Anda di halaman 1dari 15

Metodeee

1. Takhrij Melalui Lafaz Pertama Matan Hadis


Metode ini sangat tergantung pada lafaz pertama matan hadis. Hadis-hadis dengan metode ini
dikodifikasi berdasarkan lafaz pertamanya menurut urutan huruf hijaiyah. Misalnya, apabila
akan men-takhrij hadis yang berbunyi;

Untuk mengetahui lafaz lengkap dari penggalan matan tersebut, langkah yang harus dilakukan
adalah menelusuri penggalan matan itu pada urutan awal matan yang memuat penggalan matan
yang dimaksud. Dalam kamus yang disusun oleh Muhammad fuad Abdul Baqi, penggalan
hadis tersebut terdapat di halaman 2014. Bearti, lafaz yang dicari berada pada halaman 2014
juz IV.[14] Setelah diperiksa, bunyi lengkap matan hadis yang dicari adalah;

:
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Saw bersabda, (Ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu
bukanlah dari kekuatan orang itu dalam berkelahi, tetapi yang disebut sebagai orang yang
kuat adalh orang yang mampu menguasai dirinya tatkala dia marah.
Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal memberikan kemungkinan yang besar bagi
seorang mukharrij untuk menemukan hadis-hadis yang dicari dengan cepat. Akan tetapi,
metode ini juga mempunyai kelemahan yaitu, apabila terdapat kelainan atau perbedaan lafaz
pertamanya sedikit saja, mak akan sulit unruk menemukan hadis yang dimaksud. Sebagai
contoh ;

Berdasarkan teks di atas, maka lafaz pertama dari hadis tersebut adalah iza atakum () .
Namun, apabila yang diingat oleh mukharrij sebagai lafaz pertamanya adalah law atakum (
)atau iza jaakum [15](), maka hal tersebut tentu akan menyebabkan sulitnya
menemukan hadis yang sedang dicari, karena adanya perbedaan lafaz pertamanya, meskipun
ketiga lafaz tersebut mengandung arti yang sama.

2. Takhrij Melalui Kata-Kata dalam Matan Hadis


Metode ini adalah metode yang berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadis,
baik berupa kata benda ataupun kata kerja. Dalam metode ini tidak digunakan huruf-huruf,
tetapi yang dicantumkan adalah bagian hadisnya sehingga pencarian hadis-hadis yang
dimaksud dapat diperoleh lebih cepat. Penggunaan metode ini akan lebih mudah manakala
menitikberatkan pencarian hadis berdasarkan lafaz-lafaznya yang asing dan jarang
penggunaanya.
Kitab yang berdasarkan metode ini di antaranya adalah kitab Al-Mu`jam Al-Mufahras li Al-faz
Al-Hadis An-Nabawi. Kitab ini mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di dalam Sembilan
kitab induk hadis sebagaimana yaitu; Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Turmizi, Sunan Abu
Daud, Sunan Nasai, Sunan Ibn Majah, Sunan Darimi, Muwaththa malik, dan Musnad Imam
Ahmad.
Contohnya pencarian hadis berikut;


Dalam pencarian hadis di atas, pada dasrnya dapat ditelusuri melalui kata-kata naha ()
taam ( ), yukal ( )al-mutabariyaini (). Akan tetapi dari sekian kata yang dapat
dipergunakan, lebih dianjurkan untuk menggunakan kata al-mutabariyaini ( )karena
kata tersebut jarang adanya. Menurut penelitian para ulama hadis, penggunaan kata tabara (
)(di dalam kitab induk hadis (yang berjumlah Sembilan) hanya dua kali.
Penggunaan metode ini dalam mentakhrij suatu hadis dapat dilakukan dengan mengikuti
langkah-langkah sebagai berikut:
Langkah pertama, adalah menentukan kata kuncinya yaitu kata yang akan dipergunakan
sebagai alatuntuk mencari hadis. Sebaiknya kata kunci yang dipilih adalah kata yang jarang
dipakai, karena semakin bertambah asing kata tersebut akan semakin mudah proses pencarian
hadis. Setelah itu, kata tersebut dikembalikan kepada bentuk dasarnya. Dan berdasarkan bentuk
dasar tersebutdicarilah kata-kata itu di dalam kitab Mujammenurut urutannya secara abjad
(huruf hijaiyah).
Langkah kedua, adalah mencari bentuk kata kunci tadi sebagaimana yang terdapat di dalam
hadis yang akan kita temukan melalui Mujam ini. Di bawah kata kunci tersebut akan
ditemukan hadis yang sedang dicari dalam bentuk potongan-potongan hadis (tidak lengkap).
Mengiringi hadis tersebut turut dicantumkan kitab-kitab yang menjadi sumber hadis itu yang
dituliskan dalm bentuk kode-kode sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
Metode ini memiliki beberapa kelebihan yaitu; Metode ini mempercepat pencarian hadis dan
memungkinkan pencarian hadis melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam matan hadis.
Selain itu, metode ini juga memiliki beberapa kelemahan yaitu; Terkadang suatu hadis tidak
didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang mencarinya harus menggunakan kata-kata
lain.

3. Takhrij Berdasarkan Perawi Sahabat

Metode ini dikhususkan jika kita mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadis, lalu kita
mnecari bantuan dari tiga macam karya hadis yakni;

Al-Masanid (musnad-musnad). Dalam kitab ini disebutkan hadis-hadis yang diriwayatkan


oleh setiap sahabat secara tersendiri. Selama kita sudah mengetahui nama sahabat yang
meriwayatkan hadis, maka kita mencari hadis tersebut dalam kitab ini hingga
mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.

Al- ma`ajim (mu`jam-mu`jam). Susunan hadis di dalamnya berdasarkan urutan musnad


para sahabat atau syuyukh (guru-guru) sesuai huruf kamus hijaiyah. Dengan mengetahui
nama sahabat dapat memudahkan untuk merujuk hadisnya.
Kitab-kitab Al-Atraf. Kebanyakan kitab al-atraf disusun berdasarkan musnad-musnad
para sahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti
mengetahui bagian dari hadis itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang
ditunjukkan oleh kitab-kitab al-atraf tadi untuk kemudian mengambil hadis secara
lengkap.

Kelebihan metode ini adalah bahwa proses takhrij dapat diperpendek. Akan tetapi, kelemahan
dari metode ini adalah ia tidak dapat digunakan dengan baik, apabila perawih yang hendak
diteliti itu tidak diketahui.

4. Takhrij Berdasarkan Tema Hadis

Metode ini berdasrkan pada tema dari suatu hadis. Oleh karena itu untuk melakukan takhrij
dengan metode ini, perlu terlebih dahulu disimpulkan tema dari suatu hadis yang akan
ditakhrij dan kemudian baru mencarinya melalui tema itu pada kitab-kitab yang disusun
menggunkan metode ini. Seringkali suatu hadis memiliki lebih dari satu tema. Dalam kasus
yang demikian seorang mekharrij harus mencarinya pada tema-tema yang mungkin dikandung
oleh hadis tersebut. Contoh :







Dibangun Islam atas lima pondasi yaitu : Kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
bahwa Muhammad itu adalah Rasulullah, mendirikan shalat, membayarkan zakat, berpuasa
bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
Hadis diatas mengandung beberapa tema yaitu iman, tauhid, shalat, zakat, puasa dan haji.
Berdasarkan tema-tema tersebut maka hadis diatas harus dicari didalam kitab-kitab hadis
dibawah tema-tema tersebut. Cara ini banyak dibantu dengan kitab Miftah Kunuz As-Sunnah
yang berisi daftar isi hadis yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan.
Dari keterangan diatas jelaslah bahwa takhrij dengan metode ini sangat tergantung kepada
pengenalan terhadap tema hadis. Untuk itu seorang mukharrij harus memiliki beberapa
pengetahuan tentang kajian Islam secara umum dan kajian fiqih secara khusus.
Metode ini memiliki kelebihan yaitu : Hanya menuntut pengetahuan akan kandungan hadis,
tanpa memerlukan pengetahuan tentang lafaz pertamanya. Akan tetapi metode ini juga
memiliki berbagai kelemahan, terutama apabila kandungan hadis sulit disimpulkan oleh
seorang peneliti, sehingga dia tidak dapat menentukan temanya, maka metode ini tidak
mungkin diterapkan.

5. Takhrij Berdasarkan Status Hadis


Metode ini memperkenalkan suatu upaya baru yang telah dilakukan para ulama hadis dalam
menyusun hadis-hadis, yaitu penghimpunan hadis berdasarkan statusnya. Karya-karya
tersebut sangat membantu sekali dalam proses pencarian hadis berdasarkan statusnya, seperti
hadis qudsi, hadis masyhur, hadis mursal dan lainnya. Seorang peneliti hadis dengan
membuka kitab-kitab seperti diatas dia telah melakukan takhrij al hadis.[16]
Kelebihan metode ini dapat dilihat dari segi mudahnya proses takhrij. Hal ini karena sebagian
besar hadis-hadis yang dimuat dalam kitab yang berdasarkan sifat-sifat hadis sangat sedikit,
sehingga tidak memerlukan upaya yang rumit. Namun, karena cakupannya sangat terbatas,
dengan sedikitnya hadis-hadis yang dimuat dalam karya-karya sejenis, hal ini sekaligus
menjadi kelemahan dari metode ini.
Kitab kitab yang disusun berdasarkan metode ini :

Al-Azhar al-Mutanasirah fi al-Akbar al-Mutawatirah karangan Al-Suyuthi.

Al-Ittihafat al-Saniyyat fi al-Ahadis al-Qadsiyyah oleh al-Madani.

Al-Marasil oleh Abu Dawud, dan kitab-kitab sejenis lainnya.

Beberapa Metode Takhrij al-Hadits


Untuk men-takhrij suatu hadits kita bisa menggunakan paling tidak lima macam metode.
Secara global metode-metode sebagai berikut:
a. Takhrij al-Hadits dengan cara memastikan terlebih dahulubrawi suatu hadits yang dari
kalangan Shahabat. Metode ini bisa kita gunakan untuk Takhrij al-Hadits jika terdapat
nama shahabat di dalam hadits yang akan menjadi objek takhrij kita. Kemudian
berdasarkan nama shahabat tadi kita bisa lebih mudah melakukan takhrij dengan tiga kitab
yaitu al-Masanid (kitab-kitab sanad hadist), al-Maajim (kamus-kamus hadits), dan Kutub
al-Athraf (kitab-kitab hadits penggalan).
b. Takhrij al-Hadits dengan cara mengetahui kata yang pertama dalam matan suatu hadits.
Kita bisa memakai metode ini untuk takhrij al-hadits jika kita telah menemukan kata yang
pertama disebut di dalam suatu hadits. Penggunaan metode ini akan lebih mudah dengan
bantuan kitab-kitab hadits yag memuat hadits-hadits terkenal, kitab-kitab hadits yang
tertulis urut berdasarkan abjad, dan kitab-kitab pengantar hadits.
c. Takhrij al-Hadits dengan cara mengetahui kalimat yang jarang terucap di dalam bagian
matan suatu hadits. Kitab al-Mujam al-Mufahras li Alfadli al-Hadits al-Nabawi adalah
kitab yang bisa kita gunakan untuk takhrij al-hadits dengan metode ini.
d. Takhrij al-Hadits dengan cara mengetahui terlebih dahulu tema suatu hadits. Metode ini
merupakan metode yang cukup rumit dalam takhrij al-hadits. Untuk menerapkanya kita
dituntut untuk memiliki olah rasa batin (dzauq) yang kuat, karena tanpaya kita akan
kesulitan menentukan tema suatu hadits. Meskipun demikian, ada beberapa model kitab
kontemporer yang cukup bisa membantu kita dalam takhrij al-hadits dengan metode ini,
yaitu antara lain:
1. Kitab-kitab yang bab dan temanya memuat seluruh urusan agama. Beberapa
diantaranya ialah kitab al-Jawami, al-Mustakhraj wa al-Mustadrakat ala al-Jawami, al-
Zawaid, dan kitab Miftahu kunuzi al-Sunah.
2. Kitab-kitab yang bab dan temanya memuat sejumlah besar masalah agama. Kitab-kitab
tersebut antara lain al-Sunan, al-Mushthalahat, al-Muwathaat, dan al-Mustakhrajat al
al-Sunan.
3. Kitab-kitab yang khusus memuat satu permasalahan agama, seperti kitab al-Ajza, al-
Targhib wa al-Tarhib, dan lain-lain.
e. Takhrij al-Hadits dengan cara melihat hal-hal khusus dalam matan dan sanad suatu
hadits. Metode ini dapat kta terapkan setelah kita mendalami sifat-sifat tertentu yang terdapat
di dalam matan atau sanad suatu hadits. Pada tataran selanjutnya kita harus mencari rujukan
tentang sifat-sifat itu di dalam kitab-kitab yang memuatnya pada matan atau sanadnya.
Terkait takhrij al-hadits dengan metode ini, jika sifat-sifat khusus tersebut terdapat dalam
suatu hadits kita bisa merujuk pada kitab al-Maudhuat al-Sughra karya Syaikh Ali al-Qariy
al-Harawiy (1014 H). Selain itu kita juga bisa merujuk pada kitab Tanzih al-Syariat al-
Marfuah an al-Ahadits al-Syaniah al-Maudhuah karya Abi al-Hasan Ali al-Kannaniy. Jika
matan tersebut terdapat di dalam hadits qudsi kita bisa menggunakan kitab Misykat al-Anwar
fi-Ma Ruwiya an Allah SWT karya Muhyidin Muhamad al-Andalusi (638 H), atau kItab al-
Ittihafat al-Saniyah bi al-Ahadits al-Qudsiyah karya Syaikh Abdurrauf al-Munawi (1031 H).
Adapun jika tersebut di dalam sanad, maka kita bisa merujuk kitab Riwayat al-Aba an al-
Abna kaya Abu Bakar al-Baghdadi (463 H), dalam kitab al-Musalsalat al-Kubra karya al-
Suyuti, dan kitab al-Marasil karya Ibnu Abi Hatim Abdurrahman al-Razi (327 H). Dan jika
sifat khusus tersebut di dalam matan sekaligus sanad, maka kita bisa merujuk kitab Ilal al-
Hadits karya Ibnu Abi Hatim al-Razi, al-Asma al-Mubhamah fi al-Anba al-Muhkamah karya
Khatib al-Baghdadi dan lain-lain.

Ada beberapa kitab yang diperlukan untuk melakukan takhrij hadits. Adapun kitab-kitab
tersebut antara lain:
1. Hidayatul Bari ila Tartibi Ahadisil Bukhari () ( (
Penyusun kitab ini adalah Abdur Rahman Ambar Al-misri At-Tahtawi. Kitab ini disusun
khusus untuk mencari hadits-hadits yang termuat dalam Shahih Al-Bukhari. Lafal-lafal hadits
disusun menurut aturan urutan huruf abjad arab. Namun hadits-hadits yang dikemukakan
secara berulang dalam Shahih Bukhari tidak dimuat secara berulang dalam kamus di atas.
Dengan demikian perbedaan lafal dalam matan hadits riwayat Al-Bukhari tidak dapat
diketahui lewat kamus tersebut.
2. Mujam Al-Fazi wala siyyama al-gharibu minha atau fihris litartibi ahadisi sahihi muslim(
-))
Kitab tersebut merupakan salah satu juz yakni juz ke-V dari kitab Shahih Muslim yang
disunting oleh Muhammad Abdul Baqi. Juz V ini merupakan kamus terhadap juz ke-I IV
yang berisi:
a. Daftar urutan judul kitab serta nomor hadits dan juz yang memuatnya.
b. Daftar nama para sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits yang termuat dalam Shahih
Muslim.
c. Daftar awal matan hadits dalam bentuk sabda yang tersusun menurut abjad serta
diterangkan nomor-nomor hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, bila kebetulan hadits
tersebut juga diriwayatkan oleh Bukhari.

3. Miftahus Sahihain ( )
Kitab ini disusun oleh Muhammad Syarif bin Musthafa Al-Tauqiah. Kitab ini dapat digunakan
untuk mencari hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan diriwayatkan oleh Muslim.
Akan tetapi hadits-hadits yang dimuat dalam kitab ini hanyalah hadits-hadits yang berupa
sabda (qauliyah) saja. Hadits-hadits tersebut disusun menurut abjad dari awal lafal matan
hadits.
4. Al-Bugyatu fi tartibi ahadisil hilyah ( )
Kitab ini disusun oleh Sayyid Abdul Aziz bin Al-sayyid Muhammad bin Sayyid Al-siddiq Al-
Qammari yang memuat dan menerangkan hadits-hadits yang tercantum dalam kitab yang
disusun Abu Nuaim Al-Asabuni (w.430 H) yang berjudul : Hidayatul auliyai wababaqatul
asfiyai.
Sejenis dengan kitab tersebut di atas adalah kitab Miftahut tartibi li ahadisi tarikhil khatib (
)
Yang disusun oleh Sayyid Ahmad bin Sayyid Muhammad bin Sayyid As-Siddiq Al-Qammari
yang memuat dan menerangkan hadits-hadits yang tercantum dalam kitab sejarah yang
disusun oleh Abu bakar bin Ali bin Tsabit bin Ahmad Al-Baghdadi yang dikenal dengan Al-
Khatib Al-Bagdadi (w.463 H). Susunan kitabnya diberi judul Tarikhul Bagdadi yang terdiri
atas 4 jilid.
5. Al-Jamius Sagir ( (
kitab ini disusun oleh Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuti (w.91 h). kitab kamus hadits
tersebut memuat hadits-hadits yang terhimpun dan kitab himpunan kutipan hadits yang
disusun oleh As-Suyuti juga, yakni kitab Jamul Jawani ((
hadits yang dimuat dalam kitab Jamius Sugir disusun berdasarkan urutan abjad dari awal lafal
matan hadis. Sebagian dari hadits-hadits itu ada yang ditulis secara lengkap dan ada pula yang
ditulis sebagian-sebagian saja, namun telah mengandung pengertian yang cukup.
Kitab hadits tersebut juga menerangkan nama-nama sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits
yang bersangkutan dan nama-nama mukharijnya (periwayat hadits yang menghimpun hadits
dalam kitabnya). Selain itu, hampir setiap hadits yang dikutip dijelaskan kualitasnya menurut
penilaian yang dilakukan atau disetujui oleh As-suyuti.
6. Al- Mujam al-mufahras li alfazil hadits nabawi ( (
Penyusun kitab ini adalah sebuah tim dari kalangan orientalis. Di antara anggota tim yang
paling aktif dalam kegiatan proses penyusunan ialah Dr. Arnold John Wensinck (w.1939 m.),
seorang professor bahasa-bahasa semit, termasuk bahasa Arab di Universitas Leiden, negeri
belanda.
Kitab ini dimaksudkan untuk mencari hadits berdasarkan petujuk lafal matan hadits. Berbagai
lafal yang disajikan tidak dibatasi hanya lafal-lafal yang berada di tengah dan bagian-bagian
lain dari matan hadits. Dengan demikian, kitab mujam mampu memberikan informasi kepada
pencari matan dan sanad hadits, asal saja sebagian dari lafal matan yang dicarinya itu telah
diketahuinya.
Kitab mujam ini terdiri dari tujuh juz dan dapat digunakan untuk mencari hadits-hadits yang
terdapat dalam Sembilan kitab hadits, yakni: Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Daud,
Sunan Turmudzi, Sunan NasaI, Sunan Ibnu Majjah, Sunan Daromi, Muwatta Malik, dan
Musnad Ahmad.
B. Sejarah Takhrij Hadist
Para ulama dan peneliti hadist terdahulu tidak membutuhkan kaidah-kaidah dan pokok-pokok
takhrij ( Ushulut-Takhrij ), karena pengetahuan mereka sangat luas dan ingatan mereka sangat
kuat terhadap sumber-sumber sunnah. Ketika mereka membutuhkan hadist sebagai penguat,
dalam waktu singkat mereka dapat menemukan tempatnya dalam kitab-kitab hadist berdasarkan
dugaan yang kuat. Disamping itu, mereka mengetahui sistematika penyusunan kitab-kitab hadist,
sehingga mudah bagi mereka untuk mempergunakan dan memeriksa kembali guna mendapatkan
hadist. Hal seperti itu juga mudah bagi orang yang membaca hadist pada kitab-kitab selain
hadist, karena ia berkemampuan mengetahui sumbernya dan dapat sampai pada tempatnya
dengan mudah.
Keadaan seperti itu berlangsung sampai berabad-abad, hingga pengetahuan para ulama tentang
kitab-kitab hadist dan sumber aslinya menjadi sempit, maka sulitlah bagi mereka untuk
mengetahui tempat-tempat hadist yang menjadi dasar Ilmu Syari, seperti fikih, tafsir, sejarah,
dan sebagainya. Berangkat dari kenyataan inilah sebagaian ulama bangkit untuk membela
hadist dengan cara menakhrijkannya dari kitab-kitab selain hadist, menisbatkannya pada sumber
asli, menyebutkan sanad-sanadnya, dan membicarakan kesahihan dan kedhoifan sebagian atau
seluruhnya maka timbullah kitab-kitab takhrij.5
Ulama yang pertama kali melakukan Takhrij menurut Mahmud Ath-Thohan adalah Al- Khatib
Al-Baghdadi (w, 436 H) , Kemudian dilakukan pula oleh Muhammad bin Musa Al-Hazimi (w.
584 H) dengan karyanya yang berjudul Takhrij Ahadist Al-Muhadzdzab. Ia mentakhrij kitab fikih
karya Abu Ishaq Asy-Syirazi. Ada juga ulama lainnya seperti Abu Qosim Al-Husaini dan Abu
Al-Qosim Al-Mahrawani. Karya kedua ulama ini hanya beberapa mahthuthah (manuskrip) saja.
a. Mengetahui sumber otentik suatu hadist dari buku hadist apa saja yang didapatkan.
b) Mengetahui ada berapa tempat hadist tersebut dengan sanad yang berbeda di dalam sebuah buku
hadist atau dalam beberapa buku induk hadist.
c) Mengetahui kualitas hadist makbul(diteirma) atau mardud( ditolak).
d) Mengetahui eksistensi suatu hadist apakah benar suatu hadist yang ingin diteliti terdapat dalam
buku-buku hadist atau tidak.8
e) Mengetahui asal-usul riwayat hadist yang akan diteliti.
f) Mengetahui seluruh riwayat bagi hadist yang akan diteliti.
g) Mengetahui ada atau tidak adanya syahid dan mutabi pada hadist yang akan diteliti.9
Tidak dapat dipungkiri bahwa manfaat Takhrij adalah sangat besar terutama bagi orang yang
mempelajari hadist dan ilmunya. Adapun manfaat takhrijul hadist cukup banyak diantaranya
adalah sebagai berikut:
1) Menghimpun sejumlah sanad hadist, dengan takhrij seseorang dapat menemukan sebuah hadist
yang akan diteliti di sebuah atau beberapa tempat di dalam kitab Al-Bukhori saja, atau di dalam
kitab-kitab lain. Dengan demikian ia akan menghimpun sejumlah sanad.
2) Mengetahui referensi beberapa buku hadist, dengan takhrij seseorang dapat mengetahui siapa
perawi suatu hadist dan yang diteliti dan didalam kitab hadist apa saja hadist tersebut
didapatkan.
3) Mengetahui keadaan sanad yang bersambung(muttashil) dan yang terputus(munqothi) dan
mengetahui kadar kemampuan perawi dalam mengingat hadist serta kejujuran dalam
periwayatan.
4) Mengetahui status suatu hadist. Terkadang ditemukan sanad suatu hadist dhoif, tetapi melalui
sanad lain hukumnya sahih.
5) Meningkatkan suatu hadist yang dhoif menjadi hasan lighorihi karena adanya dukungan sanad
lain yang seimbang atau lebih tinggi
8 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist, (Jakarta: Amzah, 2007), 117-118
9Syuhudi, Ibid.,44
7
kualitasnya, atau meningkatnya hadist hasan menjadi shohih ligoirihi dengan ditemukannya sanad
lain yang seimbang atau lebih tinggi kualitasnya.
6) Mengetahui bagaimana para imam hadist menilai suatu kualitas hadist dan bagaimana kritikan
yang disampaikan.
7) Seseorang yang melakukan takhrij dapat menghimpun beberapa sanad dan matan hadist.10
8) Dengan takhrij dapat diketahui banyak sedikitnya beberapa jalur periwayatan suatu hadist yang
sedang menjadi topik kajian.
9) Dengan takhrij akan diketahui kuat dan tidaknya periwayatan. Makin banyaknya jalur
periwayatan akan menambah kekutan riwayat, sebaliknya tanpa dukungan periwayatan lain
maka berarti kekuatan periwayatan tidak bertambah.
10) Dengan takhrij kekaburan suatu periwayatan, dapat diperjelas dari periwayatan jalur isnad yang
lain. Baik dari segi rawi, isnad maupun matan hadist.
11) Dengan takhrij akan dapat ditentukan status hadist shahih dzatihi atau shahih lighoirihi li
ghoirihi, hasan li dzatihi atau hasan lighoirihi. Demikian juga akan diketahui istilah hadist
mutawatir, masyhur, aziz, dan ghorib.
12) Dengan takhrij akan dapat diketahui persamaan dan perbedaan atau wawasan yang lebih luas
tentang berbagai periwayatan dan beberapa hadist terkait.
13) Memberika kemudahan bagi orang yang hendak mengamalkan setelah mengetahui bahwa
hadist tersebut adlah maqbul(dapat diterima), sebaliknya orang yang tidak mengamalkannya
apabila mengetahui bahwa hadist tersebut mardud(ditolak).
14) Mengetahui keyakinan bahwa suatu hadist adalah benar-benar berasal dari Rosulululloh SAW
yang harus diikuti karena adanya bukti-bukti
10 Abdul Majid.,118
8
yang kuat tentang kebenaran hadist tersebut, baik dari segi sanad maupun matan.11
\

Langkah-Langkah Praktis Penelitian Hadist


Langkah-Langkah penelitian Hadist meliputi penelitian sanad dan penelitian matan.
1. Penelitian Sanad dan Rawi Hadist
a) Meneliti sanad dan Rawi adalah takhrij
b) Itibar yaitu menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadist tertentu, dan hadist
tersebut pada bagian sanadnya tampak hanya terdapat rawi saja, dan dengan
menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahui apakah ada rawi yang
lain atau tidak untuk bagian sanad dari sanad yang dimaksud.17
Langkah ini tidak dapat ditinggal sama sekali, mengingat sebelum melakukan penelitian
terhadap karakteristik terhadap setiap rawi, perlu diketahui lebih duhulu rangkaian para
rawi yang terlibat dalam periwayatan hadist yang bersangkutan. Langkah ini dilakukan
dengan membuat skema sanad.
c) Meneliti nama para rawi yang tercantum dalam skema sanad (penelitian asma Ar-
ruwat). Langkah ini dilakukan dengan mencari nama, nisbat, kunyah, dan
16 Mahmud At-Tahan, Metode Takhrij......Ibid.,92-95.
17 Syuhudi Ismail., Ibid.,51
13
laqob setiap rawi dalam kitab-kitab rijalul hadist, seperti kitab Tahdzib At-Tahdzib.
d) Meneliti Tarikh Ar-Ruwat, yaitu meneliti al-Masyayikh wa al-Talamidz(Guru dan
murid) dan al-mawalid wa al-wafayat (tahun kelahiran dan kematian). Dengan langkah
ini dapat diketahui bersambung atau tidaknya suatu sanad.
e) Meneliti Jarh wa Tadil untuk mengetahui karakteristik rawi yang bersangkutan, baik
dari segi aspek moral maupun aspek intelektualnya(keadilan dan kedhobitannya)
2. Penelitian Matan
Langkah terakhir adalah penelitian terhadap matan hadist, yaitu menganalisa matan untuk
mengetahui kemungkinan adanya illat dan syudzudz padanya. Langkah ini dapat dikatakan
sebagai langkah yang paling berat dalam penelitian suatu hadist, baik teknik pelaksanaannya
maupun aspek tanggung jawabnya. Hal itu karena kebanyakan pengalaman suatu hadist
justru lebih bergantung pada hasil analisis matannya daripada penelitian sanad.18
Langkah ini memerlukan wawasan yang luas dan mendalam, untuk itu seorang peneliti
dituntut untuk menguasai bahasa arab dengan baik, menguasai kaidah-kaidah yang berkaitan
dengan tema matan hadist , memahami isi al-Quran, baik tekstual maupun kontekstual,
memahami prinsip-prinsip ajaran islam, mengetahui metode istinbath, dan sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulan bahwa Langkah-langkah praktis penelitian
hadis yaitu melalui penelitian sanad dan rowi hadits serta penelitian matan hadits.
18 Agus Solahudin, Ulumul Hadist, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 204-205
14

F. Kitab-kitab untuk Takhrij Hadist


Ketika melakukan takhrij hadist kita memerlukn kitab-kitab yang berkaitan dengan takhrij hadist
ini. Adapun kitab-kitab tersebut antara lain sebagai berikut:
1) Hidayatul bari ila tartibi Ahadisil Bukhori
Penyusun kitab ini adalah Abdur Rohman Ambar Al-Misri At-Tahtawi. Kitab ini disusun
khusus untuk mencari hadist-hadist yang termuat dalam Sokhikh Bukhori. Lafadz hadist
disusun menurut aturan huruf abjad arab, namun hadist-hadist yang dikemukakan secara
berulang dalam Sokhikh Bukhori tidak dimuat secara berulang dalam kamus di atas. Dengan
demikian perbedaan lafadz dalam matan hadist riwayat Al-Bukhori tidak dapat diketahui
melalui kamus tersebut.
2) Mujam Al-Fadzi wala Siyyama Al-Garibu Minha atau Fahras litartibi Ahadisti Sokhikh
Muslim
Kitab tersebut merupakan salah satu juz ke-5 dari kitab Shohih Muslim yang disunting
oleh Muhammad Abdul Baqi. Juz ke 5 ini merupakan kamus terhadap juz ke 1-4 yang
berisi:
a) Daftar urutan judul kitab, nomor hadist, dan juz yang memuatnya.
b) Daftar nama para sahabat Nabi yang meriwayatkan hadist yang termuat dalam Shohih
Muslim.
c) Daftar awal matan hadist dalam bentuk sabda yang tersusun menurut abjad serta
menerangkan nomor-nomor hadist yang diriwayatkan oleh Bukhori bila kebetulan hadist
tersebut juga diriwayatkan oleh Bukhori.

3) Miftahus Shokhihain
Kitab ini disusun oleh Muhammad Syarif bin Mustofa Al-Tauqiyah. Kitab ini dapat
digunakan untuk mencari hadist-hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, akan tetapi hadist-
hadist yang dimuat dalam kitab ini hanyalah hadist-hadist yang berupa sabda saja. Hadist
tersebut disusun menurut abjad dari awal lafadz matan hadist.
15
4) Al-Bughyatu fi Tartibi Ahadisti Al-Hiyah
Kitab ini disusun oleh Sayyid Abdul Aziz bin Al-Sayyid Muhammad bin Sayyid Siddiq
Al-Qomari. Kitab hadist tersebut memuat dan menerangkan hadist-hadist yang tercantum
dalam kitab yang disusun oleh Abu Nuaim Al-Asbuni(W.340 H) yang berjudul Hilyatul
Auliyai wathabaqotul Asfiyani.
Sejenis dengan kitab tersebut adalah kitab Miftahut Tartibi li Ahadisti Tarikhil Khotib
yang disusun oleh Sayyid Ahmad bin Sayyid Muhammad bin Sayyid As-Shiddiq Al-
Qomari yang memuat dan menerangkan hadist-hadist yang tercantum dalam kitab sejarah
yang disusun oleh Abu Bakar bin Ali bin Subit bin Ahmad Al-Baghdadi yang dikenal
dengan Al-Khotib Al-Bagdadi(w 436 H). Kitabnya diberi judul Tarikhu Baghdadi yang
terdiri dari 4 jilid.
5) Al-Jamius Shogir
Kitab ini disusun oleh Imam Jalaludin Abdurrohman As-Suyuthi(w 91 H). Kitab kamus
hadist ini memuat hadist-hadist yang terhimpun dalam kitab himpunan hadist yang disusun
oleh As-Suyuthi juga, yakni Jamul jawami.
Hadist yang dimuat dalam kitab Jamius Shogir disusun berdasarkan urutan abjad dari awal
lafadz matan hadist. Sebagian dari hadist hadist itu ada yang ditulis secara lengkap dan ada
pula yang ditulis sebagian saja, namun telah mengandung pengertian yang cukup.
Kitab hadist tersebut juga menerangkan nama-nama sahabat Nabi yang meriwayatkan hadist
yang bersangkutan dengan nama-nama mukhorrij nya(periwayat hadist yang menghimpun
hadist dalam kitabnya), selain itu hampir setiap hadist yang dikutip dijelaskan kualitasnya
menurut penilaian yang dilakukan atau disetujui oleh As-Suyuthi.
6) Al Mujam Al Mufahras li Al Alfadzi Hadist Nabawi
Penyusun kitab ini adalah sebuah tim dari kalangan orientalis. Diantara anggota tim yang
paling aktif dalam kegiatan proses
16
penyusunan adalah Dr.Arnold John Wensink(w 939 M), seorang profesor bahasa semit,
ternasuk bahasa Arab di Universitas Leiden, Belanda.
Kitab ini dimaksudkan untuk mencari hadist yang berdasarkan petunjuk lafadz matan hadist.
Berbagai lafadz yang disajikan tidak dibatasi hanya lafadz-lafadz yang berada di tengah dan
bagian-bagian lain dari matan hadist. Dengan demikian, kitab Mu;jam mampu memberikan
informasi kepada pencari matan dan sanad hadist selama sebagian dari lafadz matan yang
dicarinya itu telah dikeytahuinya.
Kitab Mujam ini terdiri dari tujuh juz dan dapat digunakan untuk mencari hadist-hadist
yang terdapat dalam sembilan kitab hadist, yakni Shohih Bukhori, Shohih Muslim, Sunan
Abu Dawud, Sunan Turmudzi, Sunan An-Nasai, Sunan, Ibnu Majah, Sunan Darimi,
Muwatta Malik, dan Musnad Ahmad.19
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa diantaranya ada 6 kitab yang
diperlukan ketika melakukan takhrij hadits yaitu Hidayatul bari ila tartibi Ahadisil Bukhori,
Mujam Al-Fadzi wala Siyyama Al-Garibu Minha atau Fahras litartibi Ahadisti Sokhikh
Muslim, Miftahus Shokhihain, Al-Bughyatu fi Tartibi Ahadisti Al-Hiyah Al-Jamius Shogir,
Al Mujam Al Mufahras li Al Alfadzi Hadist Nabawi.
G. Contoh Takhrij Hadist

Di masyarakat muslim ditemukan salah satu upacara keagamaan, talqin al-mait, mengajarkan
ucapan laa ilaha illallah kepada orang mati. Pelaksanaannya, ada yang mengajarkan ucapan
tersebut ketika mait sudah dikubur, ada pula yang mengajarkannya untuk calon mati.
Persoalannya, bagaimana bunyi hadits itu secara lengkap ? hadits itu diriwayatkan oleh siapa
saja, dan didalam kitab apa? Hadits itu mutawattir apa tidak, shahih apa tidak?
1. Kita mulai dengan membuka kitab Mujam al-Mufahras li Alfadz al Hadits, dengan membawa
kosa kata talqin, yang kata dasarnya bahwa

hadits itu diriwayatkan oleh Imam al-Turmudzi dan Imam Abu Daud. Hadits riwayat al-
Turmudzi berbunyi :

:
Artinya :
Telah bercerita kepada saya Abu Slamah Yahya Ibn Khalaf, katanya, telag bercerita kepada saya
Bisyr ibn al-Mufaddhal, dari Ummarah Ibn Ghaziyyah dari Yahya Ibn Ummarah dari Abu Said
al-Khudri dari Nabi saw, katanya : Talqinlah mayitmu dengan laa ilaha illallah
Adapun hadits riwayat Abu Daud berbunyi :
: ( :

Artinya :
Telah bercerita kepada kami, Musadad, katanya, bercerita kepada kami Bisyr, katanya, telah
bercerita kepada kami Ummarah Ibn Ghaziyah, katanya, saya mendengar Abu Said al-Khudri
berkata, Rasulullah saw pernah bersabda, Talqinlah mayitmu dengan la ilaha illalah
2. Langkah berikutnya membuat bagan sanad hadits. Sesuai dengan dua hadits tersebut, kita
harus membuat dua bagan sanad. Tetapi karena pada dua jalur sanad itu ada periwayat yang
sama, maka dapat dibuat satu bagan, sehingga bagan dimaksud adalah sebagai berikut :
18
NABI MUHAMMAD SAW
f. Abu Said al-Khudri (w. 75)
e. Yahya Ibn Ummarah (?)
d. Ummarah Ibn Ghaziyyah (w. 140)
c. Bisyr Ibn al-Mufaddhal (w.187)
b
. Abu Salamah
Yahya Ibn Khalaf (w.242) b. Musaddad (w.228)
a.Al-Turmudzi (209-279) a. Abu Daud (202-272)
19
3. Langkah berikutnya adalah menelusuri persambungan sanad dan reputasi masing-masing
periwayat.
Jalur Al-Turmudzi
a. Al-turmudzi itu sendiri. Karena sudah amat terkenal bahwa al-Turmudzi seorang periwayat
hadits yang dihabit dan tsiqah, maka penelusuran terhadapnya tidak diperlukan. Hanya, perlu
dicantumkan disini bahwa ia hidup antara tahun 209-279 H.
b. Abu Salamah, Yahya Ibn Khalaf
Didalam kitab Tahdzib al-Tahdzib20 ditemukan, nama lengkap tokoh ini adalah Yahya Ibn Khalaf
al-Bahilli Abu Salamah al-Bishri, terkenal dengan al-Jubari. Kode yang dicantumkan disbelah
nama untuk Yahya ini adalah dengan huruf ta dan dal berarti ia termasuk rijal al-Turmudzi
dan Abu Daud. Dan, karena kebetulan tidak ada orang lain yang dimaksud dalam sanad hadits
ini. Tidak disebutkan kapan ia lahir, tetapi disebutkan ia wafat pada tahun 242 H. Melihat tahun
wafatnya ini, al-Turmudzi bertemu dengan tokoh ini.
Banyak Ulama hadits yang ditimba haditsnya oleh Yahya Ibn Khlaf. Banyak juga yang
meriwayatkan hadits darinya. Bisyr Ibn al-Mufaddhal termasuk disebut oleh Ibn Hajar sebagai
periwayat hadits kepada tokoh ini, dan al-Turmudzi disebut sebagai seorang penerima hadits
darinya.21
Kata Ibn Hajar di tahdzibnya, Ibn Hibban memasukkan Yahya ini kedalam kelompok orang
tsiqoh. Komentar lain tidak ada, dan al-jarh yang ditujukan kepadanya juga tidak ada. Tidak
banyak uraian disebutkan dalam tahdzib tentang tokoh ini. Karena tidak ada al-
20 Ibn Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, J. 11, hlm. 204
21 Ibid
20
jarh terhadapnya, justru ada penilaian tsiqoh untuknya, maka ia digolongkan orang adil dan
dhabit, haditsnya shahih.
c. Bisyr Ibn al-Mufaddhal
Didalam tahdzib, ada 38 orang bernama Bisyr. Hanya satu yang Ibn al-Mufaddhal. Ia diberi kode
ain, artinya, ia seorang rijal kutubus sittah. Artinya juga, ia rijal al-Turmudzi dan Abu Daud.
Tokoh ini bernama Bisyr Ibn al-mufaddhal Ibn Lahiq al-Raqasyi. Ia menerima hadits dari banyak
ulama, dan meriwayatkan hadits kepada banyak orang juga. Tidak ada informasi, kapan ia lahir,
tetapi diinformasikan, ia wafat tahun 187 H.
Kalau sanad hadits ini menghendaki Bisyr ini menerima hadits dari Ummarah Ibn Ghaziyah, dan
menyampaikan hadits kepada Musaddad (b. Jalur Abu daud) dan Yahya Ibn Khalaf (b. Jalur al-
Turmudzi), maka kitab tahdzib telah menyebut hubungan itu. Artinya, sanad Bisyr, dengan yahya
Ibn Khalaf dan Musaddad bersambung.
Dari segi adalah (keadilan), agaknya tokoh ini tidak perlu diragukan beberapa orang kritikus
memujinya. Kata Ali Ibn Al-Madini, Bisyr shalat 400 rakaat dalam sehari, dan sehari puasa
sehari tidak. Ibn main dan Ahmad Ibn Hambal mengomentarinya sebagai Syuyukh al-
Bashriyyin. Ibn Hibban dan Al-Bazzar menilainya tsiqat, sementara, al-Ajli menilainya tsiqah,
faqih, tsabat fi al-hadits, shahibu sunnah dan hasanul hadits. Tidak seorang ulama pun
menilainya majruh. Dengan demikian, ia adil dhabit, haditsnya shahih.
d. Ummarah Ibn Ghaziyyah
Ada 26 orang bernama Ummarah disebut di Tahdzib, yang menguntungkan bagi peneliti,
mereka yang In Ghaziyah hanya satu
21
orang,22 dengan kode . namanya Ummarah Ibn Ghaziyyah Ibn al-harits Ibn Amr Ibn
Ghaziyyah Ibn Amr Ibn Tsalabah Ibn Khansa Ibn Mabzul Ibn Ghanam Ibn Mazin Ibn al-Najjar
al-Anshari. Banyak Ulama yang menimba hadits kepadanya. Yahya Ibn Ummarah (e) dan Bisyr
Ibn al-Mufaddhal (c) disebut oleh Ibn Hajar, masing-masing sebagai pemberi hadits kepada
tokoh ini, dan penerima hadits darinya. Baik dari kode maupun pertalian sanad, tidak diragukan
bahwa inilah orang yang dimaksud dalam sanad hadits.
Penilaian terhadap tokoh ini agak bervariasi. Ibn Hibban dan al-Ajli menilainya tsiqat. Tadil
ringan dikemukakan oleh beberapa orang. Abu Hattim menilai Ummarah ma fi hditsihi bas.
Komentar al-nasai terhadap tokoh ini, laisa bihi bas. Sementara, Muhammad Ibn Saad,
sungguhpun menilainya tsiqah, tetapi ia menambahi embel-embel, katsirul hadits. Yahya Ibn
Main hanya memberi nilai shalih. Sebaliknya, Ibn Hazm menilai Ummarah dhaif. Abdul Haq
berkata, Orang Mutaakhir menilai dhaif kepadanya.23
Dari komentar para Ulama terhadap Ummarah ini kita melihat ada taarudh yang dikemukakan
para Ulama pada tingkatan yang rendah, sebagai bentuk toleransi. Tidak ada pujian yang berupa
takid, apalagi luar biasa. Artinya, periwayat ini tidak istimewa. Disisi lain, ada yang menilai
lemah, kendati tidak berat, seperti tuduhan pendusta. Di sini, al-Jarh tidak disebut rinciannya,
mengapa dikatakan dhaif.
Memperhatikan berbagai komentar tadi, kita dapat mengatakan bahwa haditsnya bukan shahih
dan juga bukan dhaif, tetapi hasan.
22 Tahdzib, J. 7. Hlm 422-423
23 Ibid, hlm. 423
22
e. Yahya Ibn Ummarah
Amat banyak nama Yahya dalam kitab Tahdzib. Tetapi hanya du orang yang bin Ummarah. Yang
satu Yahya Ibn Ummarah Ibn Ibad. Disebutkan oleh al-Asqalani bahwa ia hanya meriwayatkan
hadits kepada Amasy, dan menerima hadits dari Ibn Abbas, itupun hanya tentang kisah
wafatnya Ali Ibn Abi Thalib.24 Agaknya, bukan ini orang yang dimaksud dalam sanad. Yang
tepat adalah Yahya Ibn Ummarah Ibn Abi Hasan al-Anshari. Tidak ada informasi dari al-
Asqalani, kapan ia lahir dan kapan pula ia wafat. Beberapa shahabat disebut oleh al-Asqalani,
sebagai penyalur hadits kepadanya, termasuk Abu Said al-Khudri. Umarah Ibn Ghaziyyah juga
disebut sebagai salah seorang penerima hadits dari Yahya ini. Dengan demikian persambungan
sanad keatas dan kebawah telah terjadi.
Tidak banyak komentar ulama terhadap tokoh ini. Ibn Ishaq, al-Nasai dan Ibn Kharrasy
memujinya kendati tidak luar biasa dengan nilai tsiqah. Begitu juga Ibn Hibban. Komentar lain
tidak ada. Maka, tidak ada pertentangan antara penilaian adil dan cacatnya. Dengan demikian,
haditsnya tergolong shahih.
f. Abu Said al-Khudri
Ia seorang sahabat Nabi, wafat tahun 75 H. Al-Aqsani memberi informasi bahwa Abu Sa id
meriwayatkan hadits kepada Yahya Ibn Ummarah. Bila kita menggunakan teori bahwa semua
sahabat itu adil, maka Abu Said tidak perlu diperiksa, langsung dikatakan bahwa haditsnya
shahih.
24 Ibid, J. 11, hlm. 259
23
Jalur Abu Daud
Abu Daud menerima hadits dari Musaddad (b). Didalam tahdzib hanya seorang yang punya
nama ini. Ia Musaddad Ibn Musarhad Ibn Musarbal al-Bishri al-Asadi Abu al-Hasan al-Hafidz.
25Entah kapan dia lahir, tetapi tahun wafatnya disebut 228 H. Dapat dipastikan, ini orang yang
dimaksud didalam sanad. Apalagi, disana ada kode , dengan kode dal dan ta maka ia
termasuk rijal al-Turmudzi dan Abu Daud.
Oleh Ibn Hajar al-Asqalani, Bisyr Ibn al-Mufaddhal (c) disebut sebagai salah seorang yang
menyampaikan h

Anda mungkin juga menyukai