Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

AQIDAH ISLAM DAN TANTANGAN ZAMAN

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Aqidah Islam

Disusun oleh :

IKLIMAH

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
PROF .DR. HAMKA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dunia modern yang antara lain ditandai oleh semakin hilangnya batas ruang dan waktu telah
membuat kehidupan manusia semakin kompleks. Semakin cepatnya perputaran siklus kehidupan, membuat
orang merasakan terbatasnya waktu yang hanya tersedia 24 jam sehari. Untuk memperluas kemampuan
manusia mengatasi keterbatasan waktu tersebut dibuatlah perangkat teknologi seperti internet. Ini berguna
untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah setiap manusia dalam merebut peluang kehidupan didunia
ini.
Islam dan Tantangan Zaman, suatu judul yang menimbulkan pertanyaan yang biasa dibahas oleh
bayak kalangan. Segelintir orang (ekstrimis) beranggapan bahwa Islam dan Tantangan Zaman adalah suatu
paduan kata yang tidak tepat untuk di sandingkan, menurut mereka Tantangan Zaman adalah pintu
utamanya bidah dan bidah adalah virusnya agama.
Disamping itu, sebagian orang berpendapat bahwa kembali ke Islam artinya kembali ke
zaman doeloe. Ada juga yang mengatakan, jika kembali ke Islam kita akan mundur beberapa ratus tahun
ke belakang, seolah-olah jika kita menjalankan aturan Islam secara kaffah maka kita harus meninggalkan
semua teknologi yang kita miliki.
Perbedaan pendapat dan sikap umat Islam dalam menyikapi modernisasi inilah yang mendorong
kami untuk mencoba menyampaikan informasi yang sebenarnya mengenai Islam dan modernisme. Semoga
tulisan ini menjadi memberi mamfaat bagi kita semua.
Dunia yang berorientasi materialistik telah menghantarkan manusia kedalam kehidupan tanpa
kebahagiaan. Semakin kaya harta, semakin miskin mereka dalam kebahagiaan hidup. Tetapi dalam Islam
bekerja keras mengumpulkan ilmu dan harta merupakan ibadah, karena ilmu dan harta tersebut harus
diamalkan untuk kepentingan umat manusia.
Kegiatan mengumpulkan ilmu dan harta pasti tidak akan lepas dari kerja keras dan pemanfaatan
waktu, tenaga, dan biaya secara efisien. Kesibukan inilah yang seringkali menggoda manusia untuk
melupakan Allah, saudara sesama muslim dan bahkan dirinya sendiri. Padahal jika disadari, semua yang
dilakuikan manusia adalah sia-sia tanpa ridho dan kekuasaan Allah.
Saat ini banyak orang yang bertindak semau gue, mereka menunda-nunda waktu sholat, puasa,
zakat, dan lainnya.
Mereka menganggap bahwa ibadah-ibadah ini tidak memberikan dampak dalam ekonomi dan
materi. Padahal prilaku seseorang itu ditentukan oleh kualitas imannya, jika iman mereka bagus dan mantap
maka akan melahirkan prilaku yang bagus. Maka sasaran utama yang dilakukan adalah bagaimana
meluruskan kualitas akidah dan ibadah mereka.
Perlu direnungkan bersama salah satu ayat dari wahyu Allah SWT dalam Al-Quran surat An-Nahl
ayat 125 :
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmua dengan penuh hikat dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapatkan
petunjuk.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penulis tertarik untuk membuat sebuah makalah tentang
AQIDAH ISLAM DAN TANTANGAN ZAMAN.
1.2 Batasan Makalah
Tulisan ini membahas masalah seputar Pengertian Aqidah Islam dan Tantangan Zaman
(Modernisme), Sejarah Perkembangan Islam dan Modernisme, Filter Modernisasi, Modernisasi Agama,
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah memberikan informasi mengenai Islam dan Tantangan
Zaman (Modernisme) dan dapat memberikan landasan menyikapi modernisme Islam yang terjadi saat ini.
1.4 Rumusan Masalah
Dari asumsi diatas maka penulis tertarik untuk menampilkan permasalahan dalam penelitian ini
yaitu bagaimanakah peranan aqidah islam dalam menghadapi tantangan zaman (modernisasi) yang terjadi
saat ini ?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aqidah Islam
a. Pengertian Aqidah Islam
Sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab kamus (salah satunya Lisnul Arab dan al-Mujamul
wasth), secara bahasa aqidah memiliki arti: ikatan (ar-rabth), pengesahan (al-ibrm), penguatan (al-
ihkm), menjadi kokoh (at-tawatstsuq), pengikatan dengan kuat (as-syaddu biquwwah), komitmen (at-
tamsuk), pengokohan (al-murshah), penetapan (al-itsbtu, al-jazmu) dan yakin (al-yaqn).
Maka dikatakan aqidah, berarti ketetapan hati yang sudah pasti, di mana tidak ada keraguan pada
orang yang mengambil keputusan, baik benar atau pun salah. (Abdullah bin Abdil Hamid al-Atsari dalam
al-wajz, 1422: 33-34)
Apabila dikaitkan dengan istilah Aqidah Islam, berarti keimanan yang pasti kepada Allah dengan
segala pelaksanaan kewajiban mengesakanNya dan taat kepadaNya, meyakini malaikat-malaikatNya, kitab-
kitabNya, rasul-rasulNya, hari akhir, taqdir dan seluruh perkara ghaib yang ditetapkan adanya serta seluruh
berita yang pasti (qathiy) baik secara ilmu dan amal. (Nshir bin Abdil Karim al-Aql dalam Mujmal Ushl
Ahlus Sunnah wal Jamah fil Aqdah, 1412:5)
Rincian dari definisi istilah ini, merupakan cerminan rukun iman yang enam, di mana para ulama
meyebutnya dengan pokok keimanan yang enam (Ushul imn as-sittah), pokok agama (ushuluddn), pokok
keyakinan (ushlul Itiqd) atau asas keyakinan Islam (assul aqidah al-islmiyyah).
b. Sumber-Sumber Akidah Islam
Kembali mengenai akidah, Mengapa akidah diistilahkan dengan tauqifiyah? Karena akidah tidak
bisa ditetapkan kecuali dengan dalil syarI, tidak ada medan ijtihad, dan berpendapat di dalamnya, terbatas
kepada apa yang ada di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Allah subhaanahu wa taala menjamin orang
yang berpegang teguh kepada Al-Quran dan As-Sunnah dengan kesatuan kata, yaitu kebenaran akidah dan
kesatuan manhaj. Allah subhaanahu wa taala berfirman, Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali
agama Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. (QS. Ali Imran: 103).
Oleh karena itu, mereka disebut firqah najiyah (golongan yang selamat). Ketika ditanya tentang satu
golongan tersebut, beliau menjawab, Mereka adalah orang yang berada di atas ajaran yang sama dengan
ajaranku pada hari ini, dan para sahabatku. (HR. Ahmad).
Terjadinya banyak penyimpangan sudah diperkirakan oleh Rasulullah sehingga umat ini menjadi
terpecah-pecah dan retaklah umat Islam, mereka berpaling dari sumber akidah yang shahih, yaitu Al-Quran
dan As-Sunnah dan membuat landasan kehidupan baru dari ilmu-ilmu kalam dan kaidah-kaidah manthiq
yang diwarisi dari filsafat Yunani dan Romawi.
2.2 Rumusan Aqidah Islam
Rukun-rukun Iman yang enam merupakan rumusan aqidah Islam yang mampuh menjelaskan
masalah-masalah terbesar dalam kehidupan manusia. Keenam rukun ini saling terkait dan membentuk mata
rantai dan bingkai paradigma yang jelas untuk menjawab tuntutan kebutuhan dasar manusia.
Iman kepada Allah, eksistensi, sifat-sifat dan nama-nama baik-Nya adalah poros yang menjadi orbit
kelima rukun iman lainnya. Rukun pertama ini menjadi puncak seluruh kebenaran pengabdian manusia.
Karena kelima rukun lain bagian dari kehendak-Nya dan sangat terkait dengan cara dan metodologi
memahami dan mengetahui kebenaran kehendak-Nya serta cara menyikapinya.
Iman kepada malaikat sebagai makhluk yang selalu berada di sisi Allah dan patuh tak pernah
maksiat kepada-Nya menempati posisi ke dua. Lewat salah seorang merekalah yaitu Jibril Allah
mewahyukan kehendak-Nya yang berisikan informasi yang sarat dengan petunjuk yang diperlukan manusia
dalam memahami hakikat juklak kebenaran dalam kehidupan.
Wahyu yang dihimpun dalam kitab-kitab-Nya ini menempati posisi rukun iman ke tiga. Dalam
memahami dan mengamalkan kehendak dan petunjuk ini diperlukan penerjemah sekaligus sebagai contoh
penerapannya.
Mengingat salah satu sifat dasar dan fitrah manusia yang lain adalah meniru dan mencontoh
seseorang. Maka Allah mengutus para rasul-Nya sebagai uswah hasanah yang mewariskan pemahaman dan
penerapan yang benar kepada para pengikut-nya yang setia. Betapa pentingnya mengakui kehadiran contoh
ini sehingga menempati rukun iman ke empat yang statemennya disatukan dalam kalimah syahadat yang ke
dua. Setiap manusia menghendaki hasil yang dipetik dari jerih payah yang dilakukannya. Sekaligus
membuktikan dan mengalami kebenaran setiap petunjuk dari Yang Maha diyakininya dalam kehidupan. Di
samping urgensi lain yang muncul saat meyakini akibat dan balasan yang diperolehnya berdampak besar
dalam mengawasi dan mengontrol kehidupannya.
Maka urgensi beriman kepada hari akhir untuk memasuki alam akhirat dan pembalasan menempati
rukun iman ke lima. Namun semua itu akan bermuara pada ketetapan Allah, baik maupun buruk, dalam
qada dan qadar-Nya. Sebagai Pencipta alam, manuisa dan kehidupan Allah tidak pernah membuat
keputusan melainkan di atas ilmu dan kebijaksanaan-Nya yang pasti. Rahmat Allah amat meliputi segala
sesuatu. Manusia tidak perlu cemas terzalimi di sisi Allah Azza wa Jalla.
Seluruh rukun iman ini merupakan bingkai dan standar kebenaran bagi manusia. Dengan keenam
rukun ini manusia mendapat kejelasan dalam memahami dan menerapkan apa arti suatu kebenaran
berdasarkan fakta-fakta argumentatif. Jika ini dianggap sebagai doktrin maka tidaklah keliru seseorang
untuk menjadikannya sebagai prinsip. Karena tidak semua doktrin bisa dinilai tidak ilmiah. Bahkan betapa
banyak sisi kehidupan manusia yang ditetapkan dengan doktrin yang sudah cukup faktual dan aksiomatis
kebenarannya.
c. Zaman Modern
Modern berarti baru, saat ini, up to date. Ini adalah makna obyektif modern. Secara subyektif makna
modern terkait erat dengan konteks ruang waktu terjadinya proses modernisasi. Nurcholis Majid melihat
zaman modern merupakan kelanjutan yang wajar pada sejarah manusia. Setelah melalui zaman pra-sejarah
dan zaman agraria di Lembah Mesopotamia (bangsa Sumeria) sekitar 5000 tahun yang lalu, umat manusia
memasuki tahapan zaman baru, zaman modern, yang dimulai oleh bangsa Eropa Barat laut sekitar dua abad
yang lalu (Majid; 2000, 450)
Zaman baru ini, menurut Arnold Toynbee seperti yang dikutip oleh Majid, dimulai sejak menjelang
akhir abad ke 15 M ketika orang Barat berterima kasih tidak kepada Tuhan tetapi kepada dirinya sendiri
karena telah berhasil mengatasi kungkungan Kristen abad pertengahan. Zaman modern merupakan hasil
dari kemajuan yang dicapai masyarakat Eropa
dalam sains dan teknologi. Pencapaian tersebut berimbas pada terbukanya selubung kesalahan dogma gereja
setelah manusia berhasil mengenal hukum-hukum alam dan menguasainya. Pengetahuan tersebut menjadi
kritik terhadap gereja dan berujung pada sikap anti gereja. Maka, di era ini, manusia menjadi penguasa atas
diri dan hidupnya sendiri. Doktrin teosentris (kekuasaan Tuhan) yang dihegemonikan gereja selama abad
pertengahan diganti dengan doktrin manusia sebagai pusat kehidupan (antroposentrisme).
Sebagai kritik atas masa lalu, zaman modern banyak memutus nilai-nilai dan jalan hidup tradisional dan
digantikan dengan nilai-nilai baru berdasar sains yang dicapai manusia. Di era ini manusia mencipta pola
hidup baru yang berbeda dengan era sebelumnya.
d. Tantangan Zaman (Modernitas)
Pergulatan modernitas dan tradisi dalam dunia Islam melahirkan upaya-upaya pembaharuan
terhadap tradisi yang ada. Harun Nasution menyebut upaya tersebut sebagai gerakan pembaruan Islam,
bukan gerakan modernisme Islam. Menurutnya, modernisme memiliki konteksnya sebagai gerakan yang
berawal dari dunia Barat bertujuan menggantikan ajarannagama Katolik dengan sains dan filsafat modern.
Gerakan ini berpuncak pada proses sekularisasi dunia Barat (Nasution; 1975, 11).
Berbeda dengan Nasution, Azyumardi Azra lebih suka memakai istilah modern dari pada
pembaruan. Azra beralasan penggunaan istilah pembaruan Islam tidak selalu sesuai dengan kenyataan
sejarah. Pembaruan dalam dunia Islam modern tidak selalu mengarah pada reaffirmasi Islam dalam
kehidupan muslim. Sebaliknya, yang sering terjadi adalah westernisasi dan sekularisasi seperti pada kasus
Turki (Azra; 1996, xi)
Apa yang disampaikan Azra adalah kenyataan modernisme dalam makna subyektifnya, sedangkan
Nasution mencoba melihat modern dengan makna obyektif. Memang harus diakui, ekspansi gagasan
modern oleh bangsa Barat tidak hanya membawa sains dan teknologi, tetapi juga tata nilai dan pola hidup
mereka yang sering kali berbeda dengan tradisi yang dianut masyarakat obyek ekspansi. Baik dalam makna
obyektif atau subyektifnya, modernitas yang diimpor dari bangsa Barat membuat perubahan dalam
masyarakat muslim, di segala bidang. Pada titik ini umat Islam dipaksa memikirkan kembali tradisi yang
pegangnya berkaitan dengan perubahan yang sedang terjadi. Respons ini kemudian melahirkan gerakan-
gerakan pembaruan. Tetapi, pembaruan Islam bukan sekedar reaksi muslim atas perubahan tersebut.
Degradasi kehidupan keagamaan masyarakat muslim juga menjadi faktor penting terjadinya gerakan
pembaruan. Banyak tokoh-tokoh umat yang menyerukan revitalisasi kehidupan keagamaan dan
membersihkan praktek-praktek keagamaan dari tradisi-tradisi yang dianggap tidak islami.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Sejarah Perkembangan Islam dan Modernisme


Sudah menjadi pengatahuan umum bahwa Eropa Barat pada abad-abad pertengahan belum memiliki
peradaban yang dapat dibanggakan dalam sejarah. Islam sudah mengenal apa itu mandi dan apa itu
kebersihan seperti yang diajarkan nabi Muhammad saw sementara orang-orang Eropa pada waktu itu belum
mengenalnya, sehingga badan mereka begitu bau. Orang Eropa mulai mengenal bersuci ketika terjadi
kontak dalam Perang Salib. Ketika Yerusalem direbut maka banyak orang-orang Frank (sebutan untuk
tentara Salib) datang ke tempat-tempat pemandian, mereka sangat senang. Namun mereka belum memiliki
adab, mereka masuk kepemandian dengan telanjang sementara orang muslim masuk ke pemandian dengan
ditutupi oleh handuk.
Islam sangat memberikan ruang berpikir untuk menjadi modern. Pada masa Abasiyah muncul para
pemikir seperti matematikawan, sejarawan, ahli geografi, filsuf dan sosiolog seperti Ibnu Khaldun. Bahkan
buku yang ditulis oleh Ibnu Sina tentang ilmu kedokteran masih menjadi bahan rujukan utama dalam ilmu
ini. Al Khawarizmi adalah ahli matematika yang menemukan angka nol dan angka nol ini akan membuka
pengetahuan-pengetahuan lain seperti penemuan termometer dan lain-lain.
Islam pun berkembang pesat di Kordova (Spanyol) dimana banyak raja-raja di Eropa yang
mengirimkan anak-anaknya untuk belajar di Universitas Kordova, mereka belajar bahasa Arab dan mata
uang dirham berkembang dengan pesat. Pada waktu itu bahasa Arab dapat dikatakan sebagai bahasa ilmu
pengetahuan dimana jika kita ingin dapat membaca buku-buku ilmiah maka kita harus mampu membacanya
dalam bahasa Arab, keadaannya sama dengan posisi bahasa Inggris pada masa sekarang.
Islam telah membuktikan bahwa Islam bukanlah agama yang menolak modernisasi, justru Islam
dapat dikatakan sebagai pelopor modernisasi. Islam mampu menafsirkan dan mengimplementasikan
pemikiran dari para filsuf Yunani di Eropa sehingga mampu membuat islam maju, sedangkan Barat tidak
mampu mengimplementasikan ilmu dari para filsuf tersebut karena terkekang oleh kekuasaan gereja di abad
ke-5 sampai abadke-15. Bahkan Gereja menghukum mati Copernicus yang menyadari bahwa ternyata bumi
lah yang mengelilingi matahari bukan sebaliknya. Namun pikiran tersebut dianggap menentang dogma
gereja sehingga ia dihukum mati.
Petaka bagi Islam mulai muncul ketika Baghdad diserang oleh pasukan Mongol dan mereka
membakar buku-buku Islam sehingga umat Islam kehilangan ilmu-ilmunya yang menjadikan islam mundur
hingga sekarang. Petaka itu pun terjadi di Spanyo tatkala Islam diusir dan dibantai oleh Ratu Isabella,
sedangkan buku-buku Islam diterjemahkan lalu diakui sebagai karya-karya orisinal buatan orang Barat
hingga kini. Turki Ustmani sebagai pewaris islam yang terakhir pun turut larut dalam modernisasi yang
salah. Para pejabat yang mulai korupsi dan sewenang-wenang ditambah masuknya paham modern seperti
nasionalisme dan demokrasi yang didengungkan oleh Inggris dan Prancis. Kemal Attaturk adalah orang
yang berusaha memodernisasikan Islam, namun caranya begitu menyimpang. Ia menganggap Islam adalah
agama yang kolot, orang yang memelihara jenggot dianggap sebagai kaum ekstremis dan Barat adalah
kiblat ke arah kemajuan.
Modernisasi akan membawa dampak buruk seperti yang terjadi pada Turki namun modernisasi akan
membawa dampak baik dikala modernisasi itu tetap berpegang pada Quran dan hadits seperti pada saat
dinasti Abassiyah.
Islam tidak melarang modernisasi selama modernisasi tersebut tidak bertentangan dengan hukum
Islam dan akidah islam
Berkat belajar dari peradaban Islam, Eropa Barat terstimulasi untuk bangkit dari Dark Age (zaman
kegelapan) menuju masa renaissance (lahir kembali) yang bermula pada abad ke 16. Kebangkitan Eropa
Barat diawali dengan proses sekularisasi yaitu pemisahan agama Nasrani dari aturan kehidupan. Dengan
demikian masyarakat terbebas dari kungkungan dogma-dogma gereja dan terbukalah pengembangan ilmu
pengetahuan melalui penalaran akal. Maka, pada abad ke-18, Eropa Barat melahirkan peradaban modern
yang dikenal dengan Masa Pencerahan (Enlightenment).
Paham Modernisme ini lahir antara tahun 1650 sampai tahun 1800 M yangdikenal dalam sejarah
Eropa sebagai The Age of Reason (pemujaan akal)
3.2 Filter Terhadap Tantangan Zaman (Modernisasi)
Disaat teknologi yang dibawa Barat cukup mengagetkan, umat Islam kebingungan dalam menyaring
segala sesuatu yang berasal dari Barat. Akibatnya, timbul 3 gologan.
1. Golongan yang melarang segala sesuatu yang datang dari Barat karena berasal dari kaum kafir.
2. Golongan yang menerima semua yang berasal dari Barat dengan alasan agar Islam jadi maju, tidak
ketinggalam zaman.
3. Golongan yang menyaring mana yang sesuai dengan Islam dan mana yang tidak sesuai.
Ide penyaringan inilah yang nampaknya tepat berada ditengah-tengah, tidak menolak atau menerima
secara mutlak paham modernisasi. Namun, apakah alat penyaring modernisasi yang tepat untuk umat
Islam?
Alat penyaring itu adalah kategorisasi hadharah dan madaniyah.
Kategorisasi ini diperkenalkan Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Nidzamul Islam.
3.3 Modernisasi Agama
Istilah modernisme dalam agama baru dikenal pada abad 19 M di Eropa. Term ini dinisbatkan
kepada gerakan protes Gereja Katolik Roma terhadap otoritas Gereja konservatif. Gerakan yang berupa
protes ini juga dipakai untuk gerakan liberalisme dalam Kristen Protestan. Sebelumnya, gerakan liberalisasi
agama lebih dahulu dipelopori oleh Yahudi. Hanya saja, Yahudi pada waktu itu tidak menamakan
gerakannya dengan istilah modernisme.
Jadi, pada saat itu, istilah liberalisasi dikenalkan lebih dahulu oleh Yahudi, Sedangkan modernisasi
dipopulerkan oleh Kristen. Meski begitu, motif gerakan keduanya sama, yakni merelevansikan agama
dengan sains dan filsafat agar senafas dengan zaman yang baru. Maka, pada gerakan selanjutnya,
modernisasi adalah istilah lain dari liberalisasi agama.
Dalam Encyclopedia Americana (1972) V.19, modernisasi agama diartikan sebagai pemikiran
agama yang berangkat dari keyakinan bahwa kemajuan-kemajuan sains dan kebudayaan modern menuntut
adanya reinterpretasi terhadap ajaran agama klasik sesuai pemikiran filsafat. Dengan demikian, doktrin
utama modernisasi adalah, meletakkan teks wahyu di bawah sains, Teks agama harus ditafsir ulang agar
sesuai dengan zaman. Pemikiran ini tidak lain mereduksi agama, dan membuat ajaran yang baru.
3.4 Aqidah Islam Dan Tantangan Zaman (Modernitas)
Secara teologis, Islam merupakan sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiah (transenden). Pada
posisi ini Islam adalah pandangan dunia (weltanschaung) yang memberikan kacamata pada manusia dalam
memahami realitas.
Meski demikian, secara sosiologis, Iislam merupakan fenomena peradaban, realitas sosial
kemanusiaan. Pada wilayah ini nilai-nilai Islam bertemu dan berdialog secara intens dengan kenyataan
hidup duniawi yang selalu berubah dalam partikularitas konteksnya.
Dialog antara universalitas nilai dan partikularitas konteks menjadi penting dan harus selalu dilakukan agar
misi Islam sebagai rahmat semesta alam dapat diwujudkan. Ketidakmampuan berdialog dapat menjebak
agama pada posisi keusangan (kehilangan relevansi) atau pada posisi lain kehilangan otentitasnya sebagai
pedoman hidup.
3.5 Islam Dan Perubahan
Muara yang diharapkan dari proses dialektika nilai-nilai Islam dengan modernitas adalah
keberlakuan Islam di era modern. Ini terjadi jika upaya tersebut berhsil dengan baik. Sebaliknya,
ketidakberhasilan proses tersebut dapat membuat agama kehilangan relevansinya di zaman modern.
Peristiwa penolakan terhadap geraja di awal zaman modern di Eropa dapat
terulang kembali dalam konteks yang berbeda, dunia Islam. Islam memiliki potensi kuat untuk menjawab
tantangan tersebut.
Ernest Gellner, seperti yang dikutip Majid, menyatakan bahwa di antara tiga agama monoteis;
Yahudi, Kristen dan Islam, hanya Islamlah yang paling dekat dengan modernitas. Ini karena ajaran Islam
tentang universalisme, skripturalisme (ajaran bahwa kitab suci dapat dibaca dan dipahami oleh siapa saja,
tidak ada kelas tertentu yang memonopoli pemahaman kitab suci dalam hierarki keagamaan), ajaran tentang
partisipasi masyarakat secara luas (Islam mendukung participatory democracy), egalitarianisme spiritual
(tidak ada sistem kerahiban-kependetaan), dan mengajarkan sistematisasi rasional kehidupan sosial (Majid,
467) Yusuf Qardhawi menilai kemampuan Islam berdialog secara harmoni dengan perubahan terdapat
dalam jati diri Islam itu sendiri. Potensi tersebut terlihat dari karakteristik Islam sebagai agama rabbaniyah
(bersumber dari Tuhan dan terjaga otentitasnya), insaniyah (sesuai dengan fitrah dan demi kepentingan
manusia), wasthiyyah (moderat-mengambil jalan tengah), waqiiyah (kontekstual), jelas dan harmoni antara
perubahan dan ketetapan (Qardhawi; 1995).
3.6 Pembaruan Islam
Meski Islam potensial menghadapi perubahan, tetapi aktualitas potensi tersebut membutuhkan peran
pemeluknya. Ketidakmampuan pemeluk Islam dapat berimbas pada tidak berkembangnya potensi yang ada.
Ungkapan yang sering dipakai para pembaru Islam untuk menggambarkan hal ini adalah al- Islam
mahjub bi al-muslimin.
Dalam mengaktualisasikan potensi tersebut, pemeluk Islam difasilitasi dengan intitusi tajdid
(pembaruan, modernisasi). Ada dua model tajdid yang dilakukan kaum muslim: seruan kembali kepada
fundamen agama (al- Quran dan hadith), dan menggalakkan aktivitas ijtihad. Dua model ini merupakan
respons terhadap kondisi internal umat Islam dan tantangan perubahan zaman akibat modernitas. Model
pertama disebut purifikasi, upaya pemurnian akidah dan ajaran Islam dari percampuran tradisi-tradisi yang
tidak sesuai dengan Islam. Sedang model kedua disebut dengan pembaruan Islam atau modernisme Islam
(Achmad Jainuri; 1995, 38).
Di sini, Tajdid memiliki peranan yang signifikan. Ketiadaan rasul pasca Muhammad SAW. bukan
berarti tiadanya pihak-pihak yang akan menjaga otentitas dan melestarikan risalah Islam. Jika sebelum
Muhammad SAW. peranan menjaga dan melestarikan risalah kerasulan selalu dilaksanakan oleh nabi atau
rasul baru, pasca Muhammad SAW. peran tersebut diambil alih oleh umat Islam sendiri.
Rasul Muhammad SAW. pernah menyatakan bahwa ulama` merupakan pewarisnya, dan di lain
kesempatan ia menyatakan akan hadirnya mujaddid di setiap seratus tahun. Dalam proses tersebut, setiap
ajaran Islam mengalami pembaruan yang berbeda-beda, bahkan ada yang tidak boleh disentuh sama sekali.
Aqidah dan ibadah merupakan domain yang sangat tabu tersentuh proses perubahan. Yang
bisa dilakukan dalam kedua wilayah tersebut adalah pembersihan dari aspek- aspek luar yang tidak berasal
dari doktrin Islam. Di sini berlaku kaidah semua dilarang kecuali yang diperintah.
Berbeda dengan itu, aspek muamalah (interaksi sosial) merupakan wilayah gerak tajdid dengan
sedikit tabu di dalamnya. Pada aspek ini nilai-nilai Islam mewujudkan dirinya berupa paradigma (cara
pandang) kehidupan. Ajaran Islam menyediakan pedoman-pedoman dasar yang harus diterjemahkan
pemeluknya sesuai dengan konteks ruang waktu yang melingkupinya. Pada wilayah ini yang berlaku adalah
kaidah semua dibolehkan kecuali yang dilarang. Menurut Kuntowijoyo (Kuntowijoyo; 1997, 170)
penerjemahan nilai-nilai tersebut bisa dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Yang pertama
berangkat dari nilai ajaran langsung ke wilayah praktis. Ilmu fiqh merupakan salah satu perwujudan yang
pertama ini. Sementara yang kedua berangkat dari nilai ke wilayah praktis dengan melalui proses filsafat
sosial dan teori sosial terlebih dahulu (nilai-filsafat sosial-teori
sosial). Sebagai contoh adalah ayat yang menjelaskan Allah tidak akan merubah suatu kaum jika mereka
tidak merubah dirinya sendiri. Nilai perubahan ini harus diterjemahkan menjadi filsafat perubahan sosial,
kemudian menjadi teori perubahan dan baru melangkah di wilayah perubahan sosial.
Keberadaan tajdid menjadi bukti penting penghargaan Islam terhadaap kemampuan manusia. Batas-
batas yang ada dalam proses tajdid bukan merupakan pengekangan terhadap kemampuan manusia, tetapi
sebagai media mempertahankan otentisitas risalah kenabian. Ketika agama hanya menghadirkan aspek-
aspek yang tetap, abadi, tidak bisa berubah maka yang terjadi adalah ketidakmampuan agama
mempertahankan diri menghadapi zaman. Akibatnya, agama akan kehilangan relevansinya. Ini seperti yang
terjadi pada gereja di abad
pertengahan.
Sebaliknya, jika aspek-aspek yang tetap, abadi dan tidak berubah tersebut tidak ada dalam agama,
maka agama akan kehilangan otentitasnya sebagai pedoman hidup manusia. Di sinilah, kekhasan Islam
seperti yang disebut Qardhawi di atas berperan. Islam berdiri di tengah-tengah. Islam mengandungi
ketetapan-ketetapan di satu sisi, dan keluwesan-keluwesan disisi lainnya. Dengan sikap terebut Islam bisa
tetap eksis di tengah perubahan zaman tanpa kehilangan otentitasnya sebagai agama ilahiah.
Gagasan pembaharuan Islam dapat dilacak di era pra-modern pada pemikiran Ibn Taymiyah (abad 7-
8 H/13-14 M). Taymiyah banyak mengkritik praktek-praktek islam populer yang tidak sesuai dengan ajaran
Islam dan menyerukan kembali kepada syariat. Gerakan lain dilakukan oleh Muhammad Abdul Wahab di
Arabia pada abad ke 18 M yang menolak dengan keras tradisi yang tidak Islami (Jainuri; 2002, 15-17).
Jika pembaharuan pra-modern dilakukan sebagai otokritik praktek keagamaan populer masyarakat
muslim, pembaruan era modern merupakan respons umat Islam terhadap tantangan yang ditawarkan oleh
modernitas Barat. Di era ini tercatat beberapa tokoh yang cukup populer seperti al-Afghani, Abduh, Rasyid
Ridha, Sayyid Sabiq, Muhammad Iqbal, dll. Proses pembaharuan era modern mengalami dinamikaa yang
cukup kompleks. Keinginan harmonisasi Islam dengan modernitas melahirkan banyak pemikir dengan
karakteristik yang berbedaa-beda. Sebagian pemikir tampak wajah puritanismenya, dan sebagian yang lain
condong pada modernitas, bahkan, terjebak pada pengagungan nilai-nilai modern (seperti sekularisme).

BAB IV
PENUTUP
Tantangan Zaman (Modernitas) yang melanda dunia Islam, dengan segala efek positif-negatifnya,
menjadi tantangan yang harus dihadapi umat Islam di tengah kondisi keterpurukannya. Umat Islam dituntut
bekerja ekstra keras mengembangkan seagala potensinya untuk menyelesaikan permasalahannya.
Kemajuan peradaban tidak di tentukan oleh produknya (barang-barang teknologi), tetapi oleh ide
dan ideologi, serta sistem yang membangun peradaban itu.
Modernisasi membutuhkan filter, saringan, dan tolak ukur, agar bisa di nilai positif dan negatifnya.
Filter tersebut adalah hadharah dan madaniyah.
Islam tidak melarang modernisasi selama modernisasi tersebut tidak bertentangan dengan hukum
Islam dan akidah Islam.
Pembaharuan/ tajdid sebenarnya bukanlah menciptakan ajaran yang baru, akan tetapi memotong
penyimpangan, pemulihan konsep untuk dikembalikan agar sesuai dengan ajaran al-Quran dan Hadis
setelah ajaran itu terdistorsi.
Tajdid sebagai upaya menjaga dan melsetarikan ajaran Islam menjadi pilihan yang harus
dimanfaatkan secara maksimal oleh umat Islam. Upaya tajdid harus terus dilakukan, tidak boleh berhenti
meski memerlukan cost yang besar.
Cara Menulis Makalah Yang Baik Dan Benar

Berikut ini adalah tatacara penulisan makalah yang baik dan benar, silahkan dibaca dengan
seksama sebagai bahan referensi belajar cara menulis makalah yang baik dan benar.

TATA CARA PENULISAN MAKALAH / TUGAS AKHIR SEMESTER


Dibawah ini kami jabarkan cara menulis makalah yang baik. semoga postingan cara menulis
makalah yang baik ini bisa berguna dan dipakai sebagai referensi belajar kita semua.

FORMAT

Jumlah kata (word count) : 4.000 5.000 ; atau 10 12 halaman

Ukuran kertas A4

Tidak perlu dijilid dan tidak perlu diberi mika. Cukup dijepret di sebelah kiri. Sampul
mencantumkan: judul Tugas Akhir Semester Akuntansi Sektor Publik, Nama dan NIM
(jika kelompok, urutan NIM dicantumkan ascending).

Pilihan font: Times New Roman (12), Palatino Linotype (11), Arial (11)

Mencantumkan nomor halaman di bagian bawah , center

Margin kanan, kiri, atas dan bawah menggunakan ukuran default atau standar

Spasi: 1,5, plihan alignment: kiri, atau justified

Paragraf menjorok ke dalam, dengan jarak spasi 1,5 dengan paragraf sebelumnya

Surat pernyataan bahwa makalah yang dibuat adalah bukan plagiat dan hasil karya
sendiri (ditandatangani dan diberi nama lengkap dan NIM)

SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan makalah adalah sebagai berikut:

Pendahuluan

Pada bagian ini dikemukakan latar belakang (mengapa topik tersebut perlu ditulis), rumusan
masalah, tujuan dan manfaat tulisan Anda bagi pembaca.

Pembahasan / Analisis

Bahasan dan analisis adalah murni bahasa dari Anda.

Segala bentuk sumber / referensi wajib dicantumkan di 2 (dua) bagian makalah, yaitu:
bagian yang dikutip di bab Pembahasan, dan bab Daftar Referensi

Simpulan dan Saran

Bagian ini mencakup simpulan, serta saran, dan mengungkapkan secara jelas kepada siapa
saran tersebut ditujukan

Daftar Referensi

Bagian ini memuat sumber referensi untuk penulisan makalah, baik dari buku, majalah,
artikel ilmiah, dan website.

Tata cara penulisan daftar referensi:

a. Dari Buku oleh Satu Pengarang

Bambang Riyanto.1984. Dasar-dasar Pembelanjaan Perusahaan. Edisi Kedua. Yogyakarta:


Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada.
b. Dari Buku oleh Dua Pengarang

Cohen, Morris R, dan Ernest Nagel. 1939. An Introduction to Logic and Scientific Method. New
York: Harcourt, Brac& Co.

c. Dari Buku oleh Tiga Pengarang atau Lebih

Sukanto, R., et al. 1980. Business Forecasting, Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas
Ekonomi UGM.

d. Dari Buku oleh Pengarang yang Sama

Van Horne, James C. 1986. Financial Management and Policy, Ninth Edition, New Jersey:
Prentice-Hall International Editions.

_______, 1990. Fundamentals of Financial Management, Sixth Edition, New Jersey: Prentice-
Hall Inc.

e. Dari Buku tanpa pengarang

Authors Guide. 1975. Englewood Cliffs: Prentice-Hall.

Undang-Undang RI No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan, Penerbit Handayani, 1992.

f. Buku oleh Lembaga, Pemerintah dan Organisasi Lain

R.I., Majelis Musyawarah Rakyat Sementara. 1966. Hasil-hasil Sidang Umum ke IV Tahun
1966, Jakarta: Departemen Penerangan R.I.

g. Surat Kabar

Artikel tanpa nama penulis

Kompas (Jakarta), 28 Pebruari 1995

Artikel dengan judul dan nama penulis

Allen, Maury. A Grwowing Union, New York Post. March 20, 1998. P. 4.

Artikel dengan judul tetapi tanpa penulis

Terpuruknya Dunia Bisnis Perbankan, Jawa Pos, 30 September 1998. hal. 3.

h. Jurnal, Buletin, Majalah dan Penerbitan Berkala

Irlan Soejono dan A.T. Birowo. 1976. Distribusi Pendapatan di Pedesaan Padi Sawah di Jawa
Tengah, Prisma, 1, hal. 26-32

Snitzler, James R. 1958. How Wholesalers Can Cut Delivery Costs, Journal of Marketing, 23:
pp. 21-28

i. Hasil Penelitian

Faisal Kasryno et al. 1981. Perkembangan Institusi dan Pengaruhnya terhadap Distribusi
Pendapatan dan Penyerapan Tenaga Kerja: Studi kasus di Empat Desa di Jawa Barat, Bogor:
Studi Dinamika Pedesaan.

j. Kertas Kerja Diskusi Panel, Seminar dan Lokakarya

M. Damiri. 1993. Perbankan di Indonesia, Suatu Tinjauan Era Deregulasi, Makalah


disampaikan pada Ceramah Deregulasi Perbankan di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas
Surabaya, Surabaya.

Tim Dosen STIE Perbanas Surabaya. 1994. Upaya Pemerataan Pembangunan Melalui Sektor
Moneter, Makalah Pelengkap Seminar Perbankan, Surabaya.

k. Bahan Tidak Diterbitkan (Mimeographed)


Perkembangan Sektor Pertanian 1971/1972. 1972. Jakarta: Departemen Pertanian.
(Mimeographed)

l. Skripsi, Tesis dan Disertasi

Ida Triwahyuni. 1994. Pentingnya Analisis Umur Piutang dalam Hubungannya dengan
Pengendalian Outstanding Freight di Divisi Feeder PT. Samudera Indonesia Surabaya, Skripsi
Sarjana tak diterbitkan, STIE Perbanas Surabaya.

m. Artikel dalam Ensiklopedia

Banta, Richard E., New Harmony, Encyclopedia Britanica (1968 ed.), Vol, 16, p. 305

n. Wawancara

Burrows, Dr. Lewis. Personal Interview on Puerto Rican Workers in a New York City Hospital,
Mt. Sinai Hospital, New York, N.Y., 3 Juni 1998.

o. Terjemahan dari Pengarang Lain

Klinchin, A.I. 1957. Mathematical Foundations of Information Theory, diterjemahkan oleh


Silverman, R.A. dan Friedman, M.D. New York: Dover.

p. Internet

Rujukan dari Internet berupa Karya Individual

Donald, P., Harby, L. & Gary , W. 1998. A Study on Agricultural Area Online Journals, 193-
1997: The Poverty among the Rich, (Online), (http://journal.ccs.soton. ac.uk/ study.html,
diakses 12 Juni 1998).

Rujukan dari Internet berupa Artikel dari Jurnal

Hartono. 1999. Peningkatan Kenerrja Buruh Perusahaan melalui Reward System. Jurnal
Manajemen , (Online), Jilid 7, No. 3, (http://www.malang.ac.id, diakses 10 Mei 2000).

Segala kutipan atau salinan harus disebutkan nama penulisnya atau sumbernya.

Poin penilaian makalah adalah pada :

keaslian dari ide

kejujuran dan sportifitas penulisan (tidak banyak kutipan, dan mencantumkan referensi)

sistematika penulisan (kejelasan alur berpikir) antara judul, permasalahan, tujuan,


pembahasan, simpulan dan saran.

kejelasan pengungkapan permasalahan

ketajaman analisis

kemanfaatan penulisan
Anshari Ismail - Jalan Islam

Judul buku : Jalan Islam (Transformasi Aqidah dalam Kehidupan)

Persoalan yang terjadi pada Umat Islam dewasa ini sesungguhnya bukan pada masalah keyakinan,
melainkan tertahannya ajaran Islam yang mulia pada tataran keyakinan, tidak ditransformasikan dalam
kehidupan. Pada titik ini, telah terjadi jarak yang amat jauh antara Umat Islam dengan agamanya.
Sementara Islam berdiri di satu sisi. Umat Islam berdiri di sisi lain. Hal ini sungguh telah menimbulkan
masalah serius yang menimpa Umat Islam tanpa henti sampai hari ini.

***

Transformasi Aqidah dalam Kehidupan

"Katakanlah: 'Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada Kami dan yang
diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Yaqub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada
Musa, Isa dan para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka
dan hanya kepada-Nyalah Kami menyerahkan diri'." (QS. Ali Imran [3] : 84)

Menakjubkan! Ini yang dapat saya katakan ketika menyaksikan berbagai parade demonstrasi penolakan
terhadap berbagai usulan pelaksanaan norma-norma keislaman yang akhir-akhir ini marak disiarkan melalui
media masa, baik cetak maupun elektronik.

"Saya seorang Muslim tetapi saya tidak fanatik".

"Saya seorang Muslim, tetapi saya menolak Syariah Islam dilaksanakan karena akan terjadi anarkis,
disintegrasi bangsa dan seterusnya".

Saya katakan menakjubkan karena penolakan ini dilakukan oleh orang-orang yang notabene menyatakan
diri sebagai Muslim yang bersyahadah "Laa ilaaha ilallah, Muhammad Rasulullah". Bahkan dilakukan oleh
para Kiai dan Intelektualnya. Saya katakan menakjubkan, karena bagaimana mungkin orang-orang yang
menyatakan diri sebagai pemeluk Islam tetapi menolak dengan sekeras-kerasnya pelaksanaan norma-norma
agamanya.

Bagaimana mungkin orang-orang yang menyatakan diri sebagai seorang Muslim menghujat dengan
sekeras-kerasnya nilai-nilai agamanya. Ini adalah hal yang menakjubkan! Saya katakan menakjubkan
karena ini fenomena baru, keberanian baru dari generasi Muslim dalam menentang azab Allah yang teramat
pedih, yang tidak pernah dilakukan oleh generasi Muslim sepanjang sejarahnya. Dari mana keberanian itu
muncul? Kenapa mereka tidak mau berendah di bawah 'kursi Allah', mencontoh generasi terdahulu yang
telah dengan tadzim memenuhi panggilan dengan mengatakan, "Samina wa athona (Kami mendengar
dan kami patuh)". (QS. An-Nuur [24] : 51)

Sepanjang informasi Al-Quran, sikap penolakan ini adalah warisan dua guru utama dalam
pembangkangan, yaitu Iblis laknatullah dan Yahudi yang dimurkai Allah SWT.

Tentang sejarah pembangkangan Iblis, Al-Quran menerangkan:

"Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada para Malaikat, 'Sujudlah kamu semua kepada Adam', lalu
mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata, 'Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau ciptakan dari
tanah?' Dia (iblis) berkata, 'Terangkanlah kepadaku inikah orangnya yang Engkau muliakan atas diriku?
Sesungguhnya jika Engkau memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya benar-benar akan aku
sesatkan keturunannya, kecuali sebahagian kecil'." (QS. Al-Israa [17] : 61-62)
Sedangkan sejarah pembangkangan Yahudi, Al-Quran menerangkan:

"Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat bukit (Thursina) di atasmu
(seraya Kami berfirman). 'Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!'
mereka menjawab, 'Kami mendengar tetapi tidak mentaati'. Dan telah diresapkan ke dalam hati mereka itu
(kecintaan menyembah) anak sapi karena kekafirannya. Katakanlah, 'Amat jahat perbuatan yang telah
diperintahkan imanmu kepadamu jika betul kamu beriman (kepada Taurat). Perbuatan jahat yang mereka
kerjakan ialah menyembah anak sapi, membunuh Nabi-nabi dan melanggar janji'." (QS. Al-Baqarah [2] :
93)

Itulah sejarah pembangkangan. Yang kemudian menjadi pernyataan kita adalah kenapa sikap
pembangkangan kepada Allah dan Rasul-Nya itu merasuk ke dalam diri orang-orang Muslim? Apakah
generasi ini telah berguru kepada mereka tentang pembangkangan?

Kemudian kita boleh berfikir, bagaimana sekiranya keislaman model demikian itu kita hadapkan kepada
Rasulullah SAW, Abu Bakar atau Umar bin Khattab?

Dikisahkan:

Dua orang lelaki yang sedang bermasalah datang menemui Nabi SAW, lalu beliau memutuskan tidak
bersalah untuk pihak yang benar di atas pihak yang salah. Pihak yang diputuskan bersalah tidak mau
menerima dan berkata kepadanya, "Saya tidak terima!" Kemudian yang satunya berkata, "Lalu apa
maumu?" Ia menjawab, "Kita pergi kepada Abu Bakar Ash-Shidiq!" Mereka pun pergi. Orang yang diberi
keputusan tidak bersalah berkata kepada Abu Bakar. "Kami mencari keadilan kepada Nabi SAW lalu aku
diberi keputusan tidak bersalah." Abu Bakar lalu berkata kepadanya, "Kamu berdua harus menerima apa
yang telah diputuskan oleh Rasulullah SAW." Akan tetapi yang satunya tidak mau menerima. Keduanya
kemudian menemui Umar bin Khattab, lalu orang yang diberi putusan tidak bersalah berkata, "Kami telah
mencari keadilan kepada Nabi SAW lalu aku diberi keputusan tidak bersalah tetapi yang satunya tidak mau
menerima." Mendengar permasalahan ini lalu Umar bertanya kepadanya dan dijawab benar adanya. Umar
kemudian masuk dan kembali lagi dengan membawa pedang terhunus di tangannya. Lalu orang yang tidak
mau menerima putusan Rasulullah SAW tersebut ditebas lehernya. Maka turunlah ayat, "Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya". (QS. An-Nisa [4] : 65)

Kemudian dalam Sirah Nabawiyah diterangkan:

Ketika Rasulullah SAW dan para sahabatnya hijrah ke Madinah beliau menyeru kepada seuruh kaum
Muslimin untuk berhijrah ke Madinah, tetapi di Mekah ada sebagian kaum Muslimin, yang karena berbagai
alasan, tidak memenuhi seruan Rasulullah SAW tersebut, antara lain: Harits bin Zamaah, Abu Qais bi
fakih, Abu Qais bin Walid, Ali bin Ummayah dan Ash bin Munibah. Ketika pecah perang Badar mereka
dimanfaatkan oleh pihak kafir Mekah untuk memerangi pasukan Islam. Oleh pasukan Islam mereka semua
dihadapi sebagai musuh, semuanya mati terbunuh, mereka mati dalam kesesatan dan menjadi penghuni
Neraka Jahanam.

Dalam kasus ini Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam
keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya, 'Dalam keadaan bagaimana kamu
ini?' mereka menjawab, 'adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)'. para Malaikat
berkata, 'Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?' orang-orang itu
tempatnya Neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. An-Nisa [4] : 97)

Dalam sunnah Khulafaur Rasyidin, Abu Bakar telah memutuskan untuk memerangi orang-orang yang
membangkang tidak mau membayar Zakat, setelah wafat Rasulullah SAW. Abu Hurairah ra berkata,
"Tatkala Rasulullah SAW wafat dan Abu Bakar ra terangkat sebagai khalifah, beberapa kelompok
masyarakat Arab kembali menjadi kafir.

Umar ra bertanya kepada Abu Bakar, 'Bagaimana kamu akan memerangi manusia sedang Rasulullah SAW
bersabda, "Aku diperintahkan supaya memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan Dua Kalimah
Syahadah. Barangsiapa yang mengucapkannya berarti dia dan hartanya terpelihara kecuali apa yang
dibenarkan oleh Syariah dan perhitungannya terserah kepada Allah SWT".'

Abu Bakar menjawab, 'Demi Allah aku akan memerangi mereka yang membedakan antara kewajiban
Shalat dengan kewajiban Zakat, karena Zakat merupakan kewajiban terhadap harta. Demi Allah, andaikan
mereka menahan seutas tali yang bias diberikan kepada Rasulullah SAW saya akan memerangi mereka
karena menahan tali itu'.

Berkata Umar, 'Demi Allah, tidak lain keterangan Abu Bakar melainkan saya mengerti bahwa Allah telah
melapangkan dada Abu Bakar untuk berperang, maka saya baru mengerti bahwa itulah perkara yang
benar'." (HR. Bukhari dan Muslim)

Ketiga kasus tersebut di atas adalah menyangkut orang-orang yang menyandang predikat Muslim, tetapi
kenapa dalam kasus pertama, sahabat Umar bin Khatab memenggal lehernya? Bukankah ia tahu bahwa
sahabat tersebut adalah seorang Muslim, hanya saja ia tidak menerima keputusan Rasulullah SAW? Kenapa
ia harus dipenggal lehernya, bukankah darah seorang Muslim tidak halal kecuali atas tiga hal, yaitu karena
(1) membunuh, karena (2) zina muhshon dan karena (3) murtad dari agamanya?

Dalam kasus kedua, mengapa orang-orang Muslim yang bergabung dengan pasukan musuh itu (bahkan
dalam keadaan dipaksa) diperangi dan diperlakukan sebagai musuh oleh pasukan Islam, bahkan akhirnya
mereka semuanya terbunuh oleh pasukan Islam? Bukankah mereka seorang Muslim, hanya mereka tidak
mau memenuhi perintah Rasulullah SAW untuk berhijrah ke Madinah dan bergabung dengan saudara-
saudara sesama Muslim di Madinah? Apakah mereka itu telah murtad atau telah keluar dari keislamannya?

Kemudian dalam kasus ketiga, mengapa Khalifah Abu Bakar menghalalkan darahnya dengan memerangi
mereka. Bukankah mereka adalah orang-orang yang bersyahadat dan mengerjakan Shalat, hanya saja
mereka enggan membayar Zakat? Padahal seperti penjelasan Umar bin Khatab dihadapan Abu Bakar,
dengan landasan sabda Rasulallah SAW bahwa orang bersyahadat "Laa ilaha illallah, Muhammad
Rasulullah" terpelihara jiwa, harta dan kehormatannya?

Ketiga kasus di atas adalah pelajaran bagi umat Islam bahwa pernyataan keislaman seseorang tidak secara
otomatis menempatkan dirinya pada maqom seorang Muslim. Predikat kemusliman yang disandang
seseorang yang ternyata menuntut persyaratan-persyaratan yang mesti dipenuhi. Apabila persyaratan itu
dipenuhi maka Muslim-lah ia, tetapi manakala ia keluar dari persyaratan itu, maka demi hukum gugurlah
keislamannya.

Allah SWT berfirman, "Di antara manusia ada yang mengatakan, 'Kami beriman kepada Allah dan hari
kemudian' pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman". (QS. Al-Baqarah [2] : 8)

Allah SWT berfirman, Katakanlah, "Sesungguhnya yang diwahyukan kepadaku adalah, 'Bahwasanya
Tuhanmu adalah Tuhan yang Esa. Maka hendaklah kamu berserah diri (kepada-Nya)'." (QS. Al-Anbiya
[21] : 108)

Yang perlu mendapat perhatian kita adalah keislaman macam apa yang dikehendaki oleh Allah SWT
sehingga kita layak menyandang predikat Muslim? Bukankah KTP kita Islam? Kita juga sudah
melaksanakan Shalat dan bahkan Haji? Kemudian apalagi? Kenapa Allah masih mempertanyakan
keislaman kita?

Penegasan ini sesunggunya hal yang sangat wajar di tengah derasnya arus pergaulan yang sangat serius
antara Materialisme dan Iman, di mana Materialisme sedang di atas angin mendominasi seluruh sisi
kehidupan, di mana kebanyakan mata hati manusia tersilap oleh gemerlap semua Materialisme yang
memang sangat menggoda. Penegasan ini sesunggunya sangat perlu di mana banyaknya pernyataan dusta
dan palsu tentang keimanan dan keislaman yang dilakukan oleh sebagian besar manusia.

Yang perlu kia lakukan hanyalah membuktikan diri bahwa kita ini seorang Muslim. Muslim yang
dikehendaki oleh Allah, bukan Muslim yang kita kira sendiri atau kita kehendaki sendiri. Karena
kita adalah hamba Allah bukan hamba diri sendiri. Karena ita mengharapkan ridha Allah bukan
ridha diri sendiri. Tetapi bagaimana ber-Islam dengan cara Allah?

Perhatikan ayat berikut ini:

"Maka Apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, Padahal kepada-Nya-lah menyerahkan
diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah
mereka dikembalikan". (QS. Ali Imran [3] : 83)

Makna hakiki dari Islam adalah tunduk dan patuh. Yang dimaksud tunduk dan patuh di sini adalah tunduk
dan patuh kepada aturan-aturan Allah.

Sampel keislaman yang dikehendaki oleh Allah SWT sebagai mana dinyatakan di atas adalah Islamnya
alam semesta. Jadi kita harus ber-Islam sebagaimana Islamnya alam semesta. Tetapi bagaimana alam
semesta ber-Islam?

Mari kita perhatikan ayat berikut:

"Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari,
bulan, bintang, gunung, pohon-pohon, binatang-binatang, yang melata dan sebagian besar daripada
manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapayang
dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakanya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia
kehendaki". (QS. Al-Hajj [22] : 18)

Islamnya alam semesta ternyata bersujud mengabdi kepada Allah. Artinya, mereka tunduk patuh berjalan
pada garis ketentuan Allah SWT. Mereka semuanya melakukan ibadah, melakukan sholat dan tasbih
sebagaimana yang dilakukan oleh manusia, tetapi hanya Allah-lah yang lebih mengetahui tata cara tasbih
dan sholatnya.

"Tidaklah kamu tahu bahwasanya Allah: kepada-Nya bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan (juga)
burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sholat dan tasbihnya,
dan Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan". (QS. An-Nuur [24] : 41)

Seluruh makhluk di alam ini, dari matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, binatang-binatang, burung-
burung dan lain-lain, semuanya tunduk, sujud, ber-Islam kepada Allah SWT. Dalam ber-Islam, seluruh
makhluk yang ada di semesta ini memiliki orbit (jalan) yang mesti dilaluinya. Dalam bersujud (ber-Islam)
kepada Allah, matahari, beredar pada orbitnya dan tidak pernah keluar dari orbit itu walau sedikit.
Demikian juga bulan, bumi dan bintang-bintang yang ada di semesta ini, semuanya beredar pada orbitnya
tanpa pernah keluar dari garisnya walaupun sedikit. Matahari, bulan dan bintang-bintang tidak pernah
ingkar dari garis ini. Matahari tidak pernah keluar dari orbitnya lalu beredar pada orbit bintang lain.
Demikian juga bumi tidak pernah keluar dari orbitnya lalu berjalan di orbit bintang lain. Inilah jalan
keislaman yang dikehendaki oleh Allah, ketundukan pada orbit yang telah ditetapkan baginya.

"Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang, dan
masing-masing beredar pada garis edarnya". (QS. Yasin [36] : 40)

Manusia, sebagaimana makhluk lainnya, juga diwajibkan oleh Allah berislam (sujud) bersama sujudnya
makhluk-makhluk lainnya. Bila alam semesta dalam bersujud memiliki orbit untuk membuktikan
keislamannya dan untuk menyampakikannya kepada Allah, bagaimana dengan manusia, apakah ia harus
memiliki dan melalui garis orbit juga? Pasti! Kalau dalam ber-Islam kepada Allah mekhluk lain memiliki
garis edar (jalan) yang mesti dilaluinya. Rotasi kehidupan manusia adalah berangkat untuk kembali menuju
Allah SWT.

"Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun (dari Allah dan akan kembali kepada Allah)".

Kalau tujuan perjalanan hidup manusia adalah menuju Allah, maka adakah sebarang jalan (orbit) yang akan
bisa menyampaikannya kepada Allah? Tentu tidak! Tentu hanya jalan yang terkait dengan Allah, yang
menuju Allah, yang akan menyampaikannya kepada Allah. Manusia tidak akan pernah sampai kepada Allah
kalau ia tidak memiliki dan menempuh jalan yang menghantarkannya kepada Allah.

Untuk kepentingan ibadah, ber-Islam dan bersujud secara benar, Allah SWT telah memberikan satu jalan
(orbit) yang mesti dilalui oleh manusia, yaitu sabilillah. Kalu manusia tidak melewati garis ini dalam ber-
Islam, sesunggunya ia telah berada pada orbit yang salah. Berada pada orbit yang salah berarti keluar dari
jalur keislaman. Dan keluar dari jalur keislaman berarti bukan seorang Muslim. Jadi, keislaman yang
dikehendaki oleh Allah dengan pertanyaanya di muka adalah keislaman yang berada pada jalan (orbit) yang
benar, yaitu sirotol mustaqim. Fahal antum Muslimun?

Perhatikan ayat berikut:

"Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya,
yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa". (QS. Al-Anam [6] : 153)

Ayat ini telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW dengan sangat gamblang dalam bentuk garis sebagaimana
diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan Jabir ra:

"Kami duduk bersama Rasulullah SAW, lalu beliau membuat garis lurus di depannya, lalu berkata, 'Ini
adalah jalan Allah'. Kemudian beliau membuat dua garis di kanan dan dua gafis di kiri lalu berkata, 'Ini
adalah jalan setan'. Kemudian beliau meletakan tangannya di garis tengah lalu membacakan ayat berikut,
'Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. yang
demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa'." (Musnad Ahmad No. 14739; Sunan Ibnu Majah)

Secara garis lurus, Allah telah menyediakan satu jalan (orbit) bagi menusia untuk ber-Islam menuju Allah.
Jalan itu adalah Nabi dan Rasulnya. Karenanya, manusia tidak akan pernah sampai kepada kataatan kepada
Allah SWT kecuali melalui jalan ini, karena tidak ada jalan lain yang diciptakan oleh Allah sebagai jalan
ber-Islam menuju kepada-Nya.

Kerasulan sebagai orbit manusia satu-satunya menuju Allah, telah secara terus menerus dimunculkan oleh
Allah dengan dikirimnya para Nabi dan rasul secara sambung menyambung, sepanjang masa. Dari Nabi
Adam as sampai Nabi Muhammad SAW. Inilah jalan itu, inilah jalan Islam, inilah jalan yang mesti dilalui
oleh manusia dalam bersujud kepada Allah SWT. Tidak ada jalan diluar jalan Nabi dan Rasul.

"Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah, dan barangsiapa yang
berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka". (QS.
An-Nisa [4] : 80)

Semua Nabi telah menegaskan hakekat jalan ini. Nabi Nuh as telah menegaskan jalan ini kepada kaumnya,
sebagaimana diterangkan dalam Al-Quran: "Sesungguhnya aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang
diutus) kepadamu. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku". (QS. Asy-Syuara [26] : 107-
108)

"Sesungguhnya aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu. Maka bertakwalah
kepada Allah dan taatlah kepadaku". (QS. Asy-Syuara [26] : 125-126)
Tetapi kenabian dan kerasulan telah ditutup Allah dengan diutusnya Nabi Muhammad SAW, dengan firman-
Nya: "Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu. Tetapi Dia adalah
Rasulullah dan penutup Nabi-Nabi, dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu". (QS. Al-Ahzab
[33] : 40)

Yang menjadi masalah adalah, apakah dengan berakhirnya kenabian ini berarti terputus pula orbit bagi
manusia untuk ber-Islam menuju Allah?

Tidak! Allah menyambung jalan itu denga khilafah, sehingga dengan adanya khiafah jalan menuju Allah
tetap terbentang, dan manusia tetap dapat beribadah kepada Allah, manusia tetap bisa bersujud kepada Allah
bersama sujudnya semesta alam pada orbit yang benar. Dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra,
Rasulullah SAW bersabda, "Adalah bani Israil kepemimpinan mereka selalu dipegang oleh Nabi-Nabi.
Setiap meninggal seorang Nabi maka Nabi itu digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tak ada lagi
Nabi sesudahku, yang ada hanya para khalifah yang banyak jumlahnya." para sahabat bertanya, "Apakah
yang engkau suruh kami kerjakan?" Nabi menjawab, "Sempurnakanlah baiat yang telah engkau berikan
kepada yang pertama. Kemudian yang datang sesudahnya. Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada
mereka tentang apa yang Allah suruh kepada mereka". (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda, "Sesunggunya aku memerintahkan kepadamu dengan
lima perkara sebagaimana Allah memerintakan kepadaku, yaitu: berjamaah, mendengar, taat, hijrah dan
jihad fi sabilillah. Karena sensunggunya siapa yang keluar dari jamaah barang sejengkal, maka sungguh
telah lepas ikatan Islam dari lehernya sampai dia kembali (bertaubat) dan barang siapa yang berseru dengan
seruan jahiliyah, maka ia bertekuk lutut dalam neraka jahanam." Sahabat bertanya, "Sekalipun dia puasa
dan shalat, ya Rasulullah?". Jawab Nabi SAW, "Sekalipun dia puasa dan shalat dan sekalipun dia mengaku
Muslim. Maka serulah orang-orang Islam dengan nama mereka yaitu Aa-Muslimuun, Al Muslimuun,
hamba-hamba Allah Azza wa jalla". (Sunan At-Turmudzi No. 2790; Musnad Ahmad No. 16542, 17132,
21835)

Jamaah adalah esensi khilafah, orbit ber-Islam satu-satunya yang terbentang menuju Allah. Dalam sunnah
Rasulullah di atas ditegaskan: "Sekalipun shalat, sekalipun puasa, bahkan sekalipun mengaku Muslim",
tetapi tidak berorbitkan dengan orbit jamaah adalah sia-sia. Tetapi kini kebanyakan manusia telah keluar
dari orbit ini, mereka ber-Islam bukan dengan orbit Islam, mereka ber-Islam tetapi melalui orbit lain. Kalau
demikian apakah mereka dapat dikatakan sebagai Muslim?
Al-Baqarah (2)

2.2. Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa,

2.3. (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan
menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.

2.4. dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan kepadamu dan
Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan)
akhirat.

Al-Baqarah (2) : 186

2.186. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia
memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Al-Isra' (17) : 79

17.79. Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu
Ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang
terpuji.

Al-Baqarah (2) : 158

2.158. Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah . Maka
barangsiapa yang berIbadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, maka tidak ada dosa baginya
mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan
dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha
Mengetahui.

Aditya answered 3 years ago

AL BAQARAH

255. Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi
terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya
apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-
Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan
mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi
Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar.

ALI 'IMRAN

2. Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang Hidup kekal lagi terus
menerus mengurus makhluk-Nya.

YUNUS

3. Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy untuk mengatur segala urusan. Tiada
seorang pun yang akan memberi syafaat kecuali sesudah ada izin-Nya. (Zat) yang demikian
itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil
pelajaran?

FATHIR

1. Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-
utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing
(ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang
dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

AL IKHLASH

1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa,

al fatihah

2. Segala puji[2] bagi Allah, Tuhan semesta alam[3].

[2] Alhamdu (segala puji). Memuji orang adalah karena perbuatannya yang baik yang
dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-Nya karena
perbuatanNya yang baik. Lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan
seseorang terhadap nikmat yang diberikannya. Kita menghadapkan segala puji bagi Allah
ialah karena Allah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.

al anam
11. Katakanlah: "Berjalanlah di muka bumi, kemudian perhatikanlah bagaimana kesudahan
orang-orang yang mendustakan itu."

yunus
7. Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan
dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan
kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami,

Bissmillahir rahmaaniir rahiim

qul huwa allaahu ahadun

Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.


allaahu alshshamadu

Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.

lam yalid walam yuuladu

Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,

walam yakun lahu kufuwan ahadun

dan tiada seorangpun yang stara dengan DIA.

QS Al Ikhlas ...

Aqidah adalah ilmu yang mengajarkan manusia mengenai kepercayaan yang pasti wajib
dimiliki oleh setiap orang di dunia. Alquran mengajarkan akidah tauhid kepada kita yaitu
menanamkan keyakinan terhadap Allah SWT yang satu yang tidak pernah tidur dan tidak
beranak-pinak. Percaya kepada Allah SWT adalah salah satu butir rukun iman yang pertama.
Orang yang tidak percaya terhadap rukun iman disebut sebagai orang-orang kafir.
Di antaranya ada dalam :
Surat Al Ikhlas (1-4)

Adz Dzariyat :56): Dan tidaklah Aku ciptakan seluruh jin dan seluruh[1] manusia melainkan
untuk menyembah kepadaKu

Al Anbiya : 25 : Tidaklah kami mengutus seorang Rosul/utusan sebelummu kecuali kami


wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Aku
(Allah) maka bertauhidlah pada Ku (Allah)

MAKALAH

TAFSIR AYAT-AYAT AL-QURAN TENTANG AKIDAH


(SURAT ALIMRAN: 28) AT-TAUBAH: 60, THAHA: 14-15)
Oleh:
SAYYALI SURYADI, S.Sos.I

RA. RAUDLATUL ULUM TAMPOJUNG PREGI


KECAMATAN WARU KABUPATEN PAMEKASAN

TAFSIR AYAT-AYAT AL-QURAN TENTANG AKIDAH


(SURAT ALIMRAN: 28) AT-TAUBAH: 60, THAHA: 14-15)

Oleh: Sayyali Suryadi, S.Sos.I

TAFSIR AYAT-AYAT AL-QURAN TENTANG AKIDAH

Tafsir Rawailul Bayan Surat Al-Imran: 28



[28 ]

Artinya:
Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang
beriman, barang siapa berbuat demikian, niscaya dia tidak akan memperoleh apapun dari Allah. Kecuali
karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu
akan di (siksa) nya. Dan hanya kepada Allah tempat kembali. (al-Imran: 28)



:
.
.

:Sebab Turunnya Ayat ini

Ayat yang mulya ini turun pada waktu perkaranya suatu kaum dari kalangan muminin yang pada
waktu itu mereka mempunyai beberapa sahabat dari kalangan Yahudi sedangkan mereka menjadikan
sahabat mereka (orang-orang Yahudi) tersebut sebagai pemimpin mereka. Kemudian sebagian sahabat dari
mereka (orang-orang mumin) berkata kepada mereka (orang-orang mumin yang bersahabat dengan
Orang-orang Yahudi): jauhilah oleh kalian, orang-orang Yahudi itu dan hati-hatilah berteman dengan
mereka agar mereka tidak menjaukan kalian dari agama kalian dan tidak menyesatkan keimanan kalian.
Kemudian mereka menolak nasehat itu dan tetap berteman dan bersahabat dengan mereka.











.
.

Makna Kata illa


Allah Azzawajalla melarang hamba-hambanya orang-orang mukmin berteman dan menolong
orang-orang kafir atau mendekati mereka dengan Kasih sayang dan cinta kasih, walaupun pertemanan itu
hanya untuk kedekatan ataupun perkenalan, karena tidaklah pantas bagi seorang mukmin menjadikan
musuh-musuh Allah sebagai teman mereka.. Sungguh sesuatu yang tidak masuk akal apabila seorang
manusia bisa menyatukan antara kecintaan kepada Allah Azzawajalla dengan kecintaan kepada musuh-
musuh-Nya, karena sesungguhnya yang demikian itu adalah mengumpulkan antara dua hal yang
bertentangan. Maka barang siapa yang mencintai Allah, maka secara otomatis ia membenci musuh-musuh-
Nya. Oleh karena itu, orang muslim tidak diperbolehkan bersahabat dengan orang-orang selain mukmin
yang kemudian ia mengmbil (menjadikan) salah satu dari orang-orang kafir yang mempunyai motiv-motiv
yang jelek terhadap orang-orang mukmin tersebut sebagai pemimpin-pemimpinnya. Ia (muslim) berteman
dengan mereka (orang-orang kafir), memberikan cinat kasihnya dan pertolongannya kepada mereka serta
meninggalkan sauadara-saudaranya yang mukmin, padahal tidak ada suatu hubungan dan nasab (keturunan)
antara keimanan dan kekafiran.
Maka ayat yang mulya di atas, menyuruh berhati-hati dari pertemanan orang-orang kafir kecuali
dalam keadan darurat yaitu mengantisipasi kejelekan-kejelekan dan mencegah bahaya dari sesuatu yang
mengkhawatirkan dari mereka, maka yang demikian itu diperbolehkan dengan dua syarat : pertama,
pertemanan itu hanya sebatas dhohir sambil menyimpan kebencian. Kedua, membenci mereka secara batin.
Kemudian ayat ini diakhiri dengan ancaman dahsyat yang menunjukkan atas keagungan dosa
tersebut yang diperbuat (dilakukan) oleh orang yang menentang perintah Allah dan berkonsili dengan
musekutu-sekutu-Nya.

(Intisari-Intisari Tafsir) :
] :
[
.

Intisari Pertama:
Sebuah pelajaran dengan firman Allah SWT [dan barang siapa yang menjadikan orang-orang kafir
pemimpin melainkan orang-orang yang beriman] untuk mengambil kesimplan dan membangkitkan
semangat kita dengan mengingat-Nya penjelekan terhadap sikap seperti ini, maka persahabatan dengan
orang-orang kafir termasuk paling buruknya keburukan menurut Allah.

] ] :

.

Intisari Kedua:
Firman Allah SWT [tidak akan memperoleh apapun dari Allah] artinya bukan termasuk dari agama Allah
atau syariat Allah, dan takabbur (sombong) dalam suatu apapun untuk meremehkan, artinya hal ini
bukanlah termasuk suatu bagian dari agama Allah yang sedikit atau banyak karena sesungguhnya yang
demikian itu penyatuan antara dua hal yang bertentangan.

] [ :
[ ] :

Intisari Ketiga
Di dalam firmn Allah SWT [kecuali karena (siasat) menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka]
pemblikan dari dhomir ghaib pada dhamir khitab: walaupun telah datang di peraturan pertama maka akan
menjadi [kecuali mereka takut].

]:
[
.

Intisari Keempat
Jelasnya ismu al-jalalah merupakan tempat prsembunyian di dalam firman Allah SWT [dan hanya kepada
Allah tempat kembalinya ] sebagai pendidikan dan pemeliharan jiwa dan mendahulukan khabar
dari pada mubtada fungsinya sebagai penympitan.

Perbedaan Fuqaha (Ulama Fiqih)


Tentang Diperbolehkannya Meminta Pertolongan Kepada Orang-Orang Kafir Dalam Sebuah
Peperangan

Perbedaan Dua Madzhab:

: .
) (
.


.

A. Madzhab Al-Maliki
Menurut madzhab ini, bahwasanya tidak diperbolehkan meminta tolong pada orang-orang kafir untuk
berperang dengan menisbatkan pada makna dhohir ayat yang mulia danapa yang termaktub dalam sebuah
kisah (Ubadahbin Shomit) sebagaimana telah dijelaskan sebab turunnya ayat tersebut. Dan telah
dinisbatkan juga pada apa yang telah diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah ra. Bahwa, ada seorang laki-laki
dari kaum musyrik datang kepada Rasulullah SAW pada waktu perang Badar, meminta izin untuk ikut
berperang bersama beliau. Kemudian beliau berkata kepadanya: Pulang! Sekali-sekali aku tidak akan
pernah meminta bantuan kepada orang-orang Musyrik.

:( ) .
. :
,
,
,
,
:

. ,

B. Madzhab Mayoritas Ulama (Imam Syafii, Hambali dan Hanafi)


Mereka (Imam SyafiI, Imam Hambali dan Imam Hanafi) mengatakan: boleh meminta pertolongan
dalam sebuah perang dengan syarat: pertama, karena butuh kepada pertolongan mereka. Kedua,
kepercayaan terhadap mereka. dan syarat yang kedua ini elah dinisbatkan pada perbuatan Nabi SAW. Beliau
meminta bantuan pada orang Yahudi kemudian beliau memotong-motong ranting dan membagikannya
kepda mereka. Beliau juga meminta bantuan kepada Sofyan bin Umayyah, maka semua itu menunjukkan
bolehnya meminta bantuan pada orang-orang kafir untuk berperang.
Dan mereka mengatakan dengan mengembalikan pada dalil-dalilnya Madzhab maliki bahwa dalil-
dalilnya itu mansukh dengan fiil dan perbuatan Nabi.Sebagian mereka berkata sesungguhnya apa yang
dikatakan oleh Madzhab Maliki dimaksudkan pada tidak adanya kebutuhan dan tidak adanya kepercayaan
dengan kata lain bahwa sesungguhnya Nabi SAW belum percaya kepada mereka. dengan demikian akan
menghasilkan penggabungan antara dalil-dalil larangan sekaligus dalil-dalil yang membolehkan.

:
, :
,
.

Hukum Kedua: Apa maka lafadz at-taqiyyatu dan apa hukumnya?


Ibnu Abbas berkata: at-taqiyyatu yaitu seseorang berkata dengan lisannya sedangkan hatinya teduh dengan
iman, dan tidak membunuh dan melakukan dosa. Dan sebagian mereka mengartikan yaitu bahwa
sesungguhnya at-taqiyatu itu menjaga jiwa dan harta dari perbuatan buruk para musuh, maka manusia
menjaganya dengan menampakkan persahabatan dengan tanpa meyakini (bersugguh-sungguh) pada
persahabatan itu.

:

,
,
.[28 ] [ ]
ukum ketiga: Bolehkah menjadikan orang-orang kafir sebagai teman atau penolong dan memanfaatkannya dalam
urusan-urusan orang Islam?

Dalam hal ini sebagian ulama merujuk pada ayat yang mulia ini bahwa menjadikan orang kafir sebagai
wali untuk suatu urusan yang menyangkut perkara-perkaranya orang muslim itu tidak boleh, begitu juga
tidak boleh menjadikan mereka pekerja atau sebagai pembantu. Sebagaimana mengagungkan mereka dan
bersikap yang berlebihan di dalam suatu majlis dan berdiri ketika mereka dating, maka sesunguhnya dalil
tentang pengagungan itu jelas. Dan kita telah diperintahkan untuk meremehkan mereka. [sesungguhnya
orang-orang musyrik itu najis]. At-taubah:28

:


.} {
:


.

m Keempat: Sikap yang halus (bujukan) terhadap ahli kejahatan dan kemaksiatan

Bujkan (sikap yang halus) kepada ahli kejahatan dan kemaksiatan hukumnya boleh dan sikap seperti ini
tidak termasuk dalam persahabatan yang diharamkan. Nabi SAW bersikap halus kepada orang Fasik dan
orang yang maksiat dan beliau bersabda: hendaknya kita menampakkan wajah kita pada satu kaum
sedangkan hati kita melaknatnya sebagaimana sebagian ulama berkata: apabila sikap itu tidak untuk
mendatangkan kemudharatan (sesuatu yang berbahaya) dengan kata lain, sikap itu tidak bertentangan
dengan dasar-dasar agama, maka yang demikian itu diperbolehkan. Dan apabila sikap itu mendatangkan
sesuatu yang berbahaya seperti pembunuhan, pencurian dan kesaksian palsu maka yang demikian itu sangat
tidak boleh. Dan Allah akan memberi petunjuk pada seseorang yang Dia kehendaki menuju jalan yang
lurus.

Tafsir Jalalain Surat At-Taubah Ayat: 60

] [ ] [
[ ] [ ]
] [


][ ][ ][

] [ ]
[ ][ ]
[ ][




.
Tafsirannya:
[Sesungguhnya shodaqah] zakat itu adalah suatu kewajiban yang harus dibayar [kepada orang-orangg
fakir] yaitu orang-orang yang tidak mendapatkan nafkah [harta] yang cukup dalam memenuhi
kebutuhannya setiap hari [dan orang-orang miskin] yaitu orang-orang yang tidak mendapatkan apa yang
mereka butuhkan [dan para pengurus zakat] yaitu orang-orang yang mengumpulkan, membagikan, dan
menyebarkan zakat [orang-orang muallaf yang dibujuk hatinya] untuk menyelamatkan atau menetapkan
keislamannya atau menjaga pandangannya terhadap islam dan mereka berhak mendapatkan bagian dari
orang-orang islam. Sedangkan yang pertama dan yang terakhir tidak diberikan sekarang untuk kemenangan
islam menurut Imam SyafiI radhiyallahu anhu yang berbeda dengan pendapat yang lain (pendapat yang
lebih shah). [dan di dalam] membebaskan [para penulis zakat] yaitu orang yang mendata zakat [dan
kepada orang-orang yang berhutang] maksudnya ahli agama yang berhutang untuk keperluan yang
bukan kemaksiatan atau orang-orang yang bertobat dari dosa-dosa besar sedangkan mereka tidak
mempunyai sesuatu apapun, ataupun digunakan untuk memperbaiki diri setelah bertobat (semisal
tazkiyatun-nafs dan semacamnya) walaupun ia termasuk orang yang kaya (tapi harta yang ada hasil dari
dosanya sebelum ia bertobat) [dan kepada orang-orang yang berjuang dijalan Allah] yaitu orang-orang
yang yang menegakkan jihad di jalan Allah [dan musafir] yang kehabisan bekal sehingga ia herus berhenti
ditengah perjalanannya [suatu bagian] yang dibagikan sesuai dengan ketentuan (nishab) [dari Allah dan
Allah Dzat yang maha tahu] terhadap ciptaan-Nya [dan maha bijaksana] didalam ciptaan-Nya. Maka
pembagian zakat itu tidak diperuntukkan bagi selain mereka (8 golongan yang telah disebut diatas) dan
tidak ada larangan untuk membagikannya pada sebagian dari mereka, kemudian seorang Imam (pemimpin)
membagikannya secara fifty-fifty dan hendaknya ia melebihkan pada salah satu dari golongan dari pada
yang lain. Adapun fungsinya kalimat berfungsi sebagai kewajiban adanya pemisahan individual, hal
ini tidak wajib bagi shohibul mal membagikannya pada prang lain akan tetapi cukup diberikan pada tiga
orang dari tiap golongan dan tidak memenuhi syarat apabila diberikan pada selain yang tiga tersebut.
Sebagaimana fungsinya dan telah dijelaskan di dalam hadits bahwa syarat bagi seorang
penerima zakat adalah islam baik Bani Hasyim ataupun Bani Mathlabi.
Tafsir Munir Surat Thaha Ayat: 14-15

] [ ] [
] [

[ ] [ ]



:




] [ ] [
.

Tafsirannya:
[Sesungguhnya Aku adalah Allah] yang telah memberi wahyu. [Tiada Tuhan selain Allah] dan ini
adalah petunjuk bagi akidah-akidah yang bersifat aqliyah [Maka sembahlah Aku dan dirikanlah sholat
untuk mengingatku] atau untuk mengingatku di dalam sholat untuk pengaplikasian terhadap perkataan-Ku
atau untuk menyebut-Ku dengan pujian dan kebaikan atau menyebutku dengan ikhlas. Janganlah kamu
jadikan sholat itu untuk tujuan selain itu. Hal Ini merupakan petunjuk untuk perbuatan-perbuatan Fariyah.
[Sesungguhnya hari Kiamat itu akan datang] artinya sesuatu yang mungkin itu pasti akan datang. [Aku
merahasiakan waktunya] yang waktunya itu jelas, atau waktu itu telah dekat. Dan dikuatkan dengan
bacaan hamzah yang berharkat fathah yang bermakna akan Aku hapus waktu yang dirahasiakan itu
karena lafadz afalu bermkna peniadaan atau penyangkalan seperti kamu berkata aku menyamarkan
kitab itu artinya meniadakan bentuknya dan hal ini merupakan petunjuk bagi akidah-akidah yang bersifat
samiyah. Dan ketiga hal tersebut ( Aqaid-Aqliyah, Amal-fariyah dan Aqaid as-samiyah) termasuk
kalimat agama. Maka dasar-dasar bab ini kembali pada tiga hal yaitu: Ilmu al-Mabda(permulan), ilmu al-
Wasthu (pertengahan), dan ilmu al-Maad (Akhirat). Adapun ilmu al-Mabda (permulaan) itu adalah

mengetahui Allah SWT, maksudnya adalah firman Allah SWT . Sedangkan Ilmu al-

Wasthu (pertengahan) itu adalah ilmu tentang hal ibadah, sebagaimana firman Allah sebagi
suatu isyarat pada perbuatan-perbuatan yang bersifat jasmaniyah, sebagaimana Allah juga berfirman

dengan artian supaya perbuatan-perbuatan yang bersifat jasmani tersebut menjadi pengingat
pada selain manusia serta sebagai isyarat menuju perbuatan-perbuatan yang bersifat rohani. Adapun ibadah
itu diawali dengan perbuatan jasmani dan diakhiri dengan perbuatan rohani. Sedangkan Ilmu al-Maad

(Akhirat) adalah firman Allah SWT [ untuk membalas setiap jiwa]


yaitu memberi pahala ataupun ganjaran [dengan apa yang ia perbuat] yaitu sesuatu yang ia kerjakan baik

perbuatan baik maupun buruk. Maka firman Allah berkorelasi dengan firman-Nya atau

. (Sayyali).

Anda mungkin juga menyukai