ABSTRAK
Asam lemak omega-3 termasuk dalam kategori asam lemak tidak jenuh yang memiliki
ikatan rangkap diantara atom karbon ketiga dan keempat dari ujung gugus metil. Mekanisme
metabolisme, absorpsi (penyerapan), dan bioavailabilitas (ketersediaan hayati) asam lemak
omega-3 sangat penting untuk diketahui, sehingga dapat ditentukan faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi mekanisme ketiganya. Beberapa faktor diantaranya adalah keberadaan mineral,
bentuk dari ikatan kimia di dalamnya yang menghasilkan asam lemak omega-3 yang dicerna,
efek matriks, formulasi galenic (galenic form) dimana sediaan asam lemak omega-3 dalam
bentuk emulsi dapat meningkatkan bioavailabilitas dan penyerapan DHA dan EPA dibandingkan
dengan dalam bentuk kapsul, dan perbedaan antar individu seperti usia, waktu konsumsi, dan
kebiasaan merokok. Usaha dalam meningkatkan bioavailabilitas asam lemak omega-3 dapat
dilakukan dengan cara emulsifikasi dan enkapsulasi. Oksidasi asam lemak omega-3 harus
dihindari untuk mencegah terbentuknya produk samping oksidasi seperti radikal bebas yang
mendorong pertumbuhan kanker dan aterosklerosis.
Kata Kunci : Bioavailabilitas, EPA, Omega-3
I. PENDAHULUAN
Asam lemak omega-3 termasuk dalam kategori asam lemak tidak jenuh yang memiliki
ikatan rangkap diantara atom karbon ketiga dan keempat dari ujung gugus metil (Cholewski et
al., 2018). Prekursor dari asam lemak omega-3 sendiri berupa asam α-linolenat (ALA) yang
kemudian disintesis menggunakan bantuan enzim Δ-6-desaturase dan menghasilkan asam
stearidonic yang selanjutnya dikonversi menjadi Docosahexaenoic Acid (DHA) an
Eicosapemtaenoic Acid (EPA) dengan bantuan enzim Δ-5-desaturase dan Δ-4-desaturase
(Czumaj & Śledziński, 2020).
Asam lemak omega-3 juga termasuk dalam asam lemak yang esensial, berarti tidak
dapat dihasilkan secara efisien oleh tubuh, sehingga harus dipenuhi kebutuhannya melalui
konsumsi makanan (Weylandt et al., 2015). Adapun makanan yang kaya akan omega-3 yaitu ikan
laut, minyak ikan, kenari, minyak kanola, telur, chia seeds, dan lain-lain. Pada dasarnya asam
lemak omega-3 memberikan efek fisiologis yang sangat beragam pada kesehatan dan penyakit
manusia. Berdasarkan beberapa hasil penelitian asam lemak omega-3 berperan dalam
mengurangi mordibitas dan mortalitas penyakit kardiovaskular, meningkatkan perkembangan
fungsi sistem saraf, mengurangi risiko kelahiran prematur, memelihara struktur membran sel,
mengurangi peradangan, menurunkan risiko penyakit kronis seperti kanker, artritis, jantung, dan
lain-lain (Gammone et al., 2019).
Berdasarkan beberapa efek fisiologis yang sangat penting dari asam lemak omega-3,
maka dibutuhkan konsumsi asam lemak omega-3 (kombinasi EPA dan DHA) minimal 250 – 500
mg/hari untuk orang dewasa yang sehat (Vannice & Rasmussen, 2014). Namun, untuk
mendapatkan berbagai efek fisiologis yang menguntungkan tidak hanya bergantung pada
kuantitas asam lemak omega-3 yang dikonsumsi, melainkan bergantung pada tingkat
metabolisme, absorpsi (penyerapan), dan bioavailabilitas (ketersediaan hayati) dalam tubuh
manusia (Punia et al., 2019). Bioavailabilitas atau ketersediaan hayati menjadi faktor terpenting
dari berbagai faktor yang ada. Hal ini dikarenakan bioavailabilitas menggambarkan seberapa
banyak nutrisi yang dapat diserap dan diangkut ke sirkulasi sistemik atau lokasi aktivitas
fisiologis serta memberikan manfaat atau efek positif bagi tubuh manusia (Schuchardt & Hahn,
2013).
Mekanisme metabolisme, absorpsi (penyerapan), dan bioavailabilitas (ketersediaan
hayati) asam lemak omega-3 sangat penting untuk diketahui, sehingga dapat ditentukan faktor-
faktor apa saja yang mempengaruhi mekanisme ketiganya. Selain itu, dapat pula menunjang
penelitian yang dilakukan pada pengembangan pangan atau suplemen kaya akan asam lemak
omega-3 dengan tujuan meningkatkan metabolisme, absorpsi (penyerapan), dan bioavailabilitas
(ketersediaan hayati) asam lemak omega-3. Oleh karena itu, ulasan berikut difokuskan pada
metabolisme, absorpsi (penyerapan), dan bioavailabilitas (ketersediaan hayati) asam lemak
omega-3.
II. ISI
II.1 Metabolisme Asam Lemak Omega-3
Seperti yang telah diulas pada pembahasan sebelumnya bahwa metabolisme, absorpsi,
dan bioavailabilitas asam lemak omega-3 sangat penting untuk diketahui karena dapat menunjang
penelitian yang dilakukan pada pengembangan pangan pada peningkatan ketiga aspek tersebut.
Ketidakmampuan metabolisme asam lemak omega 3 ALA untuk memenuhi kebutuhan fisiologis
DHA di otak manusia mendorong kebutuhan akan sumber alternatif DHA omega-3 yang tersedia
(Charles et al., 2019). Ensefalisasi yang lebih besar pada manusia memerlukan adaptasi genetic
dari metabolisme asam lemak omega-3 untuk memenuhi kebutuhan LC-PUFA yang lebih tinggi
yang dibutuhkan untuk kebutuhan otak besar (Ameur et al., 2012). Metabolisme asam lemak
omega-3 dipengaruhi oleh struktur lipid dalam molekuler dan supramolekuler, bentuk lipid
sangat mempengaruhi kinetika dan metabolisme DHA (Ghasemifard et al., 2014). EPA dan DHA
memiliki efek ipid spesifik yang dimediasi, Sebagian, melaui interaksi dengan beberapa faktor
transkripsi gen yang bertanggung jawab untuk memodulasi metabolisme lipid (Cook et al., 2016).
Asam emak omega-3 memiliki peran dalam sintesis eicosanoid. Asupan yang tinggi mendukung
produksi eicosanoid anti-inflamasi atau anti peradangan karena asam lemak omega-3 merupakan
substrat yang dibutuhkan/didukung enzim denaturase dan elongase yang terlibat dalam
biosintesis eicosanoid (Saini & Keum, 2018).
Metabolisme asam lemak omega-3 yang ada di dalam tubuh aktif secara biologis pada
konversinya mulai dari ALA menjadi EPA dan DHA. Dalam penyerapan dan pencernaan asam
lemak omega-3 yang efisien, asam lemak ini pertama-tama diemulsi oleh sekresi empedu ke
dalam usus kecil (Punia et al., 2019). Asam lemak omega-3 dari berbagai makanan dikonsumsi
dan dicerna di usus kecil dan kemudian diserap dan diangkut ke jaringan tubuh melalui plasma.
Selanjutnya mengalami esterifikasi untuk struktur dan fungsi asam lemak omega-3, esterifikasi
dalam bentuk fosfolipid atau gliserida netra setelah esterifikasi dengan gugus hidroksil dari
gliserol fosfolipid atau gliserida (Saini & Keum, 2018). selanjutnya oksidasi untuk pembentukan
energi atau ATP, dan membentuk rantai yang lebih Panjang. Makhluk hidup seperti mamalia
tidak bisa mensintesis asam lemak omega-3 seperti ALA dengan rantai yang lebih Panjang,
namun lebih pendek. Asam lemak omega-3 ALA dari makanan dimetabolisme menjadi DHA
melalui EPA dan DPA.
Asam stearidonic adalah metabolit pertama yang kemudian disintesis dari ALA oleh 6-
denaturase, kemudian asam stearidonic dapat diperpanjang menjadi asam eicosatetraenoic.
Denaturasi lebih lanjut kemudian oleh 5-denaturase menghasilkan DPA dan EPA yang
dimetabolisme menjadi prostaglandin dan leukotriene (Saini & Keum, 2018). Selama konversi
ALA menjadi DHA, sejumlah asam lemak omega-3 terbentuk melalui reaksi denaturasi dan
elongasi. Denaturasi DPA menghasilkan DHA oleh denaturase yang kemudian melibatkan
pemanjangan dan denaturasi DPA menjadi asam tetracosahexenoic oleh denaturase yang
kemudian akhirnya menjadi DHA dengan oksidasi peroixomal (Punia et al., 2019). Beberapa
penelitian memperlihatkan bahwa konversi omega-3 ALA menjadi DHA dari makanan atau
suplemen tidak efektif, sehingga perlu adanya sumber DHA lain yang lebih efektif dalam hal
keamanan dan bioavailabilitas DHA seperti berasal dari alga, namun perlu diketahui juga dosis
optimal dan kesesuaian fortifikasi makanan yang fungsional dari alga tersebut (Lane et al., 2014).
Berikut merupakan diagram alir metabolisme asam alfa-linoleat (omega-3) (Punia et
al., 2019).
Gambar 1. Metabolisme Asam Lemak Omega-3 (ALA)
2.4.2 Enkapsulasi
Asam lemak tak jenuh ganda (PUFA) pada khususnya merupakan molekul yang sangat
lipolitik, dengan penyerapan yang buruk dan ketersediaan hayati yang terbatas. Selain itu PUFA
juga sangat rentan terhadap oksidasi yang mana menyebabkan hilannya nilai gizi, pembentukan
produk beracun dan pembentukan produk degradasi yang mudah menguap dan memiliki bau
serta rasa yang tidak enak [ CITATION Ulu15 \l 1033 ]. Untuk itu munculah pengembangan sistem
pengiriman khusus berbasis emulsi dan teknik enkapsulasi. ditambahkan Teknik enkapsulasi
meningkatkan stabilitas terhadap oksidasi, ketersediaan hayati dan menutupi bau yang tidak
diinginkan serta memberikan pelepasan terkontrol dari senyawa bioaktif sebagai hasil dari
dinding polimer. Selain itu konsentrat PUFA juga sering dikemas untuk melindunginya dari
cahaya dan oksigen selama umur simpan, dan antioksidan alami misalnya tokoferol, fsfolipid,
asam askorbat atau campuran yang biasanya ditambahkan [CITATION Bai04 \l 1033 ]. Salah satu
sumber omega-3 yang telah menggunakan teknik enkapsulasi konvensional adalah minyak ikan.
Teknik enkapsulasi yang berbeda dapat digunakan untuk mengenkapsulasi n-3 PUFA,
seperti emulsifikasi, spray drying, freeze-drying, ekstrusi atau pelapisan unggun terfluidisasi
[ CITATION Bak16 \l 1033 ] . Diantara teknik tersebut, spray drying dan freeze drying merupakan
teknik yang paling sering digunakan. Freeze drying biasanya diterapkan pada senyawa termolabil
dan mudah teroksidasi dikarenakan pelindung suhu rendah dan kondisi vakum yang terlibat
dalam proses. Hanya saja teknik ini memiliki kekurangan, seperti konsumsi energi, terkait dengan
suhu rendah dan kondisi vakum yang tinggi serta waktu pengeringan yang lama sehingga
menyebabkan biaya pemrosesan yang tinggi. Sedangkan spray drying adalah teknologi
mikroenkapsulasi dengan biaya rendah yang beroperasi secara relative sederhana dan
berkesinambungan, sehingga umumnya digunakan pada skala industri [ CITATION Bak16 \l 1033 ].
3. KESIMPULAN
Asam lemak omega-3 merupakan asam lemak tidak jenuh dengan ikatan rangkap antara
atom karbon ketiga dan keempat dari ujung gugus metil. Asam lemak omega-3. Asam emak
omega-3 (ALA,EPA, dan juga DHA) merupakan asam lemak aktif secara biologis dan terkait
dengan metabolisme, absorpsi, serta bioavailabilitas. Ketersediaan hayati atau bioavailabilitas
asam lemak omega-3 dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah keberadaan
mineral, bentuk dari ikatan kimia di dalamnya yang menghasilkan asam lemak omega-3 yang
dicerna, efek matriks, formulasi galenic (galenic form) dimana sediaan omega-3 dalam bentuk
emulsi dapat meningkatkan bioavailabilitas dan penyerapan DHA dan EPA dibandingkan
dengan dalam bentuk kapsul, dan perbedaan antar individu. Usaha dalam meningkatkan
bioavailabilitas asam lemak omega-3 dapat dilakukan dengan cara emulsifikasi dan enkapsulasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ameur, A., Enroth, S., Johansson, Å., Zaboli, G., Igl, W., Johansson, A. C. V., Rivas, M. A.,
Daly, M. J., Schmitz, G., Hicks, A. A., Meitinger, T., Feuk, L., Van Duijn, C., Oostra, B.,
Pramstaller, P. P., Rudan, I., Wright, A. F., Wilson, J. F., Campbell, H., & Gyllensten, U.
(2012). Genetic adaptation of fatty-acid metabolism: A human-specific haplotype increasing
the biosynthesis of long-chain omega-3 and omega-6 fatty acids. American Journal of
Human Genetics, 90(5), 809–820. https://doi.org/10.1016/j.ajhg.2012.03.014
Article, R. (2014). Development of food-grade nanoemulsions and emulsions for delivery of
omega-3 fatty acids : Opportunities and obstacles in the food industry Development of food-
grade nanoemulsions and emulsions for delivery of omega-3 fatty acids : Advances and
obstacles.
Baik, M. Y. (2004). Effects of Antioxidants and Humidity on the Oxidative Stability of
Microencapsulated Fish Oil. JAOCS, Journal of the American Oil Chemists’Society, 81 (4),
Uluata, S. M. (2015). How the multiple antioxidant properties of ascorbic acid effect lipid
oxidation in oil-in-water emulsions. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 63,
1819-1824.
Vannice, G., & Rasmussen, H. (2014). Position of the Academy of Nutrition and Dietetics:
Dietary Fatty Acids for Healthy Adults. Journal of the Academy of Nutrition and Dietetics,
114(1), 136–153. https://doi.org/10.1016/j.jand.2013.11.001
Weylandt, K. H., Serini, S., Chen, Y. Q., Su, H. M., Lim, K., Cittadini, A., & Calviello, G.
(2015). Omega-3 Polyunsaturated Fatty Acids: The Way Forward in Times of Mixed
Evidence. BioMed Research International, 1–24. https://doi.org/10.1155/2015/143109