Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PRAKTIKUM

Nama : Indra Purnama

Nomor Induk Mahasiswa : 021161293

Program Studi / Kode : S-1 Biologi / 78

Tahun : 2017.2

Mata Kuliah : Praktikum Fisiologi Tumbuhan

Kode Mata Kuliah : BIOL4449

Instruktur : Ismanto, M.Si.

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TERBUKA

UPBJJ-UT JAKARTA

September 2017
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat ALLAH subahanahu wa taala, Tuhan Yang Mahaesa,
karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, kami mampu menyelesaikan Laporan Praktikum
Fisiologi Tumbuhan ini dengan baik. Laporan ini kami susun dalam rangka menyelesaikan mata
kuliah Praktikum Fisiologi Tumbuhan.

Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang membantu selama pelaksanaan
praktikum dan juga selama penyusunan laporan ini, khususnya kepada:

1. Bapak Ismanto, M.Si. selaku instruktur Praktikum Fisiologi Tumbuhan,


2. Bapak Wahyudin selaku asisten instruktur,
3. Orang tua yang selalu mendoakan kami, serta
4. Rekan-rekan mahasiswa program studi Biologi UT peserta Praktikum Fisiologi Tumbuhan.

Laporan praktikum ini masih jauh dari sempurna, karenanya kritik dan saran yang membangun
sangat kami harapkan demi menyempurnakan laporan-laporan praktikum berikutnya.

Demikian laporan ini kami buat sebaik-baiknya, apabila masih banyak kekurangan kami mohon
maaf. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan dapat menjadi rujukan
praktikum di kemudian hari.

Sekian dan terima kasih.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuhu.

Jakarta, 17 Oktober 2017

Penyusun

Indra Purnama
DAFTAR ISI

Halaman Judul .. i

Kata Pengantar ii

Daftar Isi ... iii

Pendahuluan . iv

Bab I: Pengaruh Lingkungan Terhadap Enzim .... 1

A. Dasar Teori ...... 1


B. Tujuan Praktikum .. 6
C. Waktu dan Tempat ..... 6
D. Alat dan Bahan .... 6
E. Langkah Kerja . 6
F. Hasil dan Pembahasan 7
G. Kesimpulan ... 8

Bab II: Pematangan Buah .... 9

A. Dasar Teori ... 9


B. Tujuan Praktikum ... 14
C. Waktu dan Tempat .. 14
D. Alat dan Bahan . 14
E. Langkah Kerja .. 14
F. Hasil dan Pembahasan . 15
G. Kesimpulan ........... 19

Bab III: Transpirasi pada Tumbuhan ..... 20

A. Dasar Teori 20
B. Tujuan Praktikum 27
C. Waktu dan Tempat .. 27
D. Alat dan Bahan . 27
E. Langkah Kerja .. 27
F. Hasil dan Pembahasan . 29
G. Kesimpulan ........... 30
Bab IV: Tropisme ...... 31

A. Dasar Teori 31
B. Tujuan Praktikum 34
C. Waktu dan Tempat .. 34
D. Alat dan Bahan . 34
E. Langkah Kerja .. 34
F. Hasil dan Pembahasan . 35
G. Kesimpulan ........... 36

Daftar Pustaka 37
PENDAHULUAN

Fisiologi tumbuhan merupakan cabang ilmu biologi yang dapat memberikan gambaran-gambaran
mengenai peristiwa-peristiwa alami yang terdapat dalam tubuh tumbuhan hidup yang berhubungan
dengan proses dan fungsi, serta respons tumbuhan yang dapat menghasilkan pertembahan dan
perumbuhan suatu tumbuhan. Beberapa proses fisiologis yang terjadi pada tubuh tumbuhan antara
lain, reaksi-reaksi kimia dalam tumbuhan yang dikatalisis enzim, proses pemasakan buah yang
dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh etilen, proses pengeluaran air melalui daun, serta gejala
pertumbuhan tunas dan akar yang dipengaruhi oleh rangsangan dari luar, yaitu sinar matahari dan
gaya gravitasi bumi.

Enzim diperlukan oleh makhluk hidup, termasuk tumbuhan, sebagai katalis bagi reaksi-reaksi
kimia dalam tubuhnya. Enzim termasuk golongan protein yang dapat terpengaruh oleh
lingungannya, di antaranya adalah perubahan pH dan temperatur. Untuk mengetahui pengaruh
perubahan pH dan temperatur terhadap enzim, maka dilakukan percobaan untuk menguji pengaruh
perubahan pH dan temperatur terhadap enzim dalam bagian putih telur.

Terbentuknya buah merupakan kelanjutan dari proses fertilisasi tumbuhan. Buah yang telah
mencapai akhir pertumbuhannya akan mengalami proses pematangan. Proses pematangan buah
dipengaruhi oleh hormon etilen. Penambahan etilen dari luar (eksogen) diketahui akan semakin
mempercepat proses pematangan buah. Oleh karena itu, perlu dilakukan percobaan untuk
mengetahui pengaruh penambahan etilen eksogen terhadap proses pematangan buah.

Proses pengeluaran uap air melalui stomata, kutikula, atau lentisel disebut transpirasi. Selama
proses kehidupannya, tumbuhan akan mengeluarkan sebagian besar air dari dalam tubuhnya dalam
bentuk uap air ke atmosfer. Banyaknya air yang ditranspirasikan oleh tumbuhan berbeda-beda
antar spesies. Untuk itu perlu dilakukan percobaan untuk mengetahui perbedaan laju transpirasi
antara satu tumbuhan dengan tumbuhan lain. Selain itu, perlu juga dikaji faktor-faktor yang
mempengaruhi kecepatan transpirasi.

Selama pertumbuhannya, organ tumbuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor luar yang dapat
menentukan arah pertumbuhan. Rangsangan yang berasal dari lingkungan dapat memengaruhi
organ tertentu untuk tumbuh menuju atau menjauhi arah datangnya rangsangan tersebut. Gerakan
tumbuhan menuju atau menjauhi rangsangan disebut tropisme. Beberapa rangsangan luar yang
mempengaruhi arah pertumbuhannya misalnya sinar matahari dan gravitasi. Untuk mengetahui
gejala tropisme pada tumbuhan, perlu dilakukan percobaan menggunakan kecambah untuk
mencari tahu arah pertumbuhan bagian-bagian tubuhnya.
BAB I

PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP ENZIM

A. Dasar Teori
Salah satu tanda kehidupan adalah adanya metabolisme. Metabolisme merupakan suatu
rangkaian reaksi-reaksi kimia yang dapat terjadi secara serempak dan berkesinambungan.
Ribuan reaksi berlangsung dalam tiap sel. Berbagai senyawa dapat disintesis oleh sel-sel hidup.
Senyawa-senyawa tersebut harus dibentuk untuk dapat menghasilkan organel dan struktur lain
yang terdapat dalam sel. Pembentukan molekul besar dari molekul-molekul kecil sering
disebut anabolisme. Proses ini memerlukan masukan energi. Sementara itu, proses penguraian
molekul besar menjadi molekul-molekul kecil dengan membebaskan sejumlah energi disebut
katabolisme. Anabolisme dan katabolisme membentuk jalur metabolisme. Agar sel dapat
berfungsi dan berkembang sebagaimana mestinya, jalur metabolisme harus diatur dengan
seksama. Dalam hal ini, sel dapat mengatur jalur metabolisme yang berjalan dan mengatur
kecepatan reaksinya dengan cara memproduksi katalis yang tepat yang disebut dengan enzim.
Hampir semua reaksi kimia berlangsung sangat lambat tanpa katalis. Enzim merupakan katalis
yang khas dan lebih kuat dibandingkan ion logam atau senyawa anorganik lainnya.
Dibandingkan dengan katalis buatan, enzim dapat mencapai 108106 kali lebih efektif.

1. Sifat-Sifat Enzim
Enzim memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
a. Enzim aktif dalam jumlah yang sangat sedikit. Dalam reaksi biokimia, hanya sejumlah
kecil enzim yang diperlukan untuk mengubah sejumlah besar substrat menjadi hasil
(produk).
b. Enzim adalah katalis murni, sama sekali tidak terpengaruh oleh reaksi yang
dikatalisisnya. Karena enzim adalah protein, maka aktivitasnya sangat mudah
terpengaruh oleh temperatur dan pH, sehingga dalam keadaan tertentu enzim dapat
terpengaruh oleh hasil reaksi dalam sel bersifat bolak-balik.
c. Enzim dapat mempercepat penyelesaian suatu reaksi, tetapi enzim tidak memengaruhi
kesetimbangan reaksi yang terjadi. Pada umumnya, reaksi dalam sel bersifat bolak-
balik. Tanpa enzim reaksi dapat berjalan ke arah sebaliknya.
d. Enzim bekerja sangat spesifik, artinya untuk substrat tertentu diperlukan enzim tertentu
pula. Suatu enzi menunjukkan kekhasan reaksi yang dikatalisisnya.
e. Beberapa macam enzim dapat bekerja terhadap suatu substrat tertentu dan
menghasilkan produk yang sama. Kelompok enzim semacam ini disebut sebagai
isoenzim atau isozim. Keuntungan dengan adanya isozim adalah masing-masing jenis
enzim dapat memberikan tanggapan yang berbeda-beda terhadap lingkungan yang
berbeda. Kadang-kadang satu jenis isozim terdapat dalam satu sel dan jenis isozim lain
terdapat pada sel lainnya. Dapat pula terjadi bahwa dalam satu sel yang sama terdapat
bermacam-macam isozim.

2. Struktur Enzim
Sampai sejauh ini, semua enzim murni secara kimiawi merupakan molekul protein,
sedangkan aktivitas katalitik enzim bergantung pada konformasi strukturnya sebagai
protein. Enzim, seperti umumnya protein, memiliki berat molekul yang sangat besar,
berkisar antara 12.000 sampai lebih dari satu juta. Oleh karena itu, molekul enzim sangat
besar jika dibandingkan dengan substrat atau gugus fungsi.

Beberapa enzim hanya mengandung rantai polipeptida, tanpa gugus lain selain residu asam
amino; contohnya enzim pankreas ribonuklease. Namun demikian, beberapa enzim lainnya
memerlukan komponen kimia lain dalam melakukan aktivitasnya, yang disebut kofaktor.
Kofaktor-kofaktor tersebut dapat berupa zat anorganik seperti ion-ion logam Fe2+ atau Fe3+,
Cu2+, Mn2+, Mg2+, Zn2+, K+, dan lain sebagainya. Atau dapat pula berupa molekul organik
kompleks yang disebut koenzim, misalnya NAD, NADP, FMN, FAD, CoA, serta berbagai
vitamin.

Beberapa enzim memerlukan koenzim dan ion logam sekaligus. Koenzim dan ion logam
pada beberapa enzim ada yang terikat secara lemah dengan molekul enzimnya, tetapi ada
pula yang terikat secara kuat dan permanen bersama molekul enzimnya. Koenzim yang
terikat permanen bersama enzimnya disebut gugus prostetik. Susunan lengkap enzim
dengan koenzim atau ion logam, yang aktif secara katalitik, disebut holoenzim. Bagian
koenzim atau ion logam relatif stabil terhadap pemanasan, sedangkan bagian protein yang
disebut apoenzim dapat mengalami denaturasi oleh pemanasan sehingga enzim akan
kehilangan fungsinya sebagai katalis. Kofaktor berperan sebagai penerima atom atau gugus
fungsi tertentu yang ditambahkan atau dipisahkan dari substrat.

3. Interaksi Enzim-Substrat
Pada reaksi yang dipercepat dengan penambahan katalis, terjadi interaksi antara katalis
dengan substrat, demikian pula dengan reaksi yang dikatalisis oleh enzim. Ada dua model
hipotesis yang diajukan mengenai bagaimana enzim berinteraksi dengan substratnya, yaitu
model lock-and-key dan model induced-fit.

a. Model Lock-and-key
Model lock-and-key mengilustrasikan enzim dan substrat sepreti kunci gembok dengan
anak kunci, hanya anak kunci yang cocok yang dapat masuk ke dalam gembok;
demikian halnya dengan enzim, hanya substrat yang sesuai yang dapat dikatalisis oleh
suatu enzim. Model ini mengisyaratkan bahwa struktur enzim bersifat kaku sehingga
hanya substrat dengan struktur tertentu yang dapat masuk ke dalam ruang pada enzim
yang disebut sisi katalitik enzim.

Contoh model ini adalah enzim aspartase yang ditemukan dalam berbagai tumbuhan
dan bakteri. Enzim ini hanya mengkatalisis reaksi reversible adisi amoniak terhadap
ikatan rangkap yang terdapat pada asam fumarat membentuk L-aspartat. Aspartase
tidak mengkatalisis adisi amoniak terhadap ikatan rangkap lain yang memiliki struktur
serupa asam fumarat. Aspartase juga mempunyai spesifik geometri dan optik dari
substratnya, demikian spesifiknya hingga hanya isomer L-aspartat, dan bukannya D-
aspartat atau asam malat (isomer cis dari asam fumarat), yang dikatalisisnya, walaupun
antara asam fumarat, asam malat, dan L-aspartat memiliki kemiripan struktur.

b. Model Induced-fit
Model ini menggambarkan enzim sebagai sesuatu yang dapat mengalami sedikit
perubahan struktur konformasi jika berkaitan dengan substrat. Model induced-fit ini
memandang enzim memiliki struktur tidak kaku, tetapi memiliki bagian berupa ruang
yang mudah mengalami konformasi jika substrat masuk ke dalamnya.

Jadi menurut model ini, enzim mampu mengkatalisis beberapa senyawa dengan
struktur sedikit berbeda tetapi memiliki kemiripan, seperti yang dimiliki oleh berbagai
senyawa yang sejenis atau segolongan. Sebagai contoh enzim kimotripsin yang dapat
mengkatalisis hidrolisis berbagai protein atau peptida, walaupun hanya terhadap ikatan
peptida yang sisi karbonilnya berupa fenilalanin, tripsin, atau triptofan. Enzim lain
yang serupa adalah enzim intestine fosfatase yang mengkatalisis berbagai ikatan ester
fosfat dengan kecepatan berbeda-beda.

Dengan keberadaan enzim sebagai protein, di mana sepanjang rantai polipeptidanya


terdapat gugus-gugus fungsi tertentu yang berasal dari gugus samping asam-asam amino
penyusunnya. Gugus samping asam amino tersebut berperan sebagai bagian yang
berinteraksi dengan gugus fungsi molekul substrat. Di samping itu, saat enzim bereaksi
juga dibantu oleh kofaktor, baik dalam bentuk aktifator ion logam, gugus prostetik, maupun
berupa koenzim.

Tahap penting dalam interaksi enzim dengan substrat adalah pembentukan kompleks
enzim-substrat yang dilalui oleh semua reaksi katalisis enzimatik. Pada teori umum reaksi
enzim, Michaelis dan Menten (1933) menyusun postulat bahwa pada tahap awal reaksi,
enzim berikatan dengan substrat membentuk komplek enzim-substrat (ES), sebagai reaksi
yang dapat balik. Tahap selanjutnya, kompleks ES tersebut terurai menghasilkan produk
dan enzim diperoleh kembali. Selama reaksi berlangsung, enzim terdapat dalam dua
bentuk, bentuk bebas (E) dan bentuk terikat sebagai kompleks (ES). Karena reaksi
pembentukan produk P merupakan tahap penentu, maka kecepatan reaksi enzim ditentukan
oleh konsentrasi kompleks ES.

4. Faktor yang Memengaruhi Aktivitas Enzim


Enzim berupa protein sehingga sangat peka terhadap pengaruh perubahan lingkungan,
antara lain sebagai berikut.

a. Konsentrasi substrat
Sampai batas tertentu, kenaikan konsentrasi substrat akan meningkatkan laju reaksi,
tetapi bila konsentrasi meningkat terus, pada suatu batas tertentu tidak akan terjadi lagi
reaksi. Hal tersebut terjadi karena terjadi reaksi antara substrat dan enzim.

b. Konsentrasi enzim
Penambahan konsentrasi enzim akan meningkatkan laju reaksi, selama substrat masih
tersedia.

c. Temperatur
Enzim merupakan protein sehingga sangat sensitif terhadap perubahan temperatur.
Kenaikan temperatur akan mempercepat reaksi, karena kenaikan temperatur akan
menyebabkan penambahan energi kinetik substrat dan enzim, serta menyebabkan
bertambahnya jumlah tumbukan antarmolekul akibat dari agitasi yang lebih besar pada
temperatur yang lebih tinggi. Temperatur tinggi dapat berpengaruh terhadap enzim, hal
ini disebabkan struktur molekul enzim yang kompleks akibat adanya ikatan hidrogen
yang lemah sebagai faktor penentu aktivitasnya. Pada temperatur tinggi, ikatan
hidrogen ini akan terurai sehingga tidak dapat berfungsi, meskipun kerusakan enzim
mulai terjadi pada temperatur 45C, tetapi temperatur di bawahnya sudah dapat
merusak enzim bila diberikan dalam waktu lama.

d. pH
Sebagai protein, struktur enzim dipengaruhi oleh pH lingkungannya. Pada pH tertentu,
gugus aktif yang terlibat dalam sisi katalisis enzim dapat bermuatan positif, negatif,
atau bermuatan ganda. Enzim bekerja secara maksimal pada pH tertentu yang disebut
pH optimum, yaitu pH di mana kecepatan katalisis enzim paling besar. Dengan
mengetahui pH optimum suatu enzim, dapat diperkirakan gugus aktif apa yang terlibat
dalam mekanisme katalisis, karena pada pH optimum tersebut, gugus fungsi yang
terdapat pada sisi katalitik enzim berada dalam keadaan aktif atau bermuatan, baik
positif maupun negatif. Harga pH optimum enzim tidak selalu harus sama dengan
keadaan pH sekitarnya yang mungkin lebih besar atau lebih rendah dari pH optimum.
Oleh karenanya, aktivitas katalitik enzim di dalam sel dapat dikontrol di antaranya
melalui pengaturan pH di sekitarnya. Perubahan pH dapat menyebabkan terjadinya
denaturasi. Peristiwa rusaknya enzim karena pengaruh zat kimia disebut flokulasi.
Enzim yang mengalami flokulasi akan kehilangan aktivitasnya.

e. Zat penghambat (inhibitor)


Kerja enzim dapat diganggu atau dihambat oleh suatu senyawa yang disebut inhibitor.
Interaksi enzim dengan senyawa yang bukan pasangannya akan mengubah struktur dan
aktivitasnya.

Ada dua macam inhibitor, yaitu inhibitor reversibel dan inhibitor tak reversibel.
1) Inhibitor reversibel adalah inhibitor yang mengikat enzim dengan ikatan lemah
sehingga dapat dilepaskan kembali dari enzim dengan suatu cara. Inhibitor
reversibel dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan, yaitu:
a) Inhibitor kompetitif (bersaing), yang bekerja dengan cara bersaing dengan
substrat dalam mengikat sisi aktif enzim. Inhibitor kompetitif menghambat
kerja enzim dengan cara membentuk kompleks enzim-inhibitor (E-I) sehingga
menyebabkan substrat tidak dapat berikatan dengan sisi aktif enzim.
b) Inhibitor non-kompetitif (tak bersaing), yang tidak mengikat enzim pada sisi
aktifnya, tetapi pada sisi lain dari enzim. Inhibitor tak kompetitif dapat
berikatan dengan enzim bebas membentuk kompleks enzim-inhibitor (E-I) atau
dengan enzim dalam keadaan terikat dengan substrat, membentuk kompleks
enzim-substrat-inhibitor (E-S-I). Terikatnya inhibitor pada enzim
menimbulkan perubahan konformasi struktrur enzim sehinga menyebabkan
substrat tidak dapat dikatalisis.
2) Inhibitor tak reversibel aadalah inhibitor yang mengikat secara kuat atau merusak
gugus fungsi pada sisi aktif enzim sehingga gugus fungsi tersebut tidak dapat
berperan dalam katalisis.
BAB II
PEMATANGAN BUAH

A. Dasar Teori
Apabila buah telah mencapai akhir pertumbuhan, buah akan mengalami perubahan kuantitatif
yang khas dan secara umum disebut pematangan. Pematangan merupakan suatu peristiwa
fisiologis kompleks yang terpisah-pisah, tetapi saling berkaitan sebagai akibat perubahan
biologis dan biokimiawi yang terjadi pada tingkat molekuler, subseluler, maupun seluler.
Perubahan tersebut memberikan kualitas dalam bentuk tekstur, warna, rasa, dan aroma.

Proses pematangan buah dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh. Zat pengatur tumbuh yang
sering digunakan untuk memacu pematangan buah adalah etilen. Pemacuan permatangan buah
terjadi karena etilen mendorong pemecahan amilum menjadi gula, memacu pelunakan buah,
dan pembentukan aroma. Buah yang mengandung sedikit tepung kurang menunjukkan respons
terhadap etilen.

1. Biosintesis Etilen
Etilen merupakan senyawa karbon sederhana yang tidak jenuh, berbentuk gas dalam
keadaan normal, dengan rumus kimia CH2 = CH2. Berat molekul etilen 28,05. Gas etilen
dibentuk dari hasil pembakaran yang tidak sempurna dari senyawa yang kaya akan ikatan
karbon, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Selain itu juga merupakan
komponen dari asap yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor dan industri yang
menggunakan bahan bakar gas.

Etilen diproduksi oleh seluruh bagain tumbuhan tingkat tinggi, seperti daun, batang, akar,
bunga, buah, tuber, dan seedling. Buah merupakan sumber utama etilen. Selain itu,
produksi etilen dapat dipacu oleh factor eksternal, seperti luka fisik, stres lingkungan,
adanya auksin, dan perlakuan zat pengatur tumbuh lain. Luka yang terdapat pada tubuh
tumbuhan dapat memacu produksi etilen, misalnya pada pemetikan buah atau infeksi buah
oleh jamur atau bakteri.

Pada tumbuhan tingkat tinggi, beberapa senyawa yang merupakan bahan baku biosintesis
etilen, antara lain metionin, linoleat, alanin, propanol, asam akrilik, asam thiomalik
gliserol, sukrosa, glukosa, dan asam asetat. Sebagai bahan dasar etilen adalah metionin,
dan diubah menjadi etilen dalam suatu sistem yang terdiri dari Cu2+ dan asam askorbat.
Kemudian atom C1 dari metionin akan diubah menjadi CO2, sedang atom C2 menjadi asam
format, dan atom C3-C4 menjadi etilen.

Biosintesis etilen berlangsung melalui jalur metionin S-adenosilmetionin (SAM)


1-aminosiklopropana-1-asam karboksilat (ACC) etilen. Kunci biosintesis etilen
adalah adanya enzim ACC sintase. Sintesis ACC bertambah dengan adanya auksin,
khususnya IAA dan sitokinin. Sementara itu, ACC sintase dihambat oleh adanya ABA.

2. Pengaruh Fisiologis Etilen


Etilen mempunyai peranan penting dalam beberapa proses fisiologis tumbuhan, antara lain
berikut ini.

a. Mendukung respirasi klimakterik dan pematangan buah


Diduga, dalam proses pematangan buah, etilen memengaruhi respirasi klimakterik
melalui 2 cara, yaitu sebagai berikut:
1) Etilen memengaruhi permeabilitas membran sehingga permeabilitas sel menjadi
besar. Hal tersebut mengakibatkan pelunakan buah dan bercampurnya metabolit
dengan enzim sehingga metabolisme respirasi dipercepat.
2) Selama klimaterik, kandungan protein meningkat dan diduga etilen lebih
merangsang sintesis protein pada saat tersebut. Protein yang dibentuk ini terlibat
dalam proses pematangan dan pada proses klimaterik terjadi peningkatan enzim
respirasi.

b. Mendukung epinasti
Epinasti adalah gerak membengkok ke arah bawah yang biasanya terjadi pada tangkai
daun sehingga posisi ujung daun membengkok ke arah tanah. Hal ini disebabkan oleh
perbedaan auksin yang diangkut ke bagian atas dan bawah tangkai daun sehingga
terjadi perbedaan pertumbuhan pada tangkai daun tersebut.

c. Menghambat perpanjangan batang dan akar


Penghambatan perpanjangan ini khususnya terjadi pada tumbuhan dikotil, akibatnya
batang dan akar menjadi tebal karena pengembangan sel ke arah samping lebih terpacu.
Hal ini disebabkan oleh orientasi mikrofibril selulosa yang baru diendapkan di dinding
lebih ke arah memanjang sehingga menghambat pengembangan yang sejajar dengan
mikrofibril, dan hanya memungkinkan pengembangan terjadi dalam arah tegak lurus
terhadap mikrofibril.

d. Memacu pembungaan
Secara tidak langsung, etilen mampu mendorong pembungaan pada tanaman nanas dan
buah matang pada saat yang bersamaan.

e. Mempercepat proses absisi


Kehadiran etilen akan mempercepat terjadinya proses absisi (gugur) pada daun, bunga,
dan buah karena etilen menghambat transportasi auksin.
3. Proses Pematangan Buah
Pada proses pematangan buah terjadi perubahan pada bagian tumbuhan yang tua namun
tidak dapat dimakan, meskipun merupakan bagian yang menarik dan terasa enak.
Pematangan merupakan selesainya perkembangan buah dan dimulainya fase penuaan
(senescence) buah. Pematangan merupakan kesatuan perubahan yang kompleks. Pada
umumnya, perubahan tersebut berdiri sendiri-sendiri, yang mengubah buah tua tetapi
belum matang menjadi buah yang masak dan senescence.

a. Tekstur
Buah yang belum matang pada umumnya keras, sehingga tidak enak untuk dikonsumsi.
Tekstur buah yang keras terutama disebabkan bahan penyusunnya yang terdiri dari
bahan pektat dan hemiselulosa. Sedangkan bahan penyusun lainnya, seperti pati dan
sel khusus, seperti serat, sel batu pada pir, dan kristal oksalat, ikut serta dalam
menentukan tekstur buah.

Pada buah yang belum tua (immature), bahan pektat, terutama dalam bentuk
protopektin tidak dapat larut dalam air. Selama proses pematangan, protopektin
mengalami hidrolisis sehingga terbentuk pektin yang sebagian terlarut dalam cairan
lamela tengah.

b. Warna
Perubahan warna buah dalam proses pematangan adalah akibat adanya berbagai reaksi
sintesis dan pembongkaran. Warna buah yang belum matang terutama terjadi karena
adanya klorofil pada kloroplas, namun selama proses pematangan, klorofil akan
mengalami pembongkaran oleh klorofilase. Akan tetapi, tidak semua buah yang
matang akan kehilangan klorofil, seperti pada avokad dan apel.

Bersamaan dengan pembongkaran klorofil, disintesis pula zat warna yang menentukan
warna pada buah yang matang. Zat warna yang disintesis adalah kromoplas dan
antosianin yang merupakan flavonoid yang dapat larut dalam air dan terdapat dalam
cairan sel.

c. Rasa dan aroma


Flavour buah merupakan perpaduan dari rasa dan aroma. Rasa akibat bahan yang tidak
menguap, sedangkan aroma akibat adanya bahan yang menguap. Bahan nonvolatil
yang menentukan rasa terutama karena gula dan asam organik. Walaupun tanin dapat
pula memberikan rasa sepat pada buah tertentu. Bahan-bahan yang memberikan aroma
berupa abahan yang mudah menguap (volatile) antara lain alkohol, keton, asam lakton,
ester, hidrokarbon, dan terpen.
4. Pengaruh Etilen terhadap Pematangan Buah
Tahap pertama buah mengalami pematangan adalah meningkatnya produksi etilen dalam
periode yang sangat cepat. Dengan adanya sinyal etilen, maka di dalam buah akan
diproduksi enzim-enzim yang dapat mengakibatkan pematangan buah, seperti amilase,
pektinase, dan klorofilase. Amilase akan meningkatkan hidrolisis pati menjadi sukrosa,
fruktosa, dan glukosa. Buah yang semula bertepung dan keras akan berubah menjadi lunak
dan berair. Pektinase mengkatalisis degradasi pektin, yakni senyawa perekat antarsel
penyusun buah. Dengan terjadinya degradasi pektin, sel-sel penyusun buah akan saling
terlepas sehingga buah menjadi lunak. Klorofilase memecah klorofil, atau adakalanya
terjadi sintesis pigmen baru, yang menjadikan kulit buah berubah warna dari hijau menjadi
merah, kuning, biru, dan sebagainya. Asam-asam organik juga dipecah sehingga rasa buah
berubah dari asam menjadi netral. Selain itu, ada pula enzim pemecah molekul organik
besar menjadi zat yang bersifat volatil atau mudah menguap, yang memberikan aroma
tertentu.

Proses pematangan buah tersebut dapat berlangsung lebih cepat apabila diberikan etilen
dari luar (eksogen). Namun, tidak semua buah menunjukkan respons percepatan
pematangan dengan pemberian etilen. Buah yang memberikan respons terhadap pemberian
etilen mengindikasikan adanya peningkatan laju respirasi pada saat mulai terjadi
pematangan. Peningkatan respirasi yang cepat ini dikenal dengan nama respirasi
klimakterik. Buah yang banyak mengandung amilum, seperti pisang, apel, avokad, dan
mangga akan terpacu respirasinya apabila diberi perlakuan etilen sehingga buah-buah
terebut dapat dipacu pematangannya menggunakan etilen eksogen. Pada buah pir, sinyal
etilen akan mengakibatkan buah berubah warna dari hijau menjadi kuning, lunak,
bertepung, manis, dan beraroma enak.

Beberapa perlakuan yang dapat digunakan untuk memacu pematangan buah.


a. Karbit
Sepotong karbit yng diletakkan dalam kotak tepat di tengah-tengah kumpulan buah
akan memacu pematangannya. Gas asetilena akan dilepaskan perlahan-lahan dari
karbit saat bereaksi dengan air. Apabila dua hari kemudian kotak dibuka, buah akan
matang dengan sendirinya.

b. Etril/etefon
Larutan etril dengan konsentrasi 500-5.000 ppm dapat digunakan untuk memacu
pematangan buah dengan cara merendam buah selama lima menit, kemudian
membiarkannya kering dan membungkusnya.
c. Daun Gliricidia sepium (Gamal)
Buah, misalnya pisang, direndam dengan ekstrak daun gamal selama lebih kurang 3
menit, kemudian dikeringkan dan diperam. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun
gamal yang digunakan, maka pematangan buah menjadi lebih cepat.
BAB III

TRANSPIRASI PADA TUMBUHAN

A. Dasar Teori
Tumbuhan dalam proses pertumbuhannya akan menyerap air dan unsur hara. Air diperlukan
dalam jumlah besar karena air merupakan bagian terbesar dalam tubuh tumbuhan yang sedang
aktif melakukan metabolisme. Air yang diserap tumbuhan sebagian kecil digunakan untuk
proses metabolisme dan dipertahankan di dalam sel, untuk membentuk turgor sel, namun
sebgain besar akan dilepaskan kembali ke atmosfer dalam bentuk uap air. Hilangnya air dalam
bentuk uap air melalui stomata, kutikula, atau lentisel disebut transpirasi. Transpirasi
berkaitan dengan pembukaan stoma, letak stoma, ukuran stoma, dan kerapatan stoma per
satuan luas daun.

1. Peranan Transpirasi bagi Tumbuhan


Transpirasi adalah proses hilangnya uap air dari permukaan tubuh tumbuhan akibat adanya
penguapan (evaporasi). Selama proses kehidupannya, tumbuhan akan mengeluarkan
sebagian besar air dari dalam tubuhnya berbentuk uap air ke atmosfer. Banyaknya air yang
ditranspirasikan oleh tumbuhan berbeda antarspesies yang satu dengan spesies lainnya.
Transpirasi ada dua tipe, yaitu (1) transpirasi kutikula adalah evaporasi air yang terjadi
secara langsung melalui kutikula epidermis; dan (2) transpirasi stomata, yang dalam hal
ini kehilangan air berlangsung melalui stomata (Loveless, 1991). Dibanding dengan
stomata, transpirasi kutikula dapat diabaikan. Berbeda dengan evaporasi, uap air pada
transpirasi tidak meninggalkan permukaan bebas, tetapi harus melewati epidermis atau
stomata. Transpirasi ditentukan oleh faktor yang memengaruhi evaporasi air dan faktor
yang memengaruhi pembukaan stomata.

Transpirasi bermanfaat bagi tumbuhan karena berperan dalam hal seperti berikut.
a. Menyebabkan terbentuknya daya isap daun sehingga terjadi transpor air di batang.
b. Membantu penyerapan air dan zat hara oleh akar.
c. Mengurangi air yang terserap berlebihan.
d. Dapat mempertahankan temeperatur yang sesuai untuk daun.
e. Berperan pada fotosintesis dan respirasi karena membuka/menutupnya stomata.
f. Mengatur turgor optimum di dalam sel.
(Anggorowati & Hadiyati, 2015)

Akan tetapi, transpirasi dapat juga membahayakan kehidupan tumbuhan. Hal ini terjadi
apabila uap air yang ditranspirasi melampaui jumlah air yang diserap oleh akar. Akibatnya,
tumbuhan akan kekurangan air. Kekurangan air yang berlebihan dapat mengakibatkan
kelayuan yang berakhir dengan kematian.
2. Mekanisme Transpirasi Melalui Daun
Transpirasi dimulai dengan penguapan air oleh sel-sel mesofil ke rongga antarsel yang ada
dalam daun. Dalam hal ini, rongga antarsel jaringan bunga karang merupakan rongga yang
besar sehingga dapat menampung uap air dalam jumlah banyak. Penguapan air ke rongga
antarsel akan terus berlangsung selama rongga antarsel belum jenuh dengan uap air. Sel-
sel yang menguapkan airnya ke rongga antarsel, tentu akan mengalami kekurangan air
sehingga potensial airnya menurun. Kekurangan ini akan diisi oleh air yang berasal dari
xilem tulang daun, yang selanjutnya tulang daun akan menerima air dari batang, dan batang
menerima dari akar, dan seterusnya. Uap air yang dalam rongga antarsel akan tetap berada
dalam rongga antarsel tersebut, selama stomata dalam epidermis daun tidak membuka.
Kalaupun ada uap air yang keluar menembus epidermis dan kutikula, jumlahnya hanya
sedikit dan dapat diabaikan. Agar transpirasi dapat berjalan, maka stomata pada epidermis
tadi harus terbuka. Apabila stomata membuka, maka aka nada penghubung antara rongga
antarsel dengan atmosfer. Kalau tekanan uap air di atmosfer lebih rendah dari rongga
antarsel, uap air dari rongga antarsel akan keluar ke atmosfer dan prosesnya disebut
transpirasi. Jadi, syarat utama untuk berlangsungnya transpirasi adalah adanya penguapan
air di dalam daun dan terbukanya stomata.

3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Transpirasi


Proses hilangnya air ke atmosfer ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan dan faktor dalam
tanaman.
a. Faktor-faktor lingkungan
1) Radiasi Matahari
Dari radiasi matahari yang diserap oleh daun, 1-5% digunakan untuk fotosintesis
dan 75-85% digunakan untuk memanaskan daun dan untuk transpiresi (Gardner,
2008). Radiasi cahaya juga mempengaruhi membukanya stomata sehingga dengan
terbukanya stomata pada siang hari, transpirasi akan berjalan dengan lancer.

2) Kelembaban Relatif
Kelembaban menunjukkan banyak sedikitnya uap air di udara. Semakin banyak uap
air di udara, maka akan semakin kecil perbedaan tekanan uap air dalam rongga daun
dengan di udara, sehingga laju transpirasi semakin lambat. Sehaliknya, apabila
tekanan uap air di udara semakin rendah (kelembaban relatif semakin kecil), maka
akan semakin besar perbedaan uap air di rongga daun dengan di udara sehingga
transpirasi akan berjalan lebih cepat.
3) Temperatur
Peningkatan temperatur akan mempengaruhi kelembaban relatifnya. Meningkatnya
temperatur pada siang hari menyebabkan kelembaban relatif udara menjadi
semakin rendah sehingga menyebabkan laju transpirasi meningkat.

4) Angin
Angin yang berhembus sambil membawa massa uap air yang berada di sekitar
tumbuhan dapat menurunkan tekanan uap air di sekitar daun (kelembaban relatif
kecil) sehingga laju transpirasi meningkat. Apabila angin bertiup terlalu kencang,
dapat mengakibatkan keluarnya uap air melebihi kemampuan daun untuk
menggantinya dengan air yang berasal dari tanah sehingga lama-kelamaan daun
akan mengalami kekurangan air, turgor sel akan menurun termasuk turgor sel
penutup dan akhirnya stomata akan menutup.

5) Keadaan Air Tanah


Laju transpirasi sangat tergantung pada ketersediaan air di dalam tanah karena
setiap air yang hilang dalam proses transpirasi harus dapat segera diganti kembali
dengan air yang berasal dari dalam tanah. Berkurangnya air di dalam tanah akan
menyebabkan berkurangnya aliran air ke daun sehingga laju transpirasi terhambat.

b. Faktor dalam Tanaman


Menurut Gardner (2008), faktor-faktor tanaman yang mempengaruhi transpirasi
adalah:
1) Penutupan Stomata
Sebagian besar transpirasi terjadi melalui stomata karena kutikula secara relatif
tidak tembus air dan hanya sedikit transpirasi yang terjadi apabila stomata tertutup.
Dengan terbukanya stomata lebih besar, lebih banyak pula kehilangan air, tetapi
peningkatan kehilangan air ini lebih sedikit untuk masing-masing satuan
penambahan lebar stomata. Banyak faktor yang mempengaruhi pembukaan dan
penutupan stomata; yang paling utama dalam kondisi lapangan ialah tingkat cahaya
dan kelembaban. Pada sebagian besar tanaman budidaya, cahaya menyebabkan
stomata terbuka. Pada tingkat kelembaban di dalam daun yang rendah, sel-sel
penutup kehilangan turgornya, mengakibatkan penutupan stomata.

2) Jumlah dan Ukuran Stomata


Kebanyakan daun tanaman budidaya yang produktif mempunyai banyak stomata
pada kedua sisi daunnya. Jumlah dan ukuran stomata yang dipengaruhi oleh genotip
dan lingkungan, mempunyai pengaruh yang lebih sedikit terhadap transpirasi total
daripada pembukaan dan penutupan stomata.
3) Jumlah Daun
Makin luas daerah permukaan daun, makin besar transpirasi. Terdapat beberapa
petunjuk bahwa transpirasi tidak akan meningkat dengan peningkatan indeks luas
daun di atas yang dibutuhkan untuk menyerap 80% radiasi matahari (Stern, 1965).

4) Penggulungan dan Pelipatan Daun


Banyak tanaman mempunyai mekanisme dalam daun yang menguntungkan
pengurangan transpirasi apabila persediaan air terbatas. Beberapa spesies rumput-
rumputan, seperti jagung, mengurangi daerah daun yang terbuka dengan cara
penggulungan daun, sedangkan banyak yang lain, seperti rumput biru, mengurangi
daerah daun yang terbuka dengan cara pelipatan daun. Tumbuhan berdaun lebar
mempunyai mekanisme yang lain untuk mengurangi kehilangan air misalnya
kedelai mempunyai kecenderungan untuk menggulung daunnya ke atas sehingga
bulu-bulu keperakan (rambut) di atas permukaan bawah daun yang terbuka dapat
merefleksikan lebih banyak cahaya.

5) Kedalaman dan Proliferasi Akar


Ketersediaan dan pengambilan kelembaban tanah oleh tanaan budidaya sangat
tergantung pada kedalaan dan proliferasi akar perakaran yang lebih dalam
meningkatkan ketersediaan air, dan proliferasi akar meningkatkan pengambilan air
dari suatu satuan volume tanah sebelum terjadi pelayuan permanen.

4. Pengukuran Laju Transpirasi


Menurut Loveless (1991), kesulitan utama dari pengukuran laju transpirasi adalah karena
semua cara pengukuran transpirasi mengharuskan penempatan suatu tumbuhan dalam
berbagai kondisi yang mempengaruhi laju transpirasi. Ada empat cara laboratorium untuk
menaksir laju transpirasi, yaitu:

a. Kertas Kobalt Klorida


Pada dasarnya cara ini adalah pengukuran uap air yang hilang ke udara diganti dengan
pengukuran uap air yang hilang ke dalam kertas kobalt klorida kering. Kertas ini
berwarna biru cerah bila kering tetapi berwarna biru pucat dan kemudian berubah
menjadi merah jambu bila menyerap air. Sehelai kecil kertas biru cerah ditempelkan
pada permukaan daun dan ditutup dengan sebuah gelas preparat. Pada bagian bawah
daun pada posisi yang sama ditempelkan lagi sebuah gelas preparat lain dan kemudian
kedua gelas preparat tersebut dijepit. Waktu yang diperlukan untuk mengubah warna
biru cerah menjadi biru muda yang telah dibakukan merupakan ukuran laju kehilangan
air dari bagian daun yang ditutup kertas. Kelemahan yang serius dari teknik ini adalah
bahwa stomata yang berada di bawah kertas mulai menutup dalam waktu beberapa
menit segera setelah terlindung kertas. Sekiranya percobaan dapat diselesaikan
sebelum stomata mulai menutup, masih terdapat kelemahan lain yaitu bahwa
permukaan daun di bawah kertas bertranspirasi ke udara yang kering sekali, suatu
kondisi yang jarang dijumpai di alam. Oleh karena itu, penggunaan kertas kobalt klrida
untuk menaksir laju transpirasi sebenarnya dari daun tidak memberikan hasil yang baik
(Loveless, 1991).

b. Potometer/Transpirometer
Alat ini mengukur pengambilan air oleh potongan pucuk dengan asumsi bahwa bila air
tersedia dengan bebas untuk tumbuhan, jumlah air yang diambil sama dengan jumlah
air yang dikeluarkan oleh transpirasi. Sayangnya perilaku sepotong pucuk mungkin
sekali sangat berbeda dengan perilaku tumbuhan secara utuh, sehingga pengukuran
dengan cara ini mungkin tidak mencerminkan transpirasi dalam kondisi alami. Namun,
potometer bermanfaat untuk memperagakan pengaruh kondisi luar terhadap transpirasi
(Loveless, 1991).

Ada beberapa jenis potometer, yaitu:


1) Potometer Ganong
Ini adalah salah satu potometer yang paling cocok digunakan untuk demonstrasi
atau penentuan tingkat transpirasi. Alat ini terdiri dari tabung horizontal sempit
yang menyangga dua tabung vertikal yang terpasang, salah satunya dilengkapi
dengan gabus karet sebagai tempat ranting berdaun sementara yang lainnya
bertindak sebagai reservoir air yang dilengkapi dengan keran kunci di saluran
penghubung. tabung untuk mengendalikan suplai air. Di ujung lain saluran
mendatar ini melengkung dan di sisi lainnya terdapat saluran vertikal yang terbuka.

2) Potometer Farmer
Peralatan ini terdiri dari botol bermulut lebar yang dilengkapi dengan sumbat karet
yang memiliki tiga lubang. Botol diisi air sampai ke leher botol. Di satu lubang
ditempatkan ranting berdaun sementara di lubang lain terdapat reservoir air yang
dilengkapi keran kunci. Lubang ketiga dilengkapi dengan tabung melengkung
sempit yang memiliki tabung horizontal dengan skala sentimeter.

3) Potometer Darwin
Peralatan ini terdiri dari tabung kaca pendek di mana bagian samping tabung
menekuk ke atas yang bagian ujungnya terbuka sebagai tempat menyisipkan
ranting tanaman melalui lubang di gabus karet. Mulut terbuka di atas tabung utama
juga ditutup dengan gabus. Ujung bawah tabung juga dilengkapi dengan gabus
yang melewati tabung kapiler panjang dengan skala pengukuran, dilengkapi dengan
bantuan tabung karet. Ujung tabung kapiler dimasukkan ke dalam gelas kimia berisi
air.

4) Potometer Garreau
Terdiri dari dua stoples bel kecil yang ditempatkan di atas yang lain. Di antara
kedua stoples bel tersebut diletakkan daun yang masih menempel pada tanaman di
pot. Pada ujung sempit dari dua stoples bel tersebut, sejumlah CaCl2 anhidrat
ditempatkan dalam dua tabung yang sangat kecil. Pada dua ujung stoples bel,
dilekatkan dua manometer minyak yang memastikan pengaturan tekanan uap
konstan di dalam stoples bel.

c. Pengumpulan Uap Air yang Ditranspirasi


Cara ini mengharuskan tumbuhan atau bagian tumbuhan harus dikurung dalam sebuah
bejana tembus cahaya sehingga uap air yang ditranspirasi dapat dipisahkan. Bila
digunakan tumbuhan dalam pot hendaknya diusahakan agar tidak evaporasi dari pot
dan tanah. Aliran udara disedot secara sinambung melalui bejana tersebut dan
kemudian dilewatkan ke dalam tabung-tabung U yang sebelumnya sudah ditimbang
dan berisi penyerap air (misalnya fosfor pentaoksida atau kalsium klorida). Setelah
beberapa waktu tabung-tabung U ditimbang kembali. Dibuat pula sebuah eksperimen
kontrol tanpa tumbuhan dan ke dalam alat-alat itu, dialirkan udara dengan volume sama
untuk menentukan kandungan air dalam aliran udara. Dari perubahan berat dua
perangkat tabung-tabung U tersebut, banyaknya uap air yang dilepas oleh tumbuhan
selama eksperimen dapat ditentukan. Kelemahan cara ini ialah bahwa laju transpirasi
dipengaruhi oleh faktor angin (Loveless, 1981).

d. Penimbangan Langung
Pengukuran tranpirasi yang paling memuaskan diperoleh dari tumbuhan yang tumbuh
dalam pot yang telah diatur sedemikian rupa sehingga evaporasi dari pot dan
permukaan tanah dapat dicegah. Kehilangan air dari tumbuhan ini dapat ditaksir untuk
jangka waktu tertentu dengan penimbangan langsung. Cara ini ialah mencegah
pengeringan tanah terlalu banyak selama eksperimen yang panjang, dan laju transpirasi
dapat dihitung dengan menentukan berapa banyak air yang harus ditambahkan ke
dalam pot sampai berat semula dicapai. Oleh karena selama eksperimen tumbuhan juga
tumbuh, perubahan beratnya tidak hanya menunjukkan kehilangan berat karena
transpirasi tetapi juga penambahan berat karena transpirasi biasanya beberapa ratus kali
lebih besar daripada penambahan berat yang disebabkan oleh fotosintesis. Oleh karena
itu, kesalahan yang terkandung dalam metode tersebut, kecil saja dan dapat diabaikan
(Loveless, 1991).
Laju transpirasi yang ditentukan dari salah satu di antara cara di atas dinyatakan sebagai
jumlah air yang hilang per satuan tumbuhan per satuan waktu, tetapi satuan sebenarnya
yang dipilih bergantung kepada maksud pengukuran. Jadi, satuan tumbuhan dapat berupa
luas daun, permukaan daun (yaitu luas daun dikalikan dua karena pada sehelai daun
terdapat dua permukaan), satuan tumbuhan, ataupun satuan tegalan atau hutan. Demikian
pula dengan satuan waktu dapat satu jam, satu hari, satu bulan bahkan satu tahun (Loveless,
1991).
BAB IV

TROPISME

A. Dasar Teori
Organ tumbuhan, selama pertumbuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor luar yang dapat
menentukan arah pertumbuhan. Rangsangan fisik yang berasal dari lingkungan dapat
memengaruhi organ tertentu untuk tumbuh menuju atau menjauhi arah datangnya rangsangan
tersebut. Respons pertumbuhan yang menyebabkan pembengkokan organ tumbuhan yang utuh
menuju atau menjauhi stimulan disebut tropisme. Mekanisme tropisme merupakan suatu
perbedaan laju pemanjangan sel pada sisi yang berlawanan pada suatu organ (Campbell, 2003).
Fungsi tropisme membantu tumbuhan untuk dapat beradaptasi dengan lingkungannya.
Stimulus yang menginduksi tropisme dan perubahan bentuk tubuh yang mengikutinya adalah
cahaya (fototropisme) dan gravitasi (gravitropisme atau geotropisme).

1. Fototropisme
Fototropisme merupakan adaptasi tumbuhan untuk mengarahkan tajuknya ke arah sinar
matahari. Gejala fototropisme dapat diamati pada batang dan daun tumbuhan yang tumbuh
menuju ke arah sinar matahari. Tumbuhan berdaun lebar yang tumbuh di bawah tegakan
pohon yang rindang akan selalu berusaha untuk mengarahkan daun-daunnya ke arah
datangnya sinar matahari. Penerimaan sinar matahari dalam hal ini menjadi sangat penting
bagi berlangsungnya proses fotosintesis.

Hipotesis klasik tentang apa yang menyebabkan koleoptil tumbuh menuju arah datangnya
cahaya mempertahankan pendapat bahwa sel-sel pada sisi batang yang lebih gelap
memanjang lebih cepat dibandingkan dengan sel-sel pada sisi yang lebih terang karena
adanya penyebaran auksin yang tidak simetris yang mengalir turun dari ujung tunas
(Campbell, 2003). Namun demikian, kajian-kajian fotoropisme pada organ selain koleoptil
rumput (Avena) hanya memberikan sedikit dukungan bagi hipotesis klasik. Sebagai contoh,
tidak ada bukti bahwa cahaya unilateral menyebabkan penyebaran auksin yang tidak
simetris pada batang bunga matahari, lobak, dan tumbuhan dikotil lainnya. Namun
demikian, terdapat penyebaran bahan tertentu yang tidak simetris yang bisa bertindak
sebagai penghambat pertumbuhan, bahan-bahan ini lebih terkonsentrasi pada sisi batang
yang diterangi cahaya.

Baik jika fototropisme disebabkan oleh auksin yang merangsang pemanjangan sel pada sisi
batang yang lebih gelap ataupun pembawa pesan kimiawi lain yang menghambat
pemanjangan pada sisi yang lebih terang, sebagian besar peneliti setuju bahwa ujung tunas
adalah tempat fotoresepsi yang memicu respons pertumbuhan. Fotoreseptor tersebut adalah
molekul pigmen yang disebut kriptokrom yang sangat sensitif terhadap cahaya biru.
Pigmen yang tertimpa mingking pigmen kuning sebab warna inilah yang menyerap sinar
biru. Dua zat berwana kuning dalam koleoptil, yaitu -karoten dan ribovlafin, diduga
sebagai pigmen yang resesif terhadap cahaya, tetapi tidak ada spektrum absorpsi dan
keduanya yang cocok dengan spektrum aksi fototropisme itu (Loveless, 1991).

Spektrum -karoten tidak memiliki ouncak pada kisaran sinar ultra ungu, sedangkan
spektrum ribovlafin cocok dengan puncak ultra ungu tetapi tidak cocok dengan dua puncak
pada kisaran sinar biru. Karena -karoten maupun riboflavin tidak memenuhi persyaratan
yang diperlukan, maka harus disimpulkan bahwa identitas pigmen yang fotoreseptif pada
fototropisme belum ditemukan. Walaupun mekanisme pengangkutan IAA pada ujung
koleoptil belum diketahui, tidak dapat disangsikan bahwa karena translokasi IAA ke bawah
hamper selalu membujur, sel-sel di bawah ujung pada sisi ternaungi menerima lebih
banyak IAA sehingga lebih memanjang daripada sisi tersinari. Akibatnya koleoptil itu
melengkung ke arah sumber cahaya (Loveless, 1991).

2. Geotropisme
Geotropisme merupakan gerak pertumbuhan ke arah tarikan gravitasi bumi. Dalam
responsnya terhadap gravitasi, akar memperlihatkan geotropime positif dan tunas
memperlihatkan geotropisme negatif. Geotropisme berfungsi setelah sebuah biji
berkecambah, yang memastikan bahwa akar tumbuh ke dalam tanah dan tunas menghadap
cahaya matahari terlepas dari bagaimana biji itu diorientasikan ketika biji diletakkan di
tanah. Jika suatu semai yang tumbuh dalam cahaya baur (di mana cahaya tidak akan
menimbulkan fototropi) diletakkan pada posisi horizontal, akar utama akan membengkok
sampai tegak lurus ke bawah dan batang utama membengkok sampai tegak lurus ke atas.
Beberapa organ mengubah reaksi terhadap gaya gravitasinya ketika sedang tumbuh.
Misalnya, tangkai bunga kacang tanah (Arachis hypogaea) menjadi geotropi positif setelah
terjadi penyerbuan pada bakal biji dan aktif tumbuh ke bawah, bukan hanya melengkung
karena beratnya sendiri, sehingga mengubur buah yang sedang berkembang dalam tanah
(Loveless, 1991).

Awal inisiasi geotropisme diterima oleh sel kolumela yang terletak di tudung akar. Di
bagian dasar sel kolumela terdapat amiloplas dan nukleus yang sensitif terhadap adanya
rangsangan gravitasi. Akibatnya, sel mengalami elongasi asimetrik. Tekanan yang terjadi
pada retikulum endoplasma akan mengakibatkan lepasnya kalsium pada bagian bawah sel
kolumela. Hal ini mengaktifkan dinding sel untuk memompa kalsium pada satu sisi.
Pergerakan kalsium ke sisi bawah tudung akar dan pacuan auksin akan menghasilkan
perbedaan gradien yang asimetrik. Dengan kata lain, pergerakan IAA ke bagian basipetal
yang bersifat asimetrik akan mengakibatkan efflux kalsium dari simplas pada sel kolumela
(Dwiati, 2010).
Efek pergerakan polar auksin ada kaitannya dengan terjadinya gradien kalsium dan
pembengkokan dalam daerah elongasi di bagian belakang ujung akar. Baik kalsium
maupun auksin mempunyai kontribusi terhadap terjadinya distribusi asimetris dalam
proses geotropisme. Kalsium menginduksi pergerakan auksin pada arus basipetal dalam
jaringan seperti epidermis. Pergerakan horizontal IAA pada batang akan terkonsentrasi
pada sisi bawah. Sementara itu, kalsium terkumpul pada sisi atas (Dwiati, 2010).

Menurut Loveless (1991) kebanyakan teori geotropisme mengemukakan pemindahan


butir-butir pati yang terlihat karena pengaruh gravitasi, yang disebut statolit dan terdapat
dalam sel-sel organ yang peka terhadap gravitasi. Diperkirakan bahwa jika orientasi organ
yang peka terhadap gravitasi ini diubah, statolit mengubah posisi di dalam sel dan mungkin
dengan jalan menekan pada bagian lain protoplasma, statolit itu menyebabkan perubahan
penyebaran zat pengatur tumbuhan yang bersangkutan. Namun karena terdapat bukti-bukti
percobaan yang bertentangan mengenai pengaruh statolit terhadap geotropi, diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk menentukan bagaimana rangsangan gravitasi diterima oleh
tumbuhan.
DAFTAR PUSTAKA

Andriani & Soeripto. 1998. Uji In Vitro Putih Telur Terhadap Bakteri Gram Positif dan Gram
Negatif. Dalam Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian
dan Pengembangan Peternakan. Bogor. pp 964-969.

Anggorowati, S. & T. Hardiyati. 2015. Materi Pokok Fisiologi Tumbuhan (Ed. 2). Tangerang
Selatan: Penerbit Universitas Terbuka.

Battrachya, S. 2016. Process Transpiration in Plant Cell: 17 Experiments (online).


http://www.biologydiscussion.com/transpiration/experiments-transpiration/process-of-
transpiration-in-plant-cell-17-experiments/21890. Diakses pada 13/10/2017.

Campbell, N.A., dkk. 2003. Biologi Jilid 2 (Ed. 5). Wasmen Manalu (penerjemah). Jakarta:
Erlangga.

Djaelani, M.A. 2016. Ukuran Rongga Udara, pH Telur dan Diameter Putih Telur, Ayam Ras
(Gallus L.) Setelah Pencelupan dalam Larutan Rumput Laut dan Disimpan Beberapa
Waktu. Buletin Anatomi dan Fisiologi. 10(1): 19-23.

Dwiati, M. 2010. Materi Pokok Praktikum Fisiologi Tumbuhan (Ed. 2). Tangerang Selatan:
Penerbit Universitas Terbuka.

Gardner, F.P. dkk. 2008. Fisiologi Tanaman Budidaya. Herawati Susilo (penerjemah). Jakarta:
Universitas Indonesia Press.

JMPR. 2015. Pesticide Residues in Food. Report 5.10. Ethepon. Joint FAO/WHO Meeting on
Pesticide Residues. FAO Plant Production and Protection Paper 223. Food and
Agriculture Organization. Roma. pp 131.

Lehninger, A.L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Maggy Thenawidjaja (penerjemah). Jakarta:
Erlangga.

Loveless, A.R. 1991. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik 1. K32zuswata
Kartawinata, dkk. (penerjemah). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Mariama, P. 2002. Peranan Lisozim terhadap Bakteri Rongga Mulut. Skripsi. Tidak diterbitkan.
Medan: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Rahman, F. & R.S. Asra. 2014. Pengaruh Ekstrak Daun Gamal (Gliricidia sepium) dalam Air
Rendaman untuk Proses Pencelupan Buah Pisang Kepok (Musa balbisiana) Terhadap Sifat
Kimia dan Sensoris Buah Setelah Pemeraman. Jurnal Teknologi Pertanian Universitas
Mulawarman. 9(2): 75-81.
Ridhyanty, S.P. dkk. 2015. Pengaruh Pemberian Ethepon Sebagai Bahan Perangsang Pematangan
Terhadap Mutu Buah Pisang Barangan (Musa paradisiaca L.). J. Rekayasa Pangan dan
Pert. 3(1): 1-13.

Setiadi, R. dkk. 2014. Materi Pokok Biokimia. Tangerang Selatan: Penerbit Universitas Terbuka.

Sungkar, Q. dkk. 2017. Anatomi Daun Rambutan (Nephelium lappaceum L.) dan Kerabatnya.
Floribunda. 5(6): 192-199.

Susanto, E. 2012. Kajian Ekstraksi Lisozim Putih Telur dengan Menggunakan Mika. Jurnal
Ternak. 3(2): 19-23.

Anda mungkin juga menyukai