KELOMPOK IX
YULINAR H31115509
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
Kata Pengantar
Kelompok IX
Daftar Isi
Kata pengantar…………………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………
Daftar Pustaka………………………………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1. Mengetahui pengertian kinetika reaksi enzim
2. Mengetahui prinsip-prinsip dasar aktivitas enzim
3. Mengetahui persamaan kinetika reaksi enzim
4. Mengetahui analisis kuantitatif aktivitas enzim
BAB II
PEMBAHASAN
(2.1)
Dengan tetapan laju maju k1 dan tetapan laju balik k-1, menghasilkan rumus
untuk laju reaksi maju dan laju reaksi balik sebagaimana berikut:
(2.3)
(2.4)
Molekularitas mengacu pada jumlah molekul yang terlibat dalam suatu
reaksi dasar. Umumnya hanya dua molekul yang bertabrakan dalam satu waktu
untuk menghasilkan produk (molekularitas = 2) atau suatu molekul tunggal
mengalami pembelahan (molekularitas = 1) (Kuchel dan Ralston, 2006)..
Orde reaksi adalah jumlah pangkat dari konsentrasi reaktan dan produk
dalam rumus laju reaksi:
Pada reaksi orde pertama
(2.5)
Karena sisi kiri rumus mempunyai satuan laju reaksi (mol L -1s-1), maka satuan-
satuan ini juga akan berlaku untuk sisi kanan rumus. Dengan demikian satuan
untuk k[A] adalah mol L-1s-1, sehingga k mempunyai satuan s-1. Jadi, analisis
dimensi sederhana dapat menghasilkan rumus umum untuk satuan yang
berlaku untuk tetapan tertentu dalam kondisi tertentu (Kuchel dan Ralston,
2006).
𝐸 + 𝑆 ↔ 𝐸𝑆 ↔ 𝐸 + 𝑃
( 2.6)
Keterangan :
E = Enzim
S = Substrat
ES = Keadaan transisi
P = Produk
[𝐸][𝑆]
KM = [𝐸𝑆]
(2.7)
[ES] adalah konsntrasi enzim yang berikatan dengan substrat yang juga
sama dengan konsentrasi produk [P]. Maka bila persamaan (2.8) dimasukkan
ke dalam persamaan (2.7), didapatkan:
([𝐸]0−[𝑃])[𝑆] ([𝐸]0−[𝐸𝑆])[𝑆]
KM = atau KM=
[𝑃] [𝐸𝑆]
(2.9)
[𝐸]𝑜[𝑆]
𝑣 = 𝑘3 𝐾𝑀+[𝑆] atau (𝑘3 ["𝐸]𝑜" )/(𝐾𝑀/[𝑆] + 1))
(2.11)
Vmaks = k3 [E]0
(2.12)
𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠 [𝑆]
𝑣=
𝐾𝑀 + [𝑆]
(2.13)
Persamaan tersebut adalah persamaan Michaelis-Menten, yaitu hubungan
kuantitatif antara laju reaksi enzim dan konsentrasi substrat, bila Vmaks atau
Km diketahui.
Apabila v= ½ Vmaks sehingga,
1 𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠 . [𝑆]
𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠 =
2 𝐾𝑀 + [𝑆]
(2.14)
Harga KM akan sama dengan konsentrasi substrat pada waktu laju reaksi
sama dengan seperdua dari laju reaksi maksimum. Satuan KM adalah mol per
liter.
Vmaks
-------------------------------------------------------------------------
1
𝑣 = 2Vmaks --------------------
(S=KM) (S)
Gambar 2.1 hubungan antara laju reaksi enzim dan konsentrasi substrat
Michaelis-Menten
𝑑 [𝐸𝑆]
= 0 = k1 [E] [S] – (k2 [ES] + k3 [P]
𝑑𝑡
(2.15)
Apabila dimasukkan harga [E] = [E]o – [ES] dan [P] = [ES], diperoleh:
(k2+k3)
Karena menunjukkan konstanta kesetimbangan dari disosiasi ES, maka
𝑘1
(k2+k3)
= 𝐾𝑀
𝑘1
(2.17)
[𝐸]𝑜 [𝑆]
[𝐸𝑆] =
[𝑆] + 𝐾𝑀
(2.18)
𝑘3[𝐸]𝑜[𝑆]
𝑣=
[𝑆] + 𝐾𝑀
(2.19)
1 [𝑆] + 𝐾𝑀
=
𝑣 𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠 [𝑆]
( 2.20)
1 1 𝐾𝑀 1
= +
𝑣 𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠 𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠 [𝑆]
(2.21)
𝐾𝑀
𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠 = 𝑣 + 𝑣.
[𝑆]
𝑣
𝑣 = −𝐾𝑀 + 𝑉𝑚𝑎𝑘𝑠
[𝑆]
(2.22)
2) Suhu
Suhu bepengaruh besar terhadap aktivitas enzim. Semua enzim bekerja
dalam rentang suhu tertentu pada tiap jenis organisme. Secara umum, setiap
peningkatan sebesar 10°C di atas suhu minimum, aktivitas enzim akan
meningkat sebanyak dua kali lipat hingga mencapai kondisi optimum.
Peningkatan suhu eksternal secara umum akan meningkatkan kecepatan
reaksi kimia enzim, tetapi kenaikan suhu yang terlalu tinggi atau setelah
melebihi suhu optimumnya akan menyebabkan terjadinya denaturasi enzim
yaitu kerusakan struktur enzim, terutama kerusakan pada ikatan ion dan ikatan
hidrogennya. Hal ini menyebabkan terjadinya penurunan kecepatan reaksi yang
dikatalis oleh enzim tersebut. Denaturasi enzim di atas suhu optimum akan
menyebabkan terjadinya kematian pada sel organisme, tetapi beberapa
organisme mampu bertahan hidup dan tetap aktif pada suhu yang sangat tinggi,
dimana organisme lain sudah tidak mampu hidup seperti bakteri dan alga yang
ditemukan pada sumber-sumber air panas ditaman Nasional Yellow Stone
Amerika, suhu optimum untuk hidupnya sebesar 70°C.
Kenaikan suhu sebelum terjadinya proses denaturasi dapat menaikkan
kecepatan reaksi. Koefisien suhu suatu reaksi diartikan sebagai kenaikan
kecepatan reaksi sebagai akibat kenaikan suhu 10°C. Koefisien suhu ini diberi
simbol Q10. Untuk reaksi yang menggunakan enzim, Q10 ini berkisar antara
1,1 hingga 3,0 artinya setiap kenaikan suhu 10°C, kecepatan reaksi mengalami
kenaikan 1,1 hingga 3,0 kali. Kenaikan suhu pada saat mulai terjadinya proses
denaturasi akan mengurangi kecepatan reaksi. Karena ada dua pengaruh yang
berlawanan, maka terjadi suatu titik optimum, yaitu suhu yang paling tepat bagi
suatu reaksi yang menggunakan enzim tertentu (Anna Poedjiadi, 2009).
Denaturasi akibat suhu tinggi biasanya irreversibel karena gaaya-gaya
ikatan lemah yang penting rusak akibat meningkatnya getaran termal
komponan atom-atomnya, suatu fenomena yang merusak struktur tiga dimensi.
Pada kondisi yang tidak menyebabkan denaturasi, kebanyakan enzim
menunjukkan adanya suhu optimum, dengan keadaan lainnya sama, untuk
mencapai aktivitas optimal. Gambar 2.2 memperlihatkan bahwa perubahan
aktivitas di bawah suhu ini tidak selalu simetris. Beberapa enzim
memperlihatkan penurunan aktivitas secara tajam dalam kisaran sangat kecil
setelah melewati titik mulainya denaturasi. Ini sering dikatakan sebagai suatu
“pelelehan” protein, dengan hilangnya gaya-gaya ikatan lemah yang penting
secara cepat, analog dengan titik leleh dari senyawa organik sederhana
(Montgomery, 1993).
Beberapa enzim juga sangat sensitif terhadap suhu rendah. ATPase
mitokondria, misalnya, dengan cepat menjadi tidak aktif jika didinginkan hingga
5°C, tapi cukup stabil dalam suhu ruangan. Salah satu penjelasannya ialah
pada suhu yang lebih rendah gaya-gaya lemah antara berbagai bagian dari
suatu subunit. Ini menyebabkan gangguan pada bentuk polimerik, yang sangat
penting untuk aktivitas enzim. Akhirnya harus diperhatikan bahwa beberapa
enzim sangat tidak terpengaruh oleh panas. Beberapa protease dan fosfolipase
dapat bertahan dalam suhu air mendidih tanpa atau hanya sedikit kehilangan
aktifitasnya (Montgomery, 1993).
Penting untuk dicatat bahwa jika suatu enzim dari suatu jenis tertentu
diisolasi dari berbagai jaringan badan yang berlainan, misalnya, dehidrogenase
laktat dari jantung, hati, paru-paru, dan ginjal. Seperti yang akan ditunjukkkan
kemudian, kenyataan ini sangat bermanfaat dalam diagnosis yang berbeda-
beda terhadap beberapa penyakit dari organ-organ tertentu. Penggunaan lain
dari denaturasi panas ialah pada sterilisasi pangan dan alat-alat bedah atau
pasteurisasi susu, yang semua bergantung pada perusakan oleh panas secara
cepat terhadap enzim yang esensial untuk mikroorganisme kontaminan
(Montgomery, 1993).
3) Konsentrasi Enzim
Kecepatan suatu reaksi yang menggunakan enzim tergantung pada
konsentrasi enzim tersebut sebagai katalisator. Kecepatan reaksi bertambah
seiring dengan bertambahnya konsentrasi enzim hingga batas tertentu
(Anna Poedjiadi, 2009).
Peningkatan konsentrasi enzim akan meningkatkan kecepatan reaksi
enzimatik. Dapat dikatakan bahwa kecepatan reaksi enzimatik (v) berbanding
lurus dengan konsentrasi enzim [E]. Makin besar konsentrasi enzim, reaksi
makin cepat (Hafiz Soewoto, 2000).
Gambar 2.5 Hubungan antara konsentrasi enzim dengan kecepatan reaksi
enzim
4) Konsentrasi Substrat
Aktivitas enzim dipengaruhi pula oleh konsentrasi substrat. Hasil
eksperimen menunjukkan bahwa dengan konsentrasi enzim yang tetap, maka
penambahan konsentrasi substrat akan menaikkan kecepatan reaksi. Akan
tetapi pada batas konsentrasi tertentu, tidak terjadi kenaikan kecepatan reaksi
walaupun konsentrasi substrat diperbesar (Anna Poedjiadi, 2009).
Pada konsentrasi substrat yang amat rendah, kecepatan reaksipun
amat sangat rendah, tetapi kecepatan ini akan meningkat dengan
meningkatnya konsentrasi substrat. Jika diuji pengaruh konsentrasi substrat
yang terus meningkat setiap saat, kita mengukur kecepatan awal reaksi yang
dikatalisis ini, kita akan menemukan bahwa kecepatan ini meningkat dengan
nikai yang semakin kecil. Pada akhirnya akan tercapai titik batas, dan setelah
titik ini dilampaui, kecepatan reaksi hanya akan meningkat sedemikian kecil
dengan bertambahnya konsentasi substrat (gambar 2.6). Bagaimanapun
tingginya konsentrasi substrat setelah titik ini tercapai, kecepatan reaksi akan
mendekati, tetapi tidak akan pernah mencapai garis maksimum. Pada batas ini,
yang disebut kecepatan maksimum (V maks), enzim menjadi jenuh oleh
substratnya, dantidak dapat berfungsi lebih cepat (Marks, 1996).
Pengaruh kejenuhan ini diperlihatkan oleh hampir semua enzim. Hal
inilah yang membawa Victor Henri pada tahun 1903, menyatakan bahwa enzim
bergabung dengan molekul substrat, untuk membentuk suatu kompleks enzim
substrat sebagai tahap yang harus dilalui dalam katalis oleh enzim. Pemikiran
ini diperluas menjadi suatu teori umum kerja enzim, terutama oleh Leonor
Michaelis dan Maud Menten pada tahun 1993. Mereka mengemukakan bahwa
enzim E pertama-tama bergabung dengan substratnya S dalam reaksi balik,
membentuk kompleks enzim-substrat ES. Reaksi ini berlangsung relatif cepat
(Marks, 1996).
(2.23)
Persamaan di atas mempunyai sifat bahwa jika [S]0 sangat besar, maka
v0 = Vmaks (kecepatan maksimum); demikian juga jika v0 = Vmaks/2, nilai
[S]0 adalah Km, tetapan Michaelis.
Persamaan Michaelis-Menten dapat disusun ulang menjadi bentuk lain
yang menghasilkan garis lurus bila satu variabel baru diplot terhadap variabel
lainnya. Keuntungannya adalah: (1) Vmaks dan Km dapat ditentukan secara
langsung dengan cara menarik garis lurus pada data hasil perhitungan; (2)
permulaan data pada garis lurus akan lebih mudah ditentukan dibandingkan
pada hiperbola; (3) pengaruh yang ditimbulkan oleh inhibitor terhadap reaksi
dapat dianalisis secara lebih mudah (Kuchel dan Ralston, 2006).
Persamaan Michaelis-Menten yang paling sering digunakan adalah
persamaan “perbandingan terbalik ganda” Lineweaver-Burk.
(2.24)
Plot pasangan data (1/[S]0,I, 1/v0,i), untuk i = 1, . . ., n, dengan n adalah jumlah
pasangan data, menghasilkan garis lurus dengan perpotongan ordinat pada
1/Vmaks dan perpotongan absis pada -1/Km (Gambar 2.8).
Contoh: Sebagian besar energi yang diubah oleh hewan tingkat tinggi
diperoleh dari oksidasi glukosa:
5) Aktivator
Aktivator atau kofaktor adalah suatu zat yang dapat mengaktifkan enzim
yang semula belum aktif. Enzim yang belum aktif disebut pre-enzim atau
zymogen (simogen). Kofaktor dapat berbentuk ion-ion dari unsur H, Fe, Cu, Mg,
Mo, Zn, Co, atau berupa koenzim, vitamin, dan enzim lain
(Kuchel dan Ralston, 2006).
Aktivitas enzim diperbesar dengan adanya aktivator yang mengaktifkan
enzim. Aktivator dapat berupa logam atau non logam yang merupakan zat-zat
non spesifik yang menguatkan proses enzimatis. Umumnya aktivator
merupakan bahan tahan panas dan berberat molekul relatif rendah
(Lehninger, 1982).
6) Inhibitor
Inhibitor merupakan faktor penghambat kerja enzim. Inhibitor kompetitif
bersaing dengan substrat dalam berikatan dengan enzim, sehingga
menghalangi substrat terikat pada sisi aktif enzim. Inhibitor nonkompetitif
berikatan pada sisi enzim selain sisi tempat substrat berikatan, mengubah
konformasi molekul enzim, sehingga mengakibatkan inaktifasi dapat balik sisi
katalitik (Lehninger, 1982).
Inhibitor enzim adalah zat atau senyawa yang dapat menghambat enzim
dengan beberapa cara penghambatan sebagai berikut:
a. Penghambat kompetitif
Penghambat enzim dapat balik juga telah memberikan banyak informasi
penting mengenai struktur aktif berbagai enzim. Suatu penghambat kompetitif
berlomba dengan substrat untuk berikatan dengan sisi aktif enzim, tetapi, sekali
terikat tidak dapat diubah oleh enzim tersebut. Ciri penghambat kompetitif
adalah penghambatan ini dapat dibalikkan atau diatasi hanya dengan
meningkatkan konsentrasi substrat. Sebagai contoh jika suatu enzim 50%
dihambat pada konsentrasi tertentu dari substrat dan penghambat kompetitif,
kita dapat mengurangi persen penghambat dengan meningkatkan konsentrasi
substrat (Marks, 1996).
Penghambat kompetitif biasanya menyerupai substrat normal pada
struktur tiga dimensinya. Karena persamaan ini, penghambat kompetitif
“menipu” enzim untuk berukatan dengannya. Sebenarnya, penghambatan
kompetitif dapat dianalisa secara kuantitatif oleh teori Michaels-Menten.
Penghambat kompetitif I hanya berikatan secara dapat balik dengan enzim,
membentuk suatu kompleks EI
E + I ↔ EI
ES + I ↔ ESI
Penghambatan enzim secara nonkompetitif deibedakan dari
penghambatan kompetitif oleh pemetaan kebalikan ganda terhadap data
kecepatan reaksi. Penghambat nonkompetitif yang paling penting adalah
senyawa antara metabolik yang terdapat di alam, yang dapat berikatan secara
dapat balik dengan sisi spesifik pada enzim pengatur tertentu, dan karenanya,
mengubah aktivitas sisi katalitiknya. Contohnya adalah penghambatan
dehidratase L-treonin oleh L-isoleusin (Marks, 1996).
e. Penghambat alosterik
Penghambat alosterik adalah penghambat yang dapat mempengaruhi
enzim alosterik. Enzim alosterik adalah enzim yang mempunyai dua bagian
aktif, yaitu bagian aktif yang menangkap substrat dan bagian yang menangkap
penghambat. Apabila ada senyawa yang dapat memasuki bagian yang
menangkap penghambat maka enzim menjadi tidak aktif, senyawa penghambat
tersebut merupakan penghambat alosterik. Struktur senyawa penghambat
alosterik tidak mirip dengan struktur substrat. Pengikatan penghambat alosterik
pada enzim menyebabkan enzim tidak aktif, sehingga substrat tidak dapat
dikatalisis dan tidak menghasilkan produk. Apabila enzim menangkap substrat
maka penghambat tidak dapat terikat pada enzim, sehingga enzim dapat aktif
mereaksikan substrat menjadi produk (Kuchel dan Ralston, 2006).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kuchel, P., dan Ralston, Gregory B., 2006, Schaum’s Easy Outlines Biokimia,
Erlangga, Jakarta.
Montgomery, R., Dryer, Robert L., Conway, Thomas W., Spector, Arthur A.,
1993, Biokimia Suatu Pendekatan Berorientasi-Kasus Jilid 1, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Wirahadikusumah, M., 1997, Biokimia Protein Enzim dan Asam Nukleat, ITB,
Bandung.