Anda di halaman 1dari 17

Bagian Ilmu Penyakit Saraf Palu, 25 Februari 2017

FK Universitas Alkhairaat
Rumah Sakit Umum Anutapura

REFERAT
Carpal Tunnel Syndrom

Disusun oleh:
Dewi Sartika Muliadi (111677714120)
Arnia Poerbasari ( 111677714122)

Pembimbing:
dr. Ruslan Ramli Rusli,Sp.S.
dr. Manal Al-Amri

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik di Bagian


Ilmu Penyakit Saraf

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AL-KHAIRAAT
PALU
2017

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama :

1. Dewi Sartika MUliadi, S.Ked


NIM : 111677714120
2. Arnia Poerbasari, S.Ked
NIM : 111677714122

Judul Refarat :Tarsal Tunnel Syndrome

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Penyakit
Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat.

Bagian Ilmu Penyakit Saraf

RSU ANUTAPURA Palu

Fakultas Kedokteran Universitas Alkhairaat

Palu, 26 Februari 2017

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Ruslan Ramli Rusli,Sp.S. dr. Manal Al-Amri

2
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL I
HALAMAN PENGAJUAN ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 4
BAB II PEMBAHASAN 4
2.1 Anatomi 4
2.2 Definisi 6
2.3 Epidemiologi 7
2.4 Etiologi 7
2.5 Patogenesis 7
2.6 Manifestasi Klinis 8
2.7 Diagnosis 9
2.8 Penatalaksanaan 13
2.9 Komplikasi 15
2.10 Prognosis 16
DAFTAR PUSTAKA 17

3
BAB I

PENDAHULUAN

Tarsal tunnel syndrome merupakan sebuah keadaan yang disebabkan karena adanya
kompresi pada nervus tibialis atau yang berhubungan dengan percabangannya yang melewati
bagian bawah dari flexor retinaculum pada pergelangan kaki atau dibagian distalnya. Tarsal
tunnel syndrome disebabkan oleh berbagai kompresi yang menyebabkan neuropati dengan
manifestasi sebagai rasa nyeri dan parasthesi yang meluas dari bagian distal dalam
pergelangan kaki dan terkadang sampai dengan bagian proximal. Dalam menegakkan tanda-
tanda dan gejala dari tarsal tunnel syndrome, maka hal ini didasarkan dari berbagai macam
penyebab, yang dikelompokkan berdasarkan ekstrinsik dan intrinsik atau faktor-faktor
keganasan. Sebab-sebab ekstrinsik dapat menyebabkan terjadinya tarsal tunnel syndrome.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. ANATOMI

Nervus Tibialis
Nervus tibialis berasal dari bagian anterior dari plexus sacralis. Yang keluar melalui
region posterior dari paha dan kaki, dan cabang-cabangnya masuk kedalam bagian medial
dan lateral dari nevus plantaris. Inervasi dari nervus tibialis ke kulit adalah menuju bagian
betis dan permukaan plantar dari kaki. Inervasi nervus tibialis ke otot terdapat paling banyak
ke daerah posterior dari paha dan otot-otot kaki dan beberapa pada otot-otot intrinsik dari
kaki.

Tarsal Tunnel

Struktur dari tarsal tunnel pada kaki terdapat di antara tulang-tulang kaki dan jaringan
fibrosa. Flexor retinaculum (ligament laciniate) merupakan atap dari tarsal tunnel dan terdiri
dari fascia yang dalam dan deep transversa dari angkle. Bagian batas proximal dan inferior
dari tunnel berbatasan dengan bagian inferior dan superior flexor retinaculum. Batas bawah
dari tunnel berhubungan dengan bagian superior dari tulang calcaneus, bagian medial dari

5
talus dan distal-medial dari tibia. Sisanya dari fibroosseus kanal membentuk dari
tibiocalcaneal tunnel. Tendon dari flexor hallucis longus muscle, flexor digitorum longus
muscle, tibialis posterior muscle, posterior tibial nerve, dan posterior tibial artery melewati
dari tarsal tunnel.

Bagian posterior dari saraf tibia berada diantara otot tibialis posterior dan otot flexor
digitorum longus pada region proximal dari kaki dan melewati antara otot flexor digitorum
longus dan flexor hallucis longus pada bagian distal dari region dari kaki. Saraf tibia
melewati bagian belakang dari medial malleolus dan melewati tarsal tunnel dan kemudian
membagi menjadi bercabang-cabang ke dalam cutaneus articular dan cabang-cabang
vascular. Persarafan utama dari saraf tibialis posterior mempersarafi calcaneal, medial
plantar, dan cabang-cabang saraf dari lateral plantar. Saraf medial plantar superior
mempersarafi otot abductor hallucis longus dan bagian lateralnya terbagi menjadi 3 bagian
yaitu saraf medial dari kaki, dan saraf medial plantar cutaneous dari hallux. Saraf lateral
plantar berjalan langsung melalui bagian tengah dari otot abductor hallucis, di mana
kemudian membagi ke dalam percabangan-percabangan.

Inervasi dari percabangan dari saraf tibialis posterior:


- Percabangan calcaneal - Aspek medial dan posterior dari tumit
- Percabangan media plantar percabangan cutaneous dari aspek plantar medial dari
kaki, percabangan motorik dari otot abductor hallucis dan flexor digitorum brevis, dan
percabangan talonavicular dan calcaneonavicular joints.

Percabangan lateral plantar percabangan motorik dari otot abductor digiti quinti dan
quadrates plantae, saraf cutaneos ke jari ke V, percabangan-percabangan tersebut
berhubungan ke saraf bagian jari IV, percabangan motorik ke lumbricalis: kedua, ketiga, dan
keempat dari percabangan interosei ke bagian atas dari transversa dari adductor hallucis dan
otot pertama dari interosseous space.

2.2. DEFINISI

Tarsal tunnel syndrome adalah kompresi pada saraf tibialis posterior yang
menghasilkan gejala dimana saja I sepanjang jalur saraf. Tarsal tunnel syndrome mirip
dengan carpal tunnel syndrome, yang terjadi dipergelangan tangan. Kedua gangguan timbul
dari kompresi saraf dalam ruang tertutup.

6
2.3. EPIDEMIOLOGI

Penyebab pada tarsal tunnel syndrome dapat di identifikasi pada 60% - 80% kasus,
yang mana penyebab utama terbanyak yaitu trauma (17%), varicosities (13%), heel varus
(11%), fibrosis (9%), dan heel valgus (8%). Namun, untuk jumlah insiden yang tepat belum
diketahui. Pada wanita insiden terjadinya tarsal tunnel syndrome lebih tinggi dibandingkan
dengan pria

2.4. ETIOLOGI

Beberapa faktor berhubungan dengan terjadinya tarsal tunnel neuropathy. Soft-tissue


masses dapat menimbulkan compression neuropathy dari bagian saraf tibialis posterior.
Contoh termasuuk lipoma, tendon sheath ganglia, neoplasma pada tarsal canal, nerve sheath
dan nerve tumor, dan vena varicose. Tulang yang menonjol dan exostoses dapat pula
menimbulkan gangguan. Sebuah penelitian dari Daniel dan teman-temannya menunjukkan
adanya deformitas dari valgus pada rearfoot yang menghasilkan neuropathy dengan
menigkatnya tensile load pada saraf tibial.

2.5. PATOFISIOLOGI

Sindrom tarsal tunnel adalah kompresi neuropathy dari nervus tibial pada tarsal canal.
Tarsal canal terdiri dari flexor retinaculum, dimana berada posterior dan distal dari maleolus
medial. Gejala dari kompresi dan tension neuropathy adalah mirip; akan tetapi, perbedaan
dari kondisi ini tidaklah semudah dengan mengidentifikasi gejalanya saja. Pada akhir-akhir
ini, kompresi dan tension neuropathy merupakan gejala yang terdapat bersama-sama.
Fenomena double-crush yang dipublikasikan oleh Upton dan McComas pada tahun 1973.
Dengan hipotesanya adalah: kerusakan lokal pada saraf pada satu sisi sepanjang saraf tersebut
dapat cukup merusak dari seluruh fungsi dari sel saraf (axonal flow), dimana sel saraf
menjadi lebih mudah terkena trauma kompresi pada bagian distal. Jaringan saraf mempunyai
tanggung jawab dalam menyalurkan sinyal afferent dan efferent sepanjang saraf tersebut dan
mereka juga mempunyai tanggung jawab dalam penyaluran nutrisi,dimana secara esensial
untuk optimalnya fungsi. Pergerakan dari nutrisi intraselular melewati beberapa tipe dari
sitoplasma pada sel saraf yang dinamakan axoplasma (sitoplasma dari Akson). Axoplasma
bergerak bebas sepanjang dari keseluruhan panjangnya saraf. Jika aliran dari axoplasma

7
(axoplasmic flow) terhalangi, maka jaringan saraf di bagian distal mengalami penurunan dari
nutrisi dan mudah mengalami injury sebagai akibat dari penekanan tersebut.

Upton dan McComas menemukan (75%) dari pasien-pasien yang mengalami lesi
saraf perifer, kenyataannya didapatkan adanya lesi sekunder. Penulis menyetujui bahwa
dengan adanya lesi-lesi tersebut dapat menimbulkan gejala-gejala pada pasien. Lesi-lesi
tersebut telah dipelajari pada beberapa kasus yang sama sebagai kerusakan dari flexus
brachialis dengan meningkatnya insiden dari carpal tunnel neuropathy. Contoh yang dapat
disamakan sebagai double crush phenomenon yang terjadi pada kaki sebagai akibat kompresi
dari cabang nervus S1, yang dihubungkan dengan compression neuropathy pada kanal tarsal.

2.6. GEJALA KLINIS

Gejala dari tarsal tunnel syndrome bervariasi dari masing-masing individu, tetapi dari
klinis umumnya: gangguan sensorik yang bervariasi dari mulai sharp pain sampai hilangnya
sensasi, gangguan motorik dengan resultant atrophy dari intrinsic musculature, dan gait
abnormality (Contoh Overpronation dan pincang karena nyeri dengan weight bearing).
Deformitas dari hindfoot valgus berpotensi ke dalam gejala dari tarsal tunnel syndrome
karena deformitas tersebut dapat meningkatkan tension menjadi peningkatan dari eversion
dan dorsiflexion. Tidak ada penelitian lainnya yang dapat menunjukkan hubungan secara
statistik dari tarsal tunnel syndrome dalam kondisi bekerja atau beraktivitas sehari-hari.
Prevalensi dan insiden dari tarsal tunnel syndrome belum pernah dilaporkan.

Titik nyeri pada abductor hallucis.

8
2.7 DIAGNOSIS

Pasien-pasien umumnya dengan gejala yang tidak jelas pada nyeri kaki, dimana
terkadang dihubungkan dengan plantar fasitis. Adanya nyeri, parestesia, dan rasa tebal
merupakan gejala yang tidak jelas. Pada beberapa kasus, adanya atropi pada otot intrinsik
kaki dapat ditemukan, meskipun secara klinik sulit untuk dapat dipastikan. Eversion dan
dorsofleksi dapat menimbulkan gejala yang bertambah berat.

Tanda Tinel (nyeri yang menyebar dan parestesi sepanjang perjalanan dari saraf)
dapat timbul pada bagian posterior dari maleolus medial. Gejala-gejala tersebut umumnya
akan berkurang saat beristirahat, meskipun tidak semua gejala tersebut hilang seluruhnya.
(Perkusi dari saraf bagian distal dengan manifestasi berupa parestesia dikenal sebagai tanda
Tinel. Hal ini jangan sampai dibingungkan dengan tanda dari Phalen, yaitu kompresi saraf
selama 30 detik, dengan timbulnya kembali gejala-gejala tersebut).

Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya penurunan sensitivitas akan tekanan ringan,


tusukan dengan peniti, dan suhu pada pasien-pasien dengan distal symmetric sensorimotor
neuropathy. Pemeriksaan dengan radiografi pada pasien-pasien dengan gangguan pada
anggota geraknya menunjukkan adanya pengurangan dari densitas tulang, penipisan pada
phalang, atau adanya bukti akan neuropathy (contoh: Charcot disease) pada long-standing
neuropathies. Sebagai tambahan adanya perubahan-perubahan pada anggota tubuh seperti pes
cavus, rambut rontok, dan ulkus. Penemuan-penemuan tersebut sangat berhubungan dengan
diabetes, amyloid neurophaty, leprosy, atau hereditary motor sensory neurophaty (HMSN)
disertai dengan gangguan sensorik. Menipisnya jaringan perineural ditemukan juga pada
kasus-kasus leprosy dan amyloid neuropathy.

INDIKASI
Riwayat penyakit terdahulu yang positif disertai dengan pemeriksaan suportif yang
ditemukan (pemeriksaan fisik) dan hasil dari elektrodiagnostik positif, menghasilkan
diagnosis tarsal tunnel neuropathy. Pasien-pasien dengan kompresi pada jaringan saraf
umumnya mempunyai hasil yang baik setelah diambil tindakan operasi dekompresi pada
saraf tibial. Sangat penting untuk diketahui bahwa walaupun hasil dari elektrodiagnostik
memberikan hasil berkurangnya fungsi dari saraf, tidak menutup kemungkinan akan tindakan
dari dekompresi akan menghilangkan gejala-gejala dari tarsal tunnel syndrome.

9
PROSEDUR PEMERIKSAAN
Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan Electromyography (EMG) dan nerve conduction velocity (NCV) dapatlah
berguna untuk mengevaluasi penyebab dari tarsal tunnel syndrome dan untuk
memastikan adanya neuropathy. Sebagai tambahan, dapat membedakan dari tipe-tipe
dari jaringan saraf (sensorik, motorik atau keduanya) dan patofisiologi (aksonal vs
demyelinating dan simetrik vs asimetrik) dari pemeriksaan EMG dan/atau NCV.
Psikiater atau neurolog yang telah cukup berpengalaman dalam pemeriksaan ekstremitas
dengan menggunakan pemeriksaan EMG dan NCV akan lebih mendapatkan hasil yang
baik pada pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan EMG menunjukkan fungsi dari saraf
tibialis posterior bagian distal sampai ke otot dari abductor hallucis atau abductor digiti
quinti. Pemeriksaan ini juga dapat disertai dengan adanya penurunan amplitude dari
fungsi motorik atau hilangnya respons dari otot-otot yang diperiksa. Awalnya pada
pemeriksaan sensibilitas bagian medial dan/atau lateral plantar di mana aksi potensial
akan terpengaruhi dengan pemanjangan dari masa laten, lambatnya velocity, dan
penurunan amplitude.
Aksi potensial dari sensorik dapat tidak terdeteksi pada beberapa kasus yang lebih berat
seperti tarsal tunnel syndrome, pemeriksaan dengan jarum (needle) pada otot abductor
hallucis dan/atau abductor digiiti quinti dapat menunjukkan adanya denervation dan
perubahan-perubahan aktif dan/atau kronis. Untuk memastikan hasil penemuan-
penemuan tersebut bukanlah suatu lesi pada cabang dari S1, otot dari tibialis posterior ke
bawah dari tarsal tunnel (posterior tibialis) atau otot-otot lainnya dari bagian otot dari
tibialis posterior (extensor digitorum brevis) harus dilakukan pemeriksaan
pembandingnya. Otot-otot dari lumbosacral paraspinal haruslah sensitif terhadap
pemeriksaan EMG dan NCV.
o Pemanjangan dari masa laten dari bagian distal motorik:
o Terminal latensi dari otot abductor digiti quinti (saraf lateral plantar) yang
lebih dari 7 ms adalah abnormal.
o Terminal latensi dari otot abductor hallucis (saraf medial plantar) lebih dari
6,2 ms adalah abnormal.
o Adanya fibrilasi dari otot abductor hallucis juga dapat ditemukan.

Pemeriksaan ulang dari EMG seharusnya dilakukan dalam waktu 6 bulan setelah
tindakan operasi yang biasanya memberikan hasil yang baik setelah penderita

10
menjalani tindakan dekompresi. Penurunan fungsi dapat ditemukan pada distal latensi,
hasil dari pemeriksaan NCV dapatlah normal pada pasien-pasien dengan small fiber
neurophaties. Sebagai tambahan, respons dari lower-extremity sensory dapat tidak
didapatkan pada pasien-pasien berusia tua. Terlebih lagi pemeriksaan elektrodiagnostik
haruslah tidak boleh digantikan untuk suatu pemeriksaan secara klinis yang baik.

- Pada pemeriksaan diabetes mellitus pada bagian distal, sensorik simetris dan motor
polyneuropathy. Ini merupakan aksonal neuropathy yang mengalami degenerasi pada
akson bagian distal. Pada penderita diabetes juga didapatkan neuropathy juga sama
halnya dengan microangiopathy, dimana memberikan hasil pada bagian proximal,
asymmetric mononeuropathy (primarily motor nerves). Evaluasi permulaannya harus
termasuk pemeriksaan urinalisis dan pemeriksaan dari tingkat serum glukosa,
hemoglobin A1C (HbA1C/HgA1C), blood urea nitrogen (BUN), creatinine, complete
blood cell count(CBC), erythrocyte sedimentation rate (ESR), dan kadar dari vitamin
B12.
- Artritis dihubungkan dengan Reiter syndrome yang khususnya mempunyai efek ke
lutut, angkle, dan kaki, menimbulkan rasa nyeri dan bengkak pada pergelangan, jari-
jari dan persendian lainnya yang terkena. Pasien-pasien dengan Reiter syndrome
umumnya mengalami proses inflamasi di mana tendon akan menyerang ke dalam
tulang, kondisi ini yang dinamakan enthesopathy. Enthesopathy menghasilkan rasa
nyeri dan pemendekan dan penapisan dari jari-jari kaki. Beberapa pasien yang
menderita Reiter syndrome juga didapatkan heel spurs yang dihubungkan dengan
chronic or long-lasting foot pain. Laki-laki yang berusia antara 20-40 tahun
merupakan yang tersering terkena Reiter syndrome. Merupakan arthritis yang sering
terdapat pada laki-laki muda, pada laki-laki di bawah 50 tahun, sekitar 3,5 dari
100.000 menderita Reiter syndrome setiap tahunnya. Tepatnya 3% dari semua laki-
laki dengan sexual transmitted disease akan menderita Reiter syndrome. Wanita juga
dapat terkena gejala ini, walaupun hanya sedikit dibandingkan laki-laki, dengan gejala
yang lebih ringan dan lebih tidak terdeteksi. Sekitar 80% akan mengenai pasien-
pasien dengan human leukocyte antigen (HLA) B27 yang positif. Hanya 6% orang-
orang yang tidak terkena dari Reiter syndrome dengan gen HLA-B27 yang mendasari
kondisi dari sistemik arthritis, ESR, rheumatoid factor (RF), dan antinuclear antibody
(ANA) yang didapatkan. Khususnya pasien-pasien dengan rheumatic disease,
termasuk Reiter syndrome didapatkan peningkatan dari ESR. Meskipun pada Reiter

11
syndrome hasil dari RF dan pemeriksaan ANA adalah negatif, meskipun demikian
HLA-B27 dapatlah berguna dalam membedakan apakah suatu seronegative
arthopahty dari arthritis yang lainnya.
- Generalized amyloidosis dapat menimbulkan peripheral neuropathy bersamaan
dengan atrophy dari jaringan saraf. Central nervous system tidak terpengaruhi kecuali
pada area dengan kurangnya blood-brain barrier, seperti choroid plexus dan kelenjar
pineal. Pada beberapa kasus, biopsi dapat membantu untuk mendiagnosis suatu
leprosy, amyloid neuropati, sarcoidosis, dan leukodystrophies.

Pemeriksaan Imaging

- Magnetic resonance imaging (MRI) dan ultrasonography dapat cukup membantu


yang berhubungan dengan kasus soft-tissue masses dan space-occupying lesion
lainnya pada tarsal tunnel. Sebagai tambahan, MRI berguna dalam menilai suatu
flexor tenosynovitis dan unossified subtalar joint coalitions.
- Plain radiography juga berguna untuk mengevaluasi pasien-pasien dengan dasar
kelainan struktur dari kaki, fraktur, bony masses, osteophytes, dan subtalar joint
coalition.

PEMERIKSAAN HISTOLOGI

Dihubungkan dengan neuroma pada kebanyakan kasus di masyarakat, jaringan saraf


merupakan yang paling intak dari perineural sheath. Hasil ini merupakan hasil dari chronic
nerve compression dan irritation, yang dapat menyebabkan pembengkakan pada saraf.
Proliferasi dari jaringan fibrous menimbulkan kompresi pada saraf, walaupun dapat
menimbulkan dekompresi dan jaringan fibrous tersebut harus dihilangkan. Kista ganglion
dapat menyebabkan peripheral neuropathies seperti biasanya, tetapi ketika dikombinasikan
hal itu bukanlah suatu etiologi yang sering. Sumber dan penyebab dari kista ganglion tetap
tidak dapat dijelaskan, satu teori mengatakan bahwa fibrillar degeneration dari kolagen
dengan akumulasi dari intraselular dan extraselular mucin. Jika dilakukan tindakan operasi
maka lesi ini harus dihilangkan secara in toto karena dapat menimbulkan nerve
decompression.

12
2.8. PENATALAKSANAAN
Terapi Medik
Terapi medik dari tarsal tunnel syndrome dapat dengan memberikan suntikan lokal
steroid ke dalam tarsal canal. Tindakan konservatif yang dapat diterima pada awal terapi dari
tarsal tunnel neuropathy termasuk penggunaan lokal anestesi dan steroid, dimana dapat
mengurangi nyeri. Terapi ini dapat menghilangkan gejala, tetapi harus diberikan secara
bijaksana, karena dapat menyebabkan kerusakan pada saraf sebagai akibat dari jarum
suntikan tersebut. Physical therapy juga berguna dalam mengurangi local soft-tissue edema,
karena dapat menimbulkan tekanan pada kompartemen tersebut.

Juga pada pasien dengan gejala kontraktur pada otot gastrocnemius dari triceps surae,
stretching exercises berguna untuk meningktakan fleksibilitas dari gastrocnemius. Pada
beberapa kasus tertentu dimana pasien dengan tipe kaki pes planovalgus, diperlukan suatu
desain kaki orthosis untuk mengurangi ketegangan dari nervus tibialis dengan mengurangi
beban pada medial column. Hal ini terbukti dengan memberikan medial longitudinal posting
dengan orthosis pada kedua hindfoot dan forefoot. Penggunaan night splints pada kaki
dengan plantar valgus foot. Penggunaan dalam jangka panjang akan meningkatkan
efektivitas, dimana hal ini terbukti pada penelitian-penelitian saat ini, tetapi hal ini sering kali
hanya digunakan pada clinical practice.

Terapi operasi
Ketika konservatif terapi dinyatakan gagal dalam mengurangi gejala-gejala pada
pasien, maka intervensi operasi dapatlah diperhitungkan. Space-occupaying masses harusnya
dihilangkan. Beberapa didapatkan adanya neurilemoma pada saraf tibial, dimana hal ini juga
harus dihilangkan. Pengetahuan yang cukup akan anatomi haruslah dibutuhkan sebelum
dilakukan tindakan pembebasan tersebut yang nantinya akan mempunyaiefek terhadap saraf
tersebut.

External neurolysis pada saraf dapatlah dibutuhkan jika tindakan operasi eksplorasi
didapatkan adanya pelekatan atau adanya jaringan parut yang dapat menyebabkan mengenai
jaringan saraf. Terlebih lagi apabila jaringan parut atau entrapment encapsulates mengenai
dari jaringan saraf, maka tindakan external neurolysis dengan membebaskan dari epineurium
dapatlah dipertimbangkan.

13
Tindakan preoperasi
Pasien dalam keadaan terlentang atau posisi terlentang miring untuk memfasilitasi
bagian medial lapangan operasi. Penggunaan pneumatic tourniquet sangatlah dibutuhkan.

Tindakan Intraoperasi
Insisi berbentuk kurva haruslah 1 cm posterior dari tibia distal dan menuju kearah
plantar, sejajar dengan terowongan dan malleolus dan masuk kedalam sustentaculum tali.
Retinaculum haruslah dapat di identifikasi dan secara hati-hati dilepaskan seluruhnya. Saraf
tibialis posterior harus dapat diketahui, dilihat, dan jangan diganggu sepanjang tindakan
operasi sampai mencapai bifurcation dari porta pedis. Dalam tindakan operasi tersebut harus
dilakukan secara teliti untuk menghindari terpotongnnya dari small calcaneal branches ini
sering sekali dikelilingi oleh jaringan lemak dan sangatlah sulit terlihat. Cabang dari medial
plantar dari saraf tibialis posterior harus dapat diidentifikasi sepanjang batas dari sarung
flexor hallucis longus. Cabang lateral harus pula diikuti sepanjang abductor hallucis.
Beberapa ikatan jaringan ikat juga dikatakan dapat menimbulkan penarikan dari saraf dan
harus secara hati-hati dibebaskan.

Setelah proses pembebasan tersebut semua cabang-cabang dari saraf tibial haruslah
terbebas dari semua permukaan yang menutupinya. Tourniquet haruslah digunakan untuk
mengobservasi dan mengontrol perdarahan. Lapisan penutup harus digunakan, termasuk
permukaan subdermal tetapi bukan flexor retinaculum. Pada proses pelepasan dari tarsal
tunnel, permukaan penutup dari lluka operasi haruslah dilakukan dengan hati-hati dari
extensor retinaculum, karena merupakan penyebab terbanyak yang menimbulkan entrapment
neuropathy.

Tindakan Post-operatif
Suatu kompresi ringan dan immobilisasi awal haruslah dilakukan pada area yang
dioperasi dengan menggunakan splint selama 3 minggu tanpa pemberat. Setelah splint
dibuka, pasien dapat menggerakkan sendinya dan kembali ke aktivitas semula.

Kontraindikasi
Tindakan operasi dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat kesehatan yang
belum stabil untuk dilakukan tindakan operasi. Sebelumnya pasien-pasien harus dilakukan
pemeriksaan kesehatan sebelumnya apabila mereka akan dilakukan tindakan operasi. Pada
beberapa kondisi dengan gejala yang mirip atau bersamaan dengan tarsal tunnel neuropathy.

14
Tindakan operasi harus dilakukan secara akurat pada kondisi yang mirip seperti tarsal tunnel
syndrome tetapi dikatakan tidak terbukti memberikan hasil yang baik setelah dilakuakn
tindakan surgical decompression. Diferensial diagnose dari tarsal tunnel syndrome dapat
termasuk adalah fasitis plantaris, stress fracture dari hindfoot, yang paling sering adalah
calcaneus, herniated spinal disk, peripheral neurophaties seperti yang disebabkan karena
diabetes atau alcohol, dan inflammatory arthritidies seperti Reiter syndrome atau rheumatoid
arthritis.

Follow-up
Pasien haruslah tidak menggunakan beban selama 3 minggu, yang berguna untuk
penyembuhan yang baik. Mobilisasi awal harus dimulai untuk mengurangi formasi dari
jaringan parut, di mana hal tersebut akan nantinya menimbulkan compression neuropathy.
Penggunaan sepatu operasi berguna untuk mengurangi tekanan pada tempat operasi.
Fisioterapi juga cukup membantu pasien dalam meningkatkan kekuatan otot dan gerakan dan
untuk mengurangi timbulnya kembali nyeri. Setelah jahitan dibuka, pasien diperbolehkan
menggunakan sepatu yang ringan, tindakan penggunaan sepatu yang berat dapat
menyebabkan tekanan atau iritasi pada bekas operasi. Pada pasien-pasien dengan planus foot
type, penggunaan orthosis harus dipertimbangkan untuk menstabilkan medial column.

2.9. KOMPLIKASI

Karena dari segi anatomi mempunyai efek pada area tersebut, maka beberapa
komplikasi dari tindakan dekompresi setelah dilakukan tindakan operasi akan muncul
kemudian. Kebanyakan dari semua komplikasi tersebut dapat diminimalkan dengan diseksi
yang teliti dan hati-hati dengan memperhatikan anatominya. Laserasi dari saraf atau arteri
posterior dapat secara signifikan mempunyai efek langsung yang mengganggu fungsi kaki.
Kegagalan dari pelepasan retinaculum sepanjang perjalanan saraf dapat menimbulkan hasil
post operasi yang buruk. Hal ini merupakan penyebab tersering dari gagalnya tindakan
operasi. Akhirnya nantinya dihubungkan dengan fasitis plantaris yang dapat menimbulkan
nyeri persisten dari region medial heel setelah dilakukan tindakan dekompresi. Pada sebuah
kasus penelitian oleh Kim dan Dellon memperlihatkan bahwa neuroma dari bagian distal
saraf saphenous dapat difikirkan sebagai penyebab dari nyeri yang terjadi terus-menerus
setelah tindakan operasi.

15
2.10. PROGNOSIS

Pada akhirnya tindakan dekompresi dapat memberikan hasil yang memuaskan.


Tandanya adalah dengan menurunnya rasa nyeri dan parestesi yang tampak, diikuti dengan
berkurangnya gejala. Resolusi komplet dari gejala-gejala tersebut sangatlah jarang terjadi hal
ini disebabkan karena banyaknya etiologi yang mendasaripenyakit ini dan juga karena area
dari saraf yang rusak tidak dapat kembali normal. Meningkatnya rasa nyeri setelah tindakan
dekompresi sangatlah jarang terjadi. Penelitian dari Mann memperlihatkan sekitar 75%
pasien-pasien yang telah dilakukan tindakan operasi dekompresi didapatkan nyeri yang cukup
dirasakan, dan 25% didapatkan nyeri yang sedikit atau tidak ada sama sekali. Mann juga
menyatakan bahwa tindakan operasi explorasi dari tarsal canal release sangatlah jarang
menyebabkan nyeri yang hebat pada pasien.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Omkar N.S, Singh Amarjot, Analysis Of Tarsal Tunnel Syndrome Using Imaging
Correlation, Ictac Journal and Video Processing, volume 04, November 2013.
2. Kohno M,Takashi H, Segawa H, Sano K, Neovascular Decompresion for Idiopathic
Trasal Tunnel Syndrome, J Neurol Neurosurg Physiciatry,2000;69:87-90
3. Hudes K, Cinservative Managmenat of a Case of Tarsal Tunel Syndrome, J Can
Chiropr Assoc (JCCA),2010
4. Hryhorczuk D, Lfrost, Occupational Tarsal Tunnel Syndrome, British Journal of
Industrial Medicine
5. McKeag B.D, Moeller L.J, ACSMs Primary Care Sports Medicine, American
College of Sports Medicine, Philladelpia 2007.
6. Frontera R. Waiter, et al, Essential of Physical Medicine and Rehabilitation, Second
edition,Saunders Elsevier,Philladelpia 2008.
7. Wulker N et al, Foot and Ankle Surgery, second edition, Taylor & Francis, United
Kingdom 2005
8. Chang J. T, The Foot and Ankle, Lipincott Williams& Wilkins,Philladelpia 2005.
9. Ahmad M,et al, Tarsal Tunnel Syndrome : a Literature Review, Foot and ankle
Surg,2011.
10. Antoniadis G, et al, Posterior Tarsal Tunnel Syndrome : Diagnosa and Treatment,
Dtsch Arztebl Int, 2008.

17

Anda mungkin juga menyukai