah membuka peluang para spekulan untuk melakukan spekulasi yang dapat
mengakibatkan volatilitas ekonomi banyak negara. Sistem ekonomi ribawi menjadi
punca utama penyebab tidak stabilnya nilai uang (currency) sebuah negara. Karena
uang senantiasa akan berpindah dari negara yang tingkat bunga riel yang rendah ke
negara yang tingkat bunga riel yang lebih tinggi akibat para spekulator ingin
memperoleh keuntungan besar dengan menyimpan uangnya dimana tingkat bunga
riel relatif tinggi. Usaha memperoleh keuntungan dengan cara ini, dalam istilah
ekonomi disebut dengan arbitraging. Tingkat bunga riel disini dimaksudkan adalah
tingkat bunga minus tingkat inflasi. Kedua, di bawah sistem ekonomi ribawi,
kesenjangan pertumbuhan ekonomi masyarakat dunia makin terjadi secara konstant,
sehingga yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Data IMF berikut
menunjukkan bagaimana kesenjangan tersebut terjadi.
Ketiga, Suku bunga juga berpengaruh terhadap investasi, produksi dan
terciptanya pengangguran. Semakin tinggi suku bunga, maka investasi semakin
menurun. Jika investasi menurun, produksi juga menurun. Jika produksi menurun,
maka akan meningkatkan angka pengangguran.
Keempat, Teori ekonomi juga mengajarkan bahwa suku bunga akan secara
signifikan menimbulkan inflasi. Inflasi yang disebabkan oleh bunga adalah inflasi
yang terjadi akibat ulah tangan manusia. Inflasi seperti ini sangat dibenci Islam,
sebagaimana ditulis Dhiayuddin Ahmad dalam buku Al-Quran dan Pengentasan
Kemiskinan. Inflasi akan menurunkan daya beli atau memiskinkan rakyat dengan
asumsi cateris paribus.
Kelima, Sistem ekonomi ribawi juga telah menjerumuskan negara-negara
berkembang kepada debt trap (jebakan hutang) yang dalam, sehingga untuk
membayar bunga saja mereka kesulitan, apalagi bersama pokoknya.
Kenam, dalam konteks Indonesia, dampak bunga tidak hanya sebatas itu,
tetapi juga berdampak terhadap pengurasan dana APBN. Bunga telah membebani
APBN untuk membayar bunga obligasi kepada perbakan konvensional yang telah
dibantu dengan BLBI. Selain bunga obligasi juga membayar bunga SBI.
Pembayaran bunga yang besar inilah yang membuat APBN kita defisit setiap tahun.
Seharusnya APBN kita surplus setiap tahun dalam mumlah yang besar, tetapi karena
34
sistem moneter Indonesia menggunakan sistem riba, maka tak ayal lagi, dampaknya
bagi seluruh rakyat Indonesia sangat mengerikan .
Dengan fakta tersebut, maka benarlah Allah yang mengatakan bahwa sistem
bunga tidak menumbuhkan ekonomi masyarakat, tapi justru menghancurkan sendisendi perekonomian negara, bangsa dan masyarakat secara luas. Itulah sebabnya,
maka lanjutan ayat tersebut pada ayat ke 41 berbunyi :Telah nyata kerusakan di
darat dan di laut, karena ulah tangan manusia, supaya kami timpakan kepada
mereka akibat dari sebagian perilaku mereka.Mudah-mudahan mereka kembali ke
jalan Allah
Konteks ayat ini sebenarnya berkaitan dengan dampak sistem moneter ribawi
yang dijalankan oleh manusia. Kerusakan ekonomi dunia dan Indonesia berupa
krisis saat ini adalah akibat ulah tangan manusia yang menerapkan riba yang
bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Berdasarkan kenyataan itu, maka sekali lagi, maha benarlah firman Allah
yang mengatakan bahwa riba tidak menumbuhkan ekonomi masyarakat. Inilah meta
ekonomi Islam yang terdapat dalam ayat 39 Surah Ar-Rum.
Dalam pendangan seorang banker atau debitur, sistem bunga yang mereka
terapkan yang dilandasai saling ridha dan terkesan tidak ada saling menzalimi di
antara mereka, dianggap sebagai sebuah sistem yang wajar dan tidak menjadi
masalah. Bahkan bersifat positif-konstruktif bagi masyarakat. Inilah pandangan
ekonomi mikro yang sering menjerumuskan banyak orang yang akalnya
terbatas.Begitulah, akal manusia sering kali tidak bisa menjangkau apa yang dibalik
realitas ekonomi. Padahal sistem riba itu justru merusak dan sama sekali tidak
membawa pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya. Inilah yang dijelaskan AlQuran dalam surah Ar-Rum ayat 39 di atas. Inilah konsep metaekonomi Islam
dalam larangan riba. Namun, bagi para ekonom Islam, hal tersebut bukan lagi meta,
tapi fakta, karena mereka telah melihat fakta riil kerusakan ekonomi masyarakar,
negara dan dunia akibat riba (bunga). Mereka telah melihat secara nyata bahwa riba
tidak akan menumbuhkan perekonomian masyarakat. Metaekonomi Islam dalam
larangan riba hanya relevan bagi para penganut dan pengamal ekonomi ribawi yang
mayoritas di negeri ini. Tugas pakar ekonomi syariah untuk menjelaskan meta
ekonomi Islam itu kepada penganut dan pengamal kapitalisme ribawi yang masih
mayoritas di negeri ini.32
III KESIMPULAN
Dari pembahasan sebagaimana tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa
prisnsif dasar dan karakteristik ekonomi Islam adalah merupakan pondasi utama
dalam system perekonomian Islam, yang bertujuan mensejahterakan kehidupan
32 Agustianto,
35
manusia yang layak secara manusiawi dan menyelamatkan kehidupan manusia baik
di dunia maupun di akhirat.
IV DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, 2006, Artikel Suara Udilag Mahkamah Agung RI, Pokja
Perdata Agama MA-RI, Jakarta.
Mustafa Edwin Nasutioan, et. Al. 2006, Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam,
Kencana Prenada Group Jakarta
Agustianto, 2002, Percikan Pemikiran Ekonomi Islam, Forum Kajian
Ekonomi dan Kajian Perbankan Islam (FKEBI) bekerjasama dengan penerbit
Citapustaka Media Bandung,
Said Saad Marthon, 2004, Al-Madkhal Li al-Fikral-Iqtishad fi Al-Islam,
terjemahan Ahmad Ikhram dan Dimyaudin dengan judul Ekonomi Islam di tengah
Krisis Ekonomi Global Dzikrulhakim Jakarta,
Kaslan A. Thahir, 1985, Butir-butir Tata Lingkungan Sebagai Masukan
Untuk Arsitektur Landsekap dan Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Bina
Aksara Jakarta,
Gemala Dewi 2005, Aspek-Aspek Hukum Dalam Perbankan dan
Perasuransian Syariah di Indonesia, hlm. 39-42
Mohammad Daud Ali, 1988, Sistim Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf,
Muhammad Syafii Antonio, 2005, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek.
Abdullah Saeed, 1996, Islamic Banking and Interet: A. Study of the
Prohibition of Riba its Contemporary Interpretation,hlmn. 65