2 laktat + 2 ATP
Reaksi Heterofermentatif
1 Heksosa + 1 ADP + Pi
1 Heksosa + 2 ADP + Pi
(Axelsson, 1998).
Menurut
Food
and
Agriculture
Organization/World
Health
Organization
(FAO/WHO) (2001), idealnya strain probiotik seharusnya tidak hanya mampu bertahan
melewati saluran pencernaan tetapi juga memiliki kemampuan untuk berkembang biak
dalam saluran pencernaan, tahan terhadap cairan lambung dan cairan empedu dalam jalur
makanan yang memungkinkan untuk bertahan hidup melintasi saluran pencernaan dan
terkena paparan empedu. Selain itu probiotik juga harus mampu menempel pada sel epitel
usus, mampu membentuk kolonisasi pada saluran pencernaan, mampu menghasilkan zat anti
mikroba (bakteriosin), dan memberikan pengaruh yang menguntungkan inangnya. Syarat
lainnya adalah tidak bersifat patogen dan aman jika dikonsumsi. Strain probiotik juga harus
tahan dan tetap hidup selama proses pengolahan makanan dan penyimpanan, mudah
diaplikasikan pada produk makanan, dan tahan terhadap proses psikokimia pada makanan
(Prado et al., 2008).
Efisiensi penggunaan pakan dapat dilakukan dengan pemberian bahan imbuhan (feed
additive) atau zat pemacu tumbuh (growth promotant). Pencampuran feed additive ini
dimaksudkan untuk meningkatkan daya simpan ransum dan memacu pertumbuhan ternak.
Namun penggunaan feed additif secara terus menerus akan mengakibatkan terdapatnya
produk metabolit berupa residu antibiotik. Oleh karena itu penggunaan feed additive alami
merupakan alternatif untuk mengurangi akumulasi residu feed additive dalam daging. Salah
satu feed additive alami yang mulai digunakan yakni bakteri probiotik (Tensiska, 2008).
Pemberian probiotik pada ternak unggas biasanya diberikan dalam bentuk campuran
ransum atau diberikan melalui air minum, atau dalam bentuk probiotik yang hanya
mengandung satu macam strain mikroba saja atau dalam bentuk campuran terdiri dari
beberapa strain mikroba seperti probiolac atau protexin. Beberapa keuntungan dari
penggunaan probiotik pada hewan atau ternak antara lain adalah dapat memacu
pertumbuhan, memperbaiki konversi ransum, mengontrol kesehatan antara lain dengan
Teknologi Enkapsulasi
Enkapsulasi adalah suatu teknologi dalam proses penyalutan partikel inti dapat
berbentuk cair, padat atau gas dengan suatu bahan pengisi khusus sehingga partikel-partikel
inti tersebut mempunyai sifat fisik dan kimia sesuai yang dikehendaki (Kim dan Morr,
1996). Teknologi ini berperan dalam melindungi bahan inti dari lingkungan yang
merugikan. Bakteri probiotik merupakan salah satu jenis komponen bioaktif yang sebaiknya
dilindungi kehidupannya agar dapat dimanfaatkan oleh inangnya. Manfaat enkapsulasi bagi
probiotik yaitu untuk mempertahankan viabilitas dan melindunginya dari kerusakan akibat
kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan (Wu et al. 2000).
Bahan yang umum digunakan sebagai enkapsulan, diantaranya alginat, gum arab, pati,
agar, gelatin, karagenan, albumin dan kasein. Masing-masing bahan tersebut memiliki
karakter tertentu sehingga perlu adanya pertimbangan agar cocok bila digunakan untuk
menyalut suatu bahan inti tertentu. Beberapa peneliti telah melakukan penelitian mengenai
enkapsulasi bakteri probiotik dengan menggunakan enkapsulan tertentu diantaranya
enkapsulasi Bifidobacteria dan Lactobacillus dalam alginat-pati (Sultana et al. 2000), L.
casei dalam alginat-tepung polard dan terigu (Widodo et al. 2003), L.acidophilus dan B.
lactis dengan alginat (Kailasapathy 2006), L. acidophilus, L.helveticus, B. longum dan B.
lactis dalam alginat, gelatin dan pati pada produk yoghurt dengan metode ekstrusi dan
emulsi (Jayalalitha et al. 2011) dan L.plantarum dengan enkapsulan campuran susu skim
dan gum arab (Rizqiati et al. 2009). Dalam hal ini, metode enkapsulasi juga dapat
memperbaiki karakteristik sensori pada produk akhir terutama atribut teksturnya
(Mortazavian et al. 2007).
Teknik enkapsulasi probiotik dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu ekstrusi dan
emulsi (Krasaekoopt et al. 2003). Teknik ekstrusi dilakukan dengan cara menambahkan
mikroorganisme probiotik ke dalam larutan hidrokoloid natrium alginat, kemudian
diteteskan ke dalam larutan pengeras (CaCl2) menggunakan syringe sehingga terbentuk
beads. Ukuran dan bentuk beads yang dihasilkan bergantung pada diameter jarum dan jarak
tetes jarum dengan larutan CaCl2.
Berbeda dengan teknik ekstrusi, teknik emulsi dilakukan dengan menyuspensikan
sebagian kecil polimer (alginat) ke dalam minyak nabati seperti minyak kedelai, minyak
bunga matahari, minyak conola, atau minyak jagung, kemudian dihomogenisasi dalam
bentuk emulsi. Emulsi tersebut akan membentuk droplet. Ukuran beads pada metode emulsi
ditentukan oleh ukuran droplet emulsi yang terbentuk. Ukuran droplet emulsi dapat
dikontrol dengan kecepatan pengadukan saat emulsifikasi (Krasaekoopt et al. 2003).
Kelebihan dan kekurangan teknik ekstrusi dan emulsi dapat dilihat pada Tabel 1.
Pada tahap pengeringan bahan pengkapsul berisi sel probiotik untuk mendapatkan sel
terenkapsulasi berbentuk serbuk atau granul dapat dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu
freezedrying (Sultana et al. 2000, Capela et al. 2006) dan spray drying (Lian et al. 2003,
Picot dan Lacroix 2004). Enkapsulasi probiotik dengan teknik pengering semprot dan
pengering beku menghasilkan probiotik terenkapsulasi kering dalam bentuk serbuk atau
granul, sedangkan teknik emulsi dan ekstrusi menghasilkan probiotik terenkapsulasi dalam
bentuk jel (hydrocolloid beads) (Krasaekoopt et al. 2003). Namun, penggunaan teknik
freeze drying relatif mahal dan sangat sulit diaplikasikan pada skala industri (Mortazavian et
al. 2007), sedangkan penggunaan teknik spraydrying membutuhkan suhu operasi yang
tinggi
sehingga
kurang
cocok
diaplikasikan
untuk
enkapsulasi
probiotik
(Kailasapathy 2002).
Keefektifan dari bahan dan teknik enkapsulasi yang digunakan untuk menghasilkan
probiotik terenkapsulasi dapat dievaluasi dari beberapa parameter kualitatif, diantaranya
viabilitas sel probiotik selama proses enkapsulasi dan pengeringan, pembuatan produk dan
penyimpanan, kelarutan beads dan kemampuan sel untuk keluarserta sifat mikrogeometri
beads (bentuk dan ukuran) (Mortazavian et al. 2007).
Bahan Pengkapsul
Bahan pengkapsul merupakan bahan yang berfungsi sebagai pengikat suatu materi
serta memperbaiki mutu fisik produk. Enkapsulasi probiotik biasa dilakukan dalam sistem
polimer yang bersifat lembut dan tidak beracun (food grade) (Anal dan Singh 2007).
Polimer yang biasa digunakan dalam proses enkapsulasi bakteri probiotik adalah
polisakarida yang diekstrak dari rumput laut (karagenan dan alginat), tumbuhan (pati dan
turunannya, gum arab), atau bakteri (gellan dan xanthan), dan protein hewan (kasein, whey,
skim, gelatin) (Rokka dan Rantamaki 2010). Keuntungan penggunaan alginat sebagai bahan
pengkapsul adalah tidak toksik, membentuk matriks secara lembut dengan CaCl2 yang dapat
menjerap material sensitif seperti sel bakteri probiotik(Kailasapthy, 2002).
1. Alginat
Alginat merupakan salah satu jenis hidrokoloid yang dihasilkan dari ekstraksi alga
coklat (Sargassum sp., Turbinaria sp., Hormophyta sp., dan Padinasp.). Alginat telah
diaplikasikan secara luas pada produk pangan sebagai penyalut. Bentuk alginat terdiri dari
dua yaitu asam alginat dan garam alginat. Asam alginat merupakan kopolimer liniar yang
tersusun atas asam D-manuronat dan asam L-guluronat. Dalam suatu larutan, alginat
mengadakan interaksi antara kopolimernya dengan kation divalen (garam) seperti kalsium,
sehingga terbentuk gel kalsium alginat. Gel tersebut dipengaruhi oleh jumlah kation divalen
yang dapat berinteraksi dengan alginat (Nussinovitch, 2010).
Penambahan kation divalen (misalnya Ca2+) yang berfungsi sebagai penaut
silangantarmolekul alginat, akan menyebabkan terjadinya gelatinisasi yang akan membentuk
jelmatriks kalsium alginat. Kapsul kalsium alginat sangat berpori yang memungkinkan air
dapatberdifusi keluar masuk matriks (Rokka dan Rantamaki 2010). Penggunaan alginat
sebagai bahan enkapsulasi sering dikombinasikan dengan bahan lainnya, diantaranya dengan
penambahan probiotik (Sultana et al. 2000, Homayouni et al. 2008a), terigu dan polard
(Widodo et al. 2003) sebagai bahan pengisi, chitosan sebagai coating (Krasaekoopt et al.
2004), dan pektin untuk membentuk kompleks alginat-pektin yang kuat (Castilla et al.
2010). Komposisi bahan natrium alginat dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 : Komposisi Natrium Alginat
Spesifikasi
Kadar Air (%)
Kadar Abu (%)
Berat Jenis (%)
Warna
Desitas Kamba (kg/m3)
Suhu Pengabuan (C)
Panas Pembakaran
Kandungan
13
23
1.59
Pink
874
480
2.5
2. Maltodekstrin
Menurut FDA (The Food and Drug Administration), Maltodekstrin (C6H12O6) adalah
polimer sakarida yang bergizi, mengandung unit D-Glukose pada ikatan primer -1,4 dan
memiliki nilai dextrose equivalence (DE) kurang dari 20. Dextrose equivalence (DE)
merupakan sifat utama yang menentukan sifat dari maltodekstrin itu sendiri. DE
maltodekstrin menunjukkan bahwa bahan tersebut mudah untuk dikeringkan, sedangkan
bahan yang memiliki DE lebih besar dari 42 akan sulit untuk dikeringkan dan dipasarkan
hanya dalam bentuk sirup (Kenyon, 1995).
Maltodekstrin merupakan bahan yang sering digunakan dalam pembuatan makanan
yang dikeringkan karena selain bahan pengisi, maltodekstrin memiliki beberapa kelebihan
antara lain tidak manis mudah larut dalam air. Maltodekstrin juga dapat meningkatkan
viskositas, menghambat kristalisasi dan baik untuk kesehatan karena rendah kalori.
Maltodekstrin biasanya digunakan sebagai campuran bahan pangan dan merupakan
pembentuk produk yang baik untuk produk yang sulit kering dan biasanya dijual dalam
bentuk tepung padat berwarna putih (Kuntz,1998). Komposisi maltodekstrin pada Tabel 3.
Tabel. 3. Komposisi Maltodekstrin
Parameter
Penampakan fisik
Kadar Air % Maks.
DE(Dextrose equivalent)
Berat jenis
Total Abu
pH
Keasaman %
Ambang batas mikrobologi
Total bakteri
Salmonella
E.coli
Sumber : Kuntz (1998)
Spesifikasi
Bubuk putih
5%
4 to 22
0.3 0.5 g/ml
0.1 to 0.2% Max
4-7
1.2 to 1.5%
104 CFU/g
0 CFU/g
CFU/g
Menurut Kenyon dan Anderson (1988), maltodekstrin dan sirup jagung padat
memiliki sifat-sifat fungsional yang berpengaruh terhadap proses enkapsulasi, meliputi
kestabilan emulsi yang rendah yang dikarenakan tidak memiliki sifat lipofilik dan hidrofilik,
sifat pembentukan film, seberapa cepat pembentukan film atau membran pada proses
enkapsulasi flavor akan sangat menentukan kualitas produk akhir higroskopisitas.
3. Susu Skim
Protein merupakan komponen yang sangat penting, baik dari segi nutrisi maupun sifat
fungsionalnya seperti sebagai bahan pengemulsi, pengikat air atau lemak, serta pembentuk
buih atau gel. Selain itu protein juga dapat menghasilkan flavor, memperbaiki penampakan
dengan menghasilkan tekstur yang lebih baik (Buckle et al., 1987). Protein memiliki sifat
fungsional yang baik seperti viskositas, emulsifikasi serta pembentukan film. Dalam
penelitian ini, protein yang digunakan ialah susu skim.
Susu skim adalah bagian susu yang tertinggal setelah krim diambil sebagian
atauseluruhnya. Susu skim mengandung semua komponen gizi dari susu kecuali lemak dan
vitaminyang larut dalam lemak (Buckle et al. 1987). Karena lemaknya telah dipisahkan,
susu skim hanyamengandung 0,5 2% lemak (Varnam dan Sutherland 1994).Protein susu
dapatdigolongkan menjadi dua bagian, yaitu kasein dan whey. Kasein merupakan fraksi
protein yangmenggumpal ketika susu diasamkan pada pH 4,6 pada suhu sekitar 300C,
sedangkan fraksi yan tertinggal setelah pengendapan kasein disebut whey. Pada susu sapi
dan kerbau, komposisi kaseindan whey yaitu berkisar 80 : 20 (Fox dan McSweeney, 1998).
Susu skim mengandung semua zat makanan dari susu kecuali lemak dan vitaminvitamin yang larut dalam lemak. Krim mempunyai berat jenis yang rendah karena banyak
mengandung lemak. Susu skim mempunyai berat jenis yang tinggi karena banyak
mengandung protein. Susu skim adalah susu sapi yang telah diambil lemaknya dan diubah
menjadi bentuk bubuk, mempunyai bentuk seperti granula kecil, dengan warna putih
kekuningan. Susu ini banyak mengandung protein dengan kadar air 5% (Saleh, 2004).
Komposisi susu skim dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 : Komposisi Susu Skim
Produk Susu
Susu skim
Air
(%)
5
Abu
(%)
8
Protein
(%)
35
Lemak
(%)
1
Laktosa
(%)
52
Total Padatan
(%)
96
Escherichia coli
Pada penelitian ini digunakan bakteri indikator E.coli sebagaipengontrol aktivitas
hambat
bakteriosin
yang
memiliki
daerah
zona
penghambatan
yang
luas.
dan
anaerob,
memilikiflagelaperitrikat,berukuran1,1
1,5mx26m,tersusuntunggalatauberpasangan,bersifatmotilatau
nonmotildan
Pada ayam broiler, infeksi dari bakteri E.coli ini berdampak sangat buruk. Penyakit
ini dapat menyebabkan kematian selama periode pemeliharaan hingga perolehan berat badan
ayam saat panen akan dibawah standar. Bakteri E.coli ini sangat banyak terdapat di usus,
dan akan dikeluarkan dari tubuh dalam jumlah yang sangat besar bersama feses (kotoran).
Bakteri ini dapat bertahan sampai beberapa minggu di dalam feses, dengan kondisi yang
sangat mendukung. Akan tetapi, E.coli tidak tahan pada kondisi asam, kering, dan akan mati
dengan desinfektan (Pierard et al., 1990).
E.coliyang merupakan infeksi bakteri yang paling umum dijumpai pada peternakan
broileryang dikenal dengan penyakit kolibasilosis. Infeksi E.colipada unggas umumnya
bersifat
sistemik
dan
menimbulkan
bakteriemia
(Costa
et
al.,
2002).
Infeksi
E.colimenyebabkan kematian embrio pada telur tetas, infeksi kuning telur, koliseptisemia,
peradangan kantung udara, radang usus, infeksi saluran reproduksi, radang persendian dan
bahkan menyebabkan kematian. Mortalitas dari penyakit ini adalah 10% - 15%. Penularan
kolibasilosis biasanya terjadi secara oral melalui pakan, air minum atau debu yang tercemar
oleh E.coli. Bakteri E.coli juga mampu menyebar melalui peredaran darah sehingga dapat
menyebabkan kerusakan pada berbagai organ sehingga mengganggu pertumbuhan dari ayam
tersebut (Djaafar et al.,1996) hal ini akan menyebabkan kerugian yang cukup besar untuk
peternak broiler. Menurut Fuller (1989) bakteri ini termasuk bakteri enterotoksigenik yang
dapat menyebabkan penyakit diare. Strain bakteri ini memproduksi dua tipe enterotoksin,
yaitu toksin yang tidak tahan panas dan toksin yang stabil pada suhu tinggi.
bakteri
anaerob
mutlak
diantaranya
adalah
Clostridium,
Bacterioides,
Bifidobacterium dan lain-lain. Hanya kurang dari 1% berupa bakteri fakultatif anaerob
seperti E.coli, Enterobacter dan bakteri patogen lainnya. Dengan demikian diperlukan
adanya efek antagonis terhadap bakteri patogen (Surono, 2004).
Lebih lanjut Surono (2004) menyatakan bahwa berbagai rintangan yang harus
dihadapi mikroba dalam saluran pencernaan dari mulut sampai anus. Pada perjalannya
melintasi berbagai sistem pencernaan khususnya yang dijumpai diantaranya enzim lisosom
pada air liur, asam lambung, garam empedu dan senyawa metabolit oleh BAL terutama
asam laktat. Pada usus besar hampir tidak ditemukan lagi hambatan yang cukup berarti
kecuali terjadinya kompetisi terhadap nutrisi. Bakteri probiotik harus mampu bertahan
menghadapi rintangan-rintangan tersebut, agar mencapai usus dalam keadaan hidup dalam
jumlah yang cukup memadai untuk berkembangbiak dalam menyeimbangkan mikrobiota
usus. Untuk mengetahui pH dan waktu transit dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5: Derajat Keasaman (pH) di dalam Saluran Pencernaan Ayam
Organ pencernaan
pH
Tembolok
Proventriculus & gizzard
Duodenum
Jejenum
Ileum
Rektum
5.5
2.5 3.5
5.6
6.5 7
7 7.5
8
Populasi bakteri semakin kompleks baik jenis dan jumlahnya dengan bertambahnya
umur disepanjang saluran pencernaan. Lambung hanya mengandung bakteri yang tahan
terhadap asam, sebagaimana diketahui bahwa pH atau keasaman lambung sangat rendah
sekitar 1,7 dan BAL bisa bertahan dalam bilangan ribuan (103). Usus kecil ditempati 400
500 jenis bakteri yang jumlahnya trilyunan (1012 - 1014) bakteri dan BAL sekitar 104 - 109
bakteri. Mikroba dalam saluran pencernaan bisa membantu pencernaan makanan bahkan
beberapa jenis menghasilkan beberapa vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh, namun
demikian beberapa efek negatif yang secara umum adalah dihasilkan senyawa-senyawa hasil
pembusukan protein, produksi toksin (Surono, 2004).
Identifikasi
isolat
BAL
berdasarkan
bentuk
(coccus,
rod-shape,
6. Uji Ketahanan BAL terhadap Keasaman Lambung (pH), Garam Empedu dan Suhu
a. Uji Ketahanan terhadap Keasaman Lambung (pH)
Menurut Djide dan Wahyuddin (2008), uji ketahanan terhadap asam dilakukan dengan
menggunakan medium MRSB yang ditambahkan dengan HCl 0,1 N untuk mendapatkan pH
2,5 dan 3 (sesuai dengan pH lambung). Sebanyak 1 ose (ose bulat) masing-masing isolat
bakteri yang diambil dari stok kultur kemudian diinokulasikan pada medium MRSB-HCl.
Diinkubasi selama 48 jam pada suhu 370C. Hasil positif apabila terjadi pertumbuhan bakteri
pada medium dan hasil negatif apabila tidak terjadi pertumbuhan bakteri pada medium.
b. Uji Ketahanan terhadap Garam Empedu
Ketahanan isolat mikroba terhadap garam empedu digunakan untuk mengkaji
kemampuan isolat bertahan pada saluran pencernaan yang terdapat garam empedu pada
permukaan atas usus. Pengujian dilakukan menurut metode Djide dan Wahyuddin (2008).
Metode ini dilakukan dengan menambahkan garam empedu sintetik (oxbile) dengan
konsentrasi 1 % dan 5 % pada medium MRSB. Selanjutnya isolat bakteri diambil dari stok
sebanyak 1 ose kemudian diinokulasikan pada medium MRSB garam empedu. Diinkubasi
selama 48 jam dengan temperatur 370C. Ketahanan terhadap garam empedu ditentukan
berdasarkan ada tidaknya pertumbuhan bakteri pada medium. Hasil positif jika ditandai
dengan adanya endapan pada dasar tabung dan adanya perubahan media menjadi lebih keruh
dibandingkan sebelum diinkubasi.
c. Uji Ketahanan terhadap Suhu
Isolat bakteri diambil dari stok sebanyak 1 ose kemudian diinokulasikan pada medium
MRSB. Selanjutnya medium yang telah berisi isolat diinkubasi pada temperatur 150C, 370C,
dan 450C selama 48 jam. Kemudian diamati apakah terjadi petumbuhan bakteri pada
medium. Hasil positif apabila terjadi pertumbuhan bakteri pada medium dan hasil negatif
apabila tidak terjadi pertumbuhan bakteri pada medium.
9.
10 ml filtrat dari sampel dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer lalu ditambahkan 3 tetes
larutan indikator fenolftalein 1%, selanjutnya dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N hingga
terbentuk warna merah muda. Tepat saat warna merah muda terbentuk, titrasi dihentikan.
Total asam tertitrasi dinyatakan sebagai persen asam laktat. Total asam dapat diperoleh
melalui perhitungan berikut.
% Asam laktat =
X 100%
Keterangan:
Yij= Pengamatan pada faktor B taraf ke-i dan ulangan ke-j
= Rataan umum
Bi = Pengaruh faktor B taraf ke-i
ij = Pengaruh galat percobaan
Untuk mengetahui pengaruh antara taraf tersebut dilakukan analisis ragam (analisis
varian) menggunakan tingkat kepercayaan 95% (=0,05). Jika hasilnya berbeda nyata,
analisis dilakukan dengan uji lanjut Duncan.
terlebih dahulu diaktivasi dalam 10 ml MRS broth sebanyak 23 kali dan diinkubasi pada
suhu 370C selama 24 jam. Suspensi kultur disimpan dalam refrigerator pada suhu 40C
sebagai kultur stok. Suspensi sel yang akan digunakan untuk enkapsulasi merupakan kultur
berumur 18 jam dalam MRS broth (Homayouni et al., 2008a).
Suspensi biopolimer steril yang telah didinginkankemudian ditambahkan suspensi
sel sebanyak 0,1% (Homayouni et al. 2008a) atau denganperbandingan 9:1 (Castilla et al.
2010) lalu dikocok hingga homogen. Suspensi biopolimer-seldimasukan kedalam syringe
steril dan diteteskan kedalam larutan CaCl2 0,1 M steril(perbandingan suspensi biopolimersel dan CaCl2 0,1 M adalah 1:3) dengan jarak tetes 1 cm dandilakukan pengadukan 150
200 rpm menggunakan magnetic stirer. Pengerasan jel dilakukanselama 30 menit. Beads
kemudian disaring dan dibilas menggunakan NaCl 0,85% yang telahdisterilisasi. Beads
basah kemudian dimasukan ke dalam wadah atau botol steril. Jumlah selyang terenkapsulasi
di dalam beads dihitung dengan metode yang digunakan Sheu dan Marshal (1993).
sebanyak 0,1 ml untuk ditanam pada cawan petri berisi media MRS agar. Kultur diinkubasi
pada suhu ruang selama 2 hari. Koloni yang tumbuh kemudian dihitung sebagai berikut:
Populasi BAL (cfu/g) = Jumlah Koloni X Pengenceran
X 100%
Pada tahap ini, analisis statistik yang digunakan adalah rancangan acak lengkap
dengan pola faktorial 2 X 5 dengan 3 kali ulangan. Dimana faktor tersebut adalah:
A1B1
A1B2
A1B3
A1B4
A2B0
A2B1
A2B2
A2B3
A2B4
Yijk = + i + j + ()ij + ij
Keterangan:
i
= 1,2 dan 3
j
= 1,2 dan 3
k
= 1,2 dan 3
Yijk = Nilai kestabilan data ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan penambahan
enkaspulasi ke-i dan lama penyimpanan ke-j
= Rataan umum
()ij = Pengaruh interaksi perlakuan ke-i dan ke-j
ijk
= Pengaruh galat perlakuan ke-i dan ke-j pada satuan percobaan
Untuk mengetahui pengaruh antara taraf tersebut dilakukan analisis ragam (analisis
varian) menggunakan tingkat kepercayaan 95% (=0,05). Jika hasilnya berbeda nyata,
analisis dilakukan dengan uji lanjut Duncan.
Kat =
MBt - MBk
MBt
X 100%
Keterangan :
Kat = Kadar air probiotik terenkapsulasi pada jam ke-t (%)
MBt = Massa probiotik terenkapsulasi pada jam ke-t (gram)
MBK = Massa kering (dry matter) probiotik terenkapsulasi (1050C) (gram)
t = Waktu (lama) pengeringan (jam)
Setelah didapat waktu pengeringan optimum, BALterenkapsulasi selanjutnya
dikeringkan pada suhu 470C selama waktu pengeringan optimum yang didapat. Sebelum dan
setelah proses pengeringan dilakukan perhitungan populasi BALterenkapsulasi untuk
menguji pengaruh bahan pengkapsul terhadap ketahanan probiotik selama proses
pengeringan. BALterenkapsulasi kering disimpan di dalam refrigerator pada suhu 40C.
Ketahanan (%) =
X 100%
Pada tahap ini, analisis statistik yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktor
tunggal (single factor), dengan perlakuan yaitu natrium aginat 5% dengan natrium alginat
maltodekstrin (2:1) Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut :
Yij = + Ci + ij
Keterangan:
Yij = Pengamatan pada faktor C taraf ke-i dan ulangan ke-j
= Rataan umum
Ci = Pengaruh faktor C taraf ke-i
ij = Pengaruh galat percobaan
Untuk mengetahui pengaruh antara taraf tersebut dilakukan analisis ragam (analisis
varian) menggunakan tingkat kepercayaan 95% (=0,05). Jika hasilnya berbeda nyata,
analisis dilkukan dengan uji t.