Anda di halaman 1dari 15

1

KONSELING HIV

A. Pengertian HIV
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yaitu suatu penyakit yang
ditimbulkan sebagai dampak berkembangbiaknya virus HIV (Human
Immunodeficiency Virus) didalam tubuh manusia, yang mana virus ini menyerang sel
darah putih (sel CD4) sehingga mengakibatkan rusaknya sistem kekebalan tubuh
(Endang P & Elisabeth Siwi, 2015).
HIV yaitu virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh. AIDS adalah yang
berarti kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya kekebalan tubuh yang sifatnya
diperoleh (bukan bawaan) (Eny Kusmiran, 2011).
Seseorang yang tertular HIV positif disebut ODHA (orang dengan HIV dan
AIDS), dan OHIDA adalah orang yang hidup dengan AIDS.

B. Infeksi HIV
HIV masuk kedalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu secara vertikal,
horisontal dan transeksual. Jadi HIV dapat mencapai sirkulasi sistemik secara
langsung dan diperantai benda tajam yang mampu menembus dinding pembuluh
darah atau secara tidak langsung melalui kulit dan mukosa yang tidak intek seperti
yang terjadi kontak seksual. Begitu mencapai atau berada dalam sirkulasi sistemik, 4-
11 hari sejak paparan pertama HIV dapat dideteksi di dalam darah.
1. Transmisi infeksi HIV ini dapat melalui 3 cara :
a. Secara vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak
Anak-anak terinfeksi HIV dari ibu yang terinfeksi HIV kepada janinnya
sewaktu hamil,sewaktu persalinan dan setelah melahirkan melalui pemberian
air susu ibu (ASI). Angka penularan selama kehamilan sekitar 5-10%, sewaktu
persalinan 10-20% dan saat pemberian ASI 10-20%. Virus dapat ditemukan
dalam ASI sehingga ASI merupakan perantara penularan HIV dari ibu ke bayi
pascanatal. Bila mungkin pemberian air susu oleh ibu yang terinfeksi
sebaiknya di hindari.
b. Secara transeksual (homoesksual maupun heteroseksual)
Kontak seksual merupakan salah satu cara utama transmisi HIV diberbagai
belahan dunia. Virus ini dapat ditemukan dalam cairan semen, cairan vagina,
cairan serviks. Virus akan terkonsentrasi dalam cairan semen terutama bila
terjadi peningkatan jumlah leukosit dalam cairan, seperti pada keadaan
peradangan genetalia misalnya uretritis, epididimis, dan kelainan lain yang
berhubungan dengan PMS.
Hubungan seksual lewat anus adalah merupakan transmisi infeksi HIV yang
lebih mudah karena pada anus hanya terdapat membran mukosa rektum yang
tipis dan mudah robek sehingga anus mudah terjadi lesi, bila terjadi lesi maka
2

akan memudahkan masuknya virus sehingga memudahkan untuk terjadinya


infeksi.
c. Secara horizontal yaitu kontak antar darah atau produk darah yang terinfeksi.
Darah dan produk darah adalah media1 1yang sangat baik untuk transmisi HIV.
Untuk bisa menular cairan tubuh harus masuk secara langsung ke dalam
peredaran darah. HIV pernah ditemukan dalam air liur atau ludah namun saat
ini belum ada bukti bahwa HIV bisa menular melalui air ludah. Demikian pula
dengan air susu ibu yang mengidap HIV/AIDS. HIV juga tidak terdapat dalam
air kencing, tinja (faeces) dan muntahan.
Hal ini dapat terjadi pada individu yang menerima transfusi darah atau produk
darah yang mengabaikan tes penapisan HIV. Diperkirkan bahwa 90% samapi
100% orang yang mndapat transfusi darah yang tercemar HIV akan mengalami
infeksi. Transimisi ini juga dapat terjadi pada individu pengguna narkotika
intravena dengan pemakaian jarum suntik secara bergantian atau bersama
dalam satu kelompok tanpa mengindahkan asas sterilisasi.
2. Masa Inkubasi HIV
Waktu anatara HIV masuk ke dalam tubuh sampai gejala pertama AIDS disebut
juga masa inkubasi HIV adalah bervariasi antara setengah tahun sampai lebih dari
tujuh tahun. HIV (antigen) hanya dapat dideteksi dapat waktu singkat kira-kira
setengah bulan sampai dengan 2,5 bulan sesudah HIV masuk tubuh. Untuk
membantu menegakkan diagnosis, pemeriksaan mencari HIV tidak dianjurkan
karena mahal, memakan waktu lama dan hanya dapat ditemukan dalam waktu
terbatas.
Tubuh memerlukan waktu untuk dapat menghasilkan antibodi. Waktu ini rata-rata
2 bulan, ini berarti bahwa seseorang dengan infeksi HIV dalam 2 bulan pertama
diagnosisnya belum dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium
berdasarkan penentuan antibodi. Lama waktu 2 bulan ini disebut window period.
3. Tahap-tahap Terkena HIV
a. Tahap jendela (window period)
Yaitu masa dari masuknya virus, sampai ketika dilakukan tes hasilnya positif.
Masa jendela pada beberapa orang berbeda-beda, bervariasi antara dua minggu
sampai enam bulan. Pada masa jendela ini, meskipun hasil tes negaif, apabila
seseorang terinfeksi HIV, maka ia dapat menularkan HIV pada orang lain.
b. Masa tanpa gejala
Masa tanpa gejala ini berkisar antara 5-12 tahun, dimana seseorang benar-benar
terinfeksi HIV tetapi tidak ada gejala apapun secara fisik yang berkaitan
dengan infeksi.

c. Masa pembesaran kelenjar limfe


Pada tahapan ini, seorang ODHA akan mengalami pembengkakan pada
kelenjar limfe, biasanya terjadi beberapa kali secara berulang.
3

d. Tahap AIDS
Tahap akhir atau yang disebut full blown AIDS, pada umumnya muncul gejala
yang khas yaitu adanya gejala mayor dan minor.
4. Tanda-tanda Terserang HIV
Gejala orang yang terinfeksi HIV menjadi AIDS bisa dilihat dari 2 gejala yaitu :
gejala Mayor (umum terjadi) dan gejala Minor (tidak umum terjadi).
a. Gejala mayor :
1) BB menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan.
2) Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan.
3) Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan.
4) Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis.
5) Dimensia atau HIV Ensefalopati.
b. Gejala minor :
1) Batuk menetap lebih dari 1 bulan.
2) Dermatitis generalisata.
3) Adanya herpes zostermulti sekmental dan herpes zoster berulang.
4) Kandidias orofaringeal.
5) Herpes simpleks kronis progresif.
6) Limfa denopati generalisata.
7) Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.
8) Retinitis virus sitomegalo
5. HIV tidak menular melalui kontak sosial seperti
a. Bersentuhan dengan ODHA.
b. Berjabat tangan dengan ODHA.
c. Berciuman, bersin dan batuk.
d. Melalui makanan dan minuman.
e. Gigitan nyamuk dan serangga lainnya.
f. Berenang bersama ODHA dikolam renang.
HIV mudah mati diluar tubuh karena terkena air panas, sabun dan bahan pencuci
hama.

C. Konseling HIV/AIDS
1. Pengertian
Konseling adalah proses ketika seseorang yang mengalami kesulitan (klien)
dibantu untuk merasakan dan selanjutnya bertindak dengan cara yang lebih
memuaskan dirinya melalui interaksi dan seseorang yang tidak terlihat yakni
konselor. Konselor memberikan informasi dan reaksi untuk mendorong klien
mengembangkan perilaku agar dapat berhubungan secara lebih efektif dengan
dirinya sendiri dan lingkungannya (Lewis dalam Nursalam, 2007).
Konseling HIV/AIDS merupakan dialog antara seseorang (klien) dengan
pelayan kesehatan (konselor) yang bersifat rahasia, sehingga memungkinkan
orang tersebut mampu menyesuaikan atau mengadaptasi diri dengan stres dan
sanggup membuat keputusan bertindak berkaitan dengan HIV/AIDS.
4

Konseling HIV berbeda dengan jenis konseling lainnya, walaupun keterampilan


dasar yang dibutuhkan adalah sama. Konseling HIV menjadi hal yang unik
karena:
a. Membutuhkan pengetahuan yang luas tentang infeksi menular seksual (IMS)
dan HIV/AIDS.
b. Membutuhkan pembahasan mengenai praktik seks yang bersifat pribadi.
c. Membutuhkan pembahasan tentang kematian atau proses kematian.
d. Membutuhkan kepekaan konselor dalam menghadapi perbedaan pendapat dan
nilai yang mungkin sangat bertentangan dengan nilai yang dianut oleh konselor
itu sendiri.
e. Membutuhkan keterampilan pada saat memberikan hasil HIV yang positif.
f. Membutuhkan keterampilan dalam menghadapi kebutuhan pasangan maupun
anggota keluarga klien.
2. Tujuan Konseling HIV/AIDS
a. Mencegah penularan HIV dengan cara merubah perilaku. Untuk mengubah
perilaku, ODHA tidak hanya membutuhkan informasi belaka, tetapi yang jauh
lebih penting adalah pemberian dukungan yang dapat menumbuhkan motivasi
mereka, misalnya dalam perilaku seks aman, tidak berganti-ganti jarum suntik,
dan lain-lain.
b. Meningkatkan kualitas hidup ODHA dalam segala aspek baik medis,
psikologis, sosial, dan ekonomi. Dalam hal ini konseling bertujuan untuk
memberikan dukungan kepada ODHA agar mampu hidup secara positif.
Dalam hal ini, konselor juga diharapkan dapat membantu mengatasi rasa putus
asa, rasa duka yang berkelanjutan, kemungkinan stigma, diskriminasi,
penyampaian status HIV pada pasangan seksual, pemutusan hubungan kerja dan
lain-lain.
3. Ciri-ciri Konseling HIV/AIDS
Konseling merupakan kegiatan membantu klien agar dapat:
a. Memperoleh akses informasi yang benar.
b. Memahami dirinya dengan lebih baik.
c. Agar mampu menghadapi masalahnya.
d. Agar mampu berkomunikasi lebih lancar.
e. Mengantisipasi harapan-harapan, kerelaan, dan perubahan perilaku.
Konseling merupakan percakapan tanpa tujuan, juga bukan memberi nasihat atau
instruksi pada orang untuk melakukan sesuatu sesuai kehendak konselor.
Konseling bersifat sangat pribadi, sehingga membutuhkan pengembangan rasa
saling percaya. Hal ini bukan suatu hal yang baku, dapat bervariasi tergantung
kondisi daerah/wilayah, latar belakang klien, dan jenis layanan medis/sosial yang
tersedia. Konseling bersifat tidak eksklusif, artinya setiap orang yang diberi
pelatihan khusus dapat menjadi seorang konselor.
4. Konseling HIV Dianjurkan Untuk Keadaan Berikut:
a. Orang yang sudah diketahui menderita AIDS atau terinfeksi HIV, dan
keluarganya.
5

b. Mereka yang sedang di tes untuk HIV (sebelum dan sesudah tes).
c. Mereka yang sedang mencari pertolongan di akibatkan perilaku resiko yang
lalu dan sekarang sedang merencanakan masa depannya.
d. Mereka yang tidak mncari pertolongan namun berperilaku risiko tinggi.
e. Orang yang mempunyai masalah akibat infeksi HIV (pekerjaan, perumahan,
keuangan, keluarga, dan lain-lain), sebagai akibat infeksi HIV.
5. Petugas Konseling
Selain dokter, perawat, psikolog, psikoterapis, pekerja sosial, dan orang dengan
profesi lain dapat dianjurkan dan dilatih untuk memberikan dukungan konseling.
Petugas konseling tidak harus merupakan petugas kesehatan yang ahli. Guru,
penyuluh kesehatan, petugas laboratorium, pemuka agama, kelompok kerja muda,
dukun tradisional, dan anggota kelompok masyarakat dapat menolong dalam
konseling pencegahan maupun konseling dukungan untuk ODHA. Jadi, pada
dasarnya yang dapat menjadi petugas konseling adalah mereka yang masih
mempunyai ruang untuk orang lain dalam dirinya.
6. Konseling Versus Edukasi Kesehatan
Perbedaan konseling dan edukasi kesehatan

Konseling Edukasi Kesehatan


a. Proses penyesuaian a.Proses belajar
b. Bersifat individual atau kelompok b.Kelompok besar atau kecil
kecil
c. Berorientasi pada masalah c.Berorientasi pada isi
d. Menurunkan stres d.Meningkatkan pengetahuan
e. Didominasi mood dan perasaan e.Didominasi oleh komprehensi
Sedangkan persamaannya adalah sebagai berikut:
a. Keduanya memberikan pengetahuan dan mengubah sikap.
b. Merupakan komunikasi dua arah.
c. Memerlukan pelatihan dalam aspek teknik.
7. Jenis Konseling HIV/AIDS
Ada beberapa jenis konseling yang dapat dilakukan untuk para penderita
HIV/AIDS. Jenis konseling itu adalah sebagai berikut:
a. Konseling untuk pencegahan terjadinya HIV/AIDS.
b. Konseling pra-tes.
c. Konseling pasca-tes.
d. Konseling keluarga.
e. Konseling berkelanjutan.
f. Konseling pada mereka yang menghadapi kematian.

D. VCT (Voluntary Counseling Testing)


VCT adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog yang berlangsung tak terputus
antara konselor dan kliennya dengan tujuan untuk mencegah penularan HIV,
memberikan dukungan moral, informasi, serta dukungan lainnya kepada ODHA,
keluarga, dan lingkungannya (Nursalam, 2007).
6

1. Tujuan VCT:
a. Upaya pencegahan HIV/AIDS.
b. Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi/pengetahuan
mereka tentang faktor-faktor risiko penyebab seseorang terinfeksi HIV.
c. Upaya pengembangan perubahan perilaku, sehingga secara dini mengarahkan
mereka menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk akses terapi
antiretroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam mayarakat.
2. Tahap VCT
a. Sebelum deteksi HIV (Pra-Konseling)
Pra-konseling juga disebut konseling pencegahan AIDS. Dua hal yang
penting dalam konseling ini, yaitu aplikasi perilaku klien yang menyebabkan
dapat klien berisiko tinggi terinfeksi HIV/AIDS dan apakah klien mengetahui
tentang HIV/AIDS dengan benar. Apabila perilaku klien tidak berisiko,
biasanya setelah mengetahui dengan benar bagaimana cara AIDS menular,
maka klien akan membatalkan pemeriksaan. Konselor harus lebih berhati-hati
pada klien dengan perilaku berisiko tinggi karena harus diteruskan dengan rinci
tentang akibat yang akan timbul apabila hasil tes sudah keluar. Tujuan dari
konseling ini adalah untuk mengubah pola tingkah laku. Di Amerika Serikat
setelah konseling ini berhasil, maka klien akan membubuhkan tanda tangan
pada surat persetujuan diperiksa yang antara lain berisi keamanan klien
bahwa identitasnya tidak akan dibocorkan.
Hal yang perlu ditanyakan oleh konselor yaitu ada tidaknya sumber
dukungan moral dalam hidup klien yang dapat membantu ketika menunggu
hasil tes sampai hasil diagnosis keluar (apa pun hasil, tesnya baik positif atau
negatif). Masa ketika menunggu hasil tes adalah masa yang paling berat bagi
klien. Saat itu, jika tidak ada seorangpun sebagai pendukung moral maka
konselor diharapkan dapat bertindak sebagai keluarga bagi klien.
Tujuan konseling pra-tes HIV/AIDS: terdapat beberapa tujuan
dilakukannya konseling pra-tes pada klien yang akan melakukan tes
HIV/AIDS. Tujuan tersebut adalah agar:
1) Klien memahami benar kegunaan tes HIV/AIDS.
2) Klien dapat menilai risiko dan mengerti persoalan dirinya.
3) Klien dapat menurunkan rasa kecemasannya.
4) Klien dapat membuat rencana penyesuaian diri dalam kehidupannya.
5) Klien memilih dan memahami apakah ia akan melakukan tes darah
HIV/AIDS atau tidak.
Lima prinsip praktis konseling pra-tes HIV
1) Motif dari klien HIV/AIDS; klien yang secara sukarela (voluntary) dan
secara paksa (compulsory) mempunyai perasaan yang berbeda dalam
menghadapi segala kemungkinan, baik pra-tes atau pasca tes.
2) Interpretasi hasil pemeriksaan :
a) Uji saring atau skrining dan tes konfirmasi.
b) Asimptomatik atau gejala nyata (Full Blown Symptom).
7

c) Tidak dapat disembuhkan (HIV) tetapi masih dapat diobati (infeksi


sekunder).
3) Estimasi hasil:
a) Pengkajian risiko bukan hasil yang diharapkan.
b) Masa jendela.
4) Rencana ketika hasil diperoleh; apa yang akan dilakukan oleh klien ketika
telah mengetahui hasil pemeriksaan, baik positif maupun negatif.
5) Pembuatan keputusan; klien dapat memuruskan untuk mau dan tidak mau
diambil darahnya guna dilakukan pemeriksaan HIV.
b. Deteksi HIV (sesuai keinginan klien dan setelah klien menandatangani lembar
persetujuan-informed consent)
Tes HIV adalah tes darah yang digunaka untuk memastikan apakah
seseorang sudah positif terinfeksi HIV atau belum. Caranya adalah dengan cara
mendeteksi ada tidaknya antibodi HIV dalam sampel darahnya. Hal ini perlu
dilakukan agar seseorang bisa mengetahui secara pasti status kesehatan dirinya,
terutama status kesehatan yang menyangkut risiko dari perilakunya selama ini.
Tes HIV harus bersifat:
1) Sukarela: orang yang akan melakukan tes HIV haruslah berdasarkan atas
kesadarannya sendiri, bukan atas paksaan/tekanan orang lain. Ini juga
berarti bahwa ia setuju untuk dites, setelah ia mengetahui hal-hal apa saja
yang tercakup dalam tes itu, apa keuntungan dan kerugian dari tes, serta apa
saja implikasi dari hasil tes yang positif maupun hasil negatif.
2) Rahasia: apa pun hasil tes ini, baik positif ataupun negatif, hanya boleh
diberitahu langsung kepada orang yang bersangkutan.
3) Tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, baik orang tua/pasangan, atasan,
atau siapa pun.
c. Pasca-konseling: konseling setelah deteksi HIV
Pasca konseling merupakan kegiatan konseling yang harus diberikan setelah
hasil tes diketahui, baik hasilnya positif maupun negatif, konseling pasca-tes
sangat penting untuk membantu mereka yang hasilnya HIV positif agar dapat
mengetahui cara menghindarkan penularan HIV kepada orang lain. Cara untuk
bisa mengatasinya maka konseling pasca-tes bermanfaat untuk membantu
tentang berbagai cara mencegah infeksi HIV di masa menadatang.
Tujuan konseling pasca-tes;
Hasil negatif:
1) Klien dapat memahami arti periode jendela.
2) Klien dapat membuat keputusan akan tes ulang atau tidak, kapan waktu
tepat untuk mengulang.
3) Klien dapat mengembangkan pedoman praktis bagi dirinya untuk
mengurangi risiko melalui perilakunya.
Hasil positif:
1) Klien dapat memahami dan menerima hasil tes secara tepat.
2) Klien dapat menurunkan masalah psikologis dan emosi karena hasil tes.
8

3) Klien dapat mnyesuaikan kondisi dirinya dengan infeksi dan menyusun


pemecahan masalah serta dapat menikmati hidup.
4) Klien dapat mengembangkan pedoman praktis bagi dirinya untuk
mengurangi risiko melalui perilakunya.

E. Upaya Pencegahan dan Penaggulangan HIV


1. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual
Infeksi HIV terutama terjadi melalui hubungan seksual, sehingga pencegahan
AIDS perlu difokuskan pada hubungan seksual. Agar terhindar dari tertularnya
HIV dan AIDS seseorang harus berperilaku seksual yang aman dan bertanggung
jawab. Yaiutu hanya mengadakan hubungan seksual dengan pasangan sendiri
(suami/istri sendiri). Apabila salah seorang pasangan sudah terinfeksi HIV maka
dalam melakukan hubungan seksual harus menggunakan kondom secara benar.
Melakukan tindakan seks yang aman, dengan pendekatan ABC (Abstinent, Be
faithful, Condom), yaitu tidak melakukan aktivitas seksual (abstinent) merupakan
metode paling aman untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual,
tidak berganti-ganti pasangan (Be faithful) dan penggunaan condom (use
condom).
2. Pencegahan melalui darah
a. Transfusi darah
Memastikan bahwa darah yang pakai untuk transfusi tidak tercemar HIV.
b. Alat suntik dan alat lain yang dapat melukai kulit
Desinfeksi atau membersihkan alat-alat seperti jarum, alat cukur, alat tusuk
untuk tindik dan lain-lain dengan pemanasan atau larutan desinfektan
c. Pencegahan penularan dari Ibu Anak
Diperkirakan 50% bayi yang lahir dari ibu yang HIV positif akan terinfeksi
HIV sebelum, selama dan tidak lama sesudah melahirkan. Penularan HIV dari
seorang ibu yang terinfeksi dapat terjadi selama masa kehamilan, selama
proses persalinan atau setelah kelahiran melalui ASI. Tanpa adanya intervensi
apapun sekitar 15 % sampai 30% ibu dengan infeksi HIV akan menularkan
infeksi selama selama masa kehamilan dan proses persalinan. Pemberian ASI
meingkatkan resiko penularan sekitar 10-15%. Resiko ini tergantung pada
faktor-faktor klinis dan bisa saja bervariasi tergantung pada pola dan lamanya
masa menyusui. Ibu-ibu yang menderita HIV/AIDS memerlukan konseling.
Sebaiknya ibu dengan HIV/AIDS tidak hamil. Seorang bayi yang baru lahir
akan membawa antibodi ibunya, begitupun kemungkinan positif dan negatif
nya si bayi tertular HIV adalah tergantung dari seberapa parah tahapan
perkembangan AIDS pada diri sang ibu. Sebaiknya lakukan test darah sebelum
hamil. Mencegah perluasan epidemik HIV dari kelomok IDU ke masyarakat
luar (general population) terutama pada pasangan seksual pada IDU dan pada
bayi-bayi yang dikandungnya. Untuk mencegah dampak buruk narkotika atau
harm reduction maka strategi yang ditempuh adalah membantu
9

penyalahgunaan NAPZA untuk berhenti menggunakan NAPZA (abstinent),


mengusahakan agar selalu memakai jarum suntik yang steril dan tidak
independent.
Penularan dari Ibu dan Anak dapat dikurangi dengan cara Testing dan
konseling ibu hamil, Pemberian obat antiretroviral bagi ibu hamil yang
mengidap HIV :
1) Pengobatan
Jelas bahwa pengobatan preventatif antiretroviral jangka pendek merupakan
metode yang efektif dan layak untuk mencegah penularan HIV dari Ibu ke
Anak. Ketika dikombinasikan dengan dukungan dan konseling makanan
bayi, dan penggunan metode pemberian makanan yang lebih aman,
pengobatan ini dapat mengurangi resiko infeksi anak hingga setengahnya.
Regimen ARV khususnya didasarkan pada nevirapine atau zidovudine.
Nevirapine diberikan dalam satu dosis kepada ibu saat proses persalinan dan
dalam satu dosis kepada anak dalam waktu 72 jam setelah kelahiran.
Zidovudine diketahui dapat menurunkan resiko penularan ketika diberikan
kepada ibu dalam enam bulan terakhir masa kehamilan, dan melalui infus
selama proses persalinan dan kepada sang bayi selama enam minggu setelah
kelahiran. Bahkan bila zidovudine diberikan di saat akhir kehamilan, atau
sekitar saat masa kehamilan, resiko penularan dapat dikurangi menjadi
separuhnya. Secara umum efektivitas regimen obat-obatan akan sirna bila
bayi terus terpapar pada HIV melalui pemberian ASI.
Ada pun tujuan pemberian obat-obatan pada penderita AIDS adalah
untuk membantu memperbaiki daya tahan tubuh, meningkatkan kualitas
hidup bagi mereka yang diketahui terserang virus HIV dalam upaya
mengurangi angka kelahiran dan kematian.
2) Operasi caesar
Dari umlah bayi yang terinfeksi melalui penularan ibu ke anak diyakini
bahwa sekitar dua pertiga terinfeksi selama masa kehamilan dan sekitar saat
persalinan. Proses persalinan melalui vagina dianggap lebih meningkatkan
resiko penularan dari ibu dan anak, sementara operasi caesar telah
menunjukan kemungkinan terjadinya penurunan resiko.
3) Menghindari pemberian ASI
Resiko penularan dari ibu ke anak meningkat tatkala anak disusui.
Walaupun ASI dianggap sebagai nutrisi yang terbaik bagi anak, bagi ibu
penyandang HIV positif sangat dianjurkan mengganti ASI dengan susu
formula guna mengurangi resiko penularan terhadap anak. Namun
demikian, ini hanya dianjurkan bila susu formula tersebut dapat memenuhi
kebutuhan gizi anak bila formulasi bayi itu dapat dibuat dalam kondisi
higienis dan bila biaya susu formula terjangkau oleh keluarga.
10

4) Mencegah kehamilan pada perempuan yang terinfeksi HIV. Ada 3 strategi


yang di rencanakan yaitu :
a) Cegah kehamilan yang tidak diinginkan dengan memperluas jangkauan
pelayanan KB bagi semua perempuan termasuk mereka yang terinfeksi
HIV, melalui VCT, dukungan dan pelayanan untuk menegah kehamilan
yang tidak diinginkan. Bagi yang sudah terinfeksi HIV agar mendapatkan
perawatan esensial dan dukungan termasuk keluarga berencana dan
kesehatan. reproduksinya sehigga mereka dapat membuat keputusan
tentang kesehatan reproduksinya dimasa datang.
b) Tunda kehamilan berikutnya bila ibu tetap menginginkan anak, WHO
menyarankan jarak antar kehamilan minimal 2 tahun. Untuk mencegah
kehamilan, tidak diperkenankan menggunakan alat kontrasepsi dalam
rahim karena mungkin dapat menjalarkan infeksi ke atas sehingga
menimbulkan penyakit infeksi pelvis. Perempuan yang memakai IUD
juga mempunyai kecendrungan mengalami perdarahan yang dapat
menyebabkan penularan lebih mudah terjadi. kontrasepsi yang
dianjurkan adalah kondom. Kontrasepsi oral dan kontrasepsi hormon
berjangka panjang juga tidak merupakan kontraindikasi pada perempuan
yang terinfeksi HIV. Untuk yang tidak ingin punya anak lagi maka
sterilisasi (tubektomi dan vasektomi) adala tindakan yang paling tepat.
c) Gantikan efek kontrasepsi menyusui. Tindakan tidak menyusui untuk
mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi menyebabkan efek kontrasepsi
laktasi menjadi hilang. Oleh karena itu, perlu penanganan alat
kontrasepsi lain untuk mencegah kehamilan.
Pencegahan penularan HIV pada bayi dan anak WHO merencanakan 4
strategi untuk mencegah penularan HIV terhadap bayi yaitu:
a) Melakukan pencegahan primer agar seluruh perempuan tidak sampai
terinfeksi HIV.
b) Bila sudah terinfeksi, cegah jangan sampai ada kehamilan yang tidak di
inginkan.
c) Bila sudah hamil, cegah penularan dari ibu ke bayi dan anaknya.
d) Bila ibu dan anak sudah terinfeksi, berikan dukungan dan perawatan bagi
orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan keluarganya.
5) Intervensi untuk mencegah penularan HIV dari ibu ODHA ke janinnya
Intervensi pencegahan penularan HIV dari ibu janin/bayinya terdiri dari 4
hal mulai saat hamil, saat melahirkan dan setelah lahir yakni sebagai
berikut:
a) Penggunaan antiretroviral selama kehamilan.
b) Penggunakan antiretroviral saat persalinan dan pada bayi yang baru
dilahirkan.
c) Penanganan obstretik selama kehamilan.
d) Penatalaksaaan selama menyusui.
11

Pemberian terapi antiretroviral (ART) mempunyai persyaratan-


persyaratan tertentu misalnya jumlah CD4 kurang dari 200, tetapi
pemberian ART pada ibu ODHA hamil dengan tujuan mencegah
penularan HIV dari ibu ke janin/bayinya tidak memperhatikan
persyaratan tersebut diatas. Di negara berkembang ART yang dianjurkan
untuk diberikan dokter antara lain Nevirapine AZT. Pemberian
Nevirepine : kepada ibu : diberikan 200mg dosis tunggal saat persalinan.
Kepada bayi 2mg/kg berat badan dosis tunggal, bila mungkin sebaiknya
diberikan pada hari ke 1 atau sekurang-kurangnya sebelum usia 3 hari
(dalam 72 jam pertama kehidupan).
Cara persalinan yang disarankan untuk mencegah penularan HIV dari ibu
ke bayi/anak. Dari studi yang dilakukan pada 8.533 pasangan ibu dan
anak di Amerika Utara dan Eropa didapatkan bahwa bedah Caesar elektif
sebelum inpartu dan sebelum pecah ketuban dapat menurunkan resiko
penularan HIV dari ibu ke bayi sebesar 50% dibandingkan dengan
persalinan pervaginam. Meskipun demikian bedah casesar juga beresiko
terutama pada ibu ODHA yang dimunitasnya sangat lemah.
Dai Zambia dilaporkan 75% ODHA mengalami keterlambatan
penyembuhan luka dengan resiko infeksi meningkat, di Ruanda bedah
Caesar bahkan menyebabkan kematian penderita ODHA meningkat.
Oleh karena itu, WHO tidak merekomendasikan tetapi juga tidak
melarang untuk melakukan bedah caesar mengingat kondisi masing-
masing daerah berbeda. WHO menganjurkan perlunya dipertimbangkan
biaya untuk tindakan tersebut, dan komplikasi pasca bedah akibat
imunitas ibu yang rendah dan karna itu penting tindak lanjut operasi
(Depkes RI dalam Saroha, 2009).
Beberapa tindakan obstreti invasif tidak diperbolehkan mengingat resiko
penularan HIV dari ibu ke bayi karena dapat menjadi jalur penularan HIV.
Tindakan tersebut yaitu :
a) Episiotomi secara rutin.
b) Ekstraksi vakum.
c) Ekstraksi cunam.
d) Memecahkan ketuban sebelum pembukaan lengkap.
e) Terlalu sering melakukan periksa dalam.
f) Memantau analisa gas darah janin selama persalinan karena sample darah
diambil dari kulit kepala janin.
Perhatikan pasca persalinan;
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mencegah penularan HIV
pada bayi/anak pasca persalinan yaitu :
a) Kontrasepsi
Jika bayi tidak disusui ibunya maka membuat kontrasepsi karena menyusui
akan hilang. Oleh karena itu, pasnagan harus memakai kontrasepsi untuk
12

menghindari atau menunda kehamilan berikutnya. Paling lambat 4 minggu


sesudah melahirkan ibu yang terinfeksi HIV sudah harus memakai alat
kontrasepsi.
b) Menyusui
Bagi ibu yang status serologisnya belum diketahui disarankan untuk
menyusui bayinya secara eksklusif selama 6 bulan dan dapat dilanjutkan
sampai 2 tahun atau lebih. Makanan alternatif mulai diberikan sejak bayi
berusia 6 bulan.
Bagi ibu yang positif terinfeksi HIV, sebaiknya tidak menyusui bayinya
karena dapat terjadi penularan HIV pada bayi antara 10-20%, apalagi bila
payudara lecet atau radang pada payudara. Bila ibu tidak bisa membeli susu
formula, lingkungan dan sosiokultur tidak memungkinkan, tidak terjangkau
dan tidak aman, maka bayi dapat diberikan ASI ekslusif selama 4-6bulan
pertama kehidupannya dan selanjutnya segera dipisah.
Pada bayi yang mendapat makanan tambahan pada usia kurang dari 6 bulan
dapat jeriadi stimulasi imunologis secara dini akibat kontak dengan
makanan yang terlalu dini sehingga terjadi gangguan pencernaan yang
mengakibatkan permiabilitas usus meningkat yang dapat menjadi tempat
masuknya HIV.
Pemberian ASI secara ekslusif selama 4-6bulan mengurangi morbiditas dan
mortalitas akibat infeksi selain HIV. Pemberian makanan tambahan juga
berkaitan dengan resiko mastitis akibat terkumpulnya ASI pada payudara
ibu. Cara lain untuk menghindari penularan HIV adalah dengan
menghangatkan ASI diatas 660C untuk membunuh virus HIV dan menyusui
hanya dilakukan dalam beberapa bulan saja. Makanan alternatif selanjutnya
perlu dikonsultasikan dengan hali gizi agar anak tidak salah gizi dan mudah
terserang penyakit infeksi termasuk HIV.
c) Terapi antiretroviral dan imunisasi
Terapi antiretroviral (ART) semakin penting setelah ibu melahirkan karena
ibu yang harus memelihara dan merawat anaknya sampai cukup besar.
Tanpa retroviral dikhawatirkan usia ibu tidak cukup panjang. Sebelum
mendapatkan terapi antiretroviral, ibu perlu diberi konseling. Sesuai dengan
protokol ART, minimal dalam 6 bulan sudah harus sudah periksa CD4.
Bayi harus mendapatkan imunisasi seperti bayi sehat. Tes HIV harus sudah
dilakukan saat bayi 12 bulan, bila hasil tes positif diulang kembali saat usia
anak 18 bulan.

F. Pemeriksaan Tes HIV


1. ELISA ( Enzym Liked Immuno Sorbent Assay), test ini digunakan mencari
antibodi yang ada dalam darah seseorang termasuk HIV. Sifat test ini sangat
sensitif dalam membaca kelainan darah.
13

2. Western Bolt, test ini dapat mendeteksi kehadiran antibodi HIV dengan lebih
akurat tetapi lebih mahal dari ELISA.
3. DIPSTICK HIV ( En Te Be), test ini merupakan jenis test yang cepat dan murah.
Sifat cukup sensitif dan spesifik dalam melihat kelainan darah.

Daftar Pustaka

Kurniawati, Ninuk Dian. Nurs, Nursalam M. (2007). Asuhan Keperawatan pada Pasien
Terinfeksi HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika.
Kusmiran, Eny. (2011). Kesehatan Reproduksi Remaja Dan Wanita. Jakarta: Salemba
medika.
Pinem, Saroha. (2009). Kesehatan Reproduksi dan Kontrasepsi. Jakarta: TIM.

Purwoastuti, Th. Endang. Walyani, E.S. (2015). Panduan Materi Kesehatan Reproduksi
dan Keluarga Berencana. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
14

MAKALAH

KONSELING HIV

Mata Kuliah Keperawatan Maternitas Prodi S-1 Keperawatan (B)

Oleh:

Dewi Angelina Heni Ketut (30120116027K)


Erlina Mega Candra (30120116023K)
Mulyanus (30120116006K)
Nadia Diva Devina (30120116019K)
Tasya Kurniasari Athuhema (30120116015K)
Viktoria Elisabeth Rau (30120116010K)
15

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS


PADALARANG
2017

Anda mungkin juga menyukai