Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya
merupakan bagian dari hak azasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia tahun 1945. Pemenuhan kebutuhan pangan juga terkait dengan upaya
peningkatan kualitas kesehatan masyarakat, sehingga nantinya akan diperoleh kualitas
sumber daya Indonesia manusia (SDM) yang mempunyai daya saing tangguh dan unggul
sebagai bangsa. Sumber daya manusia berkualitas digambarkan sebagai manusia sehat
yang cerdas, produktif dan mandiri (Menteri Kesehatan, 2005). Pemenuhan kecukupan
pangan bagi setiap warga negara Indonesia merupakan kewajiban bersama pemerintah dan
masyarakat, baik secara moral, sosial, maupun hukum, karena pangan merupakan salah
satu hak asasi manusia yang sangat esensial. Pemenuhan kecukupan pangan
perseorangan merupakan esensi dari ketahanan pangan, dan dicerminkan oleh tersedianya
pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan
terjangkau harganya serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya
masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Pada saat ini secara global, beberapa negara sedang mengalami berbagai macam
kemungkinan terjadinya krisis. Salah satu potensi krisis yang memiliki dampak serius adalah
ancaman terjadinya krisis pangan global. Isu kelangkaan pangan dunia (world food crisis)
saling berkaitan erat dengan isu perubahan iklim global (global climate changes) dan
dinamika ekonomi global, yang dicirikan oleh krisis ekonomi di negara-negara maju dan
volatilitas harga pangan serta energi (Menteri Pertanian, 2012). Permasalahan global ini
pasti mempunyai pengaruh pada kondisi ketahanan pangan domestik, karena saat ini tidak
ada satu negarapun yang dapat mengisolasi diri dari komunitas dunia. Pada skala dunia,
diperkirakan lebih dari 900 juta penduduk dunia masih terancam kelaparan dan rawan
pangan (FAO, 2010). Di Indonesia, proporsi rumahtangga yang mengalami rawan pangan
pada tahun 1999 sebesar 14,2% dan pada tahun 2008 turun menjadi sebesar 8,7%. Bila
dikaitkan dengan dinamika perekonomian selama kurun waktu tersebut, masih tingginya
proporsi rumahtangga rawan pangan tidak terlepas dari pengaruh krisis ekonomi tahun
1997/1998 dan kenaikan harga bahan bakar minyak pada tahun 2005. Krisis ekonomi
menyebabkan penurunan konsumsi pangan secara kuantitas dan kualitas (Ariani, dkk;
2000).
Selain pengaruh faktor ekonomi, pangan juga sangat tergantung pada perubahan
iklim. Perubahan iklim yang terjadi saat ini mengakibatkan perubahan pola tanam,
perubahan pola hujan sehingga waktu kapan akan terjadi musim kering atau musim hujan
sulit diprediksi, munculnya hama/penyakit tanaman yang tidak terprediksi dan lainnya.
Perubahan beberapa faktor ini, berdampak pada sulitnya pencapaian produksi pangan
sesuai yang telah dicanangkan. Menyikapi berbagai kendala tersebut, maka mengharuskan
melakukan pemanfaatkan sumberdaya pertanian dan pangan secara efisien dan optimal
dengan memperhatikan potensi lahan, tingkat kesuburan lahan dan pola permintaan
pangan. Pertimbangan ini dilakukan dengan harapan pangan yang dibutuhkan semaksimal
mungkin diperoleh dari produksi sendiri atau produksi dalam negeri. Di satu sisi, pola
konsumsi pangan masyarakat berbeda dan berubah dari waktu ke waktu, dari tempat yang
satu ke tempat yang lain. Pola konsumsi pangan antara daerah satu dengan daerah lainnya
dapat berbeda tergantung dari lingkungannya termasuk sumberdaya dan budaya setempat,
Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
i
selera dan pendapatan masyarakat. Demikian pula pola konsumsi pangan juga akan
berubah dari waktu ke waktu yang dipengaruhi oleh perubahan pendapatan, perubahan
kesadaran masyarakat akan pangan dan gizi serta perubahan gaya hidup. Dengan
demikian, perubahan-perubahan tersebut, baik antar daerah maupun antar waktu akan
menentukan perubahan berapa pangan yang harus disediakan dan bagaimana distribusinya
agar harga pangan tersebut dapat dijangkau masyarakat dengan harga yang wajar.
Oleh karena itu, pemanfaatan atau konsumsi pangan merupakan salah satu entry
point dan sub system untuk memantapkan ketahanan pangan. Dengan mengetahui pola
konsumsi pangan masyarakat akan dapat disusun kebijakan terkait dengan penyediaan
pangan, baik yang berasal dari produksi dalam negeri maupun impor . Kebijakan produksi
pangan mencakup berapa volume dan jenis pangan yang mampu diproduksi dengan
memperhatikan sumberdaya lahan, air, teknologi dan sarana pendukung lainnya. Dengan
memperhatikan potensi produksi dan permintaan pangan akan dapat ditetapkan berapa
banyak dan jenis pangan yang harus diproduksi di dalam negeri atau diimpor. Selain itu
dengan mengetahui perubahan konsumsi pangan masyarakat, juga dapat disusun kebijakan
harga dan distribusi pangan agar masyarakat dapat menjangkau pangan yang tersedia.
Analisis ini bertujuan (a) menganalisis dinamika struktur pengeluaran pangan
masyarakat untuk mengetahui bagaimana perubahan tingkat kesejahteraan masyarakat, (b)
menganalisis dinamika konsumsi energi, protein dan kualitas konsumsi pangan untuk
mengetahui bagimana perubahan pola konsumsi pangan masyarakat, serta (c) melakukan
proyeksi permintaan beberapa jenis pangan untuk mengetahui perkiraan jumlah pangan
yang dibutuhkan masyarakat
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia yang
diukur dengan pangsa pengeluaran pangan, baik di perkotaan maupun di perdesaan
semakin membaik. Terdapat perubahan pola pengeluaran masyarakat dari dominan pada
kelompok padi-padian ke kelompok makanan/minuman jadi. Sementara pola pengeluaran
untuk kelompok pangan yang lain relatif sama dari tahun ke tahun. Perubahan ini menuntut
pengembangan usaha di sektor makanan/minuman jadi sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan masyarakat. Usaha makanan/minuman jadi juga harus memperhatikan faktor
keamanan pangan, sehingga perlunya pembinaan terutama bagi usaha rumah tangga dan
kecil.
Hasil analisis lainnya juga menunjukkan bahwa pola konsumsi masyarakat sudah
mengarah kepada pola konsumsi anjuran, baik dari segi kebutuhan energi, protein, namun
untuk keragaman konsumsi masih perlu ditingkatkan. Pangan dominan masih dari beras
sebagai sumber energi dan protein, sementara pangan lokal seperti umbi-umbian, sagu
menurun tingkat konsumsinya. Sebaliknya konsumsi terigu dan turunannya meningkat.
Diantara pangan sumber protein hewani, konsumsi daging sapi mengalami penurunan
selama 15 tahun terakhir. Demikian pula konsumsi gula pasir juga menurun, sebaliknya
konsumsi minyak goreng terus meningkat. Peningkatan pendapatan berdampak pada
perubahan pola konsumsi pangan yaitu mengurangi pangan sumber karbohidrat dan
meningkatkan pangan sumber protein, vitamin dan mineral. Namun perubahan pola
konsumsi tidak hanya ditentukan oleh faktor pendapatan tetapi juga pengetahuan
masyarakat akan pangan dan gizi.
Hasil proyeksi menunjukkan bahwa permintaan pangan pada tahun 2020 pada
umumnya masih tinggi terutama pada kelompok menengah, yang jumlahnya masih relatif
Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
ii
besar dalam struktur penduduk. Secara agregat, permintaan beras pada tahun 2020
diperkirakan sekitar 16,1 juta ton, sedangkan untuk terigu, kedelai dan gula pasir masing-
masing sekitar 2,1 juta ton; 1,9 juta ton dan 2,6 juta ton. Untuk minyak goreng sekitar 3,0
juta ton dan daging sapi diperkirakan sekitar 90,2 ribu ton. Perlu diingatkan lagi bahwa
permintaan pangan ini adalah permintaan pangan untuk rumah tangga biasa, dengan kata
lain tidak termasuk permintaan hotel, restaurant, catering dan industri.
Implikasi kebijakan yang dapat disampaikan adalah mengingat pola konsumsi
masyarakat akan berubah seiring dengan perubahan pendapatan, maka pengetahuan
masyarakat akan pangan dan gizi harus terus ditingkatkan, sehingga masyarakat hanya
akan mengkonsumsi makanan yang berkualitas, yang menyehatkan dan mencerdaskan.
Upaya penyadaran ini tidak dapat hanya bersandarkan pada kebijakan pemerintah, namun
juga semua elemen, seperti swasta dan masyarakat. Selain itu, perlu adanya edukasi
konsumen, khususnya dalam hal mempromosikan produk makanan secara benar dan tidak
menyesatkan konsumen.
Dalam upaya diversifikasi konsumsi pangan pokok berbasis sumber daya lokal, peran
pemerintah harus secara signifikan dapat mewujudkan hal tersebut, seperti peran
pemerintah dalam mengalihkan pola makan masyarakat dari beras dan produk terigu ke
makanan lokal (umbi-umbian, jagung, sagu). Pemerintah juga harus berperan dalam
pengembangan industri pengolahan pangan berbasis sumberdaya lokal dan penyadaran
masyarakat. Langkah awal yang dapat dilakukan, salah satu diantaranya adalah pemberian
produk olahan berbasis pangan lokal secara gratis oleh pemerintah melalui raskin, pangan
darurat dan lainnya. Di samping itu, perlu penyadaran baik kepada media (elektronik/surat
kabar) ataupun semua elemen bahwa mengkonsumsi pangan produk lokal bukan karena
kelaparan atau miskin.
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga Tim Peneliti dapat menyelesaikan laporan Analisis Dinamika
Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia tepat pada waktunya. Untuk itu, Tim
Peneliti menyampaikan terima kasih kepada semua pihak khususnya para nara
sumber dan Pimpinan BP2KP yang telah membantu memberikan arahan, pemikiran,
dan berbagai informasi, termasuk memfasilitasi kelancaranan kegiatan kajian ini.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan
pemenuhannya merupakan bagian dari hak azasi manusia yang dijamin di dalam
Undang-Undang Dasar 1945. Pemenuhan kebutuhan pangan juga terkait dengan
upaya peningkatan kualitas kesehatan masyarakat sehingga diperoleh kualitas
sumberdaya Indonesia yang mempunyai daya saing yang tangguh dan unggul
sebagai bangsa. Oleh karena itu, pangan dan gizi berperan sebagai penentu daya
saing bangsa, mempunyai peran penting dalam pencapaian Indek Pembangunan
Manusia (IPM). Laporan United Nation Development Program tahun 2010
menempatkan Indonesia dalam kelompok medium human development dan
menduduki peringkat 108 dari 182 negara.
Dengan memahami dan mengetahui bahwa dinamika atau perkembangan
konsumsi pangan rumah tangga merupakan salah satu informasi dasar dalam
kebijakan pangan, baik dari sisi ekonomi seperti pangsa pengeluaran untuk pangan
maupun dinamika komposisi/diversifikasi asupan pangan , maka pemerintah
diharapkan akan mampu merumuskan kebijakan pangan yang efektif, baik dari sisi
penawaran, permintaan, termasuk kebijakan distribusinya.
Sejalan dengan hal ini, Tim Peneliti melakukan suatu kajian untuk menganilisis
dinamika konsumsi pangan RT dengan menggunakan data SUSENAS tahun 1989-
2011. Dinamika yang dianalisis antara lain mencakup dinamika pangsa pengeluaran
untuk kelompok dan jenis pangan secara spesifik yang dinilai strategis, dinamika
komposi dari sisi kontribusi terhadap energi, protein, dan vitamin, dan mineral
berdasarkan kolompok masyarakat yang digariskan dalam data SUSENAS. Di
samping itu, kajian ini mencoba memberikan proyeksi dinamika konsumsi pangan,
baik dari sisi pangsa pengeluaran maupun kandungan nutrisinya.
Hasil studi menunjukan bahwa sebagai akibat peningkatan kesejahteraan, ada
indikasi perubahan pola konsumsi pangan yaitu mengurangi pangan sumber
karbohidrat dan meningkatkan pangan sumber protein, vitamin dan mineral. Hal ini
terutama terjadi untuk kelompok masyarakat yang tingkat kesejahteraannya lebih
tinggi. Namun perubahan pola konsumsi tidak hanya ditentukan oleh faktor
pendapatan tetapi juga pengetahuan masyarakat akan pangan dan gizi. Di samping
itu, telah terjadi perubahan pola pengeluaran masyarakat dari dominan pada
kelompok padi-padian ke kelompok makanan/minuman jadi.
Catatan penting lainnya adalah pola konsumsi masyarakat sudah mengarah
kepada pola konsumsi anjuran, baik dari segi kebutuhan energi, protein, namun
diversifikasi konsumsi masih perlu ditingkatkan. Ada indikasi konsumsi beras per
RINGKASAN EKSEKUTIF.............................................................................. i
KATA PENGANTAR .................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 4
1.3. Keluaran Penelitian .................................................................................. 4
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................... 4
1.5. Ruang Lingkup .......................................................................................... 4
Ketahanan pangan mencakup tiga dimensi yaitu: (a) ketersediaan pangan (food
availability), (b) akses/distribusi pangan (access to sufficient food), dan (c)
pemanfaatan/konsumsi pangan (utilization of food, which is related to cultural practices).
Namun ketiga dimensi tersebut dilakukan dalam upaya menjaga stabilitas pangan (stability
of food stock). Oleh karena itu, ketiga dimensi tersebut sering digunakan untuk mengukur
pencapaian ketahanan pangan. Ketersediaan pangan diartikan bahwa pangan tersedia
cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta
aman, sedangkan distribusi pangan diartikan pasokan pangan dapat menjangkau seluruh
wilayah sehingga harga stabil dan terjangkau oleh rumah tangga. Konsumsi, yaitu setiap
rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup dan mampu mengelola konsumsi
kaidah gizi dan kesehatan, serta preferensinya. Terwujudnya ketahanan pangan merupakan
sinergi dan interaksi dari ketiga dimensi tersebut..
Ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan serta keseimbangan
antara ekspor dan impor pangan. Ketersediaan pangan harus dikelola sedemikian rupa,
sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah,
volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya, serta stabil
penyediaannya dari waktu ke waktu. Ketersediaan pangan di suatu daerah atau negara
ditentukan oleh beberapa faktor seperti keragaan produksi pangan, tingkat kerusakan, dan
kehilangan pangan karena penanganan yang kurang tepat, serta tingkat ekspor dan impor
Tabel 2.2. Perbandingan PPH FAO-RAPA, Meneg. Pangan 1994, dan Deptan 2001
FAO-RAPA Meneg Pangan (1994) Deptan (2001)
Kelompok
No
Pangan Energi Energi Energi
Min-Max Bobot Skor Bobot Skor
(%) (%) (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Padi-
1 40 40-60 50 0,5 25 50 0,5 25
padian
Umbi-
2 5 0-8 5 0,5 2.5 6 0,5 2,5
umbian
Pangan
3 20 5-20 15,3 2 30,6 12 2,0 24
Hewani
Minyak
4 dan 10 5-15 10 1 10 10 0,5 5
Lemak
Kacang-
6 6 2-10 5 2 10 5 2,0 10
kacangan
Sayur dan
8 5 3-8 5 2 10 6 5,0 30
Buah
9 Lain-lain 3 0-5 0 0 0 3 0 0
PPH merupakan susunan pangan yang benar-benar menjadi harapan baik di tingkat
konsumsi maupun ketersediaan, serta dapat digunakan sebagai pedoman perencanaan dan
evaluasi ketersediaan dan konsumsi pangan penduduk. Dalam PPH, pangan
dikelompokkan menjadi sembilan kelompok pangan, yaitu kelompok: (a) padi-padian, (b)
umbi-umbian, (c) pangan hewani, (d) minyak dan lemak, (e) buah dan biji berminyak, (f)
kacang-kacangan, (g) gula, (h) sayuran dan buah-buahan, (i) lain-lain. Setiap kelompok
pangan diberi bobot, kriteria dan besarnya bobot dapat dilihat seperti Tabel 2.3 .
Penetapan besaran pembobot/rating seperti pada kolom 7 pada Tabel 2.3. sebagai
berikut: (a) setiap kelompok pangan utama dari tiga kelompok pangan utama berdasarkan
triguna makanan, diberikan skor maksimum yang relatif sama, yaitu 33,3 bagi setiap
kelompok pangan utama (berasal dari 100 dibagi 3); (b) untuk kelompok pangan sumber
1. Serealia 50 %
2. Umbi-umbian/ 6%
Sumber makanan berpati
Zat Tenaga 3. Minyak & lemak 10 % 33,3
(KH, lemak) 4. Biji dan buah 3%
Berminyak
5. Gula 5%
33,3 : 74 = 0,5
Lain-lain 3 %
Pengeluaran rata-rata per kapita didefinisikan sebagai biaya yang dikeluarkan untuk
konsumsi semua anggota rumah tangga selama sebulan dibagi dengan banyaknya anggota
rumah tangga. Sementara itu, konsumsi pangan rumah tangga hanya benar-benar berupa
pengeluaran untuk memenuhi konsumsi rumah tangga saja, tidak termasuk
konsumsi/pengeluaran untuk keperluan usaha atau yang diberikan kepada pihak lain. Angka
konsumsi/pengeluaran rata-rata per kapita diperoleh dari hasil bagi jumlah konsumsi seluruh
rumah tangga baik yang mengkonsumsi makanan maupun yang tidak terhadap jumlah
penduduk.
Kaitan pendapatan dengan pangsa konsumsi pangan juga dapat dijelaskan dengan
hukum Engel. Menurut hukum Engel, pada saat terjadinya peningkatan pendapatan,
konsumen akan membelanjakan pendapatannya untuk pangan dengan porsi yang semakin
mengecil. Sebaliknya bila pendapatan menurun, porsi yang dibelanjakan untuk pangan
semakin meningkat (Soekirman, 2000).
Tabel 4.2. Pangsa Pengeluaran Beberapa Jenis Pangan Menurut Wilayah (%)
Padi-
Pangan Hewani
padian
Tahun/Wilayah Daging
Beras Daging sapi Telur Susu
ayam
Kota
1996 17,4 2,3 4,0 3,3 3,5
1999 20,9 1,4 2,6 3,3 2,7
2002 16,0 1,6 3,6 3,4 3,5
2005 12,1 1,3 3,4 3,0 4,3
2008 12,3 0,8 2,7 4,1 3,5
2011 13,8 1,2 3,2 2,6 4,4
Laju perub. (%) (10,0) 3,9 (3,4) (1,3) 6,0
Desa
1996 26,6 0,7 2,7 3,0 1,3
1999 30,7 0,6 1,5 2,7 0,9
2002 26,0 0,6 2,2 3,1 1,3
2005 20,5 0,5 2,5 3,1 1,8
2008 19,8 0,3 2,1 3,0 1,7
2011 20,9 0,6 2,6 2,61 2,1
Laju perub. (%) 7,9 (7,8) 2,0 1,1 13,0
Kota+desa
1996 22,5 1,4 3,3 3,1 2,3
1999 26,2 0,9 2,0 2,9 1,8
2002 20,7 1,1 2,9 3,2 2,5
2005 16,0 0,9 3,0 3,0 3,1
2008 15,6 0,6 2,4 3,6 3,9
2011 16,9 0,9 2,9 2,6 3,4
Laju perub.(%) (9,4) (10,6) (0,7) (0,6) 12,5
Sumber : SUSENAS Berbagai Tahun (diolah)
Keterangan : ( ) = penurunan/negatif
5.1. Konsumsi Masyarakat dari Sisi Kecukupan Konsumsi Energi dan Protein
Pada dasarnya konsumsi makanan masyarakat sehari-hari memadai jika memenuhi
dua kecukupan yaitu kecukupan energi dan protein. Kebutuhan energi umumnya diperoleh
dari konsumsi makanan pokok sebagai sumber karbohidrat, sedangkan sebagian besar
kebutuhan protein diperoleh dari konsumsi makanan yang berasal dari hewani seperti
daging, ikan, telur dan susu. Oleh karena itu, data tentang kuantitas konsumsi penduduk
dapat digunakan untuk memantau apakah kesejahteraan penduduk diukur dengan konsumsi
pangan meningkat atau tidak (BPS, 2010).
Di Indonesia setiap lima tahun diadakan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi
(WKNPG) yang salah satu rekomendasinya adalah menetapkan Angka Kecukupan Energi
(AKE) dan Angka Kecukupan Protein (AKP) untuk rata-rata Indonesia dan kelompok umur.
Rekomendasi WNPG ke VIII yang dilaksanakan tahun 2004 adalah AKE dan AKP untuk
rata-rata penduduk Indonesia, masing-masing 2000 Kalori/kapita/hari dan 52
gram/kapita/hari. Sementara itu, pada bulan November 2012, dilaksanakan WNPG ke X
yang menetapkan AKE sebesar 2200 Kalori/kapita/hari dan protein sebesar 57
Gram/kapita/hari. Mengacu pada patokan hasil WNPG tahun 2004, tingkat konsumsi rata-
rata masyarakat untuk energi tahun 2010 sebesar 96,3% dari kecukupannya, sebaliknya
untuk konsumsi protein melebihi dari yang dianjurkan. Namun apabila mengacu pada hasil
WNPG ke X, maka tingkat konsumsi energi masyarakat Indonesia masih kurang, sebaliknya
untuk konsumsi protein sudah melebihi dari angka yang dianjurkan (Gambar 5.1 dan 5.2).
Tingkat konsumsi energi dan protein berasal dari makanan yang disiapkan di rumah dan
makanan/minuman jadi. Sebagai contoh, konsumsi energi pada tahun 2011 sebesar 1.852,8
Kalori/kapita/hari, yang berasal dari makanan yang dimasak di rumah (1.586,8 Kalori) dan
makanan/minuman jadi (266 Kalori).
AKE
AKP
Tingkat konsumsi energi yang lebih dari 95% ini masih dapat dianggap cukup dan
memenuhi kebutuhan tubuh manusia sesuai dengan klasifikasi tingkat kecukupan yang
dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan (1996) dalam Badan Ketahanan Pangan (2006).
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
31
Dalam klasifikasi tersebut, jika tingkat kecukupan energi antara 90-119% termasuk kategori
normal. Mengacu pada Ilmu Gizi, walaupun konsumsi protein sudah tinggi namun karena
konsumsi energinya masih rendah, protein tersebut akan dibakar dalam tubuh menjadi
energi untuk menutupi kekurangan konsumsi energi sampai mencukupi. Dengan demikian
dapat dimungkinkan secara riil protein yang dikonsumsi masih lebih rendah dari angka
kecukupan yang dianjurkan.
Hasil analisis konsumsi energi dan protein tersebut, timbul pertanyaan apakah
memang benar situasi riil masyarakat Indonesia seperti demikian. Pada umumnya,
pemenuhan kebutuhan konsumsi yang paling mudah adalah pemenuhan kebutuhan akan
energi karena harga per unit energi ini relatif murah dan mudah, sehingga hampir semua
orang akan mampu memenuhinya. Selain itu, seperti dalam hukum Maslow, kebutuhan
paling mendasar seseorang adalah kebutuhan makan, dan pada tahap awal makan asal
kenyang. Pangan yang cepat membuat kenyang adalah pangan sumber karbohidrat dan
sekaligus sebagai penghasil energi. Jika energi sudah dipenuhi, baru memikirkan kepada
kualitas konsumsi pangan yang salah satunya ditentukan oleh tingkat pendapatan seperti
dalam hukum Bennet. Namun, kenyataannya dengan menggunakan data SUSENAS
tidaklah demikian.
Seperti telah diungkap terdahulu, telah terjadi perubahan pangsa pengeluaran pangan,
dari dominan pada kelompok pengeluaran padi-padian ke kelompok makanan/minuman jadi.
Jumlah jenis makanan jadi yang didata dalam SUSENAS sebanyak sekitar 30 jenis
makanan/minuman jadi. Sekitar 14 jenis makanan berupa makanan seperti roti tawar, roti
manis, kue basah, gado-gado, nasi putih, nasi rames, bubur kacang hijau, yang kesemua
jenis makanan tersebut sebagai sumber karbohidrat. Sementara itu, untuk makanan sumber
protein hanya ada tiga jenis yaitu soto/gule, sate/tongseng dan ikan
(bakar/goreng/pindang/lainnya).
Data Neraca Bahan Makanan (NBM) menyajikan data ketersediaan energi dan
protein, yang datanya disajikan pada Tabel 5.1. Dari aspek ketersediaan, Indonesia sudah
mampu menyediakan energi dan protein melebihi dari yang dianjurkan, bahkan hampir dua
kali lipat kelebihannya. Berdasarkan WNPG XIII, ketersediaan energi dan protein yang
dianjurkan masing-masing sebesar 2200 kalori/kapita/tahun dan 57 gram/kapita/tahun. Ini
berarti jika ada masalah kekurangan pangan (dalam bentuk energi dan protein) pada
masyarakat, bukan disebabkan kurang tersedianya pangan namun lebih disebabkan karena
keterbatasan akses rumah tangga terhadap pangan termasuk distribusi pangan.
Akses rumah tangga terhadap pangan dipengaruhi oleh daya belinya, dalam hal ini
resultan dari tingkat pendapatan dan harga pangan. Meskipun ketersediaan pangan secara
nasional maupun per kapita mencukupi, namun belum tentu setiap rumah tangga memiliki
akses yang nyata secara sama. Dengan demikian surplus pangan di tingkat wilayah belum
menjamin kecukupan pangan bagi individu. Selain aspek ekonomi, fisik dan sosial,
kelancaran distribusi pangan juga dipengaruhi oleh sarana dan prasarana seperti keadaan
jalan, transportasi, kondisi pasar dan kelembagaan pasar dan lainnya. Oleh karena itu,
pengembangan infrastruktur sarana distribusi adalah penting untuk memperlancar mobilitas
pangan agar pangan tersedia secara merata dengan harga yang dapat dijangkau oleh
masyarakat luas terutama masyarakat berpendapatan rendah.
Tabel 5.2. Pangsa Energi dan Protein Beberapa Kelompok Pangan Menurut
Wilayah (%)
Kelompok Pangan Energi Protein
Padi-padian Umbi-umbian Asal ternak Ikan
Kota
1996 51,8 1,5 12,6 12,8
1999 52,3 1,9 8,4 12,0
2002 46,6 1,7 11,9 13,0
2005 44,6 1,5 12,0 13,9
2008 42,9 1,6 12,3 12,9
2011 44,0 1,0 13,3 14,4
Laju perubahan (%) (15,1) (6,7) 3,7 2,6
Desa
1996 60,0 3,6 6,0 13,3
1999 61,0 9,5 3,9 12,8
2002 56,8 3,6 5,5 13,4
2005 54,5 3,8 6,6 14,4
2008 51,6 3,5 6,8 14,4
2011 52,3 2,8 8,5 14,3
Laju perubahan (%) (3,5) (13,9) 10,2 2,2
Pada Tabel 5.2, pada umumnya dengan kenaikan pendapatan (yang didekati dengan
pengeluaran pangan), konsumsi pangan sumber karbohidrat/energi akan menurun.
Sebaliknya kenaikan pendapatan rumahtangga akan meningkatkan konsumsi pangan
sumber protein dan vitamin/mineral. Perubahan dalam jumlah besar dan konsisten pada
makanan/minuman jadi, sementara untuk jenis pangan lain tidak demikian. Lagi-lagi ini
membuktikan bahwa dengan perubahan pendapatan akan merubah gaya hidup dan gaya
makan seperti hukum Bennet yang telah disampaikan sebelumnya. Dengan pendapatan
yang cukup, keluarga akan sering makan di luar rumah dan atau membeli
makanan/minuman jadi untuk dimakan di rumah. Makanan siap dimasak di rumah (home
made) lama-kelamaan akan berkurang dan ditinggalkan oleh anggota rumahtangga
terutama yang bekerja di luar rumah.
Strategi yang ditempuh dalam Perpres tersebut ada dua yaitu: (a) Internalisasi
penganekaragaman konsumsi pangan melalui: advokasi, kampanye, promosi dan
sosialisasi tentang konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman pada
berbagai tingkatan aparat, masyarakat, pendidikan formal dan non formal dan (b)
Pengembangan bisnis dan industri pangan lokal melalui fasilitasi kepada UMKM untuk
pengembangan bisnis pangan segar, industri bahan baku, industri pangan olahan dan
pangan siap saji yang aman berbasis sumber daya lokal serta advokasi, sosialisasi dan
penerapan standar mutu dan keamanan pangan baki pelaku usaha pangan terutama usaha
rumah tangga dan UMKM.
Untuk operasionalisasi PERPRES tersebut, Menteri Pertanian mengeluarkan
peraturan No.43/Permentan/OT.140/2009) tentang Gerakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal. Untuk menindaklanjuti
Perpres. Kementerian Pertanian melaksanakan kegiatan terkait diversifikasi konsumsi
pangan yang dikenal gerakan Percepatan Diversifikasi Konsumsi Pangan (P2KP) yang
dimulai sejak tahun 2010. Tujuan umum program P2KP adalah menfasilitasi dan mendorong
terwujudnya pola konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang dan aman yang
diindikasikan dengan skor PPH dengan indikator outcome adalah meningkatnya skor PPH
dari tahun ke tahun dan menurunnya konsumsi beras 1,55% per tahun (BKP, 2012).
Skor PPH sebetulnya meningkat dari tahun ke tahun, bahkan pada tahun 2007 dan
2008 mencapai 80-an, namun untuk tahun-tahun berikutnya, skor PPH mengalami
penurunan. Bila mengacu pada tabel-tabel sebelumnya, pertanyaannya mengapa skor PPH
justru menurun dengan peningkatan kesejahteraan. Seperti telah diungkap terdahulu, bahwa
terkait dengan konsumsi pangan tidak hanya dipengaruhi oleh pendapatan namun juga
pengetahuan seseorang terkait pangan dan gizi serta kesadaran akan makanan yang
berkualitas untuk kesehatan dan kualitas sumberdaya manusia. Dari Tabel 6.2, pola
konsumsi pangan masyarakat masih belum mengacu pada pedoman PPH. Konsumsi dari
padi-padian sangat tinggi, melebihi dari ketentuan, sebaliknya untuk pangan hewani, sayur
dan buah yang termasuk pangan berkualitas tinggi yang mampu meningkatkan skor PPH
secara signifikan masih belum banyak dikonsumsi sesuai dengan ketentuan. Pada kondisi
terakhir (tahun 2011), skor PPH menurun sedkit dibandingkan tahun sebelumnya yaitu skor
PPH pada tahun 2011 sebesar 77,3, sedangkan pada tahun 2010 sebesar 77,5. Penurunan
ini lebih diakibatkan oleh penurunan konsumsi sayuran dan buah-buahan.
Sagu dan umbi-umbian lainnya dikonsumsi dalam berbagai bentuk dan olahan. Di
Papua dan Maluku, sagu dikonsumsi sebagai papeda (baik papeda basah maupun kering),
sagu lempeng, kapurung, dan buburnee. Sebagai camilan yang lebih bersifat suplementer,
sagu dikonsumsi dalam bentuk bagea dan aneka kue sagu. Jagung di NTT dikonsumsi
dalam bentuk jagung bose, yaitu jagung putih kering dikelupas kulitnya, direbus dengan
campuran kacang-kacangan kering (seperti kacang jogo, kacang merah, atau kacang hijau).
Ariani dan Pasandaran (2005) mengatakan jagung di NTT dimasak menjadi jagung
pipil ketemek, jagung olahan tumbuk atau jagung bose dan jagung giling atau jagung mol.
Bahan tersebut kemudian dicampur dengan beras dan kacang-kacangan dan dimasak
bersama-sama. Proses pemasakan untuk jagung ketemek memerlukan waktu 2,5 jam,
sedangkan untuk jagung bose dan jagung mol masing-masing 2 jam dan 1 jam. Di Papua,
umumnya ubi jalar dikonsumsi dengan cara direbus, kukus, dibakar dengan istilah adat
bakar batu untuk acara/pesta adat. Dalam upacara adat suku Dani, seperti perkawinan,
Tabel 7.2. Tingkat Konsumsi Pangan: Daging, Telur, Susu, dan Kedelai
Menurut Wilayah, (kg/kap/th)
Kelompok Daging Daging Telur Susu Kedelai
Pangan sapi ayam
Kota
1996 1,2 5,3 6,6 1,3 5,8
1999 0,7 2,6 4,5 0,8 6,8
2002 0,9 4,9 6,9 0,6 8,0
2005 0,8 5,6 7,2 1,4 4,8
2008 0,6 5,0 7,4 1,4 7,1
2011 0,8 5,5 7,5 1,3 6,7
Laju Perub.(%) (8,2) 5,3 5,8 6,6 1,0
Desa
1996 0,3 2,6 4,1 0,4 4,9
1999 0,3 1,1 2,7 0,2 4,7
2002 0,3 2,0 4,2 0,4 6,1
2005 0,2 2,7 4,9 0,6 6,2
2008 0,2 2,7 5,2 0,7 3,5
2011 0,3 3,1 6,1 0,6 5,2
Tabel 7.3. Tingkat Konsumsi Pangan: Sayuran, Buah-buahan, Gula Pasir dan
Minyak Goreng Menurut Wilayah, (kg/kap/th)
Kelompok Pangan Sayuran Buah- Gula Pasir Minyak
buahan Goreng
Kota
1996 33,8 26,4 9,4 8,1
1999 32,0 19,8 8,6 7,7
2002 38,5 30,8 9,5 8,7
2005 39,5 27,4 8,5 8,5
2008 39,4 32,8 8,0 7,5
2011 34,3 24,9 6,5 8,4
Laju Perub. (%) 2,0 3,0 (5,9) 0,2
Desa
1996 39,2 23,5 8,5 6,6
1999 36,7 17,8 8,0 6,5
2002 41,3 25,9 9,0 7,7
2005 46,6 23,4 8,4 9,8
2008 52,7 30,9 8,8 10,0
2011 42,8 21,7 7,5 8,1
Laju Perub.(%) 4,7 3,3 (1,1) 7,1
Kota+Desa
1996 37,4 24,5 8,8 7,2
1999 33,9 18,6 8,2 7,0
2002 39,9 28,0 9,2 8,2
2005 42,5 25,2 8,4 8,1
2008 43,8 31,9 8,4 8,2
2011 39,0 23,1 7,0 8,2
Laju Perub.(%) 2,9 3,4 (3,2) 3,1
Keterangan : ( )= penurunan/negatif
Tabel 7.4. Tingkat Konsumsi Pangan: Beras, Ubi kayu, Ubi jalar, Sagu,
Umbi Lainnya dan Terigu Menurut Kelompok Pengeluaran,
2011 (kg/kap/th)
Kelompok Beras Ubi Ubi Sagu Umbi Terigu dan
Pengeluaran kayu jalar lainnya turunanya
I 66,7 16,6 5,5 9,7 1,0 0,4
II 77,1 19,0 10,1 1,7 1,8 0,9
III 83,2 9,4 6,6 0,9 1,1 1,4
IV 89,5 8,2 3,5 0,5 1,2 2,1
V 91,5 5,8 1,9 0,4 1,7 4,2
VI 90,3 4,7 1,9 0,3 2,3 5,1
VII 85,1 3,6 1,6 0,4 2,8 5,6
VIII 75,1 2,7 1,3 0,2 3,6 7,3
Sementara itu, proporsi penduduk menurut kelompok pengeluaran pada tahun 2020
dihitung dengan mempertimbangkan laju proporsi penduduk selama kurun waktu tahun
2007 sampai 2011, pertumbuhan ekonomi dan inflasi pada kurun waktu tersebut.
Pertumbuhan ekonomi selama ahun 2007 sampai 2011 bila dijumlahkan menjadi 31,18%,
sedangkan untuk inflasi menjadi 29,65, sehingga pertumbuhan ekonomi riil sebesar 1,53%.
Selain itu, asumsi pertumbuhan ekonomi selama kurun waktu 2013-2010 adalah 6,5% per
tahun dan Inflasi sebesar 5% per tahun. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, proporsi
dan jumlah penduduk menurut kelompok pengeluaran pada tahun 2020 sepeti pada Tabel
7.8.
Tabel 7.7. Proyeksi Jumlah Penduduk (Orang)
Tahun Jumlah Penduduk (orang)
2013 248.422.956
2014 252.124.458
2015 255.881.112
2016 259.693.741
2017 263.563.177
2018 267.490.269
2019 271.475.874
2020 275.520.864
Analisis Dinamika Konsumsi Pangan Masyarakat Indonesia
51
Hasil proyeksi permintaan beberapa jenis pangan untuk konsumsi masyarakat
berdasarkan data SUSENAS disajikan pada Tabel 7.9 sampai Tabel 7.13. Kebutuhan beras
untuk konsumsi masyarakat pada tahun 2020 diperkirakan sekitar 16,1 juta ton. Walaupun
mengalami penurunan dibandingkan keadaan sekarang (diperlukan sekitar 20-an juta ton),
namun pemerintah tetap harus waspada dikarenakan lahan untuk menanam padi semakin
terbatas. Konversi lahan petanian ke non pertanian terus berlangsung, walaupun pemerintah
telah menetapkan Undang-Undang LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan), yang
mengamanatkan untuk mencegah alih fungsi lahan pertanian dan menetapkan lahan
pertanian abadi. Operasionalisasi hal tersebut masih belum berjalan di lapangan.
Tabel 7.13. Proyeksi Permintaan: Minyak Goreng, Daging Sapi, Daging Ayam
dan Telur Menurut Kelompok Pengeluaran, 2020 (ton)
Kelompok Minyak goreng Daging sapi Daging ayam Telur
Pengeluaran
I 102,2 0 0 271,9
II 3.626,8 0 65,1 2.684,3
III 36.876,6 0 2.298,1 22.880,0
IV 341.900,8 2.348,4 49.688,9 201.351,0
V 896.660,6 11.159,0 261.852,4 563.895,4
VI 811.963,7 9.681,0 468.579,5 441.394,1
VII 584.548,7 32.495 310.008,4 302.972,9
VIII 1.012.307,1 118.896,5 921.978,1 731.045,1
8.1. Kesimpulan
a. Tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia yang diukur dengan pangsa
pengeluaran pangan baik di perkotaan maupun di pedesaan semakin membaik.
Upaya peningkatan kesejahteraan terutama masyarakat pedesaan harus
mendapat prioritas, sehingga kesenjangan kesejahteraan di kedua wilayah secara
bertahap dapat diperkecil.
b. Terdapat perubahan pola pengeluaran masyarakat dari dominan pada kelompok
padi-padian ke kelompok makanan/minuman jadi. Sementara pola pengeluaran
untuk kelompok pangan yang lain relatif sama dari tahun ke tahun. Perubahan ini
menuntut pengembangan usaha di sektor makanan/minuman disesuaikan dengan
kebutuhan dan kemampuan masyarakat. Usaha makanan juga harus
memperhatikan faktor keamanan pangan, sehingga perlunya pembinaan terutama
bagi usaha rumahtangga dan kecil.
c. Pola konsumsi masyarakat sudah mengarah kepada pola konsumsi anjuran baik dari
segi kebutuhan energi, protein, namun untuk keragaman konsumsi masih perlu
ditingkatkan. Pangan dominan masih dari beras sebagai sumber energi dan
protein, sementara pangan lokal seperti umbi-umbian, sagu menurun tingkat
konsumsinya. Sebaliknya konsumsi terigu dan turunannya meningkat. Diantara
pangan sumber protein hewani, konsumsi daging sapi mengalami penurunan
selama 15 tahun terakhir. Demikian pula konsumsi gula pasir juga menurun,
sebaliknya konsumsi minyak goreng terus meningkat.
d. Peningkatan pendapatan berdampak pada perubahan pola konsumsi pangan yaitu
mengurangi pangan sumber karbohidrat dan meningkatkan pangan sumber
protein, vitamin dan mineral. Namun perubahan pola konsumsi tidak hanya
ditentukan oleh faktor pendapatan tetapi juga pengetahuan masyarakat akan
pangan dan gizi.
e. Permintaan pangan pada tahun 2020 pada umumnya masih tinggi terutama pada
kelompok menengah, yang jumlahnya masih relatif besar dalam struktur penduduk.
Secara agregat, permintaan beras pada tahun 2020 diperkirakan sekitar 16,1 juta
ton, sedangkan untuk terigu, kedelai dan gula pasir masing-masing sekitar 2,1 juta
ton; 1,9 juta ton dan 2,6 juta ton. Untuk minyak goreng sekitar 3,0 juta ton dan
daging sapi diperkirakan sekitar 90,2 ribu ton.
Ariani, M; H.P Saliem; S.H. Suhartini; Wahida dan M,H, Sawit; 2000. Dampak Krisis
Ekonomi Terhadap Konsumsi Pangan Rumahtangga. Laporan Hasil Penelitian.
Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.
Anonimous. 2012. Pidato Pengarahan Menteri Pertanian pada Widyakarya Nasional
Pangan dan Gizi X. Jakarta, 22 November, Jakarta,
Ariani, M. 2012. Rekonstruksi Pola Pangan Masyarakat dalam Upaya Percepatan
Diversifikasi angan Mendukung Program MP3EI. Dalam Buku : Kemandirian Pangan
Indonesia dalam Perspektif Kebijakan MP3EI. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Kementerian Pertanian,
Ariani, M dan Ashari. 2003. Arah, Kendala dan Pentignya Diversifikasi Konsumsi Pangan di
Indonesia. Forum Agro Ekonomi, Vol, 21, No, 2, Desember, Bogor.
Ariani, M dan E. Pasandaran. 2005. Pola Konsumsi dan Permintaan Jagung untuk Pangan.
Buku Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Jakarta.
Anonimous. 2009. Peraturan Presiden Republik Indonesia No, 22 Tahun 2009 Tentang
Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumberdaya
Lokal, Jakarta.
Badan Pusat Statistik. Beberapa tahun. Pengeluaran Penduduk Indonesia, BPS, Jakarta
Badan Pusat Statistik. Beberapa tahun. Konsumsi Kalori dan Protein Penduduk Indonesia
dan Propinsi. BPS, Jakarta
Badan Pusat Statistik. 2011. Konsumsi Perkapita Menurut Golongan Pengeluaran Penduduk
Indonesia dan Provinsi. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2012. Statistik Indonesia. BPS, Jakarta
BAPPENAS. 2006. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Jakarta,
Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. 2009. Direktori Pengembangan
Konsumsi Pangan. Jakarta
Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. 2012. Direktori Pengembangan
Konsumsi Pangan. Jakarta
Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. 2012. Pedoman Umum Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Jakarta
Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian. 2012. Roadmap Diversifikasi Pangan
Tahun 2011-2015. Jakarta Bank Indonesia. 2011. Ketahanan Perekonomian
Indonesia di Tengah Ketidakpastian Ekonmi Global. Laporan Perekonomian
Indonesia. Jakarta
Departemen Pertanian RI. 2007. Pedoman Penyusunan Pola Pangan Harapan. BKP,
Kementan : Jakarta.