LAPORAN KASUS Impetigo Bulosa
LAPORAN KASUS Impetigo Bulosa
LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : An. MS
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 5 bulan
Agama : Islam
Tanggal Pemeriksaan : 27 Maret 2017
Metode Anamnesis : Alloanamnesis (ibu)
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Lepuh-lepuh berisi cairan, terasa gatal dan nyeri di daerah ketiak kiri.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien diantar ibunya ke Puskesmas 2 Baturaden pada hari Senin, 27 Maret 2017
pukul 10.00 WIB dengan keluhan lepuh-lepuh yang berisi cairan pada leher dan pundak
kiri sejak 3 hari yang lalu. Awalnya timbul bintik kecil berisi cairan yang kemudian
membesar. Beberapa gelembung sudah pecah dengan sendirinya dan mengeluarkan cairan
kekuningan. Bekas pecahan gelembung tersebut mengering dan timbul sisik tipis di sekitar
bekas luka. Sejak 3 hari ini pasien menderita demam, batuk, dan pilek. Untuk mengobati
keluhan tersebut pasien sudah memberikan bedak gatal namun tidak kunjung membaik.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal
b. Riwayat sakit kulit disangkal
c. Riwayat alergi disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan yang sama dengan pasien disangkal
b. Riwayat sakit kulit disangkal
c. Riwayat alergi disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya. Pasien merupakan anak tunggal. Aktivitas
pasien lebih banyak didalam rumah bersama ibunya.
C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Antropometri : BB: 8 kg, TB: 65 cm
Vital Sign : Nadi : 96x/menit
Pernafasan : 28 x/menit
Suhu : 37.5C
Kepala : Mesochepal, simetris, rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-), discharge (-)
Telinga : Simetris, sekret (-), discharge (-)
Mulut : Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-),
Tenggorokan : T1 T1 tenang, tidak hiperemis
Leher : Dalam batas normal
Thorax : Tidak dilakukan
Jantung : Tidak dilakukan
Paru : Tidak dilakukan
Abdomen : Tidak dilakukan
Kelenjar Getah Bening : tidak teraba pembesaran.
Ekstremitas : Akral hangat, edema , sianosis
2. Status Dermatologis
a. Lokasi
Regio facialis, colli, axillaris, brachii, fossa poplitea, manus, pedis dextra et sinistra.
b. Efloresensi
Vesikel-bula hipopion diatas kulit eritema berbatas tegas dengan erosi, krusta dan
skuama pada bula yang sudah pecah di leher dan pundak kanan.
E. Resume
Pasien diantar ibunya ke Puskesmas 2 Baturaden pada hari Senin, 27 Maret 2017 pukul
10.00 WIB dengan keluhan lepuh-lepuh yang berisi cairan pada leher dan pundak kiri sejak 3
hari yang lalu. Awalnya timbul bintik kecil berisi cairan yang kemudian membesar. Beberapa
gelembung sudah pecah dengan sendirinya dan mengeluarkan cairan. Bekas pecahan
gelembung tersebut mengering dan timbul sisik tipis di sekitar bekas luka. Sejak 3 hari ini
pasien menderita demam, batuk, dan pilek. Untuk mengobati keluhan tersebut pasien sudah
memberikan bedak gatal namun tidak kunjung membaik. Pasien belum pernah mengalami
keluhan yang sama sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat alergi. Keluarga tidak pernah
mengalami keluhan seperti pasien. Riwayat penyakit kulit dan alergi pada keluarga juga
disangkal.
F. Diagnosis Kerja
Impetigo Bulosa
G. Diagnosis Banding
1. Pemfigus
2. Impetiginenisasi
3. Tinea sirsinata
H. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Antibiotik oral : Amoxicillin Syr 3 x 100 mg
I. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Impetigo bulosa/vesikobulosa/cacar monyet adalah penyakit infeksi piogenik akut kulit
yang mengenai epidermis superfisial, bersifat sangat menular. Impetigo sering menyerang anak-
anak terutama di tempat beriklim panas dan lembap. Ditandai oleh lepuh-lepuh berisi cairan
kekuningan dengan dinding tegang, terkadang tampak hipopion (Imaligy, 2015).
Impetigo merupakan peradangan superfisialis yang terbatas pada bagian epidermis yang
disebabkan oleh infeksi bakteri Staphylococcus, Streptococcus, atau keduanya. Impetigo bulosa
biasanya lebih sering disebabkan karena infeksi bakteri Staphylococcus aureus. Lesi yang timbul
dapat terjadi pada tempat yang normal atau pada tempat yang sebelumnya pernah terkena trauma.
Impetigo biasanya juga merupakan penyakit penyerta (secondary infection) dari pediculosis,
skabies, infeksi jamur dan pada insect bites. Terdapat vesikel yang biasanya tidak mudah untuk
mengalami ruptur kemudian yang khas dari vesikel ini vesikel tersebut biasanya membesar
menjadi bula. Di dalam bula tersebut awalnya mengandung cairan yang jernih berwarna kuning,
yang kemudian berubah warna menjadi lebih gelap, serta lebih berwarna kuning kehitaman.
Setelah 1-3 hari lesi ini biasanya akan ruptur dan meninggalkan krusta yang tipis, berwarna cokelat
terang, dan satu lagi yang khas pada penderita impetigo bulosa adalah hipopion (Harahap, 2000;
Djuanda, 2007; Beheshti, 2007).
2.2 Epidemiologi
Impetigo terjadi di seluruh negara di dunia dan angka kejadiannya selalu meningkat dari
tahun ke tahun. Di Amerika Serikat impetigo merupakan 10% dari masalah kulit yang dijumpai
pada klinik anak dan terbanyak pada daerah yang jauh lebih hangat, yaitu pada daerah tenggara
Amerika. Di Inggris kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun
dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun. Sekitar 70% merupakan impetigo krustosa. Impetigo dapat
terjadi pada semua ras. Lebih sering dijumpai pada laki-laki, dan pada usia 2 sampai 5 tahun.
Impetigo bulosa paling sering dijumpai pada neonatus dan bayi, 90% kasus anak di bawah 2 tahun
(Cole, 2007; Wolff et al., 2007).
Patomekanisme
Impetigo vesikobulosa disebabkan oleh eksotoksin Staphylococcus aureus yang masuk
melalui kulit terluka akan menyebabkan lepasnya adhesi dermis superfisial yang menimbulkan
lepuh dan menyebabkan terkelupasnya kulit dengan membelahnya sel granular epidermis. Proses
epidermolisis ini akan digantikan cairan serosa sehingga membentuk bula. Bula hipopion bisa
terjadi karena kehilangan dari kemampuan adhesi sel yang diakibatkan karena adanya eksotoksin
A yang bekerja pada desmoglein I tersebut. Desmoglein I ini berperan dalam mengatur proses
adhesi sel. Molekul-molekul eksotoksin tersebut bekerja sebagai antigen serin biasa yang bekerja
secara lokal dan mengaktifkan sel limfosit T. Eksotoksin ini juga akan mengalami koagulasi, di
mana toksin tersebut akan tetap terlokalisasi pada bagian atas dari lapisan epidermis dengan
memproduksi fibrin thrombus. Karena impetigo terbatas hanya pada epidermis dan tidak mencapai
bagian yang lebih dalam, umumnya pasien hanya mengeluh gatal tanpa disertai nyeri (Hanakawa,
2002; Lewis, 2013; Imaligy, 2015).
Pada impetigo bulosa, epidermis terpisah tepat di bagian bawah stratum
granulosum sehingga membentuk bulla yang berukuran besar yang terletak pada bagian
superfisial kulit. Neutrofil berpindah melalui epidermis spongiotik ke dalam bulla,
yang juga mungkin mengandung Staphylococcus aureus. Kadang-kadang sel
akantolitik terlihat yang mungkin disebabkan oleh reaksi dari neutrofil. Bagian atas
dermis mengandung neutrofil dan limfosit yang merupakan infiltrat inflamasi (Imaligy,
2015).
Toksin eksfoliatif (TE) yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus bekerja seperti
molekul spesifik pengurai Desmoglein 1 (Dsg1) dan secara langsung menguraikan
(memotong) Dsg1 tetapi tidak dapat bekerja menguraikan Desmoglein 3 (Dsg3).
Proses ini menyebabkan munculnya bula hanya di permukaan epidermis, tidak sampai
ke lapisan kulit yang lebih dalam karena adanya mekanisme kompensasi oleh Dsg3 di
lapisan kulit yang lebih dalam (Imaligy, 2015).
2.10 Pengobatan
Tujuan pengobatan adalah untuk membersihkan erupsi dan mencegah menyebarnya infeksi
ke tempat lain. Jika terdapat beberapa vesikel/bula, dipecahkan lalu dibersihkan dengan cairan
antiseptic (betadine) kemudian diberi salep antibiotik (kloramfenikol 2% atau eritromisin 3%).
Jika banyak lesinya, dan diserta gejala sistemik berupa demam maka diberikan antibiotik sistemik
seperti penisilin 30-50 mg/kgBB atau antibiotik lain yang sensitif. Dapat pula diberikan terapi
topical seperti asam fusidat dan mupirosin yang merupakan pilihan pertama pada impetigo bulosa
(Siregar, 2005; Oakley, 2009; Djuanda, 2007).
Selain itu perlu ditekankan pentingnya menjaga kebersihan diri dan menghilangkan faktor-
faktor predisposisi agar gejala tidak bertambah berat dan mencegah kekambuhan. Terapi non-
medikamentosa antara lain, menghilangkan krusta dengan cara mandikan anak selama 20-30
menit, disertai mengelupaskan krusta dengan handuk basah, mencegah anak untuk menggaruk
daerah lecet, dapat dengan menutup daerah yang lecet dengan perban tahan air dan memotong
kuku anak, lakukan drainase pada bula dan pustule secara aseptik dengan jarum suntik untuk
mencegah penyebaran lokal, lanjutkan pengobatan sampai semua lesi sembuh dan dapat dilakukan
kompres dengan menggunakan larutan natrium klorida (NaCl) 0,9% pada lesi yang basah
(Aryunisari, 2013).
Tindakan yang bisa dilakukan guna pencegahan impetigo diantaranya cuci tangan segera
dengan menggunakan air mengalir bila habis kontak dengan pasien, terutama apabila terkena luka,
jangan menggunakan pakaian yang sama dengan penderita, bersihkan dan lakukan desinfektan
pada mainan yang mungkin bisa menularkan pada orang lain, setelah digunakan pasien, mandi
teratur dengan sabun dan air (sabun antiseptik dapat digunakan, namun dapat mengiritasi pada
sebagian kulit orang yang kulit sensitif), higiene yang baik, mencakup cuci tangan teratur, menjaga
kuku jari tetap pendek dan bersih, jauhkan diri dari orang dengan impetigo, cuci pakaian, handuk
dan sprei dari anak dengan impetigo terpisah dari yang lainnya. Cuci dengan air panas dan
keringkan di bawah sinar matahari atau pengering yang panas. Mainan yang dipakai dapat dicuci
dengan disinfektan dan gunakan sarung tangan saat mengoleskan antibiotik topikal di tempat yang
terinfeksi dan cuci tangan setelah itu (Northern Kentucky Health Department, 2005).
2.11 Prognosis
Prognosis impetigo bulosa umumnya baik.Tanpa pengobatan penyakit ini dapat sembuh
dalam 2-3 minggu. Pada infeksi yang invasive dari S.aureus pada impetigo yang berat, dapat
berkomplikasi menjadi selulitis, limpangitis, dan bakteremia, sehingga pada keadaan lanjut dapat
menjadi osteomielitis, arthritis septic, pneumonia, dan sepsis. Toksin eksfoliatif juga bisa
menyebabkan SSSS (Staphylococcal Scaldes-Skin Syndrome) pada anak dan pada orang dewasa
dapat terjadi pada orang yang imunokompromais atau terdapat gangguan pada ginjal (Siregar,
2005; Lewis, 2013).
Diagnosis impetigo bulosa didapatkan dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik
terhadap status dermatologis pasien, yaitu didapatkan hasil pasien mengeluh timbul keluhan
lepuh-lepuh yang berisi cairan pada leher dan pundak kiri sejak 3 hari yang lalu. Awalnya
timbul bintik kecil berisi cairan yang kemudian membesar. Beberapa gelembung sudah pecah
dengan sendirinya dan mengeluarkan cairan kekuningan. Bekas pecahan gelembung tersebut
mengering dan timbul sisik tipis di sekitar bekas luka. Sejak 3 hari ini pasien menderita demam,
batuk, dan pilek. Untuk mengobati keluhan tersebut pasien sudah memberikan bedak gatal
namun tidak kunjung membaik.
Pada pemeriksaan status dermatologis tampak Vesikel-bula hipopion diatas kulit
eritema berbatas tegas dengan erosi, krusta dan skuama pada bula yang sudah pecah pada leher
dan pundak kanan.
Selain dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis impetigo bulosa juga ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan laboratorium. Berdasarkan kepustakaan pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan adalah pewarnaan gram, untuk mencari staphylococcus aureus dan kultur
cairan, menunjukkan adanya bakteri staphylococcus aureus.
Diagnosis banding pada impetigo bulosa adalah pemfigus, impetiginisasi dan tinea
sirsinata. Penatalaksanaan pada kasus ini secara umum adalah menghindari dan mencegah
faktor predisposisi, memperbaiki hygiene diri dan lingkungan, dan meningkatkan daya tahan
tubuh. Penatalaksanaan secara khusus adalah diberikan NaCl 0,9 % , kompres pada bula yang
sudah pecah . Pada bula yang belum pecah dapat dilakukan aspirasi bula. Kemudian dioleskan
antibiotik topikal mupirosin 2 %. Kemudian diberikan obat sistemik yaitu amoxicillin sirup 3x
100 mg/hari. Untuk terapi simptomatik diberikan antipiterik parasetamol sirup 3x 75 mg.
Prognosis umumnya baik, bergantung pada kecepatan penanganan dan kemungkinan
komplikasi yang dapat terjadi. Pada pasien ini prognosis Quo ad vitam adalah bonam karena
penyakit ini tidak mengancam jiwa, sebab dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda
komplikasi. Prognosis Quo ad functionam adalah bonam karena fungsi bagian tubuh yang
terkena tidak terganggu. Prognosis Quo ad sanationam adalah bonam karena tidak
mengganggu kehidupan sosial penderita.