Anda di halaman 1dari 15

TEKNOLOGI PROSES EKSTRAKSI BUAH PISANG MENGGUNAKAN

PELARUT ETANOL
Judith Henny Mandei

I. PENDAHULUAN

Pisang (Musa paradisiaca) merupakan salah satu produk buah unggulan nasional. Buah
ini sangat memasyarakat karena dapat dikonsumsi kapan saja mulai dari bayi hingga manula.
Daerah penyebaran pisang cukup luas, umumnya pisang ditanam di pekarangan maupun
ladang dan sebagian sudah ada dalam bentuk perkebunan. Selain diambil buahnya, tanaman
pisang juga dapat dimanfaatkan daun, bunga, batang dan bonggolnya (Kuntarsih, 2012).
Pisang termasuk komoditas hortikultura yang berpeluang sangat tinggi sebagai bahan
diversifikasi pangan, food security dan agribisnis di Indonesia. Potensi ini bukan saja karena
karbohidrat, nutrisi, mineral dan kandungan seratnya yang sangat memenuhi persyaratan
sebagai komoditi pangan dan makanan diet tetapi juga permasalahan yang timbul pada saat
panen raya dimana jumlah pisang melimpah dan menumpuk terutama di sentra produksi
pisang (Anonim, 2011).
Pada tahun 2010, produksi pisang di Indonesia mencapai 5,8 juta ton atau sekitar 30%
dari produksi buah nasional. Luas panen tanaman pisang di Indonesia tahun 2010 adalah
sebesar 101.276 ha, dengan produksi 5.755.073 ton dan produktivitas rata-rata 56,83 ton/ha
(Kuntarsih,2012). Komposisi kimia daging pisang seperti kadar air, kadar pati, kadar gula
reduksi, dan kadar sukrosa dipengaruhi oleh tingkat kematangan dan jenis pisang. Tingkat
kematangan buah pisang ditandai dengan terjadinya perubahan warna pada kulit pisang.
Salah satu komponen penting yang ada dalam buah pisang adalah fruktooligosakarida
(FOS). Dalam bidang industri pangan, FOS digunakan sebagai pemanis pengganti gula
sukrosa untuk makanan rendah kalori. Berdasarkan tingkat kemanisannya yang cukup (kurang
lebih sepertiga dari sukrosa), produksi FOS secara industrial memungkinkan adanya
pengembangan pasar untuk memenuhi permintaan pasar akan gula yang digunakan pada
berbagai variasi makanan. FOS tergolong dalam fructan (polyfructose) yang secara alami
dapat ditemukan pada tumbuhan dan dianggap sebagai serat (dietary fibre). Oleh karena
beberapa data menunjukkan dampak fisiologis yang positif, maka fructan yang ditambahkan
dalam produk makanan atau minuman dapat dianggap sebagai serat fungsional. FOS hampir

1
tidak tercerna oleh sistem pencernaan manusia, sehingga bisa tiba di usus tanpa mengalami
perubahan dan menyediakan sumber makanan bagi bakteri baik (Grooper et al., 2009),
sehingga digolongkan sebagai prebiotik.
Fruktooligosakarida merupakan senyawa yang disebut prebiotik tersebut berguna bagi
kesehatan karena memelihara bakteri probiotik yang menguntungkan bagi manusia di dalam
usus. Bakteri ini menghasilkan vitamin dan enzim pencernaan yang meningkatkan
kemampuan menyerap nutrisi, serta senyawa yang melindungi manusia dari mikroorganisme
yang berbahaya. Ketika fruktooligosakarida difermentasikan oleh bakteri-bakteri ini, tidak
hanya jumlah bakteri probiotik saja yang meningkat, tetapi juga kemampuan tubuh untuk
menyerap kalsium. Terlebih lagi, waktu transit gastrointestinal menjadi lebih singkat,
mengurangi resiko kanker usus.
Ketika murni, FOS memiliki tingkat kemanisan sekitar 35% dibandingkan sukrosa.
Kemanisannya mirip dengan gula, rasanya sangat bersih tanpa adanya efek iritasi pada lidah ,
dan dapat pula menimbulkan aroma buah-buahan. FOS menunjukkan stabilitas yang baik
selama proses pemasakan, seperti perlakuan panas. FOS, dikenal di Jepang sebagai sebagai
pemanis, peningkat aroma, pengembang, dan humektan. Dalam industri pangan, FOS
digunakan dalam pembuatan kue, roti, permen, produk susu, dan beberapa minuman sebagai
pengganti sukrosa rendah kalori (Ekandini 2006).
FOS beserta komponen gula lainnya dapat diekstrak dari buah pisang menggunakan
pelarut etanol. Dalam tulisan ini akan dikaji teknologi proses ekstraksi menggunakan pelarut
etanol untuk mendapatkan ekstrak buah pisang, dan melihat pengaruh penggunaan pelarut
etanol pada beberapa konsentrasi terhadap hasil ekstrak dari buah pisang.

2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Buah Pisang
Buah pisang termasuk buah yang mudah rusak (perishable) akibat masih berlangsungnya
proses respirasi walaupun buah tersebut sudah dipanen. Kondisi demikian mengakibatkan nilai
jual pisang jatuh dan berimbas pada rendahnya pendapatan petani.. Komposisi kimia buah pisang
bervariasi tergantung pada varietas dan tingkat kematangan. Semakin masak buah pisang
kandungan total gula semakin tinggi dan kandungan pati semakin menurun (Zhang et al, 2005).
Menurut Hogarath et al(2000), kandungan FOS dalam buah pisang dalam bentuk GF2,
GF3 dan GF4 (dimana G=molekul glukosa dan F=molekul fruktosa).
Tabel 1. Komposisi Zat Gizi Pisang per 100 g Buah Segar (Aurore et al. 2009)

Senyawa Komposisi
Energi (Kkal) 91.00
Air (g) 63.00
Karbohidrat (g) 24.30
Protein (g) 0.80
Lemak (g) 0.10
Ca (mg) 7.00
Mg (mg) 33.00
P (mg) 35.00
Fe (mg) 0.50
Cu (mg) 0.16
Β karoten ekuivalen (μg) 0.03 – 1.20
Vitamin B1 (mg) 0.05
Vitamin B2 (mg) 0.05
Vitamin B6 (mg) 0.07
Vitamin C (mg) 20.00
Asam pantotenat (mg) 0.37
Asam folat (mg) 0.16
Serotonin (mg) 45.00
.

Tingkat kematangan juga mempengaruhi komposisi kimia daging pisang seperti kadar
pati, kadar gula reduksi, kadar sukrosa dan suhu gelatinisasi pati. Tingkat kematangan ini
ditandai dengan perubahan warna kulit pisang seperti yang dijelaskan pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Pati, Gula dan Suhu Gelatinisasi Berdasarkan Tingkat


Kematangan Warna Kulit Pisang (Zhang et al. 2005)

3
Komposisi dalam 100 gr berat segar Suhu Gelatinisasi
Warna Kulit
Pati Gula Reduksi Sukrosa (°C)
Hijau 61,7 0,2 1,2 74,81
Hijau 58,6 1,3 6,0 75,80
Hijau ada kuning 42,4 10,8 18,4 77,81
Hijau kekuningan 39,8 11,5 21,4 75,78
Kuning kehijauan 37,6 12,4 27,9 76,81
Kuning dengan ujung hijau 9,7 15,0 53,1 76,81
Kuning sempurna 6,3 31,2 51,9 76,80
Kuning sedikit noda coklat 3,3 33,8 52,0 79,83
Kuning banyak noda coklat 2,6 33,6 53,2 -

B. Fruktooligosakarida (FOS)
FOS (Fruktooligosakarida) adalah suatu campuran oligosakarida yang terdiri dari unit-
unit fruktosa dengan ikatan rantai β-2,1, jumlah unitfruktosa penyusun antara 2 sampai 8 unit.
FOS merupakan campuran dari oligomer sukrosa 1F-(1-β-fructofuranosyl)n-1. FOS terdiri dari
molekul sukrosa (glucosefructosedisaccharides,GF) yang satu, dua, atau tiga unit fruktosa
tambahan telahditambahkan dengan β-2-1 glycosidic yang berikatan dengan unit fruktosa
darisukrosa (Trenev, 2000).
Yang termasuk dalam golongan FOS adalah 1-kestose (GF2; Fruƒβ2->1Fruƒβ2-
>1αGlc), nistose (GF3; Fruƒβ2->1Fruƒβ2->1Fruƒβ2->1αGlc), fruktofuranosyl nystose (GF4),
bificrose, inulobiose, inulotriose, inulotetraose, dan neo-kestose (Lee dan Shinohara, 2001).
FOS juga merupakan serat terfermentasi yang mempunyai fungsi sebagai prebiotik.
Menurut Gropper et al dalam Nagari (2011), prebiotik berperan sebagai substrat untuk
meningkatkan pertumbuhan bakteri menguntungkan atau yang bermanfaat bagi kesehatan.
Konsumsi 10-15 g FOS per hari selama 14-21 hari dapat meningkatkan jumlah bakteri
menguntungkan (populasi koloni Bifidobacteria) di dalam usus, sehingga dapat mencegah
beberapa penyakit seperti diare.
FOS merupakan produk turunan dari inulin yang dihidrolisis menjadi bentuk
oligofruktosa. FOS dapat diproduksi secara komersil dari transfruktosilasi sukrosa atau
degradasi inulin secara enzimatis. Namun ada juga yang memproduksi FOS dari inulin dengan
metode hidrolisis secara kimiawi menggunakan asam (Ekandini, 2006). Sedangkan menurut
Wichienchot et al (2011), FOS dapat dihasilkan dari polimerisasi monomer-monomer
fruktosa melalui fruktosyltransferase.

4
Secara alami FOS terdapat dalam berbagai sayur dan buah misalnya bawang merah,
asparagus, dan chicory (mengandung inulin), pisang, oligosakarida pada kedelai, dan artichoke
(Tensiska 2008).Kandungan FOS dalam beberapa jenis tanaman dapat dilihat pada Tabel 3.
FOS, dikenal di Jepang sebagai sebagai pemanis, peningkat aroma, pengembang, dan
humektan.
Tabel 3.Kandungan FOS dalam Beberapa Produk Buah (Hogarath et al., 2000).

Produk GF2 GF3 GF4


Fruits
Apple juice 82 92 73
Apple sauce 98 99 93
Banana, stage 1 125 129 97
Banana chips 104 102 93
Grapes, seedless 84 100 Interferences
Concord, grapes juice, jar 108 116 102
Tomato juice 110 105 96
Tomato paste 119 114 80

Karakteristik fisiko-kimia dari fruktooligosakarida dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Karakteristik fisiko-kimia FOS (Franck, 2002)
Karakteristik FOS
Struktur kimia GFn + Fn(2 ≤ n ≤ 7)
Rata-rata derajat polimerisasi 4
Kadar bahan kering ≥ 95
Kandungan FOS (% b.k) 95
Kandungan gula (% b.k) 5
Ph (10 % b/b) 5-7
Kadar abu sulfat (% b.k) < 0,2
Kadar logam (ppm b.k) < 0,2
Penampakan Bubuk putih atau sirup bening
Rasa Agak manis
Kemanisan (vs sukrosa = 100 %) 35
Kelarutan dalam air pada 25 °C (g/l) >750
Viskositas dalam air pada (5 %) pada 10 °C (mPa.s) < 1,0
Fungsi pada makanan Substitusi gula
C. Ekstraksi
Ekstraksi merupakan operasi perpindahan massa untuk pemisahan dengan
menggunakan pelarut yang sesuai. Peristiwa perpindahan massa suatu komponen dari padatan

5
kedalam cairan pelarut dikenal dengan istilah ekstraksi padat cair (Sudarmi dan Siswanti,
2011).
Treybal (1981) menyatakan bahwa interaksi antara solute dengan padatan, solute dengan
pelarut dan pelarut dengan padatan sangat berpengaruh pada proses ekstraksi. Pada proses
ekstraksi ini, dengan adanya pemanasan solute yang terperangkap di dalam padatan mulai
meleleh, bergerak melalui pori-pori padatan. Adanya penambahan pelarut menyebabkan pori-
pori padatan mengembang dan pelarut yang masuk kemudian melarutkan solute dilanjutkan
dengan berdifusi keluar permukaan partikel padatan dan bergerak ke lapisan film sekitar
padatan, untuk selanjutnya ke badan cairan.
Beberapa faktor yang berpengaruh dalam operasi ekstraksi adalah sebagai berikut (Ramadhan,
2005):
a. Penyiapan bahan sebelum ekstraksi dan jumlah sampel yang akan diekstrak
b. Ukuran partikel.
Semakin halus, luas kontak permukaan akan semakin besar sehingga proses ekstraksi akan
lebih optimal.
c. Jenis pelarut yang digunakan
Jenis pelarut berkaitan dengan polaritas dari pelarut tersebut. Hal yang perlu diperhatikan
dalam proses ekstraksi adalah senyawa yang memiliki kepolaran yang sama akan lebih
mudah tertarik/ terlarut dengan pelarut yang memiliki tingkat kepolaran yang sama.
Berkaitan dengan polaritas dari pelarut, terdapat tiga golongan pelarut yaitu:
- Pelarut polar
Memiliki tingkat kepolaran yang tinggi, cocok untuk mengekstrak senyawa-senyawa
yang polar dari tanaman. Pelarut polar cenderung universal digunakan karena biasanya
walaupun polar, tetap dapat menyari senyawa-senyawa dengan tingkat kepolaran lebih
rendah. Salah satu contoh pelarut polar adalah: air, metanol, etanol, asam asetat.
- Pelarut semipolar
Pelarut semipolar memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah dibandingkan dengan
pelarut polar. Pelarut ini baik untuk mendapatkan senyawa-senyawa semipolar dari
tumbuhan. Contoh pelarut ini adalah: aseton, etil asetat, kloroform
- Pelarut nonpolar

6
Pelarut nonpolar, hampir sama sekali tidak polar. Pelarut ini baik untuk mengekstrak
senyawa-senyawa yang sama sekali tidak larut dalam pelarut polar. Senyawa ini baik
untuk mengekstrak berbagai jenis minyak. Contoh: heksana, eter
Beberapa syarat-syarat pelarut yang ideal untuk ekstraksi:
 Tidak toksik dan ramah lingkungan
 Mudah untuk dihilangkan dari ekstrak
 Tidak bereaksi dengan senyawa-senyawa akan diekstrak
 Murah/ ekonomis
d. Metode ekstraksi, termasuk suhu yang digunakan
Terdapat banyak metode ekstraksi. Namun secara ringkas dapat dibagi berdasarkan
penggunaan panas sehingga ada metode ekstraksi dengan cara panas, serta tanpa panas.
Metode panas digunakan jika senyawa-senyawa yang terkandung sudah dipastikan tahan
panas.
e. Waktu ekstraksi
Lama ekstraksi akan menentukan banyaknya senyawa-senyawa yang terambil. Ada waktu
saat pelarut/ekstraktan jenuh. Sehingga tidak pasti, semakin lama ekstraksi semakin
bertambah banyak ekstrak yang didapatkan.

III. TEKNOLOGI PROSES EKSTRAKSI BUAH PISANG

A. Bahan dan Alat


Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: Buah pisang, etanol (hasil
destilasi dari cap tikus) dan air, kain saring (linen), kertas saring serta bahan-bahan untuk
analisis laboratorium.

7
Alat-alat yang digunakan terdiri dari: Timbangan, shaker bath, gelas ukur, vakum
evaporator, termometer,pengaduk, hot plate, dan peralatan untuk analisis laboratorium.

B. Prosedur Kerja
1. Pemilihan buah pisang.
Digunakan dua jenis pisang yaitu pisang raja dan pisang gapi dengan dua tingkat
kematangan (matang dan masak). Pisang raja dan gapi matang mempunyai ciri-ciri
yaitu warna buah belum kuning sempurna, dan pada bagian tepi buah, siku-sikunya
hampir tidak kelihatan lagi. Sedangkan pisang raja dan gapi masak mempunyai ciri-ciri
yaitu warna buah sudah kuning sempurna, dan pada bagian tepi buah, siku-sikunya
sudah tidak kelihatan lagi.
2. Preparasi contoh.
Buah pisang dicuci, dikupas, dipotong-potong dan ditimbang. Dilakukan analisa
terhadap kadar air, gula reduksi, total gula, dan kadar sukrosa.
3. Penambahan pelarut ke potongan buah dengan pelarut menutupi sampel, kemudian
diekstraksi sambil digoyang menggunakan shaker.
4. Tiap sampel diekstrak dua kali dengan mengganti pelarut setelah 4 jam (total lama
ekstraksi 8 jam).
5. Sesudah ekstraksi dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring. Filtrat dari dua
kali ekstraksi digabung dan dilakukan pemekatan menggunakan rotary evaporator
pada suhu ± 78°C.
6. Ekstrak pekat siap dianalisa Gula reduksi, total gula, kadar sukrosa, derajat
polimerisasi, dan kadar air.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Bahan Baku Pisang


Hasil analisis bahan baku pisang dapat dilihat pada Tabel 5. Dari Tabel 5 ini dapat
dilihat bahwa kandungan gula dan kadar air dipengaruhi oleh jenis pisang maupun tingkat
kematangan pisang. Pisang raja masak memiliki kandungan gula total yang lebih tinggi
dibandingkan pisang gapi, namun untuk pisang matang, pisang gapi memiliki kandungan

8
gula total yang lebih tinggi dari pisang raja. Menurut Apriyantono dalam Ekandini
(2006), total gula merupakan jumlah dari keseluruhan gula sederhana, oligosakarida
polisakarida dan turunannya. Untuk pisang raja kandungan gula reduksinya lebih tinggi
pada buah yang lebih masak, sedangkan pada pisang gapi kandungan gula reduksinya
justru lebih rendah pada buah yang lebih masak. Gula reduksi adalah semua gula
yang memiliki kemampuan untuk mereduksi dikarenakan adanya gugus
aldehid atau keton bebas. Semua monosakarida termasuk dalam
golongon gula pereduksi. Nilai gula reduksi yang tinggi menunjukkan
bahwa jumlah molekul fruktosa yang masih dalam bentuk oligomernya
(oligofruktosa) lebih sedikit (Ekandini, 2006).
Tabel 5. Hasil Analisis Bahan Baku Buah Pisang.
Gula Gula
Keadaan Jenis Kadar Sukrosa Derajat
Total Reduksi
Bahan Pisang Air (%) (%) Polimerisasi
(%) (%)
Raja
65,31 23,89 19,83 4,06 1,20
masak
Raja
64,17 16,07 10,31 6,39 1,56
Segar matang
Gapi
68,43 18,67 7,93 10,23 2,29
masak
Gapi
66,31 17,89 8,95 8,94 2
matang
Raja
9,99 80,62 53,32 27,3 1,51
masak
Raja
Kering 6,99 29,36 29,36 0 1
matang
(T 55°C, 24
Gapi
jam) 12,64 78,47 33,36 45,11 2,35
masak
Gapi
5,61 56,73 47,58 9,15 1,19
matang

Untuk kadar air, pisang masak memiliki kadar air yang lebih tinggi dari pisang matang
baik pisang raja maupun pisang gapi. Derajat polimerisasi adalah jumlah unit monomer
pada makromolekul atau jumlah molekul oligomer dalam suatu blok atau rantai (Anwar
dan Afrisanthi, 2010). Sedangkan menurut Ekandini (2006), DP dapat dihitung dari kadar
total gula per kadar gula pereduksi. Nilai DP dari pisang masak lebih tinggi dari pisang
matang. Hal ini dapat diartikan bahwa jumlah molekul oligomer (oligofruktosa) dari
pisang masak lebih banyak daripada pisang matang, baik pisang raja maupun pisang gapi.

9
B. Hasil Ekstrak Buah Pisang
Untuk melihat pengaruh konsentrasi pelarut etanol terhadap kandungan gula, derajat
polimerisasi, kadar air dan rendemen dari ekstrak buah pisang, maka digunakan pisang
raja matang yang dipotong-potong, dan dikeringkan pada suhu 55°C selama 24 jam.
Hasilnya dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Pengaruh Konsentrasi Pelarut terhadap Kandungan gula, Kadar Air, DP dan
Rendemen Ekstrak Buah Pisang Raja Matang.

Dari Gambar di atas dapat dilihat bahwa kandungan gula total tertinggi diperoleh pada
hasil ekstrak menggunakan pelarut etanol 70%, dan ketika konsentrasi pelarut ditingkatkan
menjadi 80%, kandungan gula total mulai menurun. Sedangkan kandungan gula reduksi
semakin tinggi dengan makin tingginya konsentrasi pelarut. Hal ini berarti makin tinggi
konsentrasi pelarut makin banyak gula reduksi (monosakarida) yang terekstrak. Variasi
konsentrasi pelarut etanol menghasilkan derajat polimerisasi dari ekstrak buah pisang yang
relatif hampir sama, yang berarti konsentrasi pelarut etanol (60-80%) relatif tidak
mempengaruhi kandungan oligofruktosa dari ekstrak buah pisang. Rendemen ekstrak buah
pisang makin menurun dengan makin meningkatnya konsentrasi pelarut etanol. Sebagian

10
besar ekstrak yang dihasilkan terdiri dari gula (gula reduksi, sukrosa, oligofruktosa), dengan
kadar gula total berkisar dari 73,18—79,57%.
Pengaruh jenis dan tingkat kematangan pisang terhadap kandungan gula, kadar air, DP
dan rendemen dari hasil ekstrak dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini.
Tabel 6. Hasil Pengujian Kandungan Gula, Kadar Air, DP, dan Rendemen Hasil Ekstrak Buah
Pisang Kering (Suhu 55°C selama ± 24 jam), Menggunakan Pelarut Etanol 70%.

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa jenis pisang dan tingkat kematangan yang berbeda
menghasilkan kandungan gula, kadar air, DP dan rendemen hasil ekstrak yang relatif berbeda.
Hasil ekstrak dari pisang raja memiliki kadar gula yang lebih tinggi dari pisang gapi,
sedangkan hasil ekstrak dari buah pisang masak memiliki kandungan gula yang lebih tinggi
dari pisang matang. DP dari pisang masak lebih tinggi dari pisang matang yang
Jenis Pisang
Gula Gula Derajat
(dikeringkan Kadar Sukrosa Rendemen
Total Reduksi Polimerisasi
T 55°C, 24 Air (%) (%) (%)
(%) (%) (DP)
jam)
Raja Masak 12,30 86.35 63.76 22.59 1.35 25.06
Raja Matang 13.97 79.57 69.22 10.35 1.15 25.49
Gapi Masak 15.74 74.3 51.7 22.6 1.44 53.21
Gapi matang 16.60 56,74 47,58 9,16 1.19 52.61
mengindikasikan bahwa kemungkinan pisang masak memiliki kandungan oligofruktosa yang
lebih tinggi dari pisang matang.Rendemen hasil ekstrak pisang raja lebih rendah dari pisang
gapi. Namun demikian, kandungan gula hasil ekstrak dari pisang gapi lebih rendah dari
pisang raja, yang berarti hasil ekstrak dari pisang gapi masih mengandung komponen lain
yaitu air dan pengotor lainnya yang lebih tinggi dari yang dimiliki oleh ekstrak pisang raja.

C. Perbandingan Bahan Baku dan Ekstrak Buah Pisang


Perbandingan antara bahan baku pisang yang dikeringkan pada suhu 55°C selama 24
jam, dan hasil ekstrak buah pisang menggunakan pelarut etanol 70% dapat dilihat pada
Tabel 7 berikut ini. Dari Tabel ini dapat dilihat bahwa rata-rata hasil ekstrak memiliki
kadar air yang lebih tinggi dari bahan baku yang sudah dikeringkan. Kadar air dari ekstrak
berasal dari pelarut etanol 70%, dimana pada waktu penguapan (pemisahan antara pelarut
dan hasil ekstraksi) dilakukan pada suhu ± 78°C (titik didih etanol) sehingga masih cukup
banyak air yang masih terikat pada ekstrak.

11
Tabel 7. Perbandingan Hasil pengujian Bahan Baku Pisang Kering dan Hasil Ekstrak Buah
Pisang.

Jenis Pisang Kadar Air Gula Total Gula Reduksi Derajat


Rende
(dikeringkan (%) (%) (%) Polimerisasi
men
T 55°C, 24 Bhn Ekstrak Bhn Ekstrak Bhn Ekstrak Bhn Ekstrak (%)
jam) baku *) baku *) baku *) baku *)
Raja masak 9,99 12,30 80,62 86,35 53,32 63,76 1,51 1,35 25.06
Raja matang 6,99 13,97 29,36 79,57 29,36 69,22 1 1,15 25.49

Gapi masak 12,64 15,74 78,47 74,3 33,36 51,70 2,35 1,44 53.21
Gapi matang 5,61 16,6 35,49 56,74 20,04 47,58 1,77 1,19 52.61
*) Diekstrak dengan pelarut etanol 70%.

Kandungan gula total dari ekstrak rata-rata lebih tinggi dari bahan baku kecuali hasil
ekstrak dari pisang gapi masak, diduga disebabkan kadar air yang cukup tinggi dari
ekstrak. Untuk kandungan gula reduksi, semua hasil ekstrak memiliki kandungan gula
reduksi yang lebih tinggi dari bahan baku. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar
yang terekstrak dari bahan baku adalah gula reduksi (monosakarida), sehingga diduga gula
dalam bentuk oligomernya (oligofruktosa) hanya sedikit.

V. KESIMPULAN
Ekstrak dengan kandungan gula optimal yaitu sebesar 80,62% diperoleh dari pisang
raja masak yang diekstrak menggunakan pelarut etanol 70%. Ekstraksi menggunakan pelarut
etanol 70% menghasilkan kadar gula total dari hasil ekstrak yang lebih tinggi dibandingkan
dengan menggunakan pelarut etanol 60% dan 80%.
Ekstrak dari pisang raja memiliki kandungan total gula yang lebih tinggi dari ekstrak
pisang gapi.

12
DAFTAR PUSTAKA
Aurore G, Parfait B, Fahrasmane L. 2009. Bananas, raw materials for making processed food
products.J Trends in Food Science & Technology. 20: 78 – 91

Anonim.2011. Teknologi Pembuatan Tepung Pisang dan Produk Olahannya.Badan Penelitian


dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.

Anonim. 2013. http://www.sunpride.co.id/5-jenis-pisang-serta-perbedaannya/

Ekandini, A. S. 2006. Produksi Sirup FOS (Fruktooligosakarida) dari Tepung Inulin Secara
Hidrolisis Asam.

13
Franck, A. 2002.Technological Functionality of Inulin and Oligofructose.British Journal of
Nutrition.87.suppl. S287-S291.

Gibson, G. R. & R. A. Rastall (Ed.).Prebiotics Development & Application. Antony Rowe Ltd.
Chippenham, Wiltshire.

Gropper S S, Jack L S, dan James L G. 2009. Advanced Nutrition and Human Metabolism 5th
Ed. USA: Wadsworth

Hogarath, A. et al. (2000). Ion Chromatographic Determination of Three


Fructooligosaccharides Oligomers in Prepared and Preserved Foods. Ohio: Journal of
Agriculture 48, 5326-5330.

Kuntarsih, S. 2012. Pedoman Penanganan Pasca Panen Pisang. Direktorat Jendral Budidaya
dan Pascapanen Buah. Kementerian Perindustrian.

Lee, Jae Heung dan S. Shinohara.2001. Reaction Route for Enzymatic Production of
Neofructo-oligosaccharides from Sucrose Using Penicillium citrinum Cells. The Journal
of Microbiology, 39:331-333.

Nagari, Y. S. 2011. Pengaruh Penyimpanan terhadap Mutu dan Keamanan Produk Serbuk
Minuman Berbahan Baku FOS serta Pendugaan Umur Simpannya (Skripsi).
Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor.

Ramadhan, Eka.,2005. “Pengaruh Konsentrasi Etanol, Suhu dan Jumlah Stage pada Ekstraksi
Oleoresin Jahe (Zingiber Officinale Rosc) Secara
batch”http://eprints.undip.ac.id/13902/1/

Robertfroid, M., 2000.Funcional Food Concept and its Application to Prebiotic. Journal Digest
Live Dis 34; s 105-110.

Sabila, F. 2012. Karakterisasi Frukto-ologosakarida (FOS) dari Fermentasi Sukrosa oleh


Penicillium notatum.(Skripsi).Fakultas Matematika da Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Indonesia.Depok.

Sudarmi S., dan Siswanti. 2011. Koefisien Transfer Massa pada Ekstraksi Biji Pala dengan
Pelarut Etanol. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia “Kejuangan”. ISSN 1693 –
4393. Pengembangan Teknologi Kimia untuk Pengolahan Sumber Daya Alam
Indonesia Yogyakarta, 22 Februari 2011.

Trenev, N. 2000. Probiotics: Natures Internal Healers. SCD Weblibrary (www.scdiet.org)


Tensiska. 2008. Probiotik dan 14pathogen14 sebagai pangan
fungsional.www.pustaka.unpad.ac.id. [20 Januari 2010]

14
Wichienchot, S., P. Thammarutwasik, A. Jongjareonrak, W. Chansuwan, P.Hmadhlu, T.
Hongpattarakere, A. Itharat dan B. Ooraiku. 2011. Extraction and Analysis of Prebiotics
from Selected Plants from Southern Thailand. Songklanakarin J. Sci. Technol. 33 (5),
517-523, Sep-Oct. 2011. Songkla University.

Zhang P, Whistler RL, BeMiller JN, Hamake BR. 2005. Banana starch: production,
physicochemical properties, and digestibility—a review. J Carbohy Polymers. 59:
443–458.

15

Anda mungkin juga menyukai