Anda di halaman 1dari 7

Angkatan 90-an

Dalam tahun 1990-an ini (Mahayana, 2005:91), karya sastra yang muncul lebih banyak lagi.
Dalam dasawarsa ini, terjadi inflasi puisi. Banyak penulis puisi namun sedikit yang bias dimasukan
sebagai penyair. Mereka menerbitkan karyanya dengan biaya swadaya dan format seadanya.
Sebagian besar dapat diakui memiliki talenta , tetapi untuk menjadi sastrawan besar, bakat dan
harapan harus dibarengi dengan wawasan dan pengetahuan yang luas.
Ciri yang menonjol dalam tahun 1990-an adalah adanya gerakan sastrawan daerah. Kondisi
ini didukung dengan munculnya majalah dan koran-koran daerah. Jadi ada sastrawan yang hanya
mempublikasikan karya mereka di media massa lokal, tetapi juga ada yang dimuat di media massa
ibu kota. Di angkatan 90-an ini lebih beraneka ragam. Taufiq Ismail, Rendra, Sapardi Djoko
Damono (Angkatan 66-an) masih bekarya. Abdul Hadi, Sutardji Calzoum Bachri, Danarto,
Kuntowijoyo, Seno Gumira Ajidarma dan beberapa sastrawan (Angkatan 70-an) masih aktif.
Ahmad Tohari dan Hamad Rangkuti masih menghasilkan sejumlah cerpen. Afrizal Malna, Amadun
Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noor, Agus R Sarjono, Beni Setia, Juniarso Ridwan, atau Soni Farid
Maulana juga masih menghasilkan sejumlah karya dengan kualitas yang makin matang.
Selain ciri yang mononjol angkatan 90-an, terdapat pula ciri percintaan. Karya sastra
Indonesia pada kurun waktu setelah 1990, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan
sastrawan wanita yang menonjol. Angkatan 90-an memberikan nafas, tertutama surealisme
pembongkaran Bahasa dan mulai memunculkan masalah gender.
Memasuki era angkatan 90-an mpenuh kebebasan ekpresi dan pemikiran. Ditemukannya
percetakan, maka karya sastra jadi bersifat individual: seorang pengarang menulis secara pribadi
kemudian sampai juga secara pribadi ketangan pembacanya yang menikmatinya secara pribadi pula.
Generasi 1990-an hanay menjadi pencatat peristiwa ketika fenomena di luar tengah diterjang
badai kesemarakan beragama. Sempitnya ruang artikulasi public dan lahirnya generasi yang
gamang, penyair mengusung peristiwa luar itu ke dalam kamar pusiinya.
Akar tradisi yang memperlatarbelakangi kepengarangan mereka sangat mempengaruhi unsur
insterinsik karya yang ditampilkannya. Misalnya Ayu Utami, Dewi Lestari, dab Fira Basuki adalah
produk manusia kosopolitan yang sudah tidak begitu jelas akar tradisinya. Dalam novelnya, ketiga
novelis tadi mencerminkan kehidupan yang modern dan sudah tidak mengangkat kebudayaan suatu
daerah.
Berbeda dengan novelis Taufik Ikram Jamil dan Gus Tf Sakai, keduanya memiliki latar
belakang budaya yang kental, mereka lahir dan dibesarkan dalam lingkaran kultur etnis. Maka
dalam menghasilkan karya sastra, keduanya lebih menggali kekayaan dan kegelisahan klutur
etniknya. Hal tersebut terlihat pada karya novelnya yang memperlihatkan adanya gambaran masa
lampau yang terhubung dengan masyrakat masa kini.
Selain penyair juga novelis maupun cerpenis yang terkenal tahun 90-an, terdapat juga
darmawan-darmawan yang menghiasi dunia sastra pada masa itu. Dalam realitasnya, sejarah
pertumbuhan dan perkembangan naskah drama dan karya sastra bentuk prosa fiksi dan puisi bias
dirasakan Bersamaan dan seiring sejalan (Muljiyanto dan Fuady 2014:172). Banyak pentas drama
diselenggarakan dari awal abad XX hingga XXI, namun untuk mendapatkan naskah drama
cenderung relative lebih sulit daripada cerpen, novel, maupun puisi.
Angkatan 2000-an
Pada angkatan ini, banyak muncul pengarang wanita. Mereka umumnya menulis dengan
ungkapan perasaan dan pikiran yang tajam dan bebas. Ada diantara mereka yang berani
menampilkan nuansa-nuansa erotic, hal-hal sensual bahkan seksual, seperti Pengakuan Mariyem
karya Linus Suryadi Ag, cerpen Saya Menyusu Ayah di antologi Jangan Main-main (dengan
kelaminmu) kerya Jenar Mahesa Ayu dan episode-episode tertentu dalam novel Saman karya Ayu
Utami.
Sastra angkatan 2000-an antaralain Ayu Utami, Jenar Mahesa Ayu, Fira Basuki,
Herlinatiens,
Di berbagai talk show, ceramah, sarahsehan, mereka mengusung tema Menulis Bisa Bikin
Kaya. Kaya yang dimaksud adalah kaya dalam pengertian luas lebih diartikan sebagai kaya
pikiran. Kaya hati, kaya rohani, kaya spiritualitas, kaya wawasan, dan kaya pengalaman.
Menurut Korrie Layun Rampan, sastrawan produktif decade 80-an terus aktif berkarya hingga kini,
sastra angkatan 2000 memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pilihan kata diambil dan Bahasa sehari-hari yang disebut Bahasa kerakyatjelataan;
2. Mengandung revolusi tipografi atau tata wajah yang bebas aturan dan cenderung ke puisi
konkret;
3. Penggunaan estetika baru yang disebut antroforisme (gaya Bahasa berupa penggantian tokoh
manusia sebagai aku lirik dengan benda-benda)
4. Penciptaan interaksi masal dalam hal-hal yang bersifat individual
5. Kritik sosial juga masih muncul dengan lebih keras Karena kekuatan orde baru dan
ketidakmenentuan situasi pada 2000an.
Pada awal abad XXI (2000) melalui penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia
(Grasindo), Jakarta, Korrie Layun Rampan meluncurkan buku setebal 782+ iv berjudul Angkatan
2000 dalam Sastra Indonesia. Dalam buku tersebut dihimpun76 sastrawan-sastrawati (57 sastrawan
dan 19 sastrawati).
Korrie Layun Rampan dalam buku angkatan 2000 terdapat nama besar yang tidak tercantum
, mereka yang tidak tercantum termasuk jago tua, tokoh senior yang sudah Lalang-melintang pada
dekade 90-an adalah: Remy Sylado novel Kembang Jepun, kerudung Merah Kirmizi, Taufik Ismail
mengawal reformasi dengan buku antologi puisi yang terkenal Malu Aku Jadi Orang Indonesia
(MAJOJI), Alm. Abdul Hamid jabbar dengan antologi puisinya Segerobak, Sajak, Indonesiaku,
Hamsad Rangkuti yang menerbitkan kumpulan Sampah Bulan Desember dan Kepala dalam Pispot.
K.H.A Mustofa Bisri dengan antologi puisinya Gandrung, Tadarus, Tikus dan Manusia, Filasafat
Benjol. Seno Gumira Ajidarma menulis kumpulan cerpen Iblis Tidak Pernah Mati, dan lain-lain.
Emha Ainun Najib di samping menulis karya sastra dan kumpulan kolom juga menulis lirik lagu
untuk dinyanyikan grup music Gamelan Kiai Kanjeng. Serta Kuntowijoyo dan Budi Darma yang
cerpen-cerpennya banyak dimuat di harian Kompas edisi Minggu, dan lain-lain.
1. Angkatan 2000
Nama yang diberikan Korrie Layun Rampan kepada sejumlah pengarang dan penyair yang
telah melahirkan wawasan estetik baru pada 90-an. Dinobatkannya sebagai tokoh angkatan ini
adalah Afrizal Malna (puisi), Seno Gurnira Ajidarma (cerpen), dan Ayu Utami (novel).
Korrie berkata, Afrizal Maha melansir estetik baru yang digali dari sifat massal benda-
benda dan manusia yang dihubungkan dengan peristiwa tertentudan interaksi massal. Selanjutnya
Pembaruan Seno tampak dalam pilihannya terhadap model sastra lisan yang mengembalikan
realitas fiktif kepada realitas dongeng, estetik baru yang dikembangkannya adalah pengembaliannya
terhadap sastra murni yang tidak memisahkan antara wacana prosa dan puisi. Adapun pembaruan
yang dilakukan oleh Ayu Utami dengan novel Saman berupa Teknik khas yang mampu melahirkan
wawasan estetik baru tampak pada pola kolase menonjolkan warna yang dilahirkan oleh tokoh
maupun peristiwa secara estetik menonjolkan kekuatan-kekuatan literer. Sifat kolase menempatkan
segi-segi kompositonis dengan wacana fiksional esai dan puisi.
2. Sastrawangi
Sastra wangi tidak bias dilepaskan dari Ayu Utami, ia adalah pembuka gerbang novel yang
dimasukkan dalam kategori ini. Novel Saman nya merupakan novel yang terbit dengan membawa
warna baru bagi dunia sastra Indonesia. Penerjemahan novel Saman kedalam Bahasa Belandan dan
Inggris merupakan bukti dari kesuksesan novel ini. Lalu muncul novel yang serupa dikarang oleh
perempuan muda dari kalangan menengah masyarakat kota sebut saja Supernova. Pengarangnya
adalah Dewi dia adalah seorang penyanyi.
Istilah (Khristianto, 2008:12-13) itu belum muncul ketika Ayu Utami pertama kali
meluncurkan karya fenomenal dan sekaligus kontroversial, Saman. Sebutan sastra wangi terkuat
setelah Supernova karya Dewi Lestari dan Menyusu Ayah karya Djenar Maesa Ayu dilemparkan ke
pasar. Karya sastra wangi menyikapi hal-hal yang dianggap tabu selama ini untuk dibicarakan.
Seperi penggunaan kata vulgar, penggunaan kata-kata itulah yang menjadi ciri khas sastra wangi
ini.
Djunaedi (2005 dalam Khristianto, 2008: 15) menyatakan bahwa penyebutan sastra wangi
sebagai bentuk oposisi biner. Mengutip pendapat para feminis, ia menolak kategorisasi yang
berdasarkan oposisi biner yin dan yang yang akhirnya meminggirkan karya-karya perempuan.
Menurut klasifikasi ini, jiwa itulah yang bernilai, dan tubuh kurang begitu bernilai. Kategorisasi
sastra-wangi merupakan libelisasi oposisi biner yang nilainya pun tak sama dengan dinali karya
laki-laki, atau tidak begitu substansial.
Sastra-wangi merupakan sebutan untuk karya sastra-sastra yang ditulis oleh kalangan wanita
kelas menengah kota. Ide yang menonjol di karyanya adalah bagaimana diskusi soal seks bias
dijalankan secara terbuka alias blak-blakkan. Langka upaya perempuan untuk mendifinisikan
tubuhnya dari prespiktif mereka sendiri. Sastra -wangi berhasil mendobrak gerbang patriarkis, tetapi
kemudian berlari masuk pintu kapitalis, yang sebearnya juga patriarkis.
Hal ini berbeda dengan karya pengarang perempuan pada Angkatan 1970. Perbedaan di
karenakan terjadi penggeseran konsep ideologi feminism yang terjad di antra kedua angkatan
tersebut. Kalimat-kalimat yang digunakan juga berbeda menjadi salah satu penggeseran nilai. Pola
pemikiran yang semakin maju dan mengglobal turut mempengaruhi mereka dalam memilih dan
menggunakan kata demi kata serta kalimat demi kalimat. Penulis perempuan Virginia Woolf (dalam
Arivia 2006: 113) mengatakan. Kalimat-kalimat perempuan berbeda dengan kalimat laki-laki.
Kalimat perempuan lebih mencerminkan konservatisme, prestise, mobilitas, keterkaitan,
sensitivitas, solidaritas, dan sejenisnya (Sinar, 2004: 3). Pendidikan perempuan semakin tinggi
Karena kemajuan globlasisasi semakin maju pola pikirnya. Mendobrak keterkungkungan
perempauan dan nilai-nilai patriarkis melalui ekspresi dan gaya bahasa yang digunakan. Meski
medapat banyak kritikan perihal karya sastra yang berbau seksualitas, tidak membuat para
pengarang feminis ini rishi Karena mereka menganggap hal tersebut sebenarnya merupakan symbol
kedigdayaan perempuan.
Reformasi
1. Apa itu Sastra Reformasi
Reformasi (Aminuddin, 1999) sebagai produk tidak dapat dilepaskan dari reform. Proses
perjuangan menuju reformasi. Proses tersebut bisa jadi bermula dari usaha merubah pemerintahan
yang tidak efektif dan korup, kehidupan kelompok sosial masyrakat yang dianggap tidak
mencerminkan penghayatan nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Dengan kata lain dalam konteks luas
reform-asi bukan sekedar bersasaran penguasa yang terlalu berkuasa dan korup tetapi juga
merambah kehidupan sosial masayrakat, politik, Pendidikan, dan bidang-bidang lain dalam
kehidupan kemanusiaan.
Pada awal Abad XVI misalnya terjadi reform di kalangan Gereja Katolik Roma. Sasaran
pemerintah Romawi yang extremely powerful tetapi korup. Proses tersebut diawali proses
perubahan dari dalam, misalnya mengubah doktrin dan berbagai seremoni gereani. Semanatara
reformasi di Eropa yang biasa disebut the protestant Reformation yang awalnya hanya terkait
dengan kehidupan Bergama akhirnya menambah refromasi dalam bidang sosial , artistic, politik,
maupun kehidupan pada masyarakat umumnya.
Di Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto ke B J Habibie lalu ke K H Abdurahman
Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarno Putri, muncul wacana tentang sastrawan Angkatan
Reformasi ditandai dengan adanya maraknya karya sastra puisi, cerpen, maupun novel yang
bertema sosial-politik khususnya rubric sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi.
Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga di dominasi sajak-sajak
bertema sosial-politik.
Lebih lanjut Wijaya, (1999) menjelaskan bahwa sastra reformasi adalah sastra yang
menyadari benar artinya kebutuhan batin. Akan tetapi, dia (sastra reformasi) juga mengerti dimana
posisinya kini. Idealismenya mengandung strategi. Sastra melakukan tindakan yang tepat, kalua
tidak akan terganggu atau terganjal dalam penyampainnya kepada masyarakat, bukan tidak diterima
tetapi bagaimana masyarakat lebih dewasa menyikapi sesuatu. Sastra adalah jemabatan untuk
masuk ke hati manusia di segala sector kehidupan karenanya, sastra tidak mungkin tidak, tetap akan
mengahadapi berbagai halangan. Kekurangan penerbit, jalinan distribusi tidak lancar, aturan main
yang tidak mendukung bahkan juga sensor dan sebaginya yang dahulu dikeluhkan akan dihadapi
lagi. Dan menjadi tambah berat, Karena itu terjadi dalam reformasi.
Kesempatan sastra di dalam masa era reformasi adalah ikut campur dalam berbagai aspek
kehidupan secara aktif. Membuktikan diri bukan semaata-mata hiburan. Bukan sekedar sastra.
Sastrawan harus berkemas, membenah diri, dan belajar. Era refomasi nampaknya tidak akan
menjamin kehidupan sastra yang lebih baik kalu sastrawan sendiri tidak bangkit dan harus
memerlukan kerja bukan sekedar menuding, mengelak, memasang lebel reformasi di kepalanya
atau bersifat agrumentasi.
2. Dehumanisasi Dan Humanisasi: Kebebasaan Berekspresi
Menurut Toety Heraty (1999) adanya transisi dari orde bar uke reformasi bersifat menentukan focus
kebebasan berekspresi. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa hal berikut:
1. Era orde baru dianggap merupakan periode dengan pencekalan kebebasan berekpresi
dimulai dari buku-buku Pramoedya Ananta Toer sampai pementasan drama Marsinah.
2. Bahwa sebab atau akibat terjadi penurunan moral bangsa, mungkin pula gejala sampingan
Karena masalah sebab atau akibat tidak serta-merta dapat disimpulkan.
3. Bahwa baik pencekalan kebebasan berekspresi maupun penurunan moral menjadi corak
menyeluruh yang disebut dehumanisasi, sementara ini transisi orde bar uke reformasi
mengandalkan pula terjadi perubahan positif atau pemulihan dehumanisasi menjadi
humanisasi kembali yang sekaligus berarti peningkatkan kebebasan berekspresi dan
peningkatan moral.
4. Sejauh mana sastra/teater menjadi indicator untuk perubahan budaya tersebut, dari budaya
Orde Bar uke Budaya Reformasi?
Ada yang menyebutkan melalui Analisa budaya Amerika menunjukan kemerosotan
moralitas dan membawa corak budaya sinisme. (The Culture of Cynicism, American Moralityin
Decline oleh Richard Stivers). Kelaziman lebih pada membedakan antara realism dan idealism. Bila
realisme diangap terpuji Karena bersedia menerima keadaan, maka ada dua kencenderungan yakni,
kecenderungan lain adalah memperburuk kenyataan sehingga tidak perlu memuliyakan atau
mempertahankan nilai-nilai moral untuk diwujudkan. Sedangan kecenderungan kedua adala
memperindah kenyataan dan dihubungkan dengan nilai-nilai luhur yang ingin diwujudkan.
Bentuk yang menyesatkan adalah bila sinisme dipulas dengan idealism, dan yang terjadi
adalah kemunakfikan, tidak menyakini nilai-nilai moral tetapi menutupi sikap ini dengan tetap
menggunakan nilai-nilai tersebut sebagai dalih. Tetapi terlalu mudah untuk menyatakan bahwa Orde
Baru adalah budaya kemunafikan, kerena kemunafikan dapat dianggap suatu ciri manusia yang
umum, terbiasa meskipun dinilai buruk.
Hingga saat ini, telah terlihat bahwa kesustraan Indonesia telah samapi pada konsep estetika
dan selera yang baru, yaitu konsep estetika reformasi dan selera reformasi yang sedang mencari
format pengucapan dan selera humanismenya (Pradopo, 1999). Humanisme di Indonesia ini sesuai
dengan asas Pancasila. Humanime ini akan menciptakan Masyrakat Mandani yang berwujud
masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, melindungi HAM bagi setiap warga Indonesia.
3, Format Sastra di Era Reformasi
Keberadaan karya sastra dapat dianalogiskan dengan kehidupan itu. Sosoknya senangtiasa
bersifat terbuka, dinamis, dan tidak pernah mengandaikan sesuatu yang tetap dan pasti. Seandainya
memang benar kita sekarang lain dalam proses menggapai era reformasi seharusnya karya sastra
kita pun tak terpisahkan dengan proses tersebut. Masalahnya adalah, macam apa format sastra
yang ideal di era reformasi?. Ada empat gambaran yang diharapkan tampil sebagai sosok sastra di
era reformasi. Keempat sosok itu menunjuk pada (ada model struktur komunikasi, system tanda, isi,
dan efek kesadaran.
1. Komunikasi Horizontal-Vertikal
Struktur komunikasi ini ditandai oleh terdapatnya hubungan timbal balik secara dialogis
antara pembaca, dengan karya sastra. Kesimpulan yang dianggap sebagai kebenaran tidak lagi ada,
Karena kesimpulan bersifat kontekstual, terbuka, dan tentative. Sejalan dengan karakteristik yang
bukan bersumber dari satu arah, tetapi hubungan komunikasi dari dua arah.
Terdapatnya karya sastra demikian secara problematis akan dihadapkan pada keragaman
masyrakat yang berperan sebagai pembaca. Dari segi prespektif moralitas, masyarakat dapat
dikategorikan sebagai masyrakat yang menekankan nilai tradisional, nilai religious, nilai
professional, nilai tekonologis, nilai material, nilai birokratis, nilai yang oleh Stavers diistilahkan
culture of cynism dan lain-lain.
2. Penyebaran dan Kertebukaan Pesan
Dalam membaca karya sastra selalu diandaikan adanya kepastian pengertian atau makna,
sudah sewajarnya gambaran makna dalam karya sastra juga senantiasa mengalai pengembangan dan
transposisi. Dalam kondisi denkonstruktif pesan atau isi dalam sastra senantiasa dalam kondisi
disclosure dan penyebaran. Kondisi diatas mengakibatkan karya sastra tidak pernah diikat sebuah
tema yang pasti. Tema yang bersifat anathematized terjadi apabila unsur-unsur isi dalam karya
sastra itu juga mampu menampilkan citraan, relasi, formasi, dan strukturasi secara ganda pula.
Dengan keragaman citraan lebih lanjut menyebabkan keragaman antisipasi relasi, formasi, maupun
strukturasinya.
3. Efek Penyadaran dan Nilai Fungsional
Dengan seiring berjalannya waktu bukan waktunya mempermasalahkan sastra untuk
keindahan dan sastra untuk masyrakata, klangenan dan karya pamphlet Karena setiap kreasi
penciptaannya mampu menjalin komunikasi pencipta dengan diri sendiri maupun pembaca dengan
dirinya sendiri yang melalui proses mengekspresikan/menceritakan/menulis serta menerima
kabar/membaca atau membaca/menerima kabar yang diterima dalam kesadaran pembaca. Nilai
fungsional yang diidealkan merujuk pada nilai pemberwacanaan, pembudayaan, dan pemberdayaan
yang memiliki nilai transformative untuk peningkatan mutu kehidupan manusia.
4. Sastrawan Angakatan reformasi
Terjadinya penggesaran kekuasan politik Soeharto ke BJ Habibie lalu KH Abdurahman
Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarno Putri, muncul tentang wacana Sastrawan Angkatan
Reformasi. Munculnya ditandai dengan maraknya karya-karya sastra puisi, cerpen, maupun novel,
yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Pada rubik sastra Harian Republika
misalnya, selama berbulan-bulan di buka rubik sajak-sajak peduli bangsa atau reformasi. Berbagai
jenis pentas pembaca sajak dan penerbitan buku antologi puisi didominasi sajak-sajak bertema
sosial-politik.
Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada
akhir tahaun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai
pada tahun 1998 banayk melatar belakangi kelahiran karya-karya sastra, seperti puisi, cerpen, dan
novel. Bahkan penyair yang jauh dari tema sosial-politik seperi Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun
Yosi Herfanda, Wiji Thukul, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat dengan media
online: duniasastra(dot)com-nya, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik
mereka.

Anda mungkin juga menyukai