Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH BIOKIMIA

KINETIKA KERJA ENZIM

KELOMPOK IX

ST. FADLIZAH ARIS H31115505

WIRDA ASRIANI HAMJA H31115507

YULINAR H31115509

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
Kata Pengantar

Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan


makalah yang berjudul “Kinetika Kerja Enzim”. Adapun maksud dari
penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
di Universitas Hasanuddin Makassar. Dalam menyusun makalah ini, penulis
mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui
pengantar ini penulis ucapkan banyak terima kasih atas segala bantuan yang
telah diberikan. Semoga semua kebaikan dibalas oleh Allah SWT dengan
balasan yang berlipat ganda.
Karena terbatasnya pengetahuan serta kemampuan yang dimiliki, penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna
dan masih terdapat kekurangan dan kesalahan baik dalam penyusunan kata,
penulisan, maupun isi serta pembahasannya. Untuk itu saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan penyusunan
makalah lain di masa yang akan datang.
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis
khususnya, dan umumnya bagi para pembaca.

Makassar, 24 November 2016

Kelompok IX
Daftar Isi

Kata pengantar…………………………………………………………………………..

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………


1.2 Tujuan………………………………………………………………………..

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kinetika Enzim………………………………………………...

2.2 Prinsip- Prinsip Dasar Kinetika Enzim……………………………………

2.3 Persamaan Kinetika Reaksi Enzim………………………………………

2.4 Analisa Kuantitatif Aktivitas Enzim……………………………………….

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………

Daftar Pustaka………………………………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam sistem biologi reaksi kimia selalu memerlukan katalis.
Enzim adalah salah satu yang berfungsi sebagai biokatalisator. Enzim
merupakan senyawa protein yang dapat mengatalisi reaksi-reaksi kimia dalam
sel dan jaringan makhluk hidup. Enzim bersifat sangan spesifik baik jenis
maupun reaksi substratnya.
Dalam tubuh manusia sendiri terdapat berjuta-juta enzim yang mana
peran masing-masing enzim tersebut sangat spesifik. Untuk itulah kemudian
ada suatu sistem penamaan enzim. Dalam tata cara penamaan enzim,
biasanya diawali dengan nama substrat dan di akhiri dengan akhiran –ase.
Sebagai contoh enzim sucrose, enzim ini berperan secara spesifik dalam
menghidrolisis sukrosa. Lalu ada lagi enzim lipase, yang berperan dalam
hidrolisis lemak (lipid).
Ada begitu banyak jenis enzim, masing-masing memiliki
kecepatan bekerja yang berbeda-beda. Hal yang berkaitan dengan sebebrapa
cepat enzim bekerja inilah yang disebut dengan Kinetika Enzim. Dalam
makalah ini, kami berharap semoga pembaca dapat lebih memahami apa
yang dimaksud dengan kinetika enzim dan hubungannya dengan persamaan
Michaelis-Menten.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui pengertian kinetika reaksi enzim
2. Mengetahui prinsip-prinsip dasar aktivitas enzim
3. Mengetahui persamaan kinetika reaksi enzim
4. Mengetahui analisis kuantitatif aktivitas enzim
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kinetika Enzim


Kinetika enzim merupakan bidang biokimia yang terkait dengan
pengukuran kuantitatif dari kecepatan reaksi yang dikatalisis enzim dan
pemeriksaan sistematik faktor-faktor yangg mempengaruhi kecepatan tersebut.
Analisis kinetik memungkinkan para ahli merekonstruksi jumlah dan urutan
tahap-tahap individual yang merupakan perubahan substrat oleh enzim menjadi
produk.
Mempelajari kinetik enzim juga merupakan dasar untuk mengidentifikasi
kekuatan pengobatan dari obat tertentu yang secara selektif menghambat
kecepatan proses yang dikatalisis oleh enzim. Bersama dengan mutagenesis
yang disengaja dan teknik lain yang mengganggu struktur protein, analisis
kinetik juga mengungkapkan secara mendalam mekanisme katalitik.
Aktivitas seperangkat enzim yg seimbang dan lengkap merupakan dasar
penting untuk mempertahankan homeostasis. Pemahaman tentang kinetik
enzim penting untuk memahami bagaimana stress fisiologis seperti anoksia,
asidosis atau alkalosis metabolik, toksin dan senyawa farmakologik
mempengaruhi keseimbangan tersebut.
Enzim adalah molekul protein yang biasanya memanipulasi molekul lain -
substrat enzim. Ini target molekul mengikat ke situs aktif enzim dan diubah
menjadi produk melalui serangkaian langkah yang dikenal sebagai mekanisme
enzimatik. Mekanisme ini dapat dibagi ke dalam mekanisme tunggal-substrat
dan multiple-substrat. Studi kinetik pada enzim yang hanya mengikat satu
substrat, seperti isomerase triosephosphate, bertujuan untuk mengukur afinitas
dengan enzim yang mengikat ini substrat dan tingkat turnover. Ketika enzim
mengikat substrat ganda, seperti dihydrofolate reduktase (ditampilkan kanan),
kinetika enzim juga dapat menunjukkan urutan di mana ini mengikat substrat
dan urutan di mana produk yang di. Contoh enzim yang mengikat substrat
tunggal dan melepaskan beberapa produk adalah protease, yang membelah
satu protein substrat menjadi dua produk polipeptida. Lainnya bergabung
dengan dua substrat bersama-sama, seperti DNA polimerase menghubungkan
nukleotida pada DNA. Meskipun mekanisme ini sering serangkaian kompleks
langkah, ada biasanya satu tingkat-menentukan langkah yang menentukan
kinetika secara keseluruhan. Langkah tingkat-menentukan mungkin merupakan
reaksi kimia atau perubahan konformasi dari enzim atau substrat, seperti
mereka yang terlibat dalam pelepasan produk (s) dari enzim.

2.2 Prinsip-prinsip Dasar Kinetika Enzim


Kinetika enzim dipengaruhi oleh laju reaksi enzimatik.Faktor-faktor
penting yang mempengaruhi laju reaksi enzimatik adalah konsentrasi substrat
dan enzim, demikian pula 6ariab-faktor lain seperti pH, suhu, dan ada tidaknya
kofaktor dan ion logam. Kajian mengenai bagaimana suatu laju bergantung
pada 6ariable-variabel yang diperoleh secara percobaan dapat menyebabkan
perbedaan di antara mekanisme-mekanisme yang mungkin terjadi
(Kuchel dan Ralston, 2006).
Prinsip aksi massa menyatakan bahwa untuk tahapan reaksi kimia yang
tunggal dan tidak dapat balik, laju reaksinya sebanding dengan konsentrasi
reaktan yang terlibat dalam proses tersebut. Tetapan kesebandingannya
disebut tetapan laju (Kuchel dan Ralston, 2006).
Penerapan prinsip aksi massa pada skema reaksi

(2.1)

Dengan tetapan laju maju k1 dan tetapan laju balik k-1, menghasilkan rumus
untuk laju reaksi maju dan laju reaksi balik sebagaimana berikut:

laju maju = k1 [A][B]


laju balik = k-1 [P][Q]
(2.2)
dengan tanda kurung persegi menyatakan konsentrasi dalam satuan mol L -1.
Pada kesetimbangan kimia, laju reaksi maju dan laju reaksi balik adalah sama
besar seiring dengan berjalannya waktu tidak ada hasil reaksi bersih yang
dihasilkan. Sehingga,

(2.3)

dengan Ke menyatakan tetapan kesetimbangan dan subskrip e menyatakan


nilai konsentrasi pada kesetimbangan (Kuchel dan Ralston, 2006).
Laju reaksi hanya mencantumkan perubahan konsentrasi dari spesi-
spesi per satuan waktu dan dengan demikian dapat dituliskan secara
matematis sebagai turunan dari rumus di atas; contohnya,

(2.4)
Molekularitas mengacu pada jumlah molekul yang terlibat dalam suatu
reaksi dasar. Umumnya hanya dua molekul yang bertabrakan dalam satu waktu
untuk menghasilkan produk (molekularitas = 2) atau suatu molekul tunggal
mengalami pembelahan (molekularitas = 1) (Kuchel dan Ralston, 2006)..
Orde reaksi adalah jumlah pangkat dari konsentrasi reaktan dan produk
dalam rumus laju reaksi:
Pada reaksi orde pertama

Rumus untuk laju perubahan [A] adalah

(2.5)
Karena sisi kiri rumus mempunyai satuan laju reaksi (mol L -1s-1), maka satuan-
satuan ini juga akan berlaku untuk sisi kanan rumus. Dengan demikian satuan
untuk k[A] adalah mol L-1s-1, sehingga k mempunyai satuan s-1. Jadi, analisis
dimensi sederhana dapat menghasilkan rumus umum untuk satuan yang
berlaku untuk tetapan tertentu dalam kondisi tertentu (Kuchel dan Ralston,
2006).

2.3 Persamaan Reaksi Enzim

𝐸 + 𝑆 ↔ 𝐸𝑆 ↔ 𝐸 + 𝑃

( 2.6)
Keterangan :

E = Enzim

S = Substrat

ES = Keadaan transisi

P = Produk

Ada dua persamaan untuk menganalisa secara kuantitatif kinetika kerja


enzim yaitu dengan metode pendekatan asas keseimbangan Michaelis-Menten
dan asas teori keadaan tunak Briggs-Haldane.

2.3.1 Pendekatan dengan asas keseimbangan menutut Michaelis –


Menten
Persamaan Michaelis menten merupakan persamaan kecepatan reaksi
enzimatik substrat tunggal yang menyatakan hubungan kuantitatif reaksi awal
(v), kecepatan reaksi maksimum (V maks), konsentrasi substrat (S) dan
konstanta Michaelis-Menten (KM).

[𝐸][𝑆]
KM = [𝐸𝑆]

(2.7)

[E], [S], dan [ES] adalah konsentrasi dalam keadaan keseimbangan


masing-masing dari E,S, dan ES. Jika konsentarasi enzim semula adalah [E0 ] ,
maka konsentrasi enzim bebas yaitu:
[E]= [E]0 – [ES] = [E]0- [P]
(2.8)

[ES] adalah konsntrasi enzim yang berikatan dengan substrat yang juga
sama dengan konsentrasi produk [P]. Maka bila persamaan (2.8) dimasukkan
ke dalam persamaan (2.7), didapatkan:

([𝐸]0−[𝑃])[𝑆] ([𝐸]0−[𝐸𝑆])[𝑆]
KM = atau KM=
[𝑃] [𝐸𝑆]

(2.9)

Analisis lebih lanjut adalah sebagai berikut:

KM [ES]= [E]0 [S] – [ES] [S]


[𝐸]𝑜 [𝑆]
[𝐸𝑆] =
𝐾𝑀 + [𝑆]
(2.10)

Laju reaksi, v= k3 [ES], sehingga bila persamaan (2.10) dimasukkan ke


dalamnya maka diperleh:

[𝐸]𝑜[𝑆]
𝑣 = 𝑘3 𝐾𝑀+[𝑆] atau (𝑘3 ["𝐸]𝑜" )/(𝐾𝑀/[𝑆] + 1))

(2.11)

Bila konsentrasi substrat cukup besar sehingga semua enzim terikat


kepadanya, yaitu dalam bentuk kompleks ES, maka akan didapatkan laju reaksi
maksimum (Vmaks).

Vmaks = k3 [E]0
(2.12)

Bila persamaan sebelumnya dibagi dengan persamaan di atas maka diperoleh:

𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠 [𝑆]
𝑣=
𝐾𝑀 + [𝑆]

(2.13)
Persamaan tersebut adalah persamaan Michaelis-Menten, yaitu hubungan
kuantitatif antara laju reaksi enzim dan konsentrasi substrat, bila Vmaks atau
Km diketahui.
Apabila v= ½ Vmaks sehingga,
1 𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠 . [𝑆]
𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠 =
2 𝐾𝑀 + [𝑆]
(2.14)

Harga KM akan sama dengan konsentrasi substrat pada waktu laju reaksi
sama dengan seperdua dari laju reaksi maksimum. Satuan KM adalah mol per
liter.

Vmaks

-------------------------------------------------------------------------

1
𝑣 = 2Vmaks --------------------

(S=KM) (S)

Gambar 2.1 hubungan antara laju reaksi enzim dan konsentrasi substrat
Michaelis-Menten

2.3.2 Pendekatan dengan prinsip teori keadaan tunak menurut


Briggs-Haldane
Persamaan Briggs-Haldone menyatakan dimana laju reaksi
pembentukan kompleks ES sama dengan laju reaksi penguraian ES menjadi P
dan E yang akan menghasilkan persamaan yang sama untuk hubungan laju
reaksi enzim dengan konsentrasi substrat.

Dalam keadaan tunak bertambahnya ES per satuan waktu adalah nol.

𝑑 [𝐸𝑆]
= 0 = k1 [E] [S] – (k2 [ES] + k3 [P]
𝑑𝑡

(2.15)

Apabila dimasukkan harga [E] = [E]o – [ES] dan [P] = [ES], diperoleh:

k1 ([E]0 – [ES]) [S] = [ES] (k2+k3)


k1 [E]0 [S]- k1 [ES] [S] =[ES] (k2+k3)
[𝐸]𝑜 [𝑠]
[𝐸𝑆] =
(k2 + k3)
[𝐸𝑆] +
𝑘1
(2.16)

(k2+k3)
Karena menunjukkan konstanta kesetimbangan dari disosiasi ES, maka
𝑘1

(k2+k3)
= 𝐾𝑀
𝑘1

(2.17)

Jika harga tersebut dimasukkan ke persamaan sebelumnya maka diperoleh:

[𝐸]𝑜 [𝑆]
[𝐸𝑆] =
[𝑆] + 𝐾𝑀
(2.18)

Kemudian persamaan di atas disubtitusi ke persamaan 𝑣 = 𝑘3[𝐸𝑆], diperoleh :

𝑘3[𝐸]𝑜[𝑆]
𝑣=
[𝑆] + 𝐾𝑀
(2.19)

Karena 𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠 = 𝑘3 [𝐸]𝑜, maka persamaan (2.19) menjadi identik dengan


persamaan (2.13).
Jadi dapat di simpulkan bahwa kedua cara pendekatan di atas
menghasilkan persamaan yang sama untuk hubungan antara laju reaksi enzim
dan kosentrasi substrat.

2.3.3 Transformasi persamaan Michaelis-Menten


Apabila persamaan Michaelis-Menten kita balikkan, maka akan diperoleh
suatu persamaan yang disebut persamaan Lineweaver-Burk yang dapat
memberikan informasi mengenai reaksi enzim yang di inhibisi.

1 [𝑆] + 𝐾𝑀
=
𝑣 𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠 [𝑆]

( 2.20)

Yang kemudian menjadi

1 1 𝐾𝑀 1
= +
𝑣 𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠 𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠 [𝑆]

(2.21)

Gambar 2.2 Grafik Lineweaver-Burk


Transformasi cara lain dapat dilakukan dengan mengalikan persamaan di atas
dengan Vmaks.[v], sehingga diperoleh :

𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠. [𝑣] 𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠. [𝑣] 𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠. [𝑣] 𝐾𝑀


= + .
𝑣 𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠 𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠 [𝑆]

Dan selanjutnya menjadi:

𝐾𝑀
𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠 = 𝑣 + 𝑣.
[𝑆]
𝑣
𝑣 = −𝐾𝑀 + 𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠
[𝑆]

(2.22)

Persamaan di atas disebut sebgai persamaan Eadie-Hofstee. Persamaan ini


tidak saja menghasilkan Vmaks dan KM secara sederhana,tetapi juga
memperbesar sifat kelinieran yang kurang jelas jika menggunakan cara
Lineweaver-Burk.

2.4 Analisa Kuantitatif Aktivitas Enzim


Jumlah enzim dalam ekstrak suatu jaringan, ditentukan secara kuantitatif
berdasarkan efek katalisisnya. Untuk penentuan ini perlu diketahui beberapa
faktor yaitu:
1) pH
Menurut Lehninger (1982), aktivitas katalitik enzim di dalam sel mungkin
diatur sebagian oleh perubahan pada pH medium lingkungan. pH lingkungan
juga berpengaruh terhadap kecepatan aktivitas enzim dalam mengkatalisis
suatu reaksi. Hal ini disebabkan konsentrasi ion hidrogen mempengaruhi
struktur 3 dimensi enzim dan aktivitasnya. Setiap enzim memiliki pH optimum
yang khas, yaitu pH yang menyebabkan aktivitas maksimal. pH optimum enzim
tidak perlu sama dengan pH lingkungan normalnya, dengan pH yang mungkin
sedikit di atas ataudi bawah pH optimum. Pada pH optimum struktur tiga
dimensi enzim paling kondusif untuk mengikat substrat. Bila konsentrasi ion
hidrogen berubah dari konsentrasi optimal, aktivitas enzim secara progresif
hilang sampai akhirnya enzim menjadi tidak fungsional.
Seperti halnya yang berlaku pada protein umumnya, enzim mempunyai
titik isoelektrik dengan muatan bebas bersihnya adalah nol. pH pada titik
isoelektrik, sebagai patokan, berbeda dengan pH pada waktu aktivitas
maksimal. pH optimal
yang diperlihatkan oleh enzim berbeda-beda; pepsin yang ada dalam
lingkungan asam dalam lambung, mempunyai pH optimum kurang lebih 1,5 ,
sedangkan arginase, suatu enzim yang memecah asam amino arginin,
optimum pada pH 9,7. Kebanyakan enzim mempunyai pH optimal antara pH 4
dan 8. Beberapa enzim menunjukkan keluwesan terhadap perubahan pH, tapi
yang lainnya bekerja dengan baik hanya daerah yang sempit. Jika suatu enzim
biberi pH ekstrim, maka akan terdenaturasi. Kepekaan enzim terhadap
perubahan pH merupakan salah satu sebab mengapa pengaturan pH tubuh
dilakukan dengan sangat hati-hati dan mengapa penyimpangan terhadap pH
normal akan membawa akibat buruk (Montgomery, 1993).
pH optimum beberapa enzim (Wirahadikusumah, 1997)
Enzim Substrat pH optimum
Albumin telur 1,5
Pepsin
Hemoglobin 2,2
Piruvat karboksilase Piruvat 4,8
Fumarat 6,5
Fumarase
Malasa 8,0
Katalase H2O2 7,6
Benzoilargininamida 7,7
Tripsin
Benzoilarginina etil-ester 7,0
Alkalinfosfatase Gliserol-3-fosfat 9,5
Arginase Arginin 9,7
Tabel 2.1 pH optimum beberapa enzim
Banyak enzim ada dalam tubuh pad pH yang agak berbeda dari pH
optimumnya. Hal ini sebagian disebabkan karena adanya perbedaan dalam
ketepatan in vivo, dibandingkan dengan in vitro. Ditekankan pula bahwa
pengendalian pH merupakan cara yang penting untuk mengatur aktivitas enzim.
Misalnya enzim lisosom, sebagai suatu kelompok mempunyai pH optimal yang
cukup asam, yang sering tidak tercapai di luar lisosom pada keadaan
kesehatan seluler. Apabila sel rusak, maka sel mungkin akan menjadi asidotik,
dengan akibat sobeknya membran lisosom dan lepasnya enzim yang
dikandung. Dalam kondisi asidotik, enzim ada dalam lingkungan yang lebih
untuk dapat berfungsi sebagai pembersih material-material dari sel-sel yang
rusak berat atau mati (Montgomery, 1993).
Fruktose bisfosfatase dan fosfofruktokinase adalah enzim-enzim dengan
pengaruh bolak-balik pada perubahan antara fruktose 1,6-bisfosfat dan
fruktose-6-fosfat. Dalam kesamaan kondisi-kondisi lain, fosfofrukinase lebih
terganggu bila pH turun di bawah 7,5, sehingga asidosis ringan lebih
mendorong terbentuknya gllukosa dan mengurangi pembentukan piruvat dan
laktat (Montgomery, 1993).
Apabila aktivitas sebagian besar enzim digambarkan sebagai suatu
fungsi dari pH reaksi, biasanya akan tampak penigkatan kecepatan reaksi
seiring dengan pergeseran pH dari tingkat yang sangat asam menuju rentang
fisiologis dan penurunan kecepatan reaksi sewaktu pH bergerak dari rentang
fisiologis ke rentang yang sangat basa. Bentuk kurva di daerah asam
mencerminkan kondisi gugus fungsional spesifik di tempat aktif (atau di
substrat) akibat peningkatan pH, dan pembentukan ikatan hidrogen lebih umum
yang penting bagi konformasi keseluruhan enzim. Hilangnya aktivitas pada sisi
basa biasanya mencerminkan ionisasi residu asam amino pada enzim yang
tidak sesuai (Marks, 1996).
Gambar 2.3 Hubungan antara pH dengan aktivitas enzim

2) Suhu
Suhu bepengaruh besar terhadap aktivitas enzim. Semua enzim bekerja
dalam rentang suhu tertentu pada tiap jenis organisme. Secara umum, setiap
peningkatan sebesar 10°C di atas suhu minimum, aktivitas enzim akan
meningkat sebanyak dua kali lipat hingga mencapai kondisi optimum.
Peningkatan suhu eksternal secara umum akan meningkatkan kecepatan
reaksi kimia enzim, tetapi kenaikan suhu yang terlalu tinggi atau setelah
melebihi suhu optimumnya akan menyebabkan terjadinya denaturasi enzim
yaitu kerusakan struktur enzim, terutama kerusakan pada ikatan ion dan ikatan
hidrogennya. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan kecepatan reaksi yang
dikatalis oleh enzim tersebut. Denaturasi enzim di atas suhu optimum akan
menyebabkan terjadinya kematian pada sel organisme, tetapi beberapa
organisme mampu bertahan hidup dan tetap aktif pada suhu yang sangat tinggi,
dimana organisme lain sudah tidak mampu hidup seperti bakteri dan alga yang
ditemukan pada sumber-sumber air panas ditaman Nasional Yellow Stone
Amerika, suhu optimum untuk hidupnya sebesar 70°C.
Kenaikan suhu sebelum terjadinya proses denaturasi dapat menaikkan
kecepatan reaksi. Koefisien suhu suatu reaksi diartikan sebagai kenaikan
kecepatan reaksi sebagai akibat kenaikan suhu 10°C. Koefisien suhu ini diberi
simbol Q10. Untuk reaksi yang menggunakan enzim, Q10 ini berkisar antara
1,1 hingga 3,0 artinya setiap kenaikan suhu 10°C, kecepatan reaksi mengalami
kenaikan 1,1 hingga 3,0 kali. Kenaikan suhu pada saat mulai terjadinya proses
denaturasi akan mengurangi kecepatan reaksi. Karena ada dua pengaruh yang
berlawanan, maka terjadi suatu titik optimum, yaitu suhu yang paling tepat bagi
suatu reaksi yang menggunakan enzim tertentu (Anna Poedjiadi, 2009).
Denaturasi akibat suhu tinggi biasanya irreversibel karena gaaya-gaya
ikatan lemah yang penting rusak akibat meningkatnya getaran termal
komponan atom-atomnya, suatu fenomena yang merusak struktur tiga dimensi.
Pada kondisi yang tidak menyebabkan denaturasi, kebanyakan enzim
menunjukkan adanya suhu optimum, dengan keadaan lainnya sama, untuk
mencapai aktivitas optimal. Gambar 2.2 memperlihatkan bahwa perubahan
aktivitas di bawah suhu ini tidak selalu simetris. Beberapa enzim
memperlihatkan penurunan aktivitas secara tajam dalam kisaran sangat kecil
setelah melewati titik mulainya denaturasi. Ini sering dikatakan sebagai suatu
“pelelehan” protein, dengan hilangnya gaya-gaya ikatan lemah yang penting
secara cepat, analog dengan titik leleh dari senyawa organik sederhana
(Montgomery, 1993).
Beberapa enzim juga sangat sensitif terhadap suhu rendah. ATPase
mitokondria, misalnya, dengan cepat menjadi tidak aktif jika didinginkan hingga
5°C, tapi cukup stabil dalam suhu ruangan. Salah satu penjelasannya ialah
pada suhu yang lebih rendah gaya-gaya lemah antara berbagai bagian dari
suatu subunit. Ini menyebabkan gangguan pada bentuk polimerik, yang sangat
penting untuk aktivitas enzim. Akhirnya harus diperhatikan bahwa beberapa
enzim sangat tidak terpengaruh oleh panas. Beberapa protease dan fosfolipase
dapat bertahan dalam suhu air mendidih tanpa atau hanya sedikit kehilangan
aktifitasnya (Montgomery, 1993).
Penting untuk dicatat bahwa jika suatu enzim dari suatu jenis tertentu
diisolasi dari berbagai jaringan badan yang berlainan, misalnya, dehidrogenase
laktat dari jantung, hati, paru-paru, dan ginjal. Seperti yang akan ditunjukkkan
kemudian, kenyataan ini sangat bermanfaat dalam diagnosis yang berbeda-
beda terhadap beberapa penyakit dari organ-organ tertentu. Penggunaan lain
dari denaturasi panas ialah pada sterilisasi pangan dan alat-alat bedah atau
pasteurisasi susu, yang semua bergantung pada perusakan oleh panas secara
cepat terhadap enzim yang esensial untuk mikroorganisme kontaminan
(Montgomery, 1993).

Gambar 2.4 Hubungan antara suhu dengan aktivitas enzim

3) Konsentrasi Enzim
Kecepatan suatu reaksi yang menggunakan enzim tergantung pada
konsentrasi enzim tersebut sebagai katalisator. Kecepatan reaksi bertambah
seiring dengan bertambahnya konsentrasi enzim hingga batas tertentu
(Anna Poedjiadi, 2009).
Peningkatan konsentrasi enzim akan meningkatkan kecepatan reaksi
enzimatik. Dapat dikatakan bahwa kecepatan reaksi enzimatik (v) berbanding
lurus dengan konsentrasi enzim [E]. Makin besar konsentrasi enzim, reaksi
makin cepat (Hafiz Soewoto, 2000).
Gambar 2.5 Hubungan antara konsentrasi enzim dengan kecepatan reaksi
enzim

4) Konsentrasi Substrat
Aktivitas enzim dipengaruhi pula oleh konsentrasi substrat. Hasil
eksperimen menunjukkan bahwa dengan konsentrasi enzim yang tetap, maka
penambahan konsentrasi substrat akan menaikkan kecepatan reaksi. Akan
tetapi pada batas konsentrasi tertentu, tidak terjadi kenaikan kecepatan reaksi
walaupun konsentrasi substrat diperbesar (Anna Poedjiadi, 2009).
Pada konsentrasi substrat yang amat rendah, kecepatan reaksipun
amat sangat rendah, tetapi kecepatan ini akan meningkat dengan
meningkatnya konsentrasi substrat. Jika diuji pengaruh konsentrasi substrat
yang terus meningkat setiap saat, kita mengukur kecepatan awal reaksi yang
dikatalisis ini, kita akan menemukan bahwa kecepatan ini meningkat dengan
nikai yang semakin kecil. Pada akhirnya akan tercapai titik batas, dan setelah
titik ini dilampaui, kecepatan reaksi hanya akan meningkat sedemikian kecil
dengan bertambahnya konsentasi substrat (gambar 2.6). Bagaimanapun
tingginya konsentrasi substrat setelah titik ini tercapai, kecepatan reaksi akan
mendekati, tetapi tidak akan pernah mencapai garis maksimum. Pada batas ini,
yang disebut kecepatan maksimum (V maks), enzim menjadi jenuh oleh
substratnya, dantidak dapat berfungsi lebih cepat (Marks, 1996).
Pengaruh kejenuhan ini diperlihatkan oleh hampir semua enzim. Hal
inilah yang membawa Victor Henri pada tahun 1903, menyatakan bahwa enzim
bergabung dengan molekul substrat, untuk membentuk suatu kompleks enzim
substrat sebagai tahap yang harus dilalui dalam katalis oleh enzim. Pemikiran
ini diperluas menjadi suatu teori umum kerja enzim, terutama oleh Leonor
Michaelis dan Maud Menten pada tahun 1993. Mereka mengemukakan bahwa
enzim E pertama-tama bergabung dengan substratnya S dalam reaksi balik,
membentuk kompleks enzim-substrat ES. Reaksi ini berlangsung relatif cepat
(Marks, 1996).

Gambar 2.6 Hubungan antara konsentrasi substrat dengan kecepatan reaksi


enzim

Secara percobaan, pengaruh konsentrasi substrat terhadap laju reaksi


dapat dipelajari dengan cara mencatat kemajuan reaksi yang dikatalisis oleh
enzim, dengan konsentrasi enzim dibuat tetap dan konsentrasi substrat
divariasikan. Kecepatan awal, v0, diukur sebagai kemiringan garis singgung
kurva kemajuan reaksi pada waktu t = 0. Kecepatan awal digunakan karena
degradasi enzim selama reaksi berlangsung atau inhibisi oleh produk reaksi
dapat saja terjadi, sehingga memberikan hasil yang mungkin sulit untuk
diinterpretasikan (Kuchel dan Ralston, 2006).
Bila [S] jauh lebih besar dibandingkan konsentrasi enzim, v0 biasanya
berbanding lurus dengan konsentrasi enzim dalam campuran reaksi, dan untuk
sebagian besar enzim v0 merupakan fungsi hiperbolik persegi
panjang dari [S]0 (Gambar 2.7). Jika terdapat substrat lain, maka substrat-
substrat ini dibuat tetap selama rangkaian percobaan dan [S]0 dibuat
bervariasi (Kuchel dan Ralston, 2006).

Gambar 2.7 Hubungan hiperbolik antara kecepatan awal dan


konsentrasi substrat awal pada reaksi yang dikatalisis enzim.

Persamaan yang menggambarkan hiperbola persegi panjang yang


biasanya menyatakan data reaksi enzim (seperti pada Gambar (2.7) disebut
persamaan Michaelis-Menten (Kuchel dan Ralston, 2006):

(2.23)

Persamaan di atas mempunyai sifat bahwa jika [S]0 sangat besar, maka
v0 = Vmaks (kecepatan maksimum); demikian juga jika v0 = Vmaks/2, nilai
[S]0 adalah Km, tetapan Michaelis.
Persamaan Michaelis-Menten dapat disusun ulang menjadi bentuk lain
yang menghasilkan garis lurus bila satu variabel baru diplot terhadap variabel
lainnya. Keuntungannya adalah: (1) Vmaks dan Km dapat ditentukan secara
langsung dengan cara menarik garis lurus pada data hasil perhitungan; (2)
permulaan data pada garis lurus akan lebih mudah ditentukan dibandingkan
pada hiperbola; (3) pengaruh yang ditimbulkan oleh inhibitor terhadap reaksi
dapat dianalisis secara lebih mudah (Kuchel dan Ralston, 2006).
Persamaan Michaelis-Menten yang paling sering digunakan adalah
persamaan “perbandingan terbalik ganda” Lineweaver-Burk.

(2.24)
Plot pasangan data (1/[S]0,I, 1/v0,i), untuk i = 1, . . ., n, dengan n adalah jumlah
pasangan data, menghasilkan garis lurus dengan perpotongan ordinat pada
1/Vmaks dan perpotongan absis pada -1/Km (Gambar 2.8).

Gambar 2.8 Plot Lineweaver-Burk.


Dengan ΔH adalah perubahan kalor, atau entalpi, T adalah suhu, dan ΔS
adalah perubahan entropi. G dapat dinyatakan dalam joule atau kalori per mol
(4,186 J = 1 kal).

Contoh: Sebagian besar energi yang diubah oleh hewan tingkat tinggi
diperoleh dari oksidasi glukosa:

C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O


Jika diketahui ΔH = -2.808 kJ mol-1 dan ΔS = 182,4 J K-1 mol-1 untuk reaksi ini,
berapa energi yang dihasilkan dari oksidasi 1 mol glukosa pada 310 K?
Kita menggunakan:
ΔG = ΔH – TΔS = - (2.808 x 103 + 310 x 182,4) J mol-1
= - 2.865 kJ mol-1
Karena itu, pencernaan 1 mol (180,2 g) glukosa pada suhu 310 K
memberikan tenaga untuk hewan sebesar 2.865 kJ (Kuchel dan Ralston, 2006).
Keadaan standar suatu zat murni didefinisikan sebagai bentuk zat
tersebut yang stabil pada tekanan 1 atmosfer, pada suhu spesifik.Untuk zat
terlarut, keadaan standarnya lebih mudah didefinisikan yaitu 1 mol L-1 larutan
yang mengandung zat terlarut tertentu. Untuk reaksi kimia dalam larutan,
perubaha energy bebas standar-nya (ΔG0) adalah energi yang diperlukan untuk
mengubah 1 mol L-1 reaktan menjadi 1 mol L-1 produk
(Kuchel dan Ralston, 2006):
ΔG0 = ΔH0 – TΔS0
(2.25)
Banyak proses biologis yang melibatkan ion hidrogen; keadaan standar
dari larutan H+ (berdasarkan definisi) adalah 1 mol L-1 larutan, yang mempunyai
pH mendekati 0, suatu kondisi yang bertentangan dengan sebagian besar
kehidupan. Karena itu, lebih mudah untuk mendefinisikan keadaan standar
biokimia untuk zat terlarut, di mana semua komponennya kecuali H +
mempunyai konsentrasi 1 mol L-1, dan H+ mempunyai konsentrasi 10-7 mol L-1
(yaitu, pH 7). Perubahan energi bebas keadaan-standar biokimia dilambangkan
dengan ΔG0’, dan parameter termodinamika lainnya dapat dinyatakan secara
analog (ΔH0’, TΔS0’, dan seterusnya) (Kuchel dan Ralston, 2006).
ATP mempunyai kecenderungan kuat untuk terhidrolisis menjadi ADP
dan fosfat; hal ini dapat diperkirakan dari termodinamika, karena ΔG0’ = -30,5 kJ
mol-1. Karenanya, ATP dianggap sangat kaya akan energi. Namun demikian,
jika dibandingkan dengan senyawa biologis lainnya, ATP bukanlah senyawa
yang berenergi tinggi.Fungsi ATP bergantung pada nilai ΔG yang dimiliki untuk
melangsungkan hidrolisis, yang hanya separuhnya bila dibandingkan dengan
nilai ΔG untuk hidrolisis ester fosfat lainnya.Jadi, ATP dan ADP dapat bertindak
sebagai pasangan donor-akseptor untuk transfer gugus fosforil. Sebaliknya,
dalam banyak kasus, energi bebas untuk hidrolisis ATP digunakan untuk
melangsungkan reaksi yang tidak disukai secara energetika. Reaksi
ini biasanya terjadi melalui fosforilasi salah satu reaktan dalam reaksi yang
tidak disukai (Kuchel dan Ralston, 2006).

5) Aktivator
Aktivator atau kofaktor adalah suatu zat yang dapat mengaktifkan enzim
yang semula belum aktif. Enzim yang belum aktif disebut pre-enzim atau
zymogen (simogen). Kofaktor dapat berbentuk ion-ion dari unsur H, Fe, Cu, Mg,
Mo, Zn, Co, atau berupa koenzim, vitamin, dan enzim lain
(Kuchel dan Ralston, 2006).
Aktivitas enzim diperbesar dengan adanya aktivator yang mengaktifkan
enzim. Aktivator dapat berupa logam atau non logam yang merupakan zat-zat
non spesifik yang menguatkan proses enzimatis. Umumnya aktivator
merupakan bahan tahan panas dan berberat molekul relatif rendah
(Lehninger, 1982).

6) Inhibitor
Inhibitor merupakan faktor penghambat kerja enzim. Inhibitor kompetitif
bersaing dengan substrat dalam berikatan dengan enzim, sehingga
menghalangi substrat terikat pada sisi aktif enzim. Inhibitor nonkompetitif
berikatan pada sisi enzim selain sisi tempat substrat berikatan, mengubah
konformasi molekul enzim, sehingga mengakibatkan inaktifasi dapat balik sisi
katalitik (Lehninger, 1982).
Inhibitor enzim adalah zat atau senyawa yang dapat menghambat enzim
dengan beberapa cara penghambatan sebagai berikut:
a. Penghambat kompetitif
Penghambat enzim dapat balik juga telah memberikan banyak informasi
penting mengenai struktur aktif berbagai enzim. Suatu penghambat kompetitif
berlomba dengan substrat untuk berikatan dengan sisi aktif enzim, tetapi, sekali
terikat tidak dapat diubah oleh enzim tersebut. Ciri penghambat kompetitif
adalah penghambatan ini dapat dibalikkan atau diatasi hanya dengan
meningkatkan konsentrasi substrat. Sebagai contoh jika suatu enzim 50%
dihambat pada konsentrasi tertentu dari substrat dan penghambat kompetitif,
kita dapat mengurangi persen penghambat dengan meningkatkan konsentrasi
substrat (Marks, 1996).
Penghambat kompetitif biasanya menyerupai substrat normal pada
struktur tiga dimensinya. Karena persamaan ini, penghambat kompetitif
“menipu” enzim untuk berukatan dengannya. Sebenarnya, penghambatan
kompetitif dapat dianalisa secara kuantitatif oleh teori Michaels-Menten.
Penghambat kompetitif I hanya berikatan secara dapat balik dengan enzim,
membentuk suatu kompleks EI

E + I ↔ EI

Akan tetapi penghambat I tidak dapat dikatalisis oleh enzim untuk


menghasilkan produk reaksi yang baru (Marks, 1996).
Contoh klasik jenis ini adalah penghambatan kompetitif dehidrogenase
suksinat oleh anion malonat. Dehidrogenase suksinat adalah anggota golongan
enzim yang mengkatalisis siklus asam sitrat, lintas akhir metabolik bagi
degradasi oksidatif karbohidrat dan lemak di dalam mitikondria. Enzim ini
mengkatalisa pembebasan dua atom hidrogen dari suksinat, satu dari masing-
masing dari kedua gugus metilen (-CH2-). Dehidrogenase suksinat dihambat
oleh malonat, yang menyerupai suksinat karena sama-sama memiliki dua
gugus karboksil yang mengion pada pH 7,0 tetapi hanya berbeda dalam tiga
atom karbonnya. Akan tetapi, malonat tidak terdehidrogenasi oleh dehidrigenasi
suksinat; malonat hanya menempati sisi aktif enzim dan menguncinya sehingga
tidak dapat bekerja pada substrat normalnya. Sifat dapat balik penghambatan
oleh malonat diperlihatkan oleh kenyataan bahwa peningkatan konsentrasi
suksinat akan menurunkan tingkat penghambatan oleh konsebtrasi malonat
tertentu (Marks, 1996).
Senyawa lain dengan jarak yang sesuai di antara dua gugus anion dapat
bekerja sebagai penghambat kompetitif dehidrogenase suksinat; diantaranya
terdapat oksaloasetat, suatu senyawa antara, dalam siklus asam sitrat. Dari
hubungan struktural ini, telah disimpulkan bahwa sisi katalitik dehidrogenase
suksinat dilengkapi dengan dua gugus bermuatan positif yang berjarak tertentu
dari masing-masing, yang dapat menarik dua gugus karboksilat bermuatan
negatif dari anion suksinat. Sisi katalitik dehidrogenase suksinat, oleh
karenanya memperlihatkan sifat komplementer terhadap struktur substrat nya
(Marks, 1996).
Penghambatan kompetitif paling mudah dikenal di dalam percobaan-
percobaan dengan menentukan pengaruh konsentrasi penghambat terhadap
hubungan di antara konsentrasi substrat dan kecepatan awal. Transformasi
kebalikan ganda dari persamaan Michaels-Menten amat bermanfaat dalam
menentukan apakah penghambatan enzim yang dapat balik itu bersifat
kompetitif atau nonkompetitif. Pemetaan kebalikan ganda juga menghasilkan
tetapan disosiadi K1 kompleks enzim penghambat (Marks, 1996).

b) Penghambatan nonkompetitif juga bersifat dapat balik tetapi bukan oleh


substrat
Pada penghambatan nonkompetitif, penghambat berikatan pada sisi
enzim selain sisi tempat substrat berikatan, mengubah konformasi molekul
enzim, sehingga mengakibatkan inaktifasi dapat balik sisi katalitik. Penghambat
nonkompetitif berikatan secara dapat balik pada kedua molekul enzim bebas
dan kompleks ES, membentuk kompleks EI dan ESI yang tidak aktif (Marks,
1996):
E + I ↔ EI

ES + I ↔ ESI
Penghambatan enzim secara nonkompetitif deibedakan dari
penghambatan kompetitif oleh pemetaan kebalikan ganda terhadap data
kecepatan reaksi. Penghambat nonkompetitif yang paling penting adalah
senyawa antara metabolik yang terdapat di alam, yang dapat berikatan secara
dapat balik dengan sisi spesifik pada enzim pengatur tertentu, dan karenanya,
mengubah aktivitas sisi katalitiknya. Contohnya adalah penghambatan
dehidratase L-treonin oleh L-isoleusin (Marks, 1996).

Gambar 2.9 Inhibitor kompetitif dan nonkompetitif

c. Penghambat umpan balik (feed back inhibitor)


Penghambatan umpan balik disebabkan oleh hasil akhir suatu
rangkaian reaksi enzimatik yang menghambat aktifitas enzim pada reaksi
pertama (Kuchel dan Ralston, 2006).
d. Penghambat represor
Represor adalah hasil akhir suatu rangkaian reaksi enzimatik yang
dapat mempengaruhi atau mengatur pembentukan enzim-enzim pada reaksi
sebelumnya (Kuchel dan Ralston, 2006).

e. Penghambat alosterik
Penghambat alosterik adalah penghambat yang dapat mempengaruhi
enzim alosterik. Enzim alosterik adalah enzim yang mempunyai dua bagian
aktif, yaitu bagian aktif yang menangkap substrat dan bagian yang menangkap
penghambat. Apabila ada senyawa yang dapat memasuki bagian yang
menangkap penghambat maka enzim menjadi tidak aktif, senyawa penghambat
tersebut merupakan penghambat alosterik. Struktur senyawa penghambat
alosterik tidak mirip dengan struktur substrat. Pengikatan penghambat alosterik
pada enzim menyebabkan enzim tidak aktif, sehingga substrat tidak dapat
dikatalisis dan tidak menghasilkan produk. Apabila enzim menangkap substrat
maka penghambat tidak dapat terikat pada enzim, sehingga enzim dapat aktif
mereaksikan substrat menjadi produk (Kuchel dan Ralston, 2006).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Kinetika enzim merupakan bidang biokimia yang terkait dengan pengukuran


kuantitatif dari kecepatan reaksi yang dikatalisis enzim dan pemeriksaan
sistematik faktor-faktor yangg mempengaruhi kecepatan tersebut.
2. Ada dua persamaan untuk menganalisa secara kuantitatif kinetika kerja
enzim yaitu dengan metode pendekatan asas keseimbangan Michaelis-
Menten dan asas teori keadaan tunak Briggs-Haldane.
3. Persamaan Michaelis menten merupakan persamaan kecepatan reaksi
enzimatik substrat tunggal yang menyatakan hubungan kuantitatif reaksi
awal (v), kecepatan reaksi maksimum (V maks), konsentrasi substrat (S)
dan konstanta Michaelis-Menten (KM).
4. Persamaan Briggs-Haldone menyatakan dimana laju reaksi pembentukan
kompleks ES sama dengan laju reaksi penguraian ES menjadi P dan E yang
akan menghasilkan persamaan yang sama untuk hubungan laju reaksi
enzim dengan konsentrasi substrat.
5. Jumlah enzim dalam ekstrak suatu jaringan, ditentukan secara kuantitatif
berdasarkan efek katalisisnya. Faktor-faktor penting yang mempengaruhi
laju reaksi enzimatik adalah konsentrasi substrat dan enzim, demikian pula
faktor -faktor lain seperti pH, suhu, inhibitor, dan aktivator.
Daftar Pustaka

Kuchel, P., dan Ralston, Gregory B., 2006, Schaum’s Easy Outlines Biokimia,
Erlangga, Jakarta.

Lehninger, Albert L., 1982, Dasar-dasar Biokimia, Erlangga, Jakarta

Montgomery, R., Dryer, Robert L., Conway, Thomas W., Spector, Arthur A.,
1993, Biokimia Suatu Pendekatan Berorientasi-Kasus Jilid 1, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.

Poedjaji, A., Supriyanti, F.M. Titin., Dasar-dasar Biokimia, UI-Press, Jakarta.

Soewoto, Hafiz., dkk. 2000, Biokimia Eksperimen Laboratorium, Widya Medika,


Jakarta.

Wirahadikusumah, M., 1997, Biokimia Protein Enzim dan Asam Nukleat, ITB,
Bandung.

Anda mungkin juga menyukai