Anda di halaman 1dari 28

TUGAS MAKALAH OPTOELEKTRONIKA

ANALISIS FORMALIN PADA MIE BASAH SECARA SPEKTROFOTOMETER


UV-VIS

Disusun guna memenuhi ujian tengah semester:

Oleh:

Nama : Khiptiatun Ni’mah

Nim : 141810201026

JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................. i


BAB 1. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 3
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................. 3
1.5 Manfaat Penelitian .............................................................................. 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ……………………………….................... 4
2.1 Bahan Tambahan Pangan .................................................................... 4
2.2 Formaldehid ........................................................................................ 5
2.3 Mie Basah ............................................................................................ 6
2.4 Destilasi Sederhana ........................................................................... 7
2.5 Analisis Formalin .............................................................................. 8
2.6 Spektrofotometri UV-Vis.................................................................. 9
BAB 3. METODE PENELITIAN................................................................ 12
3.1 Alat-alat Penelitian............................................................................ 1 2
3.2 Bahan-bahan Penelitian..................................................................... 1 2
3.3 Cara Kerja Penelitian ........................................................................ 1 2
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................... 1 4
BAB 5. PENUTUP.......................................................................................... 2 2
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... . 2 2
5.2 Saran.................................................................................................. . 2 2
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 47
LAMPIRAN ..................................................................................................... 49

ii
1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Makanan merupakan salah satu komponen utama yang sangat berperan penting bagi
kehidupan umat manusia karena tak satupun manusia dapat bertahan tanpa makanan
(Sediaoetomo, 2000). Saat ini, makanan yang dijajakan tidak terlepas dari zat yang
mengandung unsur berbahaya dan pengawet dalam jumlah yang banyak, sehingga
menyebabkan kerusakan pada jaringan tubuh. Jika suatu bahan makanan mengandung
bahan yang sifatnya berbahaya bagi kesehatan, maka makanan tersebut dikatagorikan
sebagai bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi misalnya, makanan yang
mengandung logam berat (Pb, Cd, Hg, Ra, dsb), mengandung mikroorganisme yang
berbahaya bagi tubuh, mengandung bahan pengawet (boraks, formalin, alkohol,
dsb), serta makanan yang mengandung zat pewarna berbahaya (Rhodamin B,
Methanyl yellow atau Amaranth) (Effendy, 2004; Tumbel, 2012).
Pada dasarnya, penggunaan bahan tambahan pangan bertujuan untuk meningkatkan
nilai gizi, penerimaan konsumen, kualitas daya simpan, mengurangi limbah,
serta mempermudah preparasi bahan pangan. Beberapa contoh bahan tambahan
pangan antara lain alkalinitas, pengembang, pengemulsi, penstabil, pengental, pemanis,
pewarna, pengawet, antioksidan, dan lain-lain (Cahyadi, 2012). Banyak negara
mempunyai peraturan tentang bahan tambahan pangan, peraturan tersebut dapat
berbeda diantara negara satu dengan yang lain. Hal ini dikarenakan perbedaan
interpretasi hasil penelitian ilmiah yang bervariasi. Pemerintah Indonesia telah mengatur
penggunaan bahan tambahan pangan ini melalui peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 722/MenKes/Per/IX/88 yang menjelaskan Bahan
Tambahan Pangan yang diizinkan dan yang dilarang (Winarno, 2007).
Hasil pengawasan Badan POM menunjukkan masih adanya penyalahgunaan bahan
berbahaya dalam pangan. Bahan berbahaya yang sering digunakan antara lain formalin,
boraks, methanyl yellow, dan rhodamin B. Jajaran Badan POM di 31 provinsi secara
rutin melakukan sampling dan uji laboratorium terhadap obat dan makanan yang beredar
dipasaran. Berdasarkan peninjauan di pasar Klender, Jakarta. Beberapa sampel seperti
tahu putih yang positif mengandung formalin dan kerupuk yang mengandung
rhodamin B (BPOM, 2013). Menurut hasil penelitian Softi (2002), ditemukan 60 sampel
mie basah dari 32 pasar tradisional di Bandung positif mengandung formalin.
Kandungan formalin sampel mie basah tersebut, berkisar antara 10,39 sampai
117,51 ppm.
Larutan formaldehid atau formalin merupakan bahan tambahan kimia yang dilarang
2

ditambahkan ke dalam bahan pangan (makanan) yang berfungsi untuk mengawetkan


makanan yang mudah rusak, sehingga memperlambat proses fermentasi dan penguraian
mikroba. Salah satu makanan yang sering ditambahkan pengawet yakni mie basah
karena relatif mudah rusak dan memiliki waktu penyimpanan yang cukup pendek. Oleh
karena itu, banyak dari beberapa produsen mie basah yang menambahkan pengawet
untuk memperpanjang masa simpan. Penambahan formalin juga menghasilkan tekstur
mie lebih kenyal, lebih awet dan dapat disimpan hingga empat hari (Tumbel, 2012).
Selama ini dikenal ada beberapa cara menganalisis formaldehid dalam sampel
makanan, antara lain dengan metode kolorimetri (Altshuller, dkk, 1961),
spektrofotometri (Wang, dkk, 2007), kromatografi cair kinerja tinggi (Li, dkk,
2007), dan kromatografi gas (Bianchi, 2007). Analisis formalin secara
kromatografi gas dan kromatografi cair merupakan instrumentasi yang relatif mahal dan
rumit. Selain itu, dibutuhkan proses derivatisasi menggunakan zat penderivat yang
mahal sehingga tidak cocok untuk analisis rutin yang relatif murah. Oleh karena itu,
diperlukan metode analisis yang lebih sederhana, cepat, ekonomis, dan sensitif. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah kolorimetri dengan spektrofotometri UV-Vis
menggunakan pereaksi Nash untuk analisis kuantitatif (Suryadi, 2010). Analisis
kuantitatif formalin dilakukan menggunakan spektrofotometer UV-Vis berdasarkan
reaksi antara formaldehida dengan pereaksi Nash yang menghasilkan senyawa kompleks
3,5-diasetil-1,4- dihidrolutidin (DDL) (Nash, 1953).
Penelitian tentang analisis formalin pernah dilakukan sebelumnya, namun tujuan,
lokasi, sampel, dan metode pengujian yang digunakan berbeda. Dengan demikian,
penelitian ini relatif belum pernah dilakukan sejauh penelusuran pustaka, sampel
mie basah yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari pasar tradisional di wilayah
Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Metode yang digunakan adalah spektrofotometri UV-
Vis dengan pereaksi Nash untuk analisis kuantitatif, serta mempelajari kondisi optimum
preparasi sampel, yaitu mempelajari pengaruh rasio volume aquades sebanyak 30, 50,
70, 110, dan 150 mL dengan H3PO4 sebanyak 3, 5, 10, 15, dan 17 mL, serta
temperatur destilasi sederhana meliputi 86, 88, 91, 95, dan 100oC.
3

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah diatas dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi optimum preparasi sampel mie basah untuk penentuan
kadar formalin yang meliputi variasi rasio volume aquades dengan larutan H3PO4,
dan temperatur destilasi sederhana?
2. Berapa kadar formalin dalam mie basah menggunakan pereaksi Nash secara
spektrofotometri UV-Vis?

1.3 Tujuan
Berdasarkan perumusan masalah diatas maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Menentukan kondisi optimum preparasi sampel mie basah untuk penentuan
kadar formalin yang meliputi rasio volume aquades dengan larutan H3PO4, dan
temperatur destilasi sederhana
2. Mengukur kadar formalin dalam mie basah menggunakan pereaksi Nash
secara spektrofotometri UV-Vis

1.4 Manfaat
1. Bagi Mahasiswa

Menambah pengetahuan dan wawasan dibidang analisis kuantitatif pada bahan


tambahan pangan yakni pengawet formalin.
2. Bagi Akademik
Sebagai bahan informasi dan referensi bagi mahasiswa yang akan mengembangkan
metode uji kuantitatif pada sampel yang terindikasi bahan tambahan pangan yang
terlarang yakni pengawet formalin.
3. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi kepada masyarakat tentang penggunaan bahan terlarang
pada bahan makanan dan membantu pemerintah daerah untuk mengontrol
penggunaan bahan tambahan pangan (food additive) khususnya penggunaan formalin.
4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bahan Tambahan Pangan


Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan
untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan dan tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi
secara langsung atau digunakan sebagai bahan baku pangan. Bahan tambahan pangan
dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam
makanan selama produksi, pengolahan, perlakuan, pengepakan, pengemasan atau
penyimpanan untuk menghasilkan suatu komponen yang mempengaruhi sifat pangan
tersebut. Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang diizinkan dalam penggunaanya antara
lain asam sorbat dan garamnya, asam benzoat dan garamnya, sulfit, nisin, nitrit, nitrat,
dan lain-lain (BPOM, 2013).
Tujuan dari penggunaan Bahan Tambahan Pangan yaitu untuk meningkatkan nilai
gizi dan kualitas daya simpan pada makanan. Menurut sumbernya, BTM dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Alamiah, seperti lesitin dan asam sitrat.
2. Buatan atau sintetik, mempunyai sifat serupa dengan bahan alamiah yang
sejenis, baik susunan kimia maupun sifat metabolismenya, seperti β karoten dan
asam askorbat. Adapun kelebihannya yakni lebih pekat, lebih stabil dan lebih murah.
Sedangkan kelemahannya yaitu sering terjadi ketidakmampuan proses sehingga
mengandung zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan (karsinogenik) (Winarno, 1998)
A. Bahan Pengawet
Bahan pengawet biasanya digunakan untuk mengawetkan makanan yang mudah
rusak sehingga menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, dan
penguraian oleh mikroba, serta tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang
rusak dan berkualitas rendah. Penggunaan pengawet harus sesuai dengan dosis dan
jenisnya. Dari satu sisi pengawet menguntungkan untuk menghindari pertumbuhan
mikroba baik yang bersifat patogen maupun mikrobial yang non patogen. Namun di sisi
lain, apabila pemakaian bahan pengawet tidak diatur dosisnya dan tidak diawasi,
kemungkinan besar akan menimbulkan kerugian bagi pemakainya (Cahyadi, 2012).
Bahan pengawet dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
1. Pengawet anorganik, seperti sulfit, hidrogen peroksida, nitrat, dan nitrit.
2. Pengawet organik, seperti asam sorbat, asam propionat, asam benzoat, asam
asetat, dan epoksida (Winarno, 1998).
5

2.2 Formaldehid

Gambar 2.1 Struktur formalin


Formaldehid merupakan suatu gas tak berwarna, mudah larut dalam air. Terdiri dari
37% gas formaldehida yang ditambahkan 7-15% methanol dalam air. Formaldehida
merupakan reagensia yang digunakan sebagai penghilang bau untuk sumbu lampu, lilin
dan pembuatan resub sintetik (Fessenden, 1982)
Formalin terurai menjadi metanol dan karbon monoksida pada suhu di atas 150oC.
Formaldehid dalam bentuk formalin sangat mudah diserap melalui pernapasan dan
percernaan, serta banyak digunakan sebagai desinfektan dan fungisida pada tanaman
(BPOM, 2003). Dalam bentuk padat formaldehid dijual sebagai trioxane [(CH2O)3] dan
polimernya paraformaldehid (WHO, 2002). Asetaldehida adalah bahan baku penting
dalam pembuatan asam asetat, anhidria asetat dan esternya yaitu etil asetat (Petrucci,
1993).
Formalin dapat bereaksi didalam hati. Jika methanol masuk ke dalam tubuh,
maka senyawa ini cepat diserap ke aliran darah dan diangkut ke hati untuk dioksidasi
menjadi formaldehid. Formaldehid merupakan senyawa yang sangat reaktif yang dapat
menghancurkan daya katalis enzim dan menyebabkan jaringan hati mengeras. Jika
methanol tercerna, maka terjadi kebutaan sementara atau tetap karena kerusakan saraf
mata (Gosselin, 1976).
Hampir semua jaringan di tubuh mempunyai kemampuan untuk memecah dan
memetabolisme formaldehid. Salah satunya adalah membentuk asam format dan
dikeluarkan melalui urin. Apabila pencernaan terkena formaldehid secara akut, maka
menyebabkan luka pada ginjal, disuria, anuria, haematuria, dan peningkatan format pada
urin. Formaldehid dapat dikeluarkan sebagai CO2 dari dalam tubuh. Diperkirakan
formaldehid dapat dimetabolisme oleh tubuh yang bereaksi dengan DNA atau protein
untuk membentuk molekul yang lebih besar sebagai bahan tambahan DNA atau protein
tubuh (Gosselin, 1976).
Menurut Singgih H (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa jika tubuh
terkena paparan formaldehid secara terus menerus maka ikatan silang DNA semakin
meningkat dan menyebabkan kerusakan berupa denaturasi DNA. Pembentukan silang
DNA juga semakin meningkat sesuai dengan meningkatnya konsentrasi formalin di
dalam tubuh yang disebabkan karena terinduksi oleh perlakuan fisik maupun zat kimia,
seperti formalin. Formalin didalam tubuh manusia dapat mengacaukan susunan protein
6

atau RNA sebagai pembentuk DNA. Jika susunan DNA kacau maka akan
menyebabkan terjadinya sel-sel kanker dalam tubuh manusia. (Widyaningsih, 2006).
Metode spektrofotometri UV-Vis tidak dapat menganalisis larutan formaldehid
secara langsung, sebab formaldehid merupakan larutan yang tidak berwarna dan tidak
memiliki gugus kromofor atau ikatan rangkap terkonjugasi. Oleh karena itu, diperlukan
senyawa lain sebagai pereaksi yang dapat memberikan spektrum serapan berwarna
dengan formaldehid yakni pereaksi Nash yang memberikan konsistensi warna kuning
terang. Senyawa tersebut dapat diamati profil spektra dan intensitas serapannya dengan
spektrofotometer sinar tampak (Letourneau and krog, 1952).
Penelitian tentang analisis formalin pernah dilakukan sebelumnya, namun tujuan,
lokasi, sampel, dan metode pengujian yang digunakan berbeda. Dengan demikian,
penelitian ini relatif belum pernah dilakukan sejauh penelusuran pustaka, sampel
mie basah yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari pasar tradisional di wilayah
Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Metode yang digunakan adalah spektrofotometri UV-
Vis dengan pereaksi Nash untuk analisis kuantitatif, serta mempelajari kondisi optimum
preparasi sampel, yaitu mempelajari pengaruh rasio volume aquades sebanyak 30, 50,
70, 110, dan 150 mL dengan H3PO4 sebanyak 3, 5, 10, 15, dan 17 mL, serta temperatur
destilasi meliputi 86, 88, 91,95, dan 100oC.

2.3 Mie Basah


Mie basah tidak tahan simpan, sehingga apabila dibuat dan ditangani dengan baik,
maka pada musim panas mie basah dapat tahan simpan selama sekitar 36 jam.
Sedangkan pada musim penghujan mie hanya dapat bertahan selama kira-kira 20-22
jam. Keadaan tersebut disebabkan karena mikroflora terutama jamur atau kapang yang
lebih mudah tumbuh pada keadaan lembab dan suhu yang tidak terlalu tinggi. Mie
basah dapat digolongkan sebagai produk yang memiliki kadar air yang cukup tinggi (±
60%), karena itu daya simpannya tidak lama, biasanya hanya sekitar 2 – 3 hari. Agar
supaya lebih awet, biasanya ditambahkan bahan pengawet (kalsium propinat) untuk
mencegah mie berlendir dan jamuran (Koswara, 2009).
Mikroba perusak yang mungkin tumbuh pada produk olahan terigu adalah bakteri
genus Bacillus dan beberapa jenis kapang (Jay, 2000). Menurut Fardiaz (1992), jika
tumbuh pada bahan pangan, bakteri dapat menyebabkan berbagai perubahan pada
penampakan maupun komposisi kimia dan cita rasa bahan pangan tersebut. Adanya
aktivitas mikroorganisme pembentuk asam ditandai dengan terdektesinya bau asam
pada mie basah yang telah rusak. Beberapa bakteri aerobik pembentuk spora yang
dapat memproduksi amilase mungkin tumbuh pada kondisi kadar air yang tinggi dengan
7

memanfaatkan terigu dan olahannya sebagai sumber energi. Pada kondisi kadar air
lebih rendah, kapang berpotensi untuk tumbuh yang ditandai dengan pembentukkan
miselia dan spora. Kapang yang tumbuh umumnya berasal dari genus Rhizopus yang
dapat dikenali dengan adanya spora berwarna hitam (Jay, 2000).
Mie yang bermutu baik pada umumnya berwarna putih atau kuning terang.
Perubahan warna tidak terjadi, karena perebusan dapat merusak enzim polifenoloksidase
(Hoseney, 1998). Hasil survei terhadap mie basah matang oleh Gracecia (2005)
menunjukkan bahwa ciri-ciri kerusakan ditandai dengan adanya bau asam, tekstur
menjadi lengket, berlendir, lembek, atau mie menjadi hancur. Karena mie basah matang
cepat mengalami kerusakan atau kebusukan, banyak usaha dilakukan untuk
memperpanjang umur simpan dengan penambahan bahan pengawet.

2.4 Destilasi Sederhana


Terdapat berbagai macam cara destilasi, yaitu destilasi sederhana, destilasi fraksi,
destilasi tekanan rendah, destilasi uap air, dan microscale destilasi. Destilasi dapat
digunakan untuk memisahkan dua campuran zat cair atau lebih berdasarkan perbedaan
titik didih yang jauh atau dengan salah satu komponen bersifat volatil. Jika campuran
dipanaskan maka komponen yang titik didihnya lebih rendah akan menguap lebih
dulu. Selain perbedaan titik didih, juga perbedaan ke volatilan, yaitu kecenderungan
sebuah substansi untuk menjadi gas (Khamidinal, 2009).
Pemisahan dua komponen senyawa dengan destilasi sederhana yang umum
memiliki rangkaian alat seperti gambar II.II

Gambar 2.2 Alat destilasi Sederhana


Rangkaian alat ini terdiri dari labu destilasi yang bagian sisinya berlubang dan
disambungkan ke kondensor pendingin air (H2O). Mulut atas labu destilasi
ditempatkan termometer dengan jepitan sehingga jarak antar permukaan cairan dengan
ujung merkuri dari termometer dapat diatur sekitar 5-10 mm. Termometer tersebut
berfungsi untuk menunjukkan titik didih senyawa yang sedang dipisahkan.
8

Labu destilasi dan kondensor didukung oleh tiang penyangga, dipasang tidak terlalu
keras dengan klem logam berlapis karet pada bagian yang bersentuhan langsung dengan
gelas (Alimin, 2007).
Manfaat kawat ini yakni untuk menghindari pemanasan yang terlalu tinggi
sehingga menjaga agar tidak terjadi dekomposisi cairan atau uap pada bagian atas dari
sisi labu. Jarak antara labu dan sumbat gabus yang terpasang pada kondensor berkisar 25
mm, sehingga destilat dan cairan tidak terkontaminasi oleh kontak langsung dengan
sumbat gabus. Ukuran labu yang dipilih didasarkan pada jumlah bahan destilat yang
akan menempati antar separuh sampai tiga perdua dari kapasitas bola labu destilasi
(Alimin, 2007).
Pada proses pemisahan destilasi bahwa semua molekul dalam fasa cair memiliki
dinamika pergerakan yang konstan. Tekanan uap merupakan ukuran kecenderungan
terlepasnya molekul dari permukaan cairan, tekanan uap cairan ialah sifat dari cairan itu
dan tidak bergantung pada komposisi fasa uap. Peningkatan pergerakan molekul fasa
cair disebabkan oleh temperatur yang terus meningkat, sehingga mempercepat proses
terlepasnya molekul. Proses pemisahan campuran cairan biner A dan B menggunakan
distilasi dapat dijelaskan dengan hukum Dalton dan Raoult, yaitu “jika larutan yang
terdiri dari dua komponen yang mudah menguap, maka fase uap yang akan terbentuk
akan mengandung komponen dalam jumlah yang relatie banyak dibandingkan fase
cair”. Tekanan uap total suatu campuran cairan biner tergantung pada tekanan uap
komponen murni dan fraksi molnya dalam campuran. Jika uap dipindahkan dari
campuran cairan, maka pada suatu waktu tertentu, komposisi campuran cairan akan
berubah. Fraksi mol cairan yang memiliki titik didih lebih tinggi akan meningkat di
dalam campuran. Karena komposisi campuran cairan berubah, maka titik didih akan
berubah (Alimin, 2007).

2.5 Analisis Formalin


a. Pereaksi Nash
Pereaksi Nash adalah pereaksi yang dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan
kuantitatif formaldehid. Apabila pereaksi Nash bercampur dengan larutan formaldehid
dalam suasana asam kuat maka akan terbentuk senyawa kompleks berwarna kuning
(Nash, 1953).
Larutan formaldehid dengan konsentrasi 5 µg/mL dipipet sebanyak 5 mL ke dalam
labu ukur 10 mL, kemudian volumenya dicukupkan sampai batas menggunakan pereaksi
Nash (dibuat dari 2 mL asetil aseton, 3 mL asam asetat, dan 150 gram amonium
asetat yang diencerkan dengan aquadest hingga 1 L), kemudian dipanaskan diatas
9

penangas air (40±2oC) selama 30 menit. Jika bereaksi dengan formaldehid akan terjadi
perubahan warna dari tidak berwarna menjadi kuning. Selanjutnya didiamkan selama
30 menit pada suhu kamar kemudian diukur serapan pada panjang gelombang
maksimum (412 nm) (Nash, 1953).

2.6 Analisis Spektrofotometri


Spektrofotometer merupakan alat yang digunakan untuk mengukur transmitan atau
absorban pada suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Sedangkan metode
pengukuran dalam spektrofotometer ini ialah spektrofotometri (Basset, 1994).
Spektrofotometri UV-Vis merupakan salah satu teknik pengukuran interaksi
materi dengan energi yang memakai alat instrumen spektrofotometer dengan sumber
radiasi elektromagnetik UV-Vis. Spektrofotometri UV-Vis menganalisis molekul
dengan melibatkan energi elektronik yang cukup besar, sehingga pengukuran
absorbansi atau transmitansi dalam spektroskopi ultraviolet dan daerah tampak dapat
digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif (Khopkar, 2003). Ada beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam menggunakan analisis spektrofotometri UV-Vis, jika
ingin menganalisis menggunakan cahaya visibel, senyawa yang semula tidak
berwarna, maka senyawa tersebut harus diubah menjadi senyawa yang berwarna
(Rahman, 2007).
a. Absorbansi (A), Cahaya yang akan diserap tersebut sesuai dengan energi yang
dibutuhkan untuk mengalami perubahan dalam molekul, yang setara dengan nilai
konsentrasi larutan dan panjang berkas cahaya yang dilalui ke suatu point dimana
persentase jumlah cahaya yang ditransmisikan atau diabsobsi (Skoog,1971; Triyati,
1985).
Suatu larutan yang berwarna dapat menyerap sinar pada panjang gelombang tampak.
Intersitas cahaya yang diserap mempunyai hubungan tertentu dengan konsentrasi.
Hubungan antara intensitas cahaya yang diserap dengan konsentrasi ditunjukkan oleh
hukum Lambert-beer. Absorbansi dari hukum Lambert (1760) dan Beer (1852) antara
lain sebagai berikut :
A = Iog (Io / It) = a.b.c ...................................... (1)
Dimana (A) absorbansi, (Io) intensitas cahaya yang datang, (It) intensitas sinar yang
diteruskan, (a) absorptivitas molar (L.g-1.cm-1), (b) tebal kuvet (cm), dan (c)
konsentrasi (g/L, mg/mL) (Rahman, 2007).
Cahaya yang digunakan harus monokromatis, bila tidak maka akan diperoleh dua
nilai absorbansi pada dua panjang gelombang. Hukum Lambert- Beer tidak berlaku
untuk larutan yang pekat. Konsentrasi yang tinggi tidak berwarna justru mempunyai efek
10

absorbansi yang berlawanan. Jika suatu berkas sinar monokromatis jatuh mengenai suatu
medium yang homogen, laju pengurangan intesitas dengan ketebalan medium sebanding
dengan intensitas cahaya, maka sebagian dari sinar masuk akan dipantulkan, sebagian
diserap medium itu, dan sisanya diteruskan. Intesitas berkas sinar monokromatis yang
diteruskan mengalami penurunan sesuai dengan banyaknya zat yang menyerap sinar.
Spektrofotometer UV-Vis membandingkan cuplikan standar yaitu substrat gelas
preparat. Hasil pengukuran menunjukkan kurva hubungan transmitan dan panjang
gelombang (Basset, 1994).

Gambar 2.3 Kurva Kalibrasi


Panjang gelombang cahaya UV dan sinar tampak jauh lebih pendek daripada
panjang gelombang inframerah. Satuan yang digunakan untuk menentukan panjang
gelombang adalah monokromator (1 nm = 10-7 cm). Spektrum UV berkisar 100-400 nm,
sedangkan sinar tampak berkisar 400 nm (ungu) – 750 nm (merah) (Day and
Underwood, 2002).
b. Trasmitansi, transmitansi larutan merupakan bagian dari cahaya yang
diteruskan melalui larutan. Energi maksimum yang diserap oleh larutan ditunjukkan
pada panjang gelombang yang memiliki nilai absorbansi tertinggi dan transmitan
terendah. Energi maksimum dinyatakan sebagai persamaan Planck yang dituliskan
sebagai berikut:

(2)

Dimana E (energi yang diserap didalam suatu transisi elektronik dalam suatu molekul), h
(tetapan Planck (6,624 x 10-27 J.det), c (kecepatan cahaya (3 x 1010 cm/det), v (frekuensi,
Hz), dan λ (panjang gelombang, cm) (Khopkar, 2003).
Pada umumnya terdapat dua tipe instrumen spektrofotometri UV-Vis, yaitu
antara lain:
1. Singel-Beam, digunakan untuk analisis kuantitatif dengan mengukur
absorbansi pada panjang gelombang tunggal. Beberapa instrumen menghasilkan
single-beem untuk pengukuran sinar UV dan sinar tampak.
2. Double-Beem, mempunyai dua sinar yang dibentuk oleh potongan cermin yang
11

berbentuk V yang disebut pemecah sinar. Sinar pertama melewati blanko,


sedangkan sinar kedua melewati sampel (Skoog, DA., 1996).

Dalam hal ini, spektrofotometer yang sering digunakan adalah spektronik 20.
Larutan yang akan dianalisis diletakan ke dalam tabung kufet yang kemudian diletakan
pada tempat cuplikan, sehingga absorbsi atau % transmitan dapat dilihat pada skala
pembaca. Adapun komponen-komponen dari spektrofotometer meliputi:
1. Sumber cahaya, yakni lampu wolfram (tungsten). Sedangkan sumber untuk pada
daerah UV yakni lampu hidrogen atau deuterium.
2. Monokromator, berfungsi untuk menguraikan cahaya polikromatis menjadi sinar
yang monokromatis (prisma atau grating).
3. Kuvet, ketika pengukuran didaerah visibel menggunakan kuvet kaca atau kuvet
kaca corex. Sedangkan di daerah UV menggunakan sel kwarsa karena di daerah ini
gelas tidak tertembus oleh cahaya.
4. Detektor, yakni memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang
gelombang. Detektor akan mengubah cahaya menjadi sinyal listrik yang
ditampilkan layar pembaca (Cairns, 2009).
Cara kerja spektrofotometer yakni menghasilkan cahaya monokromatik dari
sumber sinar. Cahaya tersebut kemudian diteruskan menuju kuvet (tempat sampel).
Banyaknya cahaya yang diteruskan maupun yang diserap oleh larutan akan dibaca oleh
detektor yang kemudian disampaikan ke layar pembaca (Sastrohamidjojo, 1992).

Gambar 2.4 Diagram spektrofotometer UV-Vis


12

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Alat-alat Penelitian


Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain seperangkat alat destilasi
uap (500 mL), statif dan klem destilasi, seperangkat alat gelas, bola hisap, sendok
sungu, neraca analitik (O-Haus), hot plate (Lab-Line), spektronik, dan seperangkat
spektrofotometer UV-Vis (Jasco V-530).

3.2 Bahan Penelitian


Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain: mie basah berasal dari 4
pasar tradisional di Sleman, aquades, formalin 37%, ammonium asetat (Merck),
asetil aseton (Merck), asam asetat glasial (Mallinckrodt), dan H3PO485%.

3.3 Cara Kerja Penelitian


1. Penyiapan Bahan Baku dan Pereaksi
a. Pembuatan larutan Nash
Ditimbang 150 gram ammonium asetat dilarutkan dalam 800 mL aquades.
Kemudian ditambahkan 3 mL asam asetat glasial dan 2 mL asetil aseton, lalu di
encerkan menggunakan aquades hingga volume 1000 mL (Nash, 1953).
b. Pembuatan larutan asam fosfat 10%
Diukur asam fosfat (85%) 11,76 mL, kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur
100 mL dan diencerkan dengan aquades hingga garis batas.
c. Pembuatan Larutan Formalin Stok Induk 2%
Diukur formalin 37% sebanyak 0,54 mL, kemudian dimasukkan ke dalam labu
ukur 10 mL dan diencerkan dengan aquades hingga garis batas.
d. Pembuatan Larutan Formalin Stok Baku 200 µg/mL
Diukur formalin 2% sebanyak 0,1 mL, kemudian dimasukkan ke dalam labu
ukur 10 mL dan diencerkan dengan aquades hingga garis batas.
e. Pembuatan larutan standar
Larutan standar formalin dibuat dengan konsentrasi 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 ppm dibuat
dari larutan baku formalin 200 µg/mL.
2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum
Larutan formaldehid dengan konsentrasi 5 µg/mL dipipet sebanyak 5 mL ke dalam
labu ukur 10 mL, kemudian volumenya dicukupkan sampai batas menggunakan
pereaksi Nash, lalu dipanaskan diatas penangas air (40±2oC) selama 30 menit.
Selanjutnya didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar kemudian diukur serapan
13

dengan spektofotometer UV-Vis untuk menentukan panjang gelombang maksimum


(Nash, 1953).
3. Percobaan Metode Preparasi
Formalin 10 µg/mL sebanyak 10 mL yang ditambahkan aquades dengan variasi
volume 30 mL, 50 mL, 70 mL, 110 mL, dan 150 mL yang diasamkan dengan
larutan H3PO4 10% dengan variasi volume 3 mL, 5 mL, 10 mL, 15 mL, dan17
mL. Kemudian sampel didestilasi uap perlahan-lahan dengan variasi temperatur
yakni 86, 88, 91, 95, dan 100°C. Hasil destilasi ditampung dalam labu ukur 50 mL,
selanjutnya ditentukan kondisi optimum (JAOAC, 2000).
4. Preparasi Sampel
Ditimbang 10 gram sampel, dipotong-potong kemudian dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 500 mL, ditambahkan aquades 50 mL yang diasamkan dengan larutan
H3PO4 10% 10 mL. Kemudian sampel didestilasi uap perlahan-lahan dengan
temperature 91oC. Hasil destilasi ditampung dalam labu ukur 50 mL (JAOAC,
2000).
5. Uji Kuantitatif
Uji kuantitatif dilakukan dengan menyiapkan larutan hasil destilat sebanyak
5 mL ke dalam labu ukur 10 mL, kemudian volumenya dicukupkan sampai batas
menggunakan pereaksi Nash, lalu dipanaskan diatas penangas air (40±2oC) selama
30 menit. Selanjutnya didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar kemudian
diukur serapan dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
maksimum (Suryadi, 2008).
6. Penetapan Kadar Formalin
Penetapan kadar formalin adalah dari masing–masing larutan dimasukkan ke dalam
kuvet, kemudian diukur secara spektrofotometri cahaya tampak (visible) pada
panjang gelombang maksimum 413 nm. Untuk menghitung kadar formalin dalam
sampel dapat dihitung dengan menggunakan kurva kalibrasi dengan persamaan
regresi y = ax ±b.
14

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Panjang Gelombang Maksimum


Metode yang digunakan untuk analisis formalin adalah spektrofotometri UV-Vis
dengan pereaksi Nash untuk analisis kuantitatif. Prinsip metode spektrofotometri UV-Vis
didasarkan adanya interaksi dari energi radiasi elektromagnetik dengan zat kimia tempat
cahaya putih diubah menjadi cahaya monokromatis yang bisa dilewatkan ke dalam
larutan berwarna, sebagian cahaya diserap dan sebagian diteruskan. Pemilihan metode
secara spektrofotometri UV- Vis karena instrumen ini cukup sederhana, cepat, ekonomis
dan sensitif, sehingga dapat digunakan untuk analisis rutin untuk menentukan kadar
dengan konsentrasi yang kecil. Metode tersebut tidak dapat menganalisis larutan formalin
secara langsung, sebab formalin merupakan larutan yang tidak berwarna dan tidak
memiliki gugus kromofor atau ikatan rangkap memberikan spektrum serapan berwarna
dengan formalin yakni pereaksi Nash yang memberikan konsistensi warna kuning terang.
Penentuan panjang gelombang maksimum larutan terkonjugasi. Oleh karena itu,
diperlukan senyawa lain sebagai pereaksi yang dapat baku formalin dengan pereaksi
Nash diukur menggunakan alat instrumen spektrofotometri UV-Vis pada panjang
gelombang yakni pada rentang 350-500 nm. Panjang gelombang maksimum diperoleh
dari kurva hubungan antara panjang gelombang dan absorbansi. Hasil pengukuran
absorbansi untuk menentukan panjang gelombang maksimum larutan formalin dapat
dilihat pada Gambar 4.1

Gambar 4.1 Spektra Panjang Gelombang Larutan Formalin


Panjang gelombang formalin pada Gambar 4.1, terlihat bahwa spektrum serapan
optimum berada di daerah panjang gelombang 413 nm yang dihasilkan dari larutan
formalin dengan konsentrasi 5 µg/mL. Menurut literatur (Nash, 1953), formalin
memiliki serapan optimum pada 412 – 415 nm, artinya panjang gelombang yang
diperoleh dalam penelitian ini masih sesuai dengan kisaran serapan optimum formalin
pada umumnya.
15

Penentuan panjang gelombang maksimum perlu dilakukan agar mengetahui


daerah serapan maksimum. Panjang gelombang maksimum memiliki kepekaan yang
maksimal karena terjadi perubahan absorbansi yang paling besar dan bentuk kurva
absorbansi memenuhi hukum Lambert-Beer (Rahman, 2007). Untuk memperoleh
panjang gelombang serapan maksimum, dilakukan dengan membuat kurva hubungan
antara absorbansi dengan panjang gelombang dari larutan baku pada konsentrasi tertentu
(Rahman, 2007).
Penggunakaan pereaksi Nash berfungsi sebagai pereaksi yang dapat memberikan
spectrum serapan berwarna pada formalin, karena larutan formalin merupakan larutan
tidak berwarna. Penambahan pereaksi nash sehingga menghasilkan gugus kromofor yakni
reaksi kompleks Nash-formalin atau gugus fungsional yang tidak jenuh yang memberikan
serapan pada daerah ultraviolet atau cahaya tampak. Metode ini berdasarkan reaksi
Hantzsch atau sintesis Hantzsch dihydropyridine yakni reaksi organik multi komponen
antara aldehida seperti formaldehida, 2 ekivalen ester β-keto seperti etil
asetoasetat atau 2,-pentanadion dan donor nitrogen seperti amonium asetat untuk
membentuk hasil warna kuning (Li, et al, 2007). Semakin kuning larutan yang
didapat maka semakin tinggi konsentrasinya. Pemanasan yang dilakukan selama 30
menit pada suhu 40±2oC menghasilkan larutan yang berwarna kuning terang
yakni membentuk senyawa 3,5-diasetil-2,6-dimetil-1,4-dihidro-piridin, sehingga dapat
diukur serapannya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada daerah sinar
tampak dengan panjang gelombang 412 – 415 nm (Nash, 1953). Berikut reaksi
formalin dengan pereaksi Nash:
Tabel 4.1 Data Absorbansi dari Larutan Standar Formalin

No Nama Larutan Konsentrasi (µg/mL) Absorbansi


1 Blanko 0 0,002
2 Standar 1 1 0,098
3 Standar 2 2 0,223
4 Standar 3 3 0,324
5 Standar 4 4 0,438
6 Standar 5 5 0,550
7 Standar 6 6 0,662
8 Standar 7 7 0,782

Kurva standar larutan formaldehid dibuat berdasarkan hubungan antara absorbansi dan
konsentrasi zat warna. Persamaan kurva kalibrasi menghasilkan hubungan antara sumbu
x dan y. Sumbu x menyatakan konsentrasi hasil dari pengukuran, sedangkan sumbu y
menyatakan serapan hasil dari pengukuran. Kurva standar larutan formalin dapat
dilihat pada Gambar 4.2
16

Gambar 4.3 Kurva Standar Formalin

Kurva standar pada Gambar 4.3, diperoleh persamaan regresi linier y =


0,1116x – 0,0058 dengan koefisien korelasi (r) sebesar 0,9995 yang mendekati nilai
1. Dalam hal ini menyatakan absorbansi dan konsentrasi memiliki hubungan berbanding
lurus atau menyatakan hubungan yang linier, karena nilai absorbansi yang diperoleh
meningkat sejajar dengan peningkatan konsentrasi formalin. Oleh karena itu, nilai
korelasi memenuhi kriteria penerimaan yaitu ≥ 0,98 dengan persamaan y = mX + b,
sehingga penggunaan metode tersebut dapat digunakan untuk analisis formalin dengan
hasil yang baik.

Keterangan : C = Konsentrasi (ppm) A = Absorbansi


a = 0,1116 (L· mg-1 · cm1)
b = 0,0058 (intersep) (Sitorus, 2009).

Setelah memperoleh kurva kalibrasi yang memenuhi kriteria analisis, selanjutnya


data yang diperoleh diolah dengan menentukan batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi
(LOQ). Nilai batas deteksi formalin (LOD) yang diperoleh sebesar 0,146 µg/mL dan
batas kuantitasi formalin (LOQ) sebesar 0,489 µg/mL.
17

4. Penentuan Kondisi Optimum Destilasi


Pada proses preparasi sampel, dilakukan dengan cara metode destilasi menggunakan
alat destilasi sederhana. Metode tersebut digunakan karena formalin merupakan
senyawa yang berbentuk gas dan bersifat mudah menguap, dimana titik didih
formalin diketahui dibawah 100oC. Proses destilasi sederhana ini digunakan untuk
senyawa yang tidak tahan pada pemanasan pada suhu tinggi, sehingga proses tersebut
diperlukan untuk preparasi agar formalin tidak rusak. Tahap ini dilakukan untuk
menghindari kesalahan data analitik yang sangat menentukan data pengujian, maka
peneliti harus menyadari dan menghindari kesalahan dengan cara menguji ulang suatu
metode tersebut dikarenakan hasil data dari peneliti satu dengan peneliti yang
lainnya pasti berbeda. Penentuan kondisi optimum pada proses destilasi, antara lain:
perbandingan variasi aquades dengan asam fosfat 10% dan temperatur destilasi.
o
Dikarenakan titik didih formalindibawah 100 C, maka peneliti menggunakan
temperatur 91 oC sebagai standar awal dalam pelaksanaan destilasi sederhana.
a. Penentuan volume optimum aquades
Pada penentuan volume optimum aquades dilakukan dengan destilasi sederhana,
yaitu penggunaan larutan standar formalin 10 µg/mL, kemudian ditambahkan aquades
dengan variasi volume 30 mL, 50 mL, 70 mL, 110 mL, dan 150 mL yang diasamkan
dengan larutan H3 PO4 10% sebanyak 10 mL. Lalu didestilasi perlahan-lahan dengan
temperatur 91°C. Hasil destilat diambil sebanyak 5 mL dan dimasukkan ke dalam labu
ukur 10 mL, ditambahkan pereaksi Nash sampai tanda batas yang disertai pemanasan
selama 30 menit yang akan menghasilkan warna kuning terang. Selanjutnya di ukur
absorbansinya pada panjang gelombang 413 nm. Grafik variasi aquades dapat dilihat
pada Gambar 4.4

Gambar 4.4 Gambar Variasi Aquades (mL)

Gambar 4.4 menunjukkan bahwa optimum variasi aquades berada di volume 50


18

mL dengan absorbansinya sebesar 0,594 A. Dalam hal ini aquades diperlukan sebagai
pelarut untuk melarutkan formalin atau sampel, dan pada volume tersebut terjadi reaksi
kesetimbangan yang stabil. Aldehid sebagai formaldehid bereaksi dengan air untuk
membentuk suatu 1,1-diol yang disebut gem-diol atau hidrat dimana reaksi yang
terbentuk ialah adisi nukleofilik atau proses hidrasi yang reversibel (kesetimbangan).
Semakin reaktif aldehida maka produk yang dihasilkan semakin stabil. Menurut Solhy
dalam penelitiannya keberadaan air dalam reaksi ini mengaktifkan situs aktif dari katalis.
Reaksi yang terjadi yakni kesetimbangan yang terletak pada sisi karbonil (Fessenden,
1982). Adapun reaksinya:

Gambar 4.5 Reaksi Kesetimbangan


b. Penentuan volume optimum asam fosfat 10%
Pada penentuan volume optimum asam fosfat 10% dilakukan dengan destilasi
sederhana, yaitu penggunaan larutan standar formalin 10 µg/mL, kemudian ditambahkan
aquades 50 mL yang diasamkan dengan larutan H 3PO4 10% dengan variasi volume 3, 5,
10, 15, dan 17 mL. Lalu didestilasi perlahan- lahan dengan temperatur 91°C. Grafik
variasi asam fosfat 10% dapat dilihat pada Gambar 4.5

Gambar 4.6 Variasi Asam Fosfat 10% (mL)


19

Penggunaan H3PO4 dalam destilasi ini berfungsi sebagai katalis, yakni


mempercepat reaksi tetapi tidak ikut bereaksi. Penambahan asam fosfat ditujukan untuk
menghancurkan atau melepaskan ikatan antara formaldehid dan protein dengan reaksi
cepat sehingga formaldehid dapat terlepas dengan proses destilasi sederhana. Dalam
hal ini untuk mencapai reaksi kesetimbangan maka menggunakan katalis asam
yang encer. Berdasarkan hasil grafik pada Gambar 4.6, menunjukkan bahwa pada
volume 10 mL merupakan kondisi optimum larutan H3PO4 10% yakni absorbansinya
sebesar 0,594 A. Diperoleh hasil tersebut dikarenakan pada volume 10 mL asam fosfat
bersifat stabil sebagai katalis untuk reaksi kesetimbangan.
c. Penentuan temperatur optimum destilasi sederhana
Pada penentuan temperatur optimum destilasi sederhana, yaitu penggunaan larutan
standar formalin 10 µg/mL, kemudian ditambahkan aquades 50 mL yang diasamkan
dengan larutan 10 mL H3PO4 10%. Lalu di destilasi perlahan-lahan dengan variasi
temperatur yakni 86, 88, 91, 95, dan 100°C. Grafik variasi temperatur destilasi dapat
dilihat pada Gambar 4.6

Gambar 4.7 Variasi Temperatur Destilasi (oC)

Formalin merupakan senyawa yang berbentuk gas dan mempunyai sifat yang
sangat volatil atau mudah menguap, formalin memiliki titik didih dibawah 100 °C.
Penentuan untuk temperatur destilasi ini dilakukan untuk mengetahui titik didih
optimum pada senyawa formalin, dikarenakan setiap larutan formalin memiliki merk
dagang yang berbeda, sehingga besar kemungkinannya titik didih pada masing-
masing merk formalin berbeda namun tidak signifikan. Pada Gambar 4.7,
menunjukkan bahwa pada temperatur 91oC merupakan kondisi optimum temperatur
destilasi formalin.
20

Hasil tersebut diperoleh karena jika semakin tinggi temperatur, maka yang akan
menguap bukan hanya formalin, melainkan aquades yang memiliki titik didih mendekati
100oC. Tetapi jika semakin rendah temperatur, maka proses destilasi berjalan lambat dan
formalin tidak dapat menguap dengan sempurna.
Berdasarkan hasil uji kondisi optimum destilasi yang meliputi volume aquades,
asam fosfat 10%, dan temperatur destilasi, didapatkan kondisi optimum keseluruhan
yakni 50 mL aquades, 10 mL asam fosfat 10%, dan temperatur destilasi sebesar
91oC. Dengan demikian, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kurniawati (2004) yakni
menggunakan 50 mL aquades dan 10 mL asam fosfat 10%.

5. Analisis Kuantitatif Sampel Mie Basah


Mie basah sebanyak 10 gram di potong kecil-kecil dan ditambahan aquades
yang telah diasamkan dengan asam fosfat 10%, sampel harus di potong untuk
memudahkan proses destilasi. Jika formalin bereaksi dengan protein maka membentuk
rangkaian protein yang berdekatan dan mengakibatkan protein menjadi keras dan
tidak dapat larut (Standen, 1966), sehingga menyebabkan makanan khusunya mie basah
menjadi kenyal dan tidak mudah putus. Selanjutnya dilakukan destilasi dengan suhu
±91oC, setelah diperoleh destilat maka di larutkan dengan menggunakan pereaksi Nash
dan diukur absorbansinya menggunakan alat spektrofotometer UV-Vis pada panjang
gelombang 413 nm.

Gambar 4.8 Diagram Analisis Kuantitatif Pada Sampel Mie Basah


Dimana : Sampel A : pasar Colombo
Sampel B : pasar Maguwo
Sampel C : pasar Gejayan
Sampel D : pasar Gowok
Hasil pengujian kadar dari keempat sampel yang diperiksa menghasilkan data
absorbansi yang berbeda. Sampel yang absorbansinya diketahui kemudian ditentukan
21

konsentrasinya dengan menggunakan persamaan linear yang didapat dari kurva kalibrasi
yaitu y = 0,1116x – 0,0058 . dimana y adalah absorbansi larutan sampel dan x adalah
konsentrasi cuplikan yang dicari. Berdasarkan hasil perhitungan konsentrasi sampel mie
basah, didapat rata-rata konsentrasi pada sampel A setelah 3 kali pengukuran diperoleh
absorbansi 0,124 A dengan kadar formalin sebesar 1,1631 µg/mL. Konsentrasi sampel B
diperoleh absorbansi 0,204 A dengan kadar formalin sebesar 1,8261 µg/mL. Konsentrasi
sampel C diperoleh absorbansi 0,093 A dengan kadar formalin sebesar 0,8853
µg/mL. Sampel keempat yakni sampel D diperoleh absorbansi 0,0023 A dengan kadar
formalin sebesar 0,0778 µg/mL.

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada keempat sampel mie basah, dapat dilihat
bahwa pada sampel A, B, C, dan D yang dianalisis menunjukkan bahwa keempat
sampel tersebut mengandung formalin dengan kadar yang berbeda. Kadar terbesar
yaitu pada sampel B sebesar 1,8261 µg/mL dan kadar terendah pada sampel D yakni
0,0778 µg/mL. Dari hasil konsentrasi dari keempat sampel, kadar pada sampel D yang
diperoleh diklasifikasikan tidak terdeteksi formalin karena konsentrasi yang didapat
lebih kecil dari LOD yakni 0,146 µg/mL.
Banyaknya makanan yang telah terkontaminasi bahan tambahan pangan yang berbahaya
dapat membahayakan konsumen. Di dalam tubuh, jika terakumulasi dalam jumlah besar,
maka formalin akan bereaksi secara kimia dengan hampir semua zat yang terdapat
didalam sel, sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan kematian sel dan keracunan
pada tubuh (Cahyadi, 2012).
22

BAB 5. PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian terhadap kandungan formalin pada mie basah maka
dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil uji metode preparasi sampel menggunakan destilasi sederhana dengan
berbagai variasi, maka diperoleh kondisi optimum sebagai berikut: digunakan
aquades 50 mL, dengan temperatur 91oC, dan asam fosfat 10% 10 mL.
2. Dari hasil uji kuantitatif dengan alat spektrofotometri pada panjang gelombang 413
nm, konsentrasi sampel A (pasar Colombo) sebesar 1,1631 µg/mL, sampel B
(pasar Maguwo) sebesar 1,8261 µg/mL, sampel C (pasar Gejayan) sebesar 0,8853
µg/mL dan sampel D (pasar Gowok) sebesar 0,0778 µg/mL.

B. Saran
Perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk analisis formalin pada berbagai makanan
dengan metode lainnya seperti HPLC atau kromatografi gas. Terutama
makanan yang paling banyak dikonsumsi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu perlu
dilakukan studi lanjut untuk analisis bahan berbhaya lainnya pada makanan.
23

DAFTAR PUSTAKA

Afrianti, L.H. 2005. Bahan Tambahan Makanan Tak Sekedar Bahan Tambahan.
http://www.pikiranrakyat.com/cetak2005/0205/24/cakrawala/penelitian01.
htm. Diakses 01-07-05. Didalam: Tumbel, M. 2012. Analisis Kandungan
Boraks dalam Mie Basah yang Berdear di Kota Makassar. Jurnal
CHEMICA. Vol. 11. No (1) 1 Juni 2010. Hal: 57-64
Alimin, Muh. Yunus dan Irfan Idris. 2007. Kimia Analitik Makassar: Alauddin
Press, h. 35.
Altshuller A.P., Miller D.L., Sleva S.F. 1961. Determination of Formaldehyde in
Gas Mixture By The Chromotropic Acid Method. Anal. Chem., 33(4), 621-
625
Andarwulan, Kusnandar, Herawati. 2011. Analisis Pangan. Jakarta: PT. Dian
Rakyat
Badan POM RI. 2003. Produk Pangan yang Mengandung Formalin. Buletin
Keamanan Pangan. Vol: 03/Th II/2003
Badan POM RI. 2010. Laporan Tahunan 2010 Balai Besar POM Semarang.
Semarang : Badan POM
Badan POM RI. 2013. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2013 Tentang Batas Maksimum
Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengawet.
Bianchi, F., et al. 2007. Fish and Food Safety: Determination of Formaldehyde in
12 Fish Species by PME Extraction and GC-MS Analysis. Food Chem.,
100: 1049-1053
Buckle, K. A., Edward, R. A., Fleet, G. H., Souness R., and Wotton, M. 1987.
Ilmu Pangan, Cetakan I. Diterjemahkan oleh Hari Purnomo dan Adiono.
Jakarta : UI-Press
Cahyadi, W. 2012. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan,
Edisi II, Cetakan Pertama. Jakarta : PT. Bumi Aksara
Day, R.A. dan Underwood, A.L. 2002. Analisis Kimia Kuantitaif Edisi Keenam.
Jakarta: Erlangga.
Departemen Kesehatan. 1999. Permenkes RI No.1168/Menkes/Per/X/1999
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1996. Direktorat Pengawasan Obat
dan Makanan, Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
722/Menkes/Per/IX/1988, Tentang Bahan Tambahan Makanan. Edisi II,
Jilid II 1992. Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Efendy, S. 2004. Penggunaan Bahan Tambahan Makanan.
http:www.mediaindonesia.co.id. Jakarta : Media Indonesia. Diakses
tanggal 01-07-05. Didalam : Tumbel, M. 2012. Analisis Kandungan
Boraks dalam Mie Basah di Kota Makassar. Jurnal CHEMICA, Vol. 11,
No (1) 1 Juni 2010. Hal: 57-64
Fessenden, Fessenden. 1982. Kimia Organik, Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta : PT.
Gelora Aksara Pratama
Gosselin, ER, et al. 1976. Clinical Toxcology of Commercial Products: Acute
Poisoning, 4th ed. Baltimore: The Williams and Wilkins Co, 1976, p. 166-
67
24

Gracecia, D. 2005. Profil Mie Basah yang Diperdagangkan di Bogor dan Jakarta.
Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor

Handiati, Eva. 2003. Analisis Bahan Tambahan Kimia (Bahan Pengawet) dan
Pewarna) yang Dilarang Digunakan dalam Makanan Jajanan. Tugas
Akhir yang tidak dipublikasikan, Fakultas Teknik Universitas Pasundan
Harjadi, W. 1990. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: PT Gramedia.
Harmita. 2004. Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara
Perhitungannya. Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Jakarta. Artikel
Majalah Ilmu Kefarmasian, ISSN : 1693-9883, Vol. I, No.3, Desember
2004, 117-135
Hastuti, S. 2010. Analisis Kualitatif Formaldehid pada Ikan Asin di Madura.
Madura: Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo.
IARC. 2006. IARC Monograph on The Evaluation of Carcinogenic Risk to
Humans: Formaldehyde, 2-Butoxythanol and 1-tert-Butoxypropan-2-ol.
Vol. 88. Lyon : WHO
Jay, J.M. 2000. Modern Food Microbiology. 6th Edition. Aspen Publisher, Inc.
Maryland
Journal Association Of Official Analytical Chemests. 1994. 47:548
Khamidinal. 2009. Teknik Laboratorium KimiA. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h.
137
Khopkar, SM. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik, Cetakan I. Diterjemahkan
Oleh: A. Saptohardjo, Pendamping Agus Nurhadi. Jakarta : UI-Press
Koswara, Ir. Sutrisno. 2009. Teknologi Pengolahan Mie; Produksi Ebook.com.
Seri Teknologi Pangan Populer
Li J., Zhu J., Ye L. 2007. Determination of Formaldehyde in Squide by
Highperformance Liquid Chromatography. Asia Pac. J. Clin. Nutr., 16(1):
127-130
Manoppo, G. 2014. Analisis Formalin Pada Buah Impor di Kota Manado.
Fakultas MIPA UNSRAT, Manado. PHARMACON Jurnal Ilmiah
Farmasi, Vol (3). No.3, Agustus 2014 ISSN 2302-2493
Mulono, H.J. 2005. Toksikologi Lingkungan. Surabaya: Universitas Airlangga.
Hal: 134-155. Didalam: Susanti, Sanny. 2010. Penetapan Kadar Formalin
Pada Tahu yang Dijual di Pasar Ciputat dengan Metode Spektrofotometri
25

LAMPIRAN

Lampiran 1. Penentuan Kondisi Optimum Destilasi


1. Penentuan Volume Optimum Aquades
Tabel 1. Penentuan Volume Optimum Aquades
H2 O H3PO4 10% Temperatur Formalin Absorbansi
30 mL 10 mL 91 0C 10 ppm (10 mL) 0,338
50 mL 10 mL 91 0C 10 ppm (10 mL) 0,594
70 mL 10 mL 91 0C 10 ppm (10 mL) 0,442
110 mL 10 mL 91 0C 10 ppm (10 mL) 0,248
150 mL 10 mL 91 0C 10 ppm (10 mL) 0,167

2. Penentuan Volume Optimum Asam Fosfat 10%


Tabel 2. Penentuan Volume Optimum Asam Fosfat 10%
H2 O H3PO4 10% Temperatur Formalin Absorbansi
50 mL 3 mL 91 0C 10 ppm (10 mL) 0,402
0
50 mL 5 mL 91 C 10 ppm (10 mL) 0,462
50 mL 10 mL 91 0C 10 ppm (10 mL) 0,594
0
50 mL 15 mL 91 C 10 ppm (10 mL) 0,424
50 mL 17 mL 91 0C 10 ppm (10 mL) 0,373

3. Penentuan Optimum Temperatur Destilasi


Tabel 3. Penentuan Temperatur Optimum Destilasi Sederhana
H2 O H3PO4 10% Temperatur Formalin Absorbansi
50 mL 10 mL 86 0C 10 ppm (10 mL) 0,416
50 mL 10 mL 88 0C 10 ppm (10 mL) 0,420
50 mL 10 mL 91 0C 10 ppm (10 mL) 0,594
50 mL 10 mL 95 0C 10 ppm (10 mL) 0,325
50 mL 10 mL 100 0C 10 ppm (10 mL) 0,206

Tabel 7. Tabel Konsentrasi Sampel Mie Basah


Pengukuran Absorbansi Absorbansi
No. Kode Sampel
I II III Rata-Rata (ppm)
1 Sampel A 0,124 0,122 0,127 0,124 1,1631
2 Sampel B 0,209 0,198 0,205 0,204 1,8261
3 Sampel C 0,099 0,095 0,087 0,093 0,8853
4 Sampel D 0,000 0,002 0,005 0,0023 0,0778

Anda mungkin juga menyukai