Anda di halaman 1dari 16

PRESENTASI KASUS

TINEA CORPORIS

Pembimbing :

dr. Ismiralda Oke P., Sp.KK

Disusun Oleh :

Benedicta Arum Bestari G1A212128

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2014
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

TINEA CORPORIS

Oleh :

Benedicta Arum Bestari G1A212128

Presentasi kasus ini telah dipresentasikan dan disahkan sebagai salah satu prasyarat
mengikuti ujian kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RS
Margono Soekarjo Purwokerto.

telah disetujui dan dipresentasikan

pada tanggal: September 2014

Purwokerto, September 2014

Mengetahui

Pembimbing,

dr. Ismiralda Oke P., Sp.KK

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah swt, yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan presentasi kasus
dengan judul TINEA CORPORIS.

Penulis menyadari bahwa presentasi kasus ini masih banyak kekurangannya, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk penulisan
presentasi kasus selanjutnya. Akhirnya penulis berharap, semoga presentasi kasus ini
dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang berkepentingan.

Purwokerto, September 2014

Penulis

3
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
a. Nama : Tn. F
b. Jenis Kelamin : Laki-laki
c. Umur : 68 tahun
d. Alamat : Jl. Sunan Bonang RT 003/003, Dukuhwaluh
e. Suku : Jawa
f. Agama : Islam
g. Pekerjaan : Pedagang
h. Tanggal Pemeriksaan : 15 September 2014

II. ANAMNESIS
Diperoleh secara autoanamnesis pada tanggal 15 September 2014.
Keluhan Utama
Gatal di daerah punggung sejak 2 bulan yang lalu
A. Riwayat Perjalanan Penyakit
Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Margono
Soekarjo dengan keluhan utama adanya bintil-bintil merah yang gatal
di daerah punggung sejak 2 bulan yang lalu.
Gatal dirasakan terus menerus dan mengganggu aktivitas pasien
sebagai pedagang. Pasien sering menggaruk daerah tersebut dan gatal
dirasakan semakin bertambah terutama jika pasien berkeringat. Bintil-
bintil merah tersebut semakin melebar ke pinggir. Pasien belum pernah
berobat atau mengkonsumsi obat apapun untuk keluhannya ini.
B. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit sistemik disangkal.
Riwayat penyakit asma disangkal
Riwayat rhinitis alergi disangkal
Riwayat konjungivitis alergi disangkal
Riwayat penyakit kulit lainnya disangkal.
C. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit serupa disangkal.
Riwayat alergi -
Riwayat penyakit asma

III. PEMERIKSAAN
A. Status Generalis
a. Keadaan Umum : Baik
b. Kesadaran : Kompos mentis
c. Tekanan Darah : 140/80 mmHg
d. Laju Nadi : 84 kali per menit, teratur, kuat, penuh
e. Laju Napas : 20 kali per menit
f. Suhu : afebris
B. Status Dermatologis
4
1. Regio / Letak lesi : dorsum
a. Efloresensi
1) Primer : plak eritem, papul, dan macula hiperpigmentasi
2) Sekunder : skuama
b. Sifat UKK
1) Ukuran : plakat
2) Susunan / bentuk : anular dengan tepi aktif
3) Penyebaran dan lokalisasi : sirkumskrip, regional
c. Pembesaran KGB : tidak ada

Gambar 1.1. UKK di Punggung

C. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan
D. Pemeriksaan Anjuran
a. Kerokan kulit dengan KOH 10%
b. Sinar Wood

IV. RESUME
Pasien laki-laki, 68 tahun, datang ke Klinik Kulit dan Kelamin RSUD
Margono Soekarjo dengan keluhan utama yaitu, gatal terutama jika
berkeringat dan munculnya papul-papul eritematosa di dorsum sejak 2
bulan yang lalu. Papul-papul eritematosa tersebut diakui pasien semakin
melebar dan meninggalkan daerah eritematosa dengan skuama.
Pada pemeriksaan fisik di regio cervicalis anterior ditemukan plak
eritematosa, papul dan makula hiperpigmentasi anular berbatas tegas
dengan tepi aktif yang disertai skuama.

V. DIAGNOSIS
a. Diagnosis kerja : Tinea corporis

5
b. Diagnosis banding
1) Kandidosis
2) Psoriasis

VI. PENATALAKSANAAN
1. Non farmakologis
a. Menjaga kebersihan badan
b. Menggunakan pakaian yang menyerap keringat
c. Tidak menggunakan pakaian yang belum kering atau lembab
d. Tidak menggunakan handuk dan pakaian bersama-sama
e. Tidak menggaruk lesi secara berlebihan
2. Farmakologis
a. Sistemik :
- Antihistamin mebhydrolin 50mg diberikan 2x satu hari selama
tiga hari
- Antijamur itrakonazol 100mg diberikan selama dua minggu
b. Topikal
Salep whitfield 60 mg dioleskan dua kali sehari

VII. PROGNOSIS
a. Quo ad vitam : bonam
b. Quo ad functionam : bonam
c. Quo ad sanationam : dubia ad bonam

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Dermatofitosis adalah penyakit yang mengenai jaringan yang
mengandung zat tanduk (stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku)
yang disebabkan oleh jamur golongan dermatofita. Salah satu pembagian
dermatofitosis adalah berdasarkan lokasi bagian tubuh manusia yang diserang,
salah satu jenisnya adalah Tinea Korporis, yaitu dermatofitosis yang
menyerang daerah kulit tak berambut (glabrous skin) pada wajah, badan,
lengan, dan tungkai. Manifestasinya merupakan akibat infiltrasi dan proliferasi
pada stratum korneum dan tidak berkembang pada jaringan yang hidup. Tinea
korporis umumnya tersebar pada seluruh masyarakat tapi lebih banyak di
daerah tropis.1,2

B. EPIDEMIOLOGI
Tinea korporis merupakan infeksi yang dapat dijumpai di seluruh
dunia. Insidensi terbanyak tinea korporis ditemukan dengan iklim yang panas
dan lembab. Seperti infeksi jamur yang lain, kondisi yang hangat dan lembab
membantu penyebaran infeksi ini. Oleh karena itu, daerah tropis dan subtropis
memiliki insiden yang tinggi terhadap tinea corporis. Tinea korporis dapat
terjadi pada semua usia. Namun tinea korporis paling banyak ditemukan pada
orang dewasa terutama yang pekerjaannya berhubungan dengan air atau
kelembaban. Maserasi dan oklusi kulit lipat paha merupakan faktor yang
menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit yang akan
memudahkan infeksi. Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung
dengan individu yang terinfeksi atau tidak langsung melalui benda yang
mengandung jamur, misalnya handuk, lantai kamar mandi, tempat tidur hotel
dan lain-lain.1

C. ETIOLOGI
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.

7
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencernakan keratin. Dermatofita
termasuk kelas Fungi Imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu
Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. Semua dermatofita bisa
menyebabkan tinea corporis namun penyebab yang paling umum adalah T.
rubrum, T. mentagrophytes, T. canis dan T. tonsurans.2

D. PATOFISIOLOGI
Tinea korporis merupakan infeksi jamur golongan dermatofita. Secara
umum infeksi dermatofita melibatkan tiga langkah utama: perlekatan ke
keratinosit, penetrasi melalui dan diantara sel, dan perkembangan respon host.
1. Perlekatan
Jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat
pada jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi
dengan flora normal dan sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit.
Asam lemak yang diproduksi oleh glandula sebasea juga bersifat
fungistatik.
2. Penetrasi
Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus stratum
korneum pada kecepatan yang lebih cepat daripada proses desquamasi.
Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim
mucinolitik, yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan
maserasi juga membantu penetrasi jamur kejaringan. Fungal mannan di
dalam dinding sel dermatofita juga bisa menurunkan kecepatan proliferasi
keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika begitu jamur mencapai lapisan
terdalam dari epidermis.
3. Perkembangan respons host
Derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan organisme yang
terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed Type
Hipersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam
melawan dermatofita. Pada pasien yang belum pernah terinfeksi
dermatofita sebelumnya, infeksi primer menyebabkan inflamasi minimal
dan trichopitin tes hasilnya negative.infeksi menghasilkan sedikit eritema
dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit.
Dihipotesakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans
epidermis dan dipresentasikan dalam limfosit T di nodus limfe. Limfosit T
melakukan proliferasi dan bermigrasi ketempat yang terinfeksi untuk

8
menyerang jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inflamasi, dan barier
epidermal menjadi permeable terhadap transferin dan sel-sel yang
bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menjadi
sembuh.2,3,4

E. GAMBARAN KLINIS
Keluhan utama yang dirasakan penderita ialah rasa gatal, dan kelainan
berbatas tegas, terdiri atas macam-macam efloresensi kulit (polimorfi). Bagian
tepi lesi lebih aktif (lebih jelas tanda-tanda peradangan) daripada bagian
tengah. wujud lesi yang beraneka ragam ini dapat berupa sedikit
hiperpigmentasi dan skuamasi, menahun.1
Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong,
berbatas tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel
dan papul ditepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang, sementara yang di
tepi lebih aktif (tanda peradangan lebih jelas) yang sering disebut dengan
sentral healing.2
Erosi dan krusta akibat garukan juga dapat dijumpai pada penderita
tinea. Kelainan kulit juga dapat terlihat secara polisiklik, karena beberapa lesi
kulit yang menjadi satu. Lesi dapat meluas dan memberi gambaran yang tidak
khas terutama pada pasien imunodefisiensi.Pada tinea korporis yang menahun,
tanda radang mendadak biasanya tidak terlihat lagi.2,3
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang untuk tinea yang secara umum sering
dilakukan yaitu pemeriksaan KOH, lampu Wood dan sabauroud agar.
Pemeriksaan mikroskopik langsung terhadap bahan pemeriksaan merupakan
pemeriksaan yang cukup cepat, berguna dan efektif untuk mendiagnosis
infeksi jamur. Pemeriksaan KOH merupakan pemeriksaan yang sering
digunakan untuk mendiagnosis infeksi dermatofit secara langsung dibawah
mikroskop dimana terlihat hifa diantara material keratin. 3,4
Selain itu dapat juga menggunakan pemeriksaan dengan lampu Wood,
yang mengeluarkan sinar ultraviolet yang difiltrasi dengan nikel dengan
gelombang 3650 Ao, yang jika didekatkan pada lesi tinea akan timbul warna
kehijauan.3

G. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding tinea korporis dimana terdapat plak berbatas tegas
dengan skuama, yaitu dermatitis kontak alergi, dermatitis atopi, eritema
9
anular, psoriasis, dermatitis seboroik, pitriasis rosea, pitiriasis alba, pitiriasis
versikolor, lupus eritematosus subakut, mikosis fungoides, dermatitis
numularis.1,2,3
Diagnosis banding yang lain, diantaranya:
1. Kandidosis
Pada kandidosis keluhan utama pasien adalah rasa gatal yang hebat disertai
rasa panas seperti terbakar, terkadang juga nyeri jika ada infeksi sekunder.
Predileksi paling sering biasanya terdapat di bokong sekitar anus, lipat
ketiak lipat paha, lipat bawah payudara, sekitar umbilikus, garis-garis kaki
dan tangan, kuku. Efloresensi yang dapat diamati berupa daerah yang
eritematosa, erosif, kadang dengan papul dan skuama. Pada keadaan yang
kronik dapat terjadi likenifikasi, hiperpigmentasi, hyperkeratosis, dan
kadang berfisura. Bila dilakukan pemeriksaan penunjang dengan tes KOH
ditemukan pseudohifa. Pada media Sabouroud terlihat koloni berwarna
coklat mengkilat, permukaannya basah.
2. Psoriasis
Pada Psoriasis kelainan kulit yang dapat diamati dapat berupa makula dan
papula eritematosa dengan ukuran lentikular sampai nummular, menyebar
secara sentrifugal. Predileksi kelainan tersebut biasanya pada siku, lutut,
kulit kepala, telapak kaki dan tangan, punggung, tungkai atas dan bawah,
serta kuku. Efloresensi yang dapat ditemukan berupa makula eritematosa
yang besarnya bervariasi dari miliar sampai nummular, dengan gambaran
yang beraneka ragam, dapat arsinar, sirsinar, polisiklis, dan geografis.
Macula ini berbatas tegas, ditutupi oleh skuama yang kasar berwarna putih
mengkilat. Jika skuama digores dengan benda tajam menunjukkan tanda
tetesan lilin. Jika penggoresan diteruskan maka akan timbul titik-titik
perdarahan yang disebut sebagai Auspitz sign. Dapat pula menunjukkan
fenomena Koebner atau reaksi isomorfik, yaitu timbul lesi-lesi psoriasis
pada bekas trauma atau garukan.

Lesi tinea apabila dibandingkan dengan penyakit lainnya, kelainan


yang terlihat adalah lesi tampak tenang di tengahnya atau disebut central
healing. Bila tinea salah didiagnosis sebagai dermatitis kemudian digunakan
steroid sebagai terapi, maka inflamasi akan mereda dan karakteristik central
healing tidak terlihat jelas. Hal ini akan mempersulit diagnosis. Manifestasi
tersebut disebut sebagai tinea incognito.

10
H. PENATALAKSANAAN
a. Non Farmakologis
1) Meningkatkan kebersihan badan dan menghindari berkeringat yang
berlebihan
2) Mengurangi kelembaban dari tubuh pasien dengan menghindari pakaian
yang panas dan tidak menyerap keringat (karet, nylon)
3) Menghilangkan fokal infeksi ditempat lain misalnya di kuku atau di
kaki.
4) Menghindari pemakaian handuk dan pakaian bersama-sama.
5) Mengontrol faktor-faktor predisposisi lain seperti diabetes mellitus,
malnutrisi,dll5
b. Farmakologis
1. Terapi topikal
Terapi ini direkomendasikan untuk infeksi lokal karena
dermatofit biasanya hidup pada jaringan. Pada masa kini selain obat-
obat topical konvensional, misalnya asam salisil 2-4%, asam benzoate
6-12%, sulphur 4-6%, vioform 3%, asam undesilenat 2-5% dan zat
warna (hijau brilian dalam cat Castellani) dikenal banyak obat topical
baru. Obat-obat baru ini diantaranya tolnaftat 2%; tolsiklat, haloprogin,
berbagai macam preparat imidazol dan alilamin tersedia dalam
berbagai formulasi. Dan semua obat-obat baru ini memberikan
keberhasilan terapi (70-100%). Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari
selama 2 minggu tergantung agen yang digunakan. Topikal azol dan
allilamin menunjukkan angka perbaikan perbaikan klinik yang
tinggi.Berikut obat yang sering digunakan :
a. Topical azol terdiri atas: Econazol 1 %, Ketoconazol 2 %,
Clotrimazol 1%, Miconazol 2% dll. Derivat imidazol bekerja
dengan cara menghambat enzim 14-alfa-dimetilase pada
pembentukan ergosterol membran sel jamur.
b. Allilamin bekerja menghambat allosterik dan enzim jamur
skualen 2,3 epoksidase sehingga skualen menumpuk pada proses
pembentukan ergosterol membran sel jamur, yaitu naftifine 1%,
butenafin 1%. Terbinafin 1% (fungisidal bersifat anti inflamasi )
yang mampu bertahan hingga 7 hari sesudah pemakaian selama 7
hari berturut-turut.
c. Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja

11
menghambat masuknya bahan esensial selular dan pada
konsentrasi tinggi merubah permeabilitas sel jamur merupakan
agen topikal yang bersifat fungisidal dan fungistatik,
antiinflamasi dan anti bakteri serta berspektrum luas. 5,6
2. Terapi sistemik
Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of
Dermatology menyatakan bahwa obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat
digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama pada telapak tangan dan
kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien imunokompromais, atau
pasien tidak responsif maupun intoleran terhadap OAJ topikal.
a. Griseofulvin. Griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa,
sedangkan anak-anak 10-25 mg/kgBB sehari. Lama pemberian
griseofulvin pada tinea korporis adalah 3-4 minggu, diberikan
bila lesi luas atau bila dengan pengobatan topikal tidak ada
perbaikan.
b. Ketokonazol. Merupakan OAJ sistemik pertama yang
berspektrum luas, fungistatik, termasuk golongan imidazol.
Dosisnya 200 mg per hari selama 10 hari 2 minggu pada pagi
hari setelah makan
c. Flukonazol. Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan
imidazol, namun absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan atau
kadar asam lambung.
d. Itrakonazol. Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik,
spektrum luas, bersifat fungistatik dan efektif untuk dermatofita,
ragi, jamur dismorfik maupun jamur dematiacea. Absorbsi
maksimum dicapai bila obat diminum bersama dengan makanan.
e. Amfoterisin B. Merupakan anti jamur golongan polyen yang
diproduksi oleh Streptomyces nodosus. Bersifat fungistatik, pada
konsentrasi rendah akan menghambat pertumbuhan jamur,
protozoa dan alga. Digunakan sebagai obat pilihan pada pasien
dengan infeksi jamur yang membahayakan jiwa dan tidak
sembuh dengan preparat azol. 5,6

I. PROGNOSIS
Quo Ad vitam : ad bonam
Quo Ad functionam : ad bonam
12
Quo Ad cosmeticam : ad bonam
Quo Ad sanationam : ad bonam

BAB III
PEMBAHASAN

Pada kasus ini diagnosis kerja adalah Tinea Korporis, berdasarkan atas
anamnesa dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesa didapatkan keluhan gatal di daerah
punggung. Keluhan dirasakan terutama pada saat berkeringat. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan lesi di dorsum, papul, makula eritem hiperpigmentasi berskuama bersifat
anular, polisiklik dengan tepi aktif.
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik diatas, gambaran yang terlihat
sudah mencakup gambaran yang terdapat pada tinea korporis, dimana keluhan ini
sudah berlangsung 2 bulan. Berdasarkan teori, tinea korporis merupakan penyakit
kulit yang disebabkan oleh jamur dermatofita yang menyerang daerah yang tidak
berambut, pada wajah, badan, lengan, dan tungkai. Lesi yang terlihat pada infeksi
jamur khususnya tinea korporis berupa lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri
atas eritema, skuama, kadang dengan vesikel dan papul ditepi, daerah tengahnya
berupa sentral healing.
Pada pasien penatalaksanaan yang diberikan prinsipnya adalah menghindari
faktor-faktor predisposisi atau yang dapat mempengaruhi timbulnya penyakit atau

13
memperberat dari keluhan dan gejala yang ada, seperti meningkatkan higien pribadi,
menghindari pakaian yang tidak menyerap keringat, menghindari garukan yang
berlebihan terutama menggunakan benda keras, menyarankan anggota keluarganya
dengan penyakit yang sama untuk berobat dan memberitahukan untuk tidak
menggaruk luka atau daerah kulit yang gatal karena akan menimbulkan tempat infeksi
baru. Pengobatan yang diberikan berupa obat antihistamin yaitu loratadin yang
mempunyai selektivitas tinggi terhadap reseptor histamin-H1 perifer dan afinitas yang
rendah terhadap reseptor-H1 di susunan saraf pusat, sehingga tidak menmbulkan efek
sedasi. Efektif untuk menobati gejala-gejala yang berhubungan dengan rinitis,
urtikaria kronik dan gangguan alergi kulit lainnya. Pada kasus ini digunakan untuk
mengatasi keluhan gatal yang dirasakan oleh pasien. Sedangkan untuk pengobatan
antijamurnya diberikan ketokonazol yang merupakan OAJ golongan triazol, sangat
lipofilik, spektrum luas, bersifat fungistatik dan efektif untuk dermatofita, ragi, jamur
dismorfik maupun jamur dermatiacea. Absorbsi maksimum dicapai bila obat diminum
bersama dengan makanan.
Prognosis umumnya baik selama pasien dapat menghindari hal-hal yang
menjadi faktor predisposisi dari penyakit ini, maka munculnya keluhan kembali dapat
diminimalisasi.

14
BAB IV
KESIMPULAN

1. Dermatofitosis salah satu pembagiannya berdasarkan lokasi bagian tubuh


manusia yang diserang,salah satunya adalah Tinea Korporis ,yaitu
dermatofitosis yang menyerang daerah kulit tak berambut (glabrous skin) pada
wajah, badan, lengan, dan tungkai.
2. Faktor-faktor yang berperan pada tinea korporis antara lain kurangnya
higienitas, memakai pakaian yang tidak menyerap keringat dan faktor endogen
berupa obesitas dan penyakit sistemik
3. Infeksi dermatofita melibatkan tiga langkah utama: perlekatan ke keratinosit,
penetrasi melalui dan diantara sel, dan perkembangan respon host.
4. Pengobatan tinea korporis dilakukan dengan pemberian antifungi baik
sistemik maupun opikal, anti histamin dan juga edukasi tentang panyakit yang
disebabkan oleh jamur.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2005.
2. Budimulja U. Mikosis. Dalam : Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, penyunting.
Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-3. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2000.h.92-7.3.
3. Nugroho SA. Pemeriksaan penunjang diagnosis dermatomikosis superfisialis.
Dalam : Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty
S, editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI,
2004.p.99-106.
4. Ismail N, McGinnis, MR. Fungal infection. Dalam: Gaspari AA, Tyring SK,
penyunting. Clinical and Basic Immunodermatology. London: Spinger;
2008.h.385-8.
5. Kuswadji, Widaty KS. Obat anti jamur. Dalam : Budimulja U, Kuswadji,
Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis
superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2004.p.108-16.
6. Laksmipathy DT, Kannabiran K. Review on dermatomycosis: pathogenesis and
treatment. Journal of Natural Science. 2010; 7; 726- 31.

16

Anda mungkin juga menyukai