Anda di halaman 1dari 7

ergi.

2.2 JENIS-JENIS FORTIFIKASI

Industri pangan/makanan memegang peranan kunci dalam setiap program fortifikasi di setiap negara
Kekurangan zat gizimikro adalah problem kesehatan masyarakat. Beberapa aspek program fortifikasi
pangan, bagaimanapun, seperti penentuan prevalensi kekurangan, pemilihan intervensi yang tepat,
penghitungan taraf asupan makanan (zat gizi), konsumsi pangan pembawa sehari-hari dan fortifikan
yang akan ditambahkan, dan juga teknologinya (pengembangan teknologi), harus dievaluasi oleh otoritas
ilmu pengetahuan di bidang kesehatan masyarakat dan pertanian, dan yang lainnya.

Fortifikasi Yodium

Defisiensi Yodium dihasilkan dari kondisi geologis yang irreversiber itu sebabnya, penganekaragaman
makanan dengan menggunakan pangan yang tumbuh di daerah dengan tipe tanah dengan
menggunakan pangan yang sama tidak dapat meningkatkan asupan Yodium oleh individu ataupun
komunitas. Diantara strategi-strategi untuk penghampusan GAKI, pendekatan jangka panjang adalah
fortifikasi pangan dengan Yodium. Sampai tahun 60an, beberapa cara suplementasi yodium dalam dies
yang telah diusulkan berbagai jenis pangan pembawa seperti garam, roti, susu, gula, dan air tela dicoba
Iodisasi garam menjadi metode yang paling umum yang diterima di kebanyakan negara di dunia sebab
garam digunakan secara luas dan serangan oleh seluruh lapisan masyarakat. Prosesnya adalah
sederhana dan tidak mahal. Fortifikasi yang biasa digunakan adalah Kalium Yodida (KI) dan Kalium Iodat
(KID3). Iodat lebih stabil dalam impure salt pada penyerapan dan kondisi lingkungan (kelembaban)
yang buruk penambahan tidak menambah warna, penambahan dan rasa garam. Negara-negara yang
dengan program iodisasi garam yang efektif memperlihatkan pengurangan yang berkesinambungan akan
prevalensi GAKI. (Siagian, 2003)

Contoh : Beras Fortifikasi Iodium

Kebutuhan iodium untuk setiap kelompok umur berbeda-beda. Kebutuhan iodium untuk anakanak adalah
40-120 g/hari, orang dewasa 150 g/hari, sedangkan untuk ibu hamil dan menyusui ditambah masing-
masing 25 g/hari dan 150 g/hari. Pembuatan beras beriodium sangat sederhana karena tidak perlu
menggunakan peralatan khusus. Dengan penambahan alat pengkabut fortifikan iodium pada komponen
alat penyosoh akan diperoleh hasil beras giling yang mengandung iodium. Fortifikan yang digunakan
adalah iodat 1 ppm. Larutan fortifikan dikabutkan dengan bantuan tekanan udara 40 psi yang berasal dari
kompresor, sehingga terjadi kabut fortifikan iodium. Debet fortifikan yang digunakan 4-5 l/jam tergantung
pada kekeringan beras yang di fortifikasi(DEPTAN,2008) .

Fortifikasi Besi

Dibandingkan dengan strategi lain yang digunakan untuk perbaikan anemi gizi besi, fortifikasi zat gizi besi
dipandang oleh beberapa peneliti merupakan strategi termurah untuk memulai, mempertahankan,
mencapai/mencakup jumlah populasi yang terbesar, dan menjamin pendekatanjangka panjang (Cook
and Reuser, 1983). Fortifikasi Zat besi tidak menyebabkan efek samping pada saluran pencernaan. Inilah
keuntungan pokok dalam hal keterterimaannya oleh konsumen dan pemasaran produk-produk yang
diperkaya dengan besi. Penetapan target penerima fortifikasi zat besi, yaitu mereka yang rentan defisie
zat besi, merupakan strategi yang aman dan efektif untuk mengatasi masalah anemi besi (Ballot, 1989).
Pilihan pendekatan ditentukan oleh prevalensi dan beratnya kekurangan zat besi (INAAG, 1977).
Tahapan kritis dalam perencanaan program fortifikasi besi adalah pemilihan senyawa besi yang dapat
diterima dan dapat diserap (Cook and Reuser, 1983). Harus diperhatikan bahwa wanita hamil
membutuhkan zat besi sangat besar selama akhir trimester kedua kehamilan. Terdapat beberapa
iortifikan yang umum digunakan untuk fortifikasi besi seperti besi sulfat besi glukonat, besi laktat, besi
ammonium sulfat, dan lain-lain. (Siagian, 2003)

Fortifikasi zat besi pada mie kering yang dibuat dari campuran tepung terigu dan tepung singkong

Fortifikasi Vitamin A

Fortifikasi pangan dengan vitamin A memegang peranan penting untuk mengatasi problem kekurangan
vitamin A dengan menjembatani jurang antara asupan vitamin A dengan kebutuhannya. Fortifikasi
dengan vitamin A adalah strategi jangka panjang untuk mempertahankan kecukupan vitamin A.
Kebanyakan vitamin yang diproduksi secara komersial (secara kimia) identik dengan vitamin yang
terdapat secara alami dalam bahan makanan. Vitamin yang larut dalam lemak (seperti vitamin A)
biasanya tersedia dalam bentuk larutan minyak (oil solution), emulsi atau kering, keadaan yang stabil
yang dapat disatukan/digabungkan dengan campuran multivitamin-mineral atau secara langsung
ditambahkan ke pangan. Bentuk komersial yang paling penting dari vitamin A adalah vitamin A asetat
dan vitamin A palmitat. Vitamin A dalam bentuk retionol atau karoten (sebagai beta-karoten dan beta-
apo-8 karotenal) dapat dibuat secara komersial untuk ditambahkan ke pangan. Pangan pembawa seperti
gula, lemak, dan minyak, garam, the, sereal, dan monosodium glutamat (MSG) telah (dapat)
difortifikasi oleh vitamin A. (Siagian, 2003)

2.3 FORTIFIKASI DALAM PRODUK PENGOLAHAN HASIL TERNAK

Diversifikasi produk pangan asal ternak seperti susu dan telur telah banyak dikembangkan.

Berbagai fortifikasi pangan pendukung kesehatan tubuh telah banyak dilakukan untuk memenuhi
standar kesehatan, misalnya dengan penambahan probiotik dan prebiotik, penambahan serat, dan
penambahan vitamin tertentu. Fortifikasi pangan juga banyak dilakukan untuk memenuhi selera
konsumen seperti rasa asin, manis, dan gurih, rasa buah-
buahan, dan coklat dengan menambah atau mengkombinasikan dengan bahan lain, serta masih
banyak lagi hasil fortifikasi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pangan. (Indratiningsih et al,
2011)

BAB III
PEMBAHASAN

Fortifikasi Pangan
Fortifikasi pangan adalah penambahan satan atan lebih zat gizi (nutrien) ke pangan. Tujuan utama
adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status
gizi populasi. harus diperhatikan bahwa peran pokok dari fortifikasi pangan adalah pencegahan
detisiensi: dengan demikian menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan
manusia dan kerugian sosio ekonomis. Namun demikian, fortitkasi pangan juga digunakan untuk
menghapus dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya.Langkah-langkah
pengembangan program fortifikasi pangan, antara lain adalah (Siagian.2003):
1. Menentukan prevalensi defisiensi mikronutrien

2. Segmen populasi (menentukan segmen)

3. Tentukan asupan mikronutrien dari survey makanan

4. Dapatkan data konsumsi untuk pengan pembawa (vehicle) yang potensial

5. Tentukan availabilitas mikronutrien dari jenis pangan

6. Mencari dukungan pemerintah (pembuat kebijakan dan peraturan)

7. Mencari dukungan industri pangan

8. Mengukur (Asses) status pangan pembawa potensial dan cabang industri

pengolahan(termasuk suplai bahan baku dan penjualan produk)

9. Memilih jenis dan jumlah fortifikasi dan campurannya

10. Kembangkan teknologi fortifikasi

11. Lakukan studi pada interaksi, potensi stabilitas, penyimpangan dan kualitas

organoleptik dari produk fortifikasi.

12. Tentukan bioavailabilitas dari pangan hasil fortifikasi

13. Lakukan pengujian lapangan untuk menentukan efficacy dan kefektifan


14. Kembangkan standar-standar untuk pangan hasil fortifiksi

15. Defenisikan produk akhir dan keperluan-keperluan penyerapan dan pelabelan

16. Kembangkan peraturan-peraturan untuk mandatory compliance

17. Promosikan (kembangkan) untuk meningkatkan keterterimaan oleh konsumen.

Sebenarnya, fortifikasi makanan mengacu kepada beberapa konsep yang luas dan mungkin dilakukan
untuk beberapa alasan. Pertama adalah untuk mengembalikan zat gizi yang hilang selama pengolahan
makanan, proses ini disebut sebagai enrichment. Dalam hal ini, zat gizi ditambahkan ke dalam makanan
dengan jumlah yang hampir mendekati jumlah zat awal sebelum pemrosesan makanan. Alasan kedua
adalah untuk menambah zat gizi yang tidak terdapat dalam makanan secara alami, proses ini disebut
sebagai fortifikasi. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang
ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi.

Jenis-jenis Fortifikasi:
Pada dasarnya fortifikasi terdiri dari tiga jenis, yaitu fortifikasi sukarela, fortifikasi wajib dan fortifikasi
khusus.

Fortifikasi Sukarela
Fortifikasi sukarela merupakan inisiatif produksi oleh produsen, bukan pemerintah. Komoditi pangan dan
fortifikan yang dipakai ditentukan oleh produsen, sasarannya adalah semua orang yang sanggup
membeli. Fortifikasi sukarela dilakukan atas prakarsa pengusaha produsen pangan untuk meningkatkan
nilai tambah produknya sehingga lebih menarik konsumen. Upaya ini tanpa diharuskan oleh undang-
undang atau peraturan pemerintah. Dasar pertimbangan fortifikasi sukarela lebih banyak mengacu
kepada segi bisnis dan komersial daripada gizi dan kesehatan, meskipun dalam promosinya segi
kesehatan ini yang ditonjolkan. Produsen menentukan sendiri komoditi makanan yang akan difortifikasi.
Sasaran fortifikasi sukarela adalah semua orang yang mampu dan mau membeli komoditi yang
difortifikasi.

Contoh Fortifikasi Sukarela antara lain:

China : kecap ikan dan kecap kedelai dengan zat besi.

Amerika Latin : fortifikasi gula dengan vitamin A

Filipina : fortifikasi beras dengan zat besi (Soekirman.2012)


Fortifikasi Wajib
Fortifikasi wajib adalah bagian dari upaya pemerintah untuk menanggulangi masalah gizi mikro yang
banyak terdapat pada kelompok masyarakat tertentu (misalnya masyarakat miskin). Ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi untuk fortifikasi wajib, yaitu ada masalah gizi mikro mendesak, bahan pangan yang
akan difortifikasi dikonsumsi sebagian besar masyarakat, diproduksi oleh pabrik atau produsen yang
jumlahnya terbatas, dan ada teknologi fortifikasi sesuai pedoman WHO. Fortifikasi wajib diharuskan oleh
undang-undang dan peraturan pemerintah. Sasaran utama program fortifikasi wajib adalah masyarakat
miskin, meskipun masyarakat lain yang tidak miskin juga tercakup. Oleh karena itu fortifikasi wajib lebih
banyak menjadi perhatian pemerintah sebagai bagian tanggung jawabnya untuk mensejahterakan
masyarakat. Sedang komoditi makanan yang difortifikasi lebih terbatas karena harus memenuhi
persyaratan tertentu.

Syarat untuk fortifikasi wajib adalah

1. Makanan yang umumnya selalu ada disetiap rumah tangga dan dimakan secara teratur dan terus-menerus
oleh masyarakat termasuk masyarakat miskin.
2. Makanan itu diproduksi dan diolah oleh produsen yang terbatas jumlahnya, agar mudah diawasiproses
fortifikasinya.
3. Tersedianya teknologi fortifikasi untuk makanan yang dipilih.
4. Makanan tidak berubah rasa, warna dan konsistensi setelah difortifikasi.
5. Tetap aman dalam arti tidak membahayakan kesehatan. Oleh karena itu program fortifikasi harus diatur
oleh undang-undang atau peraturan pemerintah, diawasi dan dimonitor, serta dievaluasi secara teratur dan
terus menerus.
6. Harga makanan setelah difortifikasi tetap terjangkau daya beli konsumen yang menjadi
sasaran.(Soekirman.2012)
Atas dasar persyaratan tersebut, makanan yang umumnya difortifikasi (wajib) terbatas pada jenis
makanan pokok (terigu, jagung, beras), makanan penyedap atau bumbu seperti garam, minyak goreng,
gula, kecap kedele, kecap ikan, dan Mono Sodium Glutamat (MSG).

Misalnya di

RRC : kecap kedele dan kecap ikan difortifikasi dengan zat besi ; tepung terigu dengan zat besi, asam
folat, dan vitamin A ; beras dengan zat besi dan direncanakan juga dengan vitamin A.

India : tepung terigu dengan zat besi, asam folat, dan vitamin B ; gula dengan vitamin A ; minyak dan
lemak, teh, dan susu dengan vitamin A.

Philipina : fortifikasi tepung terigu dengan zat besi, asam folat dan vitamin A. Thailand : mie dengan zat
besi, yodium dan vitamin A ; beras dengan zat besi, vitamin B1, B2, B6, dan niacin.

Vietnam : kecap ikan dengan zat besi ; gula dengan vitamin A.

Amerika Latin :tepung terigu dan tepung jagung difortifikasi dengan zat besi ; gula dengan vitamin A.
Indonesia : Garam dengan Yodium, tepung terigu dengan zat besi, seng, asam folat, vitamin B1 dan B2,
dan minyak goreng dengan vitamin A.

Fortifikasi Khusus
fortifikasi khusus sama dengan fortifikasi wajib, hanya sasarannya kelompok masyarakat tertentu, seperti
anak-anak, balita atau anak sekolah.(Anonim.2013)
Penerapan Fortifikasi Pada Produk Pengolahan Hasil Ternak

Fortifikasi Pada Susu


Penambahan fortifikan protein pada susu bubuk biasanya menggunakan kasein dan whei, namun
keduanya sangat mahal dan belum diproduksi di dalam negeri, maka diperlukan sumber protein yang
lebih murah. Penggalian potensi sumber daya alam yang diberi sentuhan teknologi diharapkan mampu
meningkatkan nilai tambah produk turunan susu dan menjawab kebutuhan akan pangan tinggi protein.
Hasil penelitian Hera (2012) ini mengindikasikan bahwa IPPUS berpotensi untuk dikembangkan sebagai
fotifikan untuk menghasilkan susu bubuk tinggi protein. Prosedur yang dilakukan melalui enam tahap
yakni pembuatan tepung pupa, penghilangan lemak (delipidasi), isolasi protein, pengeringan isolat,
fortifikasi isolat ke dalam susu bubuk dan analisis kualitas susu bubuk yang telah difortifikasi. Delipidasi
menjadi tahapan yang sangat penting karena lemak merupakan komponen terbesar kedua setelah
protein dalam bahan kering tepung pupa. Fortifikasi IPPUS pada taraf 20% menghasilkan susu bubuk
dengan kadar protein yang berbeda nyata yakni 40,44% dan kecernaan protein secara in vitro sebesar
95,15%. Kadar protein ini mencukupi 32,15%-40,44% kebutuhan protein harian manusia. Namun dengan
menggunakan formula terpilih ini, menurunkan kesukaan panelis. Hera bersama rekannya melakukan
riset dengan menambahkan flavor sebanyak 15%.

Fortifikasi Keju
Keju cottage yang beredar di pasaran hampir memiliki semua kebaikan susu, namun kandungan vitamin
C nya sangat rendah. Selama proses pengolahan, akibat adanya panas dan sinar, kandunga n vitamin
C dalam susu hampir sebagian besar telah teroksidasi. Padahal vitamin C yang secara kimia berguna
sebagai antioksidan bagi beberapa jenis maka nan termasuk produk olahan susu (deMan, 1997).
Menurut Sweeney dan Ashoor (1988), banyak penelitian yang menyangkut tentang fortifikasi vitamin
pada susu, tetapi tidak pada keju cottage. Lemon merupakan salah satu jenis je ruk yang cocok untuk
ditanam di daerah tropis seperti Indonesia. Lem on mengandung vitamin C sebesar 53 mg/100 gram,
jumlah yang cukup banyak dibandingkan dengan jeruk jenis lain.

Cairan buahnya yang asam sering digunakan dalam pembuatan berbagai jenis makanan juga obat, dan
karena kandungan asam sitratnya yang tinggi, lemon juga bersifat bakterisida. Besarnya manfaat vitamin
C baik untuk tubuh maupun untuk makanan itu sendiri membuat pentingnya fortifikasi vitamin tersebut
pada keju cottage . Diharapkan dengan fortifikasi lemon ke dalam keju cottage , maka akan
meningkatkan kandungan vitamin C dalam keju. Penelitian sebelumnya telah dilakukan oleh Egrina
(2009), menggunakan susu skim sebagai bahan dasar pembuatan keju cottage dengan menggunakan
kultur bakteri starter campuran Streptococcus thermophilus, Lactococcus lactis dan Leuconostoc
mesentroides serta menambahkan enzim papain sebagai koagulan. Monphongchai (2003) melakukan
fortifikasi jus apel, anggur, blewah dan semangka pada produksi keju cheddar. Menurut uji organoleptik,
keju yang difortifikasi dengan 10% jus apel menunjukkan keju tersebut dapat diterima namun belum diuji
kandungan gizinya. Jauh sebelumnya, Sweeney dan Ashoor (1988) telah melakukan fortifikasi vitamin A
dan C sintetik pada keju cottage, diperoleh hasil bahwa fortifikasi tidak mempengaruhi pH dan sifat
sensori keju secara signifikan. Kadar lemak dan ukuran wadah tidak mempengaruhi penurunan kadar
vitamin pada keju yang disimpan pada lemari pendingin. Beberapa penelitian lebih lanjut menjelaskan
tentang pembuatan keju cottage terfortifikasi vitamin C. Penelitian yang akan dilakukan yaitu pembuatan
keju cottage berbahan dasar susu skim dengan bakteri starter Streptococcus thermophillus,
Lactococcus lactis, dan Leuconostoc mesenteroides dan papain sebagai koagulan serta fortifikasi sari
buah lemon sebagai sumber vitamin C alami dalam berbagai perbandingan untuk meningkatkan vitamin
C keju yang dihasilkan.

BAB IV

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Fortifikasi pangan adalah penambahan satan atan lebih zat gizi (nutrien) ke pangan.
Terdapat tiga macam fortifikasi:
1. Fortifikasi sukarela oleh industri pangan kemasaan untuk meningkatkan nilai tambah bahan pangan.
2. Fortifikasi wajib yang bertujuan untuk mengatasi masalah kekurangan gizi masayarakat, khususnya
masyarakat miskin.

Anda mungkin juga menyukai