Meninggal
Kematian merupakan peristiwa alami yang harus dialami oleh semua makhluk hidup
termasuk manusia. Perbedaannya antara yang satu dengan yang lain adalah ada yang berumur
pendek, ada yang berumur panjang. Demikian pula sejarah kehidupan manusia, ada yang
berumur ratusan tahun ada pula yang meninggal sewaktu di dalam kandungan, ada yang
begitu lahir ke dunia ini meninggal, ada yang didalam usia sekolah, remaja, dewasa, baru
berumah tangga, dan seterusnya. Bagi orang batak, peristiwa meninggal, dibagi dalam dua
bangian besar yaitu: Peristiwa seseorang yang meninggal sebagai Duka; dan peristiwa
meninggal yang dianggap sebagai Suka Cita.
Kriteria kedua perstiwa ini masih dibagi lagi dalam beberapa status yaitu:
1. Sebagai Duka (Tilaha); secara umum, semua orang yang meninggal di kala orang tuanya
masih hidup, disebut tilaha. Orang tuanya disebut tilahaon. Ada tilahaon dimana anaknya
yang meninggal belum menikah. Ada yang disebut Tilahaon Matua. Yaitu seseorang yang
kehilangan anak (meninggal), dimana anaknya yang meninggal tersebut sudah berumah
tangga, atau sudah punya cucu. Orang tua tersebut disebut Tilahaon Matua
2. Suka Cita; Seseorang yang meninggal dikala anaknya sudah menikah semua dan sudah
selesai didalam adat, hingga punya cucu dan cicit, dan tidak ada diantara keturunannya
meninggal mendahului dia.
Menurut sisi pandang adat batak, ada tingkatan status adat kematian.
a. Tilaha, kematian yang tidak diingini orang batak tingkat statusnya, mati bayi, mati anak
muda, mati muda, mati sudah berumah tangga tapi anaknya masih kecil (mate ponggol)
b. Meninggal pada saat anak-anaknya belum semuanya berumah tangga, terutama anak laki-
laki disebut Sarimatua
c. Meninggal pada saat semua anaknya laki dan perempuan sudah menikah dan sudah selesai
dalam adat disebut Saur Matur
d. Meninggal setelah punya cucu dari semua anaknya, bahkan sudah punya cicit, dan tidak
ada diantara keturunanya meninggal mendahului dia, serta didukung perekonomian anaknya
yang sudah mandiri, disebut; Saur Matua Mauli Bulung
2. Tompas Tataring/Mate Ponggol., sudah berumah tangga, sudah punya anak kecil. Yang
berduka adalah orang tuanya, tulangnya, anak istrinya dan mertuanya/hula-hula. Adatnya
sangat sederhana, Apabila yang meninggal adalah perempuan, maka yang memberikan saput
adalah hula-hula (saudara laki-laki dari yang meninggal), sedangkan yang memberikan
tujung kepada suaminya yang meninggal adalah tulangnya. Apabila yang meninggal adalah
laki-laki, maka yang memberikan saput kepada yang meninggal adalah tulangnya, sedangkan
yang memberi tujung adalah saudara laki-laki dari istri yang meninggal. Pelaksanaan adatnya
tidak begitu ketat terutama dalam pemberian piso-piso/lomba parjambaran diberikan sebagai
pemberitahuan resmi kepada hula-hula/tulang bahwa bilang-bilangan mereka sudah
berkurang. Diberikan pada waktu buka tujung.
3. Sari Matua. Orang yang meninggal pada saat anaknya sudah dewasa dan sebahagian
sudah menikah, atau sudah semua menikah tetapi belum selesai dalam adat. Adat pada situasi
seperti ini sangat rumit apabila hula-hula anaknya yang belum selesai dalam adat menuntut
adat putrinya. Karena pada perinsipnya adat kematian merupakan adat terakhir dalam sejarah
kehidupan seseorang dan adat dari anaknya, kepada hula-hula parumaennya, merupakan
tanggung jawab dari orangtuanya yang sudah meninggal.
Pada pelaksanaan adat seperti inilah seorang raja adat harus hati-hati mengajukan konsep
ulaon adat kematian. Pada saat seperti ini pembicaraan biasanya agak alot, terutama apabila
konsep adat yang diutarakan adat na gok karena melihat semua anaknya sudah berkeluarga.
Bagi salah satu orang tua yang hidup, masih dikenakan Tujung.
Ada sebagian orang yang meningkatkan adat yang meninggal seperti ini dengan adat nagok,
dengan ulos kepada yang menduda atau menjanda Sappe Tua.
Hati-hati peningkatan adat seperti ini. Terutama anaknya yang belun menikah adalah laki-
laki. Artinya, yang diberi ulos sappe tua, tidak boleh lagi menerima dan member ulos
passamot. Karena dianggab sudah selesai hak dan kewajiban adatnya. Jadi kita sebagai
generasi muda orang Batak agar selektip di dalam perlakuan adat.
Ironisnya usulan seperti ini, datangnya dari orang yang sudah lanjut usia dengan alasan
supaya jaga ulaon I(adatnya supaya bedrmakna), bukas soal jagar. Tetapi rule, hukumnya
atau kepatutannya. Sebagai hula-hula, kalau ternyata anaknya yang meninggal, kawin sama
boru tulangnya, yang memberikan ulos Sappe Tua tadi. Pantas kah tulangnya tidak
memberi ulos passamot? Atau sebaliknya, pantas kah tulangnya sebagai hula-hula
memberikan ulos passamot? Jadi Raja adat dan hula-hula, hendaknya memikirkan anaknya
yang meninggal. Kalau raja adat, dan hula-hula, tidak atau tidak terpikirkan sampai kesitu,
maka jadilah Raja Adat si mata hepengon, Hula-hula oleh berenya, menjadi tulang sattabi
hita on Maka moral raja dan hula-hula menjadi tanda Tanya.
4. Saur Matua. Orang yang meninggal pada situasi anak-anaknya sudah menikah semua dan
sudah selesai dalam adat. Dan sudah punya cucu dari anak laki-laki dan anak perempuan.
Pelaksanaan adat dalam situasi yang demikian sudah agak gampang, hanya kesulitannya
adalah dibidang dana/biaya. Kalau dahulu, biaya semacam ini merupakan sindikasi dari anak-
anaknya serta keponakan-keponakan yang meninggal. Sehingga dahulu adat seperti ini jarang
tidak terlaksana, karena adat semacam ini merupakan kebanggaan satu ompung.
Demikian juga pihak tulang dari yang meninggal, akan menjadi suka cita, karena peran
tulang dalam adat tersebut sangat penting dan berhak atas buka HOMBUNG dalam adat
Toba Holbung, Di Humbang Pada umumnya dan Dairi disebut LOMBA yang menurut
aslinya sesuai dengan angka 48, 24, 12.yang paling kecil nilainya adalah 6. Angka ini
dikaitkan dengan filosofi nama pohon, yang paling tinggi adalah SARUMARNAEK, yang
kedua adalah SANDUDUK yang lain(penulis lupa). Bagi yang menjanda atau
menduda, tidak ada lagi ulos tujung, tetapi ulos sampe tua.
5. Mauli Bulung. Seseorang yang meninggal dikala semua anak sudah menikah dan selesai
dalam adat dan bahkan sudah punya cicit baik dari anak laki-laki, maupun dari anak
perempuan, dan semua anaknya dan keturunannya mempunyai kemampuan ekonomi yang
cukup (memiliki hasangapon, hagabeon hamoraon) Kematian semacam ini juga merupakan
dambaan seseorang orang tua maupun anak-anaknya dan keluarga besar se-ompung, maupun
pihak hula-hula dan tulang.
Pada adat kematian yang saurmatua dan mauli bulung, keluarga akan memberikan jambar
LOMBA juga dikaitkan dengan angka 48, 24, 12 dan tidak ada lagi Ulos Tujung tetapi
Sampe Tua Dalam situasi orang meninggal seperti ini, kaitan lomba dengan angka agak
ketat
Catatan:
2. Aturan pembagian besarnya lomba kepada hula-hula dan tulang, kalau laki yang
meninggal, tulang mendapat satu bagian, hula-hula dapat setengah, kalau perempuan yang
meninggal hula-hula mendapatkan satu sedangkan tulang dapat setengah
3. Seorang yang meninggal, walau pun sudah punya cucu, tetapi orang tuanya masih hidup
(Tilahaon Matua), Kesedihan orang tua yang meninggal harus di perhatikan. Bagi orang lain
terkadang baru sari matua sudah dibunyikan gondang/alat musik dan manortor untuk
menyambut kedatangan hula-hula dalam acara adat. Dalam hal pengertian pemberian sappe
tua perlu diperhatikan kata-kata yang berbunyi nilangka to jolo, tinailihon tu pudi
pemberian ulos sappe tua sering berdasarkan atas nilai materi yang dimiliki keluarga.
Sejalan dengan itu atas permintaan keluarga dengan alasan agar sangap, sebab yang
meninggal orang terpandang, kaya, tokoh. Pada hal masih ada dua atau satu orang anaknya
yang belum menikah, maka artinya, apabila anak tersebut menikah, si duda atau si janda tidak
akan bisa menerima ulos pansamot dan inilah yang juga perlu dipikirkan oleh hula-hula
dan tulang. Kalau kemudian sianak manunduti mengambil boru tulang dari mamaknya atau
boru tulang dari ompungnya. Yang menjadi pertanyaan apakah mereka tidak memberikan
ulos pansamot kepada ibotonya? Kecuali anaknya sudah sewajarnya berumahtangga dilihat
dari sisi umur maupun kemapanan ekonomi, mungkin pertimbangannya, kalau selamanya
tidak akan berumahtangga, maka jangan lah menjadi penghalang bagi adat pasangaphon hula-
hula yang terakhir dari orang tuanya yang meninggal.
2. Setelah ada kesepakatan, maka konsep adat yang akan dilaksanakan, disampaikan kepada
tetua adat untuk mendapatkan pengarahan sesuai konsep yang sudah disepakati. Di sinilah
fungsi raja adat/tetua adat dalam menyikapi konsep adat yang diterima, apabila ada
kekurangan dan kelebihan tentunya tetua adat/ raja adat mempunyai fungsi untuk
menyempurnakan. Setelah tidak ada masalah, undangan diberikan kepada pihak tulang dan
hula-hula serta kepada tetaua adat. Apabila sudah saur matua dan mauli bulung, undangan
disampikan juga kepada hula-hula, buna tulang, hula-hula namarhaha-anggi dan hula-hula
anak manjae serta tulang rorobot/narobot.
3. Setelah hula hula hadir semua, antara hasuhuton dengan pihak hula-hula duduk berhadapan
dan hasuhuton terlebih dahulu mengecek kehadiran semua undangan terutama hula-hula dan
tulang serta tulang rorobot.
4. Kata sambutan dari hasuhuton (hata huhuasi) atas kehadiran semua undangan terutama atas
kehadiran horong ni hula-hula. Pada akhir huhuasi, diberitahukan maksud dan tujuan
undangan. Dan minta nasehat terhadap rencana yang diutarakan
5. Kalau sudah ada kesepakatan antara hasuhuton, horong ni hula-hula serta dongan sahuta,
tentang konsep adat yang akan dilaksanakan terhadap yang meninggal, maka pada hari yang
sudah ditentukan dalam pelaksanaan adat, tinggal mengikuti konsep yang sudah disepakati
tadi. Parrapoton.
Bagi sebagian daerah, pembicaraan konsep adat dengan hula-hula, sudah dianggap
parrapoton. Akan tetapi disebagian daerah, parrapoton diadakan pada saat pembukaan
pelaksanaan adat, dipimpin oleh seorang raja adat yang sudah punya cucu.
Raja adat tersebut akan memperkenalkan diri di depan halayak ramai
dan keluarga yang kemalangan; Au na di patua di adat di
.(huta .atau di parserahan.) on, na margoar
marga .., goar maroppuni, Oppu .marga ..Manguluhon
parrapoton di partua ni amanta/inanta naung jumolo monding on dst.
Setelah diketok tiga kali dengan logam, maka dibagikan lah uang
yang diatas piring tadi kepada: hula-hula bona tulang, hula-hula
namarhaha anggi, hula-hula anak majae, tulang rorobot. Yang terakhir
kepada tulang dan hula-hula. Beras yang diatas piring, di taburkan ke
kepalanya semua keturunan yang meninggal, secara berurutan dan
penutup, ditaburkan tiga kali secara sporadis. Maka pelaksanaan adat
sah untuk dilaksanakan.
Adat saur matua dan mauli bulung seperti ini, sudah dikatakan tu
dolok na timbo, di atas ni batu napir na martindi-tindi, di bona ni
hariara, na marurat tu toru marbulung tu ginjang, mardakka tu
lambung Dan perlakuan adat disini, hasuhuton menebar uang kepada
halayak, terutama kepada hula-hula (Mangalindakhon na gok) Ulaon
na gok di namonding.
Jika kemudian si anak menjadi seorang yang berada, dan dia memiliki
Hasangapon, Hagabeon, dan Hamoraon ingin berbuat yang baik
kepada orang tuanya, atau pesta adat yang lain, maka tidak ada lagi
penghalang. Hula-hula atau tulang tidak menuntut hutang adat dari
orang tuanya yang sudah lebih dulu meninggal.