Anda di halaman 1dari 8

DEFINISI :

Tekanan intrakranial (intracranial pressure)(ICP) adalah tekanan dalam ruang


ventrikulosubarakhnoid dibandingkan dengan udara luar (atmosfer). Dalam keadaan normal
istirahat tekanan liquor cerebrospinalis (cerebrospinalis fluid pressure) (CSFP) dalam posisi
lateral diukur dengan punctie lumbal besarnya 100-160 mm H2O(8-12 mmHg). Disebut
hipertensi intrakranial bila lebih dari 15 mmHg. Bila lebih dari 35 mmHg harus segera
diturunkan, karena berbahaya dan bila lebih dari 50 mmHg berarti prognosenya cukup jelek.
Evaluasi terhadap adanya peninggian ICP periode preoperatif pada kasus-kasus dengan
kecurigaan adanya kelainan diotak adalah satu keharusan, untuk itu perlu pengenalan gejala-
gejala hipertensi intrakranial sedini mungkin.

Tak ada gejala patognomonik untuk peninggian maupun penurunan tekanan intrakranial.

Sering dijumpai sakit kepala, papil edema, dilatasi pupil unilateral. Paralisis nervus
abducents atau occulomotorius, pernafasan tak teratur dan lain lain, Kecurigaan dengan
gejala ini sebaiknya dikonfirmasi dengan pengukuran langsung ICP. Gejala yang paling
dipercaya papil edema tetapi tak semua pasien hipertensi intrakranial ditemui papil edema
kenapa demikian masih belum jelas.

Pulsasi vena retina bila dijumpai artinya ICP masih normal atau naik tak bermakna tapi juga
bukan tanda yang bisa dipercaya,Yang paling sering adalah gejala sakit kepala yang paling
hebat pada waktu pagi hari dan menurun disiang hari. Tetapi sakit kepala ini bukanlah karena
naiknya ICP tetapi karena traksi dari struktur sensitif sakit.

Beberapa pengarang berpendapat bahwa :

a. Peninggian ICP semata mata tak akan mengganggu fungsi cerebral.

b.Tak ada gejala neurologi spesifik sehubungan meningginya ICP.

c. Afferent yang sensitif terhadap tekanan tak ada dalam CNS manusia.

d. Pergeseran, penarikan, pendesakan struktur craniospinal yang sensitif sakit akibat


ICP meninggi yang menimbulkan masing-masing gejala tersebut diatas.

DASAR-DASAR KENAIKAN TEKANAN INTRAKRANIAL :

Otak orang dewasa yang beratnya 1500 gram menempati ruangan yang volumenya 1200-
1400 cc terdiri dari 85% jaringan dan air,8-12% CSF dan 3-7% darah.

Oleh karena otak terkurung dalam calvaria yang rigid maka setiap peningkatan volume
intrakranial bisa menaikkan ICP. Lesi yang semula meluas tak begitu merubah ICP oleh
sebab translokasi atau absorbsi CSF meningkat; tetapi bila compliance craniospinal system
sudah menurun dimana lesi terus berlanjut ekspansinya,sementara kapasitas telah dilampaui
mengakibatkan meningkatnya volume intrakranial yang lebih besar hal ini akan menaikkan
ICP secara progresif.Yang dimaksud degan compliance craniospinal, rigiditas craniospinal
kompartmen yang ditentukan sebagian besar elastisitas craniospinal venous bed dan sebagian
kecil oleh elastisitas otak medullaspinalis dan meningen sendiri. Craniospinal compartment
jadi non compliance bila kenaikan cerebral blood volume (CBV) v tak disertrai disertai
penurunan cerebral blood flow(CBF) yang seimbang,sebaliknya craniospinal compartment
jadi compliant bila CBF menurun(hipotensi berat) atau meningkatnya elastisitas meningen
waktu craniotomi.

Cairan cerebrospinal(CSF)
yang jumlahnya 125-150 cc dibentuk dengan kecepatan 0,35cc permenit oleh plexus
choroidales dalam ventrikel otak beredar melewati ventrikulus 3,aquaductus
cerebral,ventrikulus 4,keluar melalui foramen Luschka menyelusuri ruangan subarachnoidal
cerebral & spinal akhirnya diabsorbsi oleh villus arachnoidales sinus durales.

Dalam keadaan normal kecepatan pembentukan CSF seimbang dengan kecepatan


absorbsi.Peningkatan volume CSF terjadi bila kecepatan produksi lebih besar dari kecepatan
absorbsi.atau terjadi obstruksi sirkulasi CSF sehingga akan meningkatkan ICP. Kalau kita
meminjam hipotese Starling dalam hal pembentukan dan reabsorbsi CSF maka dapat
diterangkan sebagai berikut.

Pada ujung arteriole dan kapiler tekanan hidrostatik 30mmHg sedangkan tekenan onkotik
kira2 25mmHg sehingga ada tekanan filtrasi sebesar 5mmHg dan cairan cenderung
meninggalkan kapiler. Pada ujung venule tekanan hidrostatik 12mmHg sedangkan tekanan
onkotik 25mmHg sehingga adsa gradient yang memungkinkan absorbsi cairan sebesar
13mmHg. Bila terjadi dilatasi arteriole akan meningkatkan tekanan filtrasi dan pembentukan
cairan jaringan sebaliknya peninggian tekanan venule akan menurunkan reabsorbsi cairan
jaringan dengan demikian akan meningkatkan volume cairan jaringan.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TEKANAN INTRAKRANIAL :

Besarnya ICP ini ditentukan oleh 3 compartment

1.Jaringan otak sendiri :


2.Volume darah otak(CBV)

3. Volume atau tekanan CSF

Tetapi yang paling utama adalah CBF dan mekanisme CSF. Semua keadaan yang
meningkatkan CBF,produksi CSF dan tahanan reabsorbsi CSF bisa meningkatkan ICP
ditunjang oleh penurunan compliance craniospinal. Salah satu faktor yang paling penting
mengontrol CBF adalah PaCO2,dimana kalau PaCO2 meningkat terjadi vasodilatasi cerebral
dan CBF meninggi sedangkan bila PaCO2 menurun (hipokarbia) menyebabkan
vasokonstriksi cerebral dan CBF menurun.

Dikatakan setiap kenaikan 1mmHg PaCO2 diantara 20-80mmHg akan menaikkan CBF
sebesar 1-2cc per 100g otak permenit. CO2 akan merubah tonus vascular cerebral dengan
merubah pH extracellular fluid(ECF) cerebral.

Dengan terjaminnya jalan nafas yang bebas dan dengan tehnik hiperventilasi diharapkan
penurunan PaCO2 dengan demikian baik CBF maupun ICP akan turun. Sebaiknya PaCO2
dipertahankan dalam batas antara 20-30mmHg. Bila hiperventilasi berlebihan ditakuti terjadi
iskemia cerebral oleh karena vasokonstriksi cerebral yang hebat. Tetapi ini baru terjadi bila
PaCO2 dibawah 20mmHg.Hal ini jarang terjadi pada dewasa yang sehat tetapi mungkin
sering pada anak2 atau penderita dengan hipotermia. Oleh karena itu bila PaCO2 tak bisa
dimonitor maka ventilasi harus dikalkulasi secara teliti sebaiknya menghitung minute volume
waktu pernafasan spontan.

Dalam keadaan tidur biasa saja, PaCO2 sedikit meningkat disertai kenaikan CBF dan ICP.
Kenaikan CBF dan ICP ini tak begitu penting pada orang yang sehat tetapi sangat besar
akibatnya pada penderita kelainan cerebral. Tetapi PaO2 punya sedikit pengaruh pada CBF
kecuali dalam keadaan abnormal.Kalau PaO2 turun dibawah 50mmHg tampaknya tak
berubah CBF asal saja PaCO2 normal sebaliknya bila PaO2 meningkat akan terjadi
vasokonstriksi cerebral dengan CBF menurun ,ini disebabkan pada saat yang sama PaCO2
turun.Vasokonstriksi cerebral ringan terjadi selama inspirasi 100% O2 pada tekanan
barometer normal.

Tekanan darah arterial diantara 60-100 mmHg efeknya minimal terhadap CBF. Dalam
berbagai keadaan CBF dipertahankan konstan 45cc per 100g otak/menit. Kemampuan
mempertahankan CBF normal dalam berbagai variasi MAP (Mean Arterial Pressure) disebut
Autoregulasi.
Bila tekanan darah sistemik naik maka arteriole cerebral konstriksi sebaliknya bila turun akan
dilatasi. Bagaimana mekanismenya masih belum jelas tetapi diduga karena respons intrinsik
terhadap regangan yang mana terjadi konstriksi arteriole cerebral bila tekanan
intraluminal(intramural) meninggi. Mekanisme autoregulasi ini hanya bisa mempertahankan
CBF selama tekanan perfusi cerebral(CPP) bervariasi diantara 50-150mmHg.

Harper dan Glass 1965 membuktikan bahwa respons terhadap CO2 menurun dalam keadaan
hipotensi dimana tekanan darah sistemik dibawah 50mmHg. Mekanisme autoregulasi ini
biasanya menurun/hilang dlam keadaan anestesi yang dalam, hiperkarbia,
pembedahan(trauma) yang luas, hipoksemia, sirkulasi arrest dll.
Kita ketahui CPP sebanding
dengan Mean Arterial Pressure(MAP) dikurangi ICP. Pada orang sehat nilai yang mungkin
MAP(90mmHg)-ICP(-5mmHg) = CPP(95mmHg). Bila mengejan, batuk maka MAP akan
menurun oleh sebab tekanan intrathorakal akan meningkat dimana venous return akan
menurun sehingga cardiac output akan menurun tetapi sebaliknya ICP malah meninggi oleh
sebab tekanan isinus duralis meningkat akibatnya CPP akan menurun. Nilai kritis CPP
mungkin kira2 30mmHg bila lebih rendah diragukan akan terjadi iskemia cerebral. Bila ICP
melempaui MAP maka perfusi darah keotak akan berhenti. Dikatakan bila ICP sampai
500mmH2O tak akan merubah CBFoleh karena sering bersamaan dengan kenaikan tekanan
arterial,diatas level ini terjadi penurunan yang hebat.

Dilaporkan penderita yang dianestesi dalam keadaan relakspun masih bisa menaikkan ICP
sampai 200-400mmH2O, dan bila diintubasi disertai mengejan atau batuk-batuk bisa
menaikkan ICP sampai 800mmH2O. Ini bisa dimengerti peninggian tekanan
intrathorakal/abdominal selama mengejan dan batuk-batuk akan diteruskan ke vena-vena
epidural dalam canalis spinalis dari sini kesaccus dural spinalis dimana isinya CSFakan
sedikit bergerak tetapi kenaikan yang nyata dari ICP. Maka salah satu persyaratan anestesi
bedah saraf yang baik adalah induksi yang mulus.

Posisi pasien juga sangat mempengaruhi ICP,bila posisi rata telentang(supine position) ICP
akan sama dengan tekanan CSF(CSFP) dalam lumbal kira2 10mmHg(130mmH2O).
Sekiranya kepala ditinggikan ICP akan turun sebanding dengan setiap 20 cm peninggian
kepala maka ICP akan turun sebesar 15 mmHg(200 mmH2O).

Pada posisi tegak(Upright), ICP diukur dalam ventrikel lateralis kira-kira antara -5 dan
-10mmHg, sebaliknya pada head down position(Tredelenburg) ICP akan meninggi sampai
50-60mmHg, tergantung derajat kerendahan kepala terjadi perubahan drainage venous. Posisi
head down dan foot up(kaki keatas ditemukan kadang kala pada waktu dilakukan CT
Scan(Computer Tomografi) ini sangat berbahaya.(I).

Pada posisi tengkurap(supine) yang sering ditemukan pada operasi fossa cranii posterior dan
laminactomie akan terjadi kongesti vena yang hebat. Terjadi abdominal kompressi
menyebabkan obstruksi VCI (Vena Cafa Inferior) tak hanya menyebabkan penurunan tekanan
darah sistemik tetapi dapat juga menyebabkan kenaikan tekanan vena vertebralis dan akan
menaikkan ICP. Setiap kenaikan tekanan intra abdominal/thorakal tak hanya menghalangi
darah masuk kevena cava tetapi juga malahan bisa menyebabkan aliran retrogade dari vena
cava sendiri.(4.6).

Penekanan abdomen yang cukup akan menyebabkan obstruksi vena cafa inferior bisa
menaikkan tekanan pada ujung distal vena cafa inferior lebih dari 300 mmH2O sedangkan
sedikit kompressi saja bisa menaikkan lebih kurang 30-40 mmH2O (Pearce 1957).(2). Untuk
memberikan hasil yang optimal Pearce menganjurkan pasien disokong sempurna sehingga
abdomen bebas dari kompressi dan otot-otot perut relax sempurna dengan ventilasi
terkontrol.

Harus hati-hati merubah posisi pasien dari telentang keposisi tengkurap bisa turun tensi
mendadak. Pada posisi lateral terutama pada operasi craniotomi temporoparital,tekanan dan
resistensi arterial sistemik bisa turun.Bila miring kekanan vena cava inferior akan tertekan
oleh berat badan pasien sehingga venous return akan turun, cardiac output turun akibatnya
tensi juga menurun.

Expansi bagian terbawah thorak akan terhalang bila mungkin axilla disokong agar rusuk
bebas dari beban berat badan.Pada posisi duduk merupakan metode yang sangat efektif
untuk memberikan lapangan operasi yang tidak kongestif pada laminectomi cervical atau
craniotomi fossa posterior.sayangnya timbul bahaya utama emboli udara dan hipotensi berat.
Hunter (1960) menyatakan bahwa emboli udara sangat sering terjadi bila IPPV (Intermittent
Positive Pressure Ventilation) pada posisi duduk waktu operasi fossa cranii posterior karena
akan mengurangi tekanan vena2 diatas level jantung akan mempermudah terjadinya emboli
udara.

Bernafas spontan mengikuti batuk akan menambah bahaya oleh karena akan meningkatkan
tekanan subastmosferik yang telah ada pada vena ini. Memang sering ada kontroversi antara
keinginan operator disatu pihak dengan kondisi keamanan pasien dilain pihak disinilah letak
kebijakan ahli anestesi.

Obat-obatan yang digunakan dalam tindakan anestesi banyak pengaruhnya terhadap


ICP.Semua obat inhalasi termasuk N2O adalah vasodilator cerebral cenderung menaikkan
CBF dan ICP.

Jennet dan Mac Dowell melaporkan dua kasus dimana terjadi kenaikan ICP secara dramatis
dari I50 mmH2O sampai 800 mmH2O sesudah dua menit diberi inhalasi halothan 1%. Tetapi
pengaruh ini bisa dicegah bila dilakukan hiperventilasi menurunkan PaCO2 sebelum halothan
diberikan, Isoflurane 1% dapat menaikkan ICP mudah diturunkan dengan hipokapnia dan
penthotal.

Sevoflurane effek vasodilatasi cerebral kurang dibandingkan isoflurane tetapi juga menaikkan
ICP. Untuk pasien dengan ICP yang sangat tinggi dan kesadaran yang rendah sebaiknya tak
menggunakan inhalasi.Obat anesthesi per injeksi semuanya menurunkan ICP kecuali
ketamin bisa menaikkan CBF 62% dalam keadaan normokapnia.oleh sebab itu ketamin tak
ada tempat dalam anestesi bedah syaraf walaupun Albanese dkk meneliti ketamin dapat
mengendalikan ICP.

Obat-obat respiratory depressant seperti opiat akan menaikkan PaCO2 karena hipoventilasi
akan menaikkan ICP secara fatal pada penderita kelainan cerebral tetapi bila digunakan
dengan kontrol hiperventilasi merupakan obat yang berguna. Dilaporkan morfin dan pethidin
dosis tinggi bisa menurunkan CBF,ICP dan CMRO2 (Cerebral Metabolic Rate) kalau
hiperventilasi kontrol tetapi efek vasokonstriksi cerebralnya akan hilang bila ada hiperkapnia.
Fentanyl tak banyak mempengaruhi CBF, namun Tobias dan Albanese menemukan fentanyl
bisa menaikkan ICP, namun infus remifentanil mampu mengendalikan ICP. Pada keadaan
normokapnia thiopentone akan menurunkan CBF,ICP dan CMRO2 sampai 50% dalam dosis
ringan saja thiopentone dapat menurunkan CMRO2 30%. Semua obat pelemas otot dapat
menurunkan CBF dan ICP secara tak langsung karena effeknya pada PaCO2,tekanan darah
dan tekanan intrathorakal kecuali succinylcholine menaikkan CBF dan ICP karena effek
vasodilator cerebral dan sekunder meningkatnya aktivitas muscle spindle yang menigkatkan
input afferent cerebral.

TERAPI HYPERTENSI INTRACRANIAL :

Cara yang paling sederhana adalah bebaskan jalan nafas pasang intubasi,kepala ditinggikan
(head up) lakukan hiperventilasi segera,biasanya akan kembali keadaan semula dalam
beberapa menit saja. Bila cara ini tak berhasil baru pakai cara lain, dengan hiperventilasi
maksudnya menurunkan PaCO2 dengan demikian membuat vasokonstriksi cerebral
menaikkan resistensi pembuluh darah cerebral membuat turunnya CBF dan CBV(Cerebral
Blood Volume) secara nyata.

Hiperventilasi cenderung meningkatkan PaO2 sehingga sangat potensial memperbaiki


oksigenasi akan tetapi ruginya sering tak efektif menurunkan ICP kalaupun efektif hanya
bersifat transient saja. Beberapa alasan disebutkan mengapa tehnik ini kurang efektif dalam
menurunkan ICP, kerusakan akut daerah otak menyebabkan respons streotipik dengan
karakteristik :

a. Asidosis lokal

b. Hilangnya kontrol autoregulasi

c. Hilangnya kontrol metabolisme perfusi jaringan otak menyebabkan vasodilatasi pasif


daerah sekitar infarct.

d. Hilangnya respons terhadap perubahan PaCO2 (CO2 reactivity).

Akibatnya arteriole cerebral yang normal akan vaskonstriksi sebagai akibat hipokarbia darah
dishunting ke daerah infarct dimana vasokonstriksi tak terjadi. Sebaliknya kondisi
hiperkarbia menyebabkan vasodilatasi aretriole cerebral normal menyebabkan darah di
shunting dari daerah infarct ke daerah normal disebut intracerebral steal.

James Cs telah menemukan 4 pasien dari 7 pasien penyakit cerebrovascular(aneurysma dan


arteriovenous malfrormation(AVM) dan 4 pasien dari 13 pasien trauma capitis tak respons
dengan tehnik hiperventilasi untuk menurunkan ICP.

Kebanyakan penderita trauma otak yang berat sudah dalam keadaan hiperventilasi dan
optimal hipokarbia dan tambahan passive hiperventilasi tak akan menurunkan ICP lebih
lanjut malah menurunkan cerebral oksigenasi. Begitupun banyak pengarang menganjurkan
kombinasi moderate hiperventilasi dengan PaCO2 (25-30)mmHg dan dexamethasone banyak
membantu mengembalikan autoregulasi otak dan menurunkan ICP tetapi bukan untuk trauma
cerebral karena steroid menaikkan gula darah ujung-ujungnya lactic acidosis.

Pemakaian diuretik (osmotik) :

Obat osmotik diuretik yang sifatnya hipertonik akan menarik cairan dari jaringan termasuk
otak seperti manitol 20% dan urea 30%. Larutan urea menimbulkan iritasi dan relatif mudah
memasuki jaringan otak dan tinggal disitu walaupun diuresis telah selesai. Akibatnya jaringan
otak akan relatif hipertonik dibanding plasma sehingga terjadi rebound phenomen.
Sedangkan manitol molekulnya lebih besar sulit masuk jaringan otak sehingga jarang terjadi
rebound swelling.

Systemik diuretik(furesemide) 1mg/kgBB iv dapat menimbulkan diuresis hebat kira2 1-2 liter
pada dewasa. Akan terjadi penurunan volume darah,turunnya CVP dan tekanan darah
sistemik dan menaikkan sedikit tekanan onkotik plasma akan menarik air dari semua jaringan
tetapi khususnya jaringan yang supply darahnya paling banyak seperti otak dan lain-lain.
Cortrell Cs mengemukakan bahwa furesemide dan ethacrynic acid sangat effektif
menurunkanICP yang akut dikamar bedah sebelum selama dan sesudah operasi.

Untungnya tak banyak menaikkan osmolarity darah dan minimal problem elektrolit, dapat
menurunkan produksi CSF 45-60%. Bila waktu craniotomi ternyata duramater sangat tegang
diberi dulu 1mg/kgBB furesemide iv bila diuresis mulai baru diberikan manitol 15%
sebanyak 250cc selama 5-10 menit, biasanya setelah 20 menit diuresis setelah stadium
hiperemi dan hipervolemia baru ICP menurun. Marshall 1978 memberikan 0,25g/kgBB
dengan kecepatan 5g/menit untuk menurunkan ICP dimana terjadi dehidrasi minimal.Dosis
sebesar ini dapat diulangi minimal setiap hari tanpa akibat yang jelek asalkan balance cairan
pasien wajar.Infus set yang digunakan haruslah pakai filter karena kristal manitol tak larut
dalam darah. James Cs telah memberikan 0,18-2,5g/kgBB secara bolus iv total dose selesai
dalam 30-60 menit.
Pasien hipotensi dianjurkan menaikkan tekanan darahnya dulu,lalu beri furesemide bila
diuresis cukup baru manitol diberikan

Pemakaian steroid :

Pasien yang sudah lama mendapat terapi stroid bila diberikan dosis kurang malah akan timbul
edema cerebri. Steroid yang sering menimbulkan ini adalah triamcinolone dan prednison.
Sedangkan dexamethasone effek retensi air dan sodiumnya minimal. Telah dibuktikan secara
experimentil bahwa dexamethasone sangat effektif menurunkan ICP karena odema cerebri
terutama pasien dengan odema pertumor otak,perbaikan dapat terjadi dalam beberapa jam
bahkan dalam beberapa menit. Sedangkan pemakaian steroid pada trauma cerebri masih
diragukan nilainya.

Begitupun banyak juga klinisi yang memakainya karena mereka berpendapat tak ada bahaya
dalam pemberian jangka pendek. Dikatakan steroid sangat efektif bila diberikan seawal
mungkin dengan dosis tinggi (48mg) iv waktu masuk kemudian diikuti 8 mg tiap 2 jam
selama 48 jam dan 4 mg tiap 6 jam selama 72 jam.

Cooper Cs tak menemukan perbaikan hasil akhir pasien pediatri dengan trauma cerebri berat
yang diberikan steroid malahan menimbulkan supressi produksi cortisol, perdarahan lambung
serta mudah terinfeksi bakterial.

Barbiturat :

Menurunkan ICP sebagai akibat turunnya CBF dan CBV dan CMRO2.(50%). Dengan single
dose 1,5 mg /kgBB thiopentone effektif bila ICP yang tinggi tak bisa dikontrol dengan
osmotik dan loop diuretik,steroid atau hiperventilasi. Barbiturat memperkuat effek
vasokonstriksi nor epinefrine pada cerebrovascular.bila digunakan untuk mengontrol ICP
haruslah dimonitor tekanan darah secara kontinu agar terjamin CPP yang adekuat. Ventricular
atau lumbar drainage,tanggung jawab ahli bedah. Mengurangi ICP dengan canulasi ventrikel
bisa disedot atau dibiarkan keluar bebas sering menimbulkan infeksi tetapi dengan system
drainage tertutup dan steril maka drainage selama 5-7 hari bisa ditolerir.Periode post operatif
adanya ventricular drain sangat berguna untuk mengaspirasi CSF atau mengukur ICP.

Kepustakaan :

1 .Cottrell EJ,Thundorf H:Anesthesia and Neurosurgery ,The CV Mosby Company, St Louis


-Toronto-London,1980,pp.37-101.

2.Davidson HC,Wilie WD:A Practice of Anesthesia,3rd edit,Lloyd Luke Medical Books Ltd,
London, 1972.

3.Lebowitz ZW : Clinical Anesthesia Procedure of the Massachussets General Hospital, Little


Brown and Company ,Boston,1978.pp.180-7.

4.Marshal M : Neuroanesthesia ,first edit,Edward Arnold Publication,1979.pp.1-21,28-33

5.Nishan G,Agop Karamanian: Physiology for the Anesthesiologist,Appleton Century


Crofts,Newyork,1977,pp.292-3.

6.Snow JC : Manual of Anestgesia,first edit, Little Brown and Company,Boston, Igaku Shoin
Ltd Tokyo, 1977, pp 406-9

7.Yao FF,Artusio FJ : Anesthesiology Problem oriented Patient Management, JB Lippincott


Company ,Philadelphia-London -St Louis-1983,pp.189-199.

Anda mungkin juga menyukai