NASKAH PUBLIKASI
Disusun Oleh :
FAIZAL RAMADAN SYAH PUSADAN
S 300 110 029
pensiun merupakan pola hidup atau masa baru saja atau hampir memasuki masa
transisi dari pola hidup yang sudah menjadi pensiun. Istilah tersebut muncul untuk
rutinitas sebelumnya ke pola hidup yang baru individu yang mengalami gangguan saat
sehingga pensiun selalu menyangkut memasuki waktu pensiun yaitu stres, depresi,
perubahan peran, dari bekerja menjadi tidak tidak bahagia, merasa kehilangan harga diri
bekerja atau terjadinya perubahan keinginan dan kehormatan. Pensiun memutuskan
dan nilai seperti rasa ingin dihargai dan seseorang dari aktivitas yang biasa dilakukan,
dihormati . Post Power Syndrome merupakan gejala
Sebagian orang dalam menghadapi masa pasca kekuasaan dimana sebagian individu
pensiun memiliki pandangan positif, namun merasakan kehilangan status sosial, jabatan,
ada sebagian yang mempersepsikan pensiun kekuasaan, penghasilan dan kehormatan.
secara negatif. dengan beranggapan bahwa Post Power Syndrome terjadi karena
pensiun merupakan akhir dari segalanya, beberapa faktor antara lain penurunan
individu akan memiliki kondisi mental tidak berbagai aspek seperti fisiologis, psikis,
stabil, rasa kurang percaya diri, berlebih- fungsi fisik, kognitif, regulasi emosi, minat,
lebihan dalam bekerja dengan anggapan sosial, ekonomi dan religiusitas. Post Power
bahwa individu yang pensiun tidak berguna Syndrome merupakan keadaan yang
lagi serta merasa tidak dibutuhkan lagi karena menimbulkan gangguan fisik, sosial, dan
usia sudah tua dan produktifitas menurun. spiritual pada lanjut usia saat memasuki
Masa pensiun bagi sebagian orang dipandang waktu pensiun sehingga dapat menghambat
sebagai pertanda diri sudah tidak berguna aktifitas mereka dalam menjalani kehidupan
sehingga menyebabkan orang menjadi sehari-hari ( Santoso dkk, 2008).
sensitive, subjektif dan kurang realistis dalam Ancok dkk (2008) mengartikan
menghadapi pensiun. Hal ini mengakibatkan religiusitas sebagai keberagaman yang berarti
depresi dan post power syndrome (Indriana, meliputi berbagai macam sisi atau dimensi
2012). yang bukan hanya terjadi ketika seseorang
Pandangan negatif seseorang tentang melakukan perilaku ritual (beribadah), tapi
pensiun menyebabkan individu menolak juga ketika melakukan aktivitas lain yang
datangnya masa pensiun, sikap penolakan didorong oleh kekuatan supranatural. Sumber
tersebut ditandai dengan adanya perasaan keagamaan adalah rasa ketergantungan yang
stres, cemas, dan depresi. Namun hal yang mutlak (sense of depend). Ketakutan-
terjadi pada saat masa pensiun itu tiba, ketakutan akan ancaman lingkungan alam
banyak individu tidak mau berhenti dari sekitar serta keyakinan manusia tentang
pekerjaannya (Indriana, 2012). Dalam laporan segala keterbatasan dan kelemahannya. Rasa
penelitan, dimana para hakim di Amerika ketergantungan yang mutlak, membuat
umumnya cenderung menunda pensiun, manusia mencari kekuatan sakti dari
mereka tetap aktif bekerja dengan sekitarnya yang dapat dijadikan kekuatan
mengabaikan umur tua, kesehatan yang lemah pelindung dalam kehidupannya dengan
dan masa pensiun (Garrow, 2000), masa kekuasaan yang berada diluar dirinya yaitu
pensiun menjadi jauh lebih sulit bagi mereka Tuhan.
yang memiliki kekuasaaan dan kedudukan Moberg dalam Indriana dkk (2011)
yang lebih tinggi, karena takut akan mengemukakan salah satu hasil penelitiannya
kehilangan jabatan mereka selama ini. menunjukkan bahwa 57% dari respondennya
Santaroso dan Lestari, (2008) merasa agama lebih berarti bagi mereka
mengungkapkan bahwa Post Power setelah pensiun dibanding sebelumnya.
Syndrome banyak dialami oleh mereka yang Penelitian ini juga melaporkan terjadi
3
sosial, meliputi semua pengaruh sosial sters dan adanya kepercayaan pada Tuhan (
seperti; pendidikan dan pengajaran dari Papalia, 2009)
orangtua, tradisi-tradisi dan tekanan-tekanan Secara khusus religiusitas
sosial, (2) Faktor alami, meliputi moral yang menghantarkan individu kepada ketabahan
berupa pengalaman‐pengalaman baik yang menghadapi ketidak adilan dalam masyarakat,
sabar dan tabah menjadi doktrin, Religiusitas
bersifat alami, seperti pengalaman konflik
menyebabkan individu menerima kondisi dan
moral maupun pengalaman emosional, (3)
keadaan, sehingga mampu menenangkan diri
Faktor kebutuhan untuk memperoleh harga
(Indriana, 2012).
diri dan kebutuhan yang timbul karena adanya
Religiusitas untuk berbagai aspek
kematian, dan (4) Faktor intelektual yang
kesehatan bisa menjadi obat dalam
menyangkut proses pemikiran verbal terutama
menghadapi masa pensiun. Banyak penelitian
dalam pembentukan keyakinan‐keyakinan telah menyimpulkan bahwa ada faktor
agama. protektif agama untuk kesehatan. Komitmen
Indriana dkk (2011) setiap agama keagamaan tampaknya memainkan peran
mempunyai dua faktor hakiki yang dalam mencegah penyakit fisik dan mental,
merupakan dasar agama tersebut, yaitu: 1). dalam memfasilitasi mengatasi penyakit, dan
Ajaran atau doktrin, yakni unsur yang memfasilitasi pemulihan, juga menciptakan
membedakan antara Tuhan, manusia, dan kebahagiaan bagi yang mejalankan terutama
dunia, ke 2). Suatu cara atau metode, yakni di masa pensiun (Meisenhelder dkk, 2002).
cara untuk mengikat diri dan memusatkan diri Hasil penelitian yang dilakukan
kepada yang absolute, cara-cara untuk hidup Meisenhelder dkk (2002), religiusitas akan
sesuai dengan kehendak yang absolute, dan menghilangkan rasa cemas, penyakit fisik dan
cara-cara untuk hidup sesuai dengan tujuan mental lainnya pada individu dan membentuk
dan makna hidup manusia itu sendiri. penerimaan diri dimasa pensiun. Temuan ini
A. Hubungan Religiusitas dan Post power kemudian diperkuat oleh studi kesehatan
syndrome mental pada individu ditemukan dalam
Spilka dalam Indriana dkk (2011) penelitian lain hubungan positif antara
mengatakan : kesehatan mental dan indeks agama, seperti
bahwa berdasarkan hasil-hasil shalat, kehadiran di gereja, dan religiusitas
penelitian, peran agama sangat positif intrinsik ( Papalia, 2009).
dan membantu seseorang dalam Kim dalam Indriana dkk (2011)
menghadapi kematian dan tragedi- mengatakan bahwa para ahli gerontologi
tragedi berat lainnya. Arti dan mempelajari religiusitas dalam rangka lebih
harapan seseorang sebagai penganut memahami rasa kebahagiaan yang muncul
suatu agama menimbulkan dan terpelihara pada masa usia lanjut. Hal ini
kebahagiaan dan kepuasan hidup. bisa berhubungan dengan kesehatan fisik dan
Pada orang lanjut usia, mereka yang mental, kepuasan hidup, dan perilaku dalam
kurang religius menunjukkan tingkat menangani stres.
kepuasan hidup yang lebih rendah
. Regulasi Emosi
Religiusitas tampak memainkan peran 1. Pengertian Regulasi Emosi
pendukung bagi kebanyakan lansia hal ini Gross (2007) mengemukakan regulasi
meliputi dukungan sosial, dorongan untuk emosi adalah sekumpulan berbagai proses
hidup sehat berdasarkan tradisi agama, emosi diatur. Proses regulasi emosi dapat
adanya kontrol diri melalui doa, mengurangi otomatis atau dikontrol, disadari atau tidak
6
disadari dan bisa memiliki efek pada satu atau Thompson dalam Gross dkk (2003),
lebih proses yang membangkitkan emosi. membagi aspek-aspek regulasi emosi yang
Regulasi emosi dapat mengurangi, terdiri dari tiga macam yaitu. a). Kemampuan
memperkuat atau memelihara emosi memonitor emosi (emotions monitoring). b).
tergantung pada tujuan individu. Ketika Kemampuan mengevaluasi emosi (emotions
individu berada dalam putus asa, cemas dan evaluating). c).Kemampuan memodifikasi
marah. Kemampuan ini membuat individu emosi (emotions modification). Gross (2007)
mampu bertahan dalam masalah yang sedang dalam bukunya Emotion Regulation.
dihadapinya Conceptual Foundations. Mengungkapkan
Manz (dalam Wahyuni 2013 ) regulasi tiga aspek regulasi emosi yaitu : a)
emosi adalah situasi dimana individu sering Kemampuan mengontrol, b) Kemapuan
mencoba untuk mengatur respon emosional mengevaluasi, c) Kemampuan merubah.
agar sesuai dengan situasi tertentu agar 3. Faktor-faktor Regulasi emosi
penyaluran emosi tersebut dapat bermanfaat. Gross dkk (2003) mengklasi fikasi faktor-
Regulasi emosi merupakan strategi seseorang faktor regulasi emosi menjadi lima yaitu : (1)
untuk mengontrol emosi yang miliki individu pemilihan situasi, (2) modifikasi situasi, (3)
( Gross, 2002), Regulasi emosi sebagai cara penyebaran perhatian, (4) perubahan kognisi,
individu memanipulasi emosi yang mereka dan (5) modulasi pengalaman, respon
miliki, dimana memerlukan kemampuan perilaku, atau fisiologis. Lebih lanjut hasil
untuk mengevaluasi dan mengubah reaksi- penelitian Gross dkk (2003) mengungkap
reaksi emosional untuk bertingkah laku bahwa ada faktor lain yang mempengaruhi
berdasarkan kondisi atau situasi yang sedang regulasi emosi seseorang selain lima diatas
terjadi. Ganrefski dkk (2005) dalam diantaranya kesejateraan, self-esteem,
penelitiannya mengungkapkan, untuk mengalami gejala depresi dan kurang puas
menjaga kontrol atas emosi pada suatu dengan kehidupan.
peristiwa yang tidak disenangi. Misalnya, Senada yang dikemukakan Gross
selama atau setelah pengalaman peristiwa (2001), Strongman (2003) dalam Widuri
mengancam atau membuat stres, individu (2012) membuat daftar lima rangkaian faktor
akan mengatur emosi melalui pikiran dan regulasi emosi, yaitu : a) Pemilihan situasi. b)
kognisi bersifat universal yang sangat Perubahan situasi. c) Penyebaran perhatian. d)
tergantung dengan pengalaman-pengalaman Perubahan kognitif . Perubahan respon. Ini
hidup individu yang dilewati sebelumnya. terjadi pada bagian akhir, termasuk di sini
Regulasi emosi adalah kemampuan yang penggunaan obat, alkohol, latihan, terapi,
dimiliki seseorang untuk menilai pengalaman makan atau penekanan. (Strongman, 2003).
dan kemampuan mengontrol emosi, Modulasi respon mengacu pada
mengekspresikan dan perasaan emosi dalam mempengaruhi respon fisiologis, pengalaman,
kehidupan sehari-hari baik itu emosi positif atau tindakan langsung ( Gross dkk 2003 ).
maupun emosi negative (Kring dkk, 2009).
Menurut Reivich dkk (2003) regulasi emosi B. Hipotesis
adalah kemampuan untuk tetap tenang di Ada hubungan antara Religiusitas dengan
bawah tekanan. Individu yang memiliki Post power syndrome pada Guru
kemampuan meregulasi emosi dapat menjelang pensiun.
mengendalikan dirinya apabila berada dalam
situasi yang tidak menyenangkan sehingga
mempercepat dalam penyelesaian masalah.
2. Aspek-aspek Regulasi Emosi
7
menyebabkan lansia akan lebih mudah dengan yang dikemukakan Nugraheni (2005)
menerima kondisi dan keadaan yang akan bahwa peningkatan kehidupan beragamaan
dihadapi sehingga akan mampu berfikir dapat membantu lansia dalam menghadapi
positif sehingga akan mengurangi dan mengatasi tekanan dan perubahan yang
kecederungan post power syndrome. Hal ini derastis serta mengatasi situasi yang
senada dengan yang dikemukakan Santrock menekan. Bagi individu yang pengetahuan
(2012) dimana individu yang religius akan dan pendalaman tentang agama yang
memperoleh kepuasan hidup, harga diri dan diyakininya kurang mendalam, mereka tidak
optimisme yang tinggi hal ini akan membuat dapat melakukan kegiatan ibadah dengan
lansia akan lebih mudah melewati masa baik, bahkan cendrung meninggalkan hal-hal
pensiunnya dan mampu menerima keadan yang bersifat wajib seperti solat sehingga
yang dihadapi. kurang bersukur (Agus. & Novia 2008).
Huguelet & Koenig (2009); Subandi Lansia memperlihatkan kekuatan
(2013) mengemukakan bahwa religiusitas emosional mereka, dimana setiap individu
bukan hanya sebagai penyembuh tetapi juga akan memperbaiki dan pengoptimalan
pencegahan terhadap persoalan-persoalan perasaan yang berperan pada saat memasuki
yang berkenaan dengan sters, kecemasan, masa pensiun (Labouvie-Vief, 2007; Berk,
ketakutan, dan depresi. Santrock (2012) 2012), sebagai mana hasil penelitian yang di
mengemukana masalah yang dihadapi ketika lakukan kecenderungan post powor syndrome
memasuki masa pensiun pada lansia adalah akan menurut dengan kemampuan regulasi
ganguan suasana hati dimana individu merasa emosi yang dimiliki lansia pada saat
tidak bahagia, kehilangan semangat, tidak memasuki masa pensiun.
bergairan dan tidak punya motivasi untuk Pensiun sebagai sebuah proses penuh
melanjutan hidup. Religiusitas menjadi solusi tekanan ketika seorang individu tidak mampu
bagi lansia untuk membuat hidup mereka menerima konsidi yang dia hadapi yang akan
lebih bermakna, menjalani rutinitas mempengaruhi kondisi fisik dan psikis, terjadi
keberagamaan, berdoa, dan menerima penurunan derastis, kaku, emosi yang datar,
konsekwensi atau kenyataan hidup sehingga kecilnya perhatian emosi yang akan
membuat lansia lebih optimis dalam menyebabkan kehidupan lansia menjadi
menjalani hehidupannya.(Indriana, 2004, suram (Osborne 2012, Suardiman, 2011)
Indriana dkk 2012) melakukan regulasi emosi menyebabkan
Nilai-nilai religiusitas menyebabkan individu mampu menerima situasi yang
kebermaknaan hidup pada saat menghadapi dihadapi ( Berk, 2012),
pensiun, religiusitas menyebabkan individu Orang lanjut usia lebih selektif dalam
akan bersukur, bersabar, berserah diri pada membangun jaringan sosialnya kerena mereka
allah atas semua yang telah, sedang dan akan lebih mempertimbangkan kepuasan
dilalu. Pensiun menyebabkan individu banyak emosional, kemapuan memposisikan diri
waktu kosong dan perubahan yang sifatnya membaca situasi yang terjadi pada lansia
derastis, dari sibuk menjadi tidak beraktifitas sanggat dibutuhakan sebagai mana hasil
sehingga individu akan merasakan penelitan yang dikemukakan oleh Mroczek &
kehampaan dalam hidup, sters tersisih dari Kolarz dalam Santrcok (2011) bahwa orang-
kelompok, serta post power syndrome, orang lanjut usia lebih banyak mengalami
sehingga banyak pensiunan akan melakukan emosi positif dan lebih sedikit mengalami
kegiatan-kegiatan keagamaan, hal ini emosi negative. Hal ini di sebabkan karena
dilakukan untuk mendekatkan diri pada Allah kemampuan individu dalam meregulasi
(Suardiman, 2011). Hal tesebut senanda emosi. Kemampuan meregulasi emosi akan
9
Garnefski, N., Kraaij V & Etten, M. V. 2005, Hakim, S. N, 2007 Perencanaan Dan
specificity of relations berween Persiapan Menghadapi Masa Pensiun,
adolescents’ cognitive emotion Jurnal Warta, Vol. 10, No. 1,: 96 - 109
regulation strategies and internalizing
and externalizing psychopatology, Jurnal Hestiningrum, E 2011, Hubungan Antara
of adoulesence Vol, 28, 619-631 Penerimaan Diri Dan Religiusitas
Terhadap Kualitas Hidup Pada Wanita
Garnefski, N., Kraaij, V., & Spinhoven, Ph. Lanjut Usia. Tesis, Universitas Gadjah
2001. Negative life events, cognitive Mada. Yogyakarta
emotion regulation and depression.
Personality and Individual Differences, Holdcroft, B 2006, What Is Religiosity,
30, 1311–1327 Catholic Education: A Journal Of
Inquiry And Practice, vol. 10, no. 1,
Garrow, D.J. 2000. Mental Decrepitude on September 2006:89-102
the U.S. Supreme Court: The Historical
Case for a 28th Amendment. University Hoyer, W., Rybash J. M., & Roodin, P. A.
of Chicago Law Review vol 67, 995– 2003 Adult Deflopment and Aging. New
1087. Youk: McGraw-Hill Compaies
Goleman, D. 2004. Kecerdasan Emosional Huguelet, P & Koenig, H.G. 2009 Religion
Mengapa EI Lebih Penting Daripada IQ. and Spirituality in Psychiatry, New York
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama ,Cambridge University Press
Binaan PMI Cabang Semarang, Jurnal Oktradiksa, A., 2012 Pengembangan Kualitas
Psikologi Undip Vol. 10, No.2, Oktober Guru (Menilik Ketulusan Pribadi
Sesorang Figur).Jurnal Fakultas Agama
Indriana, Y, 2012. Gerontologi dan Islam, Universitas Magelang, No
Progeria,Yogyakarta, Pustaka Pelajar 118.97.15.162
Jalaluddin, R. (2005). Psikologi Agama: Papalia, D.E., Olds. S.W & R D 2009 Human
Sebuah Pengantar. Bandung: Mizan Devlopmet, edisi 10 buku 2, Jakarta.
Salemba Humanika.
Kring, A. M., & Sloan, D.M 2009. Emotion
regulation and psychopathology : A Pettican, A & Prior, S., 2011 ‘it’s a new way
Transdiagnostic approach to etiology of life’: an exploration of the
and treatment. New York, Guilford accupational transition of trtirment.
Britih Journal of Occupatioanl Trerapy.
Labouvie-Vief, G., Diehl, M., Jain, E dan (1)74,12-19.
Zhang F 2007 Six-Year Change in Affect
Optimization and Affect Complexity PP No 19 Tahun 2013. Pemberhentian
Across the Adult Life Span: A Further pegawai Negeri Sipil.
Examination Jorenal Psychol Aging. http://www.setkab.go.id/berita-8181-
December; 22(4): 738–751. doi: kini-pns-pemegang-jabatan-struktural-
10.1037/0882-7974.22.4.738 eselon-i-bisa-pensiun-di-usia-62-
tahun.html Diakses Jam 2 pada tanggal
Meisenhelder, J. B & Chandler, E. N. 2002 22 April 2013
Spirituality and Health Outcomes in the
Elderly, Journal of Religion and Health Pushkar, D., Chaikelson, J., Conway, M.,
Vol. 41, No. 3. 243-253 Etezadi, J., Giannopolous, C., Li, K., &
Wrosch, C 2010. Testing Continuity and
Nugraheni, SD. 2005. Hubungan Antara Activity Variables as Predictors of
Kecerdasan Ruhani dengna Kecemasan Positive and Negative Affect in
Menghadapi Kematian Pada Lanjut Usia. Retirement: The Journals of Gerontology
Indigenous, jurnal berkala ilmiah Series B: Psychological Sciences and
berkala psikologi.Vol 7. No 1. 69-92 Social Sciences 65 B (1): 42-49)
Osborne, J W., 2009 Commentary on Purnamasari, 2003. Hubungan sindrom pasca
Retirement, Identity, and Erikson’s kekuasaan dengan kepuasan hidup pada
Developmental Stage Model, Canadian pensunan karyawan pertamina golongan
Journal on Aging / La Revue canadienne pimpinan di surabaya,jurnal insight.
du vieillissement 28 (4) : 295– 301 Th1/No 2, 62-73
DOI:10.1017/S0714980809990237
Reivich, K. & Shatte, A. 2003. The Resilience
----------------------- 2012 Existential and Factor. New York : Broadway Books
psychological aspects of the transition to
retirement. European Journal of Santrock, J, W. 2012 Life – Span
Psychotherapy and Counselling, Volume Development, Edisi ke Tigablas, Jilid 2.
14, 4. 1–15, iFirst, Jakarta, Erlangga
DOI:10.1080/13642537.2012.734472
13
Santoso, A & Lestari, N. B. 2008, Peran Serta Yunian F, A. 2013 Pengaruh Optimisme
Keluarga Pada Lansia Yang Mengalami Post Menghadapi Masa Pensiun Terhadap
Power Syndrome, Media Ners, Volume 2, Post Power Syndrome Pada Anggota
Nomor (1): 1 - 44 Badan Pembina Pensiunan Pegawai
(BP3) Pelindo Semarang. Jurnal
Shultz, K. S., & Wang, M. 2011. Developmental and Clinical
Psychological Perspectives on the Psychology,Vol 2.(2); 23-28
Changing Nature of Retirement.
American Psychologist. Advance online Zain, L & Khuluq, L, 2009, Gus Mus : Satu
publication. doi: 10.1037/a0022411 Rumah Seribu Pintu, Jokjakrata: Likis