Anda di halaman 1dari 17

METABOLISME DAN BIOAVAILABILITAS ASAM LEMAK OMEGA-3

A. S. Shafa (240210180023)1, N. M. Hijriah (240210180046)2, N. P. Salsabilah


(240210180062)3, dan Reni (240210180025)4
Program Studi Teknologi Pangan
Fakultas TeknologiINdustri Pertanian
Universitas Padjadjaran
Jl. Jatinangor Km. 21, Sumedang 45363, Jawa Barat, Indonesia

ABSTRAK
Asam lemak omega-3 termasuk dalam kategori asam lemak tidak jenuh yang memiliki
ikatan rangkap diantara atom karbon ketiga dan keempat dari ujung gugus metil. Mekanisme
metabolisme, absorpsi (penyerapan), dan bioavailabilitas (ketersediaan hayati) asam lemak
omega-3 sangat penting untuk diketahui, sehingga dapat ditentukan faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi mekanisme ketiganya. Beberapa faktor diantaranya adalah keberadaan mineral,
bentuk dari ikatan kimia di dalamnya yang menghasilkan asam lemak omega-3 yang dicerna,
efek matriks, formulasi galenic (galenic form) dimana sediaan asam lemak omega-3 dalam
bentuk emulsi dapat meningkatkan bioavailabilitas dan penyerapan DHA dan EPA dibandingkan
dengan dalam bentuk kapsul, dan perbedaan antar individu seperti usia, waktu konsumsi, dan
kebiasaan merokok. Usaha dalam meningkatkan bioavailabilitas asam lemak omega-3 dapat
dilakukan dengan cara emulsifikasi dan enkapsulasi. Oksidasi asam lemak omega-3 harus
dihindari untuk mencegah terbentuknya produk samping oksidasi seperti radikal bebas yang
mendorong pertumbuhan kanker dan aterosklerosis.
Kata Kunci : Bioavailabilitas, EPA, Omega-3

I. PENDAHULUAN
Asam lemak omega-3 termasuk dalam kategori asam lemak tidak jenuh yang memiliki
ikatan rangkap diantara atom karbon ketiga dan keempat dari ujung gugus metil (Cholewski et
al., 2018). Prekursor dari asam lemak omega-3 sendiri berupa asam α-linolenat (ALA) yang
kemudian disintesis menggunakan bantuan enzim Δ-6-desaturase dan menghasilkan asam
stearidonic yang selanjutnya dikonversi menjadi Docosahexaenoic Acid (DHA) an
Eicosapemtaenoic Acid (EPA) dengan bantuan enzim Δ-5-desaturase dan Δ-4-desaturase
(Czumaj & Śledziński, 2020).
Asam lemak omega-3 juga termasuk dalam asam lemak yang esensial, berarti tidak
dapat dihasilkan secara efisien oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi kebutuhannya melalui
konsumsi makanan (Weylandt et al., 2015). Adapun makanan yang kaya akan omega-3 yaitu ikan
laut, minyak ikan, kenari, minyak kanola, telur, chia seeds, dan lain-lain. Pada dasarnya asam
lemak omega-3 memberikan efek fisiologis yang sangat beragam pada kesehatan dan penyakit
manusia. Berdasarkan beberapa hasil penelitian asam lemak omega-3 berperan dalam
mengurangi mordibitas dan mortalitas penyakit kardiovaskular, meningkatkan perkembangan
fungsi sistem saraf, mengurangi risiko kelahiran prematur, memelihara struktur membran sel,
mengurangi peradangan, menurunkan risiko penyakit kronis seperti kanker, artritis, jantung, dan
lain-lain (Gammone et al., 2019).
Berdasarkan beberapa efek fisiologis yang sangat penting dari asam lemak omega-3,
maka dibutuhkan konsumsi asam lemak omega-3 (kombinasi EPA dan DHA) minimal 250 – 500
mg/hari untuk orang dewasa yang sehat (Vannice & Rasmussen, 2014). Namun, untuk
mendapatkan berbagai efek fisiologis yang menguntungkan tidak hanya bergantung pada
kuantitas asam lemak omega-3 yang dikonsumsi, melainkan bergantung pada tingkat
metabolisme, absorpsi (penyerapan), dan bioavailabilitas (ketersediaan hayati) dalam tubuh
manusia (Punia et al., 2019). Bioavailabilitas atau ketersediaan hayati menjadi faktor terpenting
dari berbagai faktor yang ada. Hal ini dikarenakan bioavailabilitas menggambarkan seberapa
banyak nutrisi yang dapat diserap dan diangkut ke sirkulasi sistemik atau lokasi aktivitas
fisiologis serta memberikan manfaat atau efek positif bagi tubuh manusia (Schuchardt & Hahn,
2013).
Mekanisme metabolisme, absorpsi (penyerapan), dan bioavailabilitas (ketersediaan
hayati) asam lemak omega-3 sangat penting untuk diketahui, sehingga dapat ditentukan faktor-
faktor apa saja yang mempengaruhi mekanisme ketiganya. Selain itu, dapat pula menunjang
penelitian yang dilakukan pada pengembangan pangan atau suplemen kaya akan asam lemak
omega-3 dengan tujuan meningkatkan metabolisme, absorpsi (penyerapan), dan bioavailabilitas
(ketersediaan hayati) asam lemak omega-3. Oleh karena itu, ulasan berikut difokuskan pada
metabolisme, absorpsi (penyerapan), dan bioavailabilitas (ketersediaan hayati) asam lemak
omega-3.
II. ISI
II.1 Metabolisme Asam Lemak Omega-3
Seperti yang telah diulas pada pembahasan sebelumnya bahwa metabolisme, absorpsi,
dan bioavailabilitas asam lemak omega-3 sangat penting untuk diketahui karena dapat menunjang
penelitian yang dilakukan pada pengembangan pangan pada peningkatan ketiga aspek tersebut.
Ketidakmampuan metabolisme asam lemak omega 3 ALA untuk memenuhi kebutuhan fisiologis
DHA di otak manusia mendorong kebutuhan akan sumber alternatif DHA omega-3 yang tersedia
(Charles et al., 2019). Ensefalisasi yang lebih besar pada manusia memerlukan adaptasi genetic
dari metabolisme asam lemak omega-3 untuk memenuhi kebutuhan LC-PUFA yang lebih tinggi
yang dibutuhkan untuk kebutuhan otak besar (Ameur et al., 2012). Metabolisme asam lemak
omega-3 dipengaruhi oleh struktur lipid dalam molekuler dan supramolekuler, bentuk lipid
sangat mempengaruhi kinetika dan metabolisme DHA (Ghasemifard et al., 2014). EPA dan DHA
memiliki efek ipid spesifik yang dimediasi, Sebagian, melaui interaksi dengan beberapa faktor
transkripsi gen yang bertanggung jawab untuk memodulasi metabolisme lipid (Cook et al., 2016).
Asam emak omega-3 memiliki peran dalam sintesis eicosanoid. Asupan yang tinggi mendukung
produksi eicosanoid anti-inflamasi atau anti peradangan karena asam lemak omega-3 merupakan
substrat yang dibutuhkan/didukung enzim denaturase dan elongase yang terlibat dalam
biosintesis eicosanoid (Saini & Keum, 2018).
Metabolisme asam lemak omega-3 yang ada di dalam tubuh aktif secara biologis pada
konversinya mulai dari ALA menjadi EPA dan DHA. Dalam penyerapan dan pencernaan asam
lemak omega-3 yang efisien, asam lemak ini pertama-tama diemulsi oleh sekresi empedu ke
dalam usus kecil (Punia et al., 2019). Asam lemak omega-3 dari berbagai makanan dikonsumsi
dan dicerna di usus kecil dan kemudian diserap dan diangkut ke jaringan tubuh melalui plasma.
Selanjutnya mengalami esterifikasi untuk struktur dan fungsi asam lemak omega-3, esterifikasi
dalam bentuk fosfolipid atau gliserida netra setelah esterifikasi dengan gugus hidroksil dari
gliserol fosfolipid atau gliserida (Saini & Keum, 2018). selanjutnya oksidasi untuk pembentukan
energi atau ATP, dan membentuk rantai yang lebih Panjang. Makhluk hidup seperti mamalia
tidak bisa mensintesis asam lemak omega-3 seperti ALA dengan rantai yang lebih Panjang,
namun lebih pendek. Asam lemak omega-3 ALA dari makanan dimetabolisme menjadi DHA
melalui EPA dan DPA.
Asam stearidonic adalah metabolit pertama yang kemudian disintesis dari ALA oleh 6-
denaturase, kemudian asam stearidonic dapat diperpanjang menjadi asam eicosatetraenoic.
Denaturasi lebih lanjut kemudian oleh 5-denaturase menghasilkan DPA dan EPA yang
dimetabolisme menjadi prostaglandin dan leukotriene (Saini & Keum, 2018). Selama konversi
ALA menjadi DHA, sejumlah asam lemak omega-3 terbentuk melalui reaksi denaturasi dan
elongasi. Denaturasi DPA menghasilkan DHA oleh denaturase yang kemudian melibatkan
pemanjangan dan denaturasi DPA menjadi asam tetracosahexenoic oleh denaturase yang
kemudian akhirnya menjadi DHA dengan oksidasi peroixomal (Punia et al., 2019). Beberapa
penelitian memperlihatkan bahwa konversi omega-3 ALA menjadi DHA dari makanan atau
suplemen tidak efektif, sehingga perlu adanya sumber DHA lain yang lebih efektif dalam hal
keamanan dan bioavailabilitas DHA seperti berasal dari alga, namun perlu diketahui juga dosis
optimal dan kesesuaian fortifikasi makanan yang fungsional dari alga tersebut (Lane et al., 2014).
Berikut merupakan diagram alir metabolisme asam alfa-linoleat (omega-3) (Punia et
al., 2019).
Gambar 1. Metabolisme Asam Lemak Omega-3 (ALA)

(Sumber : Punia et al., 2019)


2.2 Bioavailabilitas Asam Lemak Omega-3
Bioavailabilitas merupakan kecepatan laju dan jumlah senyawa terserap ke dalam sistem
pencernaan tubuh (Punia et al., 2019). Bioavailabilitas pada setiap bahan pangan maupun
senyawa berbeda-beda. Bioavalabilitas pada setiap bahan pangan bergantung pada beberapa
faktor seperti fisiko kimia molekul, komposisi bahan atau molekul, ada tidaknya bahan
penghambat bioavalabilitas molekul atau bahan pangan, metabolism adsorbsi, kesehatan
individu, dan faktor individu lainnya (Schuchardt & Hahn, 2013). Asam lemak memiliki banyak
manfaat bagi tubuh. Asam lemak terbagi menjadi dua yaitu asam lemak non esensial dan asam
lemak esensial. Asam lemak esensial hanya bisa didapatkan dari asupan makanan yang kita
konsumsi karena tidak dapat diproduksi oleh tubuh. Omega-3 merupakan salah satu asam lemak
esesnsial yang penting bagi tubuh. Asam lemak omega-3 dibagi menjadi tiga yaitu EPA
(eikosapentaenoat), LNA (asam alfa-linolenat), serta DHA (dokosaheksaenoat). alpha linolenic
acid (ALA) merupakan induk dari asam lemak omega-3 (De Maria, 2006). Terpenuhinya asupan
omega-3 dalam tubuh dirasa sangat penting untuk tubuh. Kadar omega-3 yang kekurangan
maupun berlebihan dari anjuran asupan yang seharusnya akan mengakibatkan beberapa penyakit
pada orang dewasa seperti penyakit jantung dan obesitas sementara pada anak kecil
pertumbuhannya akan terganggu (De Maria, 2006).
Penyerapan asam lemak essensial dalam tubuh dapat dipengaruhi oleh beberapa hal
seperti pH usus, sekresi empedu, dan mikroorganisme dalam saluran pencernaan. Beberapa studi
epidemiologis menyatakan bahwa kolesterol dapat meningkatkan penyerapan ALA yang
mungkin disebabkan karena kolestrol mendukung peningkatan pembentukan misel dimana
penyerapan terjadi (Dupasquier et al., 2007). EPA dan DHA dihirolisis oleh asam lipase ester
yang berada dipankreas dan diubah menjadi asam lemak bebas (Shahidi dan Ambigaipalan, 2018
dalam Punia et al., 2019). Asam lemak bebas tersebut akan diserap pertama kali oleh enterosit
yaitu sel epitel dalam usus. Pengikatan FA akan melibatkan protein membran dalam enterosit
sedangkan absorbsi asam lemak bebas akan dibantu dengan protein transport. Penyerapan yang
efisien akan terjadi pada jejenum dan illium yang nantinya mengakibatkan hanya sedikit FA yang
akan terbuang bersama feses.
Bioavalibitas rantai panjang FA bergantung pada beberapa faktor seperti tipe ikatan
kimianya, kandungan makanan lain yang dikonsumsi terutama yang terdapat kandungan lemak
didalamnya, dan keberadaan komponen lain yang mempengaruhi penyerapan FA. Misalnya ion
kalsium yang akan terbentuk kompleks dan akan mengurangi bioavalabilitas FA (Schuchardt et
al., 2013 dalam Punia et al., 2019). Bioavalabilitas omega-3 dapat dipengaruhi dengan adanya
senyawa etil ester (EE), fosfolipid (PL), trigliserol (TAG), dan lemak bebas asam (FFA) ataupun
makanan yang diperkaya dengan ester asam lemak omega-3 yang memiliki bioavalabilitas lebih
rendah dibanding FA. Konsentrasi ALA dalam itraseluler berkurang setelah dikonsumsi yang
diakibatkan oleh aktifitas enzim dan dikeluarkan menuju ekstraseluler sebagai asam
dihydrolipoic (DHLA) (Bilska et al., 2005 dalam Punia et al., 2019). Jalur β-oxidation lebih
bertanggung jawab dalam pemanfaat ALA. ALA memiliki bioavalabilitas yang rendah karena
sifat oksidasinya yang tinggi (Libinaki dan Gavin, 2015 dalam Punia et al., 2019). ALA yang
dikonsumsi akan hilang sebesar 85%. Jalur β-oxidation tidak cocok dengan DHA. Bioavalabilitas
asam lemak bergantung pada posisi molekul gliserol dalam trigliserol. Posisi molekul gliserol
yang paling baik dan mudah di adsorbsi adalah sn-2. Menurut Poumès‐Ballihaut et al. (2001)
dalam Punia et al. (2019) jumlah DHA (86%) yang terdapat dalam tubuh lebih tinggi dari pada
jumlah ALA (30%). ALA yang telah dikonsumsi akan menghilang sebanyak 59%, ALA yang
terakumulasi sebesar 21,2%, dan 0,4% dikeluarkan sebagai turunan rantai Panjang dari EPA,
DPA dan DHA (Punia et al., 2019).
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bioavailabilitas Asam Lemak Omega-3
Ketersediaan hayati (bioavailabilitas) dari asam lemak omega-3 dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor yang berbeda-beda seperti keberadaan mineral, bentuk dari ikatan kimia di
dalamnya yang menghasilkan asam lemak omega-3 yang dicerna, efek matriks, formulasi galenic
(galenic form), dan perbedaan antar individu (Maki & Dicklin, 2019). Berikut ini akan diulas
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi bioavailabilitas dari asam lemak omega-3.
2.3.1 Bentuk Ikatan Kimia
Asam lemak n-3 atau fatty-3 asam lemak (n-3 FAs) atau biasa disebut dengan asam
lemakuomega-3 memiliki sifat heterogen juga merupakan kelompok asam lemak dengan katan
rangkap antara atom karbon ketiga dan keempat dari ujung metil (dari atom karbon ω − 1). LC n-
3 FA muncul terutama sebagai triasilgliserida, sebagai asam lemak bebas untuk tingkat lebih
rendah. Umumnya, asam lemak dibedakan antara asam lemak tak jenuh tunggal (MUFAs; satu
ikatan rangkapadalam rantai karbon) dan asam lemak tak jenuh ganda (PUFAs; lebih dari satu
ikatan rangkap dalam rantai karbon). Asam lemak terkonjugasi merupakan bagian dari asam
lemak tak jenuh ganda dengan setidaknya satu pasang ikatan rangkap terkonjugasi yaitu ikatan
rangkap yang tidak dipisahkan oleh metilen jembatan, tetapi satu ikatan tunggal [ CITATION
Mat18 \l 1033 ]
Asam lemak omega-3 menunjukan isomerisme cis-trans dengan eksistensi ke
konfigurasi E-Z. Isomer geometris dalam kasus asam lemak omega-3 terjadi karena dua atom
karbon dengan sp2 hibridisasi yang dihubungkan oleh ikatan rangkap dihubungkan ke atom
hidrogen dan kelompok atom. Apabila suatu atom dihubungkan oleh banyak ikatan, maka ikatan
perlu diganti dengan jumlah ikatan tunggal yang sesuai untuk multiplisitasnya [ CITATION Jan13 \l
1033 ].
2.3.2 Efek Matriks
Efek matriks menunjukan dampak yang diberikan pada bioavailabilitas asam lemak
omega-3 jika makanan kaya asam lemak omega-3 dikonsumsi bersamaan dengan makanan atau
minuman lain. Secara umum, makanan dengan kandungan asam lemak omega-3 yang tinggi
dianjurkan untuk dikonsumsi bersamaan dengan makanan lain. Saat dikonsumsi bersamaan
dengan makanan tinggi lemak, maka menyebabkan bioavailabilitas asam lemak omega-3
meningkat secara signifikan. Hal ini diperkirakan karena lemak yang terkandung dalam makanan
akan merangsang pankreas untuk menghasilkan enzim yang berfungsi mencerna lemak dan
merangsang kantong empedu untuk mengeluarkan empedu (mengandung garam empedu) yang
kemudian mengemulsi lemak dan mengaktifkan enzim lipase pada pankreas (Qin et al., 2017).
Selain itu jika makanan dengan kandungan asam lemak omega-3 yang tinggi
dikonsumsi bersamaan dengan minuman yoghurt maka akan didapatkan penyerapan yang lebih
cepat pada asam lemak omega-3. Adanya hal tersebut disebabkan yoghrut merupakan salah satu
matriks terbaik untuk membantu bioavailabilitas asam lemak omega-3 dan kemungkinan besar
juga dipengaruhi oleh bentuk emulsi pada yoghurt yang memudahkan terjadinya penyerapan
asam lemak omega-3 (Mu, 2008). Hasil berbeda ditunjukkan pada makanan dengan kandungan
kalsium yang jika dikonsumsi secara bersamaan dengan asam lemak omega-3 justru dapat
menurunkan bioavailabilitasnya (Punia et al., 2019). Kalsium membentuk kompleks dengan asam
lemak bebas, sehingga menurunkan tingkat bioavailabilitas asam lemak omega-3 (Schuchardt &
Hahn, 2013). Berikut ialah tabel yang merangkum efek matriks pada bioavailabilitas asam lemak
omega-3.
Tabel 1. Efek Matriks pada Bioavailabilitas Asam Lemak Omega-3
Jenis Makanan/Minuman Efek Matriks Sumber Pustaka
Makanan dengan kandungan Bioavailabilitas asam lemak Schuchardt & Hahn
lemak yang tinggi omega-3 meningkat hingga 3 (2013)
kali lipat dibandingkan
dikonsumsi bersamaan dengan
makanan rendah lemak
Minuman yoghurt Bioavailabilitas asam lemak Mu (2008)
omega-3 meningkat dan proses
yang terjadi lebih cepat
Makanan yang mengandung Bioavailabilitas asam lemak Punia et al. (2019)
kalsium omega-3 menurun
Berdasarkan beberapa efek matriks yang ditimbulkan, maka diperlukan strategi dengan
mengatur komponen pangan yang dikonsumsi secara bersamaan dengan makanan kaya akan
asam lemak omega-3. Hal tersebut dilakukan agar didapatkan tingkat bioavailabilitas yang
maksimal, sehingga didapatkan pula efek positif maupun manfaat yang maksimal.
2.3.3 Formulasi Galenik (Galenic Form)
Beberapa penelitian telah meneliti pengaruh formulasi galenic terhadap bioavailabilitas
dari asam lemak omega-3, pada omega-3 berupa EPA dalam bentuk bubuk mikroenkapsulasi
meningkat dibandingkan dengan bentuk cairnya. Bioavailabilitas minyak ikan mikroenkapsulasi
yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk kapsul karena lebih mudah
memecah tetesan yang terdispersi secara halus oleh lipase (Schuchardt & Hahn, 2013).
Bioavailabilitas antara berbagai produk pangan yang difortifikasi dengan bentuk kapsul
mikroenkapsulasi asam lemak omega-3 dan kapsul gelatin adalah sama. Pemanfaatan sumber
asam lemak omega-3 dalam tubuh dibatasi oleh kelarutan air yang rendah sehingga diperlukan
bioavailabilitas oral dari asam lemak. Idealnya, formulasi berbasis lipid diperlukan untuk
meningkatkan bioavailabilitas omega-3. Perbedaan struktur EPA dan DHA dapat memengaruhi
bioavailabilitas. Sediaan omega-3 dalam bentuk emulsi dapat meningkatkan bioavailabilitas dan
penyerapan DHA dan EPA dibandingkan dengan dalam bentuk kapsul. Preparat DHA dan EPA
yang diemulsi menunjukkan tingkat penyerapan yang efisien dibandingkan dengan bentuk
kapsul, namun perlu dipertimbangkan kestabilan fisik dan perlindungan dari kondisi oksidatif
(Libinaki & Gavin, 2017).
Asam lemak omega-3 dengan nanoemulsi memberikan peningkatan yang cepat dalam
kadar DHA. Beberapa penelitian menggunakan kapsul dengan lapisan enteric dan gelatin dengan
kandungan asam lemak omega-3 yang sama, hasilnya tidak menunjukkan adanya perbedaan
besar dalam bioavailabilitas. Perbedaan terlihat pada peningkatan yang sedikit tertunda dari
tingkat EPA dan DHA yang digunakan sebagai proksi dalam bioavailabilitas pada kapsul dengan
lapisan enteric. Penyerapan yag bergeser ini dikarenakan pencernaan lipid yang tertunda
(hidrolisis TG). Pencernaan lipid dimulai dengan hidroisis TG menjadi FFA dan 2-MAG yang
dikatalisis oleh lipase lambung. Pelepasan asam lemak yang tertahan pada kapsul juga dapat
menyebabkan penundaan penyerapan (Schuchardt & Hahn, 2013). Oksidasi asam lemak omega-3
harus dihindari untuk mencegah terbentuknya produk samping oksidasi seperti radikal bebas
yang mendorong pertumbuhan kanker dan aterosklerosis (Kolanowski & Weißbrodt, 2008).
Tabel 2. Pengaruh Formulasi Galenik Terhadap Bioavailabilitas
Formulasi Pengaruh terhadap Bioavailabilitas Asam Sumber Pustaka
Galenik Lemak Omega-3
Bubuk Meningkat dibandingkan dengan bentuk cairnya, Schuchardt & Hahn
Mikroenkapsulasi bioavailabilitas asam lemak omega-3 (2013)
mikroenkapsulasi yang secara signifikan lebih
tinggi dibandingkan dengan bentuk kapsul karena
lebih mudah memecah tetesan yang terdispersi
secara halus oleh lipase
Emulsi Meningkatkan bioavailabilitas dan penyerapan Libinaki & Gavin
DHA dan EPA karena tingkat penyerapannya (2017)
yang efisien
Kapsul Peningkatan yang sedikit tertunda dari tingkat (Schuchardt & Hahn,
EPA dan DHA yang digunakan sebagai proksi 2013)
dalam bioavailabilitas pada kapsul. Penyerapan
yang bergeser ini dikarenakan pencernaan lipid
yang tertunda (hidrolisis TG)

2.3.4 Perbedaan Antar Individu


Setiap individu tentu saja mempunyai sifat dan karakter yang berbeda-beda. Variasi
tersebut ternyata memiliki pengaruh yang berbeda-beda pula terhadap bioavailabilitas asam
lemak omega-3. Salah satunya yaitu adanya perbedaan usia antar individu memberikan pengaruh
terhadap bioavailabilitas EPA dan DHA. Dimana pada individu dengan usia 74 ± 4 tahun yang
diberikan EPA dan DHA sebanyak 1 gram/hari selama 3 minggu menunjukan adanya
peningkatan bioavailabilitas DHA dibandingkan dengan individu usia 24 ± 2 tahun yang diberi
perlakuan sama (Schuchardt & Hahn, 2013). Hal tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan
penggabungan DHA ke lipid plasma antar individu yang berbeda usia. Namun, diketahui tingkat
bioavailabilitas EPA tidak terdapat perbedaan.
Waktu konsumsi juga mempengaruhi bioavailabilitas asam lemak omega-3 dimana pada
individu yang berpuasa ataupun dalam kondisi perut kosong terdapat penurunan kemampuan
adsorpsi dan bioavailabilitas asam lemak omega-3. Selain waktu konsumsi, kebiasaan merokok
pada setiap individu juga berpengaruh pada bioavailabilitas asam lemak omega-3. Individu yang
memiliki kebiasaan merokok memiliki bioavailabilitas asam lemak omgea-3 yang tergolong
rendah dan mengalami penurunan (Scaglia et al., 2016). Hal ini dapat disebabkan terjadinya
gangguan pada metabolisme, absorpsi, dan sintesis asam lemak omega-3. Diketahui pula bahwa
asam lemak dengan ikatan rangkap akan sangat rentan terhadap oksidasi dan asap rokok sendiri
memiliki peran sebagai oksidan yang kuat, sehingga secara tidak langsung memberikan pengaruh
pada bioavailabilitas asam lemak omega-3 (Spitale et al., 2012). Berikut ialah tabel yang
merangkum pengaruh perbedaan antar individu pada bioavailabilitas asam lemak omega-3.
Tabel 3. Pengaruh Perbedaan Antar Individu pada Bioavailabilitas Asam Lemak Omega-3
Karakteristik Pengaruh Sumber Pustaka
Usia Individu usia 74 ± 4 tahun Schuchardt & Hahn (2013)
mengalami peningkatakn
bioavailabilitas DHA dibandingkan
dengan individu usia 24 ± 2 tahun
Waktu Konsumsi Bioavailabilitas EPA dan DHA Shim et al. (2016)
secara maksimum dicapai lebih
lambat pada individu setelah
berpuasa atau dalam keadaan perut
kosong dibandingkan dengan
individu dalam kondisi setelah makan
Karakteristik Pengaruh Sumber Pustaka
Kebiasaan Merokok Individu yang memiliki kebiasaan Scaglia et al. (2016)
merokok mengalami penurunan
bioavailabilitas asam lemak omega-3

2.4 Usaha Meningkatkan Bioavailabilitas Asam Lemak Omega-3


Asam lemak omega-3 memiliki fungsi fisiologis yang sangat penting dan memiliki
berbagai potensi pada bidang kesehatan (Maki & Dicklin, 2019). Fungsi fisiologis dan potensi
tersebut dapat dirasakan jika tingkat bioavailabilitas asam lemak omgea-3 maksimal, sehingga
sangat diperlukan usaha untuk meningkatkan bioavailabilitas asam lemak omega-3. Terdapat
beberapa penerapan teknologi dalam peningkatan bioavailabilitas asam lemak omega-3,
diantaranya yaitu dengan emulsifikasi dan enkapsulasi yang dinilai sangat tepat untuk digunakan
dan terus dikembangkan.
2.4.1 Emulsifikasi
Emulsifikasi merupakan proses pembuatan emulsi dari 2 bahan yang tidak saling larut
karena adanya perbedaan polaritas diantara 2 bahan. Emulsifikasi bertujuan untuk menstabilkan
bahan yang kurang stabil. Berdasarkan ukurannya emulsinya dapat dibedakan menjadi 3 yaitu
emulsi standar, mikroemulsi, dan nanoemulsi. Mikroemulsi dan nanoemulsi dapat meningkatkan
ketersediaan hayati dalam suatu bahan dikarenakan ukuran emulsi yang kecil sehingga
memperluas permukaan dan meningkatkan kecepatan larut dalam bahan (Rizqiyah & Estiasih,
2016). Nanoemulsi dapat didefinisikan sebagai emulsi oil in water (O/W) atau water in oil (W/O)
dengan ukuran droplet dibawah 0,15 nm (Kreilgaard, 2002 dalam Nurfauziah & Rusdiana, 2018).
Beberapa penelitian menggunakan metode nanoemulsi untuk menstabilkan omega-3 dan
meningkatkan ketersediaan hayatinya. Nanoemulsi merupakan cara yang tepat dalam melindungi
asam lemak omega-3 agar tidak terjadi oksidasi, meningkatkan ketersediaan hayati secara oral,
dan juga menutupi rasa yang tidak diinginkan (Walker et al., 2014)
Dalam penelitian Inapurapu et al., (2020) DHA dan EPA dalam minyak ikan dengan
bantuan minyak bunga matahari sebagai pembawa dan Tween 85: isopropanol (Smix) sebagai
pengemulsinya berhasil membuat nanoemulsi yang stabil. Hal ini ditunjukan dari pengujian
nanoemulsi minyak yang disimpan dengan suhu 4°C dan 25°C selama 28 hari tanpa penambahan
antioksidan eksogen tanpa mengalami perubahan yang signifikan. Metode yang digunakan oleh
Inapurapu et al., (2020) dalam menciptakan nanoemulsi dari asam lemak omega-3 adalah metode
wash out karena metode ini sederhana dan tidak memerlukan biaya yang mahal dari segi
peralatan maupun energi yang digunakan. Sifat nanoemulsi dapat berbeda bergantung
pengemulsinya seperti dalam penelenitian Karthik & Anandharamakrishnan (2016) pengemulsi
yang digunakan adalah T-40, Na-ca dan SL. Nanoemulsi pada pelarut T-40 dan SL lebih stabil
dibandingkan dengan Na-Ca. Ukuran droplet dan daya simpan pada SL lebih tinggi disbanding
T-40 dan Na-ca. Daya cerna nanoemulsi omega-3 lebih lambat dicerna pada pengemulsi T-40
dibanding pengemulsi Na-ca dan SL. Hasil yang baik antara omega-3 dengan tacrolimus juga
ditunjukan pada penelitian Khan et al., (2019). Pada penelitian Raatz et al., (2009) meneliti asam
lemak omega-3 yang diemulsifikasi memiliki keunggulan dibandingkan dengan asam lemak
omega-3 yang dienkapsulasi. Asam lemak yang dienkapsulasi dapat mengalami perubahan akibat
dari kerusakan gelatin saat enkapsulasi atau setelah di enkapsulasi. Meskipun begitu, perubahan
yang terjadi tidak begitu signifikan.
Tabel 4. Pengaruh Pengemulsi Pada Karakteristik Nanoemulsi Asam Lemak Omega-3
Pengemulsi Karakteristik Sumber Pustaka
Tween-85 Omega-3 dalam bentuk Inapurapu et al., 2020
nanoemusli bersifat stabil dan
memiliki bioaksesbilitas yang
tinggi
Tween-40 Omega-3 dalam bentuk nano Karthik &
emulsi memiliki daya cerna Anandharamakrishnan, 2016
yang lebih rendah dibanding
Na-ca dan SL
Sodium Caseinate (Na-ca) Nanoemulsi omega-3 yang Karthik &
dihasilkan memiliki sifat stabil Anandharamakrishnan, 2016
yang lebih rendah dibadingkan
SL dan T-40
Soya lecithin (SL) Daya simpan omega-3 dalam Karthik &
bentuk nano emulsi lebih lama Anandharamakrishnan, 2016
dengan ukuran droplet yang
lebih besar dibandingkan T-
40 dan Na-ca

2.4.2 Enkapsulasi
Asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) pada khususnya merupakan molekul yang sangat
lipolitik, dengan penyerapan yang buruk dan ketersediaan hayati yang terbatas. Selain itu PUFA
juga sangat rentan terhadap oksidasi yang mana menyebabkan hilannya nilai gizi, pembentukan
produk beracun dan pembentukan produk degradasi yang mudah menguap dan memiliki bau
serta rasa yang tidak enak [ CITATION Ulu15 \l 1033 ]. Untuk itu munculah pengembangan sistem
pengiriman khusus berbasis emulsi dan teknik enkapsulasi. ditambahkan Teknik enkapsulasi
meningkatkan stabilitas terhadap oksidasi, ketersediaan hayati dan menutupi bau yang tidak
diinginkan serta memberikan pelepasan terkontrol dari senyawa bioaktif sebagai hasil dari
dinding polimer. Selain itu konsentrat PUFA juga sering dikemas untuk melindunginya dari
cahaya dan oksigen selama umur simpan, dan antioksidan alami misalnya tokoferol, fsfolipid,
asam askorbat atau campuran yang biasanya ditambahkan [CITATION Bai04 \l 1033 ]. Salah satu
sumber omega-3 yang telah menggunakan teknik enkapsulasi konvensional adalah minyak ikan.
Teknik enkapsulasi yang berbeda dapat digunakan untuk mengenkapsulasi n-3 PUFA,
seperti emulsifikasi, spray drying, freeze-drying, ekstrusi atau pelapisan unggun terfluidisasi
[ CITATION Bak16 \l 1033 ] . Diantara teknik tersebut, spray drying dan freeze drying merupakan
teknik yang paling sering digunakan. Freeze drying biasanya diterapkan pada senyawa termolabil
dan mudah teroksidasi dikarenakan pelindung suhu rendah dan kondisi vakum yang terlibat
dalam proses. Hanya saja teknik ini memiliki kekurangan, seperti konsumsi energi, terkait dengan
suhu rendah dan kondisi vakum yang tinggi serta waktu pengeringan yang lama sehingga
menyebabkan biaya pemrosesan yang tinggi. Sedangkan spray drying adalah teknologi
mikroenkapsulasi dengan biaya rendah yang beroperasi secara relative sederhana dan
berkesinambungan, sehingga umumnya digunakan pada skala industri [ CITATION Bak16 \l 1033 ].

3. KESIMPULAN
Asam lemak omega-3 merupakan asam lemak tidak jenuh dengan ikatan rangkap antara
atom karbon ketiga dan keempat dari ujung gugus metil. Asam lemak omega-3. Asam emak
omega-3 (ALA,EPA, dan juga DHA) merupakan asam lemak aktif secara biologis dan terkait
dengan metabolisme, absorpsi, serta bioavailabilitas. Ketersediaan hayati atau bioavailabilitas
asam lemak omega-3 dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah keberadaan
mineral, bentuk dari ikatan kimia di dalamnya yang menghasilkan asam lemak omega-3 yang
dicerna, efek matriks, formulasi galenic (galenic form) dimana sediaan omega-3 dalam bentuk
emulsi dapat meningkatkan bioavailabilitas dan penyerapan DHA dan EPA dibandingkan
dengan dalam bentuk kapsul, dan perbedaan antar individu. Usaha dalam meningkatkan
bioavailabilitas asam lemak omega-3 dapat dilakukan dengan cara emulsifikasi dan enkapsulasi.

DAFTAR PUSTAKA

Ameur, A., Enroth, S., Johansson, Å., Zaboli, G., Igl, W., Johansson, A. C. V., Rivas, M. A.,
Daly, M. J., Schmitz, G., Hicks, A. A., Meitinger, T., Feuk, L., Van Duijn, C., Oostra, B.,
Pramstaller, P. P., Rudan, I., Wright, A. F., Wilson, J. F., Campbell, H., & Gyllensten, U.
(2012). Genetic adaptation of fatty-acid metabolism: A human-specific haplotype increasing
the biosynthesis of long-chain omega-3 and omega-6 fatty acids. American Journal of
Human Genetics, 90(5), 809–820. https://doi.org/10.1016/j.ajhg.2012.03.014
Article, R. (2014). Development of food-grade nanoemulsions and emulsions for delivery of
omega-3 fatty acids : Opportunities and obstacles in the food industry Development of food-
grade nanoemulsions and emulsions for delivery of omega-3 fatty acids : Advances and
obstacles.
Baik, M. Y. (2004). Effects of Antioxidants and Humidity on the Oxidative Stability of
Microencapsulated Fish Oil. JAOCS, Journal of the American Oil Chemists’Society, 81 (4),

Bakry, A. M. (2016). Microencapsulation of oils: A comprehensive review of benefits,


techniques, and applications. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety,
15(1), 143-182.Charles, C. N., Msagati, T., Swai, H., & Chacha, M. (2019). Microalgae: An
alternative natural source of bioavailable omega-3 DHA for promotion of mental health in
East Africa. Scientific African, 6, e00187. https://doi.org/10.1016/j.sciaf.2019.e00187
Cholewski, M., Tomczykowa, M., & Tomczyk, M. (2018). A Comprehensive Review of
Chemistry, Sources and Bioavailability of Omega-3 Fatty Acids. Nutrients, 10(11), 1–33.
https://doi.org/10.3390/nu10111662
Cook, C. M., Hallaråker, H., Sæbø, P. C., Innis, S. M., Kelley, K. M., Sanoshy, K. D., Berger, A.,
& Maki, K. C. (2016). Bioavailability of long chain omega-3 polyunsaturated fatty acids
from phospholipid-rich herring roe oil in men and women with mildly elevated
triacylglycerols. Prostaglandins Leukotrienes and Essential Fatty Acids, 111, 17–24.
https://doi.org/10.1016/j.plefa.2016.01.007
Czumaj, A., & Śledziński, T. (2020). Biological Role of Unsaturated Fatty Acid Desaturases in
Health and Disease. Nutrients, 12(2), 1–25. https://doi.org/10.3390/nu12020356
De Maria, G. (2006). Omega 3/6. Agro Food Industry Hi-Tech, 17(1), 29–31.
Dupasquier, C. M. C., Dibrov, E., Kneesh, A. L., Cheung, P. K. M., Lee, K. G. Y., Alexander, H.
K., Yeganeh, B. K., Moghadasian, M. H., & Pierce, G. N. (2007). Dietary Flaxseed Inhibits
Atherosclerosis in the LDL Receptor-deficient Mouse in Part Through Antiproliferative and
Anti-inflammatory Actions. American Journal of Physiology - Heart and Circulatory
Physiology, 293(4), 2394–2402. https://doi.org/10.1152/ajpheart.01104.2006
Gammone, M. A., Riccioni, G., Parrinello, G., & D’orazio, N. (2019). Omega-3 Polyunsaturated
Fatty Acids: Benefits and Endpoints in Sport. Nutrients, 11(1), 1–16.
https://doi.org/10.3390/nu11010046
Ghasemifard, S., Turchini, G. M., & Sinclair, A. J. (2014). Omega-3 long chain fatty acid
“bioavailability”: A review of evidence and methodological considerations. Progress in
Lipid Research, 56, 92–108. https://doi.org/10.1016/j.plipres.2014.09.001
Inapurapu, S. P., Ibrahim, A., Kona, S. R., Pawar, S. C., Bodiga, S., & Bodiga, V. L. (2020).
Development and characterization of ω-3 fatty acid nanoemulsions with improved
physicochemical stability and bioaccessibility. Colloids and Surfaces A: Physicochemical
and Engineering Aspects, 606(June), 125515.
https://doi.org/10.1016/j.colsurfa.2020.125515
Karthik, P., & Anandharamakrishnan, C. (2016). Enhancing omega-3 fatty acids nanoemulsion
stability and in-vitro digestibility through emulsifiers. In Journal of Food Engineering (Vol.
187). Elsevier Ltd. https://doi.org/10.1016/j.jfoodeng.2016.05.003
Khan, S., Ganguli, M., Aditya, A., Khan, S., Baboota, S., & Ali, J. (2019). Improved in vivo
performance and immunomodulatory effect of novel Omega-3 fatty acid based Tacrolimus
nanostructured lipid carrier. Journal of Drug Delivery Science and Technology, 52(April),
138–149. https://doi.org/10.1016/j.jddst.2019.04.019
Kolanowski, W., & Weißbrodt, J. (2008). Possibilities of Fisherman’s friend type lozenges
fortification with omega-3 LC PUFA by addition of microencapsulated fish oil. JAOCS,
Journal of the American Oil Chemists’ Society, 85(4), 339–345.
https://doi.org/10.1007/s11746-008-1203-4
Lane, K., Derbyshire, E., Li, W., & Brennan, C. (2014). Bioavailability and Potential Uses of
Vegetarian Sources of Omega-3 Fatty Acids: A Review of the Literature. Critical Reviews
in Food Science and Nutrition, 54(5), 572–579.
https://doi.org/10.1080/10408398.2011.596292
Libinaki, R., & Gavin, P. D. (2017). Changes in bioavailability of omega-3 (DHA) through
alpha-tocopheryl phosphate mixture (TPM) after oral administration in rats. Nutrients, 9(9),
1–9. https://doi.org/10.3390/nu9091042
Maki, K. C., & Dicklin, M. R. (2019). Strategies to Improve Bioavailability of Omega-3 Fatty
Acids from Ethyl Ester Concentrates. Current Opinion in Clinical Nutrition and Metabolic
Care, 22(2), 116–123. https://doi.org/10.1097/MCO.0000000000000537
Mu, H. (2008). Bioavailability of Omega-3 Long-chain Polyunsaturated Fatty Acids From Foods.
Agro Food Industry Hi-Tech, 19, 24–26.
Nurfauziah, R., & Rusdiana, T. (2018). Review: Formulasi Nanoemulsi Untuk Meningkatkan
Kelarutan Obat Lipofilik. Farmaka Suplemen, 16, 352–360.
Punia, S., Sandhu, K. S., Siroha, A. K., & Dhull, S. B. (2019). Omega 3 Metabolism, Absorption,
Bioavailability and Health Benefits–A Review. PharmaNutrition, 10, 2213–4344.
https://doi.org/10.1016/j.phanu.2019.100162
Qin, Y., Nyheim, H., Haram, E. M., Moritz, J. M., & Hustvedt, S. O. (2017). A Novel Self-
micro-emulsifying Delivery System (SMEDS) Formulation Significantly Improves the
Fasting Absorption of EPA and DHA From a Single Dose of an Omega-3 Ethyl Ester
Concentrate. Lipids in Health and Disease, 16(1), 1–11. https://doi.org/10.1186/s12944-017-
0589-0
Raatz, S. K., Redmon, J. B., Wimmergren, N., Donadio, J. V., & Bibus, D. M. (2009). Enhanced
Absorption of n-3 Fatty Acids from Emulsified Compared with Encapsulated Fish Oil.
Journal of the American Dietetic Association, 109(6), 1076–1081.
https://doi.org/10.1016/j.jada.2009.03.006
Rizqiyah, L. A., & Estiasih, T. (2016). Mikro dan Nanoemulsifikasi Fraksi Tidak Tersabunkan
(FTT) dari Distilat Asam Lemak Minyak Sawit (DALMS) yang Mengandung Senyawa
Bioaktif Multi Komponen. Jurnal Pangan Dan Agroindustri, 4(1), 56–61.
Saini, R. K., & Keum, Y. S. (2018). Omega-3 and omega-6 polyunsaturated fatty acids: Dietary
sources, metabolism, and significance — A review. Life Sciences, 203(January), 255–267.
https://doi.org/10.1016/j.lfs.2018.04.049
Scaglia, N., Chatkin, J., Chapman, K. R., Ferreira, I., Wagner, M., Selby, P., Allard, J., & Zamel,
N. (2016). The Relationship Between Omega-3 and Smoking Habit: A Cross-sectional
Study. Lipids in Health and Disease, 15(1), 1–7. https://doi.org/10.1186/s12944-016-0220-9
Schuchardt, J. P., & Hahn, A. (2013). Bioavailability of long-chain omega-3 fatty acids.
Prostaglandins Leukotrienes and Essential Fatty Acids, 89(1), 1–8.
https://doi.org/10.1016/j.plefa.2013.03.010
Shim, Y. S., Baek, J. W., Kang, M. J., Oh, Y. J., Yang, S., & Hwang, I. T. (2016). Effect of Food
on the Pharmacokinetics of Omega-3-Carboxylic Acids in Healthy Japanese Male SUbjects:
A Phase I, Randomized, Opel-label, Three-period, Crossover Trial. Journal of
Atherosclerosis and Thrombosis, 23(12), 1334–1344. https://doi.org/10.5551/jat.35634
Spitale, R. C., Cheng, M. Y., Chun, K. A., Gorell, E. S., Munoz, C. A., Kern, D. G., Wood, S.
M., Knaggs, H. E., Wulff, J., Beebe, K. D., & Chang, A. L. S. (2012). Differential Effects of
Dietary Supplements on Metabolomic Profile of Smokers Versus Non-smokers. Genome
Medicine, 4(2), 14. https://doi.org/10.1186/gm313

Uluata, S. M. (2015). How the multiple antioxidant properties of ascorbic acid effect lipid
oxidation in oil-in-water emulsions. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 63,
1819-1824.
Vannice, G., & Rasmussen, H. (2014). Position of the Academy of Nutrition and Dietetics:
Dietary Fatty Acids for Healthy Adults. Journal of the Academy of Nutrition and Dietetics,
114(1), 136–153. https://doi.org/10.1016/j.jand.2013.11.001
Weylandt, K. H., Serini, S., Chen, Y. Q., Su, H. M., Lim, K., Cittadini, A., & Calviello, G.
(2015). Omega-3 Polyunsaturated Fatty Acids: The Way Forward in Times of Mixed
Evidence. BioMed Research International, 1–24. https://doi.org/10.1155/2015/143109

Anda mungkin juga menyukai