Anda di halaman 1dari 58

LAPORAN PENULISAN STUDI KASUS

KARYA ILMIAH
KASUS PENOLAKAN PASIEN BPJS
DI BERBAGAI RUMAH SAKIT YANG
ADA DI INDONESIA

Disusun oleh:

Aeliyyah Nur Jannah XII IPA 5 (04)


Bernita Elvaretta S. XII IPA 5 (09)

SMA TRIMURTI SURABAYA


2016-2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita panjatkan akan


kehadiran Allah SWT, yang telah memberikan
anugerah dan karunia-Nya kepada kita, sehingga
masih diberikan kesehatan, kekuatan, dan
kemampuan untuk terus hadir dan berkarya, yang
Insya Allah dapat bermanfaat bagi kemajuan
manusia di masa yang akan datang. Amin.

Kami ucapkan terima kasih kepada guru


mata pelajaran kewarganegaraan Bapak Iwan
yulianto yang telah menugaskan kami, untuk
menulis karya tulis ini, sehingga membuat kami
melakukan pemanasan yang sangat efektif demi
kelangsungan belajar kami DI SMA TRIMURTI
SURABAYA.

2
Penulis menyadari laporan ilmiah ini masih
belum dapat disebut sempurna. Oleh karena itu,
penulis sangat berbesar hati untuk menerima segala
saran dan kritik dari pembaca sebagai dorongan
demi perbaikan karya tulis ini.

Penulis

Penyusun

3
DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................... 1

Kata Pengantar ................................................................... 2

Daftar Isi ............................................................................ 4

Daftar gambar .................................................................... 6

BAB I Pendahuluan ........................................................... 7

A. Latar Belakang............................................................. 7
B. Rumusan Masalah ..................................................... 10
C. Tujuan Penulisan ....................................................... 11
1. Tujuan Umum ...................................................... 11
2. Tujuan khusus ...................................................... 11
D. Manfaat ...................................................................... 12
1. Manfaat teoritis .................................................... 12

BAB II Kajian Pustaka .................................................... 13

A. Landasan Teori .......................................................... 13


1. Perkembangan Penanganan Kesehatan di
Indonesia ............................................................. 13
2. BPJS .................................................................... 18
B. Landasan Hukum ....................................................... 23

4
1. Pengaplikasian Pancasila sila ke 5 dan
Undang Undang Dasar 1945 dalam
ranah kesehatan.................................................... 23
2. UU tentang BPJS ................................................. 27

BAB III Metode Penulisan .............................................. 29

BAB IV Pembahasan ....................................................... 31

A. Kebijakan BPJS mengenai Penanganan


Pasien ......................................................................... 31
B. Kasus penolakan BPJS di Indonesia
Dipandang Dari Perundang-Undangan
Indonesia .................................................................... 41
1. Beberapa kasus penolakan pasien BPJS
di Indonesia ......................................................... 42
2. Penolakan Pasien BPJS Dipandang Dari
Perundang-Undangan .......................................... 46

BAB V Kesimpulan & Saran .......................................... 49

A. Kesimpulan ................................................................ 49
B. Saran .......................................................................... 50
Lampiran .......................................................................... 52

Daftar Pustaka ................................................................. 58

5
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 ...................................................................... 17

6
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sila ke - 5 yang berbunyi keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia terkandung nilai
keadilan sosial. Perlakuan yang adil dalam
segala bidang seperti kesehatan, ekonomi,
sosial budaya dan politik. Perwujudan keadilan
sosial meliputi seluruh masyarakat Indonesia.
Demikan pula dengan adanya hak untuk
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat luas
merupakan HAM yang diakui oleh seluruh
dunia, termasuk Indonesia. Pengakuan itu
tercantum dalam Deklarasi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tahun 1948 tentang Hak Asasi
Manusia. Pasal 25 Ayat (1) Deklarasi
menyatakan, setiap orang berhak atas derajat
hidup yang memadai untuk kesehatan dan
kesejahteraan dirinya dan keluarganya.
termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan
7
dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial
yang diperlukan dan berhak atas jaminan pada
saat menganggur, menderita sakit, cacat,
menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau
keadaan lainnya yang mengakibatkan
kekurangan nafkah, yang berada di luar
kekuasaannya.
Untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat, melalui pemerataan dan
peningkatan mutu upaya kesehatan serta
pengendalian pembiayaan kesehatan, dapat
dikembangkan jaminan sosial bagi seluruh
rakyat, pada UU No. 40 Tahun 2004 tentang
sistem jaminan sosial nasional (SJSN) untuk
menjamin seluruh rakyat agar mampu
memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak,
termasuk didalamnya kesehatan. Hal ini
diperkuat dengan disahkannya UU No. 24
Tahun 2011 tentang BPJS.

8
Pada 1 januari 2014 Badan penyelenggara
jaminan kesehatan sosial (BPJS) sudah mulai
dilaksanakan. Pada hakikatnya pemerintah
kabupaten, kota dan provinsi memiliki harus
mendukung program BPJS kesehatan, karena
program ini dirancang oleh pemerintah pusat
untuk menanggulangi rendahnya derajat
kesehatan masyarakat. Program BPJS
kesehatan dianggap merupakan cara yang tepat
untuk mengatasi masalah akses dan mutu
pelayanan kesehatan termasuk bagi masyarakat
miskin.
Terdapat beberapa kasus yang terdengar
oleh telinga masyarakat di daerah-daerah
Indonesia mengenai, penolakan pasien BPJS
oleh pihak rumah sakit dengan berbagai alasan.
Dengan latar belakang tersebutlah, penulisan
karya ilmiah ini dibuat dengan judul KASUS
PENOLAKAN PASIEN BPJS DI BERBAGAI
RUMAH SAKIT DI INDONESIA

9
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah perkembangan penanganan
kesehatan di Indonesia?
2. Bagaimanakah proses munculnya BPJS di
Indonesia?
3. Apakah landasan hukum tentang kesehatan
di Indonesia?
4. Bagaimanakah penanganan pasien menurut
peraturan dalam BPJS?
5. Mengapa terjadi kasus penolakan terhadap
pasien BPJS oleh rumah sakit?

C. Tujuan penulisan
Tujuan umum
1. Untuk memenuhi tugas mata pelajaran
kewarganegaraan yang diberikan kepada
guru kami.
2. Agar siswa siswi dan masyarakat lebih
mengenal sistem jalannya kesehatan yang
ada di Indonesia.

10
Tujuan khusus
1. Bertujuan agar asyarakat umum
mengetahui perkembangan penanganan
kesehatan di indonesia
2. Agar siswa-siswi SMA TRIMURTI dan
masyarakat umum mengetahui munculnya
program BPJS
3. Agar siswa-siswi mengetahui hukum
(Undang-Undang) apa yang berlaku di
dunia kesehatan didalama dunia
4. Siswa-siswi atau masyarakat umum
mengetahui penanganan pasien menurut
peraturan dalam BPJS
5. Untuk mengetahui faktor faktor apa saja
yang menjadi penyebab penolakannya
pasien bpjs oleh pihak rumah sakit.
D. Manfaat penelitian
Manfaat dari hasil penelitian ini memiliki
sebagai berikut:
1. Manfaat teoretis

11
Dari hasil penelitian ini dapat menambah
pengetahuan dan dapat mengaplikasikan ilmu
pengetahuan terutama pada teori kebijakan
sosial kesehatan.
a. Bagi peneliti
Dengan pelaksanaan penelitian ini, peneliti
dapat mengaplikasikan pengetahuan yang
didapat selama SMA, khususnya dalam
bidang mata pelajaran kewarganegaraan.

12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan teori
1. Perkembangan Penanganan Kesehatan di
Indonesia
Kesehatan merupakan investasi
untuk mendukung pembangunan ekonomi
serta memiliki peran penting dalam upaya
penanggulangan kemiskinan. Dalam
pengukuran Indeks Pembangunan Manusia
(IPM), kesehatan adalah salah satu
komponen utama selain pendidikan dan
pendapatan Dalam Undang-undang Nomor
23 tahun 1992. Kesehatan ditetapkan bahwa
kesehatan adalah keadaan sejahtera dari
badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan
setiap orang hidup produktif secara sosial
dan ekonomi. Kondisi pembangunan
kesehatan secara umum dapat dilihat dari

13
status kesehatan dan gizi masyarakat, yaitu
angka kematian bayi, kematian ibu
melahirkan, prevalensi gizi kurang dan
umur angka harapan hidup.
Perkembangan penanganan
kesehatan di indonesia terjadi menjadi
beberapa tahap:
1) Masa pra kemerdekaan
Pada tahun 1807 Gubernur jendral
Daendels melakukan praktik persalinan
pada para dukun bayi. Pada tahun 1851
didirikan sekolah dokter jawa di Batavia
yaitu STOVIA. Tahun 1888 di Bandung
didirikan pusat laboratorium kedokteran
yang selanjutnya menjadi lembaga
eykman sekarang. Pada tahun 1913
didirikan sekolah dokter belanda yaitu
NIAS di Surabaya.
2) Masa era kemerdekaan
a) Masa orde lama

14
Pada tahun 1951 konsep bandung plan
diperkenalkan oleh dr. Y. Leimena dan dr.
Patah, yaitu konsep pelayanan yang
menggabungkan antara pelayanan kuratif
dan preventif. Tahun 1956 didirikanlah
proyek bekasi oleh dr. Y. sulianti di Lemah
Abang, yaitu model pelayanan kesehatan
pedesaan dan pusat penelitian tenaga.
Kemudian didirikan health centre (HC) di 8
Bekasi. Pada tanggal 12 november 1962
Presiden Soekarno mencanangkan program
pemberantasan malaria dan pada tanggal
tersebut menjadi hari kesehatan nasional
(HKN).
b) Masa orde baru
Konsep bandung plan terus
dikembangkan, pada tahun 1967
diadakan seminar konsep puskesmas
ditetapkan dalam rapat kerja kesehatan
nasional dengan disepakati bentuk

15
puskesmas yaitu tipe A, B, dan C. pada
tahun 1984 dikembangkan posyandu,
yaitu pengembangan dari pos
penimbangan dan karang gizi. Pada
waktu-waktu selanjutkan posyandu
bukan saja untuk pelayanan balita tetapi
juga untuk pelayanan ibu hamil.
c) Pra reformasi
Tahun 1997 Indonesia mengalami
krisis ekonomi. Kemiskinan meningkat,
kemampuan daya beli masyarakat
rendah, menyebabkan askes pelayanan
kesehatan rendah. Kemudian
dikembangkan program kesehatan untuk
masyarakat kurang mampu yaitu JPS-
BK. Tahun 2001 otonomi daerah mulai
dilaksanakan, sehingga program-
program kesehatan bernunasa
desentralisasi dan sebagai konsekuensi
negara demokrasi, program-program

16
kesehatan juga banyak bernuansa
politis. Tahun 2003 JPS-BK
kemudian menjadi PKPS-BBM bidang
kesehatan. Tahun 2005 berubah lagi
menjadi Askeskin. Pada saat itu juga
dikembangkan visi Indonesia sehat.
Pada tahun 2010 dengan paradigma
sehat, puskesmas dan posyandu menjadi
andalan ujung tombak bidang
kesehatan.

Tabel 1. Era perkembangan kesehatan di indonesia


17
2. BPJS
Di awaal terbentuknya, BPJS
kesehatan bernama Badan Penyelenggaraan
Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK).
Lembaga ini merupakan kebijakan
pemerintahan era Soeharto untuk mengatur
pemeliharaan kesehatan bagi pegawai
negeri sipil, penerima pensiun (PNS atau
ABRI) dan keluarga mereka dengan batasan
tertentu. Menteri kesehatan Indonesia Prof.
Dr. G. A. Siwabessy yang kala itu menjabat
menjadi orang pertama yang mengelola
program besar kesehatan Indonesia ini
sesuai dengan keputusan presiden Nomor
230, Tahun 1968. Setelah berjalan
kurang lebih 16 tahun, BPDPK yang
awalnya merupakan badan penyelenggara
diubah menjadi perusahaan Umum Husada
Bhakti. Perusahaan ini dibentuk oleh
pemerintah pada tahun 1984 berdasarkan

18
peraturan pemerintah Nomor 22 dan 23
tahun 1984. Fungsi dari perusahaan ini
adalah untuk meningkatkan program
jaminan dan pemeliharaan kesehatan bagi
para peserta yang terdiri dari PNS,
TNI/POLRI, pensiunan dan keluarga dari
peserta mulai dari istri/suami serta anak.
Selepas 7 tahun berdiri sebagai
sebuah perusahaan, BPDPK akhirnya diberi
izin untuk memperluas jangkauan
pesertanya. Berdasarkan peraturan
pemerintah Nomor 69 tahun 1991, BPDPK
bisa memberi pelayanan kepada badan
usaha swasta dengan membayar sebuah
iuran tertentu setiap bulannya.
Setelah menjadi perusahaan Umum
Husada Bhakti selama kurang lebih 8 tahun,
BPDPK resmi diubah menjadi perusahaan
perseroan atau PT persero. Keputusan ini
diambil untuk menindaklanjuti peraturan

19
pemerintah Nomor 6 tahun 1992.
Pengambilan keputusan ini didasarkan pada
pertimbangan fleksibilitas pengelolahan
keuangan agar bisa melaksanakan fungsinya
dengan jauh lebih baik. Setelah menjadi
persero, nama BPDPK pun diubah menjadi
Askes atau Asuransi Kesehatan.
PT Askes persero bekerja secara
mandiri untuk menangani jaminan
kesehatan khusus bagi masyarakat yang
bekerja kepada pemerintah hingga tahun
2005. Pemerintah akhirnya menerbitkan
sebuah keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor 124/MENKES/SK/XI/2001 dan
Nomor 56/MENKES/SK/I/2005 untuk
mengubah system kerja PT Askes agar
menjamin keluarga kurang mampu yang
tidak masuk dalam golongan Abdi Negara.
PT. Asken akhirnya menyelenggarakan
program Jaminan Kesehatan Masyarakat

20
Miskin.
Dasar dari penyelenggaraan Jaminan
Kesehatan Masyarakat Miskin atau
Askeskin adalah UUD 1945, UU Nomor 23
Tahun 1992 tentang kesehatan, UU Nomor
40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN), dan yang terakhir
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 124
tahun 2014 serta Nomor 56 Tahun 2005.
Berdasarkan Undanag-Undang dan
keputusan menteri yang telah disebutkan
diatas penyelenggaraan dari Askeskin ini
harus mengacu pada beberapa prinsip yang
meliputi:
a. diselenggarakan diseluruh Indonesia
secara serentak dengan menganut asas
gotong royong, artinya diharapkan akan
adanya subsidi silang antara kaya dan yang
miskin.
b. Acuan Pelaksanaan Askeskin adalah

21
prinsip Asuransi Kesehatan Sosial.
c. pelayanan kesehatan dilaksanakan secara
berjenjang dan terstruktur dengan prinsip
managed care.
d. penyelenggaraan program Askeskin
dengan prinsip nirlaba.
e. prinsip kerja Askeskin menjamin adanya
ekuitas dan protabilitas dalam pelayanan
kepada para peserta.
f. adanya transparasi dan akuntabilitas yang
terjamin dengan prinsip efisiensi, kehati-
hatian dan efektifitas.
Pada tahun 2014 Pemerintah
Indonesia membuat sebuah BUMN
bernama BPJS kesehatan yang bekerja
secara menyeluruh untuk menjamin semua
masyarakat di Indonesia tanpa terkecuali.
Semuanya bahu-membahu dalam
pembayaran kesehatan hingga terjadi
subsidi silang yang baik dan terstruktur.

22
B. Landasan Hukum
1. Pengaplikasian pancasila sila ke-5 dan
undang undang dasar 1945 diranah
kesehatan
a. UMUM
Dalam pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 diamanatkan bahwa tujuan
negara adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Dalam Perubahan
Keempat Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan
tersebut semakin dipertegas yaitu
dengan mengembangkan sistem jaminan
sosial bagi kesejahteraan seluruh rakyat.
Sistem jaminan sosial nasional
merupakan program negara yang
bertujuan memberikan kepastian
perlindungan dan kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat sebagaimana

23
diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat
(1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selain itu, dalam Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor
X/MPR/2001,
Presiden ditugaskan untuk
membentuk sistem jaminan sosial
nasional dalam rangka memberikan
perlindungan sosial bagi masyarakat
yang lebih menyeluruh dan terpadu.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional, bangsa
Indonesia telah memiliki sistem
Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Untuk mewujudkan tujuan sistem
jaminan sosial nasional perlu dibentuk

24
badan penyelenggara yang berbentuk
badan hukum publik berdasarkan
prinsip kegotongroyongan, nirlaba,
keterbukaan, kehati- hatian,
akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan
bersifat wajib, dana amanat, dan hasil
pengelolaan Dana Jaminan Sosial
dipergunakan seluruhnya untuk
pengembangan program dan untuk
sebesar- besarnya kepentingan Peserta.
Pembentukan Undang-Undang tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ini
merupakan pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional, setelah
Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
perkara Nomor 007/PUU- III/2005,
guna memberikan kepastian hukum bagi
pembentukan BPJS untuk melaksanakan

25
program Jaminan Sosial di seluruh
Indonesia.
Undang-Undang ini merupakan
pelaksanaan dari Pasal 5 ayat (1) dan
Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional yang mengamanatkan
pembentukan Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial dan transformasi
kelembagaan PT Askes (Persero), PT
Jamsostek (Persero), PT TASPEN
(Persero), dan PT ASABRI (Persero)
menjadi Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial. Transformasi tersebut diikuti
adanya pengalihan peserta, program,
aset dan liabilitas, pegawai, serta hak
dan kewajiban.
Dengan Undang-Undang ini
dibentuk 2 (dua) BPJS, yaitu BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

26
BPJS Kesehatan menyelenggarakan
program jaminan kesehatan dan BPJS
Ketenagakerjaan menyelenggarakan
program jaminan kecelakaan kerja,
jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan
jaminan kematian. Dengan terbentuknya
kedua BPJS tersebut jangkauan
kepesertaan program jaminan sosial
akan diperluas secara bertahap
2. Undang Undang BPJS
Didalam undang undang BPJS
terdapat banyak pasal yang terkait,
diantaranya pembentukan dan ruang
lingkup; status dan tempat kedudukan;
fungsi, tugas, wewenang, hak dan
kewajiban; pendaftaran peserta dan
pembayaran iuran dan lain lain.
Dalam undang-undang BPJS No. 24
Tahun 2011 mempertegas peraturan yang
telah dibuat sebelumnya (UU No. 40 Tahun

27
2004). Dan dalam hal ini pemerintah ingin
memajukan kesejahteraan umum termasuk
kesehatan masyarakat Indonesia.

28
BAB III
METODOLOGI PENULISAN

Dalam penulisan studi kasus karya


ilmiah yang berjudul kasus penolakan
pasien BPJS di berbagai rumah sakit yang
ada di indonesia penulis menggunakan
metode literatur dari berbagai macam
sumber buku jurnal perpustakaan kota
Surabaya dan perpustakaan dan arsip daerah
sidoarjo untuk melengkapi informasi
sebagai sumber yang kuat, dan beberapa
media sosial lainnya. Penulis juga
menggunakan metode literatur pada
landasan teori dan landasan hukum yang
terdapat pada sumber buku yang terkait.
Penulis juga mengumpulkan informasi
melalui web resmi pemerintah seperti web
bpjs-kesehatan.go.id dan lainnya.

29
Dalam karya ilmiah ini penulis
menggunkan sistematika penulisan disusun
berdasarkan hasil penelitian kuantitatif. dan
juga disusun secara runtut sesuai dengan
penulisan daftar pustaka dan rumusan
masalah

30
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Kebijakan BPJS mengenai Penanganan Pasien


Setiap orang memiliki risiko jatuh sakit dan
membutuhkan biaya cukup besar ketika berobat
ke rumah sakit. Terlebih lagi, jika sakit yang
dideritanya merupakan penyakit yang kronis
atau tergolong berat. Untuk memberikan
keringanan biaya, pemerintah mengeluarkan
Program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).
Program pelayanan kesehatan yang merata dan
tidak diskriminatif, diatur dalam Undang-
undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN), kemudian
diimplementasikan ke dalam Undang-Undang
(UU) Nomor 24 Tahun 2011 tentang
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

31
Sebagai suatu sistem yang besar dan baru
berlangsung dalam tempo yang masih relatif
singkat, implementasi BPJS terutama BPJS
Kesehatan masih jauh dari sempurna. Dalam
survei dan evaluasi yang telah lakukan oleh
berbagai pihak, khususnya DJSN (Dewan
Jaminan Sosial Nasional) yang telah diberikan
mandat oleh konstitusi untuk melakukan
monitoring dan evaluasi, banyak permasalahan
di lapangan.
Masalah itu, muncul pada unsur
pengaplikasiannya, seperti di rumah sakit
tersier, khususnya pada aspek rujukan, biaya,
dan kepersertaan BPJS. Banyak masyarakat
yang belum tahu teknis mendapatkan pelayanan
sesuai dengan aturan main BPJS Kesehatan.
Dengan diberlakukannya BPJS Kesehatan,
masyarakat yang akan berobat ke rumah sakit
umum pemerintah dengan kartu BPJS harus
mendapat rujukan dari dokter,

32
klinik/puskesmas, atau rumah sakit umum
daerah.
Dalam sistem rujukan ini pelayanan
kesehatan dilakukan secara bertahap sesuai
dengan kebutuhan medis. Pada pelayanan
kesehatan tingkat pertama, peserta dapat
berobat ke fasilitas kesehatan primer seperti
puskesmas, klinik, atau dokter keluarga yang
tercantum pada kartu peserta BPJS Kesehatan.
Apabila peserta memerlukan pelayanan atau
pengobatan lebih lanjut oleh dokter spesialis,
maka peserta dapat dirujuk ke fasilitas
kesehatan tingkat kedua yaitu fasilitas
kesehatan sekunder.
Pelayanan kesehatan di tingkat ini hanya
bisa diberikan jika peserta mendapat rujukan
dari fasilitas primer. Rujukan ini hanya
diberikan jika pasien membutuhkan pelayanan
kesehatan spesialistik dan fasilitas kesehatan
primer yang ditunjuk untuk melayani peserta,

33
tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan
sesuai dengan kebutuhan peserta karena
keterbatasan fasilitas, pelayanan, dan atau
ketenagaan. Jika penyakit pasien belum juga
sembuh maka peserta dapat dirujuk ke fasilitas
kesehatan tersier. Di sini, peserta akan
mendapatkan penanganan dari dokter sub-
spesialis yang menggunakan pengetahuan dan
teknologi kesehatan sub-spesialiastik.
Peserta JKN harus mengikuti sistem
rujukan yang ada. Sakit apa pun, kecuali dalam
keadaan darurat, harus berobat ke fasilitas
kesehatan primer, peserta tidak diperbolehkan
langsung berobat dirumah sakit atau dokter
spesialis, terkecuali bagi orang umum (tanpa
mempunyai kartu kesehatan ).
1. Penggunaan kartu BPJS secara nasional
Jika seseorang pergi dari kota A ke
kota B, dan sakit, orang tersebut dapat
menggunakan kartu kesehatan (BPJS)

34
dimanapun mereka berada. Karna kartu
kesehatan tersebut berlaku secara nasional
atau diseluruh wilayah Indonesia. Dalam
kondisi penyakit ringan, peserta bisa datang
ke puskesmas terdekat yang ada di kota B
tersebut. Jika peserta dibutuhkan
penanganan khusus atau lebih lanjut dari
dokter spesialis, maka akan dirujuk di
rumah sakit di kota B.
2. Penanganan dalam kondisi gawat darurat
Pelayanan gawat darurat adalah
pelayanan kesehatan yang harus diberikan
secepatnya untuk mencegah kematian,
keparahan kondisi pasien, atau kecacatan,
sesuai dengan kemampuan fasilitas
kesehatan. Dalam kondisi ini peserta bisa
mendatangi fasilitas kesehatan manapun
yang lokasinya paling dekat dengan lokasi
peserta berada. Jika peserta menerima
pelayanan kesehatan dari fasilitas kesehatan

35
yang tida bekerja sama dengan BPJS
kesehatan, maka akan segera dirujuk ke
fasilitas kesehatan yang bekerja sama
dengan BPJS kesehatan setelah keadaan
atau tindakan gawat darurat telah diberikan
dan pasien dalam kondisi membaik agar
bisa dipindahkan.
3. Melakukan rujukan tanpa pengobatan
difasilitas tingkat pertama
Fasilitas kesehatan tingkat permata,
bukan hanya sebagai pemberi rujukan
kerumah sakit besar, tetapi juga sebagai
pemberi penanganan pertama kepada pasien
peserta BPJS kesehatan. Dalam fasilitas
tingkat pertama terdapat dokter dan petugas
medis lainnya dengan dibekali kompetensi
yang memadai sehingga dapat menangani
pasien yang terdapat difasilitas kesehatan
tingkat pertama dan dapat menangani
kurang lebih 115 diagnosa pasien tanpa

36
dirujuk ke rumah sakit besar. Oleh karna itu
setiap peserta BPJS diwajibkan untuk
melalui tahap fasilitas ksehatan tingkat
pertama (puskesmas, klinik dan dokter
keluarga) dalam pengobatan. Disana peserta
akan memperoleh pemeriksaan untuk
mengetahui diagnose dan tingkat keparahan
penyakit peserta. Jika penyakit peserta
masih bisa ditangani oleh pihat medis
setempat, maka peserta tidak perlu dirujuk
dirumah sakit besar.
Tetapi jika berdasarkan indikasi
dokter di fasilitas kesehatan tingkat pertama
bahwa penyakit peserta perlu penanganan
dari dokter spesialis atau perlu perawatan
medis lebih lanjut, mka peserta dapat
dirujuk kerumah sakit yang bekerja sama
dengan BPJS kesehatan. Semua rumah sakit
pemerintah (RSUD) wajib bekerja sama
dengan BPJS kesehatan sedangkan rumah

37
sakit swasta diperkenankan untuk bekerja
sama dengan BPJS kesehatan dan
diperbolehkan pula tidak bekerja sama
dengan BPJS kesehatan.
4. Meminta surat rujukan di daerah lain
Peserta BPJS kesehatan
diperkenankan berobat diluar wilayah
tempat tinggalnya, dengan catatan sebagai
berikut:
a. Peserta dalam kondisi gawat darurat
(bisa dilarikan kefasilitas kesehatan
manapun yang berada paling dekat
dengan lokasi pasien)
b. Peserta BPJS kesehatan sedang berada
di luar wilayah tempat tinggalnya karna
suatu alas an dalam jangka waktu yang
lama (peserta diwajibkan lapor terlebih
dahulu ke kantor BPJS kesehatan
setempat )

38
c. Jika atas pertimbangan geografis dan
keselamatan peserta tidak
memungkinkan untuk melakukan
rujukan dalam satu kabupaten maka
diperbolehkan memberikan surat
rujukan lintas kabupaten atau lintas
wilayah peserta.
d. Peserta memilih rumah sakit yang
mereka inginkan fasilitas kesehatan
tingkat pertama yang mempunyai
wewenang dalam menentukan rumah
sakit rujukan.karna disesuaikan dengan
lokasi tempat tinggal peserta dan
indikasi medis dari dokter sebagai
bentuk penangan penyakit peserta.
Namun jika didalam satu daerah
terdapat lebih dari satu r umah sakit
besar, peserta BPJS kesehatan bisa
memilih rumah sakit rujukan mereka.

39
Ada beberapa tipe rumah sakit, dari
rumah sakit tipe A, B, C hingga D
rujukan disesuaikan dengan tingkat
keparahan dan kompleksitas penyakit
yang peserta derita. Ada beberapa jenis
penyakit yang cukup dirujuk kerumah
sakit tipe D karena masih bisa ditangani
oleh tenaga medis setempat dan
peralatan disana masih memadai. Ada
pula yang perlu dirujuk hingga rumah
sakit tipe A karena membutuhkan
penanganan dan peralatan medis yang
menunjang penanganan penyakitnya.
e. Peserta berpindah ke fasilitas kesehatan
tingkat pertama yang lain peserta
diperbolehkan berpindah dari fasilitas
kesehatan tingkat pertama ke lainnya
dengan syarat, peserta harus mendaftar
difasilitas kesehatan tingkat pertama
yang sekarang minimal 3 (tiga) bulan

40
terlebih dahulu. Setelah itu, peserta
berhak memilih fasilitas kesehatan
tingkat pertama yang diinginan. Dengan
membawa persyaratan yang telah ada.
5. Pindah domisili
Jika peserta berpindah kelain
tempat, maka tidak perlu menunggu tiga
bulan untuk ganti fasilitas kesehatan tingkat
pertama, peserta dapat meminta surat
keterangan domisili dari perangkat tempat
tinggal peserta yang baru. Kemudian
peserta dapat mengunjungi kantor BPJS
kesehatan dengan membawa surat
keterangan tersebut.
B. Kasus penolakan BPJS di Indonesia dipandang
dari perundang undangan
1. Beberapa kasus penolakan psaien BPJS di
Indonesia

41
REVA PASIEN BPJS KESEHATAN
YANG DITOLAK OLEH DELAPAN
RUMAH SAKIT
diketahui menderita penyakit usus
buntu dan demam tinggi sejak kamis
(24/3/2016) orang tuanya membawanya ke
klinik. Setelah didiagnosa pasien dirujuk
dirumah sakit keluarga kita. Setelah
mendapatkan perawat pasien menderita
usus buntu kronis dan harus segera
dioperasi, karna ruang ICU penuh reva
irujuk di empat rumah sakit lainnya. Reva
yang menggunakan asuransi BPJS
Kesehatan ditolak oleh delapan rumah sakit
yang ditunjuk. Beragam alasan penolakan
yang disampaikan, mulai dari rumah sakit
penuh sampai tidak ada dokter untuk
operasi.
PENDERITA SAKIT GINJAL DITOLAK
OLEH RUMAH SAKIT

42
Elfrida Nainggolan divonis
menderita sakit ginjal dan komplikasi
penyakit lain yang dideritanya selama satu
tahun lebih. Pada Februari 2015 lalu, Ia
mendatangi 6 rumah sakit swasta di Kota
Tangerang Selatan dan Jakarta atas rujukan
dari RSUD Kota Tangerang Selatan.
Namun ia mendapat penolakan.namun
pihak rumah sakit yang menolaknya enggan
memberikan penjelsan terhadap penolakan
tersebut.
BAYI PASIEN BPJS MENINGGAL
DALAM KANDUNGAN
Ety, warga Rawa Mekar Jaya,
Kecamatan Serpong, Kota Tangsel, harus
kehilangan anak ketiganya karena telat
ditangani oleh rumah sakit. Pihak
Puskesmas tak sanggup menangani dan
dirujuk ke Rumah Sakit Bunda Delima
untuk melakukan persalinan pada tanggal

43
20 Januari 2016. Tidak ada tindakan dari
rumah sakit tersebut, akhirnya petugas
Puskesmas meminta rujukan ke Rumah
Sakit Medika. Namun, pihak rumah sakit
Bunda Delima tidak mau memberikan
rujukan.
RISKI (2,9TH) PASIEN BPJS, DITOLAK
6 RUMAH SAKIT HINGGA
MENINGGAL
Mulai dari Puskesmas di daerah
Bonang Kab Tangerang, Ibunya membawa
Rizki untuk berobat, hingga ke RS Jantung
yang berada di Jakarta. Sebelum itu Rizki
sudah berpindah-pindah dibeberapa Rumah
Sakit mulai Tangerang hingga Jakarta,
sampai terhitung 6 Rumah Sakit besar telah
di datangi. Namun Yuli mengatakan,
dikeenam Rumah Sakit Besar yang
seharusnya menerima pasien BPJS ini,
menolak Rizki dengan berbagai alasan

44
klise.
PASIEN BPJS DITOLAK RUMAH SAKIT
HINGGA MEREGANG NYAWA
Udin Syahrudin (47), pasien peserta
BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial) Kesehatan di Bogor dikabarkan
meninggal dunia setelah tak tertangani di
sejumlah rumah sakit. Keluarga pun heran
dengan prosedur penanganan pihak rumah
sakit. Udin pemegang kartu BPJS
Kesehatan itu meninggal dunia, Selasa
(1/3/2016) dinihari.
Sebelum meninggal dunia, Udin yang juga
Ketua RT 06/08, Kampung Kedunghalang
Talang, Kelurahan Kedunghalang, Bogor
Utara, Kota Bogor sempat ditolak tiga
rumah sakit di Bogor.

2. Penolakan pasien bpjs dipandang dari


perundang-undangan

45
Pada dasarnya dalam keadaan
darurat, fasilitas pelayanan kesehatan baik
pemerintah maupun swasta, wajib
memberikan pelayanan kesehatan bagi
penyelamatan nyawa pasien dan
pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
Fasilitas pelayanan kesehatan, baik
pemerintah maupun swasta dilarang
menolak pasien dan/atau meminta uang
muka. Hal ini ditegaskan Pasal 32 Undang
Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan (UU Kesehatan). Ini artinya
rumah sakit sebagai salah satu fasilitas
pelayanan kesehatan dilarang menolak
pasien yang dalam keadaan darurat serta
wajib memberikan pelayanan untuk
menyelamatkan nyawa pasien. Hal yang
sama juga dipertegas dalam Pasal 85 UU
Kesehatan terkait dalam hal keadaan darurat
pada bencana, yaitu berbunyi:

46
a. Dalam keadaan darurat, fasilitas
pelayanan kesehatan, baik pemerintah
maupun swasta wajib memberikan
pelayanan kesehatan pada bencana bagi
penyelamatan nyawa pasien dan
pencegahan kecacatan.
b. Fasilitas pelayanan kesehatan dalam
memberikan pelayanan kesehatan pada
bencana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Dilarang menolak pasien
dan/atau meminta uang muka terlebih
dahulu.
Berdasarkan Pasal 190 ayat (1) dan
(2) UU Kesehatan, pimpinan fasilitas
pelayanan kesehatan dan/atau tenaga
kesehatan yang melakukan praktik atau
pekerjaan pada fasilitas pelayanan
kesehatan yang dengan sengaja tidak
memberikan pertolongan pertama terhadap
pasien yang dalam keadaan gawat darurat

47
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat
(2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Apa bila rumah sakit melanggar
kewajiban yang disebut dalam Pasal 29 UU
Rumah Sakit, maka rumah sakit tersebut
dikenakan sanksi administratif berupa
(Pasal 29 (2) UU Rumah Sakit):
a. Teguran;
b. Teguran tertulis; atau
c. Denda dan pencabutan izin Rumah
Sakit.

48
BAB V
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil pada studi
kasus karya ilmiah yang berjudul penolakan
pasien BPJS di berbagai rumah sakit yang ada
di Indonesia adalah permasalahan penolakan
pasien BPJS kesehatan diberbagai rumah sakit
di Indonesia yang seharusnya sistem pelayanan
BPJS kesehatan berjalan secara optimal dari
tahun ketahun. Karena pemerintah telah
merancang program tersebut untuk
mempermudah masyarakat Indonesia menerima
pengobatan serta pelayanan kesehatan dengan
baik.

Dalam Undang-Undang 1945 ayat 28H ayat


(1), dengan jelas menyatakan bahwa, Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan
49
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pada
program BPJS kesehatan saat ini masih terdapat
banyak kekurangan, seperti perlu diadakannya
penyuluhan didaerah daerah diberbagai wilayah
Indonesia agar masyarakat mengenal betul
system dan program BPJS Kesehatan.

Dalam studi kasus ini terbukti bahwa,


Undang-Undang yang terdapat di Indonesia
masih belum bisa mengaplikasikan isi yang ada
didalam undang-undang dalam lingkungan
masyarakat (lapangan).

50
B. Saran
Sejauh ini masih belum terdapat peraturan
perundang-undangan yang memberikan sanksi
terhadap rumah sakit yang menolak pasien.
Terutama pasien BPJS. Seharusnya pemerintah
menindak tegas apabila hal tersebut terjadi
dengan ancaman mencabut ijin pengoperasian
rumah sakit tersebut. Karena disamping
merugikan pasien, hal tersebut juga merugikan
pihak BPJS karna kehilangan kepercayaan
terhadap masyarakat. dengan demikian pihak
rumah sakit dapat mendapatkan keperyaannya
kembali oleh masyarakat.

51
LAMPIRAN

Pasal 1
(1) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang
selanjutnya disingkat BPJS adalah badan
hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan
program jaminan sosial.
(2) Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk
perlindungan sosial untuk menjamin seluruh
rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya yang layak.
(3) Dana Jaminan Sosial adalah dana amanat milik
seluruh peserta yang merupakan himpunan
iuran beserta hasil pengembangannya yang
dikelola oleh BPJS untuk pembayaran manfaat
kepada peserta dan pembiayaan operasional
penyelenggaraan program Jaminan Sosial.
(4) Peserta adalah setiap orang, termasuk orang
asing yang bekerja paling singkat 6 (enam)
bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran.

52
(5) Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang
menjadi hak peserta dan/atau anggota
keluarganya.
(6) keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa
yang telah atau akan dilakukan.
(7) Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut
Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 2
BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial
nasional berdasarkan asas:
a. kemanusiaan;
b. manfaat; dan
c. keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

53
Pasal 3
BPJS bertujuan untuk mewujudkan
terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya
kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap
Peserta dan/atau anggota keluarganya.
Pasal 6
(1) BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf a menyelenggarakan
program jaminan kesehatan.
(2) Undang-Undang BPJS No. 24 Tahun 2011
BAB IV Fungsi, Tugas, Wewenang dan
Kewajiban
Pasal 9
(1) BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (2) huruf a berfungsi
menyelenggarakan program jaminan kesehatan.

54
(2) BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b berfungsi
menyelenggarakan program jaminan
kecelakaan kerja, program jaminan kematian,
program jaminan pensiun, dan jaminan hari tua.

Pasal 13
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 10, BPJS berkewajiban untuk:
(1) memberikan nomor identitas tunggal kepada
Peserta;
(2) mengembangkan aset Dana Jaminan Sosial dan
aset BPJS untuk sebesar-besarnya kepentingan
Peserta
(3) memberikan informasi melalui media massa
cetak dan elektronik mengenai kinerja, kondisi
keuangan, serta kekayaan dan hasil
pengembangannya;

55
(4) memberikan Manfaat kepada seluruh Peserta
sesuai dengan Undang-Undang tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional;
(5) memberikan informasi kepada Peserta
mengenai hak dan kewajiban untuk mengikuti
ketentuan yang berlaku;
(6) memberikan informasi kepada Peserta
mengenai prosedur untuk mendapatkan hak dan
memenuhi kewajibannya;
(7) memberikan informasi kepada Peserta
mengenai saldo jaminan hari tua dan
pengembangannya 1 (satu) kali dalam 1 (satu)
tahun;
(8) memberikan informasi kepada Peserta
mengenai besar hak pensiun 1 (satu) kali dalam
1 (satu) tahun;
(9) membentuk cadangan teknis sesuai dengan
standar praktik aktuaria yang lazim dan berlaku
umum;

56
(10) melakukan pembukuan sesuai dengan standar
akuntansi yang berlaku dalam
penyelenggaraan Jaminan Sosial; dan
(11) melaporkan pelaksanaan setiap program,
termasuk kondisi keuangan, secara berkala 6
(enam) bulan sekali kepada Presiden dengan
tembusan kepada DJSN.

57
DAFTAR PUSTAKA
Budianto Malhaf, 2014, Paham BPJS
Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Jakarta,
CV. Komunitas Pejaten Mediatana
Buku Panduan Layanan bagi Peserta
BPJS Kesehatan.pdf Tahun 2012
BPJS Kesehatan http://www.bpjs
kesehatan.go.id/bpjs/index.php/pages/detail/2014/1
4/Fasilitas-Kesehatan

58

Anda mungkin juga menyukai