Anda di halaman 1dari 5

LAPORAN KASUS

Audit Kualitatif Pemberian Antibiotik untuk Pasien


Gangren Diabetik Disertai Insufisiensi Adrenal
Sekunder: Laporan Kasus
Hadiki Habib
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/
RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia

ABSTRAK
Dilaporkan kasus gangren diabetes disertai dengan insufisensi adrenal sekunder. Fokus laporan kasus ini adalah pemilihan antibiotik selama
perawatan. Evaluasi penggunaan antibiotik secara kualitatif dilakukan dengan menggunakan alur Gyssen. Terdapat tiga evaluasi antibiotik yang
digunakan yaitu ampicillin-sulbactam dengan skor Gyssen 1, cefotaxim dan klindamisin dengan skor Gyssen IVA, dan levofloxacin dengan skor
Gyssen 1.
Kata kunci: Gyssen, antibiotik, gangren diabetik

ABSTRACT
A case of diabetic gangrene concurrent with secondary adrenal insufficiency was reported. This case report will focus on antibiotic management.
The use of antibiotic will be evaluated qualitatively by Gyssen scheme. Three evaluations of antibiotic use was done, ampicillin-sulbactam
with Gyssen score 1, cefotaxim and clyndamicin with Gyssen score IVA, and levofloxacin with Gyssen score 1. Hadiki Habib. Audit Kualitatif
Pemberian Antibiotik untuk Pasien Gangren Diabetik Disertai Insufisiensi Adrenal Sekunder: Laporan Kasus.
Key words: Gyssen, antibiotics, diabetic gangrene

PENDAHULUAN
Resistensi antibiotik telah menjadi krisis global
terutama di negara-negara berkembang.
Penelitian Hadi di Indonesia tahun 2008
melaporkan tingkat pemakaian antibiotik
yang tinggi untuk pasien-pasien rawat
inap (84 %) dan hanya 21% dari peresepan
tersebut yang dinilai tepat, 42% pemberian
antibiotik sebenarnya tidak diperlukan dan
15 % tidak tepat dalam hal pemilihan jenis
antibiotik, dosis, dan lama pemberian.1
Penyebab lain meningkatnya resistensi adalah
penggunaan antibiotik tanpa peresepan. Di
Surabaya banyak antibiotik dijual bebas di
warung-warung nonapotik, yaitu amoxicillin,
chloramphenicol, ciprofloxacin, cotrimoxazole,
dan tetracycline.2
Dampak resistensi ini adalah makin sulit
mengatasi infeksi dengan antibiotik standar
dan membutuhkan antibiotik khusus yang
mahal.
Untuk

mengurangi

Alamat korespondensi

perilaku

pemberian

antibiotik yang tidak tepat, selain memperbaiki


kebijakan penjualan antibiotik, diperlukan
peningkatan kepatuhan dokter terhadap
panduan pemberian antibiotik Kombinasi
antara klinis pasien seperti lokasi infeksi, tingkat
keparahan infeksi, penyakit lain yang diderita
(keganasan, diabetes, imunokompromais,
gangguan hati dan ginjal), data pola kuman,
panduan terapi dan biaya yang dibutuhkan
harus dipertimbangkan untuk memilih
antibiotik yang tepat. Penelitian Frei (2010)
menunjukkan bahwa pemberian antibiotik
meskipun empiris, apabila tetap berpegang
pada panduan akan meningkatkan angka
keselamatan pasien-pasien pneumonia yang
dirawat di ruang rawat intensif.3
Untuk
mengkampanyekan
pemberian
antibiotik yang tepat, laporan kasus ini akan
membahas metode audit kualitatif pemberian
antibiotik untuk pasien diabetes mellitus
dengan insufisiensi sekunder yang menderita
gangren diabetes diikuti selulitis cruris.
Kasus ini sebagai contoh evaluasi kualitatif

pemberian antibiotik. Alur Gyssen digunakan


untuk mengevaluasi setiap keputusan
pemberian antibiotik.
LAPORAN KASUS
Seorang laki-laki usia 45 tahun datang dengan
keluhan utama jari kaki kanan luka dan
menghitam yang memberat sejak 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit
Satu minggu sebelum masuk rumah sakit jari
kaki kanan pasien tertimpa besi dan berdarah,
lalu diikat dengan karet, sehingga luka
menghitam dan meluas. Pasien kemudian ke
klinik, diberi obat namun tidak ada perbaikan,
luka makin menghitam, berbau dan berair.
Pasien demam naik turun, dan akhirnya
diantar ke rumah sakit. Pasien diketahui
kencing manis sejak 1 tahun, tidak pernah
kontrol teratur.
Pasien bekerja sebagai buruh pabrik kontrak,
sejak tahun 1990 rutin mengkonsumsi obat
dexamethasone satu kali sehari, alasannya

email: salinahhabib@gmail.com

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

43

LAPORAN KASUS
agar badan tetap segar dan bekerja semangat,
sejak 6 bulan terakhir mulai tidak rutin karena
dilarang istri, namun pasien masih makan
obat tersebut sekali-sekali bila badan merasa
tidak enak. Tiga hari sebelum dirawat pasien
masih mengkonsumsi dexamethasone.
Pemeriksaan fisik saat masuk: tampak sakit
sedang, kompos mentis, nadi 90x/menit,
tekanan darah 100/70 mmHg, respirasi 20x/
menit, suhu 38 C.Pemeriksaan fisik thorak
dan jantung dalam batas normal. tampak
striae kemerahan di abdomen. Tampak jari
ke III dan IV kaki kanan eritem dan nekrotik
sampai ke 1/3 dorsum pedis, dasar luka
subkutan, terdapat jaringan nekrotik dan
tanda-tanda sistemik respons inflamasi.
Ankle Brachial Index kaki kanan 0.92 dan kaki
kiri 1. Pemeriksaan tungkai kiri menunjukkan
ulkus dasar otot di dekat lutut ukuran 3x3 cm
dan dalamnya 2 cm, tidak dijumpai pus dan
jaringan nekrotik.
Pada pemeriksaan chest x ray tidak dijumpai
infiltrat paru dan tidak ada kardiomegali, EKG
dalam batas normal, dan hasil x ray pedis
dekstra tidak tampak osteomielitis tulangtulang pedis dekstra. Dijumpai leukositosis
(14600/mm3). Gula darah saat masuk 250 g/
dl, HbA1c 9.6 %.
Diagnosis adalah gangren diabetes pedis
dekstra. Pasien mendapat terapi cairan, insulin
kerja cepat intravena dan antibiotik ampicillinsulbactam 3x1.5 g. Debridement serta amputasi
digiti III dan IV pedis dekstra dilakukan pada
hari pertama. Hasil kultur pus menunjukkan
kuman Staphylococcus aureus yang sensitif
terhadap ampisilin-sulbactam, lincomicin,
cephalotin, cefotaxim, amoksilin-clavulanat,
ceftriaxone,
cefoperazone,
piperacillintazobactam, cefoperazone-sulbactam,
Hari perawatan ke 10 luka post amputasi dan
ulkus di tungkai kiri di skin graft dan antibiotik
dilanjutkan dengan ampicillin-sulbactam
4x1.5 g. Pasien tidak demam dan leukositosis
berkurang (10780/mm3). Pasca skin graft luka
di kaki kanan mengering, tidak dijumpai pus,
hasil skin graft menempel 95 % di kaki, tidak
ada bengkak dan nyeri di kaki kanan, gula
darah terkontrol dengan insulin basal dan
premeal.
Hari perawatan ke 16 pasien kembali demam
naik turun, dijumpai kemerahan di kulit

44

tungkai kiri bawah, skin graft ulkus di tungkai


kiri lisis, sehingga jaringan dibersihkan dan
dibuang, dijumpai leukositosis (11830/
mm3) dan procalcitonin 0.12 U/L. Diagnosis
selulitis kruris sinistra., Antibiotik diganti
menjadi cefotaxim 3x1 g dan clindamicin
3x300 mg. Hari perawatan ke 26 bengkak
di kruris kiri membaik. Hasil kultur pus dari
ulkus di kruris kiri tidak tumbuh bakteri,
dijumpai Candida albicans jumlah sedikit dan
dianggap kontaminan, namun di kruris kanan
muncul indurasi multipel berisi pus, tepi
kemerahan, pasien masih demam naik turun.
Leukosit 17560/mm3, procalcitonin 0.35 U/L.
Ditambahkan antibiotik levofloxacin 1x750
mg, cefotaxim dan clindamicin diteruskan
sampai total 14 hari, selanjutnya diteruskan
dengan levofloxacin tunggal. Hasil kultur pus
dari indurasi di kruris kanan steril, dan kultur
darah steril. Hasil pemeriksaan kortisol serum
pagi 0.918 (normal: 6.2-19.4). Pasien dianggap
mengalami insufisiensi adrenal sekunder
akibat putus steroid setelah pemakaian rutin
jangka panjang, diberi terapi pengganti
prednison 5 mg pagi hari dan 2.5 mg sore
hari.
Hari perawatan ke 36 luka dan bengkak di
cruris kanan membaik, tidak demam, leukosit
turun menjadi 11620/mm3 dan procalcitonin
0.06 U/L, levofloxacin dihentikan dan pasien
berobat jalan. Selama perawatan gula darah
pasien terkontrol dengan insulin rapid acting
3x 6 IU perawatan luka dilakukan 1-2 kali
sehari.
DISKUSI
Kaki diabetes
Infeksi kaki diabetes sering dijumpai pada
penderita diabetes dengan prevalensi 25 %4,
merupakan penyebab tersering penderita
diabetes masuk rumah sakit dan menjadi
alasan utama amputasi tungkai4. Komplikasi
ulkus dapat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas.
Diagnosis infeksi kaki diabetik ditegakkan
berdasarkan gambaran klinis dan keluhan.
Kultur untuk mengetahui etiologi infeksi dapat
membantu menentukan antibiotik yang
sensitif. Spesimen untuk kultur harus diambil
setelah debridement luka untuk mencegah
kontaminasi.
Setelah perawatan hari ke-26, pasien
mengalami infeksi baru dan timbul gejala

lemah terus-menerus, kadar kortisol serum


pagi pasien sangat rendah, mengonfirmasi
kondisi insufisiensi adrenal sekunder akibat
putus steroid setelah pemakaian jangka
panjang. Karena ada infeksi baru dan
kadar kortisol rendah, diberikan substitusi
steroid berupa prednison 7.5 mg/hari untuk
mencegah krisis adrenal.5
Pemberian antibiotik yang adekuat merupakan
bagian dari manajemen kaki diabetik yang
lebih komprehensif meliputi kontrol vaskular,
kontrol infeksi, kontrol metabolik, kontrol luka,
kontrol tekanan mekanis dan kontrol edukasi
serta rehabilitasi.6
Alur Gyssen7
Evaluasi pemakaian antibiotik secara umum
dapat dilakukan secara kuantitatif dan
kualitatif. Untuk evaluasi kualitas pemberian
antibiotik ada banyak parameter yang dipakai
seperti ketepatan dosis, ketepatan interval
pemberian, rute pemberian, monitoring kadar
obat dalam plasma, monitoring reaksi alergi,
evaluasi harga, dan lain-lain.
Penilaian kualitatif memungkinkan kita
mengetahui apakah antibiotik yang diberikan
sudah tepat, dilakukan dengan analisis
mendalam terhadap rekam medis, disebut
juga audit praktis. Penilaian kualitatif jarang
dilakukan karena minimnya standarisasi,
metodologi yang sulit, dan membutuhkan
sumber daya manusia.8 Meskipun demikian,
pembahasan pemberian antibiotik secara
kualitatif dapat mendorong dokter agar lebih
taat pada panduan dan mengikuti edukasi
pemakaian antibiotik. Alur Gyssen adalah
salah satu algoritma yang digunakan untuk
audit kualitatif pemberian antibiotik.
Untuk evaluasi menyeluruh, beberapa
pertanyaan panduan harus ditanyakan
secara lengkap agar tidak ada parameter
penting yang terlewat. Setiap pertanyaan
diklasifikasikan ke dalam tiap algoritma dan
evaluasi berlangsung serial dari pertanyaan
pertama sampai pertanyaan terakhir.
Peresepan dapat tidak tepat dalam beberapa
kategori secara bersamaan. Selama proses
evaluasi, algoritma dibaca dari atas ke
bawah untuk mengevaluasi tiap parameter
yang memandu dokter untuk menentukan
antibiotik yang tepat (skema 1). Ada 12 tahap
pertimbangan yang harus dipikirkan sebelum
memberikan antibiotik, yaitu:

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

LAPORAN KASUS
1. Data apakah sudah lengkap, yaitu data
klinis dan laboratoris yang cukup untuk
menegakkan diagnosis infeksi dan diikuti
dengan hasil kultur mikroorganisme
Tidak: audit dihentikan pada kategori VI
Ya: diteruskan ke tahap selanjutnya
2. Indikasi antibiotik apakah sesuai, mengapa
jenis antibiotik itu yang diberikan
Tidak: audit dihentikan pada kategori V
Ya: diteruskan ke tahap selanjutnya
3. Ada alternatif antibiotik lain yang lebih
efektif
Ya: audit dihentikan pada kategori IVa
Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya
4. Ada alternatif antibiotik lain yang kurang
toksik
Ya: audit dihentikan pada kategori IVb
Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya
5. Ada alternatif antibiotik lain yang lebih
murah
Ya: audit dihentikan pada kategori IVc
Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya
6. Ada alternatif antibiotik lain yang lebih
sempit spektrumnya
Ya: audit dihentikan pada kategori IVd
Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya
7. Durasi pemberian antibiotik terlalu
panjang
Ya: audit dihentikan pada kategori IIIa
Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya
8. Durasi pemberian antibiotik terlalu
singkat
Ya: audit dihentikan pada kategori IIIb
Tidak: diteruskan ke tahap selanjutnya
9. Dosis antibiotik yang diberikan apakah
sudah tepat
Tidak: audit dihentikan pada kategori IIa
Ya: diteruskan ke tahap selanjutnya
10. Apakah interval pemberian antibiotik
sudah tepat
Tidak: audit dihentikan pada kategori IIb
Ya: diteruskan ke tahap selanjutnya
11. Apakah rute pemberian antibiotik sudah
tepat
Tidak: audit dihentikan pada kategori IIc
Ya: diteruskan ke tahap selanjutnya
12. Apakah waktu pemberian sudah sesuai
Tidak: audit dihentikan pada kategori I
Ya: pemakaian antibitok sudah tepat
Tiap poin dalam alur Gyssen dinilai bertahap
(dari poin pertama sampai poin ke 12) apabila
berhasil menjawab satu poin dilanjutkan ke
poin berikutnya, makin banyak poin yang
berhasil dijawab makin baik pilihan antibiotik
tersebut.

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

Penelitian tahun 2010 di Swiss yang


melakukan evaluasi kualitatif dengan alur
Gyssen menemukan dari 1.577 pasien, 700
mendapat antibiotik (44,4%) dengan total
1270 peresepan antibiotik. Ada 958 (75,4%)
peresepan untuk tujuan terapi dan 312
(24,6%) untuk profilaksis, 37% terapi, dan
16,6% profilaksis tidak tepat. Pemberian
antibiotik untuk pengobatan yang tidak tepat
berupa tidak ada indikasi (17,5%), pemilihan
antibiotik tidak tepat (7,6%), cara pemberian
obat tidak tepat (9,3%), dan pemilihan jenis
antibiotik berbeda dengan panduan baku
(8%). Sementara itu, pemberian antibiotik
untuk profilaksis tidak tepat dalam hal tidak
ada indikasi (9%), pemilihan jenis antibiotik
tidak tepat (1%) durasi pemberian terlalu lama
dan cara pemberian tidak tepat guna lainnya
(6,7%).8

antibiotik inisial bersifat empiris, namun harus


diikuti dengan pemeriksaan kultur dan tes
sensitivitas untuk mempersempit spektrum
antibiotik. Intervensi bedah dibutuhkan jika
pus banyak atau infeksi terus meluas meskipun
telah diberi antibiotik. Tindakan bedah antara
lain insisi dan drainase, debridement jaringan
nekrotik, membuang semua benda asing
dalam luka, revaskularisasi arteri, dan bila
perlu, amputasi. 9 Ada beberapa penelitian
yang membantu menentukan antibiotik
empiris yang tepat untuk nfeksi kaki diabetes.
Panduan Cleveland Clinic dan American
Family Physician menyebutkan S. aureus
adalah kuman tersering ulkus diabetes, infeksi
kronik polimikrobial, sedangkan infeksi akut
dan belum pernah diobati dengan antibiotik
disebabkan oleh monopatogen, biasanya
coccus gram positif. 9

Gyssen 1. Ampicillin-sulbactam
Langkah pertama evaluasi antibiotik
ampicillin-sulbactam adalah mengevaluasi
apakah data sudah cukup lengkap sehingga
antibiotik layak diberikan. Pasien datang
dengan sumber infeksi yang jelas yaitu luka
di kaki kanan yang membusuk, ditandai
dengan respons sistemik seperti demam
naik turun dan luka yang membengkak
dan kemerahan. Pasien punya penyakit
yang mendasarinya yaitu diabetes mellitus.
Pemeriksaan penunjang menunjukkan
leukositosis dan pemeriksaan rontgen pedis
tidak menunjukkan adanya osteomielitis.
Pemeriksaan kultur pus dari luka di kaki
menunjukkan kuman S. auerus yang sensitif
terhadap ampicillin-sulbactam, lincomicin,
cephalotin,
cefotaxim,
amoxicillinclavulanate, ceftriaxone, cefoperazone,
piperacillin-tazobactam,
cefoperazonesulbactam.

Untuk infeksi polimikrobial penelitian di rumah


sakit pendidikan Malaysia menunjukkan
bahwa dari 194 pasien kaki diabetes yang
diambil sampel pusnya, kuman terbanyak
bakteri gram negatif (52%) terdiri atas Proteus
spp (28%), P. aeruginosa (25%), Klebsiella
pneumoniae (15%), dan Escherichia coli (9%).
Bakteri gram positif sejumlah 45% terdiri atas
Staphylococcus aureus (44%), Streptococcus
group B (25%), dan Enterococcus (9%). 10

Data yang ada dianggap cukup untuk


menegakkan diagnosis sepsis akibat infeksi
kaki diabetik sehingga antibiotik layak
diberikan.
Indikasi pemberian antibiotik ditentukan
pertama dengan menilai perjalanan penyakit.
(1) Pasien mengalami infeksi di luar rumah
sakit dan belum pernah mendapat terapi
antibiotik sebelumnya, (2) Infeksi kaki pasien
dianggap derajat sedang-berat berdasarkan
pemeriksaan fisik.
Untuk kaki diabetik dengan infeksi, pemberian

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa


beberapa kuman anerob biasa didapati pada
infeksi kaki diabetes: dari 102 sampel pus,
terdapat kuman anaerob Peptostreptococcus
spp (46%) dan Bacteroides fragilis (19%).
Resistensi antibiotik dijumpai terhadap
clindamycin 18%, metronidazole 1%,
dan imipenem 2%.11 Penelitian lain yang
mengumpulkan bahan pus dari 433 pasien,
menemukan 427 kultur positif, 83,8%
polimikrobial, 48% hanya tumbuh anaerob,
dan 43,7% mengandung kuman aerob
dan anaerob, 1,3% hanya mengandung
kuman anaerob. Jenis kuman yang paling
banyak ditemukan adalah Staphylococcus
aureus
sensitif
oxacillin
(14,3%),
Staphylococcus aureus resisten oxacillin
(4,4%), Staphylococcus koagulase negatif,
(15,3%), Streptococcus (15,5%), Enterococcus
spp (13,5%), Corynebacterium spp (10,1%),
Enterobactericeae (12,8%), dan Pseudomonas
aeruginosa (3,5%). Bakteri anaerob yang
tumbuh adalah coccus gram positif (45,3%),
Prevotella spp (13,6%), Porphyromonas
(11,3%), dan Bacteroides fragilis (10,2%).12

45

LAPORAN KASUS
Di Indonesia, penyebab tersering infeksi pada
kaki diabetes rawat jalan adalah Pseudomonas,
yang sensitif terhadap ceftriaxone dan
cefotaxim.13
Berdasarkan panduan pemberian terapi empirik
dan data dasar pola kuman pada kaki diabetes,
dipilih ampicillin sulbactam 4 x 1,5 g sebagai
antibiotik empirik. Obat ini diberikan saat
pasien di UGD, sebelum dilakukan debridement.
Pengambilan sampel pus dilakukan setelah
debridement untuk mengurangi risiko
sampel tercampur kontaminan. Hasil kultur
menunjukkan kuman S. aureus yang sensitif
terhadap ampicillin-sulbactam sehingga
obat ini diteruskan. Tidak ada pilihan obat
lain dengan spektrum lebih sempit dan tidak
dibutuhkan antibiotik untuk kuman anerob
karena telah ada komponen sulbactam.
Ada beberapa pilihan antibiotik lain yang
secara empiris dapat diberikan berdasarkan
guideline yaitu imipenem-cilastatin, namun dari
segi farmakoekonomi ampicillin-sulbactam
lebih cost-effective. Penelitian terhadap 90
penderita kaki diabetes menunjukkan tidak
ada perbedaan antara pengobatan ampicillinsulbactam dibandingkan imipenem cilastatin
dari segi keberhasilan klinis, efek samping,
lama pemberian, dan lama perawatan di
rumah sakit, sementara itu biaya pengobatan
ampicillin-sulbactam lebih murah bermakna
dibandingkan
imipenem-cilastatin.14,15
Ampicillin-sulbactam dan imipenem cilastatin
memiliki angka keberhasilan 80% mengatasi
infeksi akibat kaki diabetik, namun imipenem
cilastatin membutuhkan biaya yang lebih
besar sekitar 2.924 dolar (pada tahun 1994).16
Antibiotik khusus tidak berbeda efektivitasnya
dibandingkan ampicillin-sulbactam; kesembuhan klinis kelompok linezolid dan
ampicillin-sulbactam tidak berbeda bermakna,
efek samping linezolid lebih banyak.17
Dosis pemberian 4 x 1,5 g sesuai dengan cara
yang berlaku, tanpa perlu penyesuaian dosis
karena pasien tidak mengalami gangguan
hati dan ginjal. Pada awalnya diberikan
dengan dosis 3 x 1,5 g yang sebenarnya tidak
tepat; setelah debridement, dosis diperbaiki
menjadi 4 x 1,5 g. Obat ini diberikan selama
14 hari sesuai batasan lama pemberian
antibiotik. Saat itu, antibiotik tidak diganti
oral karena selama pemberian antibiotik,
pasien mengalami dua kali tindakan operasi

46

(debridement dan amputasi digiti III dan


IV serta pemasangan skin graft). Obat ini
diberikan awal saat pasien di UGD sehingga
dianggap saat pemberian tepat mengingat
beratnya luka dan kondisi tubuh pasien yang
luluh imun (immunocompromised).
Penilaian alur Gyssen untuk antibiotik yang
pertama adalah 1.
Gyssen 2. Cefotaxim dan Clindamicin
Setelah hari perawatan ke-14, pasien kembali
mengalami demam naik turun, disertai
bengkak di tungkai kiri, saat itu dijumpai juga
ulkus di tungkai kiri tidak mengering, hasil
kultur swab dari ulkus di tungkai kiri steril,
pasien kembali mengalami leukositosis dan
kadar procalcitonin meningkat. Berdasarkan
data ini, pasien dianggap mengalami infeksi
baru yaitu selulitis kruris sinistra dan antibiotik
diganti menjadi cefotaxim dan clindamicin.
Selulitis biasanya disebabkan oleh kuman gram
positif dan jarang menimbulkan bakteremia,
pada penelitian 272 pasien selulitis, hanya 4%
yang hasil kultur darahnya dijumpai patogen.
Selulitis gram negatif dapat timbul pada
pasien luluh imun.15
Diagnosis infeksi baru ditegakkan padahal
saat itu sedang dalam pengobatan ampicillinsulbactam. Karena infeksi baru ini muncul
setelah pasien mendapat terapi antibiotik
dan terjadi di rumah sakit, diduga ada kuman
baru yang berperan dan berasal dari rumah
sakit, hal ini dapat terjadi karena pasien
immunokompromais.
Dipilih
antibiotik
yang spektrumnya dominan mengatasi
kuman gram negatif karena meskipun telah
mendapat terapi untuk gram positif namun
infeksi baru tetap muncul. Diberikan cefotaxim
dan antibiotik anaerob yang dapat masuk ke
jaringan, yaitu clindamicin.
Penelitian menunjukkan kombinasi antibiotik
untuk gram negatif dan anaerob yang baik
adalah ceftriaxone-metronidazole. Kombinasi
ini memiliki efektivitas yang sama namun
biaya lebih murah dibandingkan ticarcillinclavulanate.19 Alternatif lain untuk cefotaxim
adalah ciprofloxacin oral dosis 2 x 750 mg.15
Cefotaxim 3 x 1 gram per hari diberikan
secara intravena karena dijumpai tanda-tanda
inflamasi sistemik dan clindamycin diberikan
per oral karena tidak ada sediaan intravena
dengan dosis 3 x 300 mg/hari. Antibiotik

diberikan selama 14 hari.


Berdasarkan pola kuman di RSCM tahun 2010,
kuman gram negatif yang banyak didapat dari
sampel pus adalah Acinetobacter, Klebsiella
pneumonia, Pseudomonas, dan E. coli.18 Data
ini hanya menunjukkan jenis kuman yang
didapat, tetapi tidak dapat disimpulkan apakah
kuman tersebut berasal dari komunitas atau
nosokomial.
Berdasarkan data di atas, alur Gyssen antibiotik
cefotaxim dan clyndamcin adalah IVA,
karena ada pilihan antibiotik lain yang lebih
efektif, yaitu ceftriaxone-metronidazole atau
levofloxacin.
Gyssen 3. Levofloxacin
Lefofloxacin diberikan karena tidak ada
perbaikan klinis dan timbul ulkus baru disertai
selulitis di tungkai kanan. Demam masih ada,
masih dijumpai leukositosis dan peningkatan
kadar procalcitonin. Hasil kultur swab ulkus di
tungkai kanan tidak tumbuh kuman, hanya
tumbuh Candida spp yang dianggap sebagai
kontaminan karena jumlahnya tidak banyak.
Kuinolon memiliki distribusi luas ke jaringan
tubuh dan merupakan antibiotik yang poten
untuk infeksi bakteri gram negatif, kuinolon
golongan baru seperti moxifloxacin memiliki
aktivitas terhadap kuman anaerob yang lebih
baik dibandingkan dengan levofloxacin.20
Levofloxacin adalah fluoroquinolone dengan
bioavailabilitas tinggi dan waktu paruh
panjang, memiliki spektrum antimikroba luas,
meliputi Enterobacter dan gram positif, serta
penetrasinya baik ke jaringan lunak. Penelitian
ini menunjukkan pemberian levofloxacin
oral 500 mg per hari mampu memberikan
konsentrasi antibiotik yang cukup ke jaringan
terinfeksi, tidak berbeda dengan penelitian
Chow dkk yang memberikan levofloxacin 1 x
750 mg.21,22
Pada pasien ini, levofloxacin diberikan selama
10 hari intravena, data awal dianggap cukup
karena ada infeksi klinis, didukung hasil
laboratorium yang sesuai dengan infeksi.
Indikasi pemberian adalah adanya infeksi
jaringan lunak yang tidak respons dengan
antibiotik sebelumnya, efikasi yang sesuai
untuk infeksi di jaringan lunak. Dibandingkan
jenis antibiotik lain seperti meropenem,
levofloxacin tidak lebih toksik dan harganya
lebih terjangkau.

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

LAPORAN KASUS
Antibiotik diberikan selama 10 hari sesuai
dengan perbaikan klinis pasien, dilakukan
secara intravena karena ingin mencapai
kadar optimum dalam darah dengan cepat.
Kadar optimum ingin cepat dicapai karena
pasien mengalami infeksi disertai insufisiensi
adrenal sekunder, apabila penanganan infeksi
tidak adekuat maka dapat memicu terjadinya
krisis adrenal. Alur Gyssen untuk pemberian
levofloxacin adalah 1.
KELEMAHAN
Pelaksanaan audit kualitatif membutuhkan
waktu, sumber daya manusia dan biaya. Namun

dampaknya diharapkan mampu mendorong


klinisi untuk lebih bijaksana dalam menggunakan antibiotik. Audit kualitatif dilakukan di akhir
pengobatan dengan berpegang pada rekam
medis, apabila rekam medis tidak mencatat
jalannya pengobatan dengan lengkap, maka
penilaian akan sulit dilakukan.
Beberapa data pendukung terapi sulit didapat
misalnya data kultur kuman. Tidak semua
infeksi bisa menghasilkan hasil kultur kuman
positif, terkait dengan lokasi infeksi, pemberian
antibiotik sebelumnya, tidak adekuatnya
pengambilan sampel, dan lain-lain.

SIMPULAN
Audit kualitatif dilakukan untuk mengevaluasi
apakah antibiotik yang diberikan untuk suatu
masalah pasien tepat atau tidak. Alur Gyssen
adalah salah satu metode audit kualitatif
pemberian antibiotik. Penerapan alur Gyssen
diharapkan dapat meningkatkan pemberian
antibiotik yang tepat.
Dalam laporan kasus ini, skor Gyssen untuk
pemberian ampicillin-sulbactam adalah 1,
skor Gyssen untuk pemberian cefotaxim dan
klindamisin adalah 4A, dan skor Gyssen untuk
pemberian levofloxacin adalah 1.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Hadi U Duerink DO, Lestari ES, Nagelkerke NJ, Keuter M, Huis Int Veld D et al. Audit of antibiotik prescribing in two governmental teaching hospitals in Indonesia. Clinical Microbiology
and Infection, Vol14, No7, July 2008: 698707.

2.

Hadi U van den Broek P, Kolopaking EP, Zairina N, Gardjito W, Gyssens IC. Cross-Sectional Study of Availability and Pharmaceutical Quality of Antbiotics Requested With or Without Prescription (Over The Counter) in Surabaya, Indonesia. BMC Infectious Diease.2010. 10; 203.

3.

Frei CR, Attridge RT, Mortensen EM, Restrepo MI, Yu Y, Oramasionwu CU et al. Guideline-concordant antibiotic use and survival among patients with community-acquired pneumonia
admitted to the intensive care unit. Clin Ther. 2010 Feb;32(2):293-9.

4.

Richard J, Sotto A, Lavigne J. New insights in diabetic foot infection. World J Diabetes 2011 February 15; 2(2): 24-32.

5.

Hahner S, Loeffler M, Bleicken B, Drechsler C, Milovanovic D, Fassnacht M, et al. Epidemiology of Adrenal Crisis in Chronic Adrenal Insufficiency: The Need for New Prevention Strategies.
Europ J Endocrinol. 2010; 162; 597-602.

6.

Waspadji S. Management of diabetic foot: finding uncomplicated solution of complicated problems. In Nelwan RHH, Zulkarnain I, Widodo J, Pohan HT, Setiawan B, Suhendro, Nainggolan
L, Santoso WJ (eds). Abstract Book 12th Jakarta Antimicrobial Update 2011.pgs 12-4.

7.

Gyssens IC. Audits for Monitoring The Quality of Antimicrobial Prescriptions. In Gould IM, Van Der Meer JWM (eds). Antibiotik Policies: Theory And Practice.Kluwer Academic Publishers.
New York 2005. pgs 197-202.

8.

Cusini A, Rampini SK, Bansal V, Ledergerber B, Kuster SP, et al. (2010) Different Patterns of Inappropriate Antimicrobial Use in Surgical and Medical Units at a Tertiary Care Hospital in Switzerland: A Prevalence Survey. PLoS ONE 5(11): e14011. doi:10.1371/journal.pone.0014011.

9.

Amstrong DG. Lipsky BA. Diabetic Foot Infections: Stepwise Medical AnD Surgical Management. Int Wound J. 2004; 1; 2; 123-32.

10. Raja NS. Microbiology of diabetic foot infections in a teaching hospital in Malaysia: a retrospective study of 194 cases. J Microbiol Immunol Infect. 2007 Feb;40(1):39-44.
11. Lily SY, Kwang LL, Susan CSY, Tan TY. Anaerobic Culture of Diabetic Foot Infection: Organism And Antimicrobial Susceptibilities. Ann Acad Med Singapore. 2008; 37: 936-9.
12. Citron DM, Goldstein EJC, Merriam CV, Lipsky BA, Abramson BA. Bacteriology of Moderate-to-Severe Diabetic Foot Infections And In Vitro Activity of Antimicrobial Agents. J Clin Microbiol
2007. Vol 45;No 9.pgs 2819-28.
13. Santoso M, Yuliana M, Mujono W, Kusdiantomo. Pattern of Diabetic Foot at Koja Regional General Hospital Jakarta from 1999-2004. Acta Med Indones. J Intern Med. 2005. Vol.37. No 4. pgs
187-9.
14. McKinnon PS, Paladino JA, Grayson ML, Gibbons GW, Karchmer AW. Cos-Effectiveness of Ampicillin-Sulbactam Versus Imipenem-Cilastatin in The Treatment of Limb-Threatening Foot
Infections In Diabetic Patients. Clin Infec Disease. 1997. 24; 57-63.
15. Swartz MN. Cellulitis. N Eng J Med. 2004; 350; 904-12.
16. Chow I, Lemos EV, Einarson TR. Management and prevention of diabetic foot ulcers and infections: a health economic review. Pharmacoeconomics. 2008;26(12):1019-35.
17. Lipsky BA, Itani K, Norden C. Treating Foot Infections in Diabetic Patients: A Randomized, Multicenter, Open-Label Trial of Linezolid Versus Ampicillin-Sulbactam/Amoxycillin-Clavulanate.
18. Loho T, Astrawinata DAW. Peta bakteri dan kepekaan terhadap antibiotic Rumah Sakit Umum Pusat Ciptomangunkusumo. Jakarta Januari-Juni 2010. RSUPNCM. Jakarta.2010 hlm 10722.
19. Clay PG Graham MR, Lindsey CC, Lamp KC, Freeman C, Glaros A. Clincal Efficacy, Tolerability, And Cost Savings Associated with the use of Open Label Metronidazole Plus Ceftriaxone Once
Daily Compared With Ticarcillin-Clavulanate Every Six Hours As Empiric Treatment For Diabetic Lower Extremities Infections in Older Males. Am J Geriatr Pharmacother.2004. 2; 3; 181-9.
20. Edmiston CE Krepel CJ, Seabrook GR, Somberg LR, Nakeeb A, Cambria RA, Tet al. In Vitro Activities of Moxifloxacin against 900 Aerobic and Anaerobic Surgical Isolates from Patients with
Intra-Abdominal and Diabetic Foot Infections. Antimicrob Agent Chemoter.2004; 48; 3; 1012-6.
21. Oberdofer K, Swoboda S, Hamann A, Baertsch U, Kusterer K, Born B et al. Tissue and serum levofloxacin concentrations in diabetic foot infection patients. J Antimicrob Chemother. (2004)
54, 8369.
22. Anderson VR, Perry CM. Levofloxacin: a review of its use as a high-dose, short-course treatment for bacterial infection. Drugs. 2008;68(4):535-65.

CDK-212/ vol. 41 no. 1, th. 2014

47

Anda mungkin juga menyukai