TONSILITIS KRONIK
Disusun oleh :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2015
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN KASUS STASE KOMPREHENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
Oleh:
Erni Hastirini H2A009018
Pembimbing :
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama : An. MM
Umur : 14 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Ambokembang 3
Pekerjaan : Pelajar
Tanggal masuk: 20 Januari 2015
B. Anamnesis
Autoanamnesa dan alloanamnesa dilakukan di poliklinik THT RSI
Muhammadiyah Pekajangan pada hari Selasa, 20 Januari 2015 pukul 11.00 WIB.
Keluhan Utama : nyeri telan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik THT RSI Muhammadiyah Pekajangan dengan
keluhan nyeri menelan yang muncul sejak 3 hari yang lalu. Nyeri dirasakan
timbul setelah pasien mengkonsumsi makanan berminyak. Pasien mengeluh
seperti ada yang mengganjal di tenggorokan sehingga pasien menjadi susah
menelan dan terasa sakit. Keluhan ini pertama kali dirasakan oleh pasien sejak 1
tahun yang lalu, dan setelah itu keluhan sering hilang timbul. Dalam 1 tahun
terakhir ini pasien mengaku setiap bulan mengalami keluhan nyeri menelan yang
biasanya diikuti batuk, pilek, dan demam. Riwayat menelan benda asing (-),
riwayat tertusuk duri ikan (-), suara serak (-), mual (-), muntah (-), mendengkur
saat tidur (-).. Pasien juga mengeluhkan mulut agak berbau, nyeri kepala (+) dan
nafsu makan menurun. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
Pasien menyangkal adanya batuk atau pilek saat datang memeriksakan diri.
Keluhan demam, nyeri pada telinga, telinga terasa mendengung, sakit gigi, dan
telinga terasa penuh disangkal oleh pasien. Pasien mengaku sering
mengkonsumsi minuman dingin, makanan berminyak, serta jajanan dan makanan
yang pedas.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengeluhkan penyakit serupa sejak 1 tahun lalu yang dirasakan hilang
timbul. Riwayat rhinitis (+), sinusitis (-), otitis (-), asma (-), riwayat trauma pada
tenggorokan (-).
Riwayat Penyakit Keluarga
Di keluarga tidak ada yang memiliki keluhan yang sama seperti pasien.
Riwayat Alergi
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi makanan, obat-obatan, riwayat
meler dan bersin-bersin saat terkena debu atau dingin (+).
Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku mengkonsumsi amoksisilin, obat batuk, dan obat demam
pada saat serangan-serangan sebelumnya. Obat tersebut diperoleh dari dokter.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalisata
- Keadaan Umum : baik
Kesadaran : compos mentis
- Vital Sign
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 88 kali/mnt
RR : 20 kali/mnt
Suhu : 36,4 0C
- Kepala
- Rambut : rambut hitam, hematom (-), jejas (-)
- Mata : sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis -/- , pupil
isokor, reflek cahaya (+/+)
- Hidung : sekret (-), epistaksis (-)
- Mulut : sianosis (-), perdarahan gusi (-)
- Telinga : discharge (-), luka (-)
- Leher : simetris, pembesaran tiroid atau kelenjar getah
bening (-), deviasi trakea (-)
- Thoraks
Pulmo: I : normochest, dinding dada simetris
P : taktil fremitus kanan = kiri, ekspansi dada simetris
P : sonor di kedua lapang paru
A : suara dasar vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Cor: Gallop (-/-), murmur (-/-)
- Abdomen
Inspeksi : perut rata, warna kulit seperti sekitar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : supel, turgor kulit baik, hepar dan lien tidak teraba
membesar, nyeri ketok CVA (-/-)
Perkusi : timpani
- Ekstremitas
Superior Inferior
Akral dingin - -
Oedem -
-
Sianosis -
Gerak aktif -
Refleks fisiologis t.d.l
aktif
Refleks patologis t.d.l
t.d.l
t.d.l
2. Status Lokalis
Pemeriksaan telinga
No. Pemeriksaan Telinga Telinga kanan Telinga kiri
1. Tragus Nyeri tekan (-), edema (-) Nyeri tekan (-), edema (-)
2. Daun telinga Bentuk dan ukuran dalam Bentuk dan ukuran dalam batas
batas normal, hematoma (-), normal, hematoma (-), nyeri
nyeri tarik aurikula (-) tarik aurikula (-)
3. Liang telinga Serumen (-), hiperemis (-) Serumen (-), hiperemis (-),
membran timpani intak, furunkel (-), edema (-), otorhea
furunkel (-), edema (-), (-)
4. Membran timpani Retraksi (-), bulging (-), Retraksi (-), bulging (-),
hiperemi (-), edema (-), hiperemi (-), edema (-),
perforasi (-), cone of light (+) perforasi (-), cone of light (+)
Pemeriksaan hidung
D. Pemeriksaan Penunjang
Usulan pemeriksaan penunjang : kultur dan uji sensitifitas dari swab tonsil
E. Assessment
- Diagnosa Kerja : Tonsilitis kronik
- Diagnosa Banding : Tonsilitis difteri
Angina Plaut Vincent
F. Penatalaksanaan
Farmakologi
- Infus RL 20 tpm
- Paracetamol tab 3x500 mg
Non Farmakologi
- Diit lunak
- Obat kumur betadine tiap 4 jam selama 30 detik
- Tonsilektomi
G. Prognosis
Dubia ad bonam
H. Edukasi
Edukasi pasien dan keluarga untuk menghindari makanan yang berminyak,
minuman atau makanan dingin, manis atau yang mengiritasi tenggorokan .
Menjaga higiene mulut agar tidak terjadi tonsilitis berulang.
Anjurkan keluarga untuk menjaga kesehatan pasien dan mempersiapkan
pasien untuk melakukan operasi pengangkatan amandel jelaskan indikasi,
dan komplikasinya.
I. Follow Up
21 Januari 2015
S : nyeri telan dan terasa benjolan di tenggorokan (+), demam (-)
O : Keadaan Umum : baik
Kesadaran : compos mentis
TD = 120/80 mmHg RR = 20 kali/menit
HR = 86 kali/menit Suhu = 36,3oC
A : tonsilitis kronik
P : terapi lanjut
pro tonsilektomi
22 Januari 2015
S : pusing (+)
O : Keadaan Umum : baik
Kesadaran : compos mentis
TD = 110/60 mmHg RR = 20 kali/menit
HR = 80 kali/menit Suhu = 36,5oC
A : post tonsilektomi H1
P : amoxicillin 3x500 mg pulv
paracetamol 3x500 mg pulv
(boleh pulang)
Edukasi : tidak banyak berbicara atau meludah, diet cair/lunak, bedrest 2-3 hari,
minum obat secara teratur, hindari makan makanan yang dapat mengiritasi seperti
makanan yang digoreng atau berbumbu tajam.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pendahuluan
Tonsilitis kronis merupakan keradangan kronik pada tonsil yang biasanya
merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil.
Kelainan ini merupakan penyakit yang paling sering terjadi dari seluruh penyakit
tenggorok berulang dan merupakan kelainan tersering pada anak di bidang THT.
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT di 7 provinsi (Indonesia) pada tahun
1994-1996, prevalensi Tonsilitis Kronis 4,6% tertinggi setelah Nasofaringitis Akut
(3,8%). Sedangkan penelitian di RSUP Dr. Hasan Sadikin pada periode April 1997
sampai dengan Maret 1998 ditemukan 1024 pasien Tonsilitis kronik atau 6,75% dari
seluruh jumlah kunjungan. Data morbiditas pada anak menurut Survey Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) 1995 pola penyakit anak laki-laki dan perempuan umur 5-14
tahun yang paling sering terjadi, Tonsilitis Kronis menempati urutan kelima (10,5
persen pada laki-laki, 13,7 persen pada perempuan).1,2
Secara umum, penatalaksanaan tonsilitis kronis dibagi dua, yaitu konservatif
dan operatif. Terapi konservatif dilakukan untuk mengeliminasi kausa, yaitu infeksi,
dan mengatasi keluhan yang mengganggu. Bila tonsil membesar dan menyebabkan
sumbatan jalan napas, disfagia berat, gangguan tidur, terbentuk abses, atau tidak
berhasil dengan pengobatan konvensional, maka operasi tonsilektomi perlu
dilakukan. 2
Mengingat angka kejadian yang tinggi dan dampak yang ditimbulkan dapat
mempengaruhi kualitas hidup anak, maka pengetahuan yang memadai mengenai
tonsilitis kronis diperlukan guna penegakan diagnosis dan terapi yang tepat dan
rasional.
B. Anatomi Tonsil
Tonsil merupakan suatu akumulasi dari limfonoduli permanen yang letaknya di
bawah epitel yang telah terorganisir sebagai suatu organ. Berdasarkan lokasinya,
tonsil dibagi menjadi; Tonsilla lingualis yang terletak pada radix linguae, Tonsilla
palatina (tonsil) yang terletak pada isthmus faucium antara arcus glossopalatinus dan
arcus glossopharingicus, Tonsilla pharingica (adenoid) yang terletak pada dinding
dorsal dari nasofaring, Tonsilla tubaria yang terletak pada bagian lateral nasofaring di
sekitar ostium tuba auditiva dan Plaques dari peyer (tonsil perut), terletak pada
ileum.2
Dari kelima macam tonsil tersebut, Tonsilla lingualis, Tonsilla palatina, Tonsilla
pharingica, dan Tonsilla tubaria membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk
saluran nafas dan saluran pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin
waldeyer. Kumpulan jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan
makanan. Jaringan limfe pada cincin waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada
masa kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada umur 5 tahun dan
kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas. 2
Jaringan limfoid pada cincin waldeyer berperan penting pada awal kehidupan,
yaitu sebagai daya pertahanan local yang setiap saat berhubungan dengan agen dari
luar (makan, minum, bernafas) dan sebagai surveilens imun. Fungsi ini didukung
secara anatomis dimana didaerah faring terjadi tikungan jalannya material yang
melewatinya disamping itu bentuknya tidak datar, sehingga terjadi turbulensi
khususnya udara pernafasan. Dengan demikian kesempatan kontak berbagai agen
yang ikut dalam proses fisiologis tersebut pada permukaan penyusun cincin waldeyer
itu semakin besar.2,3
Gambar 1. Anatomi tonsil
C. Tonsilitis Kronis
Tonsillitis adalah peradangan tonsila palatina yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Sedangkan Tonsilitis kronis merupakan radang pada tonsila palatina yang
sifatnya menahun. Penyebaran infeksinya melalui udara (air borne droplets), tangan
dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak.2
Adapun yang dimaksud kronik adalah apabila terjadi perubahan histologik pada
tonsil, yaitu didapatkannya mikroabses yang diselimuti oleh dinding jaringan fibrotik
dan dikelilingi oleh zona sel sel radang. Mikroabses pada tonsilitis kronis maka
tonsil dapat menjadi fokal infeksi bagi organ organ lain, seperti sendi, ginjal,
jantung dan lain lain.6
Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut yang tidak
mendapat terapi adekuat; mungkin serangan mereda tetapi kemudian dalam waktu
pendek kambuh kembali dan menjadi laten. Proses ini biasanya diikuti dengan
pengobatan dan serangan yang berulang setiap enam minggu hingga 3 4 bulan.
Seringnya serangan merupakan faktor prediposisi timbulnya tonsilitis kronis yang
merupakan infeksi fokal.7
Faktor predisposisi lain timbulnya tonsillitis kronis ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh
cuaca, dan kelelahan fisik. Kuman penyebabnya sama dengan tonsillitis akut tetapi
kadang kuman berubah menjadi kumah golongan gram negatif. 2
D. Patologi
Karena proses peradangan yang berulang dapat menyebabkan epitel mukosa
jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti
dengan jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripte melebar.
Secara klinis kripte ini tampak di isi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga
menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di
sekitar fosa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembeasran kelenjar limfa
submandibula.2
Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas yang
dapat menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi hiperkapnia
dan dapat menyebabkan kor polmunale. Obstruksi yang berat menyebabkan apnea
waktu tidur, gejala yang paling umum adalah mendengkur yang dapat diketahui
dalam anamnesis. 6
G. Penatalaksanaan
Pengobatan pasti untuk tonsillitis kronis adalah pembedahan dengan
pengangkatan tonsil. Tindakan ini dilakukan pada kasus-kasus dimana
penatalaksanaan medis atau yang konservatif gagal untuk meringankan gejala-gejala.
Penatalaksanaan medis termasuk pemberian penisilin yang lama, irigasi tenggorokan
sehari-hari dan usaha untuk membersihkan kripte tonsil dengan alat irigasi gigi (oral).
Ukuran jaringan tonsil tidak mempunyai hubungan dengan infeksi kronis maupun
berulang. 2,8
Terapi antibiotik pada tonsilitis kronis sering gagal dalam mengurangi dan
mencegah rekurensi infeksi, baik karena kegagalan penetrasi antibiotik ke dalam
parenkim tonsil ataupun ketidaktepatan antibiotik. Oleh sebab itu, penanganan yang
efektif bergantung pada identifikasi bakteri penyebab dalam parenkim tonsil.
Pemeriksaan apus permukaan tonsil tidak dapat menunjukkan bakteri pada parenkim
tonsil, walaupun sering digunakan sebagai acuan terapi, sedangkan pemeriksaan
aspirasi jarum halus (fine needle aspiration/FNA) merupakan tes diagnostik yang
menjanjikan.6
Indikasi tonsilektomi menurut American Academy of Otolaryngology Head and
Neck Surgery Clinical Indicators Compendium tahun 1995 menetapkan : Indikasi
tonsilektomi menurut The American Academy of Otolaryngology, Head and Neck
Surgery:2,9
a) Indikasi absolut:
i) Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan nafas atas, disfagia
menetap, gangguan tidur atau komplokasi kardiopulmunar.
ii) Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofacial.
iii) Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang
tidak hilang dengan pengobatan. Otitis media efusi atau otitis media
supuratif.
iv) Tonsilitis yang menimbulkan febris dan konvulsi.
v) Biopsi untuk menentukan jaringan yang patologis (dicurigai keganasan).
b) Indikasi relatif :
i) Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam
setahun meskipun dengan terapi yang adekuat.
ii) Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang menandakan tonsilitis kronis
tidak responsif terhadap terapi media.
iii) Tonsilitis kronis atau rekuren yang disebabkan kuman streptococus yang
resisten terhadap antibiotik betalaktamase.
iv) Pembesaran tonsil unilateral yang diperkirakan neoplasma.
c) Kontra indikasi :
i) Diskrasia darah kecuali di bawah pengawasan ahli hematologi
ii) Usia di bawah 2 tahun bila tim anestesi dan ahli bedah fasilitasnya tidak
mempunyai pengalaman khusus terhadap bayi
iii) Infeksi saluran nafas atas yang berulang
iv) Perdarahan atau penderita dengan penyakit sistemik yang tidak terkontrol.
v) Celah pada palatum
H. Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya berupa
rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum. Komplikasi jauh
terjadi secara hematogen atau limfogen dan dapat timbul endokarditis, arthritis,
miositis, nefritis, uveitis, iridosiklitis, dermatitis, pruritus, urtikaria, dan furunkolosis.2
I. Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala gejala yang timbul dapat membuat penderita
tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika
tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan
bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat.6
Gejala gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita
mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang paling sering terjadi yaitu
infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus kasus yang jarang, tonsilitis dapat
menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.6
J. Pencegahan
Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari satu
penderita ke orang lain. Resiko penularan dapat diturunkan dengan mencegah
terpapar dari penderita tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit menelan. Gelas
minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan
sebaiknya dicuci dengan menggunakan air panas yang bersabun sebelum digunakan
kembali. Sikat gigi yang telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi
berulang. Orang orang yang merupakan karier tonsilitis semestinya sering mencuci
tangan mereka untuk mencegah penyebaran infeksi pada orang lain.6
DAFTAR PUSTAKA
1. Rubin MA, Gonzales R, Sande MA. 2005. Infections of the Upper Respiratory
Tract. Harrisons Principle of Internal Medicine. 16th ed. New York, NY:
McGraw Hill.
2. Rusmarjono, Soepardi EA.2001. Penyakit dan kelainan tonsil dan Faring. Buku
Ajar Ilmu THT. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
3. Nave H, Gebert A, Pabst. 2001. Morphology and immunology of the human
palatine tonsil. Anatomy Embryology 2004: 367-373.
4. Byron J., 2001. Laringology. Head and Neck Surgery-Otolaryngology 3rd
Edition, New York : Lippincott Williams and Wilkins (CD-ROM).
5. Seeley, Stephens, Tate. 2004. The Special Senses. Anatomy and Physiology,
Ch.15, 6th Ed. The McGrawHill Companies, New York
6. Nurjanna Z, 2011. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis di RSUP H. Adam
Malik Medan tahun 2007-2010. USU Institutonal Repository. [Accessed from:
http://repository.usu.ac.id/]
7. Amarudin, Tolkha et Anton Christanto. 2005. Kajian Manfaat Tonsilektomi,
Cermin Dunia Kedokteran. [Available from :
http://www.cerminduniakedoteran.com]
8. Dedya, et. Al. Tonsilitis Kronis Hipertrofi dan Obstructive Sleep Apnea (OSA)
Pada Anak. Bagian/Smf Ilmu Penyakit Tht Fk Unlam. 2009.
9. Derake A, Carr MM. Tonsillectomy. Dalam : Godsmith AJ, Talavera F, Allen Ed.
EMedicine.com.inc.2002 : 1 10