Oleh:
Nim : 141810201026
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2017
DAFTAR ISI
ii
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Berdasarkan perumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Menentukan kondisi optimum preparasi sampel mie basah untuk penentuan
kadar formalin yang meliputi rasio volume aquades dengan larutan H3PO4, dan
temperatur destilasi sederhana
2. Mengukur kadar formalin dalam mie basah menggunakan pereaksi Nash
secara spektrofotometri UV-Vis
1.4 Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
2.2 Formaldehid
atau RNA sebagai pembentuk DNA. Jika susunan DNA kacau maka akan
menyebabkan terjadinya sel-sel kanker dalam tubuh manusia. (Widyaningsih, 2006).
Metode spektrofotometri UV-Vis tidak dapat menganalisis larutan formaldehid
secara langsung, sebab formaldehid merupakan larutan yang tidak berwarna dan tidak
memiliki gugus kromofor atau ikatan rangkap terkonjugasi. Oleh karena itu, diperlukan
senyawa lain sebagai pereaksi yang dapat memberikan spektrum serapan berwarna
dengan formaldehid yakni pereaksi Nash yang memberikan konsistensi warna kuning
terang. Senyawa tersebut dapat diamati profil spektra dan intensitas serapannya dengan
spektrofotometer sinar tampak (Letourneau and krog, 1952).
Penelitian tentang analisis formalin pernah dilakukan sebelumnya, namun tujuan,
lokasi, sampel, dan metode pengujian yang digunakan berbeda. Dengan demikian,
penelitian ini relatif belum pernah dilakukan sejauh penelusuran pustaka, sampel
mie basah yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari pasar tradisional di wilayah
Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Metode yang digunakan adalah spektrofotometri UV-
Vis dengan pereaksi Nash untuk analisis kuantitatif, serta mempelajari kondisi optimum
preparasi sampel, yaitu mempelajari pengaruh rasio volume aquades sebanyak 30, 50,
70, 110, dan 150 mL dengan H3PO4 sebanyak 3, 5, 10, 15, dan 17 mL, serta temperatur
destilasi meliputi 86, 88, 91,95, dan 100oC.
memanfaatkan terigu dan olahannya sebagai sumber energi. Pada kondisi kadar air
lebih rendah, kapang berpotensi untuk tumbuh yang ditandai dengan pembentukkan
miselia dan spora. Kapang yang tumbuh umumnya berasal dari genus Rhizopus yang
dapat dikenali dengan adanya spora berwarna hitam (Jay, 2000).
Mie yang bermutu baik pada umumnya berwarna putih atau kuning terang.
Perubahan warna tidak terjadi, karena perebusan dapat merusak enzim polifenoloksidase
(Hoseney, 1998). Hasil survei terhadap mie basah matang oleh Gracecia (2005)
menunjukkan bahwa ciri-ciri kerusakan ditandai dengan adanya bau asam, tekstur
menjadi lengket, berlendir, lembek, atau mie menjadi hancur. Karena mie basah matang
cepat mengalami kerusakan atau kebusukan, banyak usaha dilakukan untuk
memperpanjang umur simpan dengan penambahan bahan pengawet.
Labu destilasi dan kondensor didukung oleh tiang penyangga, dipasang tidak terlalu
keras dengan klem logam berlapis karet pada bagian yang bersentuhan langsung dengan
gelas (Alimin, 2007).
Manfaat kawat ini yakni untuk menghindari pemanasan yang terlalu tinggi
sehingga menjaga agar tidak terjadi dekomposisi cairan atau uap pada bagian atas dari
sisi labu. Jarak antara labu dan sumbat gabus yang terpasang pada kondensor berkisar 25
mm, sehingga destilat dan cairan tidak terkontaminasi oleh kontak langsung dengan
sumbat gabus. Ukuran labu yang dipilih didasarkan pada jumlah bahan destilat yang
akan menempati antar separuh sampai tiga perdua dari kapasitas bola labu destilasi
(Alimin, 2007).
Pada proses pemisahan destilasi bahwa semua molekul dalam fasa cair memiliki
dinamika pergerakan yang konstan. Tekanan uap merupakan ukuran kecenderungan
terlepasnya molekul dari permukaan cairan, tekanan uap cairan ialah sifat dari cairan itu
dan tidak bergantung pada komposisi fasa uap. Peningkatan pergerakan molekul fasa
cair disebabkan oleh temperatur yang terus meningkat, sehingga mempercepat proses
terlepasnya molekul. Proses pemisahan campuran cairan biner A dan B menggunakan
distilasi dapat dijelaskan dengan hukum Dalton dan Raoult, yaitu “jika larutan yang
terdiri dari dua komponen yang mudah menguap, maka fase uap yang akan terbentuk
akan mengandung komponen dalam jumlah yang relatie banyak dibandingkan fase
cair”. Tekanan uap total suatu campuran cairan biner tergantung pada tekanan uap
komponen murni dan fraksi molnya dalam campuran. Jika uap dipindahkan dari
campuran cairan, maka pada suatu waktu tertentu, komposisi campuran cairan akan
berubah. Fraksi mol cairan yang memiliki titik didih lebih tinggi akan meningkat di
dalam campuran. Karena komposisi campuran cairan berubah, maka titik didih akan
berubah (Alimin, 2007).
penangas air (40±2oC) selama 30 menit. Jika bereaksi dengan formaldehid akan terjadi
perubahan warna dari tidak berwarna menjadi kuning. Selanjutnya didiamkan selama
30 menit pada suhu kamar kemudian diukur serapan pada panjang gelombang
maksimum (412 nm) (Nash, 1953).
absorbansi yang berlawanan. Jika suatu berkas sinar monokromatis jatuh mengenai suatu
medium yang homogen, laju pengurangan intesitas dengan ketebalan medium sebanding
dengan intensitas cahaya, maka sebagian dari sinar masuk akan dipantulkan, sebagian
diserap medium itu, dan sisanya diteruskan. Intesitas berkas sinar monokromatis yang
diteruskan mengalami penurunan sesuai dengan banyaknya zat yang menyerap sinar.
Spektrofotometer UV-Vis membandingkan cuplikan standar yaitu substrat gelas
preparat. Hasil pengukuran menunjukkan kurva hubungan transmitan dan panjang
gelombang (Basset, 1994).
(2)
Dimana E (energi yang diserap didalam suatu transisi elektronik dalam suatu molekul), h
(tetapan Planck (6,624 x 10-27 J.det), c (kecepatan cahaya (3 x 1010 cm/det), v (frekuensi,
Hz), dan λ (panjang gelombang, cm) (Khopkar, 2003).
Pada umumnya terdapat dua tipe instrumen spektrofotometri UV-Vis, yaitu
antara lain:
1. Singel-Beam, digunakan untuk analisis kuantitatif dengan mengukur
absorbansi pada panjang gelombang tunggal. Beberapa instrumen menghasilkan
single-beem untuk pengukuran sinar UV dan sinar tampak.
2. Double-Beem, mempunyai dua sinar yang dibentuk oleh potongan cermin yang
11
Dalam hal ini, spektrofotometer yang sering digunakan adalah spektronik 20.
Larutan yang akan dianalisis diletakan ke dalam tabung kufet yang kemudian diletakan
pada tempat cuplikan, sehingga absorbsi atau % transmitan dapat dilihat pada skala
pembaca. Adapun komponen-komponen dari spektrofotometer meliputi:
1. Sumber cahaya, yakni lampu wolfram (tungsten). Sedangkan sumber untuk pada
daerah UV yakni lampu hidrogen atau deuterium.
2. Monokromator, berfungsi untuk menguraikan cahaya polikromatis menjadi sinar
yang monokromatis (prisma atau grating).
3. Kuvet, ketika pengukuran didaerah visibel menggunakan kuvet kaca atau kuvet
kaca corex. Sedangkan di daerah UV menggunakan sel kwarsa karena di daerah ini
gelas tidak tertembus oleh cahaya.
4. Detektor, yakni memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang
gelombang. Detektor akan mengubah cahaya menjadi sinyal listrik yang
ditampilkan layar pembaca (Cairns, 2009).
Cara kerja spektrofotometer yakni menghasilkan cahaya monokromatik dari
sumber sinar. Cahaya tersebut kemudian diteruskan menuju kuvet (tempat sampel).
Banyaknya cahaya yang diteruskan maupun yang diserap oleh larutan akan dibaca oleh
detektor yang kemudian disampaikan ke layar pembaca (Sastrohamidjojo, 1992).
Kurva standar larutan formaldehid dibuat berdasarkan hubungan antara absorbansi dan
konsentrasi zat warna. Persamaan kurva kalibrasi menghasilkan hubungan antara sumbu
x dan y. Sumbu x menyatakan konsentrasi hasil dari pengukuran, sedangkan sumbu y
menyatakan serapan hasil dari pengukuran. Kurva standar larutan formalin dapat
dilihat pada Gambar 4.2
16
mL dengan absorbansinya sebesar 0,594 A. Dalam hal ini aquades diperlukan sebagai
pelarut untuk melarutkan formalin atau sampel, dan pada volume tersebut terjadi reaksi
kesetimbangan yang stabil. Aldehid sebagai formaldehid bereaksi dengan air untuk
membentuk suatu 1,1-diol yang disebut gem-diol atau hidrat dimana reaksi yang
terbentuk ialah adisi nukleofilik atau proses hidrasi yang reversibel (kesetimbangan).
Semakin reaktif aldehida maka produk yang dihasilkan semakin stabil. Menurut Solhy
dalam penelitiannya keberadaan air dalam reaksi ini mengaktifkan situs aktif dari katalis.
Reaksi yang terjadi yakni kesetimbangan yang terletak pada sisi karbonil (Fessenden,
1982). Adapun reaksinya:
Formalin merupakan senyawa yang berbentuk gas dan mempunyai sifat yang
sangat volatil atau mudah menguap, formalin memiliki titik didih dibawah 100 °C.
Penentuan untuk temperatur destilasi ini dilakukan untuk mengetahui titik didih
optimum pada senyawa formalin, dikarenakan setiap larutan formalin memiliki merk
dagang yang berbeda, sehingga besar kemungkinannya titik didih pada masing-
masing merk formalin berbeda namun tidak signifikan. Pada Gambar 4.7,
menunjukkan bahwa pada temperatur 91oC merupakan kondisi optimum temperatur
destilasi formalin.
20
Hasil tersebut diperoleh karena jika semakin tinggi temperatur, maka yang akan
menguap bukan hanya formalin, melainkan aquades yang memiliki titik didih mendekati
100oC. Tetapi jika semakin rendah temperatur, maka proses destilasi berjalan lambat dan
formalin tidak dapat menguap dengan sempurna.
Berdasarkan hasil uji kondisi optimum destilasi yang meliputi volume aquades,
asam fosfat 10%, dan temperatur destilasi, didapatkan kondisi optimum keseluruhan
yakni 50 mL aquades, 10 mL asam fosfat 10%, dan temperatur destilasi sebesar
91oC. Dengan demikian, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kurniawati (2004) yakni
menggunakan 50 mL aquades dan 10 mL asam fosfat 10%.
konsentrasinya dengan menggunakan persamaan linear yang didapat dari kurva kalibrasi
yaitu y = 0,1116x – 0,0058 . dimana y adalah absorbansi larutan sampel dan x adalah
konsentrasi cuplikan yang dicari. Berdasarkan hasil perhitungan konsentrasi sampel mie
basah, didapat rata-rata konsentrasi pada sampel A setelah 3 kali pengukuran diperoleh
absorbansi 0,124 A dengan kadar formalin sebesar 1,1631 µg/mL. Konsentrasi sampel B
diperoleh absorbansi 0,204 A dengan kadar formalin sebesar 1,8261 µg/mL. Konsentrasi
sampel C diperoleh absorbansi 0,093 A dengan kadar formalin sebesar 0,8853
µg/mL. Sampel keempat yakni sampel D diperoleh absorbansi 0,0023 A dengan kadar
formalin sebesar 0,0778 µg/mL.
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada keempat sampel mie basah, dapat dilihat
bahwa pada sampel A, B, C, dan D yang dianalisis menunjukkan bahwa keempat
sampel tersebut mengandung formalin dengan kadar yang berbeda. Kadar terbesar
yaitu pada sampel B sebesar 1,8261 µg/mL dan kadar terendah pada sampel D yakni
0,0778 µg/mL. Dari hasil konsentrasi dari keempat sampel, kadar pada sampel D yang
diperoleh diklasifikasikan tidak terdeteksi formalin karena konsentrasi yang didapat
lebih kecil dari LOD yakni 0,146 µg/mL.
Banyaknya makanan yang telah terkontaminasi bahan tambahan pangan yang berbahaya
dapat membahayakan konsumen. Di dalam tubuh, jika terakumulasi dalam jumlah besar,
maka formalin akan bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat yang terdapat
didalam sel, sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan kematian sel dan keracunan
pada tubuh (Cahyadi, 2012).
22
BAB 5. PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap kandungan formalin pada mie basah maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil uji metode preparasi sampel menggunakan destilasi sederhana dengan
berbagai variasi, maka diperoleh kondisi optimum sebagai berikut: digunakan
aquades 50 mL, dengan temperatur 91oC, dan asam fosfat 10% 10 mL.
2. Dari hasil uji kuantitatif dengan alat spektrofotometri pada panjang gelombang 413
nm, konsentrasi sampel A (pasar Colombo) sebesar 1,1631 µg/mL, sampel B
(pasar Maguwo) sebesar 1,8261 µg/mL, sampel C (pasar Gejayan) sebesar 0,8853
µg/mL dan sampel D (pasar Gowok) sebesar 0,0778 µg/mL.
B. Saran
Perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk analisis formalin pada berbagai makanan
dengan metode lainnya seperti HPLC atau kromatografi gas. Terutama
makanan yang paling banyak dikonsumsi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu perlu
dilakukan studi lanjut untuk analisis bahan berbhaya lainnya pada makanan.
23
DAFTAR PUSTAKA
Afrianti, L.H. 2005. Bahan Tambahan Makanan Tak Sekedar Bahan Tambahan.
http://www.pikiranrakyat.com/cetak2005/0205/24/cakrawala/penelitian01.
htm. Diakses 01-07-05. Didalam: Tumbel, M. 2012. Analisis Kandungan
Boraks dalam Mie Basah yang Berdear di Kota Makassar. Jurnal
CHEMICA. Vol. 11. No (1) 1 Juni 2010. Hal: 57-64
Alimin, Muh. Yunus dan Irfan Idris. 2007. Kimia Analitik Makassar: Alauddin
Press, h. 35.
Altshuller A.P., Miller D.L., Sleva S.F. 1961. Determination of Formaldehyde in
Gas Mixture By The Chromotropic Acid Method. Anal. Chem., 33(4), 621-
625
Andarwulan, Kusnandar, Herawati. 2011. Analisis Pangan. Jakarta: PT. Dian
Rakyat
Badan POM RI. 2003. Produk Pangan yang Mengandung Formalin. Buletin
Keamanan Pangan. Vol: 03/Th II/2003
Badan POM RI. 2010. Laporan Tahunan 2010 Balai Besar POM Semarang.
Semarang : Badan POM
Badan POM RI. 2013. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum
Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengawet.
Bianchi, F., et al. 2007. Fish and Food Safety: Determination of Formaldehyde in
12 Fish Species by PME Extraction and GC-MS Analysis. Food Chem.,
100: 1049-1053
Buckle, K. A., Edward, R. A., Fleet, G. H., Souness R., and Wotton, M. 1987.
Ilmu Pangan, Cetakan I. Diterjemahkan oleh Hari Purnomo dan Adiono.
Jakarta : UI-Press
Cahyadi, W. 2012. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan,
Edisi II, Cetakan Pertama. Jakarta : PT. Bumi Aksara
Day, R.A. dan Underwood, A.L. 2002. Analisis Kimia Kuantitaif Edisi Keenam.
Jakarta: Erlangga.
Departemen Kesehatan. 1999. Permenkes RI No.1168/Menkes/Per/X/1999
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1996. Direktorat Pengawasan Obat
dan Makanan, Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
722/Menkes/Per/IX/1988, Tentang Bahan Tambahan Makanan. Edisi II,
Jilid II 1992. Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Efendy, S. 2004. Penggunaan Bahan Tambahan Makanan.
http:www.mediaindonesia.co.id. Jakarta : Media Indonesia. Diakses
tanggal 01-07-05. Didalam : Tumbel, M. 2012. Analisis Kandungan
Boraks dalam Mie Basah di Kota Makassar. Jurnal CHEMICA, Vol. 11,
No (1) 1 Juni 2010. Hal: 57-64
Fessenden, Fessenden. 1982. Kimia Organik, Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta : PT.
Gelora Aksara Pratama
Gosselin, ER, et al. 1976. Clinical Toxcology of Commercial Products: Acute
Poisoning, 4th ed. Baltimore: The Williams and Wilkins Co, 1976, p. 166-
67
24
Gracecia, D. 2005. Profil Mie Basah yang Diperdagangkan di Bogor dan Jakarta.
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor
Handiati, Eva. 2003. Analisis Bahan Tambahan Kimia (Bahan Pengawet) dan
Pewarna) yang Dilarang Digunakan dalam Makanan Jajanan. Tugas
Akhir yang tidak dipublikasikan, Fakultas Teknik Universitas Pasundan
Harjadi, W. 1990. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: PT Gramedia.
Harmita. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara
Perhitungannya. Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Jakarta. Artikel
Majalah Ilmu Kefarmasian, ISSN : 1693-9883, Vol. I, No.3, Desember
2004, 117-135
Hastuti, S. 2010. Analisis Kualitatif Formaldehid pada Ikan Asin di Madura.
Madura: Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo.
IARC. 2006. IARC Monograph on The Evaluation of Carcinogenic Risk to
Humans: Formaldehyde, 2-Butoxythanol and 1-tert-Butoxypropan-2-ol.
Vol. 88. Lyon : WHO
Jay, J.M. 2000. Modern Food Microbiology. 6th Edition. Aspen Publisher, Inc.
Maryland
Journal Association Of Official Analytical Chemests. 1994. 47:548
Khamidinal. 2009. Teknik Laboratorium KimiA. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h.
137
Khopkar, SM. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik, Cetakan I. Diterjemahkan
Oleh: A. Saptohardjo, Pendamping Agus Nurhadi. Jakarta : UI-Press
Koswara, Ir. Sutrisno. 2009. Teknologi Pengolahan Mie; Produksi Ebook.com.
Seri Teknologi Pangan Populer
Li J., Zhu J., Ye L. 2007. Determination of Formaldehyde in Squide by
Highperformance Liquid Chromatography. Asia Pac. J. Clin. Nutr., 16(1):
127-130
Manoppo, G. 2014. Analisis Formalin Pada Buah Impor di Kota Manado.
Fakultas MIPA UNSRAT, Manado. PHARMACON Jurnal Ilmiah
Farmasi, Vol (3). No.3, Agustus 2014 ISSN 2302-2493
Mulono, H.J. 2005. Toksikologi Lingkungan. Surabaya: Universitas Airlangga.
Hal: 134-155. Didalam: Susanti, Sanny. 2010. Penetapan Kadar Formalin
Pada Tahu yang Dijual di Pasar Ciputat dengan Metode Spektrofotometri
25
LAMPIRAN