Anda di halaman 1dari 17

Upacara Adat Batak Untuk Orang

Meninggal

Kematian merupakan peristiwa alami yang harus dialami oleh semua makhluk hidup
termasuk manusia. Perbedaannya antara yang satu dengan yang lain adalah ada yang berumur
pendek, ada yang berumur panjang. Demikian pula sejarah kehidupan manusia, ada yang
berumur ratusan tahun ada pula yang meninggal sewaktu di dalam kandungan, ada yang
begitu lahir ke dunia ini meninggal, ada yang didalam usia sekolah, remaja, dewasa, baru
berumah tangga, dan seterusnya. Bagi orang batak, peristiwa meninggal, dibagi dalam dua
bangian besar yaitu: Peristiwa seseorang yang meninggal sebagai Duka; dan peristiwa
meninggal yang dianggap sebagai Suka Cita.

Kriteria kedua perstiwa ini masih dibagi lagi dalam beberapa status yaitu:
1. Sebagai Duka (Tilaha); secara umum, semua orang yang meninggal di kala orang tuanya
masih hidup, disebut tilaha. Orang tuanya disebut tilahaon. Ada tilahaon dimana anaknya
yang meninggal belum menikah. Ada yang disebut Tilahaon Matua. Yaitu seseorang yang
kehilangan anak (meninggal), dimana anaknya yang meninggal tersebut sudah berumah
tangga, atau sudah punya cucu. Orang tua tersebut disebut Tilahaon Matua

2. Suka Cita; Seseorang yang meninggal dikala anaknya sudah menikah semua dan sudah
selesai didalam adat, hingga punya cucu dan cicit, dan tidak ada diantara keturunannya
meninggal mendahului dia.

Menurut sisi pandang adat batak, ada tingkatan status adat kematian.
a. Tilaha, kematian yang tidak diingini orang batak tingkat statusnya, mati bayi, mati anak
muda, mati muda, mati sudah berumah tangga tapi anaknya masih kecil (mate ponggol)
b. Meninggal pada saat anak-anaknya belum semuanya berumah tangga, terutama anak laki-
laki disebut Sarimatua
c. Meninggal pada saat semua anaknya laki dan perempuan sudah menikah dan sudah selesai
dalam adat disebut Saur Matur
d. Meninggal setelah punya cucu dari semua anaknya, bahkan sudah punya cicit, dan tidak
ada diantara keturunanya meninggal mendahului dia, serta didukung perekonomian anaknya
yang sudah mandiri, disebut; Saur Matua Mauli Bulung

Adat Kematian Menurut Status


1. Tilaha (umur 0 th dewasa belum menikah) kematian seperti ini tidak begitu ketat
tuntutan adatnya. Yang berduka adalah keluarga dan tulangnya yang meninggal. Dalam
pemberian saput, tulangnya merobek kain sarung sebagai saput. Dahulu, perlakuan ini
dilakukan oleh tulangnya kepada berenya yang meninggal sebelum berumah tangga.

2. Tompas Tataring/Mate Ponggol., sudah berumah tangga, sudah punya anak kecil. Yang
berduka adalah orang tuanya, tulangnya, anak istrinya dan mertuanya/hula-hula. Adatnya
sangat sederhana, Apabila yang meninggal adalah perempuan, maka yang memberikan saput
adalah hula-hula (saudara laki-laki dari yang meninggal), sedangkan yang memberikan
tujung kepada suaminya yang meninggal adalah tulangnya. Apabila yang meninggal adalah
laki-laki, maka yang memberikan saput kepada yang meninggal adalah tulangnya, sedangkan
yang memberi tujung adalah saudara laki-laki dari istri yang meninggal. Pelaksanaan adatnya
tidak begitu ketat terutama dalam pemberian piso-piso/lomba parjambaran diberikan sebagai
pemberitahuan resmi kepada hula-hula/tulang bahwa bilang-bilangan mereka sudah
berkurang. Diberikan pada waktu buka tujung.

3. Sari Matua. Orang yang meninggal pada saat anaknya sudah dewasa dan sebahagian
sudah menikah, atau sudah semua menikah tetapi belum selesai dalam adat. Adat pada situasi
seperti ini sangat rumit apabila hula-hula anaknya yang belum selesai dalam adat menuntut
adat putrinya. Karena pada perinsipnya adat kematian merupakan adat terakhir dalam sejarah
kehidupan seseorang dan adat dari anaknya, kepada hula-hula parumaennya, merupakan
tanggung jawab dari orangtuanya yang sudah meninggal.
Pada pelaksanaan adat seperti inilah seorang raja adat harus hati-hati mengajukan konsep
ulaon adat kematian. Pada saat seperti ini pembicaraan biasanya agak alot, terutama apabila
konsep adat yang diutarakan adat na gok karena melihat semua anaknya sudah berkeluarga.
Bagi salah satu orang tua yang hidup, masih dikenakan Tujung.

Ada sebagian orang yang meningkatkan adat yang meninggal seperti ini dengan adat nagok,
dengan ulos kepada yang menduda atau menjanda Sappe Tua.
Hati-hati peningkatan adat seperti ini. Terutama anaknya yang belun menikah adalah laki-
laki. Artinya, yang diberi ulos sappe tua, tidak boleh lagi menerima dan member ulos
passamot. Karena dianggab sudah selesai hak dan kewajiban adatnya. Jadi kita sebagai
generasi muda orang Batak agar selektip di dalam perlakuan adat.

Ironisnya usulan seperti ini, datangnya dari orang yang sudah lanjut usia dengan alasan
supaya jaga ulaon I(adatnya supaya bedrmakna), bukas soal jagar. Tetapi rule, hukumnya
atau kepatutannya. Sebagai hula-hula, kalau ternyata anaknya yang meninggal, kawin sama
boru tulangnya, yang memberikan ulos Sappe Tua tadi. Pantas kah tulangnya tidak
memberi ulos passamot? Atau sebaliknya, pantas kah tulangnya sebagai hula-hula
memberikan ulos passamot? Jadi Raja adat dan hula-hula, hendaknya memikirkan anaknya
yang meninggal. Kalau raja adat, dan hula-hula, tidak atau tidak terpikirkan sampai kesitu,
maka jadilah Raja Adat si mata hepengon, Hula-hula oleh berenya, menjadi tulang sattabi
hita on Maka moral raja dan hula-hula menjadi tanda Tanya.

4. Saur Matua. Orang yang meninggal pada situasi anak-anaknya sudah menikah semua dan
sudah selesai dalam adat. Dan sudah punya cucu dari anak laki-laki dan anak perempuan.
Pelaksanaan adat dalam situasi yang demikian sudah agak gampang, hanya kesulitannya
adalah dibidang dana/biaya. Kalau dahulu, biaya semacam ini merupakan sindikasi dari anak-
anaknya serta keponakan-keponakan yang meninggal. Sehingga dahulu adat seperti ini jarang
tidak terlaksana, karena adat semacam ini merupakan kebanggaan satu ompung.

Demikian juga pihak tulang dari yang meninggal, akan menjadi suka cita, karena peran
tulang dalam adat tersebut sangat penting dan berhak atas buka HOMBUNG dalam adat
Toba Holbung, Di Humbang Pada umumnya dan Dairi disebut LOMBA yang menurut
aslinya sesuai dengan angka 48, 24, 12.yang paling kecil nilainya adalah 6. Angka ini
dikaitkan dengan filosofi nama pohon, yang paling tinggi adalah SARUMARNAEK, yang
kedua adalah SANDUDUK yang lain(penulis lupa). Bagi yang menjanda atau
menduda, tidak ada lagi ulos tujung, tetapi ulos sampe tua.

5. Mauli Bulung. Seseorang yang meninggal dikala semua anak sudah menikah dan selesai
dalam adat dan bahkan sudah punya cicit baik dari anak laki-laki, maupun dari anak
perempuan, dan semua anaknya dan keturunannya mempunyai kemampuan ekonomi yang
cukup (memiliki hasangapon, hagabeon hamoraon) Kematian semacam ini juga merupakan
dambaan seseorang orang tua maupun anak-anaknya dan keluarga besar se-ompung, maupun
pihak hula-hula dan tulang.

Pada adat kematian yang saurmatua dan mauli bulung, keluarga akan memberikan jambar
LOMBA juga dikaitkan dengan angka 48, 24, 12 dan tidak ada lagi Ulos Tujung tetapi
Sampe Tua Dalam situasi orang meninggal seperti ini, kaitan lomba dengan angka agak
ketat
Catatan:

1. Istilah LOMBA umumnya di daerah Humbang Hasundutan, sedangkan di lain daerah


disebut HOMBUNG

2. Aturan pembagian besarnya lomba kepada hula-hula dan tulang, kalau laki yang
meninggal, tulang mendapat satu bagian, hula-hula dapat setengah, kalau perempuan yang
meninggal hula-hula mendapatkan satu sedangkan tulang dapat setengah

3. Seorang yang meninggal, walau pun sudah punya cucu, tetapi orang tuanya masih hidup
(Tilahaon Matua), Kesedihan orang tua yang meninggal harus di perhatikan. Bagi orang lain
terkadang baru sari matua sudah dibunyikan gondang/alat musik dan manortor untuk
menyambut kedatangan hula-hula dalam acara adat. Dalam hal pengertian pemberian sappe
tua perlu diperhatikan kata-kata yang berbunyi nilangka to jolo, tinailihon tu pudi
pemberian ulos sappe tua sering berdasarkan atas nilai materi yang dimiliki keluarga.

Sejalan dengan itu atas permintaan keluarga dengan alasan agar sangap, sebab yang
meninggal orang terpandang, kaya, tokoh. Pada hal masih ada dua atau satu orang anaknya
yang belum menikah, maka artinya, apabila anak tersebut menikah, si duda atau si janda tidak
akan bisa menerima ulos pansamot dan inilah yang juga perlu dipikirkan oleh hula-hula
dan tulang. Kalau kemudian sianak manunduti mengambil boru tulang dari mamaknya atau
boru tulang dari ompungnya. Yang menjadi pertanyaan apakah mereka tidak memberikan
ulos pansamot kepada ibotonya? Kecuali anaknya sudah sewajarnya berumahtangga dilihat
dari sisi umur maupun kemapanan ekonomi, mungkin pertimbangannya, kalau selamanya
tidak akan berumahtangga, maka jangan lah menjadi penghalang bagi adat pasangaphon hula-
hula yang terakhir dari orang tuanya yang meninggal.

Tahapan Ke Arah Pelaksanaan Adat.


1. Keluarga berkumpul untuk mencari kesepakatan (adat dan dana) tentang konsep adat yang
akan dilaksanakan.

2. Setelah ada kesepakatan, maka konsep adat yang akan dilaksanakan, disampaikan kepada
tetua adat untuk mendapatkan pengarahan sesuai konsep yang sudah disepakati. Di sinilah
fungsi raja adat/tetua adat dalam menyikapi konsep adat yang diterima, apabila ada
kekurangan dan kelebihan tentunya tetua adat/ raja adat mempunyai fungsi untuk
menyempurnakan. Setelah tidak ada masalah, undangan diberikan kepada pihak tulang dan
hula-hula serta kepada tetaua adat. Apabila sudah saur matua dan mauli bulung, undangan
disampikan juga kepada hula-hula, buna tulang, hula-hula namarhaha-anggi dan hula-hula
anak manjae serta tulang rorobot/narobot.

3. Setelah hula hula hadir semua, antara hasuhuton dengan pihak hula-hula duduk berhadapan
dan hasuhuton terlebih dahulu mengecek kehadiran semua undangan terutama hula-hula dan
tulang serta tulang rorobot.

4. Kata sambutan dari hasuhuton (hata huhuasi) atas kehadiran semua undangan terutama atas
kehadiran horong ni hula-hula. Pada akhir huhuasi, diberitahukan maksud dan tujuan
undangan. Dan minta nasehat terhadap rencana yang diutarakan

5. Kalau sudah ada kesepakatan antara hasuhuton, horong ni hula-hula serta dongan sahuta,
tentang konsep adat yang akan dilaksanakan terhadap yang meninggal, maka pada hari yang
sudah ditentukan dalam pelaksanaan adat, tinggal mengikuti konsep yang sudah disepakati
tadi. Parrapoton.

Bagi sebagian daerah, pembicaraan konsep adat dengan hula-hula, sudah dianggap
parrapoton. Akan tetapi disebagian daerah, parrapoton diadakan pada saat pembukaan
pelaksanaan adat, dipimpin oleh seorang raja adat yang sudah punya cucu.
Raja adat tersebut akan memperkenalkan diri di depan halayak ramai
dan keluarga yang kemalangan; Au na di patua di adat di
.(huta .atau di parserahan.) on, na margoar
marga .., goar maroppuni, Oppu .marga ..Manguluhon
parrapoton di partua ni amanta/inanta naung jumolo monding on dst.

Di perantauan, yang memimpin parrapoton belum tentu raja adat Huta


dari mana keluarga kemalangan berasal. Tetapi raja adat dari hula-
hula atau tulang. Hula-hula apabila yang meninggal adalah ibu,
sedangkan tulang, apabila yang meninggal adalah bapak.

Pada saat parrapoton; Hasuhuton, menyediakan piring berisi beras


serta uang beberapa lembar sesuai kehadiran hula-hula

1. Hula-hula atau tulang bertanya kepada hasuhuton di depan


hkalayak tentang keturunan yang meninggal, apakah sudah sanggup
dan pantas melakukan adat sesuai dengan konsep yang mereka terima
atau masih ada yang mengganjal.

2. Kemudian menanyakan kepada khalayak tentang Kepatutan dan


kepantasan adat yang akan dilaksanakan sesuai dengan hukum adat
yang berlaku di daerah tersebut.

3. Menanyakan kepada khalayak, semasa hidupnya


almarhum/almarhumah, apakah ada persoalan-persoalan tertulis atau
lisan/hutang piutang dan lain-lain yang belum selesai. Setelah tidak
ada komplain dari khalayak, terutama pihak hula-hula maka, konsep
adat oleh raja adat dalam hal ini dari pihak hula-hula, dapat
dilaksanakan dengan mengetuk piring tiga kali yang berisi beras dan
uang. Apabila terdapat persoalan menurut kebiasaan setempat dan
persoalan surat menyurat yang belum tuntas, maka hula-hula
memohon kepada hasuhuton untuk menyelesaikannya, atau
menyesuaikan adat sesuai dengan kebiasaan setempat.

Setelah diketok tiga kali dengan logam, maka dibagikan lah uang
yang diatas piring tadi kepada: hula-hula bona tulang, hula-hula
namarhaha anggi, hula-hula anak majae, tulang rorobot. Yang terakhir
kepada tulang dan hula-hula. Beras yang diatas piring, di taburkan ke
kepalanya semua keturunan yang meninggal, secara berurutan dan
penutup, ditaburkan tiga kali secara sporadis. Maka pelaksanaan adat
sah untuk dilaksanakan.

Adat saur matua dan mauli bulung seperti ini, sudah dikatakan tu
dolok na timbo, di atas ni batu napir na martindi-tindi, di bona ni
hariara, na marurat tu toru marbulung tu ginjang, mardakka tu
lambung Dan perlakuan adat disini, hasuhuton menebar uang kepada
halayak, terutama kepada hula-hula (Mangalindakhon na gok) Ulaon
na gok di namonding.

Telah kita bahas mengenai tingkat adat dalam kematian, Toppas


Tataring dan Sari Matua, dapat dilaksanakan adat na Gok. Tetapi
perlakuannya tidak seperti adat di Saur Matua atau Mauli Bulung.
Adat Selatan atau Sipirok hampir ada kesamaannya dengan perlakuan
adat Na Gok di Hubbang, utamanya Pakkat Sekitar dan Parlilitan.

Hal ini ditandai dengan pemberian Lomba kepada hula-hula atau


tulang. Biasanya, kalau yang ditinggalkan yang meninggal anak laki-
laki. Kata orang-orang tua dulu, dao ma anak na nidondonan ni
Lomba karena adat yang meninggal belum selesai kepada hula-hula
atau tulang, maka hal itu tetap menjadi hutang adat bagi si anak yang
di tinggal.

Jika kemudian si anak menjadi seorang yang berada, dan dia memiliki
Hasangapon, Hagabeon, dan Hamoraon ingin berbuat yang baik
kepada orang tuanya, atau pesta adat yang lain, maka tidak ada lagi
penghalang. Hula-hula atau tulang tidak menuntut hutang adat dari
orang tuanya yang sudah lebih dulu meninggal.

Bagi kepercayaan orang tua dulu, seorang anak yang di dondoni


lomba akan mendapat masalah dalam kehidupannya(cekak) Soal
perlakuan adatnya, sudah sama dengan apa yang biasa kita lihat setiap
adat kematian.
Di dalam acara sari matua diberengi dengan adanya tilahaon matua,
walaupun adat na gok, di dalam acara adatnya jangan sekali-kali
padenggal tangan dan membunyikan musik untuk menyambut
kedatangan hula-hula.

Pada umumnya, orang batak agak berpikir tiga kali untuk


melaksanakan ulaon yang besar dalam adat kematian, yang mana
orang tua yang meninggal masih hidup. Karena apabila orang tua
yang meninggal kelak, maka ulaon adat kematian terhadap orang tua
yang tilahaon matua tadi, akan jauh lebih besar. Karena aturan
perlakuan adat sihabatakon dalam kontek tilahaon matua, adalah suatu
hal yang memalukan bagi keluarga kalau lebih besar ulaon kematian
anak dari pada adat kematian kemudian yang tilahaon matua.

Mengenati pembicaraan adat dalam adat kematian, tidak seperti


pembicaraan di ulao adat perkawinan. Pembicaraan dialog (two way
communication) hanya terjadi pada Tonggo raja. Dialog di sini
hanyalah untuk menyamakan persepsi antara hula-hula dengan
hasuhuton, tentang konsep adat yang akan di laksanakan. Selanjutnya
yang terjadi adalah monolog (one way communication), pada hata
huhuasi, hata nauli sian namarholong ni roha, hata nauli sian horong
ni hula-hula, dohot hata pangappuon.(br14).
TAHAP-TAHAPAN UPACARA SAUR MATUA
Posted on Oktober 13, 2010 by dunkom

Upacara kematian pada masyarakat Batak Toba merupakan pengakuan


bahwa masih ada kehidupan lain dibalik kehidupan di dunia ini. Adapun
maksud dan tujuan masyarakat Batak Toba untuk mengadakan upacara
kematian itu tentunya berlatar belakang kepercayaan tentang kehidupan
.
Saur matua adalah orang yang meninggal dunia telah beranak cucu baik
darianak laki-laki maupun anak perempuan. Saur artinya
lengkap/sempurna dalam kekerabatan, telah beranak cucu. Karena
yang telah meninggal itu adalah sempurna dalam kekerabatan, maka
harus dilaksanakan dengan sempurna. Lain halnya dengan orang yang
meninggal sari matua. Kalaupun suhut membuat acara adat sempurna
sesuai dengan Adat Dalihan Na Tolu, hal seperti itu belum tentu
dilakukan karena masih ada dari keturunannya belum sempurna dalam
hal kekerabatan. Dalam melaksanakan sesuatu upacara harus melalui
fase-fase (tahapan-tahapan) yang harus dilalui oleh setiap yang
melaksanakannya.
Adapun tahapan-tahapan yang harus dilalui adalah sebagai berikut:
1. Sebelum Upacara di Mulai
Dalam kehidupan ini, setiap manusia dalam suatu kebudayaan selalu
berkeinginan dan berharap dapat menikmati isi dunia ini dalam jangka
waktu yang lama. Tetapi usaha untuk mencapai keinginan tersebut
adalah di luar jangkauan manusia,karena keterbatasan, kemampuan
dan akal pikiran yang dimiliki oleh manusia. Selain itu, setiap manusia
juga sudah mempunyai jalan kehidupannya masing-masing yang telah
ditentukan batas akhir kehidupannya. Batas akhir kehidupan manusia ini
(mati) dapat terjadi dikarenakan berbagai hal,misalnya karena penyakit
yang diderita dan tidak dapat disembuhkan lagi kecelakaan dan sebab-
sebab lain yang tidak dapat diketahui secara pasti, maupun disebabkan
penyakit.
Pada masyarakat Batak Toba, bila ada orangtua yang menderita
penyakit yang sulit untuk disembuhkan, maka pada keturunanya beserta
sanak famili biasanya melakukan acara adat khusus baginya, yang
disebut dengan Manulangi (memberi makan). Sebelum diadakan acara
manulangi ini, maka pada keturunannya beserta sanak famili lebih
dahulu harus mengadakan musyawarah untuk menentukan berbagai
persyaratan, seperti menentukan hari pelaksanaan adat panulangion itu,
jenis ternak yang akan dipotong, dan jumlahnya serta biaya yang
diperlukan untuk mempersiapkan makanan tersebut. Sesuai dengan hari
yang sudah ditentukan, berkumpullah semua keturunan dan sanak famili
di rumah orangtua tersebut dan dipotonglah seekor ternak babi untuk
kemudian dimasak lagi dengan baik sebagai makanan yang akan
disuguhkan untuk dimakan bersama-sama. Pada waktu itu juga turut
diundang hula-hula dari suhut, dongan tubu, dan natua-tua ni huta
(orang yang dituakan di kampung tersebut).
Kemudian acara panulangion dimulai dengan sepiring makanan yang
terdiri dari sepiring nasi dan lauk yang sudah dipersiapkan, diberikan
kepada orangtua tersebut oleh anak sulugnya. Pada waktu Eanulangi, si
anak tersebut menyatakan kepada orangtuanya bahwa mereka
sebenarnya khawatir melihat penyakitnya. Maka sebelum tiba waktunya,
ia berharap agar orangtuanya dapat merestui semua keturunananya
hingga beroleh umur yang panjang, murah rezeki dan tercapai kesatuan
yang lebih mantap. Ia juga mendoakan agar orangtuanya dapat lekas
sembuh. Setelah anaknya yang sulung selesai memberikan makan,
maka dilanjutkan oleh adik-adiknya sampai kepada yang bungsu
beserta cucu-cucunya. Sambil disuguhi makanan, semua keturunannya
direstui dan diberi nasehat-nasehat. Pada waktu itu ada juga orangtua
yang membagi harta warisannya walaupun belum resmi berlaku.
Setelah selesai memberi makan, maka selanjutnya keturunan dari
orangtua itu harus manulangi hula-hulanya dengan makanan agar hula-
hulanya juga memberkati mereka. Acara kemudian dilanjutkan dengan
makan bersama-sama. Sambil makan, salah seorang dari pihak boru
(suhut) memotong haliang (leher babi) dan dibagi-bagikan kepada
hadirin. Setelah selesai makan, diadakanlah pembagianjambar (suku-
suku daging). Gaor bontar (kepala baglan atas sebelah kiri untuk boru
(anak perempuan), Osang (mulut bagian bawah) untuk hula-hula,
Hasatan (ekor) untuk keluarga suhut, soit (perut bagian tengah) untuk
dongan sabutuha (teman semarga) dan jambar (potongan daging-
daging) untuk semua yang hadir). Setelah pembagian jambar maka
mulailah kata-kata sambutan yang pertama oleh anak Sulung dari
orangtua ini dilanjutkan dari pihak boru, dongan sabutuha, dongan
sahuta, dan terakhir dari hula-hula.
Setelah selesai kata mangampui, maka acarapun selesai dan
diadakanlah doa penutup. Setelah acara panulangion itu selesai, maka
pada hari berikutnya pihak hula-hula pergi menjenguk orangtua tadi
dengan membawa dengke (ikan) dan sehelai ulos (kain adat batak)
yang disebut ulos mangalohon ulos naganjang (memberikan kain adat).
Ketika hula-hula menyampaikan makanan itu kepada orangtua yang
sakit, disitulah merka memberikan ulos naganjang kepada orangtua itu
dengan meletakkannya di atas pundak (bahu) orangtua tersebut. Tujuan
dari pemberian ulos dan makanan ini adalah supaya orangtua tersebut
cepat sembuh, berumur panjang dan dapat membimbing semua
keturunannya hingga selamat dan sejahtera di hari-hari mendatang.
Setelah pemberian ikan dan ulos itu maka pihak boru brdoa dan
menyuguhkan daging lengkap dengan suku-sukunya kepada pihak hula-
hula. Pada waktu yang ditentukan oleh Yang Maha Kuasa, akhirnya
orangtua yang gaur matua itu meninggal dunia, maka semua keluarga
menangis dan ada yang meratap sebagai pertanda bahwa sudah tiba
waktunya bagi mereka untuk berpisah. Sesudah mayat tersebut
dibersihkan maka dikenakan pakaian yang rapi dan diselimuti dengan
kain batak (ulos). selanjutnya dibaringkan di ruang tengah yang kakinya
mengarah ke jabu (bona rumah suhut). Pada saat yang bersamaan,
pihak laki-laki baik dari keturunan orangtua yang meninggal maupun
sanak saudara berkumpul di rumah duka dan membicarakan bagaimana
upacara yang akan dilaksanakan kepada orangtua yang sudah saur
matua itu. Darimusyawarah keluarga akan diperoleh hasil-hasil dari
setiap hal yang dibicarakan. Hasil-hasil ini dicatat oleh para suhut untuk
kemudian untuk dipersiapkan ke musyawarah umum. penentuan hari
untuk musyawarah umum ini juga sudah ditentukan. Dan mulailah
dihubungi pihak famili dan mengundang pihak hula-hula, boru, dongan
tubu. raja adat, parsuhuton supaya hadir dalam musyawarah umum
(Mangarapot). Sesudah acara mangarapot selesai, maka diadakanlah
pembagian tugas bagi pihak hasuhuton. Beberapa orang dari pihak
hasuhuton pergi mengundang (Manggokkon hula-hula, boru, dongan
sabutuha (yang terdiri dari ternan semarga, teman sahuta, teman satu
kampung) serta sanak saudara yang ada di rantau. Pihak suhut lainnya
ada yang memesan peti mayat, membeli dan mempersiapkan beberapa
ekor ternak (kerbau atau babi atau yang lainnya) sebagai makanan
pesta atau untuk borotan.
Mereka yang bekerja pada saat upacara adalah pihak boru yang disebut
Parhobas. Dan sebagian dari pihak suhut mempersiapkan pakaian adat
untuk keturunan orangtua yang meninggal saur matua itu, yaitu semua
anak laki-lakinya, cucu lakilaki dari yang pertama (sulung) dan cucu laki-
laki dari anaknya perempuan.Pakaian adat ini terdiri dari ulos yang
diselempangkan di atas bahu dan topi adat yang dipakai di atas kepala.
Pihak boru lainnya pergi mengundang pargonsi dengan memberikan
napuran tiar (sirih) yang diletakkan di atas sebuah piring beserta dengan
uang honor dari pargonsi selama mereka memainkan gondang
sabangunan dalam upacara saur matua. pemberian napuran tiar ini
menunjukkan sikap hormat kepada pargonsi agar pargonsi bersedia
menerima undangan tersebut dan tidak menerima undangan lain pada
waktu yang bersamaan.
2. Acara Pelaksanaan Upacara Kematian Saur Matua
Setelah keperluan upacara selesai dipersiapkan barulah upacara
kematian gaur matua ini dapat dimulai. Pelaksanaan upacara kematian
saur matua ini terbagi atas dua bagian yaitu :
Upacara di jabu (di dalam rumah) termasuk di dalamnya upacara
di jabu menuju maralaman (upacara di rumah menuju ke halaman
).
Upacara maralaman (di halaman) Kedua bentuk upacara inilah
yang dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba sebelum
mengantarkan jenazah ke liang kubur.

Upacara di jabu (di dalam rumah)


Pada saat upacara di jabu akan dimulai, mayat dari orangtua yang
meninggal dibaringkan di jabu bona (ruang tamu). Letaknya berhadapan
dengan kamar orangtua yang meninggal ataupun kamar anak-anaknya
dan diselimuti dengan ulos sibolang. Suami atau isteri yang ditinggalkan
duduk , di sebelah kanan tepat di samping muka yang meninggal.
Kemudian diikuti oleh anak laki-laki mulai dari anak yang paling besar
sampai anak yang paling kecil. Anak perempuan dari orangtua yang
meninggal, duduk di sebelah kiri dari peti mayat. Sedangkan cucu dan
cicitnya ada yang duduk di belakang atau di depan orangtua meeka
masing-masing. Dan semua unsur dari dalihan natolu sudah hadir di
rumah duka dengan mengenakan ulos.
Upacara di jabu ini biasanya di buka pada pagi hari (sekitar jam 10.00
Wib) oleh pengurus gereja. Kemudian masing-masing unsur dalihan
natolu mengadakan acara penyampaian kata-kata penghiburan kepada
suhut. Ketika acara penyampaian kata-kata penghiburan oleh unsur-
unsur dalihan natolu sedang berlangsung, diantara keturunan orangtua
yang meninggal masih ada yang menangis. Pada saat yang bersamaan,
datanglah pargonsi sesuai dengan undangan yang disampaikan pihak
suhut kepada mereka. Tempat untuk pargonsi sudah dipersiapkan lebih
dahulu yaitu di bagian atas rumah (bonggar). Kemudian pargonsi
disambut oleh suhut dan dipersilahkan duduk di jabu soding (sebelah kiri
ruang rumah yang beralaskan tikar. Lalu suhut menjamu makan para
pargonsi dengan memberikan sepiring makanan yang berisi ikan
(dengke) Batak, sagu-sagu, nasi, rudang, merata atau beras yang
ditumbuk dan disertai dengan napuran tiar (sirih).
Setelah acara makan bersama para pargonsi pun mengambil tempat
mereka yang ada di atas rumah dan mempersiapkan instrumen-
instrumen mereka masing-masing. Umumnya semua pemain duduk
menghadap kepada yang meninggal. Kegiatan margondang di dalam
rumah biasanya dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari
harinya dipergunakan pargonsi untuk istirahat. Dan pada malam hari
tiba, pargonsi pun sudah bersiap-siap untuk memainkan gondang
sabangunan. Kemudian pargonsi memainkan gondang Lae-lae atau
gondang elek-elek, yaitu gondang yang memeberitahukan
danmengundang masyarakat sekitarnya supaya hadir di rumah duka
untuk turut menari bersama-sama.
Gondang ini juga dijadikan sebagai pengumuman kepada masyarakat
bahwa ada orang tua yang meninggal saur matua. Dan pada saat
gondang tersebut berbunyi, pihak suhut juga bersiap-siap mengenakan
ulos dan topi adat karena sebentar lagi kegiatan margondang saur
matua akan dimulai. Kemudian diaturlah posisi masing-masing unsur
Dalihan Natolu. Pihak suhut berdiri di sebelah kanan yang meninggal,
boru disebelah kiri yang meninggal dan hula-hula berdiri di depan yang
meninggal. Jika masih ada suami atau isteri yang meninggal maka
mereka berdiri di sebelah kanan yang meninggal bersama dengan suhut
hanya tapi mereka paling depan.
a. Kemudian kegiatan margondang dibuka oleh pengurus gereja
(pangulani huria). Semua unsur Dalihan Natolu berdiri di tempatnya
masingmasing. pengurus gereja berkata kepada pangonsi agar
dimainkan gondang mula-mula. Gondang ini dibunyikan untuk
menggambarkan bahwa segala yang ada di dunia ini ada mulanya, baik
itu manusia, kekayaan dan kehormatan.
b. Gondang ke dua yaitu gondang yang indah dan baik (tanpa ada
menyebutkan nama gondangnya). Setelah gondang berbunyi, maka
semua menari.
c. Gondang Liat-liat, para pengurus gereja menari mengelilingi mayat
memberkati semua suhut dengan meletakkan tangan yang memegang
ulos ke atas kepala suhut dan suhut membalasnya dengan meletakkan
tangannya di wajah pengurus gereja.
d. Gondang Simba-simba maksudnya agar kita patut menghormati
gereja. Dan pihak suhut menari mendatangi pengurus gereja satu
persatu dan minta berkat dari mereka dengan rneletakkan ulos ke bahu
rnasing-masing pengurus gereja. Sedangkan pengurus gereja menaruh
tangan mereka ke atas kepala suhut.
e. Gondang yang terakhir, hasututon meminta gondang hasahatan dan
sitio-tio agar semua mendapat hidup sejahtera bahagia dan penuh rejeki
dan setelah selesai ditarikan rnereka semuanya mengucapkan horas
sebanyak tiga kali.
Kemudian masing-masing unsur dari Dalihan Natolu meminta gondang
kepada pargonsi, mereka juga sering memberikan uang kepada
pargonsi tetapi yang memberikan biasanya adalah pihak boru walaupun
uang tersebut adalah dari pihak hula-hula atau dongan sabutuha.
Maksud dari pemberian uang itu adalah sebagai penghormatan kepada
pargonsi dan untuk memberi semangat kepada pargonsi dalam
memainkan gondang sabangunan.
Jika upacara ini berlangsung beberapa malam, maka kegiatan-kegiatan
pada malam-malam hari tersebut diisi dengan menotor semua unsur
Dalihan Na Tolu. Keesokan harinya, apabila peti mayat yang telah
dipesan sebelumnya oleh suhut sudah selesai, maka peti mayat dibawa
rnasuk kedalam rumah dan mayat dipersiapkan untuk dimasukkan ke
dalam peti. Ketika itu hadirlah dongan sabutuha, hula-hula dan boru.
Yang mengangkat mayat tersebut ke dalam peti biasanya adalah pihak
hasuhutan yang dibantu dengan dongan sabutuha. Tapi dibeberapa
daerah Batak Toba, yang memasukkan mayat ke dalam peti adalah
dongan sabutuha saja.
Kemudian dengan hati-hati sekali mayat dimasukkan ke dalam peti dan
diselimuti dengan ulos sibolang. posisi peti diletakkan sarna dengan
posisi mayat sebelumnya. Maka aktivitas selanjutnya adalah pemberian
ulos tujung, ulus sampe, ulus panggabei.
Yang pertama sekali memberikan ulos adalah hula-hula yaitu ulos tujung
sejenis ulos sibolang kepada yang ditinggalkan (janda atau duda)
disertai isak tangis baik dari pihak suhut maupun hula-hula sendiri.
Pemberian ulos bermakna suatu pengakuan resmi dari kedudukan
seorang yang telah menjadi janda atau duda dan berada dalam suatu
keadaan duka yang terberat dalam hidup seseorang ditinggalkan oleh
teman sehidup semati, sekaligus pernyataan turut berduka cita yang
sedalamdalamnya dari pihak hula-hula. Dan ulos itu hanya diletakkan
diatas bahu dan tidak diatas kepala. Ulos itu disebut ulos sampe atau
ulos tali-tali. Dan pada waktu pemberian ulos sampe-sampe itu semua
anak keturunan yang meninggal berdiri di sebelah kanan dan golongan
boru di sebelah kiri daeri peti mayat.
Setelah ulos tujung diberikan, kemudian tulang dari yang meninggal
memberikan ulos saput (sejenis ulos ragihotang atau ragidup), yang
diletakkan pada mayat dengan digerbangkan (diherbangkan) diatas
badannya. Dan bona tulang atau bona ni ari memberikan ulos sapot
tetapi tidak langsung diletakkan di atas badan yang meninggal tetapi
digerbangkan diatas mayat peti saja. Maksud dari pemberian ulos ini
adalah menunjukkan hubungan yang baik dan akrab antara tulang
dengan bere (kemenakannya).
Setelah hula-hula selesai memberikan ulos-ulos tersebut kepada suhut,
maka sekarang giliran pihak suhut memberikan ulos atau yang lainnya
sebagai pengganti dari ulos kepada semua pihak boru. pengganti dari
ulos ini dapat diberikan sejumlah uang.
Kemudian aktivitas selanjutnya setelah pemberian ulos atau uang
kepada boru adalah kegiatan margondang, dimulai dari pihak suhut,
dongan sabutuha, boru dan ale-ale. Semuanya menari diiringi gondang
sabungan dan mereka sesuka hati meminta jenis gondang yang akan
ditarikan. Sesudah semua rombongan selesai menari, maka semua
hadirin diundang untuk makan bersama. Sehari sebelumnya peti mayat
dibawa ke halaman rumah orangtua yang saur matua tersebut,
diadakanlah adat pandungoi yang biasanya dilakukan rada sore hari.
Adat ini menunjukkan aktivitas memberi makan (sepiring nasi beserta
lauknya) kepada orangtua yang saur matua dan kepada semua sanak
famili. Setelah pembagian harta warisan selesai dilaksanakan,lalu
semua unsur Dalihan na Tolu kembali menari. Mulai dari pihak suhut,
hasuhutan yang menari kemudian dongan sabutuha, boru, hula-hula
dan ale-ale. Acara ini berlangsung sampai selesai ( pagi hari ).
Upacara di jabu menuju maralaman
Keesokan harinya (tepat pada hari penguburan) semua suhut sudah
bersiapsiap lengkap dengan pakaian adatnya untuk mengadakan
upacara di jabu menuju maralaman. Setelah semuanya hadir di rumah
duka, maka upacara ini dimulai, tepatnya pada waktu matahari akan
naik (sekitar pukul 10.00 Wib). Anak laki-laki berdiri di sebelah kanan
peti mayat, anak perempuan (pihak boru) berdiri di sebelah kiri, hula-
hula bersama pengurus gereja berdiri di depan peti mayat dan dongan
sabutuha berdiri di belakang boru. Kemudian acara dipimpin oleh
pengurus gereja mengenakan pakaian resmi (jubah).
Setelah acara gereja selesai maka pengurus gereja menyuruh pihak
boru untuk mengangkat peti mayat ke halaman rumah sambil diiringi
dengan nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin. Lalu peti mayat
ditutup (tetapi belum dipaku) dan diangkat secara hati-hati dan perlahan-
lahan oleh pihak boru dibantu oleh hasuhuton juga dongan sabutuha ke
halaman. peti mayat tersebut masih tetap ditutup dengan ulos sibolang.
Lalu peti mayat itu diletakkan di halaman rumah sebelah kanan dan di
depannya diletakkan palang salib kristen yang bertuliskan nama
orangtua yang meninggal. Sesampainya di halaman, peti mayat ditutup
dan diletakkan di atas kayu sebagai penyanggahnya. Semua unsur
dalihan Na Tolu yang ada di dalam rumah kemudian berkumpul di
halaman rumah untuk mengikuti acara selanjutnya.
Upacara Maralaman (di halaman rumah)
Upacara maralaman adalah upacara teakhir sebelum penguburan mayat
yang gaur matua. Di dalam adat Batak Toba, kalau seseorang yang
gaur matua meninggal maka harus diberangkatkan dari antaran bidang
(halaman) ke kuburan (disebut Partuatna). Maka dalam upacara
maralaman akan dilaksanakan adat partuatna. Pada upacara ini posisi
dari semua unsur dalihan Na Tolu berbeda dengan posisi mereka ketika
mengikuti upacara di dalam ruah. pihak suhut berbaris mulai dari kanan
ke kiri (yang paling besar ke yang bungsu), dan di belakang mereka
berdiri parumaen (menantu perempuan dari yang meninggal) posisi dari
suhut berdiri tepat di hadapan rumah duka. Anak perempuan dari yang
meninggal beserta dengan pihak boru lainnya berdiri membelakangi
rumah duka kemudian hula-hula berdiri di samping kanan rumah duka.
Semuanya mengenakan ulos yang disandang di atas bahu. Ke semua
posisi ini mengelilingi kayu borotan yang ada di tengahtengah halaman
rumah. Sedangkan peti mayat diletakkan di sebelah kanan rumah duka
dan agak jauh dari tiang kayu borotan Posisi pemain gondang
sabangunan pun sudah berbeda dengan posisi mereka ketika di dalam
rumah. Pada upacara ini, posisi mereka sudah menghadap ke halaman
rumah (sebelumnya di bonggar rumah, tetapi pada upacara maralaman
mereka berada di bilik bonggar sebelah kanan). Kemudian pargonsi pun
bersiap-siap dengan instrumennya masing-masing.
Setelah semua unsur Dalihan Na Tolu dan pargonsi berada pada
tempatnya, lalu pengurus gereja membuka kembali upacara di halaman
ini dengan bernyanyi lebih dahulu, lalu pembacaan firman Tuhan,
bernyanyi lagi, kata sambutan dan penghiburan dari pengurus gereja,
koor dari ibu-ibu gereja dan terakhir doa penutup. Kemudian rombongan
dari pengurus gereja mengawali kegiatan margondang. Pertama sekali
mereka meminta kepada pargonsi supaya memainkan sitolu Gondang
(tanpa menyebut nama gondangnya) , yaitu gondang yang
dipersembahkan kepada Debata (Tuhan) agar kiranya Yang Maha
Kuasa berkenan memberkati upacara ini dari awal hingga akhirnya dan
memberkati semua suhut agar beroleh hidup yang sejahtera di masa
mendatang. Lalu pargonsi memainkan sitolu Gondang itu secara
berturut-turut tanpa ada yang menari.
Setelah sitolu Gondang itu selesai dimainkan, pengurus gereja
kemudian meminta kepada pargonsi yaitu gondang liat-liat. Maksud dari
gondang ini adalah agar semua keturunan dari yang meninggal saur
matua ini selamat-selamat dan sejahtera. Pada jenis gondang ini,
rombongan gereja menari mengelilingi borotan (yang diikatkan
kepadanya seekor kuda) sebanyak tiga kali, yang disambut oleh pihak
boru dengan gerakan mundur. Gerak tari pada gondang ini ialah kedua
tangan ditutup dan digerakkan menurut irama gondang. Setelah
mengelilingi borotan, maka pihak pengurus gereja memberkati semua
boru dan suhut.
Kemudian pengurus gereja meminta gondang Marolop-olopan. Maksud
dari gondang ini agar pengurus gereja dengan pihak suhut saling
bekerja sama. pada waktu menari pengurus gereja mendatangi suhut
dan unsur Dalihan Natolu lainnya satu persatu dan memberkati mereka
dengan meletakkan ulos di atas bahu atau saling memegang wajah,
sedang suhut dan unsur Dalihan Na Tolu lainnya memegang wajah
pengurus gereja. Setelah gondang ini selesai, maka pengurus gereja
menutup kegiatan margondang mereka dengan meminta kepada
pargonsi gondang Hasahatan tu sitiotio. Semua unsur : Dalihan Na Tolu
menari di tempat dan kemudian mengucapkan horas sebanyak 3 kali.
Kegiatan margondang selanjutnya diisi oleh pihak hasuhutan yang
meminta gondang Mangaliat kepada pargonsi. Semua suhut berbaris
menari mengelilingi kuda sebanyak 3 kali, yang disambut oleh pihak
boru dengan gerakan mundur. Gerakan tangan sama seperti gerak yang
dilakukan oleh pengurus gereja pada waktu mereka menari gondang
Mangaliat. Setelah gondang ini selesai maka suhut mendatangi pihak
boru dan memberkati mereka dengan memegang kepala boru atau
meletakkan ulos di atas bahu boru.Sedangkan boru memegang wajah
suhut.
Setelah hasuhutan selesai menari pada gondang Mangaliat, maka
menarilah dongan sabutuha juga dengan gondang Mangaliat, dengan
memberikan beras si pir ni tondi kepada suhut. Kemudian mangaliatlah
(mengelilingi borotan) pihak boru sambil memberikan beras atau uang.
Lagi giliran pihak hula-hula untuk mangaliat. Pihak hula-hula selain
memberikan beras atau liang, mereka juga memberikan ulos kepada
semua keturunan orangtua yang meninggal (baik anak laki-laki dan anak
perempuan). Ulos yang diberikan hula-hula kepada suhut itu merupakan
ulos holong.
Biasanya setelah keturunan yang meninggal ini menerima ulos yang
diberikan hulahula, lalu mereka mengelilingi sekali lagi borotan.
Kemudian pihak ale-ale yang mangaliat, juga memberikan beras atau
uang. Dan kegiatan gondang ini diakhiri dengan pihak parhobas dan
naposobulung yang menari. Pada akhir dari setiap kelompok yang
menari selalu dimintakan gondang Hasahatan atau sitio-tio dan
mengucapkan horas sebanyak 3 kali.
Pada saat setiap kelompok Dalihan Na Tolu menari, ada juga yang
mengadakan pembagian jambar, dengan memberikan sepotong daging
yang diletakkan dalam sebuah piring dan diberikan kepada siapa yang
berkepentingan. Sementara diadakan pembagian jambar, kegiatan
margondang terus berlanjut. Setelah semuanya selesai menari, maka
acara diserahkan kepada pengurus gereja, karena merekalah yang akan
menurup upacara ini. Lalu semua unsur Dalihan Na Tolu mengelilingi
peti mayat yang tertutup. Di mulai acara gereja dengan bernyanyi,
berdoa, penyampaian firman Tuhan, bernyanyi, kata sambutan dari
pengurus gereja, bernyanyi dan doa penutup. Kemudian peti mayat
dipakukan dan siap untuk dibawa ke tempat penguburannya yang
terakhir yang telah dipersiapkan sebelumnya peti mayat diangkat oleh
hasuhutan dibantu dengan boru dan dong an sahuta, sambil diiringi
nyanyian gereja yang dinyanyikan oleh hadirin sampai ke tempat
pemakamannya. Acara pemakaman diserahkan sepenuhnya kepada
pengurus gereja. Setelah selesai acara pemakaman, kembalilah semua
yang turut mengantar ke rumah duka.
3. Acara Sesudah Upacara Kematian.
Sesampainya pihak suhut , hasuhutan, boru, dongan sabutuha, hula-
hula di rumah duka, maka acara selanjutnya adalah makan bersama.
Pada saat itulah kuda yang diborotkan tadi sudah dapat dilepaskan dan
ternak (babi) yang khusus untuk makanan pesta atau upacara yang
dibagikan kepada semua yang hadir. Pembagian jambar ini dipimpin
langsung oleh pengetua adat. Tetapi terdapat berbagai variasi pada
beberapa tempat yang ada pada masyarakat batak toba. Salah satu
uraian yang diberikan dalam pembagian jambar ini adalah sebagai
berikut:
Kepala untuk tulang
Telur untuk pangoli
Somba-somba untuk bona tulang
satu tulang paha belakang untuk bona ni ari
Satu tulang belakang lainnya untuk parbonaan
Leher dan sekerat daging untuk boru
Setelah pembagian jambar ini selesai dilaksanakan maka kepada setiap
hulahula yang memberikan ulos karena meninggal saur matua orang tua
ini, akan diberikan piso yang disebut pasahatkhon piso-piso, yaitu
menyerahkan sejumlah uang kepada hula-hula, jumlahnya menurut
kedudukan masing-masing dan keadaan.
Bilamana seorang ibu yang meninggal saur matua maka diadakan
mangungkap hombung (buha hombung), yang dilakukan oleh hula-hula
dari ibu yang meninggal, biasanya dijalankan oleh amana posona (anak
dari ito atau abang adik yang meninggal). Buha Hombung artinya
membuka simpanan dari ibu yang meninggal. Hombung ialah suatu
tempat tersembunyi dalam rumah, dimana seorang ibu biasanya
menyimpan harta keluarga ; pusaka, perhiasan, emas dan uang.
Harta kekayaan itu diminta oleh hula-hula sebagai kenang-kenangan,
juga sebagai kesempatan terakhir untuk meminta sesuatu dari simpanan
borunya setelah selesai mangungkap hombung, maka upacara ditutup
oleh pengetua adat. Beberapa hari setelah selesai upacara kematian
saur matua, hula-hula datang untuk mangapuli (memberikan
penghiburan) kepada keluarga dari orang yang meninggal saur matua
dengan membawa makanan berupa ikan mas. Yang bekerja
menyedikan keperluan acara adalah pihak boru.
Acara mangapuli dimulai dengan bernyanyi, berdoa, kata-kata
penghiburan setelah itu dibalas (diapu) oleh suhut. Setelah acara ini
selesai, maka selesailah pelaksanaan upacara kematian saur matua.
Latar belakang dari pelaksanaan upacara kematian saur matua ini
adalah karena faktor adat, yang harus dijalankan oleh para keturunan
orang tua yang meninggal tersebut. Pelaksanaan upacara ini juga
diwujudkan sebagai penghormatan kepada orang tua yang meninggal,
dengan harapan agar orang tua tersebut dapat menghormati
kelangsungan hidup dari para keturunannya yang sejahtera dan damai.
Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara manusia yang masih
hidup dengan para kerabatnya yang sudah meninggal masih ada
hubungan ini juga menentukan hidup manusia itu di dunia dan di akhirat.
Sebagai salah satu bentuk aktivitas adat , maka pelaksanaan upacara
ini tidak terlepas dari kehadiran dari unsur-unsur Dalihan Natolu yang
memainkan peranan berupa hak dan kewajiban mereka. Maka dalihan
natolu inilah yang mengatur peranan tersebut sehingga prilaku setiap
unsur khususnya dalam kegiatan adat maupun dalam kehidupan sehari-
hari tidak menyimpang dari adat yang sudah ada.

Anda mungkin juga menyukai