Anda di halaman 1dari 79

LAPORAN AKHIR

ANALISIS DINAMIKA KONSUMSI PANGAN


MASYARAKAT INDONESIA

PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI


BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
2013
RINGKASAN EKSEKUTIF

Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya
merupakan bagian dari hak azasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia tahun 1945. Pemenuhan kebutuhan pangan juga terkait dengan upaya
peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, sehingga nantinya akan diperoleh kualitas
sumber daya Indonesia manusia (SDM) yang mempunyai daya saing tangguh dan unggul
sebagai bangsa. Sumber daya manusia berkualitas digambarkan sebagai manusia sehat
yang cerdas, produktif dan mandiri (Menteri Kesehatan, 2005). Pemenuhan kecukupan
pangan bagi setiap warga negara Indonesia merupakan kewajiban bersama pemerintah dan
masyarakat, baik secara moral, sosial, maupun hukum, karena pangan merupakan salah
satu hak asasi manusia yang sangat esensial. Pemenuhan kecukupan pangan
perseorangan merupakan esensi dari ketahanan pangan, dan dicerminkan oleh tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau harganya serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Pada saat ini secara global, beberapa negara sedang mengalami berbagai macam
kemungkinan terjadinya krisis. Salah satu potensi krisis yang memiliki dampak serius adalah
ancaman terjadinya krisis pangan global. Isu kelangkaan pangan dunia (world food crisis)
saling berkaitan erat dengan isu perubahan iklim global (global climate changes) dan
dinamika ekonomi global, yang dicirikan oleh krisis ekonomi di negara-negara maju dan
volatilitas harga pangan serta energi (Menteri Pertanian, 2012). Permasalahan global ini
pasti mempunyai pengaruh pada kondisi ketahanan pangan domestik, karena saat ini tidak
ada satu negarapun yang dapat mengisolasi diri dari komunitas dunia. Pada skala dunia,
diperkirakan lebih dari 900 juta penduduk dunia masih terancam kelaparan dan rawan
pangan (FAO, 2010). Di Indonesia, proporsi rumahtangga yang mengalami rawan pangan
pada tahun 1999 sebesar 14,2% dan pada tahun 2008 turun menjadi sebesar 8,7%. Bila
dikaitkan dengan dinamika perekonomian selama kurun waktu tersebut, masih tingginya
proporsi rumahtangga rawan pangan tidak terlepas dari pengaruh krisis ekonomi tahun
1997/1998 dan kenaikan harga bahan bakar minyak pada tahun 2005. Krisis ekonomi
menyebabkan penurunan konsumsi pangan secara kuantitas dan kualitas (Ariani, dkk;
2000).
Selain pengaruh faktor ekonomi, pangan juga sangat tergantung pada perubahan
iklim. Perubahan iklim yang terjadi saat ini mengakibatkan perubahan pola tanam,
perubahan pola hujan sehingga waktu kapan akan terjadi musim kering atau musim hujan
sulit diprediksi, munculnya hama/penyakit tanaman yang tidak terprediksi dan lainnya.
Perubahan beberapa faktor ini, berdampak pada sulitnya pencapaian produksi pangan
sesuai yang telah dicanangkan. Menyikapi berbagai kendala tersebut, maka mengharuskan
melakukan pemanfaatkan sumberdaya pertanian dan pangan secara efisien dan optimal
dengan memperhatikan potensi lahan, tingkat kesuburan lahan dan pola permintaan
pangan. Pertimbangan ini dilakukan dengan harapan pangan yang dibutuhkan semaksimal
mungkin diperoleh dari produksi sendiri atau produksi dalam negeri. Di satu sisi, pola
konsumsi pangan masyarakat berbeda dan berubah dari waktu ke waktu, dari tempat yang
satu ke tempat yang lain. Pola konsumsi pangan antara daerah satu dengan daerah lainnya
dapat berbeda tergantung dari lingkungannya termasuk sumberdaya dan budaya setempat,
Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
i
selera dan pendapatan masyarakat. Demikian pula pola konsumsi pangan juga akan
berubah dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh perubahan pendapatan, perubahan
kesadaran masyarakat akan pangan dan gizi serta perubahan gaya hidup. Dengan
demikian, perubahan-perubahan tersebut, baik antar daerah maupun antar waktu akan
menentukan perubahan berapa pangan yang harus disediakan dan bagaimana distribusinya
agar harga pangan tersebut dapat dijangkau masyarakat dengan harga yang wajar.
Oleh karena itu, pemanfaatan atau konsumsi pangan merupakan salah satu entry
point dan sub system untuk memantapkan ketahanan pangan. Dengan mengetahui pola
konsumsi pangan masyarakat akan dapat disusun kebijakan terkait dengan penyediaan
pangan, baik yang berasal dari produksi dalam negeri maupun impor . Kebijakan produksi
pangan mencakup berapa volume dan jenis pangan yang mampu diproduksi dengan
memperhatikan sumberdaya lahan, air, teknologi dan sarana pendukung lainnya. Dengan
memperhatikan potensi produksi dan permintaan pangan akan dapat ditetapkan berapa
banyak dan jenis pangan yang harus diproduksi di dalam negeri atau diimpor. Selain itu
dengan mengetahui perubahan konsumsi pangan masyarakat, juga dapat disusun kebijakan
harga dan distribusi pangan agar masyarakat dapat menjangkau pangan yang tersedia.
Analisis ini bertujuan (a) menganalisis dinamika struktur pengeluaran pangan
masyarakat untuk mengetahui bagaimana perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat, (b)
menganalisis dinamika konsumsi energi, protein dan kualitas konsumsi pangan untuk
mengetahui bagimana perubahan pola konsumsi pangan masyarakat, serta (c) melakukan
proyeksi permintaan beberapa jenis pangan untuk mengetahui perkiraan jumlah pangan
yang dibutuhkan masyarakat
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia yang
diukur dengan pangsa pengeluaran pangan, baik di perkotaan maupun di perdesaan
semakin membaik. Terdapat perubahan pola pengeluaran masyarakat dari dominan pada
kelompok padi-padian ke kelompok makanan/minuman jadi. Sementara pola pengeluaran
untuk kelompok pangan yang lain relatif sama dari tahun ke tahun. Perubahan ini menuntut
pengembangan usaha di sektor makanan/minuman jadi sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan masyarakat. Usaha makanan/minuman jadi juga harus memperhatikan faktor
keamanan pangan, sehingga perlunya pembinaan terutama bagi usaha rumah tangga dan
kecil.
Hasil analisis lainnya juga menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat sudah
mengarah kepada pola konsumsi anjuran, baik dari segi kebutuhan energi, protein, namun
untuk keragaman konsumsi masih perlu ditingkatkan. Pangan dominan masih dari beras
sebagai sumber energi dan protein, sementara pangan lokal seperti umbi-umbian, sagu
menurun tingkat konsumsinya. Sebaliknya konsumsi terigu dan turunannya meningkat.
Diantara pangan sumber protein hewani, konsumsi daging sapi mengalami penurunan
selama 15 tahun terakhir. Demikian pula konsumsi gula pasir juga menurun, sebaliknya
konsumsi minyak goreng terus meningkat. Peningkatan pendapatan berdampak pada
perubahan pola konsumsi pangan yaitu mengurangi pangan sumber karbohidrat dan
meningkatkan pangan sumber protein, vitamin dan mineral. Namun perubahan pola
konsumsi tidak hanya ditentukan oleh faktor pendapatan tetapi juga pengetahuan
masyarakat akan pangan dan gizi.
Hasil proyeksi menunjukkan bahwa permintaan pangan pada tahun 2020 pada
umumnya masih tinggi terutama pada kelompok menengah, yang jumlahnya masih relatif
Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
ii
besar dalam struktur penduduk. Secara agregat, permintaan beras pada tahun 2020
diperkirakan sekitar 16,1 juta ton, sedangkan untuk terigu, kedelai dan gula pasir masing-
masing sekitar 2,1 juta ton; 1,9 juta ton dan 2,6 juta ton. Untuk minyak goreng sekitar 3,0
juta ton dan daging sapi diperkirakan sekitar 90,2 ribu ton. Perlu diingatkan lagi bahwa
permintaan pangan ini adalah permintaan pangan untuk rumah tangga biasa, dengan kata
lain tidak termasuk permintaan hotel, restaurant, catering dan industri.
Implikasi kebijakan yang dapat disampaikan adalah mengingat pola konsumsi
masyarakat akan berubah seiring dengan perubahan pendapatan, maka pengetahuan
masyarakat akan pangan dan gizi harus terus ditingkatkan, sehingga masyarakat hanya
akan mengkonsumsi makanan yang berkualitas, yang menyehatkan dan mencerdaskan.
Upaya penyadaran ini tidak dapat hanya bersandarkan pada kebijakan pemerintah, namun
juga semua elemen, seperti swasta dan masyarakat. Selain itu, perlu adanya edukasi
konsumen, khususnya dalam hal mempromosikan produk makanan secara benar dan tidak
menyesatkan konsumen.
Dalam upaya diversifikasi konsumsi pangan pokok berbasis sumber daya lokal, peran
pemerintah harus secara signifikan dapat mewujudkan hal tersebut, seperti peran
pemerintah dalam mengalihkan pola makan masyarakat dari beras dan produk terigu ke
makanan lokal (umbi-umbian, jagung, sagu). Pemerintah juga harus berperan dalam
pengembangan industri pengolahan pangan berbasis sumberdaya lokal dan penyadaran
masyarakat. Langkah awal yang dapat dilakukan, salah satu diantaranya adalah pemberian
produk olahan berbasis pangan lokal secara gratis oleh pemerintah melalui raskin, pangan
darurat dan lainnya. Di samping itu, perlu penyadaran baik kepada media (elektronik/surat
kabar) ataupun semua elemen bahwa mengkonsumsi pangan produk lokal bukan karena
kelaparan atau miskin.

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga Tim Peneliti dapat menyelesaikan laporan Analisis Dinamika
Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia tepat pada waktunya. Untuk itu, Tim
Peneliti menyampaikan terima kasih kepada semua pihak khususnya para nara
sumber dan Pimpinan BP2KP yang telah membantu memberikan arahan, pemikiran,
dan berbagai informasi, termasuk memfasilitasi kelancaranan kegiatan kajian ini.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan
pemenuhannya merupakan bagian dari hak azasi manusia yang dijamin di dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Pemenuhan kebutuhan pangan juga terkait dengan
upaya peningkatan kualitas kesehatan masyarakat sehingga diperoleh kualitas
sumberdaya Indonesia yang mempunyai daya saing yang tangguh dan unggul
sebagai bangsa. Oleh karena itu, pangan dan gizi berperan sebagai penentu daya
saing bangsa, mempunyai peran penting dalam pencapaian Indek Pembangunan
Manusia (IPM). Laporan United Nation Development Program tahun 2010
menempatkan Indonesia dalam kelompok medium human development dan
menduduki peringkat 108 dari 182 negara.
Dengan memahami dan mengetahui bahwa dinamika atau perkembangan
konsumsi pangan rumah tangga merupakan salah satu informasi dasar dalam
kebijakan pangan, baik dari sisi ekonomi seperti pangsa pengeluaran untuk pangan
maupun dinamika komposisi/diversifikasi asupan pangan , maka pemerintah
diharapkan akan mampu merumuskan kebijakan pangan yang efektif, baik dari sisi
penawaran, permintaan, termasuk kebijakan distribusinya.
Sejalan dengan hal ini, Tim Peneliti melakukan suatu kajian untuk menganilisis
dinamika konsumsi pangan RT dengan menggunakan data SUSENAS tahun 1989-
2011. Dinamika yang dianalisis antara lain mencakup dinamika pangsa pengeluaran
untuk kelompok dan jenis pangan secara spesifik yang dinilai strategis, dinamika
komposi dari sisi kontribusi terhadap energi, protein, dan vitamin, dan mineral
berdasarkan kolompok masyarakat yang digariskan dalam data SUSENAS. Di
samping itu, kajian ini mencoba memberikan proyeksi dinamika konsumsi pangan,
baik dari sisi pangsa pengeluaran maupun kandungan nutrisinya.
Hasil studi menunjukan bahwa sebagai akibat peningkatan kesejahteraan, ada
indikasi perubahan pola konsumsi pangan yaitu mengurangi pangan sumber
karbohidrat dan meningkatkan pangan sumber protein, vitamin dan mineral. Hal ini
terutama terjadi untuk kelompok masyarakat yang tingkat kesejahteraannya lebih
tinggi. Namun perubahan pola konsumsi tidak hanya ditentukan oleh faktor
pendapatan tetapi juga pengetahuan masyarakat akan pangan dan gizi. Di samping
itu, telah terjadi perubahan pola pengeluaran masyarakat dari dominan pada
kelompok padi-padian ke kelompok makanan/minuman jadi.
Catatan penting lainnya adalah pola konsumsi masyarakat sudah mengarah
kepada pola konsumsi anjuran, baik dari segi kebutuhan energi, protein, namun
diversifikasi konsumsi masih perlu ditingkatkan. Ada indikasi konsumsi beras per

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


iv
kapita menurun, namun konsumsi terigu dan turunannya meningkat. Diantara
pangan sumber protein hewani, konsumsi daging sapi mengalami penurunan selama
15 tahun terakhir.
Tim peneliti berharap hasil kajian ini dapat menjadi salah satu acuan atau
masukan dalam perumusan kebijakan pangan baik untuk aspek penawaran,
permintaan, dan distribusi Kami juga berharap, hasil kajian ini dapat menjadi
referensi untuk kajian-kajian selanjutnya yang berkaitan dengan kebiajkan pangan.
Kami menyadari bahwa kajian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan, seperti
dalam hal ruang lingkup, metode analisis, maupun kualitas data. Oleh sebab itu,
masukan-masukan dan kritik konstruktif untuk penyempurnaan kajian ini, sangat
kami harapkan.

Jakarta, Juni 2013

Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


v
DAFTAR ISI

RINGKASAN EKSEKUTIF.............................................................................. i
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xi

BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 4
1.3. Keluaran Penelitian .................................................................................. 4
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................... 4
1.5. Ruang Lingkup .......................................................................................... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Konsep Pangan ......................................................................................... 6
2.2. Konsep Ketahanan Pangan ...................................................................... 6
2.3. Struktur Pengeluaran Masyarakat............................................................. 9
2.4. Pola Konsumsi Pangan Masyarakat ......................................................... 11
2.5. Pola Pangan Harapan (PPH) .................................................................... 12
2.6. Konsumsi Pangan dari Data Survei Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS): Kekuatan dan Kelemahan .................................................... 16

BAB III. METODE PENELITIAN


3.1. Sumber dan Jenis Data ............................................................................. 18
3.2. Analisis Data ............................................................................................. 21

BAB IV. KESEJAHTERAAN MASYARAKAT: MEMBAIK ATAU MENURUN


4.1. Pengeluaran Pangan Agregat ................................................................... 23
4.2. Pengeluaran Pangan Menurut Kelompok Pangan ................................... 26

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


vi
BAB V. KUANTITAS KONSUMSI PANGAN MASYARAKAT :
ENERGI DAN PROTEIN
5.1. Konsumsi Masyarakat dari Sisi Kecukupan Konsumsi Energi dan
Protein........................................................................................................ 31
5.2. Konsumsi Energi dan Protein Menurut kelompok Pangan dan
Pengeluaran .............................................................................................. 35

BAB VI. KUALITAS POLA KONSUMSI PANGAN: HARAPAN DAN


KENYATAAN

6.1. Program Diversifikasi Konsumsi Pangan .................................................. 37


6.2. Pencapaian Kualitas Konsumsi Pangan menurut PPH ............................ 39
6.3. Kendala Pencapaian Diversifikasi Pangan Secara Signifikan.................. 41

BAB VII. TINGKAT KONSUMSI DAN PERMINTAAN PANGAN


7.1. Tingkat Konsumsi Pangan ........................................................................ 44
7.2. Proyeksi Kebutuhan Pangan untuk Konsumsi tahun 2020 ...................... 50
7.3. Perspektif Pola Konsumsi Pangan ke Depan ........................................... 55

BAB VIII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN


8.1. Kesimpulan ................................................................................................ 58
8.2. Implikasi Kebijakan .................................................................................... 58

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 60


LAMPIRAN .................................................................................................... 64

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


vii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Perbedaan Swasembada Pangan dengan Ketahanan Pangan ............. 8


Tabel 2.2. Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg.Pangan 1994, dan Deptan
2001............................................................................................................ 13
Tabel 2.3. Susunan Pola Pangan Harapan Nasional*) ............................................ 14
Tabel 3.1. Jenis Pangan Menurut Kelompok Pangan .............................................. 19
Tabel 3.2. Jumlah dan Besaran Kelompok Pengeluaran SUSENAS
tahun 1996,1999, 2002, 2005,2008 dan 2011 ......................................... 20
Tabel 3.3. Pengelompokkan Beberapa Jenis Pangan ............................................. 21
Tabel 4.1. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Kelompok Pengeluaran (%) ..... 26
Tabel 4.2. Pangsa Pengeluaran Beberapa Jenis Pangan Menurut Wilayah (%) .... 29
Tabel 4.3. Pangsa Pengeluaran Beberapa Kelompok Pangan Menurut Kelompok
Pengeluaran (%), 2011 .............................................................................. 30
Tabel 5.1. Ketersediaan Energi dan Protein, 2006-2011 ......................................... 34
Tabel 5.2. Pangsa Energi dan Protein Beberapa Kelompok Pangan
Menurut Wilayah (%).................................................................................. 35
Tabel 5.3. Pangsa Energi Kelompok Pangan Menurut Kelompok Pengeluaran,
2011 (%) ..................................................................................................... 36
Tabel 6.1. Perkembangan Kebijakan/Program/Kegiatan Diversifikasi Konsumsi
Pangan ....................................................................................................... 37
Tabel 6.2. Pola Konsumsi Pangan : Harapan dan Kenyataan ................................. 40
Tabel 7.1. Tingkat Konsumsi Pangan : Beras, Umbi-umbian dan Terigu
Menurut Wilayah, (kg/kap/th) ..................................................................... 45
Tabel 7.2. Tingkat Konsumsi Pangan : Daging, Telur, Susu, dan Kedelai
Menurut Wilayah, (kg/kap/th) ..................................................................... 47
Tabel 7.3. Tingkat Konsumsi Pangan : Sayuran, Buah-buahan, Gula Pasir dan
Minyak Goreng Menurut Wilayah, (kg/kap/th) .......................................... 48
Tabel 7.4. Tingkat Konsumsi Pangan : Beras, Ubi kayu, Ubi jalar, Sagu, Umbi
Lainnya dan Terigu Menurut Kelompok Pengeluaran, 2011 (kg/kap/th) .. 49
Tabel 7.5. Tingkat Konsumsi Pangan : Daging, Telur, Susu, dan Kedelai
Menurut Kelompok Pengeluaran, 2011 (kg/kap/th)................................... 49
Tabel 7.6. Tingkat Beberapa Komoditas Pangan dan Laju Perubahannya

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


viii
Menurut Kelompok Pengeluaran ............................................................... 51
Tabel 7.7. Proyeksi Jumlah Penduduk (Orang)......................................................... 51
Tabel 7.8. Proporsi Penduduk Menurut Kelompok Pengeluaran (Orang) ................ 52
Tabel 7.9. Proyeksi Permintaan Beberapa Jenis Pangan untuk
Konsumsi Masyarakat (kg/kap/th) .............................................................. 53
Tabel 7.10. Proyeksi Permintaan Beberapa Pangan untuk Konsumsi Masyarakat
(ribu ton) ..................................................................................................... 53
Tabel 7.11. Proyeksi Permintaan Pangan Menurut Kelompok Pangan, 2020
(kg/kap/th) .................................................................................................. 53
Tabel 7.12. Proyeksi Permintaan: Beras, Terigu, Kedelai dan Gula Pasir
Menurut Kelompok Pengeluaran, 2020 (ton) ............................................ 54
Tabel 7.13. Proyeksi Permintaan: Minyak Goreng, Daging Sapi, Daging Ayam
dan Telur Menurut Kelompok Pengeluaran, 2020 (ton) ............................ 54
Tabel 7.14. Capaian Indeks Swasembada Komoditas Pangan Utama 2011-2012... 55

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Pembobotan pada Kelompok Pangan .................................................... 15


Gambar 4.1. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Wilayah (%) .............................. 24
Gambar 4.2. Pangsa Pengeluaran Beberapa Kelompok Pangan di Perkotaan dan
Pedesaan (%)............................................................................................ 27
Gambar 4.3. Pangsa Pengeluaran Beberapa Kelompok Pangan di Perkotaan (%) .. 28
Gambar 4.4. Pangsa Pengeluaran Beberapa Kelompok Pangan di Pedesaan (%) .. 28
Gambar 5.1. Konsumsi Energi Menurut Wilayah ........................................................ 31
Gambar 5.2. Konsumsi Protein Menurut Wilayah ....................................................... 32
Gambar 5.3. Pangsa Konsumsi Protein Hewani Menurut Wilayah ............................. 34
Gambar 6.1. Kualitas Konsumsi Pangan Menurut PPH .............................................. 40

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


x
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Wilayah (%) .............................. 65


Lampiran 2. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Menurut Wilayah (%) ................. 65
Lampiran 3. Pola Konsumsi Pangan Menurut PPH ................................................... 65
Lampiran 4. Perkembangan Tingkat Konsumsi Beras, Terigu, Kedelai,
Gula pasir dan Minyak Goreng Menurut Kelompok Pengeluaran
Tahun 2006-2011 ...................................................................................... 66
Lampiran 5. Perkembangan Tingkat Konsumsi Daging Sapi, Daging Ayam
dan Telur ................................................................................................... 67
Lampiran 6. Perkembangan Tingkat Konsumsi Daging Sapi, Daging Ayam
dan Telur ................................................................................................... 68

Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


xi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya
merupakan bagian dari hak azasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia tahun 1945. Pemenuhan kebutuhan pangan juga terkait dengan upaya
peningkatan kualitas kesehatan masyarakat sehingga diperoleh kualitas sumberdaya
Indonesia yang mempunyai daya saing tangguh dan unggul sebagai bangsa. Sumber daya
manusia (SDM) berkualitas digambarkan sebagai manusia sehat yang cerdas, produktif dan
mandiri (Menkes, 2005).
Untuk menjadi sehat, syarat utama yang diperlukan adalah SDM dapat mengkonsumsi
pangan sesuai kebutuhan proses basal metabolisme tubuh. Dalam hal ini pangan berfungsi
sebagai sumber energi dan zat gizi lain yang dibutuhkan tubuh untuk pekerjaan dan proses-
proses dalam tubuh (Suhardjo, dkk; 2006). Pangan dan gizi berperan sebagai penentu daya
saing bangsa, mempunyai peran penting dalam pencapaian Indeks Pembangunan Manusia
(IPM). Laporan United Nation Development Program (UNDP, 2010) dalam Rencana Aksi
Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) 2011-2015 menunjukkan bahwa IPM Indonesia
dikategorikan dalam medium human development dan menduduki peringkat 108 dari 182
negara, lebih rendah dibandingkan beberapa negara ASEAN, seperti Malaysia, Thailand
atau Filipina (BAPPENAS, 2011).
Pada saat ini secara global di berbagai negara sedang mengalami krisis. Salah satu
potensi krisis yang memiliki dampak serius adalah ancaman terjadinya krisis pangan global.
Isu kelangkaan pangan dunia (world food crisis) saling berkaitan erat dengan isu perubahan
iklim global (global climate changes) dan dinamika ekonomi global, yang dicirikan oleh krisis
ekonomi di negara-negara maju dan volatilitas harga pangan serta energi (Menteri
Pertanian, 2012). Permasalahan global ini pasti mempunyai pengaruh pada kondisi
ketahanan pangan domestik, karena saat ini tidak ada satu negarapun yang dapat
mengisolasi diri dari komunitas dunia.
Menurut Firmansyah (2012), perekonomian Indonesia pada tahun 2012 telah
menerima dampak atas pelemahan ekonomi global. Secara akumulatif Januari-November
2012, defisit Neraca Perdagangan Indonesia (NPI) mencapai 1,33 miliar dollar AS dengan
nilai impor mencapai 176,09 miliar dollar AS dan ekspor sebesar 174,76 miliar dollar AS.
Potensi ancaman krisis dunia tahun 2013 masih tetap tinggi yang bersumber pada
pemulihan krisis di zona Eropa dan pelemahan ekonomi Amerika Serikat akibat program
pengetatan belanja publik dan kenaikan pajak. Selain itu, akibat adanya perubahan iklim dan
cuaca ikut meningkatkan volatilitas harga pangan dunia. Pada beberapa waktu yang lalu,
ekonomi Indonesia mendapatkan ujian dari meningkatnya harga sejumlah komoditas
pangan dunia seperti kedelai akibat tidak tercapainya target produksi negara penghasil
utama. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini yaitu kekeringan yang terjadi di Amerika
Serikat ditambah dengan aksi borong negara importir untuk mengamankan pasokan dalam
negerinya. Resiko akan hal ini masih akan tetap tinggi mengingat unpredictability perubahan
iklim dan cuaca pada 2013.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


1
Padahal sampai saat ini masalah kerawanan pangan masih merupakan isu penting
yang harus segera ditangani. Pada skala dunia, diperkirakan lebih dari 900 juta penduduk
dunia masih terancam kelaparan dan rawan pangan (FAO, 2010). Di Indonesia, selama
tahun 1996-2008 proporsi rumah tangga yang mengalami rawan pangan pada tahun 1999
sebesar 14,2% dan pada tahun 2008 masih sebesar 8,7%. Bila dikaitkan dengan dinamika
perekonomian selama kurun waktu tersebut, masih tingginya proporsi rumah tangga rawan
pangan tidak terlepas dari pengaruh krisis ekonomi tahun 1997/1998 dan kenaikan harga
bahan bakar minyak pada tahun 2005. Krisis ekonomi menyebabkan penurunan konsumsi
pangan secara kuantitas dan kualitas (Ariani, dkk; 2000). Hasil penelitian yang dilakukan
Hardono (2012) menggunakan data mikro pada rumah tangga petani di beberapa provinsi
menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga petani yang rawan pangan mengalami
peningkatan dari 28,1%(2007) menjadi 60,3% (2010).
Pemenuhan kecukupan pangan bagi setiap warga negara Indonesia merupakan
kewajiban bersama pemerintah dan masyarakat, baik secara moral, sosial, maupun hukum,
karena pangan merupakan salah satu hak asasi manusia yang sangat esensial. Pemenuhan
kecukupan pangan perseorangan merupakan esensi dari ketahanan pangan, dan
dicerminkan oleh tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
beragam, bergizi, merata, dan terjangkau dengan harga yang wajar, serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat,
aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Pembangunan ketahanan pangan sangat penting bagi Indonesia yang mempunyai
penduduk dalam jumlah besar, Kebutuhan pangan nasional akan terus bertambah dari
tahun ke tahun sebagai akibat jumlah penduduk yang terus meningkat. Jumlah penduduk
tahun 2010 sebesar 237,5 juta jiwa, dimana 53,45% berada di Pulau Jawa dengan laju
pertumbuhan sebesar 1,49% (BPS, 2011). Diperkirakan pada tahun 2020, penduduk
Indonesia berjumlah 250 juta.
Di Indonesia, sektor pertanian memiliki peran strategis sebagai lokomotif
pembangunan nasional karena berkontribusi secara nyata dalam penyediaan pangan bagi
lebih dari 245 juta penduduk Indonesia dan secara empiris telah terbukti mampu meredam
dari krisis pangan. Pada triwulan II tahun ini (2012), sektor pertanian menyediakan 87%
bahan baku industri kecil dan menegah, penyumbang produk domestik bruto (PDB) sebesar
14,72%, menghasilkan devisa negara (US$ 43,37 M), menyerap 33,32% total tenaga kerja,
dan 70% penduduk menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian (Pidato Pengarahan
Kementerian Pertanian, 2012).
Kebijakan pembangunan pertanian nasional yang dituangkan dalam Rencana
Strategis Kementerian Pertanian Tahun 20102014, diarahkan untuk mencapai empat
target sukses, yaitu: (1) Pencapaian swasembada untuk komoditas kedelai, daging, gula
dan swasembada berkelanjutan untuk komoditas beras dan jagung; (2) Peningkatan
diversifikasi pangan; (3) Peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor, (4) Peningkatan
kesejahteraan petani. Telah disadari bahwa untuk mencapai program tersebut, tidaklah
mudah karena masih terdapat beberapa permasalahan mendasar untuk pembangunan
pertanian dan peningkatan ketahanan pangan.
Permasalahan mendasar seperti telah disebutkan terdahulu, adalah: (1) Meningkatnya
kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global, (2) terbatasnya ketersediaan
infrastruktur, sarana prasarana, lahan, dan air, (3) status dan luas kepemilikan lahan (9,55
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
2
juta KK < 0.5 Ha), (4) lemahnya sistem perbenihan dan perbibitan nasional, (5) keterbatasan
aksesibilitas petani terhadap permodalan, (6) lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani
dan penyuluh, (7) belum berjalannya diversifikasi pangan dengan baik, dan (8) belum
terpadunya kebijakan antarsektor dalam pembangunan pertanian (Rencana Strategis
Kementerian Pertanian, 2009). Hasil analisis yang dilakukan oleh Sumaryanto (2009),
kendala utama yang dihadapi dalam peningkatan ketersediaan produksi pangan per kapita
adalah: (1) pertumbuhan luas panen sangat terbatas karena (a) laju perluasan lahan
pertanian baru sangat rendah dan (bi) konversi lahan pertanian ke non pertanian sulit
dikendalikan, (c) degradasi sumberdaya air dan kinerja irigasi serta turunnya tingkat
kesuburan fisik dan kimia lahan pertanian; dan (2) adanya gejala kemandegan dalam
pertumbuhan produktivitas.
Perubahan iklim yang terjadi saat ini yang mengakibatkan perubahan pola tanam,
perubahan pola hujan sehingga waktu kapan akan terjadi musim kering atau musim hujan
sulit diprediksi, munculnya hama/penyakit tanaman yang tidak terprediksi dan lainnya.
Perubahan beberapa faktor ini, berdampak pada sulitnya pencapaian produksi pangan
sesuai yang telah dicanangkan. Sehingga Kementerian Pertanian terpaksa melakukan
revisi target produksi tahun 2012 seperti target produksi padi diturunkan dari 71 juta ton
menjadi 67,8 juta ton dan pada tahun 2013, yang target awalnya 73,3 juta ton diturunkan
menjadi 72,0 juta ton. Penurunan target juga terjadi pada komoditas jagung, kedelai dan
gula. Penurunan target produksi tersebut juga disebabkan belum adanya tambahan lahan
seperti dijanjikan Badan Pertanahan Nasional yang menjanjikan akan menyediakan lahan
sekitar dua juta hektar untuk dapat ditanami produk pertanian.
Menyikapi berbagai kendala tersebut, maka mengharuskan melakukan pemanfaatkan
sumberdaya pertanian dan pangan secara efisien dan optimal dengan memperhatikan
potensi lahan, tingkat kesuburan lahan dan pola permintaan pangan. Pertimbangan ini
dilakukan dengan harapan pangan yang dibutuhkan semaksimal mungkin diperoleh dari
produksi sendiri atau produksi dalam negeri.
Pola konsumsi pangan masyarakat akan berbeda dan berubah dari waktu ke waktu.
Pola konsumsi pangan antara daerah satu dengan daerah lainnya dapat berbeda tergantung
dari lingkungannya termasuk sumber daya dan budaya setempat, selera dan pendapatan
masyarakat. Demikian pula pola konsumsi pangan juga akan berubah dari waktu ke waktu
yang dipengaruhi oleh perubahan pendapatan, perubahan kesadaran masyarakat akan
pangan dan gizi, serta perubahan gaya hidup. Dengan demikian, perubahan-perubahan
tersebut, baik antar daerah maupun antar waktu akan menentukan perubahan jumlah
pangan yang harus disediakan dan upaya pendistribusiannya agar harga pangan tersebut
dapat dijangkau masyarakat dengan harga yang wajar.
Oleh karena itu, pemanfaatan atau konsumsi pangan merupakan salah satu entry
point dan sub sistem untuk memantapkan ketahanan pangan. Dengan mengetahui pola
konsumsi pangan masyarakat, maka akan dapat disusun kebijakan penyediaan pangan,
baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri (impor). Kebijakan produksi
pangan mencakup besaran volume dan jenis pangan yang mampu diproduksi dengan
memperhatikan sumberdaya lahan, air, teknologi dan sarana pendukung lainnya. Dengan
memperhatikan potensi produksi dan permintaan pangan akan dapat ditetapkan jumlah dan
jenis pangan yang harus disediakan . Selain itu dengan mengetahui perubahan konsumsi
pangan masyarakat juga dapat disusun kebijakan harga dan distribusi pangan agar

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


3
masyarakat dapat menjangkau pangan yang tersedia dengan harga yang wajar. Dengan
demikian, kebijakan-kebijakan yang disusun dengan mempertimbangkan aspek sumberdaya
dan pola permintaan pangan masyarakat tersebut merupakan upaya untuk mencapai
kemandirian pangan, seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang (UU) No. 18 tahun
2012 tentang Pangan. Dalam UU ini disebutkan kemampuan negara dan bangsa dalam
memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri dapat menjamin pemenuhan
kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan
potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara
bermartabat.

1.2. Tujuan Penelitian


Secara umum tujuan penelitian ini adalah menganalisis dinamika atau perkembangan
pola konsumsi pangan masyarakat. Secara khusus, tujuan penelitian ini adalah :
a. Menganalisis dinamika struktur pengeluaran pangan masyarakat untuk mengetahui
bagaimana perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat.
b. Menganalisis dinamika konsumsi energi, protein dan kualitas konsumsi pangan untuk
mengetahui bagaimana perubahan pola konsumsi pangan masyarakat.
c. Melakukan proyeksi permintaan beberapa pangan untuk konsumsi untuk mengetahui
perkiraan jumlah pangan yang dibutuhkan masyarakat.

1.3. Keluaran Penelitian


Penelitian ini diharapkan menghasilkan keluaran sebagai berikut:
a. Struktur pengeluaran masyarakat dengan pola konsumsi masyarakat.
b. Informasi mengenai perubahan pola konsumsi masyarakat.
c. Rumusan usulan kebijakan dalam rangka mendukung upaya perubahan pola konsumsi
pangan.

1.4. Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
a. Memberikan gambaran terhadap perubahan pola konsumsi masyarakat berdasarkan
struktur pengeluaran.
b. Sebagai bahan masukan bagi para perumus kebijakan dalam upaya mendukung
perubahan pola konsumsi masyarakat.

1.5. Ruang Lingkup


Bahasan dinamika atau perkembangan analisis konsumsi pangan masyarakat
mencakup kurun waktu tahun 1996 sampai tahun 2011 atau perkembangan 15 tahun
terakhir. Ruang lingkup konsumsi pangan masyarakat yang dianalisis adalah:
a. Pengeluaran pangan yang dibedakan antara pengeluaran pangan secara total,
pengeluaran menurut kelompok pangan dan beberapa komoditas tertentu;
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
4
b. Tingkat konsumsi energi dan protein serta pangsa protein hewani;
c. Kualitas konsumsi pangan dengan pendekatan Pola Pangan Harapan (PPH); dan
d. Tingkat konsumsi beberapa jenis pangan.
Analisis konsumsi rumah tangga dibedakan menurut agregat nasional (kota+Desa),
wilayah (kota/desa) dan kelompok pengeluaran sebagai proksi pendapatan masyarakat.
Selain itu, juga dilakukan proyeksi permintaan untuk beberapa pangan sampai tahun 2020
menurut agregat nasional dan kelompok pendapatan.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pangan


Dalam Undang Undang (UU) No. 7 tahun 1996 tentang Pangan bahwa pangan
didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang
diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain
yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau
minuman. Namun dalam UU Pangan yang baru yaitu UU No. 18 tahun 2012 tentang
Pangan, pengertian pangan lebih diperluas terutama dalam hal ruang lingkup jenis
pangannya. Dalam UU Pangan tersebut, pangan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang
berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,
peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan
pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses
penyimpanan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman.
Perubahan konsep pangan yang secara eksplisit menyebutkan cakupan pangan
dalam arti luas dapat diartikan dalam perumusan kebijakan pangan harus proposional
antara komoditas pangan yang satu dengan komoditas pangan yang lainnya. Kebijakan
pangan yang disusun tidak mengakibatkan matinya kinerja pangan lainnya. Sebagai contoh,
kebijakan pemerintah yang bias pada komoditas padi, sehingga sebagian besar dana
pemerintah hanya untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Sementara, kebijakan pangan
lainnya seperti umbi-umbian (sagu) seolah-olah dibiarkan dan terlupakan.

2.2. Konsep Ketahanan Pangan


Konsep ketahanan pangan (food security) dikenal luas sekitar tahun 1980-an untuk
menggantikan konsep food policy yang diperkenalkan pada awal tahun 1970-an ketika
terjadi krisis pangan melanda dunia. Dalam perkembangannya, konsep ketahanan pangan
mengalami perubahan dan bervariasi. Hasil studi pustaka yang dilakukan oleh IFPRI (1999)
dalam Hanani (2009) diperkirakan terdapat 200 definisi dan 450 indikator tentang ketahanan
pangan. Beberapa definisi ketahanan pangan yang sering digunakan sebagai berikut:
a. USAID (1992): kondisi ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses secara
fisik dan ekonomi untuk memperoleh kebutuhan konsumsinya untuk hidup sehat dan
produktif.
b. FAO (1997): situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun
ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah
tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut.
c. FIVIMS (2005): kondisi ketika semua orang pada segala waktu secara fisik, sosial dan
ekonomi memiliki akses pada pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk pemenuhan
kebutuhan konsumsi dan sesuai dengan seleranya (food preferences) demi kehidupan
yang aktif dan sehat.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


6
d. Mercy Corps (2007): keadaan ketika semua orang pada setiap saat mempunyai akses
fisik, sosial, dan ekonomi terhadap kecukupan pangan, aman dan bergizi untuk
kebutuhan gizi sesuai dengan seleranya untuk hidup produktif dan sehat.
Di Indonesia sesuai dengan UU No. 7 Tahun 1996, pengertian ketahanan pangan
adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya
pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Dengan pengertian tersebut, dalam mewujudkan ketahanan pangan diharapkan dapat
terpenuhinya pangan sebagai berikut: (a) kondisi ketersediaan yang cukup, diartikan
ketersediaan pangan dalam arti luas, mencakup pangan yang berasal dari tanaman,ternak,
dan ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral
serta turunannya, yang bermanfaat bagi pertumbuhan kesehatan manusia; (b) kondisi yang
aman, diartikan bebas dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta aman dari kaidah
agama; (c) kondisi yang merata, diartikan pangan yang harus tersedia setiap saat dan
merata di seluruh tanah air dan (d) kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh
rumah tangga dengan harga yang terjangkau (Hanani, tanpa tahun)
Dalam UU Pangan yang baru yaitu No. 18 tahun 2012, definisi ketahanan pangan
adalah sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan,
yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman,
beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan. Dengan definisi ketahanan pangan yang baru ini, maka cakupan ketahanan
pangan lebih luas, selain unsur-unsur yang telah diuraikan dalam UU No. 7 tahun 1996,
juga secara eksplisit dapat terpenuhinya: (a) pangan tidak hanya secara agregat wilayah
tetapi terpenuhinya pangan juga sampai tingkat individu, (b) pangan yang beragam dan
bergizi, tidak hanya mencakup ragam pangan pokok tetapi juga pangan secara keseluruhan.
Diversifikasi atau penganekaragaman pangan juga menjadi hal yang harus dipenuhi dalam
konsep ini dalam upaya untuk mencapai status gizi masyarakat yang baik, (c) pangan yang
disajikan tidak hanya pangan yang tidak diperbolehkan atau yang bertentangan dengan
agama tetapi juga yang berentangan dengan keyakinan dan budaya setempat, serta (d)
pangan harus tersedia secara berkelanjutan atau terus menerus sepanjang waktu.
Ketahanan pangan nasional tidak mensyaratkan untuk melakukan swasembada
produksi pangan karena tergantung pada sumberdaya yang dimiliki. Suatu negara bisa
menghasilkan dan mengekspor komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi dan
barang-barang industri, kemudian membeli komoditas pangan di pasar internasional. Namun
demikian, dalam UU Pangan yang baru sangat ditekankan dalam mencapai ketahanan
pangan harus berbasis kemandirian pangan dan kedaulatan pangan.
Seperti tertuang dalam Pasal 3, disebutkan bahwa penyelenggaraan pangan
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara
adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan Kedaulatan Pangan, Kemandirian Pangan, dan
Ketahanan Pangan. Definisi kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara
mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan
yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai
dengan potensi sumber daya lokal. Sementara itu, kemandirian pangan adalah kemampuan
negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


7
yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat
perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi,
dan kearifan lokal secara bermartabat.
Sampai saat ini di Indonesia, banyak kalangan praktis dan birokrat kurang memahami
pengertian swasembada pangan dengan ketahanan pangan. Akibat dari keadaan tersebut
konsep ketahanan pangan seringkali diidentikkan dengan peningkatan produksi ataupun
penyediaan pangan yang cukup. Swasembada pangan umumnya merupakan capaian
peningkatan ketersediaan pangan dengan wilayah nasional, sedangkan ketahanan pangan
lebih mengutamakan akses setiap individu untuk memperoleh pangan yang bergizi untuk
sehat dan produktif. Hanani (2009) membuat perbedaan antara swasembada pangan
dengan ketahanan pangan mulai dari ruang lingkup, sasaran, strategi, output dan outcome.
Perbedaan kedua hal tersebut disajikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Perbedaan Swasembada Pangan dengan Ketahanan Pangan


Indikator Swasembada Pangan Ketahanan Pangan
Lingkup Nasional Rumah tangga dan individu
Sasaran Komoditas pangan Manusia
Strategi Subsitusi impor Peningkatan ketersediaan pangan,
akses pangan, dan penyerapan pangan
Output Peningkatan produksi Status gizi (penurunan : kelaparan, gizi
pangan kurang dan gizi buruk)
Outcome Kecukupan pangan oleh Manusia sehat dan produktif (angka
produk domestik harapan hidup tinggi)
Sumber : Hanani (2009)

Ketahanan pangan mencakup tiga dimensi yaitu: (a) ketersediaan pangan (food
availability), (b) akses/distribusi pangan (access to sufficient food), dan (c)
pemanfaatan/konsumsi pangan (utilization of food, which is related to cultural practices).
Namun ketiga dimensi tersebut dilakukan dalam upaya menjaga stabilitas pangan (stability
of food stock). Oleh karena itu, ketiga dimensi tersebut sering digunakan untuk mengukur
pencapaian ketahanan pangan. Ketersediaan pangan diartikan bahwa pangan tersedia
cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta
aman, sedangkan distribusi pangan diartikan pasokan pangan dapat menjangkau seluruh
wilayah sehingga harga stabil dan terjangkau oleh rumah tangga. Konsumsi, yaitu setiap
rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup dan mampu mengelola konsumsi
kaidah gizi dan kesehatan, serta preferensinya. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan
sinergi dan interaksi dari ketiga dimensi tersebut..
Ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan
antara ekspor dan impor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa,
sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah,
volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya, serta stabil
penyediaannya dari waktu ke waktu. Ketersediaan pangan di suatu daerah atau negara
ditentukan oleh beberapa faktor seperti keragaan produksi pangan, tingkat kerusakan, dan
kehilangan pangan karena penanganan yang kurang tepat, serta tingkat ekspor dan impor

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


8
pangan. Ketersediaan pangan harus dipertahankan sama atau lebih besar daripada
kebutuhan penduduk terhadap pangan. Ketersediaan pangan yang cukup di suatu wilayah
(pasar) tidak dapat menjamin tersedianya pangan di tingkat rumah tangga, karena
tergantung pada kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan, dalam arti fisik
(daya jangkau) maupun ekonomi (daya beli). Oleh karena itu, dalam konsep ketahanan
pangan mengamanakan tersedianya pangan yang dapat dijangkau sampai tingkat
perseorangan. Penyediaan pangan yang cukup, beragam, bergizi dan berimbang, baik
secara kuantitas maupun kualitas, merupakan fondasi yang sangat penting dalam
pembangunan sumber daya manusia suatu bangsa. Kekurangan pangan berpotensi
memicu keresahan dan berdampak pada masalah sosial, keamanan, dan ekonomi.
Distribusi pangan mencakup aspek aksesibilitas atas pangan secara merata, baik
secara fisik maupun ekonomi. Hal ini berarti bahwa sistem distribusi bukan semata-mata
mencakup aspek fisik dalam arti pangan tersedia di semua lokasi yang membutuhkan, tetapi
juga menyangkut keterjangkauan ekonomi yang dicerminkan oleh harga dan daya beli
masyarakat. Meskipun ketersediaan pangan secara mikro/nasional maupun per kapita
mencukupi, namun belum tentu setiap rumah tangga memiliki akses yang nyata secara
sama. Dengan demikian surplus pangan di tingkat wilayah belum menjamin kecukupan
pangan bagi individu. Selain aspek ekonomi, fisik dan sosial, kelancaran distribusi pangan
juga dipengaruhi oleh sarana dan prasarana seperti keadaan jalan, transportasi, kondisi
pasar dan kelembagaan pasar dan lainnya.
Konsumsi pangan menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan
masyarakat agar mempunyai kemampuan atas pangan, gizi, dan kesehatan yang baik,
sehingga dapat mengelola konsumsinya secara optimal. Konsumsi pangan hendaknya
memperhatikan konsumsi pangan dan gizi yang cukup dan seimbang sesuai dengan
kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas, dan produktif. Konsumsi
pangan dengan gizi cukup dan seimbang merupakan salah satu faktor penting yang
menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia. Volume dan kualitas konsumsi
pangan dan gizi dalam rumah tangga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, pengetahuan, dan
budaya masyarakat. Keragaman sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang
dimiliki Indonesia merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung
peningkatan konsumsi masyarakat menuju pangan yang beragam dan bergizi seimbang.
Berbagai sumber pangan lokal dan makanan tradisional yang dimiliki oleh seluruh wilayah,
masih dapat dikembangkan untuk memenuhi keanekaragaman pangan masyarakat pada
wilayah yang bersangkutan.

2.3. Struktur Pengeluaran Masyarakat


Aspek yang terkait dengan tingkat pendapatan adalah tingat pengeluaran masyarakat,
secara umum diketahui bahwa tingkat pendapatan mempengaruhi pola dan tingkat
pengeluaran (Nurmanaf, dkk; 2000). Penelitian Sudaryanto, dkk (1999) membuktikan bahwa
tingkat pendapatan mempunyai hubungan negatif dengan porsi pengeluaran pangan.
Semakin tinggi tingkat pendapatan rumah tangga semakin rendah porsi pengeluaran
pangan. Menurut Pakpahan, dkk (1993) disebutkan bahwa ada hubungan antara porsi atau
pangsa pengeluaran pangan dengan ketahanan pangan rumah tangga. Pangsa
pengeluaran pangan berhubungan terbalik dengan ketahanan pangan, semakin besar

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


9
pangsa pengeluaran pangan maka semakin rendah ketahanan rumah tangga yang
bersangkutan.
Secara garis besar, kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokkan ke dalam dua
kategori besar, yaitu kebutuhan pangan dan bukan pangan. Dengan demikian pada tingkat
pendapatan tertentu, rumah tangga akan mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Secara alamiah, kebutuhan pangan akan mencapai titik jenuh
sementara kebutuhan non-pangan termasuk kualitas pangan tidak demikian halnya.
Menurut Badan Pusat Statistik-BPS (2008) data konsumsi dan pengeluaran dapat
digunakan untuk penelitian penerapan hukum ekonomi.
Seperti yang diungkapkan oleh Ernest Engel, dalam Salvatore (2006), yang dikenal
sebagai Hukum Engel bahwa bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk
pangan akan menurun dengan meningkatnya pendapatan. Oleh karena itu, komposisi
pengeluaran rumahtangga dapat dijadikan ukuran guna menilai tingkat kesejahteraan
ekonomi penduduk, makin rendah persentase pengeluaran untuk pangan terhadap total
pengeluaran makin membaik tingkat perekonomian penduduk. Sebaliknya, semakin besar
pangsa pengeluaran pangan semakin kurang sejahtera rumahtangga yang bersangkutan.
Dalam kondisi pendapatan terbatas maka pemenuhan kebutuhan makanan akan
didahulukan, sehingga pada kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah akan
terlihat sebagian besar pendapatan mereka digunakan untuk membeli pangan.
Proporsi antara pengeluaran pangan dan bukan pangan juga digunakan sebagai
indikator untuk menentukan tingkat kesejahteraan atau ketahanan pangan rumah tangga
atau masyarakat. Semakin tinggi pangsa pengeluaran pangan suatu rumah tangga, rumah
tangga tersebut semakin rawan pangan (Melgar-Quinonez et al, 2006). Secara lebih detail,
menurut Soekirman (2000), rumah tangga dengan proporsi pengeluaran pangan 60%
dapat dikategorikan rawan pangan dan sebaliknya, rumah tangga dengan proporsi
pengeluaran pangan <60% dikategorikan tahan pangan.
Menurut hukum Working (dalam Pakpahan, 2012) menyatakan bahwa proporsi
pengeluaran rumah tangga untuk bermacam jenis pengeluaran tidak bervariasi sesuai
dengan tingkat pendapatan, ukuran keluarga dan tabungan. Selanjutnya dikatakan oleh
Pakpahan (2012) bahwa proporsi total pengeluaran rumahtangga untuk pangan cenderung
menurun secara aritmetik sejalan dengan peningkatan pendapatan yang bergerak secara
geometrik. Dalam arti semakin kaya suatu rumah tangga makin kecil proporsi pengeluaran
rumah tangga untuk pangan. Sebagai ilustrasi, proporsi pengeluaran rumah tangga di
Amerika Serikat pada tahun 1996 adalah 9,73%, sedangkan proporsi pengeluaran rumah
tangga di Indonesia pada tahun 1993 sebesar 63,4% menjadi 70,2% pada tahun 1999.
Hardono (2012), pengeluaran pangan menjadi titik masuk (entry point) untuk melihat
aspek pemanfaatan pangan dalam rumah tangga. Melalui proses transformasi, informasi
mengenai pengeluaran pangan akan diubah menjadi informasi konsumsi energi. Oleh
karena itu kecukupan energi akan berkorelasi dengan tingkat pengeluaran pangan. Badan
Pusat Statistik mengelompokkan pengeluaran menjadi dua kelompok yaitu pengeluaran
untuk pangan dan pengeluaran untuk barang-barang bukan pangan. Pada umumnya
pengetahuan tentang pengeluaran ini digunakan sebagai indikator untuk menggambarkan
tingkat pendapatan rumah tangga, dikarenakan pengukuran dan pengumpulan data
pendapatan lebih sulit.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


10
Pemerintah terus berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui
berbagai program yang dilaksanakan setiap tahunnya. Usaha ini membawa hasil yang
ditunjukkan dengan semakin rendahnya pangsa pengeluaran pangan. Secara agregat,
pangsa pengeluaran, sudah dibawah 60%. Namun pembangunan perekonomian,
tampaknya masih belum merata, bias pada masyarakat perkotaan, sehingga kesejahteraan
mereka lebih baik dibandingkan masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, pembangunan
perekonomian ke depan lebih memprioritaskan pada masyarakat pedesaan, yang
sebenarnya adalah masyarakat petani.

2.4. Pola Konsumsi Pangan Masyarakat


Suatu makanan memenuhi selera atau tidak bukan hanya ditentukan oleh fisik
pangan, akan tetapi karena pengaruh sosial budaya. Faktor penting dalam pemilihan
pangan adalah flavor yang meliputi bau, tekstur, dan suhu. Penampilan yang meliputi warna
dan bentuk juga akan mempengaruhi sikap terhadap pangan. Selain pengaruh reaksi indera
terhadap pemilihan pangan (warna atau bentuk), kesukaan pribadi semakin terpengaruh
oleh pendekatan melalui media radio, televisi, pamflet, iklan dan bentuk media masa lain
(Suhardjo 1989).
Menurut Elizabeth dan Sanjur (1981) yang diacu dalam Suhardjo (1989), ada tiga
faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu karakteristik individu, karakteristik
pangan, dan karakteristik lingkungan. Karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin,
pendidikan, pendapatan, pengetahuan gizi, keterampilan memasak dan kesehatan.
Sementara itu karakteristik pangan seperti rasa, rupa, tekstur, harga, tipe makanan, bentuk,
bumbu dan kombinasi makanan. Karakteristik lingkungan yang mempengaruhi preferensi
konsumsi panga adalah musim, pekerjaan, mobilitas, perpindahan penduduk dan tingkat
sosial pada masyarakat. Menurut Suryana (tanpa tahun), penganekaragaman konsumsi
pangan dan gizi dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: (a) faktor yang bersifat internal
(individual), seperti pendapatan, preferensi, keyakinan (budaya dan religi), serta
pengetahuan gizi, maupun (b) faktor eksternal seperti faktor agro-ekologi, produksi,
ketersediaan dan distribusi, anekaragam pangan, serta promosi/iklan.
Konsumsi pangan adalah informasi mengenai jenis dan jumlah pangan yang
dikonsumsi seseorang atau sekelompok orang (keluarga atau rumah tangga) pada waktu
tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa telaahan terhadap konsumsi pangan dapat ditinjau dari
aspek jenis pangan yang dikonsumsi dan jumlah pangan yang dikonsumsi. Susunan jenis
pangan yang dapat dikonsumsi berdasarkan kriteria tertentu disebut pola konsumsi pangan
(Martianto 1992). Pola konsumsi pangan adalah jenis dan frekuensi beragam pangan yang
biasa dikonsumsi, biasanya berkembang dari pangan setempat atau dari pangan yang telah
ditanam di tempat tersebut untuk jangka waktu yang panjang (Suhardjo 1996). Sanjur (1982)
menyatakan jumlah pangan yang tersedia di suatu wilayah akan berpengaruh terhadap pola
konsumsi pangan. Pola konsumsi masyarakat dapat menggambarkan alokasi dan komposisi
atau bentuk konsumsi yang berlaku secara umum pada anggota masyarakat. Konsumsi
dapat diartikan sebagai kegiatan untuk pemenuhan kebutuhan atau keinginan saat ini guna
meningkatkan kesejahteraannya. Dengan demikian, alokasi konsumsi sangat tergantung
pada definisi dan persepsi masyarakat mengenai kebutuhan dan kendala yang mereka
hadapi.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


11
Menurut Hattas (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi, diantaranya:
(a) tingkat pendapatan masyarakat, tingkat pendapatan dapat digunakan untuk dua tujuan
yaitu konsumsi dan tabungan. Besar kecilnya pendapatan yang diterima seseorang akan
mempengaruhi pola konsumsi. Semakin besar tingkat pendapatan seseorang, biasanya
akan diikuti dengan tingkat konsumsi yang tinggi, sebaliknya tingkat pendapatan yang
rendah akan diikuti dengan tingkat konsumsi yang rendah pula; (b) selera konsumen, Setiap
orang memiliki keinginan yang berbeda dan ini akan mempengaruhi pola konsumsi.
Konsumen akan memilih satu jenis barang untuk dikonsumsi dibandingkan jenis barang
lainnya; (c) harga barang, Jika harga suatu barang mengalami kenaikan, maka konsumsi
barang tersebut akan mengalami penurunan. Sebaliknya jika harga suatu barang mengalami
penurunan, maka konsumsi barang tersebut akan mengalami kenaikan; (d) tingkat
pendidikan masyarakat, Tinggi rendahnya pendidikan masyarakat akan mempengaruhi
terhadap perilaku, sikap dan kebutuhan konsumsinya; (e) jumlah keluarga, Besar kecilnya
jumlah keluarga akan mempengaruhi pola konsumsinya dan (f) lingkungan, keadaan
sekeliling dan kebiasaan lingkungan akan mempengaruhi perilaku konsumsi pangan
masyarakat setempat.

2.5. Pola Pangan Harapan (PPH)


FAO-RAPA (1989) mendefinisikan Pola Pangan Harapan (PPH) sebagai komposisi
kelompok pangan utama yang bila dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan energi dan zat
gizi lainnya. PPH merupakan susunan beragam pangan yang didasarkan atas proporsi
keseimbangan energi dari berbagai kelompok pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi, baik
dalam jumlah maupun mutu dengan mempertimbangkan segi daya terima, ketersediaan
pangan, ekonomi, budaya dan agama. Mutu konsumsi pangan penduduk dapat dinilai dari
skor pangan (dietary score)/skor PPH. Semakin tinggi skor PPH, konsumsi pangan semakin
beragam dan bergizi seimbang (maksimal 100).
PPH merupakan instrumen sederhana untuk menilai situasi konsumsi pangan
penduduk, baik jumlah maupun komposisi pangan menurut jenis pangan yang dinyatakan
dalam skor PPH. Skor PPH merupakan indikator mutu gizi dan keragaman konsumsi
pangan sehingga dapat digunakan untuk merencanakan kebutuhan konsumsi pangan pada
tahun-tahun mendatang. PPH dapat digunakan sebagai pedoman dalam evaluasi dan
perencanaan penyediaan, produksi dan konsumsi pangan penduduk, baik secara kuantitas,
kualitas, maupun keragamannya dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi,
budaya, agama dan cita rasa. Dengan demikian, dapat diklasifikasikan kegunaan analisis
PPH sebagai berikut: (a) menilai jumlah dan komposisi konsumsi atau ketersediaan
pangan; (b) indikator mutu gizi dan keragaman konsumsi atau ketersediaan pangan; (c)
baseline data untuk mengestimasi kebutuhan pangan ideal di suatu wilayah; (d) baseline
data untuk menghitung proyeksi penyediaan pangan ideal untuk suatu wilayah dan (e)
perencanaan konsumsi, kebutuhan dan peyediaan pangan wilayah.
Dalam upaya mengoperasionalkan konsep diversifikasi konsumsi pangan, FAO RAPA
pada tahun 1998 mengadakan pertemuan para ahli pangan dan gizi di Bangkok dengan
merumuskan komposisi pangan yang ideal yang terdiri dari 56 - 68% dari karbohidrat, 10
13% dari protein dan 20 30% dari lemak. Rumusan ini kemudian diimplementasikan
dalam bentuk energi dalam sembilan kelompok pangan yang dikenal dengan istilah Pola
Pangan Harapan (PPH). Sejak diperkenalkan di Indonesia, konsep PPH ini mendapat

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


12
perhatian dari kalangan ilmuwan dan peneliti di bidang pangan dan gizi untuk dapat
diterapkan dengan kondisi Indonesia. Pada tahun 1994, konsep PPH pertama kali yang
diterapkan di Indonesia berdasarkan hasil kesepakatan para ahli di bidang pangan dan gizi
diakomodasi oleh Menteri Negara Pangan pada tahun 1994. Secara detail, persentase
energi dari masing-masing kelompok pangan, pembobotan (bobot) yang digunakan dan skor
dari masing-masing kelompok dapat dilihat pada Tabel 2.2. Pada saat itu, total skor hanya
93, dengan alasan, pola konsumsi pangan Indonesia untuk mencapai skor 100 masih
membutuhkan waktu lama baik terkait ketersediaan pangan maupun pola konsumsi
pangannya.
Kritik terhadap PPH muncul sehubungan dengan adanya perbedaan rekomendasi pola
energi (terutama dari pangan hewani dan lemak) antara PPH dengan Pedoman Gizi
Seimbang (PUGS). Pada tahun 2000, Badan Urusan Ketahanan Pangan telah melakukan
diskusi pakar dan lintas sub sektor dan sektor terkait pangan dan gizi tentang harmonisasi
PPH dengan PUGS. Pertemuan ini menjadi dasar untuk penyempurnaan PPH yang disebut
Pola Pangan Harapan 2020 (PPH 2020), kemudian diadopsi oleh Kementerian Pertanian
dan menjadi acuan nasional. Hasil keputusan tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.2 pada
kolom Deptan 2001. Sampai saat ini, acuan tersebut masih digunakan dalam menganalisis
terkait PPH.
Dalam dasar penghitungan skor PPH menggunakan angka kecukupan energi 2000
Kalori per kapita per hari pada tingkat konsumsi, dan 2200 Kalor per kapita per hari pada
tingkat ketersediaan sebagai Angka Kecukupan Energi (AKE) tingkat Nasional berdasarkan
hasil Widyakarya Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004 dan IX tahun 2008. Untuk
keperluan perencanaan, AKE tersebut perlu diterjemahkan dalam satuan yang dikenal oleh
perencana kebijakan pengadaan pangan menjadi bahan pangan atau kelompok pangan.
PPH merupakan manifestasi konsep gizi seimbang yang didasarkan pada konsep Triguna
Makanan. Keseimbangan jumlah antar kelompok pangan merupakan syarat terwujudnya
keseimbangan gizi (Triguna Makanan yang Beragam, dan Bergizi Seimbang).

Tabel 2.2. Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg. Pangan 1994, dan Deptan 2001
FAO-RAPA Meneg Pangan (1994) Deptan (2001)
Kelompok
No
Pangan Energi Energi Energi
Min-Max Bobot Skor Bobot Skor
(%) (%) (%)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Padi-
1 40 40-60 50 0,5 25 50 0,5 25
padian

Umbi-
2 5 0-8 5 0,5 2.5 6 0,5 2,5
umbian

Pangan
3 20 5-20 15,3 2 30,6 12 2,0 24
Hewani

Minyak
4 dan 10 5-15 10 1 10 10 0,5 5
Lemak

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


13
Buah/Biji
5 3 0-3 3 0,5 1, 3 0,5 1
Berminyak

Kacang-
6 6 2-10 5 2 10 5 2,0 10
kacangan

7 Gula 8 2-15 6,7 0,5 3,4 5 0,5 2,5

Sayur dan
8 5 3-8 5 2 10 6 5,0 30
Buah

9 Lain-lain 3 0-5 0 0 0 3 0 0

Total 100 100 93 100 100


Sumber : Hardinsyah, N.Sinulingga, D. Martianto (2000)

PPH merupakan susunan pangan yang benar-benar menjadi harapan baik di tingkat
konsumsi maupun ketersediaan, serta dapat digunakan sebagai pedoman perencanaan dan
evaluasi ketersediaan dan konsumsi pangan penduduk. Dalam PPH, pangan
dikelompokkan menjadi sembilan kelompok pangan, yaitu kelompok: (a) padi-padian, (b)
umbi-umbian, (c) pangan hewani, (d) minyak dan lemak, (e) buah dan biji berminyak, (f)
kacang-kacangan, (g) gula, (h) sayuran dan buah-buahan, (i) lain-lain. Setiap kelompok
pangan diberi bobot, kriteria dan besarnya bobot dapat dilihat seperti Tabel 2.3 .

Tabel 2.3. Susunan Pola Pangan Harapan Nasional*)

Pola Pangan Harapan Nasional


Kelompok % AKG
No Energi % Skor
Pangan (FAO RAPA) Gram Bobot
(kkal) AKG PPH
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

1. Padi - padian 40.0 60.0 275 1.000 50.0 0.5 25.0


2. Umbi-umbian 0.0 8.0 100 120 6.0 0.5 2.5
3. Pangan Hewani 5.0 20.0 150 240 12.0 2.0 24.0
4. Minyak dan Lemak 5.0 15.0 20 200 10.0 0.5 5.0
5. Buah/Biji 0.0 3.0 10 60 3.0 0.5 1.0
6. Berminyak 2.0 10.0 35 100 5.0 2.0 10.0
7. Kacang-kacangan 2.0 15.0 30 100 5.0 0.5 2.5
8. Gula 3.0 8.0 250 120 6.0 5.0 30.0
9. Sayur dan Buah 0.0 5.0 - 60 3.0 0.0 0.0
Lain lain
Jumlah 2.000 100.0 - 100.0
Sumber : Harmonisasi PPH Nasional PPKP BKP dan GMSK IPB (2002)

Penetapan besaran pembobot/rating seperti pada kolom 7 pada Tabel 2.3. sebagai
berikut: (a) setiap kelompok pangan utama dari tiga kelompok pangan utama berdasarkan
triguna makanan, diberikan skor maksimum yang relatif sama, yaitu 33,3 bagi setiap
kelompok pangan utama (berasal dari 100 dibagi 3); (b) untuk kelompok pangan sumber

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


14
karbohidrat dan energi (padi-padian, umbi-umbian, minyak dan lemak, buah/biji berminyak,
dan gula), total kontribusi energi (% AKE) adalah 74%. Bobot untuk kelompok pangan ini
adalah 0,5 (berasal dari nilai 33,3 dibagi 74); (c) untuk kelompok pangan sumber
protein/lauk-pauk (kacang-kacangan dan pangan hewani) dengan kontribusi energi 17%,
diperoleh rating 2,0 (berasal dari nilai 33,3 dibagi 17) dan (d) untuk kelompok pangan
sumber vitamin dan mineral (sayur dan buah) dengan kontribusi energi 6%, diperoleh rating
5,0 (berasal dari nilai 33,3 dibagi 6). Secara lebih detail dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Dalam konsep PPH, setiap kelompok pangan dalam bentuk energi mempunyai
pembobot yang berbeda tergantung dari peranan pangan dari masing-masing kelompok
terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia. Sebagai contoh pembobot pada
kelompok padi-padian, umbi-umbian dan gula hanya sebesar 0,5 karena pangan tersebut
hanya sebagai sumber energi untuk pertumbuhan manusia. Sebaliknya pembobot 2 (dua)
untuk pangan hewani dan kacang-kacangan, yang merupakan sumber protein, berfungsi
sebagai pertumbuhan dan perkembangan manusia. Untuk sayur dan buah-buahan sebagai
sumber mineral dan vitamin, serat dan lain-lain yang diperlukan untuk pertumbuhan,
perkembangan dan kesehatan manusia diberi pembobot 5 (lima). Dengan mengkalikan
proporsi energi dengan masing-masing pembobotnya, maka dalam konsep PPH akan
diperoleh skor sebesar 100. Dalam arti diversifikasi konsumsi pangan sesuai dengan PPH
yang sempurna harus mempunyai skor PPH sebesar 100.

Gambar 2.1. Pembobotan pada Kelompok Pangan

1. Serealia 50 %
2. Umbi-umbian/ 6%
Sumber makanan berpati
Zat Tenaga 3. Minyak & lemak 10 % 33,3
(KH, lemak) 4. Biji dan buah 3%
Berminyak
5. Gula 5%
33,3 : 74 = 0,5

Sumber 1. Pangan hewani 12 %


Tiga Guna Zat Pembangun 33,3
2. Kacang-kacangan 5 %
Makanan (Protein) 33,3 : 17 = 2

Sumber Sayur dan Buah 6% 33,3


Zat Pengatur 33,3 : 6 = 5
(Vit & Mineral)

Lain-lain 3 %

Sumber : Badan Ketahanan Pangan (2012)

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


15
2.6. Konsumsi Pangan dari Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS):
Kekuatan dan Kelemahan
Salah satu survei yang dilaksanakan oleh BPS dan sangat dibutuhkan pemerintah
sebagai alat monitoring program pembangunan khususnya di bidang sosial adalah Survei
Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Hampir setiap analisis situasi konsumsi pangan,
pada umumnya menggunakan data hasil SUSENAS tersebut. Data ini tersedia setiap tahun
yang berasal dari SUSENAS Panel. Modul Konsumsi mencakup sebanyak 68.000 rumah
tangga sampel yang tersebar di seluruh wilayah geografis Indonesia. Kekuatan estimasi dari
hasil SUSENAS Panel dapat disajikan baik tingkat nasional maupun pada tingkat provinsi
dibedakan menurut daerah tempat tinggal (perkotaan dan perdesaan). Namun sebelum
tahun 2011, data konsumsi provinsi dalam data SUSENAS modul hanya dapat disajikan
setiap tiga tahun sekali dengan total sampel sekitar 68.000 rumah tangga. Namun sejak
tahun 2011, data SUSENAS disajikan dalam data triwulanan dengan total sampel survei
mencakup 300.000 rumah tangga. Pada data triwulanan SUSENAS BPS dapat diestimasi
hingga level kabupaten/kota (BPS, 2012).
Pengumpulan data dari rumahtangga terpilih dilakukan melalui wawancara tatap muka
antara pencacah dengan responden. Responden adalah kepala rumahtangga, suami/isteri
kepala rumahtangga atau anggota rumah tangga lain yang mengetahui tentang karakteristik
yang ditanyakan. Referensi waktu survei yang digunakan adalah seminggu yang lalu untuk
konsumsi makanan dan sebulan atau tiga bulan yang lalu untuk konsumsi bukan makanan.
Sejak tahun 2007, proses pengolahan data SUSENAS sampai menghasilkan data
mentah sepenuhnya menjadi tanggung jawab BPS daerah. Hal ini untuk lebih
memaksimalkan kualitas data melalui proses pengecekan data yang lebih dekat ke sumber
utamanya. Proses pengolahan dimulai dengan editing (cek kelengkapan isian, kewajaran,
konsistensi), dilanjutkan dengan proses data entri untuk menghasilkan data mentah. Setelah
terbentuk data mentah, proses pengolahan selanjutnya dilakukan di BPS Pusat. Setelah
data mentah terbentuk, dilakukan pengecekan terhadap data-data pencilan (outlier) antara
lain konsumsi energi dengan membuang rumahtangga yang mempunyai konsumsi energi
per kapita per hari dibawah 1.000 kalori dan di atas 4.500 kalori.
Definisi rumah tangga yang digunakan dalam SUSENAS adalah seorang atau
sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik (pada waktu
sensus) dan umumnya makan bersama dari satu dapur. Makan dari satu dapur adalah
mengurus kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu. Anggota rumah tangga adalah
semua orang yang umumnya bertempat tinggal di suatu rumah tangga, baik yang berada di
rumah pada saat pencacahan maupun sementara tidak ada. Anggota rumah tangga yang
telah bepergian enam bulan atau lebih dan anggota rumah tangga yang bepergian kurang
dari enam bulan tetapi bertujuan akan pindah/meninggalkan rumah, tidak dianggap sebagai
anggota rumah tangga.
Data konsumsi hasil SUSENAS yang dilaksanakan oleh BPS memiliki kekuatan dan
kelemahan. Beberapa kekuatan SUSENAS adalah sebagai salah satu data konsumsi yang
dapat digunakan untuk penghitungan perencanaan pangan nasional. Hasil SUSENAS
tersedia setiap tahun dapat diakses dan diestimasi untuk wilayah provinsi hingga kabupaten
dan kota. Pencatatan konsumsi pangan dalam SUSENAS mencakup 215 jenis pangan yang
umum dikonsumsi oleh rumahtangga meliputi pangan segar, olahan dan makanan jadi yang

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


16
merupakan hasil dari industri pangan, yang tersedia menurut spasial wilayah perdesaan,
perkotaan dan nasional.
Di sisi lain, data konsumsi hasil SUSENAS memiliki beberapa kelemahan. Hasil
SUSENAS merupakan data konsumsi menurut pengeluaran yang diambil dengan cara
wawancara (recall) atau metode mengingat kembali untuk setiap jenis pangan dalam bentuk
kuantitas dan harga pangan baik yang berasal dari pembelian maupun berasal dari produksi
sendiri, dan pemberian kepada rumah tangga sampel. Dengan menggabungkan kuantitas
dan harga pangan dianggap sebagai pengeluaran belanja untuk konsumsi pangan.
Kelemahan metode ini adalah: (a) mengandalkan pada ingatan responden. Jumlah
jenis pangan dan bukan pangan sangat banyak dan referensi yang ditanyakan juga relatif
panjang yaitu satu minggu yang lalu; (b) data konsumsi hasil wawancara tersebut tidak
dikoreksi dengan kuantifikasi berat pangan yang dikonsumsi namun dengan pendekatan
pengeluaran untuk konsumsi pangan, sehingga secara tidak langsung recall data konsumsi
pangan hasil SUSENAS dapat dikatakan bukan merupakan intake konsumsi; (c) data
konsumsi dalam SUSENAS sering dikatakan underestimate yaitu bahwa beberapa jenis
pangan yang sudah banyak dikonsumsi masyarakat namun tidak tercatat dalam SUSENAS
dan adanya konsumsi makanan jadi serta makanan di luar rumah tangga yang belum
tergambar dalam data SUSENAS. Sehingga dibutuhkan suatu koreksi terhadap data
konsumsi pangan untuk mengetahui kebutuhan konsumsi nasional. Sesuai dengan tujuan
SUSENAS yaitu untuk mengetahui gambaran sosial ekonomi dan tingkat kesejahteraan
penduduk, maka dalam pengambilan sampel SUSENAS belum sepenuhnya sesuai dengan
tujuan survei konsumsi pangan dengan tujuan pemenuhan gizi karena sampel rumah tangga
yang disurvei berdasarkan blok sensus belum tentu dapat menggambarkan konsumsi
menurut kelompok umur sesuai dengan pengelompokkan kecukupan gizi.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


17
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Sumber dan Jenis Data


Data utama yang digunakan untuk penelitian ini adalah SUSENAS berbagai tahun,
mulai dari tahun 1996,1999, 2002, 2005, 2008 dan 2011 yang dipublikasikan oleh BPS,
bukan diolah dari data mentah. Data ini digunakan untuk mengetahui perkembangan
pengeluaran pangan, konsumsi energi dan protein, kualitas konsumsi pangan menurut PPH
dan tingkat konsumsi beberapa pangan (beras, terigu, ubi kayu, ubi jalar, sagu, umbi
lainnya, sayuran, buah-buahan, daging sapi, daging ayam, telur, susu, kedelai, gula pasir
dan minyak goreng). Untuk tujuan proyeksi konsumsi pangan berdasarkan kelompok
pengeluaran, data dasar yang digunakan adalah SUSENAS tahun 2006, 2007, 2008, 2009,
2010 dan 2011. Data tahun tersebut digunakan karena jumlah kelompok pangan pada
beberapa tahun SUSENAS tersebut sama yaitu ada delapan kelompok pengeluaran.
Kategori dan pengelompokan pengeluaran pangan dan bukan pangan mengikuti
kategori/pengelompokan yang dilakukan oleh BPS. Terdapat 215 komoditas pangan yang
termasuk dalam pengeluaran yang selanjutnya dikelompokkan menjadi 14 kelompok,
sedangkan pada bukan pangan terdapat 109 item yang dikelompokkan menjadi 6 kelompok.
Pada kelompok pangan terdiri dari kelompok padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur
dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, bahan minuman,
bumbu-bumbuan, konsumsi lainnya, makanan dan minuman jadi, minuman yang
mengandung alkohol, serta tembakau dan sirih. Secara lengkap, jenis pangan dari setiap
kelompok pangan disajikan pada Tabel 3.1. Sementara itu, kelompok bukan pangan
mencakup perumahan dan fasilitas rumah tangga; barang dan jasa; pakaian, alas kaki dan
tutup kepala; barang-barang tahan lama; pajak dan asuransi; serta keperluan pesta dan
upacara.
Jumlah pengelompokan untuk tahun SUSENAS yang dianalisis tidak sama yaitu untuk
SUSENAS tahun 1999 terdapat 10 kelompok pengeluaran, sedangkan SUSENAS tahun
1999 dan 2002 terdapat sembilan kelompok pengeluaran. Sejak tahun 2005, data
SUSENAS dikelompokkan menjadi delapan kelompok pengeluaran. Gambaran
perkembangan perubahan jumlah dan besaran dari masing-masing kelompok pangan
disajikan pada Tabel 3.2.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


18
Tabel 3.1. Jenis Pangan Menurut Kelompok Pangan
No. Kelompok Pangan Jenis Pangan
1 Padi padian Beras, beras ketan, jagung basah dengan kulit, jagung
pipilan, tepung jagung, tepung terigu, lainnya.
2 Umbi umbian Ketela pohon, ketela rambat, sagu, talas, kentang
gaplek, tepung gaplek, tepung ketela pohon, laiinya
3 Ikan
Ikan segar Ekor kuning, tongkol tuna, tenggiri, selar, kembung,
bandeng, gabus, mujair, mas, lele, kakap, baronang,
lainnya.
Udang dan hewan Udang, cumi, ketam, kerang, lainnya
air lainnya yg segar
Ikan di awetkan Kembung, Tenggiri, tongkol, teri, selar, sepat,
bandeng, gabus, ikan dalam kaleng, lainnya
Udang dan hewan Udang, cumi, lainnya
air lainnya yg
diawetkan
4 Daging
Daging segar Daging sapi, daging kerbau, daging kambing, daging
babi, daging ayam ras, daging ayam kampong, daging
unggas lainnya, daging lainnya
Daging diawetkan Dendeng, abon, daging dalam kaleng, lainnya.
Lainnya Hati, jeroan, tetelan, tulang, lainnya
5 Telur dan susu Telur ayam ras, telur ayam kampong, telur itik, telur
puyuh, telur lainnya, telur asin, susu murni, susu cair
pabrik, susu kental manis, susu bubuk, susu bubuk
bayi, hasil lain dari susu.
6 Sayuran Bayam, kangkung, kol, sawi putih, sawi hijau, buncis,
kacang panjang, tomat sayur, wortel, mentimun, daun
ketela pohon, terong, touge, labu, jagung muda kecil ,
sayur sup, sayur asam, nangka muda, papaya muda,
jamur, petai, jengkol, bawang merah, bawang putih,
cabe merah, cabe hijau, cabe rawit, sayur dalam
kaleng, lainnya.
7 Kacang - kacangan Kacang tanah tanpa kulit, kacang tanah dengan kulit,
kacang kedele, kacang hijau, kacang mede, kacang
lainnya, tahu, tempe, tauco, oncom, lainnya.
8 Buah buahan Jeruk, mangga, apel, alpokat, rambutan, duku, durian,
salak, nanas, pisang ambon, pisang lainnya, papaya,
jambu, sawo, belimbing, kedondong, semangka,
melon, nangka, tomat buah, buah dalam kaleng,
lainnya.
9 Minyak dan lemak Minyak kelapa, minyak jagung, minyak goreng lainnya,
kelapa, margarine, lainnya.
10 Bahan minuman Gula pasir, gula merah, the, kopi bubuk biji, coklat
instan, coklat buuk, sirup, lainnya.
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
19
11 Bumbu-bumbuan Garam, kemiri, ketumbar, merica, asam, biji pala,
cengkeh, terasi, kecap, penyedap rasa, sambal jadi,
bumbum masak jadi, bumbu dapur lainnya
12 Konsumsi lainnya Mie instan, mie basah, bihun, macaroni, kerupuk
emping bahan agar- agar, bubur bayi kemasan,
lainnya
13 Makanan dan Roti tawar, roti manis, kue kering, kue basah,
minuman jadi makanan gorengan, bubur kacang hijau, gado gado,
nasi campur, nasi goreng, nasi putih, lontong,
soto/gule/sop/rawon/cincang,
mie(bakso/rebus/goreng), mie instan, makanan ringan
anak anak, ikan (goreng, bakar, dan sebagainya)
ayam/dagig (goreng, bakar, dan sebgainya), makanan
jadi lainnya
Minuman non alkohol , air kemasan, air kemasan gallon, air teh kemasan,
sari buah kemasan, minuman ringan mengandung
CO2(soda), minuman kesehatan/ minuman berenergi,
minuman lainnya, es krim, es lainnya.
Minuman yang Bir, anggur, minuman keras lainnya
mengandung
alkohol
14 Tembakau dan sirih Rokok kretek filter, rokok kretek tanpa filter, rokok
putih, tembakau, sirih, lainnya

Pengeluaran rata-rata per kapita didefinisikan sebagai biaya yang dikeluarkan untuk
konsumsi semua anggota rumah tangga selama sebulan dibagi dengan banyaknya anggota
rumah tangga. Sementara itu, konsumsi pangan rumah tangga hanya benar-benar berupa
pengeluaran untuk memenuhi konsumsi rumah tangga saja, tidak termasuk
konsumsi/pengeluaran untuk keperluan usaha atau yang diberikan kepada pihak lain. Angka
konsumsi/pengeluaran rata-rata per kapita diperoleh dari hasil bagi jumlah konsumsi seluruh
rumah tangga baik yang mengkonsumsi makanan maupun yang tidak terhadap jumlah
penduduk.

Tabel 3.2. Jumlah dan Besaran Kelompok Pengeluaran SUSENAS


Tahun 1996,1999, 2002, 2005, 2008 dan 2011
No. Kelompok Pengeluaran Kelompok Pengeluaran Kelompok Pengeluaran
pada SUSENAS 1996 pada SUSENAS 1999, pada SUSENAS 2005,
(Rp/kap/bulan) 2002 2008, 2011
(Rp/kap/bulan) (Rp/kap/bulan)
1 <15,000 < 40,000 <100,000
2 15,000 19,999 40,000 59,999 100,000 1499,999
3 20,000 29,999 60,000 79,999 150,000 199,999
4 30,000 39,999 80,000 99,999 200,000 299,999
5 40,000 59,999 100,000 149,999 300,000 499,999
6 60,000 79,999 150,000 199,999 500,000 749,999
7 80,000 99,999 200,000 299,999 750,000 999,999
8 100,000 149,999 300,000 499,999 >/ 1000,000
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
20
9 150,000 199,999 >/ 500,000
10 200,000 299,999
11 >/ 300,000
Sumber : BPS (berbagai tahun)

Dalam perhitungan tingkat konsumsi beberapa pangan, telah dilakukan


pengelompokkan dari jenis pangan yang bahan bakunya sama seperti pada Tabel 3.3. Hal
ini dilakukan agar data tingkat konsumsi pangan yang dianalisis secara komprehensif
mencerminkan data konsumsi pangan, terutama bila dikaitkan dengan perencanaan
kebutuhan pangan. Sebagai gambaran, untuk menghitung tingkat konsumsi beras, beras
yang dianalisis mencakup beras, beras ketan, tepung beras dan bihun yang bahan bakunya
dari beras. Perhitungan bihun ke dalam bentuk beras sudah memasukkan konversi bihun ke
beras. Demikian pula untuk komoditas lainnya, juga memperhitungkan faktor konversi dari
bahan setengah jadi/jadi ke bahan bakunya.
Namun demikian, dari data SUSENAS ini masih banyak item yang tidak dapat
dilakukan penghitungan terutama makanan yang termasuk dalam kelompok
makanan/minuman jadi. Hal ini dikarenakan adanya kesulitan dalam menghitung konversi
dari bentuk makanan jadi ke dalam bentuk jenis pangan tertentu. Sebagai contoh, dalam
makanan/minuman jadi terdapat pengeluaran pangan berupa nasi rames. Untuk
mendapatkan beras yang dikonsumsi dari nasi rames tersebut harus diketahui berapa
jumlah nasi yang dikonsumsi dan berapa konversi dari nasi rames ke beras.

Tabel 3.3. Pengelompokan Beberapa Jenis Pangan


Jenis Pangan Jenis Pangan dalam SUSENAS
Beras Beras, beras ketan, tepung beras, bihun
Terigu Tepung terigu, mi instan, macaroni, mi basah
Ubi kayu Ubikayu, gaplek, tepung gaplek, tapioka
Ubi jalar ubijalar
Sagu Sagu
Umbi lainnya Talas, kentang, lainnya
Daging sapi Daging sapi
Daging ayam Daging ayam ras, daging ayam kampung
Telur Telur ayam ras, telur ayam kampong, telur itik, telur asin
Susu Susu murni, susu cair pabrik, susu kental manis, susu bubuk,
susu bubuk bayi
Sayuran Semua jenis sayur (27 jenis) kecuali sayur sop, sayur
asam/lodeh
Buah-buahan Semua jenis buah-buahan (23 jenis)
Kedelai Kedelai, tahu, tempe
Gula pasir Gula pasir
Minyak goreng Minyak kelapa, minyak jagung, minyak goreng lainnya
Sumber : SUSENAS (berbagai tahun)

3.2. Analisis Data


Data dianalisis dalam bentuk agregat nasional (kota+desa), wilayah (kota/desa) dan
kelompok pengeluaran pangan. Untuk menghitung besaran konsumsi zat gizi (energi dan

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


21
protein), data konsumsi pangan dikonversi ke dalam zat gizi. Angka konversi zat gizi yang
digunakan oleh BPS mengacu pada daftar komposisi bahan makanan, daftar komposisi zat
gizi pangan Indonesia dan daftar kandungan gizi bahan makanan.
Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan tabel-tabel
dan grafik. Untuk menghitung kualitas konsumsi pangan dilakukan berdasarkan konsep
PPH . Proyeksi permintaan konsumsi pangan tahun 2020 dilakukan untuk beberapa jenis
pangan terutama dikaitkan dengan komoditas strategis pemerintah, yaitu beras, terigu dan
turunannya, kedelai, gula pasir, minyak goreng, daging sapi, daging ayam dan telur.
Proyeksi permintaan pangan disajikan secara agregat nasional dan menurut kelompok
pengeluaran pangan. Dalam menentukan proporsi penduduk tahun 2020 selain
memperhatikan laju pertumbuhan penduduk juga laju pertumbuhan ekonomi. Analisis
proyeksi permintaan pangan dilakukan secara sederhana yaitu mengikuti analisis tren.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


22
BAB IV
KESEJAHTERAAN MASYARAKAT: MEMBAIK ATAU MENURUN

4.1. Pengeluaran Pangan Agregat


Pemerintah melalui program-programnya terus berupaya untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat Indonesia. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk
mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat dengan melihat nilai pangsa pengeluaran
pangan terhadap total pengeluaran. Semakin rendah pangsa pengeluaran pangan,
masyarakat akan semakin sejahtera. Krisis ekonomi tahun 1998 mengakibatkan terjadinya
penurunan kesejahteraan masyarakat (Gambar 1). Namun, perkembangan kesejahteraan
masyarakat terus membaik selama periode 1999-2011, walaupun dalam periode tersebut
terjadi krisis keuangan dan moneter di Amerika dan Eropa dan kenaikan Bahan Bakar
Minyak (BBM). Proporsi pengeluaran pangan pada tahun 2011 sebesar 48,5% lebih rendah
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Hal ini menunjukkan bahwa pondasi ekonomi Indonesia relatif kuat dan stabil, tidak
terkena dampak signifikan adanya krisis tersebut. Hasil analisis Bank Indonesia (2012),
perekonomian Indonesia tahun 2011 menunjukkan daya tahan yang kuat di tengah
meningkatnya ketidakpastian ekonomi global. Pertumbuhan ekonomi mencapai 6,5%, angka
tertinggi dalam 10 tahun terakhir disertai dengan inflasi yang rendah (3,79%).
Kecenderungan adalah beda saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997/1998. Pada waktu
tersebut terutama pada tahun 1997, terjadi kemarau panjang, serangan wereng dan
belalang, harga pupuk dan pestisida naik, krisis moneter dan ekonomi, stabilitas politk
terganggu (instabilitas politik). Kemudian pada tahun berikutnya (1998) terjadi krisis pangan
yang mengakibatkan harga pangan meningkat tajam, pemutusan hubungan kerja sehingga
jumlah pengangguran juga meningkat. Pada kondisi ini, pemerintah melaksanakan program
jangka pendek untuk meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga, salah satunya melalui
program beras untuk rakyat miskin (raskin).
Filosofi kebijakan raskin seperti disampaikan oleh Setiana (2012), Deputi Menko Kesra
Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat sebagai berikut : (a) Raskin
sebagai food security program, (b) Sebagai bagian dari social security, (c) Terpenuhi
kebutuhan beras (pangan), dapat mencegah terjadinya krisis dalam pemenuhan kebutuhan
pangan pokok, dan (d) Sebagai bentuk in kind transfer yg efektif, langsung dapat
memecahkan masalah pangan pada rumahtangga miskin (RTM). Tujuan program raskin
adalah untuk meningkatkan akses RTM dalam pemenuhan kebutuhan pangan pokok (salah
satu hak dasar) dan mengurangi sebagian beban pengeluaran RTM serta membantu
pemenuhan kebutuhan pangan RTM (39,7%). Peranan dan efek dari program raskin
diharapkan sebagai berikut : (a) Memperkuat ketahanan pangan, (b) Pasar bagi petani padi,
(c) Mendukung berjalannya usaha tani dan sektor lainnya, (d) Menggerakkan perekonomian
daerah, (e) Stabilisasi harga yang cukup efektif, (f) Meningkatkan daya beli RTM dalam
rangka meningkatkan Ketahanan Pangan dan kesejahteraan keluarga, serta (g) RTM yang
memperoleh program raskin dapat menghemat pendapatan yang terbatas.
Proses pemulihan kesejahteraan masyarakat, berdasarkan data Gambar 4.1 terjadi
pada tahun 2002. Namun untuk mencapai kesejahteraan seperti kondisi sebelum terjadinya
krisis ekonomi memerlukan waktu yang lama. dengan memperhatikan kondisi sebelum krisis

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


23
(1996). Tingkat kesejahteraan masyarakat mulai membaik terjadi pada tahun 2005.
Pemulihan kondisi krisis ekonomi memerlukan waktu sekitar lima tahunnya, seperti
ditunjukkan dengan perubahan pangsa pengeluaran pangan dari 55,3% tahun 1996 dan
53,9% pada tahun 2005.

Sumber : SUSENAS (berbagai tahun)

Tingkat kesejahteraan masyarakat kota adalah berbeda dengan masyarakat


pedesaan. Kesejahteraan masyarakat kota lebih baik daripada masyarakat desa. Ini
menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi secara luas yang bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat masih bias pada masyarakat perkotaan. Kondisi
ini dapat dilihat sebagai kasus di provinsi DKI.Jakarta. Provinsi ini sebagai pusat
pemerintahan bangsa Indonesia dan sekaligus sebagai pusat bisnis. Dampaknya adalah
bangunan berbagai infrastruktur sangat memadai, lapangan kerja sangat terbuka dan
mendorong terjadinya urbanisasi.
Pada tahun 2011, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DKI Jakarta mencapai
6,6%, lebih tinggi dibandingkan PDB nasional, yang hanya mencapai 6,5%. Dengan
demikian, DKI Jakarta sebagai penyumbang PDRB yaitu 16,5%, kemudian diikuti oleh
provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat, masing-masing 14,7% dan 14,3%. Pangsa
pengeluaran pangan untuk DKI Jakarta juga paling kecil yaitu 36,69% pada tahun 2011.
Tidak dipungkiri, dengan semakin baiknya sarana dan prasarana antar wilayah, semakin
sulit membedakan wilayah kota dan desa.
Oleh karena itu, pemerintah harus melakukan reorientasi program dengan
memprioritaskan pada masyarakat pedesaan, yang pada umumnya adalah masyarakat
petani. Reorientasi program mencakup peningkatan sarana dan prasarana dan
pengembangan pusat bisnis di pedesaan. Dengan demikian diharapkan akan mampu
mengerem laju urbanisasi dan mengurangi penduduk miskin, sekaligus upaya untuk
meningkatkan pemeratan pendapatan. Data pada Statistik Indonesia (2012) menunjukkan
Indeks Kedalaman Kemiskinan (IKdK) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (IKpK) di desa
masih lebih tinggi daripada di perkotaan, walaupun dari tahun ke tahun menunjukkan
penurunan. IKdK merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing
penduduk miskin terhadap garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
24
rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan. IKdK memberikan gambaran mengenai
penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks, semakin
tinggi ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin.
Dalam statistik tersebut, IKdK pada bulan Maret tahun 2012 sebesar 2,36 lebih kecil
dibandingkan bulan September 2011 (2,61) dan bulan Maret 2011 (2,80). Pada waktu yang
sama indeks kedalaman kemiskinan untuk perkotaan sebagai berikut: 1,40 pada bulan
Maret 2012; 1,48 pada bulan September dan 1,52 pada bulan Maret 2011. Sementara itu,
IKpK di desa pada bulan Maret 2012 sebesar 0,59 sedangkan untuk di perkotaan sebesar
0,36. Karakteristik rumah tangga miskin dicirikan oleh jumlah anggota rumah tangga lebih
banyak, tingkat pendidikan kepala rumahtangga relatif rendah, tidak tamat SD atau sampai
SD serta sebagian besar bekerja di sektor pertanian (Statistik Indonesia, 2012).
Menurut Sharp et al. (2000), penyebab kemiskinan bersumber dari rendahnya
kualitas angkatan kerja. Salah satu penyebab terjadinya kemiskinan adalah karena
rendahnya kualitas angkatan kerja. Kualitas angkatan kerja ini bisa dilihat dari angka buta
huruf. Sebagai contoh Amerika Serikat hanya mempunyai angka buta huruf sebesar 1%,
dibandingkan dengan Ethiopia yang mempunyai angka diatas 50%; Akses yang sulit
terhadap kepemilikan modal. Kepemilikan modal yang sedikit serta rasio antara modal dan
tenaga kerja (capital-to-labor ratio) menghasilkan produktivitas yang rendah yang pada
akhirnya menjadi faktor penyebab kemiskinan; Rendahnya tingkat penguasaan teknologi.
Negara-negara dengan penguasaan teknologi yang rendah mempunyai tingkat produktivitas
yang rendah pula. Tingkat produktivitas yang rendah menyebabkan terjadinya
pengangguran. Hal ini disebabkan oleh kegagalan dalam mengadaptasi teknik produksi
yang lebih modern. Ukuran tingkat penguasaan teknologi yang rendah salah satunya bisa
dilihat dari penggunaaan alat-alat produksi yang masih bersifat tradisional; penggunaan
sumber daya yang tidak efisien. Negara miskin sumber daya yang tersedia tidak
dipergunakan secara penuh dan efisien. Pada tingkat rumah tangga penggunaan sumber
daya biasanya masih bersifat tradisional yang menyebabkan terjadinya inefisiensi;
pertumbuhan penduduk yang tinggi. Menurut teori Malthus jumlah penduduk berkembang
sesuai deret ukur sedangkan produksi bahan pangan berkembang sesuai deret hitung. Hal
ini mengakibatkan kelebihan penduduk dan kekurangan bahan pangan. Kekurangan bahan
pangan merupakan salah satu indikasi terjadinya kemiskinan.
Sementara itu, berdasarkan kelompok pengeluaran terdapat pola semakin tinggi
kelompok pengeluaran (sebagai proksi tingkat pendapatan masyarakat), proporsi
pengeluaran pangan semakin rendah (Tabel 4.1.). Hal ini juga berarti semakin tinggi
pendapatan, seseorang akan merubah pola konsumsi pangan, yang semula berusaha untuk
memenuhi kebutuhan pangan (kebutuhan dasar). Kemudian setelah kebutuhan pangan
terpenuhi, seseorang akan berusaha untuk dapat memenuhi kebutuhan bukan pangan
seperti pakaian, kesehatan, pendidikan dan lainnya. Seperti dalam teori Maslow yang sudah
dikenal oleh banyak orang bahwa manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai
dari yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri).
Hierarchy of needs (hirarki kebutuhan) dari Maslow menyatakan bahwa manusia memiliki
lima macam kebutuhan yaitu physiological needs (kebutuhan fisiologis) seperti makan,
safety and security needs (kebutuhan akan rasa aman), love and belonging needs

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


25
(kebutuhan akan rasa kasih sayang dan rasa memiliki), esteem needs (kebutuhan akan
harga diri), dan self-actualization (kebutuhan akan aktualisasi diri).

Tabel 4.1. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Kelompok Pengeluaran (%)


Kelompok Laju perub.
1996 1999 2002 2005 2008 2011
Pengeluaran 2005-2011 (%)
I 75,0 76,9 78,8 73,8 69,9 76,3 1,7
II 73,6 76,3 72,0 70,9 68,1 67,2 (2,7)
III 71,0 74,5 73,1 69,4 68,5 64,3 (3,8)
IV 69,1 72,7 71,8 67,1 63,7 65,4 (1,3)
V 66,1 69,4 69,5 64,0 55,2 59,1 (4,1)
VI 61,4 64,4 66,3 59,6 46,6 53,6 (5,6)
VII 57,1 57,2 61,2 51,8 40,3 48,8 (3,2)
VIII 51,3 48,3 53,3 35,6 27,0 33,8 (2,8)
IX 45,0 33,1 36,4 - - - -
X 37,6 - - - - - -
Keterangan : I = Kel. Pengeluaran terendah, X = Kel. Pengeluaran tertinggi
( ) = penurunan/negatif

Kaitan pendapatan dengan pangsa konsumsi pangan juga dapat dijelaskan dengan
hukum Engel. Menurut hukum Engel, pada saat terjadinya peningkatan pendapatan,
konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan porsi yang semakin
mengecil. Sebaliknya bila pendapatan menurun, porsi yang dibelanjakan untuk pangan
semakin meningkat (Soekirman, 2000).

4.2. Pengeluaran Pangan Menurut Kelompok Pangan


Selain dalam bentuk agregat, pengeluaran pangan juga disajikan menurut kelompok
pengeluaran seperti yang ada dalam SUSENAS. Pangsa pengeluaran untuk makanan
dan minuman jadi baik di kota maupun di desa adalah yang terbesar pada tahun-tahun
terakhir (Gambar 4.2, 4.3 dan 4.4). Pada tahun 1999, pengeluaran untuk kelompok padi-
padian (beras, jagung terigu) paling besar, namun sejak tahun 2002, menunjukkan
kebalikannya. Pangsa pengeluaran untuk makanan/minuman jadi justru lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok padi-padian. Sementara itu, pengeluaran untuk pangan
sumber protein dan vitamin/mineral masih sangat rendah dibandingkan dengan pengeluaran
untuk makanan/minuman jadi. Sebagai gambaran, pada tahun 2011, pengeluaran untuk
buah-buahan hanya 4,3% dan untuk sayuran sebesar 7,7%. Sementara itu, untuk
makanan/minuman jadi dan kelompok padi-padian masing-masing mencapai 24,4% dan
17,3%. Perubahan ini terutama signifikan terjadi pada masyarakat perkotaan, tidak pada
masyarakat pedesaan. Kecenderungan ini dimungkinkan dengan adanya perubahan gaya
hidup yang berdampak pada perubahan gaya makan. Hal ini tentu terkait dengan partisipasi
perempuan dalam lapangan kerja dan maraknya usaha UKM yang menyediakan berbagai
jenis makanan/minuman dengan harga yang bervariasi.
BPS (2007) menyebutkan bahwa peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan
selama Februari 2006-Februari 2007 mencapai 2,12 juta orang, yang dominan bekerja di
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
26
sektor pertanian dan perdagangan. Pada waktu yang sama, peningkatan partisipasi untuk
laki-laki hanya 287.000. Tuntutan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga mendorong ibu
rumah tangga untuk ikut bekerja membantu suami. Dampaknya, akan mengakibatkan
berkurangnya waktu yang tersedia untuk menyiapkan kebutuhan keluarga. Banyaknya
wanita yang bekerja, mengakibatkan pemenuhan kebutuhan pangan rumah tangga sehari-
hari diperoleh melalui pembelian dari restoran atau warung makan. Wanita sebagai ibu
rumah tangga dan juga berprofesi sebagai pekerja di luar rumah akan mencari pramuwisma
untuk membantu menyiapkan makanan bagi keluarganya. Namun dengan sulitnya mencari
pramuwisma menyebabkan makanan siap saji menjadi menu utama sehari-hari di rumah.
Selain itu, juga tingginya aktivitas masyarakat (laki-laki dan perempuan) yang didorong
oleh semakin tingginya kebutuhan masyarakat ini menyebabkan pola konsumsi pangan
masyarakat berubah. Perubahan pola atau gaya hidup, juga menjadi faktor pemicu
terjadinya perubahan pola konsumsi. Misalnya, orang zaman sekarang semakin sibuk
dengan jam kerja lebih panjang, mendorong mereka untuk memilih makanan yang
penyajiannya lebih praktis tapi tetap beragam. Banyak masyarakat mengkonsumsi makanan
siap saji terutama pada saat mereka bekerja di luar rumah. Sehingga semakin banyak pula
restoran, warteg yang menjual aneka makanan cepat saji dalam berbagai bentuk, ukuran
dan tingkatan harga. Menurut Kementerian Koperasi dan UKM (2012), jumlah Usaha Kecil
Menengah (UKM) di bidang pangan di Indonesia terus bertambah dari tahun ke tahun. Pada
tahun 2012, jumlah UKM bidang pangan berjumlah sekitar 12 juta unit.
Pertanyaan menarik adalah siapa saja yang mengkonsumsi makanan/minuman jadi?
dan jenis makanan/minuman jadi apa saja yang banyak dikonsumsi? Pertanyaan ini sangat
relevan dikaitkan dengan antisipasi perubahan pola makan ke depan dengan karakteristik
penduduk seperti pendapatan, gaya hidup, pendidikan dan juga dikaitkan dengan aspek
kesehatan. Namun dalam kajian ini data yang dianalisis berupa data yang sudah dipublikasi
oleh BPS, sehingga analisis disesuaikan dengan data yang tersaji dalam publikasi tersebut.
Kalaupun analisis berdasarkan data mentah SUSENAS, karakteristik demografi yang dapat
dikaitkan dengan siapa yang mengkonsumsi makanan/minuman jadi terbatas pada
pendidikan kepala keluarga dan istri; pekerjaan utama kepala keluarga, apakah di sektor
pertanian, perdagangan, industri, jasa atau jenis pekerjaan lainnya; dan jumlah anggota
rumah tangga.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


27
Sumber : SUSENAS (berbagai tahun)

Fenomena tingginya pangsa pengeluaran makanan/minuman jadi tentu dapat


berdampak positif atau negatif pada pola konsumsi makanan dan kesehatan rumahtangga
tergantung pada pengetahuan pangan dan gizi terutama para istri sebagai ibu rumah
tangga. Dengan mengkonsumsi makanan siap saji akan berdampak positif bagi kesehatan
anggota rumahtangga, asal dalam pemilihan jenis makanan tetap memperhatikan pola
makanan sehat dan tidak secara keseluruhan dan terus menerus menyajikan makanan yang
berasal dari makanan siap saji. Penyediaan makanan rumah tangga melalui makanan siap
saji jelas akan menghemat waktu, praktis, mudah dalam persiapan dan mudah
diperolehnya. Namun dari sisi negatif, terutama dikaitkan dengan adanya bahan makanan
tambahan yang berbahaya, faktor kebersihan makanan dan penggunaan bahan lainnya
yang kurang higienis, seperti menggoreng makanan dengan menggunakan minyak goreng
yang sudah kotor (coklat tua). Kesemuanya ini berdampak pada kemungkinan terjadinya
keracunan makanan.
WHO dan FAO menyatakan ancaman potensial dari residu bahan makanan terhadap
kesehatan manusia dibagi dalam tiga kategori yaitu: (a) aspek toksikologis, residu bahan
makanan yang dapat bersifat racun terhadap organ-organ tubuh, (b) aspek mikrobiologis,
mikroba dalam bahan makanan yang dapat mengganggu keseimbangan mikroba dalam
saluran pencernaan, (c) aspek imunopatologis, keberadaan residu yang dapat menurunkan
kekebalan tubuh. Dampak negatif zat aditif terhadap kesehatan dapat secara langsung
maupun tidak langsung, dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Dari kelompok padi-padian, pengeluaran yang utama adalah untuk pembelian beras
(Tabel 4.2), walaupun dari tahun ke tahun, pengeluaran untuk beras semakin turun dan
berubah ke pangan lain seperti makanan/minuman jadi. Hal ini juga menunjukkan beras
mempumuai peran yang kuat sebagai makanan pokok masyarakat. Telah terjadi perubahan
pola pangan pokok, dari pangan lokal ke pangan nasional seperti beras dan ke pangan
internasional seperti terigu. Sehingga masyarakat yang semula mengkonsumsi
beranekaragam pangan lokal seperti di provinsi Papua yang mempunyai pola pangan pokok

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


28
berupa ubi jalar, sagu, pisang dan lainnya, sudah mengarah ke beras. Inilah yang
mengakibatkan pengeluaran beras masih dominan dibandingkan pangan pokok lainnya
termasuk dalam kelompok umbi-umbian.
Pada kelompok pangan sumber protein hewani, yang dominan adalah pengeluaran
daging ayam dan telur. Pengeluaran daging sapi paling kecil dibandingkan jenis pangan
hewani lainnya. Ini menunjukkan bahwa masyarakat melakukan subsitusi dalam pola
konsumsi pangan hewani, bahkan juga dengan protein nabati. Dengan demikian, kasus
peningkatan harga daging sapi beberapa bulan ini, sebetulnya diduga tidak akan berdampak
signifikan pada penurunan konsumsi pangan sumber protein hewani.

Tabel 4.2. Pangsa Pengeluaran Beberapa Jenis Pangan Menurut Wilayah (%)
Padi-
Pangan Hewani
padian
Tahun/Wilayah Daging
Beras Daging sapi Telur Susu
ayam
Kota
1996 17,4 2,3 4,0 3,3 3,5
1999 20,9 1,4 2,6 3,3 2,7
2002 16,0 1,6 3,6 3,4 3,5
2005 12,1 1,3 3,4 3,0 4,3
2008 12,3 0,8 2,7 4,1 3,5
2011 13,8 1,2 3,2 2,6 4,4
Laju perub. (%) (10,0) 3,9 (3,4) (1,3) 6,0
Desa
1996 26,6 0,7 2,7 3,0 1,3
1999 30,7 0,6 1,5 2,7 0,9
2002 26,0 0,6 2,2 3,1 1,3
2005 20,5 0,5 2,5 3,1 1,8
2008 19,8 0,3 2,1 3,0 1,7
2011 20,9 0,6 2,6 2,61 2,1
Laju perub. (%) 7,9 (7,8) 2,0 1,1 13,0
Kota+desa
1996 22,5 1,4 3,3 3,1 2,3
1999 26,2 0,9 2,0 2,9 1,8
2002 20,7 1,1 2,9 3,2 2,5
2005 16,0 0,9 3,0 3,0 3,1
2008 15,6 0,6 2,4 3,6 3,9
2011 16,9 0,9 2,9 2,6 3,4
Laju perub.(%) (9,4) (10,6) (0,7) (0,6) 12,5
Sumber : SUSENAS Berbagai Tahun (diolah)
Keterangan : ( ) = penurunan/negatif

Sementara itu, bila dilihat menurut kelompok pendapatan menunjukkan bahwa


semakin tinggi kelompok pengeluaran, maka pengeluaran untuk kelompok padi-padian dan

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


29
umbi-umbian semakin turun (Tabel 4.3). Sebaliknya konsumsi pangan asal ternak
(daging/telur/susu), ikan dan makanan/minuman jadi semakin tinggi. Hal ini menunjukkan
bahwa dengan peningkatan pendapatan masyarakat, akan terjadi perubahan pola konsumsi
pangan dari makanan sumber karbohidrat ke pangan yang mempunyai kualitas lebih tinggi
seperti protein hewani, vitamin dan mineral. Perubahan pola pengeluaran tersebut dapat
dijelaskan oleh Bennet, yang dikenal dengan hukum Bennet yang menganalisis hubungan
pendapatan dengan kualitas konsumsi pangan. Bennet menemukan bahwa peningkatan
pendapatan akan mengakibatkan individu cenderung meningkatkan kualitas konsumsi
pangannya dengan harga yang lebih mahal per unit gizinya. Pada tingkat
pendapatan rendah, permintaan terhadap pangan diutamakan pada pangan yang padat
energi yang berasal dari karbohidrat. Apabila pendapatan meningkat, pola konsumsi pangan
akan makin beragam dan umumnya akan terjadi peningkatan konsumsi pangan yang lebih
bernilai gizi tinggi (Soekirman, 2000).

Tabel 4.3. Pangsa Pengeluaran Beberapa Kelompok Pangan Menurut


Kelompok Pengeluaran (%), 2011
Kelompok pangan I II III IV V VI VII VIII
Padi-padian 42,7 39,8 35,4 27,4 21,4 16,6 12,9 9,0
Umbi-umbian 4,6 4,4 2,5 1,5 1,1 0,9 0,8 0,6
Pangan asal ternak 2,5 2,8 4,6 6,0 8,2 10,5 12,4 14,5
Kelompok ikan 6,3 6,8 7,0 8,2 8,9 9,1 9,0 7,8
Sayuran 8,7 10,4 9,8 9,5 8,8 7,9 7,1 5,5
Buah-buahan 2,2 1,9 2,2 2,8 3,4 4,2 4,9 5,9
Makanan/
10,9 8,1 11,3 15,5 19,3 22,8 26,9 35,7
minuman jadi
Sumber : SUSENAS Tahun 2011 (diolah)
Keterangan : I = Kel. Pengeluaran terendah, X = Kel.Pengeluaran tertinggi

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


30
BAB V
KUANTITAS KONSUMSI PANGAN MASYARAKAT:ENERGI DAN PROTEIN

5.1. Konsumsi Masyarakat dari Sisi Kecukupan Konsumsi Energi dan Protein
Pada dasarnya konsumsi makanan masyarakat sehari-hari memadai jika memenuhi
dua kecukupan yaitu kecukupan energi dan protein. Kebutuhan energi umumnya diperoleh
dari konsumsi makanan pokok sebagai sumber karbohidrat, sedangkan sebagian besar
kebutuhan protein diperoleh dari konsumsi makanan yang berasal dari hewani seperti
daging, ikan, telur dan susu. Oleh karena itu, data tentang kuantitas konsumsi penduduk
dapat digunakan untuk memantau apakah kesejahteraan penduduk diukur dengan konsumsi
pangan meningkat atau tidak (BPS, 2010).
Di Indonesia setiap lima tahun diadakan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
(WKNPG) yang salah satu rekomendasinya adalah menetapkan Angka Kecukupan Energi
(AKE) dan Angka Kecukupan Protein (AKP) untuk rata-rata Indonesia dan kelompok umur.
Rekomendasi WNPG ke VIII yang dilaksanakan tahun 2004 adalah AKE dan AKP untuk
rata-rata penduduk Indonesia, masing-masing 2000 Kalori/kapita/hari dan 52
gram/kapita/hari. Sementara itu, pada bulan November 2012, dilaksanakan WNPG ke X
yang menetapkan AKE sebesar 2200 Kalori/kapita/hari dan protein sebesar 57
Gram/kapita/hari. Mengacu pada patokan hasil WNPG tahun 2004, tingkat konsumsi rata-
rata masyarakat untuk energi tahun 2010 sebesar 96,3% dari kecukupannya, sebaliknya
untuk konsumsi protein melebihi dari yang dianjurkan. Namun apabila mengacu pada hasil
WNPG ke X, maka tingkat konsumsi energi masyarakat Indonesia masih kurang, sebaliknya
untuk konsumsi protein sudah melebihi dari angka yang dianjurkan (Gambar 5.1 dan 5.2).
Tingkat konsumsi energi dan protein berasal dari makanan yang disiapkan di rumah dan
makanan/minuman jadi. Sebagai contoh, konsumsi energi pada tahun 2011 sebesar 1.852,8
Kalori/kapita/hari, yang berasal dari makanan yang dimasak di rumah (1.586,8 Kalori) dan
makanan/minuman jadi (266 Kalori).

AKE

AKP

Sumber: SUSENAS (diolah)

Tingkat konsumsi energi yang lebih dari 95% ini masih dapat dianggap cukup dan
memenuhi kebutuhan tubuh manusia sesuai dengan klasifikasi tingkat kecukupan yang
dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan (1996) dalam Badan Ketahanan Pangan (2006).
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
31
Dalam klasifikasi tersebut, jika tingkat kecukupan energi antara 90-119% termasuk kategori
normal. Mengacu pada Ilmu Gizi, walaupun konsumsi protein sudah tinggi namun karena
konsumsi energinya masih rendah, protein tersebut akan dibakar dalam tubuh menjadi
energi untuk menutupi kekurangan konsumsi energi sampai mencukupi. Dengan demikian
dapat dimungkinkan secara riil protein yang dikonsumsi masih lebih rendah dari angka
kecukupan yang dianjurkan.

Sumber: SUSENAS (diolah)

Hasil analisis konsumsi energi dan protein tersebut, timbul pertanyaan apakah
memang benar situasi riil masyarakat Indonesia seperti demikian. Pada umumnya,
pemenuhan kebutuhan konsumsi yang paling mudah adalah pemenuhan kebutuhan akan
energi karena harga per unit energi ini relatif murah dan mudah, sehingga hampir semua
orang akan mampu memenuhinya. Selain itu, seperti dalam hukum Maslow, kebutuhan
paling mendasar seseorang adalah kebutuhan makan, dan pada tahap awal makan asal
kenyang. Pangan yang cepat membuat kenyang adalah pangan sumber karbohidrat dan
sekaligus sebagai penghasil energi. Jika energi sudah dipenuhi, baru memikirkan kepada
kualitas konsumsi pangan yang salah satunya ditentukan oleh tingkat pendapatan seperti
dalam hukum Bennet. Namun, kenyataannya dengan menggunakan data SUSENAS
tidaklah demikian.
Seperti telah diungkap terdahulu, telah terjadi perubahan pangsa pengeluaran pangan,
dari dominan pada kelompok pengeluaran padi-padian ke kelompok makanan/minuman jadi.
Jumlah jenis makanan jadi yang didata dalam SUSENAS sebanyak sekitar 30 jenis
makanan/minuman jadi. Sekitar 14 jenis makanan berupa makanan seperti roti tawar, roti
manis, kue basah, gado-gado, nasi putih, nasi rames, bubur kacang hijau, yang kesemua
jenis makanan tersebut sebagai sumber karbohidrat. Sementara itu, untuk makanan sumber
protein hanya ada tiga jenis yaitu soto/gule, sate/tongseng dan ikan
(bakar/goreng/pindang/lainnya).

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


32
Walaupun BPS telah menghitung energi dan protein dari makanan/minuman jadi yang
ditambahkan dalam total energi, namun diduga adanya tambahan energi dari
makanan/minuman jadi masih under estimate. Kesulitannya adalah satuan yang digunakan
dalam daftar pertanyaan bukan dalam bentuk kuantitatif seperti gram atau kilogram, akan
tetapi bungkus kecil, potong dan porsi. Setiap responden akan dengan mudah menyebut
satuan dalam bentuk porsi atau potong, namun volume satu porsi atau satu potong tentu
berbeda antar seseorang dan atar wilayah. Kesulitan lainnya adalah melakukan konversi
dari jenis makanan ke dalam bentuk energi secara valid. Walaupun dalam daftar komposisi
bahan makanan terdapat konversi misalnya nasi campur, namun ramuan dan volume nasi
rames antar daerah juga berbeda, padahal faktor konversinya hanya ada satu yang
tercantum dalam daftar tersebut. Faktor inilah diduga yang mengakibatkan konsumsi energi
masih rendah, sebaliknya untuk protein sudah melebihi dari yang dianjurkan.
Protein yang dikonsumsi masyarakat berasal berupa protein nabati dan protein
hewani. Protein nabati diperoleh dari bahan pangan asal tumbuhan yaitu dari padi-padian,
biji-bijian dan kacang-kacangan seperti tahu dan tempe. Protein hewani diperoleh dari
bahan pangan hewani seperti daging, telur, susu dan ikan. Protein hewani memiliki semua
asam amino esensial sehingga disebut protein lengkap. Pemanfaatan protein oleh tubuh
ditentukan oleh kelengkapan asam amino esensial yang terkandung dalam protein yang
dikonsumsi. Semakin lengkap asam amino esensial, semakin tinggi nilai pemanfaatan
protein tersebut bagi tubuh. Selain itu, nilai cerna protein hewani lebih tinggi dari protein
nabati. Sementara dari segi pemanfaatannya protein hewani juga jauh lebih baik dari protein
nabati. Oleh karena itu, salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia
terutama kecerdasan seseorang ditentukan oleh tingkat konsumsi protein hewani.
Dalam Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan yang diterbitkan oleh Badan
Ketahanan Pangan (2012) disebutkan bahwa kecukupan protein sebesar 52
gram/kapita/hari dan dicukupi minimal 20% dari protein hewani dan 80% protein nabati.
Mengacu pada anjuran tersebut, komposisi konsumsi protein di Indonesia sudah baik yang
ditunjukkan dengan pangsa protein hewani yang berasal dari daging, telur, susu dan ikan
mencapai lebih dari 20% (Gambar 5.3). Bahkan untuk di perkotaan, pangsa konsumsi
protein hewani hampir mencapai 30%. Protein nabati berasal dari beranekaragaman
makanan yang tergolong nabati seperti dari padi-padian, umbi-umbian, sayur dan buah,
kacang-kacangan dan lainnya. Namun karena pola konsumsi masyarakat dominan pada
beras dan menjadi pola pangan pokok utama menyebabkan sumber utama protein nabati
juga berasal dari beras. Pangsa protein dari beras lebih dari 50%, yang berarti dalam hal ini
beras tidak hanya sebagai sumber energi tetapi juga sumber protein dalam pola konsumsi
masyarakat.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


33
Sumber: SUSENAS (diolah)

Data Neraca Bahan Makanan (NBM) menyajikan data ketersediaan energi dan
protein, yang datanya disajikan pada Tabel 5.1. Dari aspek ketersediaan, Indonesia sudah
mampu menyediakan energi dan protein melebihi dari yang dianjurkan, bahkan hampir dua
kali lipat kelebihannya. Berdasarkan WNPG XIII, ketersediaan energi dan protein yang
dianjurkan masing-masing sebesar 2200 kalori/kapita/tahun dan 57 gram/kapita/tahun. Ini
berarti jika ada masalah kekurangan pangan (dalam bentuk energi dan protein) pada
masyarakat, bukan disebabkan kurang tersedianya pangan namun lebih disebabkan karena
keterbatasan akses rumah tangga terhadap pangan termasuk distribusi pangan.
Akses rumah tangga terhadap pangan dipengaruhi oleh daya belinya, dalam hal ini
resultan dari tingkat pendapatan dan harga pangan. Meskipun ketersediaan pangan secara
nasional maupun per kapita mencukupi, namun belum tentu setiap rumah tangga memiliki
akses yang nyata secara sama. Dengan demikian surplus pangan di tingkat wilayah belum
menjamin kecukupan pangan bagi individu. Selain aspek ekonomi, fisik dan sosial,
kelancaran distribusi pangan juga dipengaruhi oleh sarana dan prasarana seperti keadaan
jalan, transportasi, kondisi pasar dan kelembagaan pasar dan lainnya. Oleh karena itu,
pengembangan infrastruktur sarana distribusi adalah penting untuk memperlancar mobilitas
pangan agar pangan tersedia secara merata dengan harga yang dapat dijangkau oleh
masyarakat luas terutama masyarakat berpendapatan rendah.

Tabel 5.1. Ketersediaan Energi dan Protein, 2006 2011


Tahun Ketersediaan
Energi (Kkal/kap/hari) Protein (Gram/kap/hari)
2006 3.166 76,5
2007 3.358 80,1
2008 3.453 84,1
2009 3.214 88,9
2010 3.310 94,6
2011 3.944 89,7
Sumber: Badan Ketahanan Pangan, Kementan (2012)

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


34
5.2. Konsumsi Energi dan Protein Menurut Kelompok Pangan dan Pengeluaran
Pola konsumsi pangan masyarakat memang dominan pada pangan pokok yaitu beras.
Beras telah menjadi pangan pokok utama dan pertama, bahkan masyarakat yang semula
mempunyai pola pangan pokok bukan beras beralih ke beras. Seperti hasil analisis yang
dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan (2009) yang menggunakan data SUSENAS 2006,
pola konsumsi pangan pokok di perkotaan pada semua kelompok pengeluaran adalah beras
dan terigu (termasuk turunannya). Sementara itu, untuk di pedesaan, pola pangan pokok
pertama pada semua kelompok pengeluaran adalah beras, kemudian diikuti dengan jagung,
ubikayu, terigu pada kelompok berpendapatan rendah. Sementara itu, untuk hal yang sama,
setelah beras diikuti hanya terigu pada kelompok menengah dan kaya.
Kecenderungan yang demikian, juga terlihat dari pangsa energi yang berasal dari
padi-padian mencapai hampir 50% (Tabel 5.2). Sebaliknya pangsa energi dari umbi-umbian
cenderung turun, yang berarti pangan pokok jagung, umbi-umbian dan sagu semakin
ditinggalkan oleh masyarakat. Tingkat konsumsi pangan termasuk konsumsi energi dan
protein dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial budaya, agama dan ekonomi, namun unsur-
unsur prestise kadang-kadang menjadi sangat menonjol terutama untuk masyarakat di
perkotaan, Masyarakat kadang-kadang bertindak tidak hanya atas dasar pertimbangan
ekonomi, tetapi juga didorong oleh berbagai penalaran dan perasaan seperti kebutuhan,
kepentingan, dan kepuasan baik bersifat pribadi maupun sosial. Oleh karena itu perbaikan
pola konsumsi pangan dilakukan tidak hanya dengan meningkatkan daya beli masyarakat,
akan tetapi juga meningkatkan kesadaran masyarakat akan pangan yang bergizi dan
kesehatan.

Tabel 5.2. Pangsa Energi dan Protein Beberapa Kelompok Pangan Menurut
Wilayah (%)
Kelompok Pangan Energi Protein
Padi-padian Umbi-umbian Asal ternak Ikan
Kota
1996 51,8 1,5 12,6 12,8
1999 52,3 1,9 8,4 12,0
2002 46,6 1,7 11,9 13,0
2005 44,6 1,5 12,0 13,9
2008 42,9 1,6 12,3 12,9
2011 44,0 1,0 13,3 14,4
Laju perubahan (%) (15,1) (6,7) 3,7 2,6
Desa
1996 60,0 3,6 6,0 13,3
1999 61,0 9,5 3,9 12,8
2002 56,8 3,6 5,5 13,4
2005 54,5 3,8 6,6 14,4
2008 51,6 3,5 6,8 14,4
2011 52,3 2,8 8,5 14,3
Laju perubahan (%) (3,5) (13,9) 10,2 2,2

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


35
Kota+Desa
1996 57,1 2,9 8,4 13,1
1999 57,7 3,3 5,7 12,5
2002 52,3 2,8 8,4 13,2
2005 50,3 2,8 9,4 14,2
2008 47,5 2,6 9,5 13,8
2011 48,2 1,9 11,0 14,4
Laju perubahan (%) (4,2) (7,5) 8,3 2,4
Sumber : SUSENAS (diolah)
Keterangan : ( ) = Penurunan/negative

Pada Tabel 5.2, pada umumnya dengan kenaikan pendapatan (yang didekati dengan
pengeluaran pangan), konsumsi pangan sumber karbohidrat/energi akan menurun.
Sebaliknya kenaikan pendapatan rumahtangga akan meningkatkan konsumsi pangan
sumber protein dan vitamin/mineral. Perubahan dalam jumlah besar dan konsisten pada
makanan/minuman jadi, sementara untuk jenis pangan lain tidak demikian. Lagi-lagi ini
membuktikan bahwa dengan perubahan pendapatan akan merubah gaya hidup dan gaya
makan seperti hukum Bennet yang telah disampaikan sebelumnya. Dengan pendapatan
yang cukup, keluarga akan sering makan di luar rumah dan atau membeli
makanan/minuman jadi untuk dimakan di rumah. Makanan siap dimasak di rumah (home
made) lama-kelamaan akan berkurang dan ditinggalkan oleh anggota rumahtangga
terutama yang bekerja di luar rumah.

Tabel 5.3. Pangsa Energi Kelompok Pangan Menurut


Kelompok Pengeluaran, 2011 (%)
Kelompok Padi- Umbi- Asal Ikan Sayuran Buah- Makanan
Pengeluaran padian umbian ternak buahan Jadi
I 58,0 14,0 0,8 1,5 2,1 1,8 7,5
II 62,8 8,5 1,0 1,8 2,4 1,3 5,3
III 60,9 4,6 1,7 0,4 2,2 1,4 7,8
IV 56,7 3,0 2,6 2,1 2,2 1,4 10,2
V 51,4 1,8 4,0 2,4 2,1 12,5 12,7
VI 45,7 1,5 5,9 2,7 2,0 1,9 15,2
VII 41,0 1,2 7,5 2,8 1,9 2,2 17,6
VIII 34,9 0,9 9,8 2,7 1,8 2,6 22,1
Sumber : SUSENAS (diolah)
Keterangan : I = Kel. pengeluaran terendah, X = Kel. pengeluaran tertinggi

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


36
BAB VI
KUALITAS POLA KONSUMSI PANGAN: HARAPAN DAN KENYATAAN

6.1. Program Diversifikasi Konsumsi Pangan


Program diversifikasi pangan sebetulnya sudah dirintis sejak awal dasawarsa 60-an,
dimana pemerintah telah menyadari pentingnya dilakukan diversifikasi tersebut, Ariani
(2012) melakukan kompilasi program-program terkait langsung dan tidak langsung dengan
usaha penganekaragaman/diversifikasi pangan terutama untuk diversifikasi konsumsi
pangan (Tabel 6.1). Pemerintah mulai menganjurkan konsumsi bahan-bahan pangan pokok
selain beras seperti anjuran untuk mengkombinasikan beras dengan jagung, sehingga
pernah populer istilahberas-jagung. Ada dua arti dari istilah itu, yaitu: (a) campuran beras
dengan jagung, dan (b) penggantian konsumsi beras pada waktu-waktu tertentu dengan
jagung. Kebijakan ini ditempuh sebagai reaksi terhadap krisis pangan yang terjadi saat itu
(Rahardjo, 1993). Pada tahun 1974, secara eksplisit pemerintah mencanangkan
kebijaksanaan diversifikasi pangan melalui Instruksi Presiden (INPRES) No, 14 tahun 1974
tentang Perbaikan Menu Makanan Rakyat (UPMMR). Maksud dari instruksi tersebut adalah
untuk lebih menganekaragamkan jenis pangan dan meningkatkan mutu gizi makanan rakyat
baik secara kualitas maupun kuantitas sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia.
Kemudian program tersebut mengalami kevakuman, baru tahun 1991 muncul program
diversifikai konsumsi pangan. Program ini dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian dengan
nama Program Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG), yang dalam pelaksanaannya dalam
bentuk program pemanfaatan lahan pekarangan. Program DPG bertujuan untuk: (a)
mendorong meningkatnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga, dan (b) mendorong
meningkatnya kesadaran masyarakat terutama di pedesaan untuk mengkonsumsi pangan
yang beranekaragam dan bermutu gizi seimbang. Pada tahun 2009, keluar Peraturan
Presiden (Perpres) No. 22 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi
Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Tujuan kebijakan ini adalah menfasilitasi dan
mendorong terwujudnya pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman
yang diindikasikan oleh skor PPH 95 pada tahun 2015.

Tabel 6.1. Perkembangan Kebijakan/Program/Kegiatan Diversifikasi


Konsumsi Pangan
No. Tahun Kebijakan Tujuan/Kegiatan
1 1950-an 4 Sehat 5 Sempurna Pola makan yang sehat
2 1960-an Anjuran konsumsi Populer beras-jagung (pengertian campuran
selain beras beras dengan jagung, dan penggantian
konsumsi beras pada waktu-waktu tertentu
dengan jagung).
3 1974 Inpres No, 14, 1974; Tujuan: lebih menganekaragamkan jenis
1979 : UPMMR, pangan dan meningkatkan mutu gizi makanan
rakyat baik secara kualitas maupun kuantitas
sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia.
4 1991/ Program diversifikasi Tujuan:(a ) ketahanan pangan rumah tangga,
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
37
1992 pangan dan gizi dan (b) kesadaran masyarakat terutama di
(DPG) pedesaan untuk mengkonsumsi pangan yang
beranekaragam dan bermutu gizi seimbang.
Fokus program DPG diarahkan pada upaya
pemberdayaan kelompok rawan pangan di
wilayah miskin dengan memanfaatkan
pekarangan
5 1998/ Revitalisasi program Perubahan orientasi dari hanya pemanfaatan
1999 DPG pekarangan ke pekarangan/kebun sekitar
rumah guna pengembangan pangan lokal
alternatif. Pembinaan: aspek budi daya,
pengolahan dan penanganan pasca panen agar
pangan lokal alternatif ini dapat memenuhi
selera masyarakat.
6 1995/ Pedoman Umum Gizi Terdapat 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang
1996 Seimbang (PUGS) (menggantikan 4 sehat 5 sempurna). Pesan
No,1 : makanlah aneka ragam makanan
7 2010 Percepatan Ada 4 kegiatan, antara lain : Sosialisasi dan
Penganekaragaman promosi penganekaragaman konsumsi pangan
konsumsi Pangan
(P2KP)
8 2010 One day no rice Himbauan untuk tidak mengkonsumsi beras
satu hari per bulan/minggu
9 2010 M-KRPL (Model Peningkatan kualitas konsumsi pangan
Kawasan Rumah rumahtangga melalui optimalisasi pemanfaatan
Pangan Lestari) pekarangan secara lestari
10 2011 Gerakan Nasional Gerakan perilaku pola konsumsi makanan
Sadar Gizi

Strategi yang ditempuh dalam Perpres tersebut ada dua yaitu: (a) Internalisasi
penganekaragaman konsumsi pangan melalui: advokasi, kampanye, promosi dan
sosialisasi tentang konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman pada
berbagai tingkatan aparat, masyarakat, pendidikan formal dan non formal dan (b)
Pengembangan bisnis dan industri pangan lokal melalui fasilitasi kepada UMKM untuk
pengembangan bisnis pangan segar, industri bahan baku, industri pangan olahan dan
pangan siap saji yang aman berbasis sumber daya lokal serta advokasi, sosialisasi dan
penerapan standar mutu dan keamanan pangan baki pelaku usaha pangan terutama usaha
rumah tangga dan UMKM.
Untuk operasionalisasi PERPRES tersebut, Menteri Pertanian mengeluarkan
peraturan No.43/Permentan/OT.140/2009) tentang Gerakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Untuk menindaklanjuti
Perpres. Kementerian Pertanian melaksanakan kegiatan terkait diversifikasi konsumsi
pangan yang dikenal gerakan Percepatan Diversifikasi Konsumsi Pangan (P2KP) yang
dimulai sejak tahun 2010. Tujuan umum program P2KP adalah menfasilitasi dan mendorong
terwujudnya pola konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang dan aman yang
diindikasikan dengan skor PPH dengan indikator outcome adalah meningkatnya skor PPH
dari tahun ke tahun dan menurunnya konsumsi beras 1,55% per tahun (BKP, 2012).

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


38
Pelaksanaan gerakan percepatan penganekaragaman konsumsi pangan berbasis
sumberdaya lokal diselenggarakan melalui kegiatan sebagai berikut:
a. Internalisasi Penganekaragaman Konsumsi Pangan
Kegiatan internalisasi untuk mempercepat penganekaragaman konsumsi pangan
berbasis pangan lokal difokuskan pada kegiatan antara lain: (1) Advokasi memberikan
solusi, (2) Kampanye kepada penyadaran aparat dan masyarakat, (3) Promosi dan
sosialisasi dalam rangka membujuk, menghimbau dan mengajak aparat dan masyarakat, (4)
Pendidikan melalui jalur pendidikan non formal untuk seluruh lapisan masyarakat khususnya
kelompok wanita dan Tim Penggeral PKK, (5) Penyuluh kepada ibu rumah tangga dan
remaja, (6) Pemanfaatan pekarangan dan potensi pangan di sekitar lingkungan, (7)
Pembinaan kepada industry rumahtangga. Selain itu juga dilakukan pengembangan dan
diseminasi seta aplikasi paket teknologi terapan tehaap pengolahan aneka pangan.
b. Pengembangan bisnis dan Industri Pangan Lokal
Kegiatan pengembangan bisnis dan industri pangan difokuskan pada: (1) Fasilitasi
kepada kelompoktan/gapoktan untuk pengembangan bisnis pangan segar, industri bahan
baku, industri pangan lahan dan pangan siap saji, (2) Penerapan standar mutu dan
keamanan pangan. Pengembangan bisnis juga dilakukan dengan menggerakkan peran
serta aktif swasta dan dunia usaha dalam pengembangan industri dan bisnis pangan lokal.

6.2. Pencapaian Kualitas Konsumsi Pangan menurut PPH


Keanekaragaman/diversifikasi konsumsi pangan dapat diukur dengan menggunakan
konsep PPH. FAO RAPA pada tahun 1989 dalam Ariani dan Asari (2003) mengadakan
pertemuan para pangan dan gizi di Bangkok dengan merumuskan komposisi pangan yang
ideal yang terdiri dari 57-68% dari karbohidrat, 10-13% dari protein dan 20-30 persen dari
lemak. Dengan rumusan ini kemudian diimplementasikan dalam bentuk energi dari sembilan
kelompok pangan yang dikenal dengan istilah PPH. Sejak diperkenalkan di Indonesia,
konsep PPH ini mendapat perhatian dari kalangan ilmuwan di bidang pangan dan gizi untuk
dapat diterapkan di Indonesia disesuaikan dengan kondisi Indonesia.
Dalam konsep PPH, setiap kelompok pangan dalam bentuk energi mempunyai
pembobot yang berbeda tergantung dari peranan pangan dari masing-masing kelompok
terhadap pertumbuhan dan perkembangan manusia. Sebagai contoh, pembobot pada
kelompok padi-padian, umbi-umbian dan gula hanya 0,5 karena pangan tersebut hanya
sebagai sumber energi untuk pertumbuhan manusia, sebaliknya pangan hewani dan
kacang-kacangan sebagai sumber protein yang berfungsi sebagai pertumbuhan dan
perkembangan manusia mempunyai pembobot 2 dan sayur+buah sebagai sumber vitamin
dan mineral, serat, dan lain-lain mempunyai pembobot 5. Dengan mengkalikan proporsi
energi dengan masing-masing pembobotnya, maka dalam konsep PPH akan diperoleh skor
sebesar 100. Dalam arti diversifikasi konsumsi pangan sesuai konsep PPH harus
mempunyai skor 100. Pada Gambar 6.1 disajikan perkembangan pencapaian diversifikasi
konsumsi pangan yang diukur dengan PPH.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


39
Sumber : BKP (2012)

Skor PPH sebetulnya meningkat dari tahun ke tahun, bahkan pada tahun 2007 dan
2008 mencapai 80-an, namun untuk tahun-tahun berikutnya, skor PPH mengalami
penurunan. Bila mengacu pada tabel-tabel sebelumnya, pertanyaannya mengapa skor PPH
justru menurun dengan peningkatan kesejahteraan. Seperti telah diungkap terdahulu, bahwa
terkait dengan konsumsi pangan tidak hanya dipengaruhi oleh pendapatan namun juga
pengetahuan seseorang terkait pangan dan gizi serta kesadaran akan makanan yang
berkualitas untuk kesehatan dan kualitas sumberdaya manusia. Dari Tabel 6.2, pola
konsumsi pangan masyarakat masih belum mengacu pada pedoman PPH. Konsumsi dari
padi-padian sangat tinggi, melebihi dari ketentuan, sebaliknya untuk pangan hewani, sayur
dan buah yang termasuk pangan berkualitas tinggi yang mampu meningkatkan skor PPH
secara signifikan masih belum banyak dikonsumsi sesuai dengan ketentuan. Pada kondisi
terakhir (tahun 2011), skor PPH menurun sedkit dibandingkan tahun sebelumnya yaitu skor
PPH pada tahun 2011 sebesar 77,3, sedangkan pada tahun 2010 sebesar 77,5. Penurunan
ini lebih diakibatkan oleh penurunan konsumsi sayuran dan buah-buahan.

Tabel 6.2. Pola Konsumsi Pangan: Harapan dan Kenyataan

Kelompok Bobot Realitas Harapan Selisih


Pangan (Kal/kap/hari)
Padi-padian 0,5 310,0 275 39,4
Umbi-umbian 0,5 38,8 100 - (61,2)
Pangan hewani 2,0 92,2 150 -(57,8)
Minyak +lemak 0,5 22,6 20 2,6
Kacang- 2,0 22,1 35 -(12,9)
kacangan
Gula 0,5 23,1 30 -(6,9)
Sayur+Buah 5,0 211,4 250 -(38,6)
Sumber : BKP (2012)

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


40
6.3. Kendala Pencapaian Diversifikasi Pangan Secara Signifikan
Program diversifikasi konsumsi pangan dirintis sejak lama yaitu tahun 60-an. Namun
sampai sekarang pencapaian diversifikasi belum berjalan secara signifikan. Masyarakat
masih tertumpu pada konsumsi pangan pokok beras dan makanan lokal lainnya terutama
sumber karbohidrat cenderung ditinggalkan. Permasalahannya mengapa mereka sulit
kembali ke pangan pokok bukan beras?. Mengapa pula diversifikasi konsumsi pangan
Indonesia masih belum seimbang sesuai harapan?. Hasil analisis menunjukkan banyak
faktor yang menyebabkan hal tersebut. Banyak program pemerintah dalam upaya
menurunkan konsumsi beras dan program ke arah diversifikasi konsumsi pangan, namun
pelaksanaan program sering tidak konsisten, tidak jelas tugas siapa, dan sporadis. Secara
terinci, hambatan pencapaian diversifikasi konsumsi pangan sebagai berikut:
a. Tidak ada institusi tingkat pusat yang menangani diversifikasi konsumsi pangan.
Kalaupun ada, bersifat partial, tidak kontinyu dan dapat tumpang tindih. Kasus sejak
tahun 2010, Kementerian Pertanian mempunyai program P2KP yang dalam
operasionalnya memanfaatkan kelembagaan Badan Ketahanan Pangan Daerah baik
provinsi maupun kabupaten/kota. Sementara itu, Kementerian Kesehatan membangun
Gerakan sadar Pangan dan Gizi, yang operasionalnya memanfaatkan kelembagaan
Dinas Kesehatan Provinsi/Kabupaten/Kota.
b. Konsep makan, pola pangan pokok dan lambang kemakmuran adalah beras.
Seseorang merasa belum makan walaupun sudah makan roti, mi instan tetapi belum
makan nasi. Nasi adalah primadona bagi sebagian masyarakat Indonesia, dampaknya
tingkat partisipasi konsumsi beras mencapai hampir 100% dan beras dijadikan pangan
pokok utama dan tunggal. Beras sebagai konstruksi sosial dengan penyamaan
swasembada beras dengan ketahanan pangan. Dominasi beras atas sumber daya
pangan lainnya di Indonesia dapat ditemukan dalam istilah-istilah lokal seperti palawija
(Sansekerta, phaladwija) yang harfiahnya berarti sesuatu yang bukan beras (sekunder)
atau pangan kelas dua, sesuatu yang terkonstruksikan secara budaya (culturally
constructed). Lambang padi digunakan sebagai simbol kemakmuran Negara termasuk di
daerah-daerah produsen jagung dan umbi jalar seperti Timor dan Papua, padi tetap
disimbolkan sebagai lambang pemerintahan daerah.
c. Kebijakan diversifikasi konsumsi pangan yang tidak konsisten pelaksanaannya,
sehingga kebijakan pemerintahpun juga tumpang tindih. Di satu sisi pro dan di sisi lain
kontra dengan kebijakan diversifikasi konsumsi pangan seperti adanya kebijakan beras
miskin (raskin) untuk seluruh Indonesia dalam waktu yang lama. Selain itu juga apabila
terjadi kelangkaan beras, pemerintah selalu melakukan kebijakan OPK beras,
d. Kebijakan konsumsi pangan vs kebijakan produksi pangan. Pemerintah telah
menetapkan berbagai kebijakan yang bertujuan agar pangan yang dikonsumsi
masyarakat beragam dan penurunan tingkat konsumsi beras. Di sisi lain, program
peningkatan pangan sejak tahun 2008 diutamakan untuk peningkatan produksi beras
melalui Program Peningkatan Produksi Beras (P2BN). Bahkan sejak tahun 2010,
pemerintah menetapkan target surplus beras 10 juta ton tahun 2014, sehingga anggaran
untuk program ini bertambah dan relatif tinggi karena kegiatannya yang juga bertambah.
Sebaliknya anggaran untuk pengembangan komoditas lain seperti umbi-umbian,
sayuran, buah-buahan dan jenis komoditas lain relatif kecil yang tidak merupakan target
sukses Kementerian Pertanian. Pemerintah memberikan bantuan alat penepung dan
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
41
bantuan peralatan lain untuk pengembangan olahan pangan lokal seperti ubikayu,
ganyong, talas ke masyarakat melalui kelompok wanita tani namun tidak diimbangi
kebijakan pengembangan produksi pangan lokal. Akhirnya usaha rumah tangga atau
UKM kesulitan untuk memperoleh bahan baku pangan lokal, ketidakseimbangan
perbandingan antara biaya pengembangan dan harga produk alternatif dengan beras.
e. Variasi kelembagaan ketahanan pangan di daerah. Dampak dari otonomi daerah,
pandangan pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur/Bupati/Walikota terhadap
pentingnya ketahanan pangan termasuk diversifikasi pangan sangat berbeda. Hal ini
ditunjukkan dengan penempatan kelembagaan yang menangani ketahanan pangan
(variasi setingkat eselon 2, 3, 4 atau tidak berupa eselon). Belum lagi dilihat dari aspek
kuantitas dan kualitas sumberdaya yang menangani ketahanan pangan, penempatan
orang sering tidak sesuai dengan kompetensinya.
f. Institusi yang menangani kebijakan diversifikasi konsumsi pangan terbatas. Seolah-olah
kegiatan ini hanya tugas Kementerian Pertanian dan kementerian Kesehatan karena
tampaknya belum ada kebijakan langsung atau tidak langsung yang dikeluarkan oleh
instansi lainnya. Kebijakan diversifikasi konsumsi pada tahun 1960-1970an dilakukan
oleh berbagai instansi/kelembagaan yang dikoordinir oleh Menko Kesra, namun
tampaknya setelah tahun tersebut, kebijakan ini hanya melibatkan sedikit lembaga,
bersifat sporadis dan tidak massif.
g. Promosi mi instan yang gencar dan jenis produknya yang cukup banyak dan bervariasi.
Adanya kebijakan impor gandum untuk diproses menjadi tepung di dalam negeri yang
berlangsung lama dan subsidi harga terigu oleh pemerintah, maka harga terigu menjadi
murah. Selain itu, kampanye yang intensif melalui berbagai jenis media seperti media
elektronik, product development yang diperluas dengan harga yang bervariasi dan
mudah diperoleh, turut mendorong peningkatan partisipasi konsumsi produk gandum
terutama berupa mi dan roti. Sehingga nilai impor gandum terus meningkat dan pada
tahun 2010, nilai impor gandum mencapai 7,2 juta ton, dengan nilai Rp 15 trilyun.
h. Pengembangan teknologi pengolahan non beras dan non terigu terbatas. Beras dan
terigu termasuk tepungnya dapat dijumpai di pasaran dengan mudah, sebaliknya untuk
tepung dari jagung, ganyong, talas, ubikayu dan ubijalar tersedia dalam jumlah terbatas
dan tidak kontinyu. Selain itu, teknologi pengolahan termasuk peralatannya untuk
pangan lokal belum berkembang optimal dibandingkan dengan beras dan terigu,
sebagai contoh dikenal rice cooker tetapi tidak ada corn cooker atau cassava cooker.
Kalaupun ada, perkembangan, penyebaran, penyerapan teknologi pengolahan pangan
lokal untuk meningkatkan kepraktisan dalam pengolahan, nilai gizi, nilai ekonomi, nilai
sosial, citra dan daya terima relatif lambat.
i. Kebijakan yang sentralistik dan penyeragaman, mengabaikan aspek budaya dan potensi
pangan lokal. Ketiadaan alat ukur keberhasilan program, program bersifat partial tidak
berkelanjutan dan tidak memiliki target kuantitatif yang disepakati bersama.
j. Riset diversifikasi konsumsi pangan masih lemah, bias pada beras, terpusat di Jawa-
Bali. Fokus pada on-farm, dana hanya dari pemerintah pusat, Selain itu juga kurangnya
kemitraan dengan swasta/industri dan LSM.
k. Menyempitkan arti diversifikasi konsumsi pangan, seolah-olah diversifikasi hanya untuk
makanan pokok. Padahal, diversifikasi konsumsi pangan seperti juga pada konsep
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
42
PPH, mencakup semua komoditas pangan, dalam arti makanan pokok dan makanan
pendamping.
l. Masih kurangnya sinergi untuk mendorong dan memberikan insentif bagi dunia usaha
dan masyarakat dalam mengembangkan aneka produk olahan pangan lokal. Demikian
pula masih kurangnya fasilitasi pemberdayaan ekonomi dan pengetahuan untuk
meningkatkan aksesibilitas pada pangan beragam, bergizi, seimbang dan aman.
m. Jumlah penduduk miskin dan pengangguran masih relatif besar walaupun dari tahun
ke tahun menurun. Mereka mempunyai kemampuan akses pangan yang rendah,
padahal pendapatan mempunyai korelasi positip dengan pola dan tingkat konsumsi
pangan termasuk kualitasnya.
n. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap diversifikasi pangan dan gizi masih
rendah. Dalam pola makan, kadang-kadang bertindak irasional, faktor gengsi kadang
lebih dominan daripada aspek kesehatan. Dalam hal ini termasuk kesadaran
masayarakat terhadap keamanan pangan.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


43
BAB VII
TINGKAT KONSUMSI DAN PERMINTAAN PANGAN

7.1. Tingkat Konsumsi Pangan


Data tingkat konsumsi pangan penting untuk diketahui terutama dikaitkan dengan
perkiraan kebutuhan pangan masyarakat, yang berimplikasi pada perkiraan kebutuhan
pangan yang dapat dipenuhi dari produksi sendiri maupun dari impor. Data yang digunakan
adalah data yang dibeli untuk konsumsi rumah tangga, tidak termasuk data konsumsi yang
berasal dari makanan/minuman jadi. Selama lima belas tahun terakhir, semua komoditas
sumber karbohidrat yang dianalisis mengalami penurunan seperti pada Tabel 7.1.
Penurunan konsumsi beras secara agregat sebesar 4,4% dan penurunan di kota lebih
besar dibandingkan dengan di desa.
Namun demikian, tingkat konsumsi beras masih 87,6 kg/kapita/tahun dan lebih besar
dibandingkan rata-rata dunia (60 kg/kap/tahun). Hal ini yang mengakibatkan tingkat
konsumsi beras masyarakat Indonesia relatif masih tinggi. Makmur (2010) mengatakan
bahwa konsumsi beras total untuk Indonesia tahun 2009 sebesar 139 kg/kapita/tahun lebih
besar dibandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Jepang,
misalnya sudah dibawah angka 100 kg, yaitu masing-masing sebesar 90 kg, 80 kg dan 60
kg.
Dengan semakin besar pengeluaran rumahtangga untuk pembelian
makanan/minuman jadi mengindikasikan adanya beras yang dibeli oleh rumahtangga dalam
bentuk nasi campur/nasi rames, nasi goreng, dan lontong/ketupat sayur. Tingkat konsumsi
pangan ini akan menambah tingkat konsumsi beras. Penurunan sangat tajam pada pangan
lokal seperti umbi-umbian akan mencabut kedaulatan pangan mengingat indonesia memiliki
keragaman pola konsumsi pangan pokok. Seperti di provinsi NTT yang terkenal dengan pola
pangan pokok sagu dan masyarakat pulau Papua dan Maluku terkenal dengan sagunya.
Adanya raskin yang didistribusikan kepada seluruh wilayah tanpa memperhatikan pola
pangan pokok setempat turut memicu beralihnya masyarakat dari pangan lokal ke beras.
Hasil penelitian Setiawan (2011) kasus di Desa Enoneontes dan Naukae, Kabupaten Timor
Tengah Selatan (TTS), NTT juga mengindikasikan bahwa di kalangan orang-orang muda
cenderung beralih ke beras. Mengkonsumsi pangan non beras dianggap tidak bergengsi
dibandingkan dengan beras. Hal ini juga menunjukkan bahwa pangan non beras yang
semula menjadi pangan pokok masyarakat di KTI seperti jagung di NTT, sagu di
Papua/Maluku, namun telah mengalami pergeseran ke arah beras. Kalaupun mereka
mengkonsumsi pangan non beras, namun status pangan tersebut sebagai pangan
komplementer atau pangan alternatif yang dikonsumsi dengan jumlah yang relatif kecil,
pada waktu-waktu tertentu dan pada kondisi tertentu.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


44
Tabel 7.1. Tingkat Konsumsi Pangan: Beras, Umbi-umbian dan Terigu
Menurut Wilayah, (kg/kap/th)
Kelompok Beras Ubi Ubi Sagu Umbi Terigu dan
Pangan kayu jalar lainnya turunannya
Kota
1996 102,3 4,7 2,0 0,2 2,9 2,4
1999 93,5 6,2 2,1 0,1 1,6 2,1
2002 89,8 5,6 2,2 0,1 2,6 2,9
2005 86,3 4,8 2,2 0,1 2,6 3,4
2008 83,3 5,6 1,6 0,1 2,5 4,0
2011 79,1 3,0 1,1 0,1 2,0 3,4
Laju Perub. (%) (4,8) (6,4) (7,5) (12,2) (2,2) 10,5
Desa
1996 116,8 16,2 3,5 0,8 2,3 1,4
1999 111,2 17,7 3,3 0,2 6,1 1,2
2002 109,7 16,3 3,1 0,4 8,1 1,9
2005 106,8 13,5 3,1 0,9 1,1 2,8
2008 103,7 13,7 3,6 0,9 1,8 3,4
2011 96,0 8,8 3,9 0,7 1,2 3,0
Laju Perub. (%) (3,4) (10,3) 2,4 9,2 (21,1) 19,4
Kota+Desa
1996 111,6 13,3 3,0 0,6 2,5 2,0
1999 103,8 12,7 2,8 0,1 1,3 1,6
2002 100,8 11,7 2,7 0,3 1,9 2,3
2005 97,9 9,9 3,1 0,6 2,2 3,1
2008 93,9 9,9 2,7 0,5 1,7 2,3
2011 87,6 6,1 2,5 0,4 1,6 3,2
Laju Perub. (%) (4,4) (12,5) (2,4) (8,6) (4,6) 10,5
Sumber : SUSENAS (diolah)
Keterangan : ( )= penurunan/negatif

Sagu dan umbi-umbian lainnya dikonsumsi dalam berbagai bentuk dan olahan. Di
Papua dan Maluku, sagu dikonsumsi sebagai papeda (baik papeda basah maupun kering),
sagu lempeng, kapurung, dan buburnee. Sebagai camilan yang lebih bersifat suplementer,
sagu dikonsumsi dalam bentuk bagea dan aneka kue sagu. Jagung di NTT dikonsumsi
dalam bentuk jagung bose, yaitu jagung putih kering dikelupas kulitnya, direbus dengan
campuran kacang-kacangan kering (seperti kacang jogo, kacang merah, atau kacang hijau).
Ariani dan Pasandaran (2005) mengatakan jagung di NTT dimasak menjadi jagung
pipil ketemek, jagung olahan tumbuk atau jagung bose dan jagung giling atau jagung mol.
Bahan tersebut kemudian dicampur dengan beras dan kacang-kacangan dan dimasak
bersama-sama. Proses pemasakan untuk jagung ketemek memerlukan waktu 2,5 jam,
sedangkan untuk jagung bose dan jagung mol masing-masing 2 jam dan 1 jam. Di Papua,
umumnya ubi jalar dikonsumsi dengan cara direbus, kukus, dibakar dengan istilah adat
bakar batu untuk acara/pesta adat. Dalam upacara adat suku Dani, seperti perkawinan,

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


45
kematian, pelantikan kepala suku, penyambutan tamu, pesta panen, dan festival budaya, ubi
jalar merupakan bahan pangan utama yang dimasak bersama beberapa ekor babi dengan
cara bakar batu (Peter,2001) dalam Limbongan dan Soplanit (2007). Oleh karenanya
dalam Undang-Undang Pangan No. 18 tahun 2012 mengamanatkan akan pentingnya
kedaulatan pangan dan kemandirian pangan untuk mencapai ketahanan pangan. Disisi lain,
diantara pangan sumber karbohidrat hanya terigu yang selalu meningkat tingkat
konsumsinya baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Menelisik pola konsumsi pangan sumber karbohidrat maka pemerintah harus
melakukan reorientasi program yang berbasis kemandirian pangan untuk meningkatkan
ketahanan pangan terutama pangan yang menjadi pangan pokok masyarakat. Argumen ini
beralasan karena pada awalnya masyarakat banyak mengkonsumsi pangan pokok yang
beranekaragam (makanan lokal), kemudian beralih ke beras sebagai penciri makanan
nasional, kemudian ke arah pangan berbasis terigu (pangan internasional). Disisi lain,
Indonesia merupakan negara yang berpenduduk besar dan salah satu dari 17 negara
megadiversity. Indonesia memiliki sumber-sumber bahan pangan yang sangat banyak,
antara lain: sekitar 100 jenis tanaman sumber karbohidrat, 75 jenis tanaman sumber
minyak/lemak, 26 jenis tanaman kacang-kacangan, 389 jenis tanaman buah-buahan, 228
jenis tanaman sayur-sayuran (Sukarya; 2012; Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan,
2012).
Perubahan konsumsi pangan lokal ke pangan internasional seperti roti, kue dan mi
instan membutuhkan perjuangan yang panjang dan peran pemerintah Orde Baru pada
waktu itu sangat dominan. Sawit (2003), terigu diperkenalkan secara intensif sejak awal
pemerintahan Orde Baru dalam rangka kebijakan stabilsasi harga pangan dan stabilisasi
ekonomi. Indonesia telah mengimpor terigu untuk mencapai tujuan tersebut karena harga
gandum relatif stabil dan volume yang diperdagangkan cukup banyak serta beras dan terigu
erat subsitusinya. Amerika Serikat mendorong kebijakan ini dengan memberikan cuma-
cuma dan hutang lunak untuk impor terigu. Kegiatan ini dilakukan setiap tahun dan pada
awal tahun 1970-an dibangun tiga pabrik pengolah biji gandum. Sejak ini impor gandum
berkembang dengan pesat. Dalam waktu yang sama, Amerika Serikat mengirim bebeapa
pakar pangannya ke Indonesia untuk mempengaruhi para pengambil kebijakan di lembaga
pemerintah dan mereka berhasil mempengaruhinya.
Walau awalnya masyarakat sulit sekali menerima makanan yang berasal dari terigu,
kampanye yang diperluas dan diintensifkan dengan salah satunya menjual terigu dengan
haga murah (50% lebih rendah dari harga internasional, sisanya disubsidi oleh pemerintah).
Bulog diberi hak monopoli impor gandum oleh pemerintah dan menggilingnya ke Bogasari
secara bagi hasil. Hasil giling berupa terigu dijual oleh Bulog melalui agen-agennya.
Inilah cikal bakal mengapa terigu masuk ke Indonesia dan dengan semakin gencarnya
promosi berbagai jenis dan kemasan mi instan dengan harga yang terjangkau, serta
banyaknya industri yang menghasilkan berbagai jenis roti, kue basah berbahan baku terigu
dan sejenisnya berdampak positif pada peningkatan konsumsi terigu dan turunannya. Pada
Tabel 4.9, konsumsi terigu dari tahun ke tahun terus meningkat. Bahkan konsumsi mi instan
di Indonesia No. 2 terbesar setelah Korea Selatan yaitu rata-rata 63 kemasan mi instan per
tahun per orang. Korea selatan Selatan mengonsumsi 69 mi instan per orang, Jepang 39,9
kemasan mi instan per orang per tahunnya dan Cina walaupun jumlah konsumsi mi instan
terbanyak (42,5 miliar paket mi instan tahun lalu), namun konsumsi per kapitanya 32

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


46
kemasan mi instan (http://id.berita.yahoo.com/cina-pengonsumsi-mi-instan-terbanyak-di-
dunia.html, diunduh tanggal 26 Mei 2012).
Volume dan nilai impor gandum terus meningkat baik dari segi nilai maupun volume.
Pada tahun 2011, nilai impor gandum mencapai USD 2.470 dengan volume 6,236 ton juta.
Impor ini cukup besar dan Indonesia semakin tergantung kepada produsen negara lain yang
dapat memberatkan neraca perdagangan Indonesia. Peningkatan impor gandum tentu tidak
terlepas dari perubahan selera konsumen akibat peningkatan pendapatan sebagian besar
penduduk Indonesia. Sementara gandum bukan tanaman asli Indonesia, meskipun sejarah
penanaman gandum telah dimulai awal abad 20 di Pengalengan, Dieng dan Tengger. Bagi
pemerintah, impor gandum yang semakin meningkat dari segi volume dan nilai menjadi
masalah tersendiri. Oleh sebab itu pemerintah Indonesia melakukan berbagai upaya untuk
mengatasi peningkatan impor gandum ini yang menjadi bagian program ketahanan pangan.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah mengembangkan tanaman gandum di
beberapa wilayah di Indonesia. Selain itu pemerintah juga mengupayakan perubahan pola
makanan dengan lebih banyak memproduksi produk lokal selain beras.
Perkembangan konsumsi pangan sumber protein hewani, vitamin/mineral, minyak
goreng dan gula pasir dapat dilihat pada Tabel 7.2 dan Tabel 7.3. Perkembangan konsumsi
pangan ini sebagai pijakan untuk menghitung permintaannya ke depan. Hal ini sekaligus
sebagai pijakan pemerintah untuk menentukan besaran kebutuhan pangan untuk tahun-
tahun berikutnya. Pola konsumsi ini mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan pola
konsumsi pangan masyarakat ke arah pangan yang berkualitas yang ditunjukkan dengan
penurunan konsumsi pangan sumber karbohidrat dan peningkatan konsumsi protein, vitamin
dan mineral. Apalagi konsumsi gula pasir juga menunjukkan penurunan. Kesemuanya hal
tersebut, harapannya akan terjadi peningkatan kualitas sumberdaya manusia.

Tabel 7.2. Tingkat Konsumsi Pangan: Daging, Telur, Susu, dan Kedelai
Menurut Wilayah, (kg/kap/th)
Kelompok Daging Daging Telur Susu Kedelai
Pangan sapi ayam
Kota
1996 1,2 5,3 6,6 1,3 5,8
1999 0,7 2,6 4,5 0,8 6,8
2002 0,9 4,9 6,9 0,6 8,0
2005 0,8 5,6 7,2 1,4 4,8
2008 0,6 5,0 7,4 1,4 7,1
2011 0,8 5,5 7,5 1,3 6,7
Laju Perub.(%) (8,2) 5,3 5,8 6,6 1,0
Desa
1996 0,3 2,6 4,1 0,4 4,9
1999 0,3 1,1 2,7 0,2 4,7
2002 0,3 2,0 4,2 0,4 6,1
2005 0,2 2,7 4,9 0,6 6,2
2008 0,2 2,7 5,2 0,7 3,5
2011 0,3 3,1 6,1 0,6 5,2

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


47
Laju Perub. (%) (4,3) 9,7 11,5 16,0 (1,1)
Kota+Desa
1996 0,6 3,5 5,0 0,7 5,5
1999 0,5 1,7 3,4 0,5 5,6
2002 0,5 3,3 5,4 0,7 6,9
2005 0,5 4,0 5,9 0,9 7,0
2008 0,36 3,8 6,2 1,1 6,2
2011 0,5 4,3 6,8 1,0 5,9
Laju Perub. (%) (4,6) 9,2 9,4 12,2 1,8
Sumber : SUSENAS (diolah)
Keterangan : ( )= penurunan/negatif

Tabel 7.3. Tingkat Konsumsi Pangan: Sayuran, Buah-buahan, Gula Pasir dan
Minyak Goreng Menurut Wilayah, (kg/kap/th)
Kelompok Pangan Sayuran Buah- Gula Pasir Minyak
buahan Goreng
Kota
1996 33,8 26,4 9,4 8,1
1999 32,0 19,8 8,6 7,7
2002 38,5 30,8 9,5 8,7
2005 39,5 27,4 8,5 8,5
2008 39,4 32,8 8,0 7,5
2011 34,3 24,9 6,5 8,4
Laju Perub. (%) 2,0 3,0 (5,9) 0,2
Desa
1996 39,2 23,5 8,5 6,6
1999 36,7 17,8 8,0 6,5
2002 41,3 25,9 9,0 7,7
2005 46,6 23,4 8,4 9,8
2008 52,7 30,9 8,8 10,0
2011 42,8 21,7 7,5 8,1
Laju Perub.(%) 4,7 3,3 (1,1) 7,1
Kota+Desa
1996 37,4 24,5 8,8 7,2
1999 33,9 18,6 8,2 7,0
2002 39,9 28,0 9,2 8,2
2005 42,5 25,2 8,4 8,1
2008 43,8 31,9 8,4 8,2
2011 39,0 23,1 7,0 8,2
Laju Perub.(%) 2,9 3,4 (3,2) 3,1
Keterangan : ( )= penurunan/negatif

Pola konsumsi pangan juga dipengaruhi oleh pendapatan seseorang. Dengan


peningkatan pendapatan, masyarakat akan leluasa untuk menentukan jenis pangan yang
diinginkan, kapan saja mampu mengkonsumsi. Selain itu dengan pendapatan yang leluasa,
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
48
seseorang juga akan dengan mendapatkan makanan, dapat membeli di restoran, warteg
dan lainnya. Penurunan konsumsi pangan sumber karbohidrat juga sebagai akibat
peningkatan pendapatannya. Seperti pada Tabel 7.4, semua komoditas pangan pokok
menurun seiring peningkatan pendapatan kecuali untuk terigu dan turunannya yang
meningkat secara signifikan.

Tabel 7.4. Tingkat Konsumsi Pangan: Beras, Ubi kayu, Ubi jalar, Sagu,
Umbi Lainnya dan Terigu Menurut Kelompok Pengeluaran,
2011 (kg/kap/th)
Kelompok Beras Ubi Ubi Sagu Umbi Terigu dan
Pengeluaran kayu jalar lainnya turunanya
I 66,7 16,6 5,5 9,7 1,0 0,4
II 77,1 19,0 10,1 1,7 1,8 0,9
III 83,2 9,4 6,6 0,9 1,1 1,4
IV 89,5 8,2 3,5 0,5 1,2 2,1
V 91,5 5,8 1,9 0,4 1,7 4,2
VI 90,3 4,7 1,9 0,3 2,3 5,1
VII 85,1 3,6 1,6 0,4 2,8 5,6
VIII 75,1 2,7 1,3 0,2 3,6 7,3

Pada kelompok pengeluaran terendah, konsumsi terigu hanya 0,4 kg/kapita/tahun


menjadi 7,3 kg/kapita/tahun pada kelompok pengeluaran tertinggi. Demikian pula, untuk
pangan sumber protein hewani, sayuran/buah, gula pasir dan minyak goreng (Tabel 7.5).
Peningkatan konsumsi pangan tersebut sebagai akibat peningkatan pendapatan
masyarakat. Dengan peningkatan perekonomian Indonesia yang diprogramkan oleh
pemerintah dengan penetapan laju pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat maka
diharapkan pendapatan masyarakat juga meningkat. Peningkatan pendapatan akan
berdampak pada perubahan pola konsumsi pangannya. Mengacu kasus pada pola pangan
selama ini, peningkatan pendapatan akan menurunkan pangan sumber karbohidrat,
sebaliknya meningkatkan pangan sumber protein dan vitamin/mineral.
Tabel 7.5. Tingkat Konsumsi Pangan: Daging, Telur, Susu, dan Kedelai Menurut
Kelompok Pengeluaran, 2011(kg/kap/th)
Kelompok Daging Daging Telur Susu Kedelai Sayuran Buah Gula Minyak
Pengeluaran sapi ayam buahan Pasir Goreng
I 0,0 0,0 1,7 0,1 0,8 23,7 8,7 3,0 4,2
II 0,0 0,2 2,1 0,1 2,8 30,7 7,5 3,7 5,0
III 0,0 0,9 3,0 0,2 3,9 31,9 9,7 4,5 6,4
IV 0,1 1,5 4,6 0,3 5,3 35,3 13,2 5,8 8,2
V 0,2 3,1 6,4 0,8 6,1 38,3 18,7 7,0 10,0
VI 0,6 5,6 8,1 1,3 6,5 42,4 27,1 8,0 10,2
VII 0,9 7,3 9,3 1,9 6,6 43,0 34,0 8,3 12,6
VIII 2,0 9,8 9,9 2,9 6,7 45,7 45,3 8,2 12,7

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


49
7.2. Proyeksi Kebutuhan Pangan untuk Konsumsi tahun 2020
Proyeksi permintaan konsumsi pangan hanya dilakukan untuk beberapa jenis pangan
terutama dikaitkan dengan komoditas strategis pemerintah yaitu beras, terigu dan
turunannya, kedelai, gula pasir, minyak goreng, daging sapi, daging ayam dan telur. Data
yang digunakan adalah data SUSENAS tahun 1996-2011 untuk menghitung proyeksi
konsumsi secara agregat nasional, sedangkan SUSENAS tahun 2006-2011 untuk proyeksi
konsumsi menurut kelompok pengeluaran (disesuaikan dengan kesamaan dalam hal jumlah
dan nilai rupiah dari masing-masing kelompok). Proyeksi konsumsi pangan secara agregat
dilakukan untuk mengetahui berapa perkiraan pangan yang dibutuhkan untuk konsumsi
masyarakat. Selanjutnya hasil ini digunakan sebagai pijakan dalam menentukan
ketersediaan pangan, berapa kemampuan dari produksi sendiri dan berapa dari impor.
Sementara itu, proyeksi konsumsi pangan menurut kelompok pangan dilakukan untuk
mengetahui besaran kebutuhan konsumsi pangan per kelompok dengan memperhatikan
perubahan komposisi penduduk menurut kelompok pangan.
Data dasar yang digunakan untuk menghitung proyeksi pangan adalah data konsumsi
pangan tahun 2011 dan laju perubahan permintaan pangan seperti pada Tabel 7.6. Kedua
tabel tersebut digunaan untuk menghitung proyeksi konsumsi pangan secara agregat. Data
penduduk yang digunakan untuk proyeksi adalah penduduk tahun 2010 sebagai tahun dasar
(237.641.326 juta orang) dengan laju pertumbuhan mengikuti laju pertumbuhan penduduk
tahun 2000-2010 yaitu 1,49 persen per tahun (BPS, 2012). Proyeksi penduduk secara
agregat untuk setiap tahun pada kurun waktu 2013 sampai 2020 seperti pada Tabel 7.7.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


50
Tabel 7.6. Tingkat Beberapa Komoditas Pangan dan Laju Perubahannya
Menurut Kelompok Pengeluaran
Komoditas I II III IV V VI VII VIII
Beras
2011 66,7 77,1 83,2 89,5 91,5 90,3 85,1 75,1
Laju Perub. (%) 0,17 0,71 1,15 (1,18) (1,6) (1,5) (1,5) (1,7)
Terigu
2011 0,4 0,9 1,4 2,1 2,9 3,8 4,3 4,7
Laju Perub. (%) 1,47 (20,0) (2,78) (0,97) (1,24) (0,42) (1,64) (3,10)
Kedelai
2011 0,8 2,8 3,9 5,3 6,1 6,5 6,6 6,7
Laju Perub. (%) (12,70) (2,57) (1,86) (1,72) (3,14) (3,85) (5,18) (5,64)
Gula Pasir
2011 3,0 3,7 4,5 5,8 7,0 8,0 8,3 8,2
Laju Perub. (%) (2,52) (3,38) (2,65) (2,85) (2,61) (2,39) (3,79) (4,78)
Minyak goreng
2011 3,3 4,0 5,2 6,7 8,0 9,3 10,1 10,2
Laju Perub. (%) 6,53 1,27 2,71 3,41 2,83 2,58 2,29 1,68
Daging sapi
2011 0,001 0,001 0,001 0,10 0,2 0,6 0,9 2,0
Laju Perub. (%) 0 0 (33,27) (2,98) (2,45) (14,09) (0,52) (1,58)
Daging ayam
2011 0,01 0,2 0,9 1,5 3,1 5,6 7,3 9,8
Laju Perub. (%) (20,11) (7,35) 6,17 0,80 2,15 3,15 1,29 3,57
Telur
2011 1,69 2,1 3,0 4,6 6,4 8,1 9,3 9,9
Laju Perub. (%) 31,40 7,85 5,96 3,97 2,63 (1,65) (1,65) 0,82
Keterangan : ( )= penurunan/negatif

Sementara itu, proporsi penduduk menurut kelompok pengeluaran pada tahun 2020
dihitung dengan mempertimbangkan laju proporsi penduduk selama kurun waktu tahun
2007 sampai 2011, pertumbuhan ekonomi dan inflasi pada kurun waktu tersebut.
Pertumbuhan ekonomi selama ahun 2007 sampai 2011 bila dijumlahkan menjadi 31,18%,
sedangkan untuk inflasi menjadi 29,65, sehingga pertumbuhan ekonomi riil sebesar 1,53%.
Selain itu, asumsi pertumbuhan ekonomi selama kurun waktu 2013-2010 adalah 6,5% per
tahun dan Inflasi sebesar 5% per tahun. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, proporsi
dan jumlah penduduk menurut kelompok pengeluaran pada tahun 2020 sepeti pada Tabel
7.8.
Tabel 7.7. Proyeksi Jumlah Penduduk (Orang)
Tahun Jumlah Penduduk (orang)
2013 248.422.956
2014 252.124.458
2015 255.881.112
2016 259.693.741
2017 263.563.177
2018 267.490.269
2019 271.475.874
2020 275.520.864
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
51
Hasil proyeksi permintaan beberapa jenis pangan untuk konsumsi masyarakat
berdasarkan data SUSENAS disajikan pada Tabel 7.9 sampai Tabel 7.13. Kebutuhan beras
untuk konsumsi masyarakat pada tahun 2020 diperkirakan sekitar 16,1 juta ton. Walaupun
mengalami penurunan dibandingkan keadaan sekarang (diperlukan sekitar 20-an juta ton),
namun pemerintah tetap harus waspada dikarenakan lahan untuk menanam padi semakin
terbatas. Konversi lahan petanian ke non pertanian terus berlangsung, walaupun pemerintah
telah menetapkan Undang-Undang LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan), yang
mengamanatkan untuk mencegah alih fungsi lahan pertanian dan menetapkan lahan
pertanian abadi. Operasionalisasi hal tersebut masih belum berjalan di lapangan.

Tabel 7.8. Proporsi Penduduk Menurut Kelompok Pengeluaran (Orang)


Kelompok Proporsi Penduduk Proporsi Penduduk Jumlah Penduduk
Pengeluaran 2011 2020 2020
I 0,05 0,005 13.776
II 1,4 0,235 647.474
III 5,8 1,644 4.529.563
IV 20,8 11,191 30.833.540
V 30,9 25,316 69.750.862
VI 19,6 22,973 63.295.408
VII 9,2 13,734 37.840.035
VIII 12,2 24,905 68.610.206

Pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu ke II, menetapkan lima komoditas strategis


utama yaitu beras, jagung, kedelai, minyak goreng dan gula pasir, yang diupayakan untuk
mencapai swasembada (dihitung dari produksi pangan dibagi dengan kebutuhannya).
Pencapaian pada tahun 2012 menunjukkan bahwa untuk beras dan jagung telah tercapai
swasembada (Suryana, 2012), namun untuk komoditas lainnya masih perlu diupayakan
peningkatan produksinya seperti pada Tabel 7.14.
Ke depan persaingan sumberdaya lahan juga semakin ketat dikarenakan jumlah
penduduk juga terus meningkat, sehingga akan terjadi persaingan lahan untuk pemukiman,
produksi pangan dan industri. Selain itu, penanaman padi juga memerlukan air yang cukup
untuk mendapatkan produktivitas yang tinggi. Padahal dengan adanya perubahan iklim
berdampak pada perubahan pola hujan yang tidak menentu, yang tentu saja akan
menyulitkan petani. Konsumsi pangan masih tetap didominasi oleh beras sebagai sumber
karbohidrat atau pangan pokok, akan memberatkan bagi upaya pemantapan ketahanan
pangan yang berkelanjutan.
Oleh karena itu, upaya pengembangan pangan lokal seperti umbi-umbian, sagu harus
mendapat porsi yang layak. Penanaman pangan ini relatif mudah dibandingkan dengan
beras seperti tidak memerlukan air dalam jumlah yang banyak dan kebutuhan input produksi
juga rendah. Pengembangan pangan ini tidak hanya terkait budidaya tanaman (yang
memang selama ini cenderung dibiarkan oleh pemerintah) tetapi juga dalam hal
pengolahannya, sehingga produk olahan pangan yang dihasilkan akan menarik bagi

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


52
konsumen/masyarakat. Disisi lain, penyadaran masyarakat akan konsumsi makanan yang
beranekaragam terus harus dilakukan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat.

Tabel 7.9. Proyeksi Permintaan Beberapa Jenis Pangan untuk


Konsumsi Masyarakat (kg/kap/th)
Komoditas 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Beras 80,1 76,5 73,2 70,0 66,9 63,9 61,1 58,4
Terigu 3,9 4,3 4,8 5,3 5,8 6,4 7,1 7,9
Daging sapi 0,5 0,4 0,4 0,4 0,4 0,4 0,3 0,3
Daging ayam 5,1 5,6 6,1 6,7 7,3 8,0 8,7 9,5
Telur 8,1 8,9 9,7 10,7 11,7 12,8 14,0 15,3
Kedelai 6,1 6,2 6,3 6,5 6,6 6,7 6,8 6,9
Gula pasir 7,5 7,7 7,9 8,2 8,5 8,7 9,0 9,3
Minyak goreng 8,7 9,0 9,3 9,6 9,8 10,2 10,5 10,8

Tabel 7.10. Proyeksi Permintaan Beberapa Pangan untuk


Konsumsi Masyarakat (ribu ton)
Jenis 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020
Pangan
Beras 19.888,9 19.297,1 18.722,9 18.165,8 17.625,3 17.100,8 16.592,0 16.098,3
Terigu 970,7 1.088,6 1.220,8 1.369,1 1.535,4 1.721,8 1.931,0 2.165,5
Daging sapi 113,0 109,5 106,0 102,6 99,3 96,2 93,1 90,2
Daging ayam 1.273,8 1.411,7 1.564,6 1.734,0 1.921,7 2.129,8 2.360,4 2.615,9
Telur 2.021,8 2.244,8 2.492,4 2.767,3 3.072,5 3.411,4 3.787,7 4.205,5
Kedelai 1.518,9 1.569,3 1.621,4 1.675,1 1.730,7 1.788,1 1.847,4 1.908,7
Gula pasir 1.852,0 1.939,8 2.031,7 2.127,9 2.228,7 2.334,3 2.444,9 2.560,8
Minyak
goreng 2.165,3 2.265,7 2.370,8 2.480,7 2.595,7 2.716,0 2.841,9 2.973,7

Tabel 7.11. Proyeksi Permintaan Pangan Menurut Kelompok Pangan, 2020


(kg/kap/tahun)
Komoditas I II III IV V VI VII VIII
Beras 67,7 82,2 92,2 80,4 79,1 78,8 74,3 64,4
Terigu 0,5 0,1 1,1 1,9 3,8 4,9 4,8 5,5
Daging sapi 0,0 0,0 0,0 0,1 0,2 0,2 0,9 1,7
Daging ayam 0,0 0,1 0,5 1,6 3,8 7,4 8,2 13,4
Telur 19,7 4,1 5,1 6,5 8,1 7,0 8,0 10,7
Kedelai 0,2 2,2 3,3 4,5 4,6 4,6 4,1 4,0
Gula pasir 2,4 2,7 3,5 4,5 5,5 6,5 5,9 5,3
Minyak goreng 7,4 5,6 8,1 11,1 12,9 12,8 15,4 14,8

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


53
Tabel 7.12. Proyeksi Permintaan: Beras, Terigu, Kedelai dan Gula Pasir
Menurut Kelompok Pengeluaran, 2020 (ton)
Kelompok Beras Terigu Kedelai Gula pasir
Pengeluaran
I 933,0 6,3 3,2 32,8
II 53.202,3 78,2 1434,2 1.758,0
III 417.707,8 4.920,2 14.918,9 16.006,4
IV 2.479.990,8 59.312,2 139.793,0 137.859,5
V 5.519.840,9 261.835,5 319.286,0 384.837,1
VI 4.988.684,4 310.807,5 288.954,3 409.178,4
VII 2.810.652,6 182.602,2 154.737,3 221.825,5
VIII 4.415.809,4 377.246,8 272.618,2 362.039,7

Tabel 7.13. Proyeksi Permintaan: Minyak Goreng, Daging Sapi, Daging Ayam
dan Telur Menurut Kelompok Pengeluaran, 2020 (ton)
Kelompok Minyak goreng Daging sapi Daging ayam Telur
Pengeluaran
I 102,2 0 0 271,9
II 3.626,8 0 65,1 2.684,3
III 36.876,6 0 2.298,1 22.880,0
IV 341.900,8 2.348,4 49.688,9 201.351,0
V 896.660,6 11.159,0 261.852,4 563.895,4
VI 811.963,7 9.681,0 468.579,5 441.394,1
VII 584.548,7 32.495 310.008,4 302.972,9
VIII 1.012.307,1 118.896,5 921.978,1 731.045,1

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


54
Tabel 7.14. Capaian Indeks Swasembada Komoditas Pangan Utama 2011-2012
No Komoditas (ribu ton) 2011*) 2012**)
1 Beras Produksi 36.969 38.767
Kebutuhan 33.045 33.035
Indeks swasembada 111,87 117,35
2 Jagung Produksi 17.643 18.961
Kebutuhan 15.272 16.097
Indeks swasembada 115,52 117,79
3 Kedelai Produksi 851 783
Kebutuhan 2.122 2.246
Indeks swasembada 40,10 34,84
4 Daging sapi Produksi 292.45 399.32
Kebutuhan 449.31 484.07
Indeks swasembada 65,09 82,49
5 Tebu/gula Produksi 2.230 2.660
Kebutuhan 2.790 2.850
Indeks swasembada 79,93 93,33
Keterangan: *) ATAP 2011 **) ARAM II 2012 (BPS) untuk padi, jagung dan
kedelai, dan prognosa untuk daging sapi dan gula; Indeks
Swasembada: produksi/ kebutuhan

7.3. Perspektif Pola Konsumsi Pangan Ke Depan


Banyak faktor yang mempengaruhi pola konsumsi pangan masyarakat namun dua
aspek utama yang mempengaruhi hal tersebut adalah tingkat pendapatan dan pengetahuan
pangan dan gizi masyarakat. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan
masyarakat terus meningkat yang juga dapat diartikan terjadi peningkatan pendapatan
masyarakat. Perubahan pendapatan akan berdampak pada perubahan pola konsumsinya
dan dampak tersebut dapat positif dan dapat pula negatif. Dalam arti, perubahan
pendapatan akan mengubah pola konsumsi pangan yang berdampak positif pada kesehatan
dan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan untuk kebalikannya.
Selama 15 tahun terakhir telah terjadi perubahan konsumsi pangan yang dicirikan
dengan: (a) Perubahan dominasi pangsa pengeluaran dari padi-padian menjadi pada
kelompok makanan/minuman jadi, (b) Peningkatan konsumsi energi dan protein, namun
untuk konsumsi energi masih belum sesuai anjuran, (c) Penurunan kualitas konsumsi
pangan(mengacu pada PPH), (d) Penurunan konsumsi pangan sumber karbohidrat seperti
beras, umbi-umbian, jagung, kecuali untuk terigu terus meningkat, (e) Peningkatan
konsumsi pangan sumber protein kecuali daging sapi, (f) Peningkatan konsumsi kedelai dan
minyak goreng, (g) Peningkatan konsumsi sayur dan buah, namun tingkat konsumsinya
tahun 2011 lebih rendah daripada tahun 2010, dan (h) Penurunan konsumsi gula pasir.
Selain itu, semakin tinggi pendapatan, pangan sumber karbohidrat akan turun kecuali untuk
terigu. Sebaliknya terjadi peningkatan konsumsi pangan sumber protein, gula pasir dan
minyak goreng.
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menganggap konsumsi garam, gula dan
lemak di Indonesia berlebihan sehingga rentan menimbulkan berbagai penyakit seperti

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


55
hipertensi, diabetes, jantung koroner, kanker dan stroke. Konsumsi garam yang dianjurkan
per orang per hari adalah 5 gram (setara 1 sendok teh), gula sebanyak 50 gram (4 sendok
makan) dan konsumsi lemak sebanak 78 gram (1,5-3 sendok makan). Untuk mencegah hal
ini, pemerintah akan mengatur dan menerbitkan buku saku tentang pembatasan konsumsi
garam, gula dan lemak sebagai pedoman konsumsi.
Situasi kesehatan dari hasil Riset Penelitian Kesehatan (Riskesdas) tahun 2010 antara
lain menunjukkan: (a) Prevalensi (proporsi) anak balita gemuk (overweight dan obese)
mengalami kenaikan, yaitu dari 12,2% pada tahun 2007 menjadi 14,0% pada tahun 2010,
(b) Masalah anak balita pendek merupakan masalah tertinggi yang dihadapi balita di
Indonesia, (c) Prevalensi anak gemuk meningkat, dari 5,2% pada tahun 2007 menjadi 5,9%
pada tahun 2010, (d) Prevalensi orang gemuk meningkat, dari 21,3% tahun 2007 menjadi
22,8% tahun 2010. Selain itu prevalensi orang dewasa yang obesitas dan hipertensi juga
meningkat. Hasil analisis penyebab kematian di Indonesia dari tahun 1995 (Survey
Kesehatan Rumah Tangga) sampai dengan 2007 (Riskesdas) menunjukkan bahwa terjadi
kecenderungan kematian yang disebabkan oleh penyakit tidak menular (PTM) meningkat
dan penyakit menular (PM) mulai berkurang. Urutan penyebab utama kematian adalah
stroke, hipertensi, diabetes, tumor ganas, dan penyakit jantung iskemik.
Kejadian obesitas diperberat dengan rendahnya aktivitas fisik, perubahan pola hidup,
rendahnya konsumsi sayur dan buah, pola makan tidak sehat, dan banyak faktor lain seperti
merokok dan lain-lain. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah penderita
diabetes melitus (DM) tipe 2 di Indonesia meningkat tiga kali lipat dalam 10 tahun dan pada
2010 mencapai 21,3 juta orang. Penambahan penderita terutama terjadi di kawasan urban
karena gaya hidup yang tidak sehat (Widjoyo, 2011).
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka pola konsumsi pangan yang seimbang
dengan konsep diversifikasi pangan merupakan hal yang mutlak untuk mencapai kesehatan
yang prima dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Upaya yang dilakukan untuk
mencapai hal tersebut dengan memperhatikan hasil analisis sebagai berikut :
a. Perubahan cara berpikir atau cara pandang terhadap pola konsumsi makan. Makan
asal kenyang diubah menjadi makan untuk sehat sehingga pangan yang dikonsumsi
harus memperhatikan kaidah-kaidah gizi dan kesehatan. Pangan yang dikonsumsi
setiap hari harus beragam, bergizi, seimbang dan aman. Untuk hal tersebut, pangan
tidak harus mahal, karena telah tersedia aneka jenis pangan dengan harga yang
bervariasi disesuaikan dengan daya belinya. Selain itu juga tersedia jenis pangan yang
dapat disubsitusi dengan pangan lain. Sebagai contoh, beras dapat disubsitusi dengan
jagung, umbi-umbian, sagu; ikan tongkol dapat disubsitusi dengan ikan teri, gurame dan
lainnya.
b. Peningkatan pendapatan harus berdampak positip terhadap kualitas konsumsi
pangan dan kesehatan. Oleh karena itu, upaya penyadaran kepada seluruh lapisan
masyarakat menjadi penting. Hasil evaluasi lambatnya pencapaian diversifikasi pangan
menjadi acuan untuk menyusun kebijakan dan mengimplementasinya ke depan.
c. Proyeksi permintaan beberapa pangan tahun 2020 mengalami peningkatan.
Pemenuhan kebutuhan pangan diupayakan dari dalam negeri dengan memperhatikan
potensi sumber daya lokal sesuai amanat Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang
Pangan terkait dengan kemandirian dan kedaulatan pangan dalam mencapai ketahanan

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


56
pangan. Dengan semakin terbatasnya lahan pertanian akibat konversi lahan dan
perubahan iklim serta faktor lainnya, diperkirakan upaya peningkatan penyediaan
pangan semakin berat. Upaya lain yang dapat dilakukan dengan mengurangi atau
menghilangkan pemborosan dan kehilangan pangan. Pemborosan pangan (food waste)
terjadi mulai dari pasar retail dan sampai di rumah seperti masih banyak makanan yang
tersisa sewaktu makan, apalagi di tempat hajatan, disimpan terlalu lama dikulkas, terlalu
lama di pasar karena tidak ada yang membeli sehingga menjadi kadaluwarsa, dan
lainnya. Pemborosan tingkat pengecer dan konsumsi pada beras pada tahun 2011
dengan produksi sebesar 41,07 juta ton mencapai 9,5% atau sekitar 3.901,5 ribu ton.
Sementara itu, kehilangan pangan (food loss), pada padi/beras juga masih sekitar
13,0% (terjadi pada proses produksi dan rantai pangan, mulai tahap produksi, pasca
panen, sampai tahap pengolahan).
d. Penguatan kelembagaan yang menangani masalah pangan terutama terkait
dengan perubahan konsumsi pangan. Selama ini sepertinya tidak ada yang mengatur
atau mempengaruhi masyarakat untuk mengkonsumsi makanan yang sehat. Berbagai
media seperti media massa, elektronik lebih mengedepankan aspek iklan pangan yang
belum tentu benar. Sebagai contoh, apabila terjadi peralihan konsumsi pangan dari
beras ke gaplek, para awak media menyampaikan berita tejadi rawan pangan atau
pemiskinan, bukan sebaliknya sebagai upaya diversifikasi yang menyehatkan.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


57
BAB VIII
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

8.1. Kesimpulan
a. Tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia yang diukur dengan pangsa
pengeluaran pangan baik di perkotaan maupun di pedesaan semakin membaik.
Upaya peningkatan kesejahteraan terutama masyarakat pedesaan harus
mendapat prioritas, sehingga kesenjangan kesejahteraan di kedua wilayah secara
bertahap dapat diperkecil.
b. Terdapat perubahan pola pengeluaran masyarakat dari dominan pada kelompok
padi-padian ke kelompok makanan/minuman jadi. Sementara pola pengeluaran
untuk kelompok pangan yang lain relatif sama dari tahun ke tahun. Perubahan ini
menuntut pengembangan usaha di sektor makanan/minuman disesuaikan dengan
kebutuhan dan kemampuan masyarakat. Usaha makanan juga harus
memperhatikan faktor keamanan pangan, sehingga perlunya pembinaan terutama
bagi usaha rumahtangga dan kecil.
c. Pola konsumsi masyarakat sudah mengarah kepada pola konsumsi anjuran baik dari
segi kebutuhan energi, protein, namun untuk keragaman konsumsi masih perlu
ditingkatkan. Pangan dominan masih dari beras sebagai sumber energi dan
protein, sementara pangan lokal seperti umbi-umbian, sagu menurun tingkat
konsumsinya. Sebaliknya konsumsi terigu dan turunannya meningkat. Diantara
pangan sumber protein hewani, konsumsi daging sapi mengalami penurunan
selama 15 tahun terakhir. Demikian pula konsumsi gula pasir juga menurun,
sebaliknya konsumsi minyak goreng terus meningkat.
d. Peningkatan pendapatan berdampak pada perubahan pola konsumsi pangan yaitu
mengurangi pangan sumber karbohidrat dan meningkatkan pangan sumber
protein, vitamin dan mineral. Namun perubahan pola konsumsi tidak hanya
ditentukan oleh faktor pendapatan tetapi juga pengetahuan masyarakat akan
pangan dan gizi.
e. Permintaan pangan pada tahun 2020 pada umumnya masih tinggi terutama pada
kelompok menengah, yang jumlahnya masih relatif besar dalam struktur penduduk.
Secara agregat, permintaan beras pada tahun 2020 diperkirakan sekitar 16,1 juta
ton, sedangkan untuk terigu, kedelai dan gula pasir masing-masing sekitar 2,1 juta
ton; 1,9 juta ton dan 2,6 juta ton. Untuk minyak goreng sekitar 3,0 juta ton dan
daging sapi diperkirakan sekitar 90,2 ribu ton.

8.2. Rekomendasi Kebijakan


a. Pola konsumsi masyarakat akan berubah seiring dengan perubahan pendapatan.
Namun untuk mendapatkan kualitas sumberdaya yang berkualitas (sehat dan
cerdas) maka pengetahuan masyarakat akan pangan dan gizi harus terus
ditingkatkan, sehingga masyarakat hanya akan mengkonsumsi makanan yang
berkualitas, yang menyehatkan dan mencerdaskan. Upaya penyadaran ini tidak
dapat hanya bersandarkan pada kebijakan dari pemerintah, namun juga semua

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


58
elemen seperti swasta dan masyarakat. Promosi produk makanan dilakukan
secara benar dan tidak menyesatkan konsumen.
b. Upaya diversifikasi konsumsi pangan pokok berbasis sumberdaya lokal tidak dapat
lagi dilakukan dengan himbauan-himbauan. Pemerintah harus secara signifikan
berperan untuk mewujudkan hal tersebut, seperti peran pemerintah mengalihkan
pola makan masyarakat dari makanan lokal (umbi-umbian, jagung, sagu) ke beras
dan produk terigu. Pemerintah harus berperan dalam pengembangan industri
pengolahan pangan berbasis sumberdaya lokal dan penyadaran masyarakat. Pada
tahap awal, produk olahan ini diberikan secara gratis oleh pemerintah dapat
melalui raskin, pangan darurat dan lainnya. Penyadaran juga dilakukan kepada
media (elektronik/surat kabar) dan semua elemen bahwa mengkonsumsi pangan
produk lokal bukan karena kelaparan atau miskin seperti sinyalemen pada saat ini.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


59
DAFTAR PUSTAKA

Ariani, M; H.P Saliem; S.H. Suhartini; Wahida dan M,H, Sawit; 2000. Dampak Krisis
Ekonomi Terhadap Konsumsi Pangan Rumahtangga. Laporan Hasil Penelitian.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.
Anonimous. 2012. Pidato Pengarahan Menteri Pertanian pada Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi X. Jakarta, 22 November, Jakarta,
Ariani, M. 2012. Rekonstruksi Pola Pangan Masyarakat dalam Upaya Percepatan
Diversifikasi angan Mendukung Program MP3EI. Dalam Buku : Kemandirian Pangan
Indonesia dalam Perspektif Kebijakan MP3EI. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Kementerian Pertanian,
Ariani, M dan Ashari. 2003. Arah, Kendala dan Pentignya Diversifikasi Konsumsi Pangan di
Indonesia. Forum Agro Ekonomi, Vol, 21, No, 2, Desember, Bogor.
Ariani, M dan E. Pasandaran. 2005. Pola Konsumsi dan Permintaan Jagung untuk Pangan.
Buku Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Jakarta.
Anonimous. 2009. Peraturan Presiden Republik Indonesia No, 22 Tahun 2009 Tentang
Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumberdaya
Lokal, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. Beberapa tahun. Pengeluaran Penduduk Indonesia, BPS, Jakarta
Badan Pusat Statistik. Beberapa tahun. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia
dan Propinsi. BPS, Jakarta
Badan Pusat Statistik. 2011. Konsumsi Perkapita Menurut Golongan Pengeluaran Penduduk
Indonesia dan Provinsi. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Indonesia. BPS, Jakarta
BAPPENAS. 2006. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Jakarta,
Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. 2009. Direktori Pengembangan
Konsumsi Pangan. Jakarta
Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. 2012. Direktori Pengembangan
Konsumsi Pangan. Jakarta
Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. 2012. Pedoman Umum Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Jakarta
Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. 2012. Roadmap Diversifikasi Pangan
Tahun 2011-2015. Jakarta Bank Indonesia. 2011. Ketahanan Perekonomian
Indonesia di Tengah Ketidakpastian Ekonmi Global. Laporan Perekonomian
Indonesia. Jakarta
Departemen Pertanian RI. 2007. Pedoman Penyusunan Pola Pangan Harapan. BKP,
Kementan : Jakarta.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


60
Forum Kerja Penganekaragaman Pangan. 2003. Penganekaragaman Konsumsi Pangan
Prakarsa Swasta dan Pemerintah Daerah. Jakarta,
FAO. 1996. Rome Declaration and World Food Summit Plan of Action, Rome, Available at:
www,fao,org/docrep/003/X8346E/x8346e02,htm#P1_10,
Firmansyah. 2013. Ekonomi Global dan Resiko 2013. Sekretariat Kabinet RI, Minggu, 06
Januari 2013.
Sumber : Hanani (tanpa tahun)http://nuhfil.lecture.ub.ac.id/files/ 2009/03/ 2-pengertian-
ketahanan-pangan-2.pdf
Hattas, Z. 2011. Pola Konsumsi Masyarakat. http://ekonkop,blogspot,com/ 2011/11/pola-
konsumsi-masyarakat,html
Hardono, G,S. 2012. Analisis Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Beberapa
Provinsi. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kantor Menko Kesra. 1989. Pola Umum Perbaikan Menu Makanan Rakyat. Jakarta
Krisnamurthi,B. 2003. Penganekaragaman Pangan: Pengalaman 40 tahun dan Tantangan
ke Depan. Jurnal Ekonomi Rakyat, Th, II, No, 7, Oktober.
Kementerian Pertanian. 2009. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2009-2014.
Jakarta.
Kementerian Kesehatan. 2005. Peraturan Menteri Kesehatan No. 1593/Menkes/SK/XI/2005,
Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan Bagi Bangsa Indonesia. Departemen
Kesehatan, Jakarta.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS. 2010. Laporan
Pencapaian Tujuan pembangunan Milenium di Indonesia. Jakarta
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Master Plan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta
Kementerian Pertanian RI. 2012. Road Map Diversifikasi Pangan 2010-2015. BKP-
Kementan : Jakarta.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS. 2010. Laporan
Pencapaian Tujuan pembangunan Milenium di Indonesia. Jakarta
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011. Master Plan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta
Kemenkes. 2011. Seribu Hari Untuk negeri. Dfat Panduan Gerakan Nasional Sadar Gizi
Menuju Indonesia Prima. (www,depkes,go,id, diunduh tanggal 10 April 2012)
Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM). 2012. UKM Bidang Pangan,
(Online),http://www,depkop,go,id/index,php?option=comcontent&view=article&id=466
:kemenkop-7941-persen-ukm-pangan. 28 Oktober 2012.
Limbongan, J dan A. Soplanit. 2007. Ketersediaan Teknologi dan Potensi Pengembangan
Ubijalar (Ipomoea batatas L.) di Papua. Jurnal Jurnal Litbang Pertanian, 26(4).

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


61
Makmur, Mulyono. 2010. Kebijakan Umum Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan
Pangan. Bahan disampaikan pada Workshop Dewan Ketahanan Pangan, 20-22
September. Jakarta.
Martianto, D. 2005. Pengembangan Diversifikasi Konsumsi Pangan Seminar
Pengembangan Diversifikasi Pangan Bappenas, 21 Oktober.
Melgar-Quinonez, HR, AC Zubieta, B MkNelly, A Nteziyaremye, MFD Gerardo & C Dunford,
2006, Household Food Insecurity and Food Expenditure in Bolivia, Burkina Faso, and
the Philippines, J Nutr 2006;136:1431S-1437S.
Mahatama, E dan Afrianto. 2012. Tinjauan Pasar Tepung Terigu. Majalah Kementerian
Perdagangan. Edisi 02/TRG/TKSPP.
Nurmanaf, A,R, dan SH Susilowati. 2000. Struktur Kesempatan Kerja dan Kaitannya dengan
Pendapatan dan Pengeluaran Rumahtangga Pedesaan (Editor: IW, Rusastra dkk).
Prosiding Perspektif Pembangunan Pertanian dan Pedesaan dalam Era Otonomi
Daerah, hal 88-93. Pusat Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.
Pakpahan, A, P; Saliem dan S.H. Suhartini. 1993. Penelitian Tentang Ketahanan Pangan
Masyarakat Berpendapatan Rendah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Petanian.
Bogor.
Pakpahan. 2012. Pembangunan Sebagai Pemerdekaan, Pemikiran untuk Membalik Arus
Sejarah Pembangunan Nasional. Penerbit GAPPERINDO. Jakarta.
Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan. 2012. Potensi Sumberdaya Pangan Indonesia.
Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. Jakarta.
Rahardjo, M, D. 1993. Politik Pangan dan Industri Pangan di Indonesia. Prisma No, 5, Th
XXII, Hlm, 13-24. LP3ES, Jakarta.
Rachman, HPS dan M. Ariani. 2008. Penganekaragaman Konsumsi Pangan di Indonesia:
Permasalahan dan Implikasinya untuk Kebijakan dan Program. Analisis Kebijakan
Pertanian, Vol, 6, No, 2. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Soemardjan, S. 1986. Unsur-unsur Budaya dalam Program Pangan. Makalah pada Kongres
Pergizi Pangan dan Simposium Nasional Pangan dan Gizi. Semarang, 26-28
Agustus.
Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor
Suhardjo, L,P, Harper, B,J Deaton and J,A,Driskel. 2006. Pangan, Gizi dan Pertanian. UI-
Press, Jakarta,
Simatupang, P dan M, Ariani. 1997. Hubungan Antara pendapatan Rumahtangga dan
Pergeseran Preferensi Terhadap Pangan. Majalah Pangan No,33, Vol, IX, Jakarta.
Sudaryanto, T; IW, Rusastra and P. Simatupang. 1999. The Impact of Economic Crisis and
Policy Adjusment on Food Crop Development Toward Economic Globalization.
Paper presented on Round Table Discussion on Food and Nutrition Task Force I:
Food and Agriculture Pra-WKNPG VII, 8 November 1999. Center For Agro-Socio
Economic Research, Bogor.

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


62
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Sumaryanto. 2009. Diversifikasi Sebagai Salah Satu Pilar Ketahanan Pangan. Makalah
disajikan dalam Seminar Memperingati Hari Pangan Sedunia. Jakarta, 1 Oktober.
Suryana, A. tanpa tahun. Penganekaragaman Konsumsi Pangan dan Gizi: Faktor
Pendukung Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia.
http://www,bulog,co,id/old_website/data/doc/WIB-Penganekaragaman
_Konsumsi%20_Pangan_Dan_ Giz,pdf.
Setiawan, Bayu. 2011. Laporan Akhir Penelitian Insentif 2011: Kemandirian Pangan
Berbasis Potensi lokal (Studi di Provinsi NTT). Puslit Kependudukan LIPI. Jakarta
Sukara, E. 2012. Dapatkan Indonesia Menyediakan Kebutuhan Pangan Penduduknya dan
Menyumbang Pangan bagi Penduduk Dunia dengan Menggali dan Melestarikan
Kekayaan Keanekaragaman Hayatinya? Makalah disampaikan pada FGD Sub
Tema: Ketersediaan dan Aksesibilitas Pangan. Hotel Kaisar, Jakarta, 5 Juni.
TIM IPB. 2009. Agenda Riset Bidang Pangan 2009-2012. Bogor.
Widjojo, Budiman. 2011. Indonesia Urutan Keempat Terbanyak Penderita Diabetes.
Makalah disampaikan pada Simposium Diabetes Mellitus. Hotel Mercure, 12-13
November, Jakarta
Mahmud, Mien; Hermana; Zulfianto; Rozanna, Rossi; Ngadiarti; Hartati, Budi; Bernadus;
Tinexcelly. 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Gramedia. Jakarta.
Martianto, Drajat. 2003. Jurnal Ketahanan Pangan dan Gizi.
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/51642/drajat%20martianto%2
0-%20001.pdf?sequence=2. Bogor.
Suhardjo. 1998. Konsep dan Kebijakan Diversifikasi Konsumsi Pangan dalam Rangka
Ketahanan Pangan. Prosiding WNPG VI. LIPI, Jakarta.
Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas.
Sharp et al. (Sharp, A.M., Register, C.A., Grimes , P.W. 2000. Economics of Social Issues
14th edition, New York: Irwin/McGraw-Hill.
Sumaryanto. 2009. Diversifikasi Sebagai Salah Satu Pilar Ketahanan Pangan. Makalah
disajikan dalam Seminar Memperingati Hari Pangan Sedunia, Jakarta, 1 Oktober
TIM IPB. 2009. Agenda Riset Bidang Pangan 2009-2012. Bogor.
Widjojo, Budiman. 2011. Indonesia Urutan Keempat Terbanyak Penderita Diabetes.
Makalah disampaikan pada Simposium Diabetes Mellitus. Hotel Mercure, 12-13
November. Jakarta

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


63
LAMPIRAN

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


64
Tabel Lampiran. Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Wilayah (%)
Tahun Kota Desa Kota+desa
1996 48,0 63,1 55,3
1999 56,2 70,2 62,9
2002 52,8 66,6 58,5
2005 48,2 62,5 53,9
2008 45,0 58,7 50,2
2011 43,9 55,8 48,5

Tabel Lampiran. Tingkat Konsumsi Energi dan Protein Menurut Wilayah


Tahun 1996 1999 2002 2005 2008 2011
Energi (Kal/kap/hari)
Kota 1984 1802 1954 1923 1621 1822
Desa 2040 1880 2013 2060 2096 1884
Kota+Desa 2020 1849 1987 1996 2038 1853
Protein (gram/kap/hari)
Kota 55,9 49,3 56,0 58,3 58,2 54,4
Desa 53,7 48,2 53,2 55,2 56,9 51,9
Kota+Desa 54,5 48,7 54,5 56,6 57,5 53,1
Pangsa Protein Hewani (%)
Kota 25,4 18,0 23,0 28,9 25,2 26,7
Desa 18,6 16,7 18,9 22,1 21,5 23,2
Kota+Desa 21,6 18,1 21,7 25,2 23,3 25,4
Keterangan, Anjuann energi : 2000 Kalori; Protein : 52 gram

Tabel Lampiran. Pola Konsumsi Pangan Menurut PPH


Tahun Skor PPH
2002 72,30
2003 75,00
2004 74,00
2005 77,60
2006 72,60
2007 80,68
2008 80,50
2009 73,30
2010 77,50
2011 77,30

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


65
Tabel Lampiran. Perkembangan Tingkat Konsumsi Beras, Terigu, Kedelai,
Gula Pasir dan Minyak Goreng Menurut Kelompok
Pengeluaran Tahun 2006-2011
Komoditas/Tahun I II III IV V VI VII VII
Beras
2006 68,1 69,4 74,3 94,8 101,4 102,4 96,1 83,4
2007 66,0 86,3 91,2 97,5 94,5 86,6 80,4 75,9
2008 72,6 89,0 97,8 100,6 96,4 86,4 79,3 71,7
2009 68,8 83,9 92,7 97,8 95,2 86,9 79,4 72,4
2010 71,0 81,9 89,9 94,1 94,0 90,3 83,7 74,8
2011 66,7 77,1 83,2 89,5 91,5 90,3 85,1 75,1
Laju Perub. (%) 0,17 0,71 1,15 (1,18) (1,6) (1,5) (1,5) (1,7)
Terigu
2006 0,3 2,3 1,0 1,4 2,0 2,9 3,9 5,2
2007 0,8 1,8 2,7 3,9 5,4 6,4 7,2 6,6
2008 0,7 1,4 2,1 3,2 4,5 5,5 5,9 5,6
2009 0,5 1,0 1,7 2,7 3,8 5,4 5,6 5,7
2010 0,8 1,0 1,6 2,6 3,6 4,7 5,6 5,4
2011 0,4 0,9 1,4 2,1 2,9 3,8 4,3 4,7
Laju Perub. (%) 1,47 (20,0) (2,78) (0,97) (1,24) (0,42) (1,64) (3,10)
Kedelai
2006 1,4 2,2 3,5 4,9 6,5 7,4 8,1 8,5
2007 3,2 4,9 6,0 7,3 8,0 7,9 8,1 8,5
2008 2,1 3,7 5,1 6,1 6,9 7,2 7,2 6,9
2009 1,6 3,4 4,6 5,7 6,6 7,0 7,2 6,8
2010 1,7 3,0 4,5 5,6 6,3 6,3 6,7 6,7
2011 0,8 2,8 3,9 5,3 6,1 6,5 6,6 6,7
Laju Perub. (%) (12,70) (2,57) (1,86) (1,72) (3,14) (3,85) (5,18) (5,64)
Gula Pasir
2006 2,6 3,7 4,5 5,8 7,1 8,5 9,8 10,5
2007 4,1 5,7 7,0 8,7 10,2 10,7 10,9 10,2
2008 3,9 5,4 6,8 8,4 9,5 9,7 9,8 9,5
2009 3,5 4,8 6,0 7,3 8,6 9,3 9,4 8,9
2010 2,6 4,1 5,5 6,7 8,1 9,1 9,3 9,0
2011 3,0 3,7 4,5 5,8 7,0 8,0 8,3 8,2
Laju Perub. (%) (2,52) (3,38) (2,65) (2,85) (2,61) (2,39) (3,79) (4,78)
Minyak goreng
2006 2,3 3,8 4,5 5,6 7,0 8,5 9,5 10,0
2007 3,7 5,5 6,7 8,0 9,6 10,7 11,2 11,5
2008 3,2 4,9 6,4 7,7 9,3 10,1 10,3 10,5
2009 4,1 5,8 7,3 8,9 10,7 11,9 12,2 12,2
2010 4,4 5,6 7,2 8,8 10,5 11,9 12,5 12,8
2011 3,3 4,0 5,2 6,7 8,0 9,3 10,1 10,2
Laju Perub. (%) 6,53 1,27 2,71 3,41 2,83 2,58 2,29 1,68
Keterangan : ( )= penurunan/negatif

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


66
Tabel Lampiran. Perkembangan Tingkat Konsumsi Daging Sapi, Daging Ayam
dan Telur
I II III IV V VI VII VII
Daging
sapi
2006 0,00 0,00 0,05 0,05 0,1 1,0 0,5 1,5
2007 0,00 0,00 0,05 0,16 0,4 1,0 1,6 3,0
2008 0,00 0,00 0,05 0,05 0,3 0,8 1,5 2,5
2009 0,00 0,00 0,05 0,05 0,2 0,6 1,1 2,1
2010 0,00 0,00 0,00 0,05 0,2 0,5 1,0 1,9
2011 0,00 0,00 0,00 0,10 0,2 0,6 0,9 2,0
Laju 0 0 (33,27) (2,98) (2,45) (14,09) (0,52) (1,58)
Perub.
(%)
Daging
ayam
2006 0,2 0,1 0,10 0,6 1,4 2,7 5,2 7,7
2007 0,2 0,7 1,4 2,9 5,2 8,4 10,6 0,2
2008 0,1 0,5 1,1 2,3 4,6 7,22 9,1 10,7
2009 0,1 0,3 0,7 1,6 3,6 6,6 8,6 12,7
2010 0,2 0,3 0,8 1,8 3,6 6,0 8,5 10,3
2011 0,0 0,2 0,9 1,5 3,1 5,6 7,3 9,8
Laju (20,11) (7,35) (6,17) 0,80 2,15 3,15 1,29 3,57
Perub.
(%)
Telur
2006 0,42 0,7 1,4 2,9 4,2 6,0 7,7 9,7
2007 0,28 2,6 4,0 5,9 8,7 13,3 14,4 12,5
2008 0,77 2,2 3,5 5,2 7,5 12,04 12,3 11,0
2009 0,75 2,1 3,2 4,9 7,0 8,9 10,1 10,2
2010 1,43 2,1 3,6 5,4 7,3 9,0 10,4 11,4
2011 1,69 2,1 3,0 4,6 6,4 8,1 9,3 9,9
Laju 31,88 7,85 5,96 3,97 2,63 (1,65) (1,65) 0,82
Perub.
(%)
Keterangan : ( )= penurunan/negatif

Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia


67

Anda mungkin juga menyukai