Anda di halaman 1dari 33

1

PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMAHAMI KAIDAH KEBAHASAAN


DALAM TEKS CERITA ULANG NELSON MANDELA: SANG PEMAAF
PERUNTUH APHARTHEID MELALUI MODEL PEMBELAJARAN
NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) SISWA KELAS XI
SMAN 1 KEMBANG TANJONG

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kemampuan memahami kaidah kebahasaan merupakan aspek terpenting

yang harus dimiliki oleh setiap siswa agar mampu mengedukasi keempat aspek

kebahasaan. Tidak hanya dalam pembelajaran bahasa indonesia saja, tetapi juga

mencakup seluruh mata pelajaran yang diajarkan di sekolah.

Kaidah kebahasaan berasal dari kata kaidah dan bahasa. Kaidah dalam

bahasa arab adalah qoidah yang berarti patokan, pedoman atau titik tolak.

Sedangkan mayoritas ulama ushul mendefinisikan bahwa kaidah merupakan hukum

yang berlaku bersesuaian dengan sebagian besar bagiannya. Dalam kamus besar

bahasa indonesia (KBBI) kaidah didefinisikan sebagai rumusan asas, patokan, atau

hukum yang sudah pasti. Sedangkan bahasa merupakan bunyi dihasilkan oleh alat

ucap berupa bentuk dan makna, sistem tanda atau sistem lambang, sebagai alat

komunikasi, dan digunakan oleh kelompok manusia atau masyarakat untuk

mengindenfikasi diri dalam makna yang berkaitan dengan penggunaan bahasa yang

terdapat dalam kata yang diucapkan. Bahasa adalah sistem simbol bunyi yang

bermakna dan berartikulasi yang bersifat arbitrer dan konvensional, yang dipakai

sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaan

dan pikiran Wibowo (2001:3). Bahasa merupakan rangkaian bunyi yang dihasilkan
2

oleh alat ucap manusia secara sadar Santoso (1990:1). Sedangkan Chaer (2004:1)

menyatakan bahwa bahasa adalah suatu sistem lambang berupa bunyi, bersifat

arbitrer, digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk bekerjasama, berkomunikasi,

dan mengindentifikasi diri. Pendapat yang hampir serupa juga dikemukakan oleh

Sibarani (2004: 37) yang menyatakan bahwa bahasa adalah tanda atau lambang,

sebagai alat komunikasi yang digunakan oleh kelompok manusia atau masyarakat.

Bahasa pada hakikatnya adalah ucapan pikiran dan perasan manusia secara teratur,

yang mempergunakan bunyi sebagai alatnya (Depdiknas, 2005: 3). Sedangkan

bahasa menurut Hasan Alwi (2002: 88) bahasa berarti sistem lambang bunyi yang

arbitrer, yang digunakan oleh semua orang atau anggota masyarakat untuk

bekerjasama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri dalam bentuk percakapan yang

baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas mengenai kaidah dan bahasa

diatas, penulis dapat menyimpulkan bahwa kaidah kebahasaan merupakan aturan-

aturan yang dibuat oleh suatu badan tertentu dalam suatu wilayah yang bersifat

integral. Sebagai pedoman atau landasan untuk mengatur bahasa itu sendiri dalam

suatu wilayah tersebut.

Kajian mengenai kaidah bahasa dalam bahasa indonesia tentunya sangat luas,

karena mencakup seluruh tataran linguistik, yaitu meliputi: (1) fonologi, (2)

morfologi, (3) sintaksis, dan (4) semantik. Oleh sebab itu, untuk mengarahnya

penelitian ini, sesuai dengan judul yang diajukan penulis yaitu: Peningkatan

Kemampuan Memahami Kaidah Kebahasaan Dalam Teks Cerita Ulang Nelson

Mandela: Sang Pemaaf Peruntuh Apartheid Melalui Model Pembelajaran


3

Numbered Heads Together (NHT) Siswa Kelas xi SMAN 1 Kembang Tanjong,

maka penulis membatasi penelitian ini pada tataran sintaksis, meliputi; pronomina,

verba, konjungsi dan kalimat simplek.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi masalah

dalam penelitan ini adalah Bagaimanakah hasil Peningkatan Kemampuan

Memahami Kaidah Kebahasaan Dalam Teks Cerita Ulang Nelson Mandela: Sang

Pemaaf Peruntuh Apartheid Melalui Model Pembelajaran Numbered Heads

Together (NHT) Siswa Kelas xi SMA Negeri 1 Kembang Tanjong?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini memiliki dua tujuan utama, yaitu:

1. Meningkatkan kemampuan memahami kaidah kebahasaan dalam teks cerita

ulang nelson mandela: sang pemaaf peruntuh apartheid melalui model

pembelajaran numbered heads together (nht) siswa kelas xi SMA Negeri 1

Kembang Tanjong.

2. Menguji keefektifan model pembelajaran Numbered Head Together (NHT)

dalam upaya meningkatkan kemampuan memahami kaidah kebahasaan

dalam teks cerita ulang Nelson Mandela: Sang Pemaaf Peruntuh Apartheid

siswa kelas xi SMAN 1 Kembang Tanjong.


4

1.4 Anggapan Dasar dan Hipotesis

1.4.1 Anggapan Dasar

Anggapan dasar adalah sesuatu yang diyakini kebenarannya oleh peneliti

yang akan berfungsi sebagai tempat berpijak bagi peneliti dalam melaksanakan

penelitiannya. Dalam pembuatan anggapan dasar yang harus diperhatikan adalah:

a. Kemampuan memahami kaidah kebahasaan merupakan salah satu aspek

terpenting yang harus dimiliki oleh setiap siswa kelas xi SMAN 1 Kembang

Tanjong.

b. Numbered Heads Together (NHT) merupakan salah satu model pembelajaran

yang sangat efektif dan efisien. Oleh karena itu, dalam upaya meningkatkan

kemampuan siswa kelas xi MAN 1 Kembang Tanjong memahami kaidah

kebahasaan dalam teks cerita ulang Nelson Mandela: Sang Pemaaf

Peruntuh Apartheid melalui model pembelajaran Numbered Heads Together

(NHT) layak untuk diimplementasikan.

1.4.2 Hipotesis

Untuk mengarahnya suatu penelitian, maka perlu dikemukan hipotesis. Hal

tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Sudjana (2004:213) yaitu:

hipotesis adalah perumusan dugaan sementara yang harus diuji lagi kebenarannya.

Dengan demikian, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: Peningkatan

Kemampuan Memahami Kaidah Kebahasaan Dalam Teks Cerita Ulang Nelson

Mandela: Sang Pemaaf Peruntuh Apartheid Melalui Model Pembelajaran

Numbered Heads Together (NHT) Siswa Kelas xi SMAN 1 Kembang Tanjong

akan mampu memperoleh nilai rata-rata baik (rentang antara 76-85).


5

BAB II

LANDASAN TEORITIS

2.1 Pronomina
2.1.1 Pengertian Pronomina

Secara umum, pronomina atau kata ganti adalah kata yang dipakai untuk

mengganti nomina /benda atau sesuatu yang dibendakan. Pronomina adalah kata

yang dipakai untuk mengacu kepada nomina lain (Alwi, dkk., 2003: 249). Sedangkan

Djajasudarma (2010: 40) mendefinisikan bahwa pronomina adalah unsur yang

mengganti nomina (berfungsi sebagai nominal). Pendapat serupa juga dikemukakan

oleh (Kridalaksana, 2008: 76) yang mengungkapkan bahwa pronomina merupakan

kategori yang berfungsi untuk menggantikan nomina. Selain itu, pronomina

merupakan kata benda yang menyatakan orang, sering kali diganti kedudukannya

dalam pertuturan dengan sejenis kata yang lazim disebut kata ganti (Chaer, 1998:

91). Keluar dari pendapat para ahli, Depdikbud juga memberikan definisi yang

hampir serupa dengan beberapa para ahli di atas, yaitu; Pronomina adalah kata yang

dipakai untuk mengganti orang atau benda, (Depdikbud, 2005: 899). Di samping

itu, kamus besar bahasa indonesia (KBBI) juga mendefinisikan bahwa pronomina

adalah kata yang dipakai untuk menggantikan orang atau benda.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa

pronomina adalah kata ganti yang menggantikan nomina atau kata benda atau

sesuatu yang dibendakan dalam menulis sebuah teks. Hal tersebut bertujuan untuk

menghindari proses reduplikasi yang memengaruhi ketidakefektifan dalam penulisan

sebuah teks.
6

2.1.2 Jenis-Jenis Pronomina

2.1.2.1 Pronomina Persona

Pronomina persona adalah pronomina yang dapat dipakai unuk mengacu pada

orang (Alwi, dkk., 2003: 249). Pronomina persona dapat mengacu pada diri sendiri

(pronomina persona pertama), mengacu pada orang yang diajak bicara (pronomina

persona kedua), atau mengacu pada orang yang dibicarakan (pronomina persona

ketiga).

2.1.2.1.1 Pronomina Persona Pertama

Pronomima Persona pertama dalam bahasa indonesia terdiri dari pronomina

persona pertama tunggal dan jamak. Pronomima Persona pertama tunggal bahasa

Indonesia adalah saya, aku, dan daku (Alwi, dkk., 2003: 251). Ketiga bentuk itu

adalah bentuk baku, tetapi mempunyai tempat pemakaian yang agak berbeda. Saya

adalah bentuk yang formal dan umumnya dipakai dalam tulisan atau ujaran yang

resmi. Tulisan formal pada buku nonfiksi dan ujaran seperti pidato, sambutan, dan

ceramah. Persona pertama aku lebih banyak dipakai dalam pembicaraan batin dan

dalam situasi yang tidak formal dan yang lebih banyak menunjukkan keakraban

antara pembicara/penulis dan pendengar/pembaca. Oleh karena itu, bentuk ini sering

ditemukan dalam cerita, puisi, dan percakapan sehari-hari. Sedangkan Persona

pertama daku umumnya dipakai dalam karya sastra. Untuk lebih jelas, perhatikan

tabel berikut.
7

Tabel:
Pronomina persona pertama Pronomina persona pertama
tunggal jamak
Saya Kami
Aku Kita
Daku

2.1.2.1.2 Pronomina Persona Kedua

Pronomina persona kedua juga terdiri dari bentuk tunggal dan jamak. Persona

kedua bentuk tunggal mempunyai beberapa wujud, yaitu engkau, kamu, anda, dikau,

kau-, dan mu (Alwi, dkk., 2003: 253) . Sedangkan persona kedua bentuk jamak

hanya menpunyai satu macam bentuk, yaitu kalian.

Tabel:
Pronomina persona kedua
Pronomina persona kedua tunggal
jamak

Engkau

Kamu

Anda
kalian
Dikau

kau-

-mu
8

2.1.2.1.3 Pronomina Persona Ketiga

Sama halnya seperti pronomina persona pertama dan kedua, pronomina

persona ketiga juga mempunyai bentuk tunggal dan jamak. Pronomina persona

ketiga tunggal terdiri dari beberapa bentuk yaitu ia, dia, -nya dan beliau (Alwi,

dkk., 2003: 255). Sedangkan pronomina persona ketiga bentuk jamak hanya terdiri

dari satu bentuk saja, yaitu mereka.

Tabel:
Pronomina persona ketiga tunggal Pronomina persona ketiga jamak

Ia

Dia
Mereka
-nya

Beliau

2.1.2.2 Pronomina Penunjuk (Demonstratif)


Pronomina penunjuk dalam bahasa Indonesia terdiri dari tiga macam bentuk,

yaitu pronomina penunjuk umum, pronomina penunjuk tempat, dan pronomina

penunjuk ihwal (Alwi, dkk., 2003: 260).

2.1.2.2.1 Pronomina Penunjuk Umum

Pronomina penunjuk umum dalam bahasa indonesia ialah kata ini dan itu

(Alwi,2003:260). Kata ini mengacu pada acuan yang dekat pembicara/penulis, pada

masa yang akan datang, atau pada informasi yang akan disampaikan. Kata itu

digunakan untuk acuan yang agak jauh dari pembicara/penulis, pada masa lampau,

atau pada informasi yang sudah disampaikan. sebagai pronomina, ini dan itu
9

ditempatkan sesudah nomina yang diwatasinya, orang juga memakai kedua

pronomina itu sesudah pronomina persona, tampaknya untuk memberikan lebih

banyak penegasan.

2.1.2.2.2 Pronomina Penunjuk Tempat

Pronomina penunjuk tempat dalam bahasa Indonesia ialah sini, situ dan sana

(Alwi,2003:264). Titik pangkal perbedaan di antara ketiganya ada pada pembicara:

dekat (sini), agak jauh (situ), dan jauh (sana). Karena menunjuk lokasi, pronomina

ini sering digunakan dengan preposisi pengacu arah, di/ke/dari, sehingga terdapat

di/ke/dari sini, di/ke/dari situ, dan di/ke/dari sana.

2.1.2.2.3 Pronomina Penunjuk Ihwal

Pronomina penunjuk ihwal dalam bahasa Indonesia adalah kata begini dan

begitu (Alwi,2003:264). Titik pangkal perbedaannya sama dengan penunjuk lokasi.

Jika dekat (begini) dan jauh (begitu). Dalam hal ini jauh dekatnya bersifat psikologis.

2.1.2.3 Pronomina Penanya (Interogatif)

Pronomina penanya adalah pronomina yang dipakai sebagai pemarkah

pertanyaan (Alwi, dkk., 2003: 265). Pronomina penanya juga terbagi dua, yaitu;

pertama, dilihat dari segi maknanya, yang ditanyakan itu dapat mengenai orang,

barang, atau pilihan. Pronomina siapa dipakai jika yang ditanyakan adalah orang

atau nama orang; apa bila barang; dan mana bila suatu pilihan tentang orang atau

barang. Kedua, Dilihat dari bentuknya, terdapat dua unsure yang mendasari kata

penanya, yaitu apa dan mana. Dua unsur dasar itu dikembangkan menjadi bentuk

lain dengan mengikuti pola berikut.


10

Perhatikan table di bawah ini:

Tabel
Apa
Si Siapa
Meng Mengapa
Ken
+ apa Kenapa
k-n Kapan
(ke)ber (ke)berapa
Di Di mana
Ke Ke mana
Dari + mana Dari mana
Bagai Bagaimana
bila bilamana

2.2 Verba
2.2.1 Pengertian Verba
Verba atau disebut juga dengan kata kerja adalah suatu kata yang berfungsi

untuk menjelaskan tentang suatu aktifitas atau suatu perbuatan/kegiatan yang

dilakukan oleh seseorang. Dalam kamus besar bahasa indonesia (KBBI), verba

didefinisikan sebagai kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan.

Dengan kata lain, kata kerja menunjukkan suatu tindakan atau aktivitas yang

dilakukan oleh subjek, sehingga kata kerja berperan sebagai predikat dalam

penyusunan kalimat aktif maupun kalimat pasif. Verba adalah kata yang menyatakan

perbuatan, tindakan, proses, gerak, keadaan dan terjadinya sesuatu (Keraf, 1991:72).

Sedangkan Sudaryanto (1991:6) menyatakan bahwa verba adalah kata yang

menyatakan perbuatan, dapat dinyatakan dengan modus perintah, dan bervalensi

dengan aspek keberlangsungan yang dinyatakan dengan kata lagi (sedang).


11

Salanjutnya (Alwi, dkk. : 1980) mendefinisikan verba atau kata kerja adalah kelas

kata yang menyatakan suatu tindakan, keberadaan, pengalaman, atau pengertian

dinamis lainnya. Jenis kata ini umumnya menjadi predikat dalam suatu klausa atau

kalimat. Di sisi lain, Mess (1992:4) juga memberikan definisi yang berhubungan

dengan pengertian verba atau kata kerja. Beliau mengatakan bahwa kata kerja pada

umumnya menyatakan suatu pekerjaan, perbuatan atau gerak. Berbeda dengan

pendapat beberapa para ahli di atas, Harimurti Kridalaksana (1993:226) memberikan

definisi yang lebih umum, beliau mendefinisikan bahwa verba adalah kelas kata yang

biasanya berfungsi sebagai predikat dalam beberapa bahasa lain verba mempunyai

ciri morfologis seperti kata, aspek, dan pesona atau jumlah.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, dapat penulis simpulkan

bahwa verba atau kata kerja adalah kata yang menyatakan suatu tindakan, perbuatan,

dan pekerjaan yang menduduki fungsi sintaksis predikatif dalam sebuah kalimat.

Baik kalimat tersebut adalah kalimat aktif maupun kalimat pasif.

2.2.2 Jenis-Jenis Verba

Verba terdiri dari beragam macam jenis, namun yang paling fimiliar

penggunaannya dalam membangun sebuah kalimat adalah sebagai berikut:

2.2.2.1 berdasarkan bentuk

Berdasarkan bentuknya, verba dibedakan menjadi dua, yaitu verba (kata

kerja) dasar dan verba (kata kerja) turunan.

2.2.2.1.1 verba (kata kerja) dasar


Verba (kata kerja) dasar adalah jenis kata kerja yang tidak memiliki imbuhan

atau merupakan kata dasar.


12

Contoh:

1. makan 7. butuh

2. minum 8. pergi

3. mandi 9. antar

4. tidur 10. lapar

5. datang 11. lelah

6. bangun 12. dan lain-lain

2.2.2.1.2 Verba (Kata Kerja) Turunan

Verba (kata kerja) turunan adalah jenis kata kerja yang telah mengalami

proses pengimbuhan atau afiksasi. Contoh:

1. me + rusak = merusak

2. men + derita = menderita

3. meng + uji = menguji

4. pe + rusak = perusak

5. pen + dakwah = pendakwah

6. peng + kacau = pengacau

7. ke-an + adil = keadilan

8. per-kan + main = permainkan


13

2.2.2.2 Berdasarkan Subjek

Berdasarkan peran subjeknya, Verba (kata kerja) juga dibedakan menjadi

dua, yaitu kata kerja aktif dan kata kerja pasif.

2.2.2.2.1 Verba (kata kerja) Aktif


Verba (kata kerja) aktif adalah kata kerja dimana subjeknya berposisi sebagai

pelaku dan biasanya berawalan me- dan ber-. Contoh:

a. Ani sedang me-nyapu di halaman rumahnya

b. Budi selalu ber-main bola kaki setiap sore

2.2.2.2.2 Verba (kata kerja) Pasif

Verba (kata kerja) pasif adalah kata kerja yang subjeknya berposisi sebagai

penderita dan umumnya berawalan di- dan ter-. Contoh:

a. Anjing itu di-pukul oleh Si Amir

b. Andi ter-jatuh dari motor kemarin di jalan raya

2.2.2.3 Berdasarkan Objek

Verba (kata kerja) berdasarkan objeknya juga terdiri dari lima bentuk, yaitu

verba (kata kerja) transitif, ekatransitif, dwitransitif, semitransitif, taktransitif.

2.2.2.3.1 Verba Transitif

Verba transitif adalah kata kerja yang harus mempunyai objek. Dalam

kalimat, kata kerja ini harus diikuti objek agar dapat diketahui maknanya.

Contoh:

a. Bapak sedang menggarap sawah (aktif)

b. Jendela itu dipasang oleh ayah (pasif)


14

2.2.2.3.2 Verba Ekatransitif

Verba ekatransitif adalah verba yang diikuti oleh satu objek. Dapat berupa

kalimat aktif maupun pasif.

Contoh:

a. Kakak menterjemahkan kamus itu ( Aktif )

b. Kamus itu diterjemahkan oleh kakak ( pasif )

2.2.2.3.3 Verba Dwitransitif

Verba dwitransitif adalah verba yang kalimat aktif dapat ikuti oleh dua

nomina, yaitu satu objek dan satu pelengkap.

Contoh:

a. Ayah akan membawakan saya kue enak

b. Ibu membelikan adik sepatu baru

Kata membawakan dan membelikan adalah verba dwitrasitif. Sedangkan kata

saya dan adik adalah objek, dan kue enak dan sepatu merupakan pelengkap.

2.2.2.3.4 Verba Semitransitif

Verba semitransitif adalah verba yang objeknya boleh ada dan boleh tidak.

Contoh:

a. Amir sedang membaca

b. Ibu sedang memasak

Kata membaca dan memasak adalah termasuk verba semitransitif karena

hadir atau tidaknya objek, tidak berpengaruh terhadap makna atau pemahaman dalam

kalimat tersebut.
15

2.2.2.3.5 Verba Intransitif

Verba atau kata kerja intransitif adalah kata kerja yang tidak membutuhkan

objek, karena maknanya sudah jelas. Meskipun demikian, kata kerja intransitif juga

dapat diikuti oleh pelengkap, keterangan, maupun pelengkap dan keterangan.

Contoh:

a. Ani sedang duduk

b. Raka sedang bermain bola (disertai pelengkap)

c. Raka sedang bermain bola di lapangan (disertai pelengkap dan keterangan)

2.2.2.4 Bentuk Lain

Kata kerja dapat pula dibagi menjadi 3 kelompok dalam bentuk lainnya, yaitu

kata kerja benefaktif, reflektif, dan resiprok.

2.2.2.4.1 Kata Kerja Benefaktif

Kata kerja benefaktif adalah kata kerja yang menunjukkan pekerjaan atau

tindakan yang dilakukan untuk orang lain. Kata kerja benefaktif umumnya memiliki

imbuhan me- dan kan.

Contoh:

a. Andi memberikan hadiah untuk adik perempuannya

b. Karena mendapat juara satu di kelah, adik dibelikan ayah sepeda baru

2.2.2.4.2 Kata Kerja Reflektif

Kata kerja reflektif adalah kata kerja yang menunjukkan perbuatan untuk

dirinya sendiri. Kata kerja reflektif umumnya menggunakan imbuhan me-, atau ber-.

Contoh:
16

a. Ani sedang bercermin

b. Andi selalu menyelesaikan tugasnya dengan baik

2.2.2.4.3 Kata Kerja Resiprok

Kata kerja resiprok merupakan kata kerja yang menunjukkan perbuatan atau

kegiatan yang dilakukan oleh dua orang. Kata kerja ini umumnya tidak boleh diawali

oleh kata saling, karena maknanya telah menunjukkan saling. Kata kerja ini

biasanya menggunakan imbuhan ber- dan -an.

Contoh:

a. mari kita bermaaf-maafan

b. setiap lebaran, kita selalu bersalaman

2.3 Konjungsi
2.3.1 Pengertian Konjungsi
Konjungsi disebut juga kata penghubung atau kata sambung adalah kata

atau ungkapan penghubung yang menghubungkan baik antara kata dengan kata, kata

dengan prasa, prasa dengan frasa, klausa dengan klausa, klalimat dengan kalimat,

maupun paragraf dengan paragraf. Alwi, dkk. (2003: 296) menyatakan bahwa

konjungsi adalah kata tugas yang menghubungkan dua satuan bahasa yang sederajat.

kata dengan kata, frasa dengan frasa, atau klausa dengan klausa. Konjungsi adalah

kata-kata yang digunakan untuk menhubungkan kata dengan kata, klausa dengan

klausa, atau kalimat dengan kalimat. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dijabarkan

bahwa pada dasarnya (konjungsi) berfungsi menghubungkan kata dengan kata, frase

dengan frase, klausa dengan klausa, atau kalimat dengan kalimat (Chaer, 2000: 140).

Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Rusminto (2009: 30) yang menyatakan
17

bahwa adalah konjungsi adalah kata yang dipergunakan untuk menggabungkan kata

dengan kata, frasa dengan frase, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, atau

paragraf dengan paragraf. Konjungsi adalah kategori yang berfungsi untuk

meluaskan satuan yang lain dalam konstruksi hipotaktis, dan selalu menghubungkan

dua satuan lain atau lebih dalam konstruksi (Harimurti, 2007: 102). Konjungsi

merupakan kata-kata yang digunakan untuk menghubungkan unsur-unsur sintaksis

(frasa, klausa, kalimat) dalam satuan yang lebih besar (Sudaryat, 2008: 155).

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, penulis lebih cenderung

memilih teori yang dijelaskan oleh Alwi, dkk. karena penjelasan yang lebih statis dan

mudah untuk dipahami.

2.3.2 Jenis-jenis Konjungsi

Berikut adalah beberapa jenis konjungsi berdasarkan teori Alwi, dkk. Dilihat

dari perilaku sintaksisnya dalam kalimat, konjungsi dibagi menjadi beberapa bagian.

2.3.2.1 Konjungsi Koordinatif


Konjugsi koordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua unsur atau

lebih yang sama pentingnya atau memiliki status yang sama dinamakan konjungsi

koordinatif. Konjungsi koordinatif menggabungkan dua klausa atau lebih yang

masing-masing mempunyai kedudukan yang setara dalam struktur konstituen

kalimat. Hasilnya adalah satuan yang sama kedudukannya. Hubungan antara klausa-

klausanya tidak menyangkut satuan yang membentuk hierarki karena klausa yang

satu bukanlah konstituen dari klausa yang lain (Alwi, dkk,2003: 297). Adapun yang

termasuk konjungsi koordinatif yaitu, Dan dan atau.


18

2.3.2.2 Konjungsi Subordinatif

Konjungsi subordinatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua klausa,

atau lebih, dan klausa itu tidak memiliki status sintaksis yang sama (Alwi, dkk.,

2003: 299). Konjungsi subordinatif ini berfungsi sebagai penghubung antara anak

kalimat dan induk kalimat. Ciri konjungsi subordinatif didasarkan pada dua aspek,

yaitu aspek sintaksis dan aspek semantik. Berdasarkan aspek sintaksisnya, konjungsi

subordinatif menghubungkan dua klausa, yaitu klausa induk dengan klausa anak.

Adapun yang termasuk konjungsi koordinatif sebagai berikut.

Perhatikan table di bawah ini.

Table
No. Hubungan Konjungsi

1 Pengandaian Andaikan, seandainya, dan sekiranya

2 Syarat Jika, bila, asalkan, dan kalau

Sesudah, sebelum, setelah, semenjak,


3 Waktu
ketika, selama, sejak, dll.

4 Tujuan Agar dan supaya

5 Cara Dengan

6 Penjelasan Bahwa

Seolah-olah, seakan-akan,
7 Pemiripan
sebagaimana, dan seprti

8 Sebab Sebab, karena, dan oleh karena

Meskipun, walaupun, biarpun, dan


9 konsesif
sekalipun
19

2.3.2.3 Konjungsi Antarkalimat

Konjungsi antarkalimat menghubungkan satu kalimat dengan kalimat yang

lain (Alwi, dkk., 2003:300). Dan Konjungsi intrakalimat yang bertugas di dalam

kalimat, untuk menghubungkan konstituen-konstituen yang menjadi bagian dari

sebuah kalimat. Konjungsi yang menyatakan hubungan pertalian waktu kejadian dan

yang menyatakan hubungan kesungguhan dapat menduduki posisi awal maupun

tengah (Chaer, 1993: 112). Adapun yang termasuk konjungsi antarkalimat yaitu:

Perhatikan table dibawah ini.

Table
No. Konjungsi Maknanya

1 Dengan demikian, akibatnya Akibat

2 Sebaliknya, berbeda dengan Kebalikan

3 Kemudian, setelah itu, selanjutnya Keadaan setelahnya

4 Sebanarnya,sesungguhnya Keadaan sebenarnya

5 Bahkan, malahan Keadaan sebelumnya

6 Akan tetapi, sayangnya, namun Pertentangan

7 Biarpun begitu, meskipun demikian,


kesediaan
walaupun demikian

2.3.2.4 Konjungsi Intrakalimat

Konjungsi intrakalimat yang bertugas didalam kalimat, untuk

menghubungkan konstituen-konstituen yang menjadi bagian dari sebuah kalimat.

Adapun yangtermasuk konjungsi intrakalimat yaitu: sesudah dan meskipun.


20

2.3.2.5 Konjungsi Antarparagraf

Konjungsi antarparagraf pada umumnya memulai sesuatu paragraf

hubungannya dengan paragraf sebelumnya berdasarkan makna yang terkandung pada

paragraf sebelumnya itu. Konjungsi pada kelompok (a) berikut ini masih sering

dipakai, sedangkan yang ada pada kelompok (b) umumnya terdapat pada naskah

sastra lama Depdikbud, (1997:241). Konjungsi antarparagraf yang lazim digunakan

dalam bahasa indonesia adalah sebagai berikut : begitu pula, demikian juga,

tambahan lagi, di samping itu, kedua, akhirnya,bagaimanapun juga,

sebaliknya, namun, oleh karena itu, jadi, akibatnya, untuk tujuan itu, untuk hal itu,

untuk itulah, singkatnya, ringkasnya, pada intinya, sementara itu, kemudian, dll. Dan

konjungsi antarparagraf pada naskah sastra lama sebagai berikut: alkisah, arkian,

sebermula, dan syahdan.

2.3.2.6 Konjungsi Korelatif

Konjungsi korelatif adalah konjungsi yang menghubungkan dua kata,

frasa, atau klausa yang memiliki status yang sama. Konjungsi korelatif terdiri atas

dua bagian yang dipisahkan oleh salah satu kata, frasa, atau klausa yang

dihubungkan. Adapun yang termasuk konjungsi korelatif yaitu: Baik, maupun, tidak

hanya, tetapi juga, bukan hanya, melainkan juga, demikian juga, sehingga,

sedemikian rupa, jangankan.


21

2.4 Kalimat Simpleks

2.4.1 Pengertian Kalimat Simpleks

Kalimat simpleks adalah kalimat yang hanya terdiri atas satu verba utama

yang menggambarkan aksi, peristiwa, atau keadaan. Kalimat simpleks juga disebut

kalimat tunggal dimana kalimat tersebut hanya terdiri satu pola kalimat. Kalimat

simpleks atau juga disubut sebagai kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas

satu klausa bebas tanpa klausa terikat (Cook, 1971; Elson dan Fickett, 1969; dalam

Putrayasa, 2006). Kalimat simpleks/tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu

klausa. Unsur inti kalimat tunggal adalah subjek dan predikat. Hal ini berarti bahwa

konstituen untuk setiap unsur kalimat, seperti subjek dan predikat merupakan satu

kesatuan. Dalam kalimat tunggal terdapat semua unsur wajib dan juga unsur

manasuka. Seperti keterangan waktu, tempat, dan alat. Dengan demikian kalimat

tunggal tidak selalu dalam wujud yang pendek tetapi juga dalam wujud yang

panjang. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Keraf (1984:156) yang mengatakan

bahwa Kalimat simpleks/tunggal adalah kalimat yang hanya terdiri atas satu pola (S-

P, S-P-O, S-P-O-Pel, S-P-O-K, S-P-O-Pel-K) atau kalimat yang hanya terdiri atas

satu klausa. Kalimat simpleks/tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa

atau satu konsitituen S-P (Putrayasa, 2001). Menurut alwi, dkk ( 2003: 39) kalimat

simpleks/tunggal adalah kalimat yang proposisinya satu sehingga predikatnya pun

satu. Pendapat senada juga dikemukakan oleh chear(1994:240) bahwa kalimat

simpleks/tunggal adalah kalimat yang memiliki satu pola (klausa) yang terdiri dari

satu subjek dan satu predikat, chear(1994:240).


22

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa kalimat

simpleks atau juga disebut kalimat tunggal merupakan kalimat yang terdiri dari satu

pola kalimat. Dengan kata lain, kalimat tersebut hanya memiliki satu unsure

predikatif.

2.4.2 Jenis-Jenis Kalimat Simpleks/Tunggal Berdasarkan Unsur Predikat

2.4.2.1 Berpredikat Nominal

Dalam bahasa Indonesia terdapat kalimat yang predikatnya terdiri atas

nomina. Dua nomina yang disejajarkan akan membentuk kalimat apabila syarat

untuk subjek dan predikatnya tidak terpenuhi, jejeran nomina tersebut tidak akan

pembentuk kalimat melainkan membentuk frasa.

Perhatikan contoh pada table berikut.

Tabel
No. Contoh kalimat keterangan
1. Novel itu cetakan Bandung
Berpredikat
FN FN
prasa nomina
S P
2. Orang yang bertopi merah itu Rahmat
FN FN Berpredikat nomina
S P

2.4.2.2 Berpredikat Verba

Kalimat Simplek/tunggal berpredikat verba dalam bahasa Indonesia lebih

bervariasi. Ada bermacam-macam verba, yaitu verba transitif, verba intransitif, dan

verba pasif yang masing-masing memengaruhi macam kalimat yang

menggunakannya. Dengan demikian, berdasarkan penggolongan verba, kalimat yang

berpredikat verba pun bermacam-macam.


23

Perhatikan table di bawah ini:

Table
No. Contoh Kalimat Keterangan
Adik tidur
Predikat verba
1. S P
intransitif
PBB telah memperingatkan pemerintah Nyanmar
Predikat verba
2. S P O
transitif
Dia sedang mencarikan adiknya pekerjaan
Predikat verba
3. S P O K
dwitransitif
Andi menendang bola dengan keras
4. S P O K Predikat verba aktif

Karena mencuri, andi dikeluarkan dari sekolah


5. K S P K Predikat verba pasif

6. Dst, Dst.

2.4.2.3 Berpredikat Adjektiva

Kalimat dalam bahasa Indonesia dapat pula berpredikat adjektiva. Seperti

pada contoh berikut.

Table
.No.
Contoh Kalimat Keterangan
Gadis Itu Sangat Cantik Berpredikat
1. P Frasa Adjektiva

Perkataan Orang Itu Benar


2. P Predikat Adjektiva

Rumah pak Dolah terbakar


3. P Predikat Adjektiva
24

2.4.2.4 Berpredikat Frasa Preposisional

Kalimat simplek/tunggal berpredikat frasa preposisional. Perhatikan contoh

pada table di bawah ini:

Table
No. Contoh kalimat Keterangan

Tinggalnya di Jakarta Ketiga predikat pada


1.
P
contoh kalimat tersebut
Foto itu dari adiknya
2.
P merupakan frasa

3. Bapak di rumah preposisional


P

2.4.2.5 Berpredikat Frasa Numeralia

Kalimat simplek/tunggal berpredikat frasa numeralia. Perhatikan contoh pada

table di bawah ini:

Table
No. Contoh Kalimat Keterangan

1. Sapinya tiga puluh ekor Ketiga predikat pada


P
contoh kalimat tersebut
2. Tanah pak Ali tiga petak
merupakan frasa
P
3. Mobil Andi empat unit numeralia
P
25

2.5 Model Pembelajaran Numbered Head Together (NHT)

2.5.1 Pengertian Pembelajaran Numbered Head Together (NHT)

Teknik belajar mengajar Kepala Bernomor (Numbered Heads)

dikembangkan oleh Spencer Kagan (1993). Tehnik ini memberikan kesempatan

pada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang

paling tepat. Selain itu, tehnik ini juga mendorong siswa untuk meningkatkan

semangat kerjasama mereka. Tehnik ini bisa digunakan untuk semua mata pelajaran

dan untuk semua tingkatan usia anak didik.

Number Head Together adalah suatu Model pembelajaran yang lebih

mengedepankan kepada aktivitas siswa dalam mencari, mengolah, dan melaporkan

informasi dari berbagai sumber yang akhirnya dipresentasikan di depan kelas

(Rahayu, 2006). NHT pertama kali dikenalkan oleh Spencer Kagan dkk (1993).

Model NHT adalah bagian dari model pembelajaran kooperatif struktural, yang

menekankan pada struktur-struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola

interaksi siswa. Struktur Kagan menghendaki agar para siswa bekerja saling

bergantung pada kelompok-kelompok kecil secara kooperatif. Struktur tersebut

dikembangkan sebagai bahan alternatif dari sruktur kelas tradisional seperti

mangacungkan tangan terlebih dahulu untuk kemudian ditunjuk oleh guru untuk

menjawab pertanyaan yang telah dilontarkan. Suasana seperti ini menimbulkan

kegaduhan dalam kelas, karena para siswa saling berebut dalam mendapatkan

kesempatan untuk menjawab pertanyaan peneliti (Tryana, 2008). Lie (2002:18) juga

berpendapat bahwa model pembelajaran Numbered Head Together (NHT)

merupakan suatu sistem kerja/belajar kelompok yang terstruktur, yakni saling


26

ketergantungan positif, tanggung jawab individual, interaksi personal, keahlian

bekerjasama dan proses kelompok di mana siswa menghabiskan sebagian besar

waktunya dikelas dengan bekerjasama antara 4-5 orang dalam satu kelompok. Model

pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) menekankan siswa

untuk saling bekerja sama dalam kelompok sehingga masing-masing anggota

kelompok paham dengan hasil kerja kelompoknya dan bertanggung jawab terhadap

hasil kerja tersebut, sehingga dengan sendirinya siswa merasa dirinya harus terlibat

aktif dalam proses pembelajaran. Dengan demikian siswa akan merasa termotivasi

untuk belajar sehingga aktivitas belajar dapat meningkat yang pada akhirnya dapat

meningkatkan hasi belajar siswa, (Rahmi: 2008).

2.5.2 Langkah-Langkah Model Pembelajaran (NHT)

Langkah-langkah penerapan model pembelajaran Numbered Head Together

NHT berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Ibrahim (2000: 29), yaitu:

Langkah 1. Persiapan

Dalam tahap ini guru mempersiapkan rancangan pelajaran dengan membuat

Skenario Pembelajaran (SP), Lembar Kerja Siswa (LKS) yang sesuai dengan model

pembelajaran kooperatif tipe NHT.

Langkah 2. Pembentukan kelompok

Dalam pembentukan kelompok disesuaikan dengan model pembelajaran

kooperatif tipe NHT. Guru membagi para siswa menjadi beberapa kelompok yang

beranggotakan 3-5 orang siswa. Guru memberi nomor kepada setiap siswa dalam

kelompok dan nama kelompok yang berbeda. Penomoran adalah hal yang utama di
27

dalam NHT, dalam tahap ini guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok atau

tim yang beranggotakan tiga sampai lima orang dan memberi siswa nomor sehingga

setiap siswa dalam tim mempunyai nomor berbeda-beda, sesuai dengan jumlah siswa

di dalam kelompok. Kelompok yang dibentuk merupakan percampuran yang ditinjau

dari latar belakang sosial, ras, suku, jenis kelamin dan kemampuan belajar. Selain itu,

dalam pembentukan kelompok digunakan nilai tes awal (pre-test) sebagai dasar

dalam menentukan masing-masing kelompok.

Langkah 3. Tiap kelompok harus memiliki buku paket atau buku panduan

Dalam pembentukan kelompok, tiap kelompok harus memiliki buku paket

atau buku panduan agar memudahkan siswa dalam menyelesaikan LKS atau masalah

yang diberikan oleh guru.

Langkah 4. Diskusi masalah

Dalam kerja kelompok, guru membagikan lemberan kerja siswa (LKS)

kepada setiap siswa sebagai bahan yang akan dipelajari. Dalam kerja kelompok

setiap siswa berpikir bersama untuk menggambarkan dan meyakinkan bahwa tiap

orang mengetahui jawaban dari pertanyaan yang telah ada dalam LKS atau

pertanyaan yang telah diberikan oleh guru. Pertanyaan dapat bervariasi, dari yang

bersifat spesifik sampai yang bersifat umum.

Langkah 5. Memanggil nomor anggota atau pemberian jawaban

Dalam tahap ini, guru menyebut satu nomor dan para siswa dari tiap

kelompok dengan nomor yang sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban

kepada siswa di kelas.


28

Langkah 6. Memberi kesimpulan

Guru bersama siswa menyimpulkan jawaban akhir dari semua pertanyaan

yang berhubungan dengan materi yang disajikan.

2.5.3 Tujuan Model Pembelajaran Numbered Head Together (NHT)

Tujuan yang hendak dicapai dalam model pembelajaran numbered head

together (NHT) yaitu sebagai berikut:

1. Hasil belajar akademik stuktural

Bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas

akademik.

2. Pengakuan adanya keragaman

Bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya yang

mempunyai berbagai latar belakang.

3. Pengembangan keterampilan social

Bertujuan untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa.

Keterampilan yang dimaksud antara lain berbagi tugas, aktif bertanya,

menghargai pendapat orang lain, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja

dalam kelompok dan sebagainya.


29

BAB III
METODE PENELTIAN

3.1 Populasi dan Sampel penelitian

3.1.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan unsur yang menjadi objek penelitian

(Arikunto,2002:94). Sesuai dengan penelitian yang diajukan penulis, maka yang

menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas xi SMAN 1

Kembang Tanjong. Jumlah siswa kelas xi seluruhnya adalah 273 orang siswa yang

terdiri dari sembilan kelas paralel.

3.1.2 Sampel penelitian

Sampel penelitian adalah sebagian dari populasi yang dianggap mewakili objek

penelitian. Mingingat populasi dalam penelitian ini cukup besar maka penulis

menetapkan sampel penelitian ini dengan berpedoman kepada pendapat Arikunto

(2001:95) yang mengemukakan sebagai berikut, apabila penelitian ini

menggunakan teknik sampel, maka populsi harus benar-benar homogen. Untuk

populasi yang homogen tersebut boleh ditarik sampel sebesar 10-15% atau 20-25%

jika populasi lebih dari 100 orang.

Oleh karena populasi dalam penelitian ini lebih dari 100 orang, maka penulis

menetapkan sampel penelitian sebesar 25% dari jumlah populasi. Maka, sampel

dalam penelitian ini sebanyak 68 orang siswa.

3.2 Metode dan Teknik penelitian


3.2.1 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif

adalah suatu metode yang berusaha menggambarkan suatu fenomena atau gejala
30

yang terjadi dalam keadaan nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Arikunto

(2002:136) yang menyatakan sebagai berikut.

Metode deskriptif digunakan untuk memecahkan dan menjawab

permasalahan yang dihadapi pada situasi sekarang, yang dilakukan dengan

menempuh langkah pengumpulan, klasifikasi, dan analisis data, membuat

kesimpulan dan laporan dengan tujuan utama untuk membuat penggambaran

tentang suatu keadaan secara objektif dalam suatu deskriptif situasi.

Berdasarkan pendapat diatas, jelas bahwa metode deskriptif dapat membantu

proses pelaksanaan penelitian ini dalam rangka mencapai tujuan penelitian.

3.2.2 Tehnik penelitian

3.2.2.1 Tehnik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini penulis lakukan dengan menggunakan

tehnik tes, yaitu tes analisis. Peneliti menyediakan teks cerita ulang biografi Nelson

Mandela : Sang Pemaaf Peruntuh Aphartheidtersebut, kemudian peneliti meminta

siswa untuk menentukan kaidah-kaidah kebahasaan dalam bacaan tersebut.

3.2.2.2 Tehnik Pengolahan data

Data dalam penelitian ini penulis olah dengan cara mencari nilai rata-rata

(mean) dengan menggunakan rumus yang dikemukakan Soedjono (2004:47) dengan

menggunakan langkah-langkah sebagai berikut.

1. Penentuan range (Rg)

2. Penentuan jumlah kelas (k)

3. Penetuan lebar kelas (interval)


31

4. Penyusunan table distribusi frekwensi

5. Mencari nilai rata-rata

Langkah Pertama ; penentuan range(Rg)

Range merupakan selisih antara nilai yang tertinggi dengan nilai yang terendah.

Untuk menentukan nilai range digunakan rumus.

Rg = H L + 1

Keterangan :

Rg = total range

H = nilai tertiggi (maksimal)

L = nilai terendah (minimal)

1 = bilangan konstan (Soedjono, 2004:43)

Langkah Kedua; penentuan jumlah kelas (k)

Untuk menentukan jumlah kelas dapat digunakan rumus:

Rg
K=
i

Keterangan :

K= kelas yang dicari

Rg= total range yang dicari

I = kelas interval (Soedjono, 2004:50).

Langkah Ketiga; penentuan lebar kelas (interval)

Interval ditentukan dengan menggunakan rumus Strurgest sebagai berikut:

I = 1 + (3,3) Log N
32

Langkah ke empat; menyusun table frekwensi

Tabel frekwensi disusun berdasarkan data-data yang telah diperoleh dalam

penelitian ini.

Langkah kelima; mencari nilai rata-rata

Untuk mencari nilai rata-rata, peneliti menggunakan rumus seperti yang

dikemukakan oleh Soedjono, (2004: 50)

Mx =
N

Keterangan:

Mx = mean

f = frekwensi

x = nilai tengah kelompok nilai

= hasil perkalian f dan x

N = jumlah data (SOEDJONO, 2004:50)

Kemudian untuk menentukan kemajuan peningkatan kemampuan siswa

melalui model pembelajaran Numbered Head Together (NHT), peneliti

menggunakan klasifikasi penilaian yang ditetapkan oleh Depdiknas berikut.

Table 1
Tabel Penilaian
Pernyataan kuantitatif Pernyataan kualitatif

96-100 Sempurna
86-95 Baik sekali
76-85 Baik
66-75 Cukup
56-65 Sedang
50 kurang
33

Tabel penilaian di atas digunakan untuk mengetahui kemajuan peningkatan

kemampuan siswa kelas XI SMAN 1 Kembang Tanjong memahami kaidah

kebahasaan dalam teks cerita ulang melalui model pembelajaran Numbered Head

Together (NHT), apakah termasuk pada katagori nilai sempurna, baik sekali, baik,

cukup, sedang,ataupun kurang.

Anda mungkin juga menyukai