DISUSUN OLEH :
UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
2016
0
ANGGOTA : MITHA NOVI QUEENTYA (15-113)
1
KATA ..PENGANTAR
Assalamualaikum wr, wb
Puji syukur kehadirat ALLAH SWT, yang telah memberi kekuatan dan kesempatan
kepada kami, sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan waktu yang di harapkan wa-
laupun dalam bentuk yang sangat sederhana, dimana makalah ini membahas tentang
HERPES TIPE I &HIV dan kiranya makalah ini dapat meningkatkan pengetahuan kita.
Kami ucapkan terima kasih kepada dosen kami, Bapak Dr. Almurdi, M.Kes, DMM
yang telah membimbing kami dalam pembuatan makalah ini. Dan tak lupa kami ucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah
ini.
Kami sangat menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih sangat min-
im,sehingasaran dari dosen pengajar serta kritikan dari semua pihak masih kami harapkan
demi perbaikan laporan ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata pengantar.......................................................................................2
Daftar isi...............................................................................................3
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang ...........................................................................4
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................5
1.3 Tujuan Pembuatan Makalah........................................................6
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Virus Herpes.......................................................................7
2.2 Klasifikasi Virus Herpes. ................................................................7
2.3 Etiologi Virus Herpes......................................................................7
2.4 Manifestasi klinis Virus Herpes. ....................................................8
2.5 Pemeriksaan penunjang Virus Herpes. ...........................................9
2.6 Penatalaksanaan medisVirus Herpes..............................................11
2.7 Diagnosa keperawatan...................................................................12
2.8 Rencana keperawatan virus herpessimpleks..................................13
2.9 Pengertian AID..............................................................................15
2.10 Pengertian HIV............................................................................15
2.11 Siklus hidup HIV.........................................................................15
2.12 Penularan penyakit HIV...............................................................16
2.13 patofisiologi virus HIV................................................................17
2.14 Sistem Tahapan Infeksi...............................................................19
Daftar Pustaka....................................................................................21
3
BAB I
PENDAHULUAN
Secara fisiologis HIV menyerang sisitem kekebalan tubuh penderitanya. Jika ditambah
dengan stress psikososial-spiritual yang berkepanjangan pada pasien terinfeksi HIV,
maka akan mempercepat terjadinya AIDS, bahkan meningkatkan angka kematian.
4
Menurut Ross (1997), jika stress mencapai tahap kelelahan (exhausted stage), maka
dapat menimbulkan kegagalan fungsi system imun yang memperparah keadaan pasien
serta mempercepat terjadinya AIDS. Modulasi respon imun penderita HIV/AIDS akan
menurun secara signifikan, seperti aktivitas APC (makrofag); Thl (CD4); IFN ; IL-2;
Imunoglobulin A, G, E dan anti-HIV. Penurunan tersebut akan berdampak terhadap
penurunan jumlah CD4 hingga mencapai 180 sel/ l per tahun.
Pada umumnya, penanganan pasien HIV memerlukan tindakan yang hampir sama.
Namun berdasarkan fakta klinis saat pasien control ke rumah sakit menunjukkan adan-
ya perbedaan respon imunitas (CD4). Hal tersebut menunjukkan terdapat factor lain
yang berpengaruh, dan factor yang diduga sangat berpengaruh adalah stress.
Perawat merupakan factor yang berperan penting dalam pengelolaan stress, khususnya
dalam memfasilitasi dan mengarahkan koping pasien yang konstruktif agar pasien
dapat beradaptasi dengan sakitnya.Selain itu perawat juga berperan dalam pemberian
dukungan social berupa dukungan emosional, informasi, dan material (Batuman, 1990;
Bear, 1996; Folkman Dan Lazarus, 1988).
5
laran virus HIV?
6
BAB II
PEMBAHASAN
7
2.4 Manifestasi Klinis Pielonefritis
a. Infeksi primer
Tempat predileksi VHS tipe I di daerah pinggang ke atas terutama di daerah mulut
dan hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi dapat terjadi secara
kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter gigi atau pada orang yang ser-
ing menggigit jari (herpetic whitlow).
Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kira-kira 3 minggu dan sering
disertai gejala sistemik, misalnya demam, malaise dan anoreksia, dan dapat
ditemukan pembengkakan kelenjar getah bening regional.
Kelainan klinis yang dijumpai berupa vesikel yang berkelompok di atas kulit yang
sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi seropurulen,
dapat menjadi krusta dan kadang-kadang mengalami ulserasi yang dangkal, biasanya
sembuh tanpa sikatriks.Pada perabaan tidak terdapat indurasi.Kadang-kadang dapat
timbul infeksi sekunder sehingga memberi gambaran yang tidak jelas.Umumnya
didapati pada orang yang kekurangan antibodi virus herpes simpleks.Pada wanita ada
laporan yang mengatakan bahwa 80% infeksi VHS pada genitalia eksterna disertai
infeksi pada serviks.
b. Fase laten
Fase ini berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi VHS dapat
ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis.
c. Infeksi rekurens
Infeksi ini berarti VHS pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan tidak aktif, dengan
mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala klin-
is.Mekanisme pacu itu dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hub-
ungan seksual dan sebagainya), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan
dapat pula timbul akibat jenis makanan dan minuman yang merangsang.Gejala klinis
yang timbul lebih ringan daripada infeksi primer dan berlangsung kira-kira 7 sampai
10 hari.Sering ditemukan gejala prodomal lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa
8
panas, gatal dan nyeri. Infeksi rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco)
atau tempat lain/tempat disekitarnya (non loco).
HSV disebarkan melalui kontak langsung antara virus dengan mukosa atau setiap keru-
sakan di kulit. Virus herpes tidak dapat hidup di luar lingkungan yang lembab dan
penyebaran infeksi melalui cara selain kontak langsung kecil kemungkinannya terjadi.
HSV memiliki kemmpuan untuk menginvasi beragam sel melalui fusi langsung dengan
membrane sel. pada infeksi aktif primer, virus menginvasi sel pejamu dan cepat
berkembang dengan biak, menghancurkan sel pejamu dan melepaskan lebih banyak
virion untuk menginfeksi sel-sel disekitarnya. Pada infeksi aktif primer, virus menye-
bar melalui saluran limfe ke kelenjar limfe regional dan menyebabkan limfadenopati.
Tubuh melakukan respon imun seluler dan humoral yang menahan infeksi tetapi tidak
dapat mencegah kekambuhan infeksi aktif. Setelah in feksi awal timbul fase laten.
Selama masa ini virus masuk ke dalam sel-sel sensorik yang mempersarafi daerah yang
terinfeksi dan bermigrasi disepanjang akson untuk bersembunyi di dalam ganglion
radiksdorsalis tempat virus berdiam tanpa menimbulkan sitotoksisitas atau gejala pada
manusia.
Pada percobaan Tzanck dengan pewarnaan Giemsa dapat ditemukan sel datia berinti
banyak dan badan inklusi intranuklear.
2. Punch Biopsy
Penatalaksanaan Medis
1. Virus Herpes Simpleks
Sampai saat ini belum ada terapi yang memberikan penyembuhan radikal, artinya tidak
ada pengobatan yang dapat mencegah episode rekurens secara tuntas. Pada lesi yang
dini dapat digunakan obat topikal berupa salep/krim yang mengandung preparat idok-
suridin (stoxil, viruguent, virunguent-P) dengan cara aplikasi, yang sering dengan inter-
val beberapa jam. Preparat asiklovir (zovirax) yang dipakai secara topical tampaknya
memberikan masa depan yang lebih cerah. Asiklovir ini cara kerjanya mengganggu rep-
likasi DNA virus. Klinis hanya bermanfaat bila penyakit sedang aktif.Jika timbul uls-
9
erasi dapat dilakukan kompres.Pengobatan oral berupa preparat asiklovir tampaknya
memberikan hasil yang lebih baik, penyakit berlangsung lebih singkat dan masa reku-
rensnya lebih panjang.Dosisnya 5 x 200 mg sehari selama 5 hari.Preparat isoprinosin
sebagai imunostimulator, efeknya ialah peningkatan imunitas seluler.Pengobatan paren-
teral dengan asiklovir terutama ditujukan kepada penyakit yang lebih berat atau jika
timbul komplikasi pada alat dalam.Begitu pula dengan preparat adenine arabinosid (vi-
tarabin).Interferon sebuah preparat glikoprotein yang dapat menghambat reproduksi vi-
rus juga dapat dipakai secara parenteral.Untuk mencegah rekurens, macam-macam
usaha yang dilakukan dengan tujuan meningkatkan imunitas seluler, misalnya pem-
berian preparat lupidon H (untuk VHS tipe I) dan lupidon G (untuk VHS tipe II) dalam
satu seri pengobatan.Pemberian levamisol dan isoprinosin atau asiklovir secara berkala
menurut beberapa penyelidik membeerikan hasil yang baik. Pemberian vaksinasi cacar
sekarang tidak dianjurkan lagi
Bila pada kehamilan timbul herpes geniitalis, perlu mendapat perhatian yang serius, ka-
rena melalui plasenta virus dapat sampai ke sirkulasi fetal serta dapat menimbulkan ke-
rusakan atau kematian pada janin. Infeksi neonatal mempunyai angka mortalitas 60% ,
separuh dari yang hidup, menderita cacat neurologik atau kelainan pada mata.
Kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa ensefalitis, keratokonjungtivitis, atau hep-
atitis; di samping itu dapat juga timbul lesi pada kulit. Beberapa ahli kandungan
mengambil sikap partus secara section caesaria bila pada saat melahirkan sang ibu
menderita infeksi ini. Tindakan ini sebaiknya dilakukan sebelum ketuban pecah atau
paling lambat enam jam setelah ketuban pecah. Di Amerika Serikat frekuensi herpes
neonatal adalah 1 per 7500 kelahiran hidup.Bila transmisi terjadi pada trimester I
cenderung terjadi abortus, sedangkan bila pada trimester II, terjadi prematuritas.Selain
itu, dapat terjadi transmisi pada saat intrapartum.
10
2.6 PROSES KEPERAWATAN
a. Biodata
Cantumkan semua identitas klien ( Herpes simpleks terjadi pada semua orang, sering
terjadi pada remaja dan dewasa
b. Keluhan Utama
Alasan yang sering membawa klien penderita herpes dating berobat ke rumah sakit
atau tempat pelayanan kesehatan lain adalah Nyeri ( Pada Herpes simpleks biasanya
nyeri terjadi pada lesi yang timbul )
Kembangkan pola PQRST pada setiap keluhan klien.Pada beberapa kasus, timbul lesi
/ vesikel berkelompok pada penderita yang mengalami demam atau penyakit yang
disertai peningkatan suhu tubuh atau penderita yang mengalami trauma fisik maupun
psikis.Penderita merasakan nyeri yang hebat, terutama pada area kulit yang mengala-
mi peradangan berat dan vesikulasi yang luas.
Sering diderita kembali oleh klien yang pernah mengalami penyakit herpes simpleks
atau memiliki riwayat penyakit seperti ini.
Biasanya, keluarga atau teman dekat anda Ada yang menderita herpes simpleks
f. Kebutuhan Psikososial
Perlu dikaji bagaimana konsep diri klien terutama tentang gambaran/ citra diri dan
harga diri.Sering kali kita jumpai gangguan konsep diri pada klien.Disamping itu, per-
lu dikaji tingkat kecemasan klien dan informasi yang dimiliki tentang penyakit ini.
Reaksi yang akan timbul adalah :
11
b. Menarik diri dari kontak social.
Dengan adanya nyeri klien akan mengalami gangguan tidur / istirahat dan juga aktivi-
tas. Perlu dikaji juga tentang kebersihan diri klien dengan cara perawatan diri; apakah
alat-alat mandi / pakaian bercampur dengan orang lain? Seharusnya, alat mandi / han-
duk dan pakaian tidak bercampur dengan orang lain.
h. Pemeriksaan Fisik
Pada klien dengan herpes simpleks keadaan umum klien bergantung pada luas, lokasi
timbulnya lesi, dan daya tahan tubuh klien.Pada kondisi awal dapat terjadi pening-
katan suhu tubuh dan perubahan tanda-tanda vital lainnya.Pada pengkajian kulit,
ditemukan adanya vesikel berkelompok yang nyeri, edema disekitar lesi, dan dapat
pula ulkus pada infeksi sekunder.Pada pemeriksaan genitalia pria daerah yang perlu
diperhatikan adalah bagian glans penis, btang penis, uretra dan daerah
anus.Sedangkan pada wanita daerah yang perlu diperhatikan adalah labia mayor dan
minor, klitoris, intratus vaginal dan serviks.Jika timbul lesi, cata jenis, bentuk, ukuran
/ luas, warna dan keadaan lesi.Palpasi kelenjar limfe regional, periksa adanya pem-
besaran.
12
2.8 Rencana KeperawatanVirus Herpes Simpleks
No Diagnosa Perencanaan Keperawatan
Keperawatan Tujuan dan Kriteria Rencana Keperawatan
Hasil
13
Klien merasakan, berpikir dan
mengatakan dan memandangnya dirinya.
menunjukkan Jaga privasi dan
penerimaan atas linkungan individu.
penampilannya. Berikan informasi yang
Menginginkan dapat dipercaya dan jelas
kemampuan informasi yang telah
untuk diberikan.
melakukan Tingkatkan interaksi so-
perawatan diri. cial.
Melakukan pola Dorong klien dan keluar-
penanggulangan ga untuk menerima
yang baru. keadaan.
Dorong klien untuk
berbagi rasa, masalah,
kekhawatiran dan persep-
sinya.
3. Risiko penularan in- Tujuan : Jelaskan tentang penyakit
feksi berhubungan herpes simpleks,
Setelah dilakukan
dengan pemanjanan penyebab, cara penulran
tindakan keperawatan
melalui kontak (lang- dan akibat yang ditim-
tidak adanya
sung, tidak langsung bulkan.
penularan infeksi.
dan kontak droplet). Anjurkan klien untuk
Kriteria hasil :
menghentikan kegiatan
Klien
hubungan seksual selama
menyebutkan
sakit.
perlunya isolasi
Beri penjelaan tentang
sampai ia tidak
pentingnya melakukan
lagi menularkan
kegiatan seksual dengan
infeksi.
satu orang dan pasangan
Klien dapat
tidak terinfeksi.Lakukan
menjelaskan
tindakan pencegahan
cara penularan
yang sesuai.
penyakitnya.
14
PEMBAHASAN HIV
Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang memperlemah keke-
balan pada tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan terhadap infeksi
oportunistik ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat
memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disem-
buhkan.
2.10 PengertianHIV
HIV adalah retrovirus yang biasanya menyerang organ-organ vital sistem kekebalan manusia,
seperti sel T CD4+ (sejenis sel T), makrofag, dan sel dendritik.HIV merusak sel T CD4+
secara langsung dan tidak langsung, padahal sel T CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan
tubuh dapat berfungsi baik. Bila HIV telah membunuh sel T CD4+ hingga jumlahnya me-
nyusut hingga kurang dari 200 per mikroliter (L) darah, maka kekebalan di tingkat sel akan
hilang, dan akibatnya ialah kondisi yang disebut AIDS. Infeksi akut HIV akan berlanjut men-
jadi infeksi laten klinis, kemudian timbul gejala infeksi HIV awal, dan akhirnya AIDS; yang
diidentifikasi dengan memeriksa jumlah sel T CD4+ di dalam darah serta adanya infeksi ter-
tentu
HIV memiliki diameter 100-150 nm dan berbentuk sferis (spherical) hingga oval karena ben-
tuk selubung yang menyelimuti partikel virus (virion).Selubung virus berasal dari membran
sel inang yang sebagian besar tersusun dari lipida.Di dalam selubung terdapat bagian yang
disebut protein matriks.
Bagian internal dari HIV terdiri dari dua komponen utama, yaitu genom dan kapsid.Genom
adalah materi genetik pada bagian inti virus yang berupa dua kopi utas tunggal
RNA.Sedangkan, kapsid adalah protein yang membungkus dan melindungi genom.
15
Berbeda dengan sebagian besar retrovirus yang hanya memiliki tiga gen (gag, pol, dan env),
HIV memiliki enam gen tambahan (vif, vpu, vpr, tat, ref, dan nef).Gen-gen tersebut disandi-
kan oleh RNA virus yang berukuran 9 kb. Kesembilan gen tersebut dikelompokkan menjadi
tiga kategori berdasarkan fungsinya, yaitu gen penyandi protein struktural (Gag, Pol, Env),
protein regulator (Tat, Rev), dan gen aksesoris (Vpu hanya pada HIV-1, Vpx hanya pada
HIV-2; Vpr, Vif, Nef).
Seperti virus lain pada umumnya, HIV hanya dapat bereplikasi dengan memanfaatkan sel
inang. Siklus hidup HIV diawali dengan penempelan partikel virus (virion) dengan reseptor
pada permukaan sel inang, di antaranya adalah CD4, CXCR5, dan CXCR5. Sel-sel yang
menjadi target HIV adalah sel dendritik, sel T, dan makrofaga. Sel-sel tersebut terdapat pada
permukaan lapisan kulit dalam (mukosa) penis, vagina, dan oral yang biasanya menjadi tem-
pat awal infeksi HIV.Selain itu, HIV juga dapat langsung masuk ke aliran darah dan masuk
serta bereplikasi di noda limpa.
Setelah menempel, selubung virus akan melebur (fusi) dengan membran sel sehingga isi
partikel virus akan terlepas di dalam sel. Selanjutnya, enzim transkriptase balik yang dimiliki
HIV akan mengubah genom virus yang berupa RNA menjadi DNA. Kemudian, DNA virus
akan dibawa ke inti sel manusia sehingga dapat menyisip atau terintegrasi dengan DNA
manusia. DNA virus yang menyisip di DNA manusia disebut sebagai provirus dan dapat ber-
tahan cukup lama di dalam sel. Saat sel teraktivasi, enzim-enzim tertentu yang dimiliki sel
inang akan memproses provirus sama dengan DNA manusia, yaitu diubah menjadi mRNA.
Kemudian, mRNA akan dibawa keluar dari inti sel dan menjadi cetakan untuk membuat pro-
tein dan enzim HIV. Sebagian RNA dari provirus yang merupakan genom RNA virus. Bagi-
an genom RNA tersebut akan dirakit dengan protein dan enzim hingga menjadi virus utuh.
Pada tahap perakitan ini, enzim protease virus berperan penting untuk memotong protein pan-
jang menjadi bagian pendek yang menyusun inti virus.Apabila HIV utuh telah matang, maka
virus tersebut dapat keluar dari sel inang dan menginfeksi sel berikutnya. Proses pengeluaran
virus tersebut melalui pertunasan (budding), di mana virus akan mendapatkan selubung dari
membran permukaan sel inang.
16
2.13 Penularan Penyakit HIV
HIV hanya dapat hidup di dalam tubuh manusia yang hidup dan hanya bertahan beberapa jam
saja di luar tubuh.
HIV tidak dapat menular melalui air ludah, air mata, muntahan, kotoran manusia dan air
kencing, walaupun jumlah virus yang sangat kecil terdapat di cairan ini.HIV tidak ditemukan
di keringat.
HIV tidak dapat menembus kulit yang utuh dan tidak menyebar melalui sentuhan dengan
orang yang terinfeksi HIV, atau sesuatu yang dipakai oleh orang terinfeksi HIV; saling
penggunaan perabot makan atau minum; atau penggunaan toilet atau air mandi bergantian.
Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagi-
na atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa
mulut pasangannya.Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hub-
ungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada
risiko hubungan seks biasa dan seks oral.Seks oral tidak berarti tak berisiko karena HIV dapat
masuk melalui seks oral reseptif maupun insertif.Kekerasan seksual secara umum mening-
katkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi
trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.
Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan
gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya borok alat kelamin, dan juga kare-
na adanya penumpukan sel yang terinfeksi HIV (limfosit dan makrofaga) pada semen dan
sekresi vaginal.Penelitian epidemiologis dari Afrika Sub-Sahara, Eropa, dan Amerika Utara
menunjukkan bahwa terdapat sekitar empat kali lebih besar risiko terinfeksi AIDS akibat
adanya borok alat kelamin seperti yang disebabkan oleh sifilis dan/atau chancroid.Resiko ter-
sebut juga meningkat secara nyata, walaupun lebih kecil, oleh adanya penyakit menular sek-
sual seperti kencing nanah, infeksi chlamydia, dan trikomoniasis yang menyebabkan
pengumpulan lokal limfosit dan makrofaga.
17
Transmisi HIV bergantung pada tingkat kemudahan penularan dari pengidap dan kerentanan
pasangan seksual yang belum terinfeksi.Kemudahan penularan bervariasi pada berbagai tahap
penyakit ini dan tidak konstan antarorang. Beban virus plasma yang tidak dapat dideteksi tid-
ak selalu berarti bahwa beban virus kecil pada air mani atau sekresi alat kelamin. Setiap 10
kali penambahan jumlah RNA HIV plasma darah sebanding dengan 81% peningkatan laju
transmisi HIV.Wanita lebih rentan terhadap infeksi HIV-1 karena perubahan hormon, ekologi
serta fisiologi mikroba vaginal, dan kerentanan yang lebih besar terhadap penyakit seksual.
Orang yang terinfeksi dengan HIV masih dapat terinfeksi jenis virus lain yang lebih memat-
ikan.
Alur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia,
dan resipien transfusi darah dan produk darah. Berbagi dan menggunakan kembali jarum sun-
tik (syringe) yang mengandung darah yang terkontaminasi oleh organisme biologis penyebab
penyakit (patogen), tidak hanya merupakan risiko utama atas infeksi HIV, tetapi juga hepati-
tis B dan hepatitis C. Berbagi penggunaan jarum suntik merupakan penyebab sepertiga dari
semua infeksi baru HIV dan 50% infeksi hepatitis C di Amerika Utara, Republik Rakyat
Cina, dan Eropa Timur. Resiko terinfeksi dengan HIV dari satu tusukan dengan jarum yang
digunakan orang yang terinfeksi HIV diduga sekitar 1 banding 150. Post-exposure prophylax-
is dengan obat anti-HIV dapat lebih jauh mengurangi risiko itu.
Pekerja fasilitas kesehatan (perawat, pekerja laboratorium, dokter, dan lain-lain) juga dikha-
watirkan walaupun lebih jarang.Jalur penularan ini dapat juga terjadi pada orang yang mem-
beri dan menerima rajah dan tindik tubuh.Kewaspadaan universal sering kali tidak dipatuhi
baik di Afrika Sub Sahara maupun Asia karena sedikitnya sumber daya dan pelatihan yang
tidak mencukupi. WHO memperkirakan 2,5% dari semua infeksi HIV di Afrika Sub Sahara
ditransmisikan melalui suntikan pada fasilitas kesehatan yang tidak aman. Oleh sebab itu,
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, didukung oleh opini medis umum dalam masa-
lah ini, mendorong negara-negara di dunia menerapkan kewaspadaan universal untuk
mencegah penularan HIV melalui fasilitas kesehatan.
Resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil di negara maju.Di negara
maju, pemilihan donor bertambah baik dan pengamatan HIV dilakukan. Namun demikian,
18
menurut WHO, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap darah yang aman dan
antara 5% dan 10% infeksi HIV dunia terjadi melalui transfusi darah yang terinfeksi.
Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal,
yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan.Bila tidak ditangani, tingkat
penularan dari ibu ke anak selama kehamilan dan persalinan adalah sebesar 25%. Namun
demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan
cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya sebesar 1%. Sejumlah faktor dapat memen-
garuhi risiko infeksi, terutama beban virus pada ibu saat persalinan (semakin tinggi beban
virus, semakin tinggi risikonya).Menyusui meningkatkan risiko penularan sebesar 4%.
Pada bulan September tahun 2005 World Health Organization (WHO) mengelompokkan
tahapan infeksi dan kondisi AIDS untuk pasien dengan HIV-1 sebagai berikut :
19
BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Herpes simpleks merupakan penyakit infeksi yang disebabkan virus herpes simpleks/
virus hominis. Herpes simpleks terbagi 2 tipe, yaitu tipe 1 dan tipe 2. yang ditandai oleh
adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada
daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun
rekurens.
AIDS adalah suatu kumpulan gejala penyakit kerusakan system kekebalan tubuh;
bukan penyakit bawaan tetapi diddapat dari hasil penularan.
4.2 Saran
Lebih baik mencegah daripada mengobati. Oleh karena itu jagalah kesehatan dengan
cara pola hidup sehat, dan segeralah periksa jika ada tanda-tanda yang mengarah pada penya-
kit herpes.
HIV dapat dicegah dengan tidak melakukan hubungan setubuh dengan orang yang bukan
pasangan kita dan hindari penggunaan narkoba menggunakan jarum suntik secara bergantian.
20
DAFTAR PUSTAKA
http://chapung-vierche.blogspot.com/2011/11/askep-herpes.html
http://www.scribd.com/doc/39580178/ASKEP-HERPES-DAN-TINEA
http://www.indonesiaindonesia.com/f/11323-herpes-genitalis/
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://www.healthscout.com/
ency/68/162/main.html
http://medicastore.com/penyakit/230/Herpes_Genitalis.html
Widoyono. 2005. Penyakit Tropis: Epidomologi, penularan, pencegahan, dan pember-
antasannya.. Jakarta: Erlangga Medical Series
Djuanda, adhi.2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
21