PEREKONOMIAN INDONESIA
USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH (UMKM)
Kelompok 4
Safira Damayanti (150810301026)
Kholillah Sakinah Ulza Haz (150810301030)
Dizzy Asrinda Siswi Ramadhani (150810301043)
Triana Novitasari (150810301044)
JURUSAN S1 AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS JEMBER
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah
Perekonomian Indonesia ini dengan tema Usaha Mikro Kecil Dan Menengah (Umkm).
Makalah ini tidak hanya berisi teori seputar apa itu UMKM, melainkan juga dijabarkan
mengenai pertumbuhannya di Indonesia serta perannya terhadap perkembangan
perekonomian di Indonesia.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang membangun, dari dosen pembina mata kuliah dan rekan-
rekan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa
meridhoi segala usaha kita, Amin.
Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang.................................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah............................................................................................. 1
1.3. Tujuan Penulisan............................................................................................... 1
BAB II METODE PENULISAN
2.1. Objek Penulisan 2
2.2. Dasar Pemilihan Objek 2
2.3. Metode Pengumpulan Data 2
2.4. Metode Analisis 2
BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Pengertian Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)................................. 3
2.2. Sasaran dan Pembinaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)............ 4
2.3. Permasalahan yang Dihadapi UMKM.............................................................. 4
2.4. Upaya Untuk Pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)... 6
BAB III PEMBAHASAN
3.1. Perkembangan dan Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM) di Indonesia.............................................................................................. 7
3.2. Hambatan dalam Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM) di Indonesia.............................................................................................. 9
3.3. Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM) di Indonesia.............................................................................................. 10
3.4. Strategi Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menegah (UMKM) di
Indonesia Mengahadapi Pasar Bebas ASEAN......................................................... 14
BAB IV PENUTUP
4.1. Kesimpulan........................................................................................................ 15
4.2. Saran.................................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 16
2
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
METODE PENULISAN
Objek penulisan yaitu mencakup penjelasan/gambaran dasar mengenai apa itu yang
dimaksud dengan UMKM, lalu pertumbuhan dari UMKM yang ada di Indonesia serta peran
dari UMKM terhadap perekonomian di Indonesia.
Objek yang penulis pilih adalah UMKM yang ada di Indonesia, perkembangan
UMKM di Indonesia dari waktu ke waktu, serta peranan dari UMKM terhadap perekonomian
Indonesia. Hal ini dikarenakan pertumbuhan UMKM di Indonesia masih dikatakan kurang,
padahal peranannya sangatlah besar bagi perekonomian di Indonesia. Diharapkan pembaca
dapat membuka usaha agar menciptakan lapangan kerja serta akan dapat membantu
perekonomian di Indonesia.
Dalam penulisan makalah ini, penulis secara umum mendapatkan bahan tulisan dari
berbagai referensi, baik dari tinjauan kepustakaan berupa buku buku atau dari sumber
media internet yang terkait dengan UMKM.
2
BAB III
LANDASAN TEORI
3
3.2. Sasaran dan Pembinaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
Adapun sasaran dari pembinaan dan pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM) di Indonesia antara lain:
1. Meningkatnya jumlah pengusaha menengah dan terwujudnya usaha yang semakin
tangguh dan mandiri sehingga pelaku ekonomi tersebut dapat berperan dalam
perekonomian nasional.
2. Meningkatnya daya saing pengusaha nasional di pasar dunia.
3. Seimbangnya persebaran investasi antar sektor dan antara golongan.
Dalam pembinaannya, terdapat hal-hal yang perlu dievaluasi dari UMKM. Hal-hal
tersebut yakni: (a) Proses peningkatan kemampuan mengelola (manajemen) dibidang
pemasaran, keuangan dan personalia, (b) Meningkatkan kemampuan kegiatan operasional,
dan (c) Kemampuan dalam mengendalikan bisnis.
Apabila UMKM sudah siap untuk bersaing terutama dalam perdagangan
internasional, UMKM harus mampu menerima dan mengadaptasi teknologi, serta mampu
melaksanakan inovasi. Peran pemerintah juga diperlukan dalam upaya untuk memabwa
UMKM dalam kancah internasional, seperti kebijakan pemerintah, lembaga pemerintah dan
non pemerintah yang mendukung, fasilitas infrastruktur yang memadai, serta kestabilan
politik dan penegakan hukum yang adil dan bersih. Disamping itu, UMKM yang
memerlukan suatu badan atau lembaga yang selalu memerlukan informasi bisnis yang akurat
dan terus-menerus, seperti BPEN (Badan Pengembangan Ekspor Nasional).
4
3. Teknologi
Usaha besar telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung
dengan teknologi yang dapat menjangkau internasional dan promosi yang baik.
Sebagian besar UMKM masih dihadapkan pada kendala dalam informasi yang
terbatas dan kemampuan akses ke sumber teknologi.
b. Faktor Eksternal
1. Iklim usaha belum sepenuhnya kondusif
Kebijaksanaan pemerintah untuk menumbuh kembangkan usaha mikro kecil,
dan menengah (UMKM), meskipun dari tahun ke tahun terus disempurnakan, namun
belum sepenuhnya kondusif. Hal ini terlihat masih terjadinya persaingan yang
kurang sehat antara pengusaha-pengusaha kecil dan pengusaha-pengusaha besar.
2. Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha
Kurangnya informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, menyebabkan sarana dan prasarana yang mereka miliki juga tidak
cepat berkembang dan kurang mendukung kemajuan usaha seperti yang diharapkan.
3. Implikasi Otonomi Daerah
Berlakunya UU nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, membuat
daerah memiliki otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat.
Perubahan sistem ini akan mengalami implikasi terhadap pelaku bisnis kecil dan
menengah berupa pungutan yang dikenakan pada UMKM. Apabila tidak segera
dibenahi maka akan menurunkan daya saing UMKM. Di samping itu semangat
kedaerahan yang berlebihan, kadang menciptakan kondisi yang kurang menarik bagi
pengusaha luar daerah untuk mengembangkan usahanya di daerah tersebut.
4. Implikasi Perdagangan Bebas
Sebagaimana diketahui bahwa AFTA yang mulai berlaku pada Tahun 2003 dan
APEC pada tahun 2020, yang berimplikasi luas terhadap UMKM untuk bersaing
dalam perdagangan bebas. Dalam hal ini, mau tidak mau UMKM dituntut untuk
melakukan proses produksi yang produktif dan efisien, serta dapat menghasilkan
produk yang sesuai dengan frekuensi pasar global dengan standar kualitas seperti isu
kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14.000) dan isu Hak Asasi Manusia
(HAM) serta isu ketenagakerjaan. Isu ini sering digunakan secara tidak fair oleh
Negara maju sebagai hambatan (Non Tarif Barrier for Trade). Untuk itu maka
UMKM perlu mempersiapkan agar agar mampu bersaing baik secara keunggulan
kompetitif yang berkelanjutan.
5
3.4. Upaya Untuk Pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
Pengembangan UMKM pada hakikatnya merupakan tanggung jawab bersama antara
pemerintah dan masyarakat. Dengan mencermati permasalahan yang dihadapi oleh UMKM,
maka ke depan perlu diupayakan hal-hal sebagai berikut:
1. Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif
Pemerintah perlu mengupayakan terciptanya iklim yang kondusif antara lain dengan
mengusahakan ketentraman dan keamanan berusaha serta penyederhanaan prosedur
perizinan usaha, keringanan pajak dan sebagainya.
2. Bantuan Permodalan Pemerintah
Bantuan permodalan oleh pemerintah dapat melalui sektor jasa finansial formal,
sektor jasa finansial informal, skema penjaminan, leasing dana modal ventura.
Pembiayaan untuk UMKM sebaiknya menggunakan Lembaga Keuangan Mikro
(LKM) yang ada, maupun non bank. LKM Bank antara lain, BRI unit desa dan Bank
Perkreditan Rakyat (BPR).
3. Perlindungan Usaha Jenis-Jenis Tertentu
Perlindungan usaha jenis-jenis usaha tertentu, terutama jenis usaha tradisional yang
merupakan usaha golongan ekonomi lemah, harus mendapatkan perlindungan dari
pemerintah, baik itu melalui undang-undang maupun peraturan pemerintah yang
bermuara kepada saling menguntungkan (win-win solution).
4. Pengembangan Kemitraan
Pengembangan kemitraan perlu dikembangkan, kemitraan yang saling membantu
antara UMKM, atau antara UMKM dengan pengusaha besar di dalam negeri
maupun luar negeri, untuk menghindarkan terjadinya monopoli dalam usaha.
5. Pelatihan Pemerintah
Pelatihan pemerintah yang diperlukan yakni dalam aspek kewiraswastaan,
manajemen, administrasi dan pengetahuan serta keterampilannya dalam
pengembangan usaha.
6. Membentuk Lembaga Khusus
Membentuk lembaga khusus perlu dibangun suatu lembaga yang khusus
bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan semua kegiatan yang berkaitan
dengan upaya penumbuh kembangan UMKM dan juga berfungsi untuk mencari
solusi dalam rangka mengatasi permasalahan baik internal maupun eksternal yang
dihadapi oleh UMKM.
6
BAB IV
PEMBAHASAN
7
mengalami peningkatan yang cukup pesat. Selama 5 tahun, tercatat ada peningkatan jumlah
tenaga kerja UMKM sebanyak 11.492.177 atau 13,07%.
Potensi lainnya dapat dilihat dan kontribusi UMKM terhadap pembentukan PDB
menurut harga berlaku, yang sesuai data BPS tahun 2008 mencapai Rp2.609,4 triliyun.
Dengan jumlah tersebut berarti bahwa 55,56% dan PDB nasional yang totalnya mencapai
Rp.4.696,5 triliyun bersandar pada produktivitas UMKM. Jumlah tersebut terus meningkat.
Data tahun 2009 menyebutkan bahwa UMKM berkontribusi sebesar 56,53% terhadap
pembentukan PDB menurut harga berlaku. Angka tersebut menjadi 57,12% di tahun 2010.
Berikut akan disajikan tabel kontribusi UMKM terhadap pembentukan PDB atas
dasar harga berlaku periode 2006-2010.
Tahun Kontribusi UMKM terhadap Jumlah kontribusi UMKM
pembentukan PDB atas harga terhadap PDB atas harga
berlaku berlaku
2006 56,23% 1.783,4 triliyun
2007 56,28% 2.107,8 triliyun
2008 55,56% 2.609,4 triliyun
2009 56,53% 2.993,1 triliyun
2010 57,12% 3.466,3 triliyun
(sumber: Kemenkop dan UMKM)
Di sisi lain, kontribusi UMKM dalam ekspor non migas mencapai sekitar Rp.183
triliyun. Setidaknya UMKM telah menjadi penguat ekspor non migas hingga 20,17% dan
total ekspor non migas sebesar Rp.910,9 triliyun. Angka tersebut menurun ketika di tahun
2009 jumlahnya menjadi 162,2 triliyun, namun meningkat lagi menjadi 175,8 triliyun di
tahun berikutnya. Walaupun angkanya fluktuaktif, peran UMKM dalam ekspor ini
merupakan bukti kemampuan dan daya saing produk UMKM di pasar persaingan bebas,
sekaligus merupakan potensi yang perlu terus dipelihara untuk menjaga kesinambungan
perdagangan internasional.
Dilihat dan nilai investasi (pembentukan modal tetap bruto) UMKM menurut harga
berlaku, pada 2008 mencapai Rp640 triliyun atau sebesar 52,89% dan total nilai investasi
nasional yang mencapai sebesar Rp.1.210 triliyun. Dengan tingkat investasi tersebut,
dibandingkan dengan usaha besar, maka pengembangan UMKM hanya membutuhkan tingkat
investasi yang lebih rendah, dengan konsekuensi akan memberikan kontribusi yang besar
bagi pembangunan ekonomi nasional
Berdasarkan data diatas, sangat terlihat bahwa UMKM merupakan kekuatan dalam
pelaksanaan ekonomi kerakyatan. Oleh karena itu, keberadaan UMKM harus dikembangkan
dan diberdayakan pemerintah. Dalam UU No.20/2008 tentang UMKM, didefinisikan bahwa
8
pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha,
dan Masyarakat secara sinergis dalam bentuk penumbuhan iklim dan pengembangan usaha
terhadap UMKM sehingga mampu tumbuh dan berkembang menjadi usaha yang tangguh
dan mandiri.
4.2. Hambatan dalam Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM)
di Indonesia
Meskipun Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah telah menunjukkan peranannya dalam
perekonomian nasional, namun masih menghadapi berbagai hambatan dan kendala, baik yang
bersifat internal maupun eksternal. Sebagai usaha yang ruang lingkup usahanya dan
anggotanya adalah (umumnya) rakyat kecil dengan modal terbatas dan kemampuan
manajerial yang juga terbatas, UMKM sangat rentan terhadap masalah-masalah
perekonomian.
Perlu digaris bawahi bahwa lebih dan 51 juta usaha yang ada, atau lebih dan 99,9%
pelaku usaha adalah Usaha Mikro dan Kecil, dengan skala usaha yang sulit berkembang
karena tidak mencapai skala usaha yang ekonomis. Dengan badan usaha perorangan,
kebanyakan usaha dikelola secara tertutup, dengan Legalitas usaha dan administrasi
kelembagaan yang sangat tidak memadai. Upaya pemberdayaan UMKM makin rumit karena
jumlah dan jangkauan UMKM demikian banyak dan luas, terlebih bagi daerah tertinggal,
terisolir dan perbatasan.
Badan Pusat Statistik (2003) di dalam Sri Winarni (2006) mengidentifikasikan
permasalahan umum yang dihadapi oleh UMKM adalah (1) Kurang permodalan, (2)
Kesulitan dalam pemasaran, (3) Persaingan usaha ketat, (4) Kesulitan bahan baku, (5) Kurang
teknis produksi dan keahlian, (6) Keterampilan manajerial kurang, (7) Kurang pengetahuan
manajemen keuangan, dan (8) Iklim usaha yang kurang kondusif (perijinan,
aturan/perundangan)
Hasil penelitian kerjasama Kementerian Negara KUKM dengan BPS (2003) di
dalam Sri Winarni (2006) menginformasikan bahwa UKM yang mengalami kesulitan usaha
72,47 %, sisanya 27,53 % tidak ada masalah. Dari 72,47 % yang mengalami kesulitan
usaha tersebut, diidentifikasi kesulitan yang muncul adalah (1) Permodalan 51,09 %, (2)
Pemasaran 34,72 %, (3) Bahan baku 8,59 %, (4) Ketenagakerjaan 1,09 %, (5) Distribusi
transportasi 0,22% dan (6) Lainnya 3,93 %.
Persentase kesulitan yang dominan dihadapi UMKM terutama meliputi kesulitan
permodalan (51.09%). Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam mengatasi kesulitan
9
permodalannya diketahui sebanyak 17,50 % UKM menambah modalnya dengan meminjam
ke bank, sisanya 82,50 % tidak melakukan pinjaman ke bank tetapi ke lembaga Non bank
seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP), perorangan, keluarga, modal ventura, lainnya.
Sedangkan permasalahan yang dihadapi UMKM dalam mendapatkan kredit modal
usaha antara lain adalah (1) Prosedur pengajuan yang sulit 30,30 %, (2) Tidak berminat
25,34 %, (3) Pelaku UMKM Tidak punya agunan 19,28 %, (4) UMKM yang tidak tahu
prosedur 14,33 %, (5) Suku bunga tinggi 8,82 %, (6) Proposal ditolak (1,93 %).
Penerapan Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2013 diyakini juga akan berdampak
negatif terhadap keberlangsungan UMKM. Aturan tersebut memuat mengenai pajak
penghasilan sebesar 1% bagi UMKM yang memiliki peredaran bruto dibawah 4,8 milyar
dalam 1 tahun.
Dari uraian dapat disimpulkan hambatan yang dialami oleh UMKM antara lain:
a. Kurangnya modal yang dimiliki oleh UMKM serta akses terhadap
b. Akses terhadap modal yang sulit dijangkau
c. Pengelolaan yang kurang profesional
d. Kesulitan dalam persaingan usaha yang pesat
e. Rendahnya tingkat inovasi pelaku UMKM
f. Kebijakan pemerintah yang kurang pro UMKM
g. Bahan baku sukar diperoleh
h. Pasar yang cepat berubah selera sehingga pemasaran menjadi sulit
4.3. Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah
(UMKM) di Indonesia
Semenjak Indonesia merdeka, pemerintah berusaha mencetak pengusaha-pengusaha
baru untuk merobohkan sistem ekonomi kolonial dan diganti dengan ekonomi kerakyatan.
Beberapa program disusun oleh pemerintah Orde Lama. Di masa demokrasi liberal, dikenal
Program Benteng (Kabinet Natsir), yaitu upaya menumbuhkan wiraswastawan pribumi dan
mendorong importir nasional agar bisa bersaing dengan perusahaan impor asing dengan
membatasi impor barang tertentu dan memberikan lisensi impornya hanya pada importir
pribumi serta memberikan kredit pada perusahaan-perusahaan pribumi agar nantinya dapat
berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi nasional. Namun usaha ini gagal, karena sifat
pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif dan tak bisa bersaing dengan pengusaha non-
pribumi.
10
Gagal dengan Program Benteng, pemerintah mengenalkan program baru yakni
sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr. Iskak
Cokrohadisuryo, yaitu penggalangan kerjasama antara pengusaha cina (baba) dan pengusaha
pribumi (ali). Pengusaha non-pribumi diwajibkan memberikan latihan pada pengusaha
pribumi, dan pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional.
Program ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman,
sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
Di masa Orde Baru, pengembangan UMKM terus berlanjut. Pemerintah Orba
membuat UU No.9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil guna memberdayakan usaha kecil. UU
ini berisi XI bab dan 38 pasal dan mengatur pelaksanan permberdayaan UMKM di Indonesia.
Sehubungan dengan perkembangan lingkungan perekonomian yang semakin
dinamis dan global, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, yang hanya
mengatur Usaha Kecil perlu diganti, agar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di Indonesia
dapat memperoleh jaminan kepastian dan keadilan usaha. UU tersebut diganti dengan UU
No.20 Tahun 2008 tentang UMKM. Dalam UU tersebut, disebutkan peran pemerintah untuk
memberdayakan UMKM.
Terkait dengan urusan pemerintahan, setiap Menteri membidangi urusan tertentu
dalam pemerintahan (Pasal 4 ayat 1). Kementerian Koperasi dan UKM RI merupakan
Kementerian di kelompok ketiga yaitu urusan pemerintahan dalam rangka penajaman,
koordinasi, dan sinkronisasi program pemerintah (Pasal 4 ayat 2, huruf C), berkaitan dengan
urusan pemerintahan bidang Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (Pasal 5 ayat 3).
Undang-Undang telah memberi amanat terhadap pemerintah untuk mengembangkan
UMKM. Dalam UU No.20 Tahun 2008 disebutkan peran pemerintah secara garis besar antara
lain:
a. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian kesempatan berusaha (Pasal 13).
b. Memfasilitasi pengembangan usaha dalam bidang produksi dan pengolahan,
pemasaran, sumber daya manusia, dan desain dan teknologi (Pasal 16 ayat 1).
c. Menyusun Peraturan Pemerintah mengenai tata cara pengembangan, prioritas,
intensitas, dan jangka waktu pengembangan usaha dimaksud (Pasal 16 ayat 3).
d. Menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang sah serta tidak
mengikat untuk UMK (Pasal 2l ayat4).
e. Memberikan insentif datam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan
tarif sarana prasarana, dan bentuk insentif lainnya yang sesuai.
11
Sehubungan dengan amanat Undang-Undang, pemerintah melaksanakan berbagai
program yang bertujuan untuk memberdayakan UMKM. Program tersebut antara lain adalah
program Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN) dan pemberian Kredit Usaha Rakyat
(KUR). GKN secara keseluruhan bertujuan untuk meningkatkan semangat dan jiwa
kewirausahaan bagi masyarakat, khususnya generasi muda, untuk menjadi wirausaha yang
mandiri handal dan tangguh, serta memiliki daya saing; serta meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan berwirausaha khusus bagi wirausaha baru.
Sedangkan KUR yang dilaksanakan sejak tahun 2007 dan bekerja sama dengan bank
nasional penyalur KUR sebanyak 7 bank yaitu Bank Nasional Indonesia (BNI), Bank Rakyat
Indonesia (BRI), Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Bukopin, Bank Syariah
Mandiri (BSM) dan Bank Negara Indonesia Syariah (BNI Syariah).
Hasil pelaksanaan pada tahun 2012 yaitu penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR)
sebesar Rp.34,2 triliun untuk lebih dari 1,9 juta debitur, dengan rata-rata kredit/pembiayaan
sebesar Rp.17,5 juta. Volume penyaluran KUR tersebut telah melampaui target tahun 2012
sebesar Rp.30 triliun. Tingkat non-performing loan (NPL) KUR pada tahun 2012 cukup
rendah yaitu 3,6 persen. Sebagian besar KUR disalurkan ke sektor perdagangan (37,5
persen), sektor pertanian dan perikanan (17,1 persen), dan sektor perdagangan terintegrasi
dengan sektor hulu (14,2 persen).
Realisasi sebaran KUR dari tahun 2007 sampai 2013 menyebutkan bahwa Bank BRI
adalah penyalur KUR terbesar dengan total plafond mencapai Rp. 79,9 triliun. Selain sektor
ritel BRI juga menyalurkan KUR di sektor mikro yang masing-masing plafondnya sebesar
Rp. 16,03 triliun dan Rp. 63,9 triliun, debiturnya 94.710 UMK dan 8.650.164 UMK, rata-rata
kredit Rp. 169,3 juta/debitur dan Rp. 7,4 juta/debitur, serta NPL penyaluran masing-masing
3,4% dan 1,9%. Menduduki peringkat kedua yaitu Bank Bank Mandiri dengan total plafond
sebesar Rp. 12,6 triliun, debiturnya sebanyak 250.032 UMK, dengan rata-rata kredit Rp. 50,4
juta/debitur serta nilai NPL sebesar 4,3%. Di urutan ketigaadalah BNI dengan total plafond
sebesar Rp. 12,11 triliun, debiturnya sebanyak 184.805 UMK, dengan rata-rata kredit Rp.
65,5 juta/debitur serta nilai NPL sebesar 4,1%.
Selanjutnya berturut-turut yaitu BTN dengan plafond Rp. 4,1 triliun, BSM dengan
plafond Rp. 3,4 triliun, Bank Bukopin dengan plafond 1,75 triliun dan BNI Syariah dengan
plafond Rp. 142.876 miliar. Secara keseluruhan, nilai Non Performing Loan (NPL)
penyaluran KUR oleh bank pelaksana ini masih dibawah 5% yaitu sebesar 3,4%. Bank BTN
merupakan Bank Pelaksana dengan nilai NPL terbesar dalam penyaluran KUR yaitu sebesar
9,5% dan BRI Mikro dengan NPL terkecil yaitu 1,9%. Diharapkan pada periode-periode
12
berikutnya nilai NPL pada bank yang masih di atas 5% bisa turun sehingga penyalurannya
lebih tepat sasaran.
Pada tahun 2012, pemerintah juga melakukan pendampingan bagi 27.520 calon
debitur KUR dan sosialisasi KUR di 33 provinsi. Melalui program tersebut diharapkan
penerima KUR dapat mempergunakan KUR untuk pengembangan usaha dan membuat
UMKM menjadi lebih berdaya karena tambahan modal tersebut.
13
diraih oleh para pelaku UKM, serta kurangnya keahlian maupun pengetahuan untuk
mengembangkan usaha. Sifat konsumtif masyarakat Indonesia, juga menyebabkan kurang
berkembangnya para pelaku UKM karena kalah bersaing dengan produk asing.
Sebagian besar (hampir 99 persen), UMKM di Indonesia adalah usaha mikro di
sektor informal dan pada umumnya menggunakan bahan baku lokal dengan pasar lokal.
Itulah sebabnya tidak terpengaruh secara langsung oleh krisis global. Laporan World
Economic Forum (WEF) 2010 menempatkan pasar Indonesia pada ranking ke-15. Hal ini
menunjukkan bahwa Indonesia sebagai pasar yang potensial bagi negara lain. Sayangnya,
potensi ini yang belum dimanfaatkan oleh UMKM secara maksimal.
Kemampuan UMKM dalam menghadapi terpaan arus persaingan global memang
perlu dipikirkan lebih lanjut agar tetap bertahan demi kestabilan perekonomian Indonesia.
Strategi pengembangan UMKM untuk tetap bertahan dapat dilakukan dengan peningkatan
daya saing dan pengembangan sumber daya manusianya agar memiliki nilai dan mampu
bertahan menghadapi pasar ACFTA, diantaranya melalui penyaluran perkreditan (KUR),
penyediaan akses informasi pemasaran, pelatihan lembaga keuangan mikro, dan
pengembangan Information Technology (IT).
14
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), saat ini dianggap sebagai cara yang
efektif dalam mengurangi pengangguran. Hal tersebut dibuktikan dengan jumlah UMKM
yang mencapai 99,99% dari total usaha di Indonesia, telah mampu menyerap 97,30% tenaga
kerja di Indonesia. Keberadaan UMKM juga memberikan kontribusi sebesar 57,12%
terhadap produk domestik bruto (PDB).
UMKM juga memiliki berbagai hambatan dalam pengelolaannya. Masalah utama
yang dihadapi oleh UMKM adalah permodalan. Menyusul masalah lain adalah pengelolaan
yang kurang profesional, kesulitan dalam persaingan usaha yang pesat, rendahnya tingkat
inovasi pelaku UMKM, kebijakan pemerintah yang kurang pro UMKM, bahan baku sukar
diperoleh, pasar yang cepat berubah selera sehingga pemasaran menjadi sulit.
Untuk mengatasi hambatan tersebut, peran pemerintah sangat diharapkan. Undang-
Undang telah memberi amanat kepada pemerintah untuk mengembangkan dan
memberdayakan UMKM. Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah juga harus
diperhatikan guna menumbuhkembangkan iklim usaha yang kondusif bagi pelaku UMKM.
Beberapa program telah dilakukan pemerintah untuk melaksanakan amanat Undang-
Undang . Program GKN dan pemberian KUR mencadi contoh peran pemerintah dalam upaya
untuk menghasilkan UMKM yang berdaya dan mampu bersaing dengan usaha lain.
5.2. Saran
Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) perlu disinkronkan
dengan kebijakan kementerian lain agar tidak mengganggu iklim usaha yang kondusif.
Pemerintah juga harus memperbanyak lagi kerjasama dengan pihak lain dalam upaya untuk
memberdayakan UMKM.
15
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian UMKM dan Koperasi, Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2014 Bidang
Pemberdayaan UMKM dan Koperasi.
LSM Lentera. Kelemahan dan Hambatan Koperasi dan UKM, (Online), http://lembagalentera.
wordpress.com/2012/12/11/kelemahan-dan-hambatan-koperasi-dan-ukm-2/, diakses 30
Oktober 2016.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang Usaha Kecil Mikro Dan Menengah.
Usaha, Kerja. Mengenal Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), (Online),
http://www.kerjausaha.com/2013/01/mengenal-usaha-mikro-kecil-dan-menengah.html,
diakses diakses 30 Oktober 2016.
16