KEHAMILAN
Bagi ibu-ibu dan teman-teman yang sedang hamil, info ini mungkin bisa membantu agar kita tau
apakah obat-obat yang kita dapatkan pada saat kehamilan masih dalam kategori aman atau tidak.
Yang pasti ketika dokter memberikan obat, dokter pasti akan mempertimbangkan manfaat yang
lebih kita butuhkan dari obat tersebut...semoga bermanfaat.....
FDA mengkategorikan obat pada kehamilan menjadi 5 kategori yaitu kategori A, B, C, D, X
1. Kategori A
Obat-obat yang telah banyak digunakan oleh wanita hamil tanpa disertai kenaikan frekuensi
malformasi janin atau pengaruh buruk lainnya. Misalnya parasetamol, penisilin, eritromisin,
digoksin, isoniazid, dan asam folat
2. Kategori B
Obat-obat yang pengalaman pemakaiannya pada wanita hamil masih terbatas, tetapi tidak
terbukti
meningkatkan frekuensi malformasi atau pengaruh buruk lainnya pada janin. Kategori B dibagi
lagi
berdasarkan temuan-temuan pada studi toksikologi pada hewan, yaitu :
a. B1 : dari penelitian pada hewan tidak terbukti meningkatnya kejadian kerusakan janin
contoh :
cimetidin
b. B2 : data dari penelitian pada hewan belum memadai tetapi ada petunjuk tidak
meningkatnya
kejadiaan kerusakan janin. Contoh : amfoterisin, dopamin
c. B3 : penelitian pada hewan menunjukkan peningkatan kejadian kerusakan janin, tetapi
belum
tentu bermakna pada manusia. Contoh : carbamazepin, griseofulvin
3. Kategori C
Obat-obat yang dapat memberi pengaruh buruk pada janin tanpa disertai malformasi anatomic
semata-mata karena efek farmakologiknya. Efeknya bersifat reversibel. Contoh : rifampisin,
aspirin
4. Kategori D
Obat-obat yang terbukti menyebabkan meningkatkannya kejadian malformasi janin pada
manusia
atau menyebabkan kerusakan janin yang bersifat ireversibel. Obat-obat dalam kategori ini juga
mempunyai efek farmakologik yang merugikan terhadap janin. Contoh : penitoin, asam
valproat
5. Kategori X
Kategori obat yang telah terbukti mempunyai resiko tinggi terjadinya pengaruh buruk yang
menetap
(ireversibel) pada janin jika diminum pada masa kehamilan. Obat dalam kategori ini
merupakan
kontraindikasi mutlak selama kehamilan. Misalnya talidomid
KLASIFIKASI OBAT UNTUK IBU HAMIL GOLONGAN C
BAB I
PENDAHULUAN
Pada umumnya para ibu hamil akan memberitahu dokter saat berobat bahwa dirinya hamil sekian
bulan. Demikian pula jika berobat saat menyusui (ASI bayinya. Informasi tersebut diberikan si ibu dengan
harapan dokter akan memberikan obat yang aman bagi janin yang dikandungnya. Itupun tak jarang si ibu
masih mananyakan kepada dokter apakah obat yang digunakan benar-benar aman. Hal ini sangat wajar
dan kita patut menghargainya.
Di sisi lain, ketika seorang ibu hamil sakit adakalanya enggan ke dokter lantaran takut menggunakan
obat. Alhasil keluhannya makin bertambah dan akhirnya datang juga ke dokter untuk berobat.
Seorang dokter tentu sangat paham bahwa saat memberikan(meresepkan) obat bagi wanita hamil
akan dipilihkan obat yang aman, baik dalam hal jenis obat (berdasarkan indeks keamanan obat), dosis
maupun lamanya penggunaan. Selain itu akan dipertimbangkan pula aspek-aspek lain berdasarkan
penyakitnya, misalnya: resiko penularan kepada anggota keluarga lain, dan pertimbangan lain terkait
kondisi janin maupun si ibu sendiri.
Pun manakala seorang dokter dihadapkan pada 2 pilihan sulit yang menyangkut life saving, aspek
manfaat akan dikedepankan dibanding resiko yang bakal dihadapi baik bagi janin maupun ibunya.
Sebagai contoh, seorang ibu hamil yang kebetulan menderita asma, justru seyogyanya segera
berobat agar tidak mengalami sesak berkepanjangan yang justru tidak baik bagi janin karena beresiko
terjadinya hipoksia (kekurangan oksigen) yang akan mempengaruhi pasokan oksigen bagi janin.
Adapun batasan keamanan obat bagi ibu hamil disusun dalam 5 kategori yaitu golongan ( A, B, C, D
dan X ).
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui jenis-jenis obat untuk ibu hamil yang golongan C
Untuk mengetahui indikasi obat golongan C untuk ibu hamil
Untuk mengetahui kontraindikasi obat golongan C untuk ibu hamil
Untuk mengetahui dosis obat golongan C untuk ibu hamil
Untuk mengetahui efek samping obat golongan C untuk ibu hamil
Untuk mengetahui interaksi obat golongan C untuk ibu hamil
BAB II
PEMBAHASAN
Sediaan : Tablet
pusing.
diperkenankan.
Mekanisme kerja : Bekerja pada otot polos jalan nafas dan pembuluh
ginjal, jantung.
Sediaan : Tablet
terminal SSP.
prenia depresi.
dengan kebutuhan.
organ.
konjungtivitis alergika.
dan neonatus.
sedasi antizolin.
Sediaan : Tablet
tubuli
sickness
Interaksi obat :-
asmatikus
Kontraindikasi : Serangan asma akut atau status assmatikus,
hipersensitivitas
methor, abtugon,dsb
central
hamil, hipersensitivitas
protein.
miliaria
Interaksi obat :-
vaskuler perifer
saluran cerna
efeknya
vasokonstriksinya
Indikasi : Peradangan atau pruritus pada dermatosis,
miliaria
Interaksi obat :-
of Henle
syndrome, hipertensi
antihipertensi
dan maningitis yang disebabkan basil garam negatif seperti E. Coli, Ps. Aeroginosa, staphilococcus,
profilaksis endokarditis.
Sediaan : Tablet
pankreas
salisilat.
Sediaan : Tablet
pankreas
hipersensitivitas.
kulit kemerahan.
menyusui, hipersensitivitas.
bersama antikoagulan
provilas, dsb
Kontraindikasi : Hipersensitivitas
alergika
Sediaan :Tablet
kolon
gastrofaresis
menyususi
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Hingga kini kita di Indonesia masih menggunakan kriteria keamanan obat bagi ibu hamil yang
dilansir oleh FDA (Food and Drug Administration) sebagai pedoman dalam memberikan obat pada ibu
hamil.
Kategori-kategori tersebut dibuat berdasarkan ada tidaknya (besar kecilnya) resiko terhadap sistem
reproduksi, efek samping dan manfaat yag diharapkan.
Obat Kategori C adalah golongan obat yang pada studi terhadap sistem reproduksi binatang
percobaan menunjukkan adanya efek samping bagi janin. Sedangkan pada wanita hamil belum ada study
terkontrol. Obat golongan ini hanya dapat dipergunakan jika manfaatnya lebih besar ketimbang resiko
yang mungkin terjadi pada janin
PENDAHULUAN
Di sisi lain, ketika seorang ibu hamil sakit adakalanya enggan ke dokter lantaran takut menggunakan
obat. Alhasil keluhannya makin bertambah dan akhirnya datang juga ke dokter untuk berobat.
Seorang dokter tentu sangat paham bahwa saat memberikan(meresepkan) obat bagi wanita hamil
akan dipilihkan obat yang aman, baik dalam hal jenis obat (berdasarkan indeks keamanan obat), dosis
maupun lamanya penggunaan. Selain itu akan dipertimbangkan pula aspek-aspek lain berdasarkan
penyakitnya, misalnya: resiko penularan kepada anggota keluarga lain, dan pertimbangan lain terkait
kondisi janin maupun si ibu sendiri.
Pun manakala seorang dokter dihadapkan pada 2 pilihan sulit yang menyangkut life saving, aspek
manfaat akan dikedepankan dibanding resiko yang bakal dihadapi baik bagi janin maupun ibunya.
Sebagai contoh, seorang ibu hamil yang kebetulan menderita asma, justru seyogyanya segera
berobat agar tidak mengalami sesak berkepanjangan yang justru tidak baik bagi janin karena beresiko
terjadinya hipoksia (kekurangan oksigen) yang akan mempengaruhi pasokan oksigen bagi janin.
Adapun batasan keamanan obat bagi ibu hamil disusun dalam 5 kategori yaitu golongan ( A, B, C, D
dan X ).
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui jenis-jenis obat untuk ibu hamil yang golongan C
Untuk mengetahui indikasi obat golongan C untuk ibu hamil
Untuk mengetahui kontraindikasi obat golongan C untuk ibu hamil
Untuk mengetahui dosis obat golongan C untuk ibu hamil
Untuk mengetahui efek samping obat golongan C untuk ibu hamil
Untuk mengetahui interaksi obat golongan C untuk ibu hamil
BAB II
PEMBAHASAN
Sediaan : Tablet
pusing.
diperkenankan.
Mekanisme kerja : Bekerja pada otot polos jalan nafas dan pembuluh
ginjal, jantung.
Sediaan : Tablet
terminal SSP.
prenia depresi.
dengan kebutuhan.
organ.
konjungtivitis alergika.
dan neonatus.
sedasi antizolin.
Sediaan : Tablet
tubuli
sickness
Interaksi obat :-
asmatikus
Kontraindikasi : Serangan asma akut atau status assmatikus,
hipersensitivitas
methor, abtugon,dsb
central
hamil, hipersensitivitas
protein.
miliaria
Interaksi obat :-
vaskuler perifer
saluran cerna
efeknya
vasokonstriksinya
Indikasi : Peradangan atau pruritus pada dermatosis,
miliaria
Interaksi obat :-
of Henle
syndrome, hipertensi
antihipertensi
dan maningitis yang disebabkan basil garam negatif seperti E. Coli, Ps. Aeroginosa, staphilococcus,
profilaksis endokarditis.
Sediaan : Tablet
pankreas
salisilat.
Sediaan : Tablet
pankreas
hipersensitivitas.
kulit kemerahan.
menyusui, hipersensitivitas.
bersama antikoagulan
provilas, dsb
Kontraindikasi : Hipersensitivitas
alergika
Sediaan :Tablet
kolon
gastrofaresis
menyususi
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Hingga kini kita di Indonesia masih menggunakan kriteria keamanan obat bagi ibu hamil yang
dilansir oleh FDA (Food and Drug Administration) sebagai pedoman dalam memberikan obat pada ibu
hamil.
Kategori-kategori tersebut dibuat berdasarkan ada tidaknya (besar kecilnya) resiko terhadap sistem
reproduksi, efek samping dan manfaat yag diharapkan.
Obat Kategori C adalah golongan obat yang pada studi terhadap sistem reproduksi binatang
percobaan menunjukkan adanya efek samping bagi janin. Sedangkan pada wanita hamil belum ada study
terkontrol. Obat golongan ini hanya dapat dipergunakan jika manfaatnya lebih besar ketimbang resiko
yang mungkin terjadi pada janin
Magnesium sulfat dikeluarkan secara eksklusif oleh ginjal dan mempunyai efek antihipertensi. Dapat
diberikan dengan dua cara, yaitu IV dan IM. Rute intravena lebih disukai karena dapat dikontrol lebih
mudah dan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat terapetik lebih singkat. Rute intramuskular
cenderung lebih nyeri dan kurang nyaman, digunakan jika akses IV atau pengawasan ketat pasien tidak
mungkin. Pemberian magnesium sulfat harus diikuti dengan pengawasan ketat atas pasien dan fetus.
Tujuan terapi magnesium adalah mengakhiri kejang yang sedang berlangsung dan mencegah kejang
berkelanjutan. Pasien harus dievaluasi bahwa refleks tendon dalam masih ada, pernafasan sekurangnya
12 kali per menit dan urine output sedikitnya 100 ml dalam 4 jam. Terapi magnesium biasanya
dilanjutkan 12-24 jam setelah bayi lahir ; dapat dihentikan jika tekanan darah membaik serta diuresis
yang adekuat. Kadar magnesium harus diawasi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, pada level 6-
8 mg/dl. Pasien dengan urine output yang meningkat memerlukan dosis rumatan untuk
mempertahankan magnesium pada level terapetiknya. Pasien diawasi apakah ada tanda-tanda
perburukan atau adanya keracunan magnesium.
Protokol pemberian magnesium menurut The Parkland Memorial Hospital, Baltimore, adalah sebagai
berikut :
4 g. magnesium sulfat IV dalam 5 menit, dilanjutkan dengan 10 g. magnesium sulfat dicampur dengan 1
ml lidokain 2% IM dibagi pada kedua bokong. Bila kejang masih menetap setelah 15 menit lanjutkan
dengan pemberian 2 g. magnesium sulfat IV dalam 3-5 menit. Sebagai dosis rumatan, 4 jam kemudian
berikan 5 g. magnesium sulfat IM, kecuali jika refleks patella tidak ada, terdapat depresi pernafasan, atau
urine output <100 ml dalam 4 jam tersebut. Atau dapat diberikan magnesium sulfat 2-4 g/jam IV. Bila
kadar magnesium >10 mg/dl dalam waktu 4 jam setelah pemberian bolus maka dosis rumatan dapat
diturunkan. Level terapetik adalah 4,8-8,4 mg/dl. Dengan protokol di atas, biasanya serum magnesium
akan mencapai 4-7 mg/dl pada pasien dengan distribusi volume normal dan fungsi ginjal yang normal.
Pengawasan aktual serum magnesium hanya dilakukan pada pasien dengan gejala keracunan
magnesium atau pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Pasien dapat mengalami kejang ketika
mendapat magnesium sulfat. Bila kejang timbul dalam 20 menit pertama setelah menerima loading
dose, kejang biasanya pendek dan tidak memerlukan pengobatan tambahan.
Bila kejang timbul >20 menit setelah pemberian loading dose, berikan tambahan 2-4 gram magnesium.
dosis: inisial: 4-6 g. IV bolus dalam 15-20 menit; bila kejang timbul setelah pemberian bolus, dapat
ditambahkan 2 g. IV dalam 3-5 menit. Kurang lebih 10-15% pasien mengalami kejang lagi setelah
pemberian loading dosis. Dosis rumatan: 2-4 g./jam IV per drip. Bila kadar magnesium > 10 mg/dl dalam
waktu 4 jam setelah pemberian per bolus maka dosis rumatan dapat diturunkan. Pada Magpie Study,
untuk keamanan, dosis magnesium dibatasi. Dosis awal terbatas pada 4 g. bolus IV, dilanjutkan dengan
dosis rumatan 1 g./jam. Jika diberikan IM, dosisnya 10 g. dilanjutkan 5 g. setiap 4 jam. Terapi diteruskan
hingga 24 jam kontraindikasi : Hipersensitif terhadap magnesium, adanya blok pada jantung, penyakit
Addison, kerusakan otot jantung, hepatitis berat, atau myasthenia gravis.
Interaksi : Penggunaan bersamaan dengan nifedipin dapat menyebabkan hipotensi dan blokade
neuromuskular. Dapat meningkatkan terjadinya blokade neuromuskular bila digunakan dengan
aminoglikosida, potensial terjadi blokade neuromuskular bila digunakan kersamaan dengan tubokurarin,
venkuronium dan suksinilkolin. Dapat meningkatkan efek SSP dan toksisitas dari depresan SSP,
betametason dan kardiotoksisitas dari ritodrine.
Kategori keamanan pada kehamilan : A aman pada ehamilan.(Fugate SR dkk), Peringatan : Selalu
monitor adanya refleks yang hilang, depresi nafas dan penurunan urine output: Pemberian harus
dihentikan bila terdapat hipermagnesia dan pasien mungkin membutuhkan bantuan ventilasi. Depresi
SSP dapat terjadi pada kadar serum 6-8 mg/dl, hilangnya refleks tendon pada kadar 8-10 mg/dl, depresi
pernafasan pada kadar 12-17 mg/dl, koma pada kadar 13-17 mg/dl dan henti jantung pada kadar 19-20
mg/dl. Bila terdapat tanda keracunan magnesium, dapat diberikan kalsium glukonat 1 g. IV secara
perlahan. Magnesium sulfat harus dipikirkan untuk wanita hamil dengan eklampsia karena harganya
murah, cocok digunakan di negara yang pendapatannya rendah. Pemberian intravena lebih disukai
karena efek sampingnya lebih rendah dan masalah yang disebabkan oleh tempat penyuntikan lebih
sedikit. Lamanya pengobatan umumnya tidak lebih dari 24 jam, dan bila rute intravena digunakan untuk
terapi rumatan maka dosisnya jangan melebihi 1 g/jam.Pemberian dan pengawasan klinik selama
pemberian magnesium sulfat dapat dilakukan oleh staf medik, bidan dan perawat yang sudah terlatih.
2. Fenitoin
Fenitoin telah berhasil digunakan untuk mengatasi kejang eklamptik, namun diduga menyebabkan
bradikardi dan hipotensi. Fenitoin bekerja menstabilkan aktivitas neuron dengan menurunkan flux ion di
seberang membran depolarisasi. Keuntungan fenitoin adalah dapat dilanjutkan secara oral untuk
beberapa hari sampai risiko kejang eklamtik berkurang. Fenitoin juga memiliki kadar terapetik yang
mudah diukur dan penggunaannya dalam jangka pendek sampai sejauh ini tidak memberikan efek
samping yang buruk pada neonatus.
Dosis awal: 10 mg/kgbb. IV per drip dengan kecepatan < 50 mg/min, diikuti dengan dosis rumatan 5
mg/kgbb. 2 jam kemudian. Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap fenitoin, blok sinoatrial, AV blok
tingkat kedua dan ketiga, sinus bradikardi, sindrom Adams-Stokes. Interaksi : Amiodaron, benzodiazepin,
kloramfenikol, simetidin, flukonazol, isoniazid, metronidazol, miconazol, fenilbutazon, suksinimid,
sulfonamid, omeprazol, fenasemid, disulfiram, etanol (tertelan secara akut), trimethoprim dan asam
valproat dapat meningkatkan toksisitas fenitoin. Efektivitas fenitoin dapat berkurang bila digunakan
bersamaan dengan obat golongan barbiturat, diazoksid, etanol, rifampisin, antasid, charcoal,
karbamazepin, teofilin, dan sukralfat. Fenitoin dapat menurunkan efektifitas asetaminofen,
kortikosteroid, dikumarol,disopiramid, doksisiklin, estrogen, haloperidol, amiodaron, karbamazepin,
glikosida jantung, kuinidin, teofilin, methadon, metirapon, mexiletin, kontrasepsi oral, dan asam
valproat.
Kategori keamanan pada kehamilan: D-Tidak aman untuk kehamilan. Peringatan: Diperlukan
pemeriksaan hitung jenis dan analisis urin saat terapi dimulai untuk mengetahui adanya diskrasia darah.
Hentikan penggunaan bila terdapat skin rash, kulit mengelupas, bulla dan purpura pada kulit. Infus yang
cepat dapat menyebabkan kematian karena henti jantung, ditandai oleh melebarnya QRS. Hati-hati pada
porfiria intermiten akut dan diabetes (karena meningkatkan kadar gula darah). Hentikan penggunaan
bila terdapat disfungsi hati.
3. Diazepam
Telah lama digunakan untuk menanggulangi kegawatdaruratan pada kejang eklamptik. Mempunyai
waktu paruh yang pendek dan efek depresi SSP yang signifikan. Dosis : 5 mg IV. Kontraindikasi:
Hipersensitif pada diazepam, narrowangle glaucoma. Interaksi: Pemberian bersama fenotiazin,
barbiturat, alkohol dan MAOI meningkatkan toksisitas benzodiazepin pada SSP.Kategori keamanan pada
kehamilan: D-tidak aman digunakan pada wanita hamil. Peringatan : Dapat menyebabkan flebitis dan
trombosis vena, jangan diberikan bila IV line tidak aman; Dapat menyebabkan apnea pada ibu dan henti
jantung bila diberikan terlalu cepat. Pada neonatus dapat menyebabkandepresi nafas, hipotonia dan
nafsu makan yang buruk. Sodium benzoat berkompetisi dengan bilirubin untuk pengikatan albumin,
sehingga merupakan faktor predisposisi kernikterus pada bayi.
ANTIHIPERTENSI
Hipertensi yang berasosiasi dengan eklampsia dapat dikontrol dengan adekuat dengan menghentikan
kejang. Antihipertensi digunakan bila tekanan diastolik >110 mmHg. untuk mempertahankan tekanan
diastolik pada kisaran 90-100 mmHg. Antihipertensi mempunyai 2 tujuan utama: (1) menurunkan angka
kematian maternal dan kematian yang berhubungan dengan kejang, stroke dan emboli paru dan (2)
menurunkan angka kematian fetus dan kematian yang disebabkan oleh IUGR, placental abruption dan
infark. Bila tekanan darah diturunkan terlalu cepat akan menyebabkan hipoperfusi uterus. Pembuluh
darah uterus biasanya mengalami vasodilatasi maksimal dan penurunan tekanan darah ibu akan
menyebabkan penurunan perfusi uteroplasenta. Walaupun cairan tubuh total pada pasien eklampsia
berlebihan, volume intravaskular mengalami penyusutan dan wanita dengan eklampsia sangat sensitif
pada perubahan volume cairan tubuh. Hipovolemia menyebabkan penurunan perfusi uterus sehingga
penggunaan diuretik dan zat-zat hiperosmotik harus dihindari. Obat-obatan yang biasa digunakan untuk
wanita hamil dengan hipertensi adalah hidralazin dan labetalol. Nifedipin telah lama digunakan tetapi
masih kurang dapat diterima.
1. Hidralazin
Merupakan vasodilator arteriolar langsung yang menyebabkan takikardi dan peningkatan cardiac output.
Hidralazin membantu meningkatkan aliran darah ke uterus dan mencegah hipotensi. Hidralazin
dimetabolisir di hati. Dapat mengontrol hipertensi pada 95% pasien dengan eklampsia. Dosis: 5 mg IV
ulangi 15-20 menit kemudian sampai tekanan darah <110 mmHg. Aksi obat mulai dalam 15 menit,
puncaknya 30-60 menit, durasi kerja 4-6 jam. Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap hidralazin, penyakit
rematik katup mitral jantung. Interaksi: MAOI dan beta-bloker dapat meningkatkan toksisitas hidralazin
dan efek farmakologi hidralazin dapat berkurang bila berinteraksi dengan indometasin. Kategori
keamanan pada kehamilan: C keamanan penggunaanya pada wanita hamil belum pernah ditetapkan.
Peringatan: Pasien dengan infark miokard, memiliki penyakit jantung koroner; Efek sampingnya
kemerahan, sakit kepala, pusing-pusing, palpitasi, angina dan sindrom seperti idiosinkratik lupus.
(biasanya pada penggunaan kronik).
2. Labetalol
Merupakan beta-bloker non selektif. Tersedia dalam preparat IV dan per oral. Digunakan sebagai
pengobatan alternatif dari hidralazin pada penderita eklampsia. Aliran darah ke uteroplasenta tidak
dipengaruhi oleh pemberian labetalol IV. Dosis: Dosis awal 20 mg, dosis kedua ditingkatkan hingga 40
mg, dosis berikutnya hingga 80 mg sampai dosis kumulatif maksimal 300 mg; Dapat diberikan secara
konstan melalui infus; Aksi obat dimulai setelah 5 menit, efek puncak pada 10-20 menit, durasi kerja
obat 45 menit sampai 6 jam. Kontraindikasi: Hipersensitif pada labetalol, shock kardiogenik, edema paru,
bradikardi, blok atrioventrikular, gagal jantung kongestif yang tidak terkompensasi; penyakit saluran
nafas reaktif, bradikardi berat. Interaksi: Menurunkan efek diuretik dan meningkatkan toksisitas dari
metotreksat, litium, dan salisilat. Menghilangkan refleks takikardi yang disebabkan oleh penggunaan
nitrogliserin tanpa efek hipotensi. Simetidin dapat meningkatkan kadar labetalol dalam gula darah.
Glutetimid dapat menurunkan efek labetalol dengan cara menginduksi enzim mikrosomal. Kategori
keamanan pada kehamilan : C-keamanan penggunaanya pada wanita hamil belum ditetapkan.
Peringatan: Hati-hati bila digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Hentikan penggunaan bila
terdapat tanda disfungsi hati. Pada pasien yang berumur dapat terjadi keracunan ataupun respons yang
rendah.
3. Nifedipin:
Merupakan Calcium Channel Blocker yang mempunyai efek vasodilatasi kuat arteriolar. Hanya tersedia
dalam bentuk preparat oral. Dosis: 10 mg per oral, dapat ditingkatkan sampai dosis maksimal 120 mg/
hari. Kontraindikasi: Hipersensitif terhadap nifedipin. Interaksi: Hati-hati pada penggunaan bersamaan
dengan obat lain yang berefek menurunkan tekanan darah, termasuk beta blocker dan opiat; H2 bloker
(simetidin) dapat meningkatkan toksisitas. Kategori keamanan pada kehamilan: C Keamanan
penggunaannya pada wanita hamil belum ditetapkan. Peringatan: Dapat menyebabkan edema
ekstremitas bawah, jarang namun dapat terjadi hepatitis karena alergi. Masalah utama penggunaan
nifedipin adalah hipotensi. Hipotensi biasanya terjadi bila mengkonsumsi kalsium. Sebaiknya dihindari
pada kehamilan dengan IUGR dan pada pasien dengan fetus yang terlacak memiliki detak jantung
abnormal.
4. Klonidin
Merupakan agonis selektif reseptor 2 ( 2-agonis). Obat ini merangsang adrenoreseptor 2 di SSP dan
perifer, tetapi efek antihipertensinya terutama akibat perangsangan reseptor 2 di SSP. Dosis: dimulai
dengan 0.1 mg dua kali sehari; dapat ditingkatkan 0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Penggunaan
klonidin menurunkan tekanan darah sebesar 30-60 mmHg, dengan efek puncak 2-4 jam dan durasi kerja
6-8 jam. Efek samping yang sering terjadi adalah mulut kering dan sedasi, gejala ortostatik kadang
terjadi. Penghentian mendadak dapat menimbulkan reaksi putus obat. Kontraindikasi: Sick-sinus
syndrome, blok artrioventrikular derajat dua atau tiga. Interaksi: Diuretik, vasodilator, -bloker dapat
meningkatkan efek antihipertensi. Pemberian bersamaan dengan bloker dan atau glikosida jantung
dapat menurunkan denyut jantung dan disritmia. Pemberian bersamaan dengan antidepresan trisiklik
dapat menurunkan kemampuan klonidin dalam menurunkan tekanan darah.
Kategori keamanan pada kehamilan: C keamanan penggunaannya pada wanita hamil belum
ditetapkan. Peringatan: Hati-hati pada pasien dengan kelainan ritme jantung, kelainan sistem konduksi
AV jantung, gagal ginjal, gangguan perfusi SSP ataupun perifer, depresi, polineuropati, konstipasi. Dapat
menurunkan kemampuan mengendarai mobil ataupun mengoperasikan mesin.
KESIMPULAN
Mengingat angka kejadian eklampsia dan komplikasinya yang serius hingga menyebabkan kematian,
farmakoterapi adalah mutlak untuk menurunkan angka kematian, mencegah komplikasi dan
memperbaiki eklampsia. Obat-obatan yang dipakai mulai dari antikonvulsan dan beberapa anti
hipertensi. Akhir-akhir ini magnesium sulfat disebut sebagai drug of choice. Didukung oleh keamanan
penggunaannya dalam kehamilan dan harganya yang murah, penggunaan magnesium sulfat memang
harus dipikirkan untuk terapi eklampsia.
YANG PERLU PERHATIAN KHUSUS atau TIDAK BOLEH DIMINUM UNTUK IBU
HAMIL dan MENYUSUI :
Golongan Penicillin, seperti : amoxicillin, turunan tridydrate dan turunan garam Na-nya.
Golongan Tetracyclin, seperti : doxycycline, tetracyclin dan turunan HCl-nya (tidak boleh
untuk wanita hamil), dan oxytetracylin (tidak boleh untuk wanita hamil).
Berikut beberapa contoh antibiotik yang dinyatakan aman digunakan selama kehamilan:
Amoxicillin
Ampicillin
Clindamycin
Erythromycin
Penicillin
Daftar Obat Antibiotik yang Aman dan Berbahaya untuk Ibu Hamil/Kehamilan &
Menyusui :
Antibiotika [contents]
Ceftazidime,
Ceftazidime Approved B L1
Fortaz, Taxidime
L1
E-Mycin, Ery-tab,
Erythromycin Approved B L3 early
ERYC, Ilosone
postnatal
Fleroxacin - Approved - NR
Sulbactam - Approved - NR
Gantrisin, Azo-
Sulfisoxazole Approved C L2
Gantrisin
Achromycin,
Tetracycline Sumycin, Approved D L2
Terramycin
Ticarcillin, Ticar,
Ticarcillin Approved B L1
Timentin
Proloprim,
Trimethoprim/sulfamethoxazole Approved C L3
Trimpex